Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kerangka GATT Dan WTO

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional : Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar, Bandung : Rajawali Pers, 2004

__________, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006,

Alfonso, Antony. Japanese Language Patterns. Tokyo : Shopia University Centre of Aplied Linguistics, 1989

Apridar, Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan dalam Aplikasinya, Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu, 2009

Arikunto, Suharsimi, Prsedur Penelitian suatu pendekatan Praktik, Penerbit Rineka Cipta, Edisi revisi VI, Jakarta, 2006

Bain, H. Gofar, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, Jakarta: Djambatan, 2001

Barutu, Christhophorus, Seni Bersengketa di WTO, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015

Fuady, Munir, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Jakarta : PT. Citra Aditya Bhakti, 2004

Hata. Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO-Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2006

___, Hukum Internasional : Sejarah dan Perkembangan Hingga pasca Peran Dingin, Malang : Setara Press, 2012

Hoof, G.J. H. Van, Pemikiran Kembali Sumber-sumber Hukum Internasional, Terjemahan Hata, Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2000

Istanto, Sugeng F., Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1998

Kartadjoemena, H.S. GATT dan WTO- Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI Press, 2002


(2)

Kusumaatmadja, Mochtar. Perjanjian WTO Mengenai Perdagangan Internasional Jasa (GATS) Dilihat dari Prespektif Negara Berkembang, Seminar Aspek Hukum Perdagangan Jasa Menurut WTO dan Komitmen Indonesia di Bidang Finansial, Institut Bankir Indonesia.

Mangku, Dewa Gede Sudika, Suatu kajian umum tentang Penyelesaian Sengketa Internasional termasuk di dalam tubuh ASEAN, Jurnal Perpektif Volume XVII No. 3 Tahun 2012

Oktavian, Alif, Analisis Tentang Menangnya Kasus Rokok Kretek Indonesia Oleh WTO, Jurnal Online Westphalia, Vol.11,NO.2 ISSN 0853-2265

Putra, Hilton Tarnama dan Eka An Aqimuddin, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Di Asean, Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu, 2011

Rakhmawati, Rosyidah, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2003

Santiago, Faisal, Pengantar Hukum Bisnis, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta, 2012

Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, 2016

Sinaga, Thor B., Efektifitas peran dan fungsi WTO (world trade organization) dalam penyelesaian sengketa perdagangan Internasional, Jurnal Hukum Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/201

Sood, Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2004

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional 2, Terjemahaan dari Bambang Iriana Djajaatmadja dari Inroduction to International Law. Jakarta : Sinar Grafika. 2004

___________, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh, Buku 1), Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Suherman, Ade Maman, Hukum Perdagangan Internasional : Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Penerbit Sinar Grafika, 2014


(3)

Syahman, Hukum Dagang Internasional, Raja Grafindo, Jakarta, 2006

Triyana, Y., Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Catatan Kuliah Pascasarjana Hukum Bisnis, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009 Utama, Meria, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta : PT Fikahati Aneska, 2012 Wijayanti, Asri & Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Lubuk

Agung, Bandung, 2011

Yohanes, Triyana, Hukum Ekonomi Internasional, Yogyakarta : Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2015

Yulianingsih, Wiwin dan Moch Firdaus Sholihin, Hukum Organisasi Internasional, Yogyakarta : ANDI, 2014

II. Internet

Arwan Arsyad, Perkembangan GATT, melalui

Baradina Alhafizh, Memahami Penyelesaian Sengketa WTO, melalui

Bimo Adi, prosedur penyelesaian sengketa dalam Kerangka WTO/GATT, melalui

Desi Septiana, Penyelesaian Sengketa Pada Organisasi Internasional Regional Di Amerika (OAS), melalui

https://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto/html, diakses tanggal 6 April 2016

tanggal 9 April 2016


(4)

diakses tanggal 10 April 2016

J.G. Merrills dalam Pamungkas Dukusiam, Dasar Hukum, Peran dan Ruang Lingkup Penyelesaian Sengketa di Organisasi Internasional Regional, melalui http://khafidsociality. blogspot.co.id/2011/06/dasar-hukum-peran-dan-ruang-lingkup.html, diakses tanggal 4 April 2016

Karim, European Union Hukum Organisasi Internasional, melalui organisasi.html, diakses tanggal 6 April 2016

Lesza Leonardo, Penyelesaian sengketa dalam kerangka WTO, melalui

Masdyn, Makalah Hukum Internasional tentang Perdagangan Jasa, melalui

Muhammad Numansyah, Organisasi Regional dan Internasional, melalui nurmansah.blogspot.co.id/2012/11/organisasi-regional-dan-organisasi.html, diakses tanggal 6 April 2016

Nurlaili, Uni Eropa : Manifestasi Integrasi Eropa, melalui


(5)

