Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

40

BAB II
BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENT)

A. Pengertian Penyelesaian Sengketa Internasional
1. Pengertian Sengketa Internasional, Penyebab Sengketa Internasional,
dan Penyelesaian Sengketa Internasional
Sengketa (dispute) diartikan sebagai pertikaian ataupun konflik.38
Sementara itu, Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis
Palestine

Concessions

(Preliminary

Objections)

(1924)


mendefinisikan

pengertian sengketa sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of
legal views or interest between two persons ”.39 Sedangkan sengketa hukum

(conflict of laws) dalam Black’s Law Dictionary adalah perbedaan antara hukum
suatu negara yang berbeda atau negara-negara dalam kasus di mana transaksi atau
kejadian sentral yang terjadi dalam kasus ini memiliki koneksi dua atau lebih
yurisdiksi.

Berkenaan sengketa internasional dapat diamati sebagaimana

diuraikan John G. Merrills. Merrills mengamati bahwa suatu persengketaan
sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang
diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. Karena itu,
sengketa internasional adalah perselisihan, yang tidak secara eksklusif melibatkan
negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional. Persoalan yang

38


Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul: Thomson West, 2004), hal 319

dan 505
39

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional , (Bandung: Sinar Grafika,
2004), hal 2

29
Universitas Sumatera Utara

41

timbul adalah apa yang bisa dijadikan sebagai subjek persengketaan. Ia
mengatakan pula bahwa subyek dari persengketaan dapat bermacam-macam,
mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan
perbatasan.40
Dengan demikian sengketa dapat terjadi diantara pihak individu-individu,
antara pihak individu dan negara dan sengketa di antara negara-negara atau
sengketa internasional. Sengketa diantara pihak individu-individu dan pihak

individu dengan negara dapat terjadi karena adanya pelanggaran kontrak atau
perjanjian oleh satu pihak. Selanjutnya, sengketa tersebut dapat pula menghadapi
berbagai kesulitan, yang meliputi hal pilihan hukum, persoalan lex loci contractus
(tempat dimana perjanjian dibuat), persoalan “the proper law of the contract”,
terutama yang dianut oleh common law system. Juga dapat menghadapi kesulitan
berkenaan dengan persoalan “the most characteristic connection”, atau yang
menyangkut “centre of gravity the most closely connection, and the most
substantially connection”.41

Padahal dengan adanya kontrak atau perjajian itu, maka para pihak yang
mengikatkan diri pada perjanjian tersebut harus mematuhi semua yang
diperjanjikan sebagaimana termuat dalam perjanjian.42 Para pihak harus

Dewa Gede Sudika Mangku, “Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa
Internasional Termasuk di Dalam Tubuh ASEAN”, Perspektif, (Volume XVII No. 3 Tahun 2012
Edisi September), hal 150-151
41
Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980) ,
(Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2002), hal. 2.
42

R. Subekti menyatakan, bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum Antara dua
orang atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain,
dan yang pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu” Sedangkan menurut
Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.H.
40

Universitas Sumatera Utara

42

melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi, kadangkala dalam
pelaksanaannya mungkin saja mengalami hambatan-hambatan yang pada akhirnya
mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang mereka buat. Bahkan, lebih berat lagi
dapat menimbulkan perselisihan atau konflik akibat tidak dapat dilaksanakannya
perjanjian itu oleh salah satu pihak.43
Adanya tindakan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hal tidak
dapat dilaksanakannya perjanjian tersebut tidak hanya menimbulkan perselisihan
atau konflik namun juga menimbulkan kerugian terhadap pihak lain yang

merupakan awal dari proses yang dapat berakhir dengan penerapan proses
penyelesaian sengketa.44
Dalam konteks sengketa internasional, dapat saja diawali dari sikap
bermusuhan yang dimulai karena adanya perbedaan pendapat yang mungkin juga
berakar pada masalah yang jauh lebih kompleks dan mempunyai riwayat historis
yang panjang, seringkali menjadi sebab timbulnya sengketa.45
Adanya hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara,
negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional juga tidak
selamanya terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa
diantara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa.
Sumber potensi sengketa antarnegara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam,

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hal 1
43
Ibid, hal 1-2
44
H.S Kartadjoemena,Op cit, hal 120
45
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI Press,

2006), hal 1

Universitas Sumatera Utara

43

kerusakan, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Manakala hal
demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil
dalam penyelesaiannya.46
Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang
cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya
ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik
berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional. Peran yang
dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah
memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan
sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya,
hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian, yaitu cara penyelesaian
secara damai dan perang (militer). Cara perang untuk menyelesaikan sengketa
merupakan cara yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama. Bahkan perang
telah juga dijadikan sebagai alat atau instrument dan kebijakan luar negeri.