BAB III

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) DAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

A. Tujuan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional

World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia merupakan satu-satunya internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral World Trade Organization (WTO) diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditandatangani oleh Negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antarnegara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-masing. Sebagai satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara, World Trade Organization (WTO) merupakan sebuah pintu gerbang bagi suatu Negara untuk memperluas akses pasarnya. Indonesia merupakan salah satu Negara pendiri World Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui UU Nomor 7 Tahun 1994.102

Dalam banyak hal mekanisme penyelesaian sengketa telah membuat perbaikan-perbaikan yang sifatnya lebih mengikat diantaranya pertama, sebagai salah satu norma dasar terpenting dalam memulihkan kerugian akibat pelanggaran

102


(6)

atau perjanjian terkait, diharuskan mengacu pada dan mematuhi aturan-aturan dan posedur dari Understanding ini (they shall have recourse to, and abide by the rules and procedures of this understanding). Selanjutnya dinyatakan bahwa mereka tidak boleh menentukan telah terjadinya pelanggaran atau bahwa keuntungan telah dihilangkan atau tidak dibayar (nullified or unpaid). Selama berfungsinya DSU sejak tahun 1995 sampai dengan bulai Mei 2011 tercatat di Sekretariat World Trade Organization (WTO) sudah terdapat lebih dari 400 pengaduan perselisihan anggota terhadap satu sama lain. Jumlah ini berarti beberapa kali lipat yang diterima General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1947 selama hampir lima puluh tahun eksistensinya. Dari satu sisi hal ini mencerminkan perkembangan positif karena mencerminkan kepercayaan yang lebih dari para anggota World Trade Organization (WTO) terhadap system penyelesaian sengketa yang baru. Apalagi jika dilihat fakta bahwa pihak yang bersengketa tidak hanya Negara-negara maju, tetapi Negara-negara berkembang mulai mengadukan Negara maju atau sesame Negara berkembang. Namun masih menjadi pertanyaan apakah bertambahnya jumlah kasus perselisihan dagang yang diajukan ke World Trade Organization (WTO) mencerminkan efektivitas sistem penyelesaian sengketa World Trade Organization (WTO) atau hanya karena persoalan yang diaturnya bertambah banyak.103

Satu hal yang tidak bisa dibantahkan adalah bahwa lembaga penyelesaian sengketa World Trade Organization (WTO) telah menghasilkan keputusan-keputusan yang telah memperkaya hukum General Agreement on Tariff and

103


(7)

Trade (GATT) dengan puluhan ribu halaman yurisprudensi. Ini merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi para ahli hukum terlebih lagi bagi Negara berkembang yang miskin SDM di bidang ini. Ini berarti dalam memahami aturan-aturan World Trade Organization (WTO) tidak cukup dengan membaca dan memahami kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah dicapai wakil-wakil pemerintah dalam putaran-putaran perundingan akan tetapi juga yurisprudensi ini.104

Pada prinsipnya mekanisme penyelesaian sengketa World Trade Organization (WTO) mengedepankan win-win solution dengan menyerahkan pemecahan masalah kepada Negara-negara anggota yang bersengketa. Ini dibuktikan dengan adanya mekanisme konsultasi terlebih dahulu yang harus dilalui sebelum melangkah ke mekanisme panel yang merupakan real battle. Sebelum suatu sengketa perdagangan dibawa ke forum DSB dengan menggunakan aturan DSU dalam praktik sering sekali Negara anggota yang merasa kepentingan perdagangannya terganggu akibat diterapkannya suatu kebijakan oleh suatu Negara anggota lainnya, menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan dimaksud ke forum sidang-sidang regular di markas World Trade Organization (WTO) di Jenewa Swiss. Keberatan dimaksud diajukan secara terbuka dalam siding regular World Trade Organization (WTO) dan tujukan kepada Negara anggota yang dianggap merugikan kepentingan perdagangannya dengan menyebutkan alasan keberatannya dan Negara anggota

104


(8)

yang menerapkan dimaksud kewajiban melakukana klasifikasi atas kebijakan tersebut.105

105

Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 31

Keahlian di bidang hukum dan perdagangan internasional merupakan syarat utama, selanjutnya pengetahuan tentang materi-materi yang diatur perjanjian World Trade Organization (WTO). Tugas Dispute Settlement Body (DSB) tidak selesai dengan memberikan rekomendasi atau putusan akan tetapi sampai pada pengawasan implementasi putusan atau rekomendasinya. Jika laporan DSB menyebutkan bahwa tindak yang dikeluhkan adalah bertentangan dengan General Agreement atau salah satu perjanjian terkait, maka rekomendasi yang diberikan biasanya adalah meminta Negara yang bersangkutan untuk menyesuaikan kembali tindakannya dengan perjanjian yang relevan. Sebagaimana dilakukan pada masa General Agreement on Tariff and Trade (GATT) penyelesaian sengketa yang disukai adalah menghentikan secara berangsur-angsur tindakan yang dikeluhkan pihak lain, bukan lewat retaliasi atau ganti rugi. Namun prosedur penyelesaian sengketa World Trade Organization (WTO) melangkah lebih maju. Dalam tempo tiga puluh hari sejak diterimanya laporan panel, anggota yang bersangkutan akan diberi waktu yang pantas untuk melakukannya.akan tetapi berbeda dengan system GATT, dalam sistem World Trade Organization (WTO) waktu yang pantas tersebut tidak dilakukan sendiri tetapi harus disetujui DSB, atau setujui para pihak dalam tempo empat puluh lima hari arbitrase yang mengikat. Ketentua-ketentuan ini engan jelas telah menutup atau celah-celah bagi Negara.


(9)

Mekanisme penyelesaian sengketa ke dalam dua kategori;

a. Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.

b. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.106

Tujuan dari mekanisme penyelesaian sengketa internasional adalah menguatkan solusi yang positif terhadap sengketa. Tahap pertama adalah konsultasi, tahap kedua panel, tahap ketiga Appellate Body (badan banding) dan tahap keempat Implementasi rekomendasi. Berikut ini dapat dijelaskan berbagai tahap yaitu :

1. Konsultasi

Konsultasi merupakan proses yang pertama (awal) dari rangkaian mekanisme penyelesaian sengketa World Trade Organization (WTO) secara formal. Pada praktiknya bentuk konsultasi ini dilakukan berupa pertemuan fisik antara delegasi penggugat dan tergugat dan dapat dihadiri oleh pihak-pihak ketiga (third parties) yang memiliki kepentingan (having a substantial interest). Article 4 DSU tidak mengatur secara jelas penentuan tempat diadakannya konsultasi. Pada praktiknya tempat konsultasi ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak penggugat dengan pihak tergugat (dapat dilaksanakan di Negara penggugat atau Negara tergugat). Namun, pada

106

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Terjemahaan dari Bambang Iriana Djajaatmadja dari Inroduction to International Law. Jakarta : Sinar Grafika. 2004, hal 646


(10)

umumnya sering kali tempat konsultasi diadakan di Kota Jenewa dengan pertimbangan bahwa Kota Jenewa merupakan tempat yang netral.107

Ketentuan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) mengenai penyelesaian senegketa ini pertama-tama menekankan pentingnya konsultasi (negosiasi) di antara para pihak yang bersengketa. Konsultasi tersebut bisa berupa perundingan informal maupun formal, seperti melalui saluran diplomatik.108

Dalam proses konsumtasi sering terjadi konsultasi dilakukan melebihi waktu 30 hari setelah tanggal penerimaan permintaan konsultasi. Hal ini dibenarkan asal waktu tersebut ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa. Dispute Settlement Understanding tidak mengatur secara detail bagaimana konsultasi dilaksanakan, tata cara konsultasi diserahkan kepada kedua belah pihak. Pada praktiknya setelah tanggal dan tempat konsultasi disepakati kedua belah pihak, sebelum konsultasi dilaksanakan. Maka terlebih dahulu meminta menyampaikan pertanyaan secara tertulis terkiat substansi konsultasi. Pada tahap konsultasi ini, pihak-pihak bersengketa dapat menggunakan prosedur jasa-jasa baik, konsiliasi dan mediasi untuk melestarikan sengketa sejauh hal tersebut disepakati bersama. Prosedur jasa-jasa baik, konsiliasi dan mediasi dilaksanakan dalam waktu 60 hari setelah tanggal penerimaan permintaan untuk melakukan konsultasi.

109

Ada perkembangan dan pengaturan baru mengenai hal ini, pertama, diterimanya suatu prinsip yang dikenal dengan nama “otomatisitas”

107 Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 34 108

Huala Adolf, Op.Cit, hal 143

109


(11)

(automaticity). Dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang lalu, suatu prosedur penyelesaian sengketa baru dapat maju ke tingkat yang lebih tinggi manakala ada persetujuan dari seluruh anggota General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Hal ini berarti, suatu Negara yang terlibat dalam suatu sengketa, lalu ia tidak setuju sengketanya diselesaikan lebih lanjut dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT), memiliki kekuasaan untuk memberhentikan suatu produk penylesaian sengketa.110