Sebagai contoh, Napoleon Bonaparte menggunakan perang untuk menguasai
wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX.47
Namun dewasa ini hukum internasional telah menetapkan kewajiban
minimum kepada semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
menyelesaikan sengketa internasionalnya secara damai. Ketentuan ini tersurat
khususnya dalam Pasal 1, 2 dan 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut
Levy, kewajiban ini sifatnya sudah menjadi hukum internasional universal.
Kewajiban tersebut mensyaratkan bahwa negara-negara harus menyelesaikan
46
47

Huala Adolf, Op Cit, hal 1
Ibid, hal 1

Universitas Sumatera Utara

44

sengketanya dengan cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan
keamanan internasional dan keadilan tidak terancam. Meskipun sifatnya universal,

kewajiban tersebut tidak berarti mengikat secara mutlak terhadap negara. Negara
ialah satu-satunya subjek hukum internasional yang memiliki kedaulatan penuh.
Ia adalah subjek hukum internasional par excellence. Karena itu, suatu negara
meskipun tunduk kepada kewajiban penyelesaian sengketa secara damai, ia tetap
memiliki kewenangan penuh untuk menentukan cara-cara atau metode
penyelesaian sengketanya. Kewajiban tersebut tetap tunduk kepada kesepakatan
(konsensus) negara yang bersangkutan.48
Salah satu tujuan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini tampak pada Pasal 1
ayat (1) Piagam Perserikata Bangsa-Bangsa. Tersirat dalam ketentuan pasal
tersebut fungsi dari badan dunia ini dan negara-negara anggotanya, yaitu untuk
bersama-sama menciptakan dan mendorong penyelesaian sengketa internasional.
Adapun isi dari Pasal 1 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
yaitu:49
―To maintain international peace and security, and to that
end: to take effective collective measures for the prevention
and removal of threats to the peace, and for the suppression
of acts of aggression or other breaches of the peace, and to
bring about by peaceful means, and in conformity with the
principles of justice and international law, adjustment or

settlement of international disputes or situations which
might lead to a breach of the peace.‖

48

Ibid, hal 11
United Nations, Handbook on the Peaceful Settlement of Disputes Between States ,
(New York: United Nations Publication, 1992), hal 3
49

Universitas Sumatera Utara

45

Khususnya terhadap negara-negara anggotanya, Pasal 2 ayat (3) Piagam
memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai tujuan di
atas. Pasal ini mewajibkan semua negara anggotanya untuk menempuh cara-cara
penyelesaian secara damai. Pasal 2 ayat (3) yang sangat penting ini menyatakan:
―All members shall settle their international disputes by
peaceful means in such a manner that international peace

and security are not endangered.‖
Kata shall (harus) dalam kalimat di atas merupakan salah satu kata kunci
yang mewajibkan negara-negara menempuh cara damai saja dalam menyelesaikan
sengketanya. Kewajiban lainnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini
menyatakan bahwa dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan
diri dari cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan senjata terhadap
negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan Perserikatan BangsaBangsa. Pasal 2 ayat (4) berbunyi:
―All members shall refain in their international relations
from threat or use of force against the territorial integrity
or political independence of any state or in any manner
inconsistent with the purpose of the United Nations.‖
Hal yang perlu ditekankan dari dua kewajiban yang tertuang dalam kedua
ayat di atas, yaitu kewajiban menahan diri menggunakan kekuatan bersenjata.
Kedua kewajiban tersebut harus dipandang berdiri sendiri. Khusus mengenai
prinsip larangan penggunaan kekuatan bersenjata atau yang tidak damai,
meskipun tersurat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun dalam

Universitas Sumatera Utara

46


perkembangannya kemudian tidak lagi semata-mata mengikat negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa.50
Adapun salah satu fungsi penyelesaian sengketa adalah agar supaya
norma-norma hukum yang mengatur hubungan diantara anggota masyarakat
dipatuhi. Dengan perkataan lain di dalamnya terkandung fungsi pengawasan.
Dalam masyarakat nasional, pengawasan ini dipercayakan pada suatu lembaga
yaitu negara, sedangkan dalam masyarakat internasional, yang tidak mempunyai
kekuasaan sentral diserahkan pada para anggotanya sendiri.51
Menurut Van Hoof pengawasan internasional mempunyai tiga fungsi:52
1. Review Function: Pada umumnya, “review” diartikan sebagai mengukur atau
menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu. Dalam konteks hukum, ini
berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan
aturan hukum. Review function dalam hubungannya dengan negara
dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum
internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status
internasional. Pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau oleh
suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari
pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan
negara tersebut dengan hukum internasional.
2. Correction Function: Fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu
keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional. Namun demikian,

50

Ibid, hal 11-12
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum
dan Non Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006) hal 181
52
Ibid, hal 181-182
51

Universitas Sumatera Utara

47

fungsi ini dapat pula bersifat preventif, manakala negara-negara menyesuaikan
diri pada aturan-aturan hukum internasional sebagai akibat eksistensi atau
ancaman dari mekanisme koreksi ini. Tujuan akhir dari pengawasan
internasional adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan
hukum internasional. Oleh karena itu, pelanggarannya harus diperbaiki.
Terlepas dari kasus-kasus dimana negara yang melakukan pelanggaran
memperbaiki pelanggaran atas kehendak sendiri, kepatuhan terhadap hukum
internasional harus dipastikan melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini
merupakan fungsi koreksi dari pengawasan internasional, yang biasa juga
disebut sebagai fungsi pemaksa (enforcement function). Satu persoalan yang
terkait dengan hal ini adalah pengenaan sanksi dalam hukum internasional.
3. Creative Function: Sekali pun review dan creative function merupakan bagian
pokok dari pengawasan, namun pengawasan juga dapat berfungsi kreatif,
terutama dalam hukum internasional. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
semacam lembaga eksekutif dan judikatif. Tindakan-tindakan legislatif
seringkali abstrak atau tidak jelas. Oleh karena itu usaha untuk memperjelas
norma-norma hukum internasional ini merupakan bagian dari fungsi
pengawasan yaitu fungsi kreatif. Jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas
aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas.