2. Panel

Panel adalah dewan ad hoc yang dibentuk dengan tujuan untuk menimbang dan memutuskan suatu sengketa tertentu dan dibubarkan ketika mereka telah menyelesaikan tugasnya. Permintaan pembentukan panel dapat diagendakan dalam awal siding DSB. Dalam awal siding DSB ini, dapat menghalangi (blocking) terbentuknya panel. Namun siding DSB berikutnya apabila mengajukan permintaan pembentukan panel untuk kedua kalinya tidak bisa melakukan blocking dan panel otomatis terbentuk. Kecuali DSB memutuskan secara consensus untuk tidak membentuk panel. Permintaan pembentukan panel wajib dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan apakah konsultasi telah dilakukan, mengidentifikasi tindakan-tindakan spesifik terkait isu di maksud dan menyusun ringkasan dasar hokum yang menjadi dasar keberatan untuk menjelaskan persoalan.111

110

Huala Adolf, Op.Cit, hal 143

111

Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 38


(12)

Pembentukan suatu panel dianggap sebagai upaya terakhir dan sifatnya otomatis dalam mekanisme penyelesaian sengketa menurut World Trade Organization (WTO). Perjanjian World Trade Organization (WTO) menyatakan bahwa DSB, dalam hal ini fungsi badan etrsebut dilaksanakan oleh the WTO General Council, harus mendirikan suatu panel dalam jangka waktu 30 hari setelah adanya permohonan, kecuali ada konsesus para pihak untuk membatalkannya. Permohonan untuk pembentukan panel dibuat secara tertulis.112

Panel harus menggunakan TOR terhadap suatu sengketa kecuali Negara penggugat tidak setuju dapat mengajukan bersamaan perbentukan panel (tetapi jarang terjadi). Tugas panel melakukan penilaian secara objektif terhadap pokok masalahan yang diajukan termasuk penilaian objektif terhadap fakta-fakta serta penerapan dan kesesuaiannya dengan ketentuan perjanjian dalam World Trade Organization (WTO) yang relevan. 113

Pada praktiknya penentuan komposisi panel sering harus melalui perdebatan yang panjang dan sangat sulit dilakukana untuk menentukan posisi panel dapat menempuh waktu sampai berminggu-minggu.

114

112 Huala Adolf, Op.Cit, hal 145 113

Ade Maman Suherman, Op.Cit, hal 61

114

Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 40

Setelah panel terbentuk oleh DSB kemudian dipilih 3 (tiga) orang penelis dari sejumlah nama yang dinominasikan oleh secretariat World Trade Organization (WTO). Jika dalam waktu 20 hari etrjadi kebuntuan dalam penentuan penelis, maka masing-masing pihak dapat meminta ke World Trade Organization (WTO) untuk menunjuk penelis dan harus di;lakukan dalamw aktu 10 hari sejak


(13)

permohonan tersebut.115 Apabila dalam hal sengketa yang terjadi antara suatu Negara berkembang melawan suatu Negara maju, jika Negara berkembang tersebut meminta memasukkan setidaknya satu orang panelis yang berasal dari suatu Negara berkembang lainnya, World Trade Organization (WTO) harus mengkomodasi permintaan dimaksud.116

Pasal 8 ayat (10) DSU mengatur komposisi panel manakalah satu pihak adalah Negara yang sedang berkembang. Pasal ini menyatakan bahwa manakalah suatu pihak yang bersengketa adalah Negara yang sedang berkembang maka Negara tersebut dapat memohon agar sedikitnya satu orang penelis berasal dari Negara sedang berkembang. Ketentuan pasal tersebut agak mencerminkan semangat hukum penyelesaian sengketa yang mensyaratkan kenetralan dan ketidakberpihakan hakim (panel). Dalam arti, hakim (panel) bertugas menegakkan hokum, tanpa melihat siapa pihak yang bersengketa. Ketentuan pasal ini tampaknya dapat dimaklumi dengan melihat sejarah penyelesaian sengketa yang umumnya didominasi perkara dari Negara maju. Perjanjian World Trade Organization (WTO) menyatakan bahwa suatu laporan panel harus segera disahkan oleh DSB dalam jangka waktu 60 hari sejak dikeluarkannya laporan hasil pemeriksaan sengketa.117

Hasil pekerjaan dan temuan panel dirumuskan dan dilaporkan secara tertulis (Pasal 12 ayat (7). Laporan tersebut harus mencatumkan hasil penemuan panel yang menyangkut pokok sengketa, penetapan hukum etrhadap pokok sengketa dan alas an bagi penemuan dan rekomendasi panel.

115 Ade Maman Suherman, Op.Cit, hal 61 116

Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 41

117


(14)

Para pihak masih di mungkinkan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketanya secara damai, meskipun proses panel tengah berlangsung. Manakala hal tersebut terjadi, panel tetap harus menyerahkan laporan yang di dalamnya mencantumkan gambaran singkat mengenai sengketa dan pernyataan bahwa suatu putusan telah dicapai di antara para pihak.

3. Appellate Body (badan banding)

Jika ada suatu keberatan pada laporan panel, pihak-pihak yang bersenketa dapat meminta Appellate Body (badan banding) untuk memeriksa kesesuaian interprestasi hukum yang digunakan oleh panel (Article 17 ayat 4 DSU). Dengan kata lain, banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti baru yang muncul, tetapi focus pada pemeriksaan terhadap kesesuaian interprestasi hokum yang dilakukan panel. Keputusan banding dapat menegakkan (uphold), mengubah (modifly), atau memutarbalikan (reverse) temuan-temuan dan putusan ari panel.

Pemeriksaan kasus di tingkat banding dilakukan oleh Appellate body (Badan Banding). Appellate Body adalah suatu kelompok yang terdiri dari tujuh orang yang diakui otoritasnya yang ditunjukkan dengan keahliannya di bidang hokum, perdagangan internasional, dan masalah yang mencakup perjanjian-perjanjian World Trade Organization (WTO) pada umumnya. Keanggotaan Appellate Body pada umumnya berasal dari perwakilan keanggotaan di World Trade Organization (WTO).118

118


(15)

Proses pemeriksaan banding tidak boleh lebih dari 60 hari, sejak para pihak memberitahukan secara formal keinginannya untuk banding (Pasal 17 ayat (5)). Namun, apabila Badan Banding (Appellate Body) tidak dapat memenuhi batas waktu tersebut maka ia dapat memperpanjang hingga maksimum 90 hari. Untuk itu, ia harus memberitahukan kepada DSB secara tertulis beserta alasan perpanjangan kapan laporan akan diberikan. Hasil proses pemeriksaan dilaporkan dan disahkan oleh DSB. Namun laporan dan pengesahan keputusan badan banding ini masih tetap dapat dicegah apabila para pihak sepakat untuk tidak dilakukannya pengesahan tersebut.119

Pihak-pihak ketiga tidak dapat mengajukan banding terhadap panel report. Namun, pihak-pihak ketiga yang merupakan pihak-pihak ketiga pada tahapan panel dapat pula serta dalam banding yang dinamakan “third participant. Article 17.4 DSU mengatur bahwa pihak-pihak ketiga dapat mengajukan submisi tertulis dan diberikan kesempatan untuk didengar oleh Appellate Body. Setelah pengajuan pemberitahuan banding, Appellate Body memperlihatkan timetable yang ditetapkan dalam prosedur kerjanya. Appellate Body biaanya mengambil inisiatif dalam menyampaikan pertanyaan dan pihak yang bersengketa tidak diperbolehkan untuk menyampaikan pertanyaan ke pihak lainnya. Pada umumnya setelah sesi tanya jawab, pihak-pihak yang bersengketa dan third party participants diberi kesempatan untuk menyampaikan statements lisan lagi pada akhir siding. Setelah sidang

119


(16)

berakhir, Appellate Body menyirkulasikan laporannya ke anggota-anggota dalam waktu 60 hari setelah pengajuan pemberitahuan banding.120

4. Implementasi rekomendasi

Tahap akhir dari proses ini pelaksanaan rekomendasi. Hasil tersebut diserahkan langsung para pihak dan mereka diberi waktu 30 hari untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Jika jangka waktu itu dirasakan tidak mungkin maka para pihak masih diberi waktu yang layak untuk dapat melaksanakannya. Untuk memastikan agar pihak yang dikalahkan melaksanakan rekomendasi DSB, maka DSB akan terus mengawasi pelaksanaan rekomendasi. Apabila para pihak, khususnya pihak yang terkena kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, ternyata gagal melaksanakan maka pihak lainnya dapat meminta wewenang kepada DSB untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban-kewajiban lainnya terhadap pihak lainnya terhadap pihak lainnya itu.121

Compliance review atau peninjaian kembali kesesuaian diatur dalam Article 21 ayat 5 DSU. Sering sekali terjadi adanya perbedaan pendapat antara anggota yang diwajikan melaksanakan implementasi dengan anggota yang telah memenangkan sengketa terkait apakah anggota yang diwajibkan melaksanakan implementasi tersebut telah melaksanakan implementasi dimaksud. Dalam beberapa kasus, anggota yang diwajibkan melaksanakan implementasi mengklaim telah melaksanakan implementasi sesuai rekomendasi dan putusan. Akan tetapi, anggota lainnya (dalam kasus terkait)

120

Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 52

121


(17)

menganggap bahwa implementasi belum dilaksanakan secara penuhatau tidak sama sekali dilaksanakan.122