2. Bentuk-Bentuk Sengketa Internasional
Semua orang tentu tidak ingin bersengketa dengan orang lain. Semua
orang sesungguhnya berkeinginan hidup dengan damai dan saling menghormati.

Universitas Sumatera Utara

48

Namun dalam kehidupan masyarakat yang sangat kompleks, baik secara etnik,
ekonomi, sosial, budaya dan ragam keinginan yang berbeda dari setiap orang,
konflik atau sengketa sulit untuk dihindarkan. Konflik dapat terjadi antara dua
pihak secara individual, dapat juga secara komunal, bahkan dapat melibatkan
banyak pihak dan negara, dari konflik yang sederhana sampai yang paling krusial.
Berbagai sengketa dapat dikelompokkan:53
1. Sengketa keluarga, meliputi masalah waris, perceraian, dan perwalian.
2. Sengketa bisnis, meliputi sengketa perburuhan, kontrak, persaingan
usaha, sengketa konsumen, perbankan.
3. Sengketa pertanahan, meliputi permasalahan yang berkaitan dengan
hak-hak atas tanah.
4. Sengketa antara masyarakat dan negara, dapat terjadi ketika
masyarakat merasakan perlakuan yang tidak adil dari negara, dan
negara beranggapan masyarakat sulit diatur.
5. Sengketa adat, berkenaan dengan perilaku dan asset-aset yang berada
dalam otoritas penguasa adat. Terjadi pada masyarakat yang masih
menganut hukum adat.
6. Sengketa pers, yaitu sengketa yang timbul sebagai akibat pemberitaan
pers terhadap seseorang, sekelompok orang dan badan hukum.
7. Sengketa lingkungan, yaitu sengketa yang berkaitan dengan persoalan
lingkungan hidup.

53

Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Di Luar
Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) Di Indonesia ¸(Bandung: Mandar Maju, 2010), hal 1

Universitas Sumatera Utara

49

Di dalam studi hukum internasional publik, dikenal dua macam sengketa
internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa
politik (political or nonjusticiable disputes). Sebetulnya tidak ada kriteria yang
jelas dan diterima secara umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Yang
kerap kali dipakai menjadi ukuran suatu sengketa dipandang sebagai sengketa
hukum yaitu manakala sengketa tersebut bisa atau dapat diserahkan dan
diselesaikan oleh pengadilan internasional.54
Namun

pandangan

demikian

sulit

diterima.

Sengketa-sengketa

internasional, secara teoritis pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh
pengadilan internasional. Sesulit apa pun suatu sengketa, sekalipun tidak ada
pengaturannya, suatu pengadilan internasional tampaknya bisa memutuskannya
dengan bergantung kepada prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Pada pokoknya, ada banyak sengketa yang bisa diserahkan dan kemungkinan
besar bisa diselesaikan oleh pengadilan internasional. Tetapi karena salah satu
atau kedua negara enggan menyerahkannya kepada pengadilan, pengadilan
menjadi tidak berwenang mengadilinya. Dalam hal ini, yang menjadi dasar hukum
bagi pengadilan untuk melaksanakan yurisdiksinya adalah kesepakatan para pihak
yang bersengketa.55
Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa
hukum dan sengketa politik, namun ada tiga doktrin penting yang berkembang
dalam hukum internasional. Tiga doktrin tersebut antara lain sebagai berikut:56

54

Huala Adolf, Op cit, hal 3
Ibid, hal 3-4
56
Ibid, hal 4-6
55

Universitas Sumatera Utara

50

1. Pendapat Friedmann
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh
golongan sarjana hukum internasional Amerika Serikat dengan
pemukanya Profesor Wolfgang Friedmann. Beliau menyatakan
meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun
perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Pandangan ini
tampaknya diikuti oleh International Court of Justice (ICJ).
2. Pendapat Waldlock
Pendapat kedua dikemukakan oleh para sarjana dan ahli hukum
internasional dari Inggris yang membentuk suatu kelompok studi
mengenai penyelesaian sengketa tahun 1963 yang diketuai oleh Sir
Humprey Waldlock. Menurut kelompok studi ini penentuan suatu
sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung
sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak
menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa
tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut
menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada
dalam hukum internasional, misalnya soal perlucutan senjata maka
sengketa tersebut adalah sengketa politik.
3. Pendapat jalan tengah (Oppenheim-Kelsen)
Pendapat ketiga adalah golongan yang Huala Adolf sebut sebagai
pendapat jalan tengah. Mereka adalah sekelompok sarjana yang
merupakan gabungan sarjana Eropa (seperti De Visscher, Geamanu,