B. Peran dan Fungsi GATT dan WTO dalam Menyelesaikan Sengketa Perdagangan Internasional

Dalam rumusan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Penyelesaian sengketa perdagangan antar negara di Pasal XII mengenai konsultasi dan Pasal XXIII yang menjelaskan mengenai kapan prosedur penyelesaian sengkta dapat digunakan, tujuannya jelas yaitu dalam rangka realisasi tujuan-tujuan General Agreement on Tariff and Trade (GATT), melindungi keuntungan yang berasal dari perjanjian dan untuk penyelesaian sengketa itu sendiri. Namun, untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut terjadi kebingungan pada negara-negara anggota mengenai prosedur penyelesaian sengketa dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tidak memiliki kesatuan prsedur penyelesaian sengketa melainkan terbentuk dalam mekanisme yang terpecah-pecah.123

Banyaknya prosedur yang mengatur penyelesaian senketa dalam General

Agreement on Tariff and Trade (GATT) memberi gambaran bahwa prosedur penyelesaian sengketa merupakan salah satu elemen yang samar. Hal tersebut berakibat pada proses penyelesaian sengketa yang memakan waktu panjang yang dikarenakan pihak yang bersengketa dapat menunda-nunda proses penyelidikan oleh panel atau sengaja mengulur-ulur waktu dalam pemeriksaan perkara jika merasa akan dirugikan oleh putusan. Selain itu kurang efektifnya sanksi menjadi sebuah

122

Christhophorus Barutu, Op.Cit, hal 55

123


(18)

permasalahan yang serius dalam Proses akhir penyelesaian sengketa dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Untuk menutupi kelemahan-kelemahan tersebut maka prosedur penyelesaian sengeketa terus mengalami penyempurnaan-penyempurnaan dalam perundingan-perundingan pada Putaran Kennedy, Putaran Tokyo dan mencapai puncaknya pada Putaran Uruguay.

Upaya penyelesaian sengketa para pihak tidak diperkenankan menutup diri dengan menolak permintaan konsultasi dari anggota yang merasa dirugikan atau tidak turut serta berpartisipasi dalam menyelesaikan sengkta perdagangan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam DSU sistem penyelesaian sengketa dalam WTO dibagi dalam beberapa bagian yaitu didahului oleh Konsultasi (Consultations), penilaian perkara oleh panel (a phanel phase) dan Peninjauan kembali atas putusan panel melalui Badan Banding (Appellate Body Riview). Dalam rangka menjalankan sistem penyelesaian sengketa baik berupa peraturan maupun prosedur, dalam World Trade Organization (WTO) terdapat sebuah Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang merupakan personifikasi dari Dewan Umum (General Council). Badan ini diberi wewenang untuk membentuk panel, menerima laporan dari panel dan Badan Banding, melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan dan rekomendasi. Selain itu DSB mempunya kewenangan untuk memberi ijin bagi pihak yang menang untuk melakukan tindakan retilasi yang diberikan pada pihak yang kalah dalam sengketa namun tidak melaksanakan putusan atau rekomendasi.124

Terbentuknya World Trade Organization (WTO) sebagai suatu organisasi perdagangan multilateral, peranannya akan lebih meningkat daripada General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yaitu:

124

Faisal Salam. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Press. 2011. HAL. 458-459


(19)

a. Mengadministrasikan berbagai persetujuan yang dihasilkan putaran Uruguay di bidang barang dan jasa, baik multilateral maupun plurilateral, serta mengawasi pelaksanaan komitmen akses pasar di bidang tariff maupun non tariff.

b. Mengawasi praktik-praktik perdagangan internasional dengan cara regular meninjau kebijaksanaan perdagangan negara anggotanya dan melalui prosedur notifikasi.

c. Sebagai forum dalam penyelesaian sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.

d. Menyediakan bantuan teknis yang diperlukan bagi anggotanya, termasuk bagi negara-negara berkembang dalam melaksanakan hasil putaran Uruguay.

e. Sebagai forum anggota negaranya untuk terus-menerus melakukan perundingan pertukaran konsesi di bidang perdagangan guna mengurangi hambatan perdagangan dunia.125

Persetujuan umum tariff dan perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) merpukan suatu perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948 dimana tujuan pokoknya adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesehjatraan umat manusia. Dengan adanya kesepakatan putaran Uruguay pada tahun1994 di Marrkesh Maroko, dimulailah babak baru dalam hubungan perdagangan internasional, dengan demikian, diharapkan perdagangan dunia yang bebas, adil, dan terbuka dapat dicapai.

Mengenai fungsi World Trade Organization (WTO) dapat dilihat dalam Article III WTO, yaitu:

a. mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut,

b. sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri,

125


(20)

c. mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan;

d. mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan

e. menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi.

Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. World Trade Organization (WTO) juga akan melakukan peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara anggota dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, World Trade Organization (WTO) memiliki alat untuk memaksa negara-neara anggota untuk mengikuti ketentuan-ketentuannya. Dengan fungsi-fungsi yang dipunyai World Trade Organization (WTO) tersebut, menjadikan World Trade Organization (WTO) sekaligus sebagai forum bagi perundingan-perundingan selanjutnya di masa mendatang dalam perjanjian multilateral.126

Di dalam fungsi World Trade Organization (WTO) yang terpenting adalah melancarkan pelaksanaanya, pengadministrasiannya, serta lebih meningkatkan

126

https://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto/html, diakses tanggal 6 April 2016


(21)

tujuan dan perjanjian pembentukan World Trade Organization (WTO) akan menjadi forum negoisasi bagi para anggota di bidang-bidang yang menyangkut perdagangan multilateral, forum penyelesaian sengketa, dan melaksanakan peninjauan atas kebijaksanaan perdagangan. World Trade Organization (WTO) dilengkapi dengan sejumlah organ yakni:127

C. Keterlibatan Indonesia dalam Penyelesaian sengketa Perdagangan 1. Ministerial conference

Ini merupakan organ utama yang keanggotaanya seluruh negara anggota. Organ inilah yang akan melaksanakan fungsi-fungsi World Trade Organization (WTO) dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tersebut.

2. General council

Organ ini terdiri dari utusan-utusan negara anggota. Organ ini melaksanakan fungsi-fungsi Ministerial Conference.

3. Council Trade in Goods

Badan ini dibawah General Council yang bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai dibidang perdagangan jasa.

4. Council for Trade Related Aspects of International Property Rights

Badan ini di bawah General Council yang bertujuan di bidang aspek perdagangan HAKI.

5. Dispute Setlement Body

Badan ini di bawah Ministerial Conference yang menyelenggarakan forum pelaksanaan penyelesaian sengketa perdagangan yang timbul di negara-negara anggota.

6. Trade Policy Review

Yang bertugas menyelenggarakan mekanisme pemantauan kebijakan di bidang perdagangan.

Sepanjang Indonesia menjadi anggota General Agreement on Tariff and Trade (GATT), tidak ada satu kasus pun yang melibatkan Indonesia ke hadapan panel General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Umumnya kasus, yang muncul dan melibatkan Indonesia dengan sesame anggota General Agreement on

127


(22)

Tariff and Trade (GATT), dapat diselesaikan dalam tahap konsultasi. Penyelesaiannya belum ke tahap panel.128

Dalam keanggotaan di World Trade Organization (WTO), ada beberapa sengketa yang melibatkan Indonesia di tahap penyelesaian panel, di samping sudah barang tentu penyelesaian melalui tahap konsultasi. Tahap konsultasi umumnya terjadi antara Indonesia dengan Negara maju, khususnya Amerika Serikat.129

128

Huala Adolf, Op.Cit, hal 150

129

Huala Adolf, Op.Cit, hal 150

Sehubungan penyelesaian sengketa WTO, maka Indonesia di dalam penetapan kebijakan dan peraturan perundangan harus konsisten dengan prinsip-prinsip GATT sebab jika tidak Indonesia akan dituntut kehadapan Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) oleh Negara peserta lain yang merasa dirugikan. Dalam keanggotaannya di WTO telah muncul beberapa sengketa yang melibatkan Indonesia baik dalam tingkat penyelesaian panel maupun tingkat penyelesaian yang lebih dini melalui tahap konsultasi. Tahap konsultasi umumnya terjadi antara Indonesia dengan Negara maju, khususnya Amerika Serikat. Secara rinci dapat dikemukakan bahwa seluruhnya ada 9 (sembilan) kasus yang telah melibatkan Indonesia apakah sebagai pihak tergugat (4 kasus) atau sebagai pihak penggugat (5 kasus). Table berikut akan memberikan gambaran tentang sengketa WTO yang melibatkan Indonesia di dalamnya sebagai respondent (tergugat).

Table 1. Seluruh sengketa yang melibatkan Indonesia sebagai Respondent (tergugat) antara tahun 1996-2013


(23)

Kode Nomor Sengketa

Pokok sengketa dan pihak penggugat Tahun DS54 “Certain Measures Affecting the Automobile

Industry (Penggugat: Masyarakat Eropa)

3 Oktober 1996 DS55 “Certain Measures Affecting the Automobile

Industry (Penggugat : Jepang)

4 Oktober 1996 DS59 “Certain Measures Affecting the Automobile

Industry (Penggugat : Amerika Serikat)

8 Oktober 1996 DS64 “Certain Measures Affecting the Automobile

Industry (Penggugat : Jepang)

29 November 1996 DS455 Indonesia-Importating of horticultural product,

animals and animal product (Penggugat : Amerika Serikat)