Universitas Sumatera Utara

51

Oppenheim) dan Amerika Serikat (Seperti Hans Kelsen). Menurut
Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada
dasar kriteria objektif yang mendasari pembedaan Antara sengketa
politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa biasanya terkait
antarnegara yang berdaulat. Mungkin saja dalam sengketa yang
dianggap sebagai sengketa hukum terkandung kepentingan politis yang
tinggi dari negara yang bersangkutan. Begitu pula sebaliknya, terhadap
sengketa yang dianggap memiliki sifat politis, prinsip-prinsip atau
aturan hukum internasional boleh jadi dapat diterapkan.
Menurut pandangan Huala Adolf, dari ketiga doktrin yang telah
disebutkan diatas, pendekatan yang diambil oleh Waldlock “lebih tepat”. Jika
timbul sengketa antara dua negara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan
ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Suatu sengketa hukum, bisa berupa
penetapan garis batas wilayah, pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik,
sengketa hak-hak dan kewajiban dalam perdagangan, dan lain-lain. Pastinya,
sengketa demikian sedikit banyak mempengaruhi hubungan (baik) kedua negara.
Bagaimana kedua negara memandang sengketa tersebut. Akhirnya menjadi faktor
penentu apakah sengketa yang bersangkutan sengketa hukum atau politik.57

B.

Upaya Penyelesaian Sengketa Internasional
Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke

dalam dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara

57

Ibid, hal 7

Universitas Sumatera Utara

52

penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan (A.A.S.P. Dian Saraswati,
2007:19). Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan apabila
para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.
J.G. Starke mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa
internasional secara damai atau bersahabat yaitu sebagai berikut (J.G. Starke,
2007: 646): arbitrase, penyelesaian yudisial (judicial settlement), negosiasi, jasajasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan (Inquiry), dan
penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB. Sementara itu, F. Sugeng Istanto
(1998:88), menyatakan bahwa penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui
beberapa cara yakni: rujuk, penyelesaian sengketa di bawah perlindungan PBB,
arbitrasi dan peradilan. Sedangkan apabila negara-negara tidak dapat mencapai
suatu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara damai
maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan
seperti perang dan tindakan bersenjata non perang, retorsi, tindakan-tindakan
pembalasan (Reprisal), blokade secara damai (Pacific Blockade), dan intervensi.58

1. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Cara penyelesaian sengketa dengan damai dapat dilihat dalam Pasal 33 (1) Piagam
PBB,

yaitu:

perundingan

(negotiation),

penyelidikan

(inquiry),

mediasi

(mediation), konsiliasi (conciliation), Arbitrase (arbitration), penyelesaian
menurut hukum (judicial settlement) melalui badan atau pengaturan regional atau

58

Dewa Gede Sudika Mangku, Op cit, hal 151,155 dan 156

Universitas Sumatera Utara

53

dengan cara damai yang dipilih sendiri.59 Adapun penjelasan dari masing-masing
penyelesaian sengketa dengan damai adalah sebagai berikut:
1. Perundingan (Negotiation)
Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang paling
penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan sengketa
internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung
untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
sengketanya. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung
Antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa
melibatkan

pihak

ketiga.

Menurut

Fleischhauer,

dengan

tidak

adanya

keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, masyarakat internasional
telah menjadikan negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian
sengketa.60
Deklarasi Manila di dalam hal penyelesaian sengketa internasional secara
damai menyoroti fleksibilitas sebagai salah satu ciri dari negosiasi secara
langsung sebagai sarana penyelesaian sengketa secara damai. Negosiasi adalah
cara yang fleksibel dari suatu penyelesaian sengketa secara damai di dalam
beberapa hal. Hal tersebut dapat diaplikasikan ke semua jenis sengketa, baik itu
politik, hukum maupun teknis.61

59

Sri Setianingsih Suwardi, Op cit, hal 4
Huala Adolf, Op cit, hal 26-27
61
United Nations, Op cit, hal 9
60

Universitas Sumatera Utara

54

2. Penyelidikan (Inquiry)
Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan independen
untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa. Tujuan utamanya
adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang
ditelitinya. Dengan adanya pencarian fakta-fakta demikian, diharapkan proses
penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat segera diselesaikan.62
penyelidikan sebagai sarana penyelesaian sengketa telah diatur dalam
sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral, termasuk perjanjian liga bangsabangsa, piagam PBB dan instrumen konstituen dari badan-badan khusus tertentu
dan organisasi internasional lainnya dalam sistem PBB, dan dalam berbagai
instrumen oleh badan-badan regional.63
3. Mediasi (Mediation)
Ketika

para

pihak

yang

bersengketa

internasional

tidak

dapat

menyelesaikan sengketanya dengan cara negosiasi, intervensi ataupun campur
tangan dari pihak ketiga adalah cara yang mungkin untuk memecahkan kebuntuan
dan menghasilkan solusi yang dapat diterima.64
Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang
bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara pihak, sehingga
pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan

62

Huala Adolf, Op cit, hal 29
United Nations, Op cit, hal 24
64
Barry E. Carter dan Philip R. Trimble, International Law, (London: Little, Brown and
Company, 1991), hal 258
63

Universitas Sumatera Utara

55

mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian
tetap berada di tangan para pihak sendiri. 65
Mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan
independen dalam suatu sengketa. Mediator bisa negara, individu, organisasi
internasional, dan lain-lain. Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk
pada suatu aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses
penyelesaian sengketanya berlangsung. Peranannya di sini tidak semata-mata
mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga terlibat dalam
perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan
penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para
pihak.66
4. Konsiliasi (Conciliation)
Menurut J. G. Starke (1991:673), istilah konsiliasi mempunyai suatu arti
yang luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam
metode dimana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negaranegara lain atau badan- badan penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak
berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa
kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan
kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak memiliki
sifat mengikat. Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the
Regulations on the Procedure of International Conciliation yang telah

65

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia
dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal 15
66
Huala Adolf, Op cit, hal 33-34

Universitas Sumatera Utara

56

diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan, sebagai suatu metode dari
penyelesaian sengketa bersifat internasional di dalam suatu komisi yang dibentuk
oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau ad hoc (sementara) berkaitan
dengan proses penyelesaian sengketa. Proses seperti ini berupaya mendamaikan
pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan
penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak mempunyai kekuatan
hukum.67
5. Arbitrase (Arbitration)
Praktik penyelesaian perselisihan melalui pihak ketiga bukan merupakan
hal baru yang muncul bersamaan dengan munculnya pemerintahan-pemerintahan
modern, karena dalam sejarahnya yang panjang model penyelesaian arbitrase
ternyata sudah dipraktikkan oleh bangsa-bangsa yang hidup sejak jaman Yunani
Kuno.68
Aristoteles, misalnya menganggap arbitrase sebagai alternative dari

pengadilan karena keadilan bagi filosof besar ini merupakan sesuatu yang berlaku
lebih dari sekedar hukum tertulis. Sangatlah adil kata Aristoteles memilih
arbitrase dibandingkan pengadilan umum, karena pandangan-pandangan arbiter
selalu bertumpu pada keadilan, sementara hakim hanya terfokus pada hukum.
Alasan menunjuk arbiter dalam penyelesaian perselisihan karena adanya jaminan
dipenuhinya rasa adil bagi para pihak.69

67

Dewa Gede Sudika, Op cit ¸ hal 154
Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Australia , (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007), hal 1
69
Ibid, hal 1-2
68

Universitas Sumatera Utara

57

Di zaman penjajahan Belanda, keberadaan lembaga arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa sudah diperkenalkan melalui Reglement op
de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun
Rechtsreglement Bitengewesten (RBg).. Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg secara

umum menyatakan bahwa apabila orang Indonesia atau orang timur asing
menghendaki persengketaan yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh
juru pisah (wasit) dengan tunduk pada ketentuan pengadilan yang berlaku bagi
orang Eropa.70
Secara singkat arbitrase adalah salah satu pranata penyelesaian sengketa
(disputes) perdata (private) di luar pengadilan (non-litigation) dengan dibantu
oleh seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang bersifat netral yang
diberi kewenangan untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa yang
sedang mereka hadapi. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini didasarkan
pada perjanjian atau klausula arbitrase (arbitration clause), yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak, baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa.71
6. Penyelesaian Menurut Hukum (Judicial Settlement)
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui
suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya
dengan memperlakukan dari suatu kaidah-kaidah hukum. Peradilan yudisial ini
menurut F. Sugeng Istanto juga dapat disamakan dengan suatu peradilan
internasional. Di dalam Peradilan Internasional penyelesaian masalah dilakukan

70

Candra Irawan, Op cit, hal 53
Suleman Batubara dan Orinton Purba, Arbitrase Internasional Penyelesaian Sengketa
Investasi Asing Melalui ICSID, UNCITRAL, dan SIAC , (Jakarta: Raih Asa Perkasa, 2013), hal 8
71

Universitas Sumatera Utara

58

dengan menerapkan ketentuan hukum yang dibentuk secara teratur. Pengadilan
dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad
hoc atau pengadilan khusus. Pengadilan internasional permanen contohnya adalah
Mahkamah Internasional (ICJ). Menurut F. Sugeng Istanto (1998:94), peradilan
internasional berbeda dengan arbitrase internasional yakni ketentuan yang
dijadikan dasar pembuatan keputusan dan sifat acaranya. Peradilan internasional
memutuskan masalah yang diajukan kepadanya pada prinsipnya hanya
berdasarkan pada ketentuan hukum, sedangkan arbitrasi internasional dapat
memutuskan masalah yang diajukan kepadanya dapat berdasarkan ketentuan
hukum ataupun berdasarkan kepantasan dan kebaikan dan di samping itu acara
dalam peradilan internasional yang pada prinsipnya adalah terbuka, sedangkan
arbitrasi internasional adalah tertutup.72

2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Paksa
Bila terjadi sengketa dan ternyata para pihak tidak dapat menyelesaikan
sengketanya secara damai, kadang-kadang salah satu pihak terpaksa mengambil
tindakan sepihak. Tindakan sepihak demikian dilakukan dengan sasaran untuk
mencapai tujuannya dengan menguntungkan pihaknya sendiri. Tindakan tersebut
berupa tindakan paksaan, yang berupa tekanan agar pihak lain merasa terpaksa
menerima kehendaknya.73 Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk
tindakan paksaan, dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu:74

72

Dewa Gede Sudika Mangku, Op cit, hal 151-152
Sri Setianingsih Suwardi, Op cit hal 196
74
Ibid, hal 196-206
73

Universitas Sumatera Utara

59

1. Retorsi
Tindakan kekerasan di sini yang paling lemah, pada hakikatnya ini
merupakan tindakan pembalasan, tindakan yang tak bersahabat dan tindakan
paksaan ini tidak bertentangan dengan hukum internasional publik. Tindakantindakan retorsi ini dapat dimisalkan seperti pemutusan hubungan diplomatic,
pembatasan gerak-gerik perwakilan diplomatik negara lawan, penarikan kembali
exequatur bagi konsul negara lawan, penghapusan hak-hak istimewa warga

negara/ perusahaan milik negara lawan, penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas,
dan penolakan barang impor hasil negara lawan atau kenaikan bea masuk bagi
produk negara lawan. Jika diperhatikan maka retorsi tidak melanggar hukum
internasional. Sebaliknya bila dilihat dari kepentingan negara lawan, maka retorsi
ini melanggar haknya. Ciri khas dari retorsi ini adalah bahwa tindakan
pembalasan tidak bertentangan/melanggar hukum internasional.
2. Tindakan pembalasan (reprisals)
Tindakan pembalasan adalah suatu cara yang dipergunakan oleh suatu
negara untuk membela hak dan kepentingannya, dengan mendapatkan ganti rugi
atau pemulihan hak secara langsung ataupun tidak langsung bagi kerugian yang
dideritanya

karena

tindakan

pihak

lawan

tidak

bersedia

untuk

menyelesaikannya/memperbaiki kesalahannya secara damai. Jika dibandingkan
dengan retorsi maka tindakan pembalasan ini adalah suatu tindakan yang dalam
keadaan normal bertentangan dengan hukum internasional. Atau dapat dikatakan
bahwa tindakan pembalasan ini adalah suatu tindakan melawan hukum yang

Universitas Sumatera Utara

60

dalam keadaan tertentu/khusus dibolehkan oleh hukum internasional. Sedangkan
dalam retorsi maka tindakannya tidak melanggar hukum internasional.
3. Blokade secara damai (pacifil blockade)
Blokade secara damai lazim dipakai untuk memaksakan agar negara pihak
lawan menyetujui permintaan negara yang memblokir. Jika dibandingkan dengan
bentuk tindakan pembalasan maka blokade dengan damai adalah bentuk khusus
dari tindakan pembalasan. Blokade secara damai disebutkan dalam Pasal 42
piagam PBB yaitu sebagai salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Dewan
Keamanan dalam menjalankan tugasnya untuk memulihkan dan mempertahakan
perdamaian dan keamanan nasional.
4. Intervensi (Intervention)
Intervensi sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan sengketa Antara
pihak yang terlibat dalam konflik. Ini merupakan campur tangan pihak ketiga
dalam sengketa Antara para pihak yang terlibat dalam konflik yang bermaksud
untuk menyelesaikan sengketa mereka. Campur tangan pihak ketiga dalam
mencari penyelesaian Antara para pihak yang bersengketa harus dibedakan
dengan campur tangan pihak ketiga dalam sengketa yang berupa good offices,
mediasi atau nasihat-nasihat pihak ketiga dalam usaha mencari penyelesaian
sengketa. Dalam hal tertentu intervensi juga dapat dilakukan pihak ketiga setelah
pecah perang antara para pihak sebagai konsekuensi dari sengketa mereka.
5. Perang dan tindakan bersenjata non perang (war and amed conflict
nonwar )

Universitas Sumatera Utara

61

Perang adalah cara terakhir yang ditempuh pihak yang bersengketa dimana
salah satu pihak memaksakan pihak lain untuk menerima penyelesaian sengketa
yang dikehendakinya. Menurut Oppenheim Lauterpacht, perang adalah suatu
sengketa bersenjata antara dua negara atau lebih yang mempergunakan kekuatan
bersenjatanya dengan maksud mengadu kekuatan masing-masing untuk dapat
mencapai perdamaian setelah mendapatkan kemenangan.
Lain halnya menurut F. Sugeng Istanto, pertikaian bersenjata atau perang
adalah suatu pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan angkatan
bersenjata masing- masing pihak dengan tujuan menundukkan lawan dan
menetapkan persyaratan perdamaian secara sepihak. Sementara itu, menurut J. G.
Starke, keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk dapat menaklukkan negara
lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang
ditaklukkan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.75

C. Sengketa Internasional di Bidang Perdagangan
1. Globalisasi Ekonomi
Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Semangat pencerahan Eropa di
abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan
sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad-18 juga
merupakan pendorong tren globalisasi. Yang membedakannya dengan arus

75

Dewa Gede Sudika Mangku, Op cit, hal 155

Universitas Sumatera Utara

62

globalisasi yang terjadi dua-tiga dekade belakangan ini adalah kecepatan dan
jangkauannya.76
Dalam dua dekade terakhir ini, percepatan proses globalisasi secara
fundamental telah mengubah struktur dan pola hubungan perdagangan dan
keuangan internasional. Hal ini menjadi fenomena penting dan sekaligus
merupakan suatu “era baru” yang ditandai dengan adanya pertumbuhan
perdagangan internasional yang tinggi, semakin besarnya perkembangan pasar
modal internasional, penyebaran investasi secara langsung, dan tingginya
mobilitas pemasukan modal portofolio swasta antara negara-negara maju dan
berkembang. Di samping itu, interaksi berskala global antara perusahaanperusahaan multinasional melalui aliansi eksternal yang semakin beragam
cakupannya, Antara lain seperti: joint venture, sub-contracting, licensing, dan
persekutuan antar perusahaan (inter-firm agreement) lainnya ini menandai pola
baru dari hubungan aktifitas industri internasional (international inter-industrial
linkage). Apabila suatu negara ingin masuk dan menjadi bagian dari jaringan

hubungan global (global relation network) yang efisien dan berdaya saing tinggi
dalam rangka memanfaatkan peluang bagi kepentingan kesejahteraan nasionalnya,
maka negara tersebut harus memenuhi tuntutan liberalisasi dan reformasi di
bidang ekonomi dan keuangan. Dalam lingkungan bisnis internasional yang
tercipta melalui perkembangan globalisasi ini, negara yang ingin terlibat langsung
di dalamnya perlu memperhatikan dan mengantisipasi dua hal pokok. Pertama ,

76

Mari Pangestu, Sjahrir, dan Ari A. Perdana (ed), Indonesia dan Tantangan Ekonomi
Global, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2003), hal x pada bagian kata
pengantar

Universitas Sumatera Utara

63

tingginya tingkat ketergantungan antar negara-negara, dan kedua , semakin
tajamnya persaingan di pasar dunia.77
Fenomena ekonomi dunia yang ada sekarang ini membuat banyak negara,
termasuk Indonesia, dituntut untuk mengikuti kecenderungan arus globalisasi
yang mengarah pada penduniaan dalam arti “peringkasan” atau “perapatan” dunia
( compression of the world ) di bidang ekonomi. Seiring dengan itu, globalisasi
ekonomi yang akhir-akhir ini semakin dikembangkan pula oleh prinsip liberalisasi
perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade ) lainnya
telah mempengaruhi hukum setiap negara, terutama pada negara-negara yang
terlibat dalam perdagangan bebas tersebut. Boleh dikatakan bahwa arus
globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang terjadi sekarang ini sangat sulit
untuk ditolak kehadirannya dan harus diikuti mengingat kepentingan ekonomi
negara masing-masing. Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut
berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional.78

2. Pengertian Perdagangan Internasional dan Sengketa Internasional di
Bidang Perdagangan
Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antarnegara, atau
disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham atau teori yang
dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations”.79 Ahli
ekonomi Inggris tersebut adalah perintis ekonomi modern dan juga seorang

77

Bismar Nasution, Op-Cit, hal 1
Ibid, hal 28
79
Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional , (Jakarta: Rajawali Pers, 2011,
78

hal 4

Universitas Sumatera Utara

64

pendukung pasar bebas dan perdagangan bebas. Argumentasinya adalah
perdagangan bebas memungkinkan setiap negara untuk mengambil keuntungan
dari keuntungan komparatif yang dimilikinya. Keuntungan akan dirasakan oleh
setiap negara karena masing-masing memiliki spesialisasi di bidang yang
dianggap paling unggul. Wilayah perdagangan bebas yang lebih luas
memungkinkan perusahaan dan individu untuk lebih terspesialisasi dan menjadi
semakin baik lagi.80
Istilah perdagangan Internasional (International Trade) atau disebut
dengan perdagangan antar bangsa, pertama kali dikenal di Benua Eropa yang
kemudian berkembang di Asia dan Afrika. Menurut Sumantoro, pengertian
perdagangan internasional adalah: the exchange of goods and services between
nations dan selanjutnya “as used, it generally refers to the total goods and
services exchanges among all nations”, intinya mengandung pengertian

pertukaran seluruh barang dan jasa antara semua negara/bangsa. Jadi istilah
“perdagangan internasional” sebenarnya adalah kegiatan pertukaran barang, jasa,
dan modal antarpenduduk suatu negara dengan penduduk negara lain. Sementara
itu, M. Rafiqul Islam mengemukakan bahwa perdagangan internasional adalah
“…a wide ranging, transnational, commercial, exchange of goods and services
between individual business persons, trading bodies and states ”. Berdasarkan

definisi tersebut, bahwa hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan
internasional. Keterkaitan ini tampak karena hubungan-hubungan keuangan ini

80

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work [Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia
yang Lebih Adil], diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi, (Bandung, PT Mizan Pustaka, 2007), hal
128

Universitas Sumatera Utara

65

mendampingi transaksi keuangan antara para pedagang (dengan pengecualian
transaksi barter atau counter-trade).81
Dari pengertian-pengertian perdagangan internasional di atas, dapat
dikatakan bahwa perdagangan internasional tidak berbeda dengan pertukaran
barang antar dua orang di suatu negara, perbedaannya adalah bahwa perdagangan
internasional orang yang satu kebetulan berada di negara yang berbeda. Dengan
demikian, perdagangan internasional merupakan perdagangan dari suatu negara ke
lain negara di luar perbatasan negara yang meliputi dua kegiatan pokok. Di dalam
melakukan kegiatan perdagangan internasional, para pelaku bisnis mengacu
kepada kaidah-kaidah hukum yang bersifat internasional, baik ketentuan hukum
perdata internasional (private international law) maupun ketentuan hukum public
internasional (public international law). Kaidah hukum internasional yang
mengatur masalah perdagangan internasional yang disebut dengan “hukum
perdagangan internasional”, adalah kaidah hukum internasional yang mengatur
tentang pertukaran barang, jasa maupun modal antar penduduk dari suatu negara
dengan negara lainnya, atau yang terjadi antar dua atau lebih warga atau penduduk
(subjek hukum) yang berbeda negara.82
Beberapa sarjana telah memberikan definisi tentang hukum perdagangan
internasional sebagaimana dikemukakan oleh Huala Adolf. Salah satunya adalah
Schmitthoff.

Schmitthoff

mengemukakan

bahwa

hukum

perdagangan

internasional sebagai: “…the body of rules governing commercial relationship of
private law nature involving different nations”. Definisi tersebut menunjukkan
81
82

Muhammad Sood, Op cit, hal 17-19
Ibid, hal 18

Universitas Sumatera Utara

66

dengan jelas bahwa aturan-aturan ini bersifat komersial, dan termasuk dalam
bidang hukum privat (private law); atau ruang lingkup bidang hukum
perdagangan internasional tidak termasuk aturan dalam hubungan hukum
komersial internasional yang merupakan bidang hukum publik (public
international trade law). Dengan kata lain Schmitthoff menegaskan bahwa

wilayah hukum perdagangan internasional publik yang mengatur hubungan
internasional, misalnya yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT,
atau mengatur blok-blok perdagangan regional.83
Hukum perdagangan internasional terdiri dari beberapa perjanjian
perdagangan

yang

bersifat

bilateral,

regional

dan

perjanjian-perjanjian

perdagangan yang bersifat multilateral. Perjanjian multilateral yang paling penting
dan paling besar dari semua perjanjian perdagangan multilateral adalah perjanjian
Marrakesh mengenai pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang dibentuk
pada tanggal 15 April 1994. Perjanjian perdagangan yang multilateral ini
merupakan hukum dari perjanjian dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).84
Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa
hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang
dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat
dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap
didahului oleh penyelesaian oleh negosiasi. Jika cara penyelesaian ini gagal atau
tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui
pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun
83
84

Ibid, hal 19
An An Chandrawulan, Op cit, hal 121

Universitas Sumatera Utara

67

ke arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak.
Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau
memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau
perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.85
Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan
menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut
diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat
pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya
kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi alasan yang kuat bagi setiap
forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu
sengketa.86
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak dapat pula
menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang
lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS (Alternatif
Penyelesaian Sengketa). Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif
di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif penyelesaian sengketa yang
para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan.
Biasanya pula dalam klausul tersebut dimasukkan atau dinyatakan pula hukum
yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa.87

85

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op cit , hal 191-192
Ibid, hal 192
87
Ibid, hal 193
86

Universitas Sumatera Utara

68

3. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional di Bidang
Perdagangan
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan prinsipprinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional, yaitu sebagai
berikut:88
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi
dasar untuk dilaksanakan atau setidaknya suatu proses penyelesaian sengketa.
Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa
yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi, prinsip ini sangat esensial. Badan-badan
peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting kedua adalah prinsip di mana para pihak memiliki
kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana
sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini termuat
antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase,

yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini,
penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian
para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah
berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

88

Ibid, hal 196-198

Universitas Sumatera Utara

69

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya
diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa.
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk
memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Prinsip yang terakhir ini
adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsipprinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa.
4. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)
Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap.
Pertama , prinsip iktikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa

yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara. Kedua ,
prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya
melalui

cara-cara

penyelesaian

sengketa

yang

dikenal

dalam

hukum

(perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum
kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai
prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commision)

Universitas Sumatera Utara

70

memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam Pasal 22 mengenai ILC Draft
Articles on State Responsibility. Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan

internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke
pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia
atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh
(exhausted).

D. Bentuk-Bentuk

Penyelesaian

Sengketa

Internasional

di

Bidang

Perdagangan
Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional
pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian
sengketa (internasional) pada umumnya. Forum tersebut adalah negosiasi,
penyelidikan fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian
melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa
lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.89 Namun, penyelidikan fakta
(inquiry), penyelesaian melalui hukum dan cara-cara lainnya yang para pihak
sepakati tidak termasuk dalam bahasan.

1. Negosiasi dan Konsultasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung
oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa.
Cara ini sangat praktis dan efektif. Hal ini disebabkan karena cara penyelesaian

89

Ibid, hal 200-201

Universitas Sumatera Utara

71

dengan negosiasi ini para pihak dapat langsung berhubungan dan saling
memberikan pengertian tentang apa yang dikehendaki, oleh karenanya kedua
belah pihak dapat bertindak dengan bijaksana untuk menyelesaikan sengketa yang
mereka hadapi. Dalam hal para pihak telah sepakat untuk mengadakan
penyesuaian tentang fakta-fakta yang menjadi sengketa maka kedua pihak akan
mudah mencapai kesepakatan. Negosiasi adalah suatu teknik penyelesaian
sengketa secara damai yang penting, karena negosiasi adalah suatu usaha untuk
mencegah timbulnya sengketa yang lebih serius. Di mana telah diakui bahwa
pencegahan adal

Dokumen yang terkait

Peran Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Gugatan Perdagangan Rokok Indonesia Terhadap Australia Melalui World Trade Organization)

4 40 0

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

10 128 151

Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kerangka GATT Dan WTO

9 48 135

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 9

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 0 2

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 1 28

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

0 2 4

Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kerangka GATT Dan WTO

0 0 8

AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION

0 0 11

Implementasi Pasal XX (b) dan (g) General Agreement on Tariffs and Trade dalam Penyelesaian Sengketa di World Trade Organisation

0 0 19