10 Januari 2013

DS465 Indonesia-Importating of horticultural product, animals and animal product (Penggugat : Amerika Serikat)

30 Agustus 2013

DS466 Indonesia-Importating of horticultural product, animals and animal product (Penggugat : New Zealand)

30 Agustus 2013

DS490 Indonesia – Safeguard on Certain Iron or Steel Products (Chinese Taipei)

19 Februari 2015 DS478 Indonesia – Import Licensing Regimes

(Penggugat : United States)

8 Oktober 2015 DS477 Indonesia – Import Licensing Regimes

(Penggugat : New Zealand)

8 Oktober 2015 DS496 Indonesia – Iron or Steel Products (Penggugat :

Viet Nam)

9 Desember 2015 Sumber : http:/www.wto.org/English/tratop.html, dalam Sutiarnoto MS.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dari tahun 1996 hingga tahun 2013 lalu Indonesia telah 7 kali diajukan sebagai tergugat oleh beberapa Negara dalam forum penyelesaian sengketa WTO. Lebih jauh terlihat pula bahwa dari semua perkara yang mendudukkan Indonesia sebagai pihak tergugat, pihak yang mengajukan gugatan atau penggugat semuanya (Negara) bersasal dari Negara maju seperti Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan terakhir New Zealand, Jepang dan Amerika Serikat merupakan Negara yang paling sering mengajukan perkaranya atas Indonesia dengan catatan masing-masing dimana Jepang ebanyak 2 kali dan Amerika Serikat sebanyak 3 kali. Artinya sampai sampai sejauh ini


(24)

Indonesia masih belum pernah diajukan ke forum WTO oleh sesame anggota berkembang apalagi oleh sesama Negara anggota sekawasan (ASEAN).

Keempat Negara dimaksud di atas yang mengajukan perkara dan menuntut Indonesia pada tahun 1996 dan tahun 2013 itu sesamanya berasal dari kelompok Negara maju. Jika dilihat dari substansinya, maka perkara yang diajukan atas Indonesia pada tahun pertama (1996) adalah berkaitan dengan masalah “Certain Measures Affecting the Automobile Industry” atau langkah-langkah tertentu yang mempengaruhi industry auti mobil, dalam istilah popular di dalam negeri disebut sebagai kasus Mobil Nasional (Mobnas).

Dalam kasus ini pemerintah Jepang dan Amerika Serikat menganggap bahwa kebijakan Mobnas Indonesia bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan GATT karena Indonesia telah mengimpor mobil dari Korea Selatan dan memasarkannya dengan fasilitas bebas pajak komponen impor dan pajak penjualan barang mewah. Kasus ini menjadi penting bagi Indonesia karena tela mengundang perhatian dari kelompok Negara maju yang berasal dari European Communities atau masyarakat Eropa (ekarang Uni Eropa), Amerika Serikat dan Jepang yang memperkenankan Indonesia sampai ke panel. Selanjutnya pada tahun kedua (2013) Indonesia telah 3 kali diajukan sebagai tergugat yakni oleh Amerika Serikat (2 kali) da New Zealand (1 kali). Sebalinya Indonesia secara aktif telah 8 kali membawa sengketanya ke forum WTO dengan melibatkan berbagai Negara, baik yang berasal dari kelompok Negara berkembang maupun dari Negara maju seperti Amerika Serikat. Hal tersebut bisa dilihat dalam table berikut ini:


(25)

Tabel 2. Seluruh Sengketa yang melibatkan Indonesia sebagai Complaint (penggugat) sampai dengan tahun 2013

Kode Nomor Sengketa

Para Pihak dan Pokok Sengketa Tahun

DS123 Argentina : “Safeguard Measures on Imports of Footwear (Penggugat : Indonesia)

22 April 1998 DS217 United Stated of America : “Continued Dumping and

Subsidy Offset Act 2000”

(Penggugat : Australia, Brazil, Chile, European Commnunities, India, Indonesia, Japan, Korea (Republic of) dan Thailand)

21 Desember 2000

DS312 Korea (Republic of) : “Anti Dumping Duties on Imports of Certain Paper From Indonesia” (Penggugat : Indonesia)

4 June 2004

DS374 South Africa “ “Anti Dumping Measures on Uncoated Woodfree Paper” (Complainant : Indonesia)

9 may 2008

DS406 United States of America : “Measures Affecting the Production and Sale of Clove Cigarettes” (Penggugat : Indonesia)

7 April 2010

DS4518 Temporary increase of import tariffs on consumer goods tariff lines (Penggugat : Indonesia)

31 Desember 2011 DS442 European Union- Anti Dumping Measures on

Imports of Certain Fatty Alcohols from Indonesia (Penggugat : Indonesia). Status terkini : Panel established, but not yet composed

30 Juli 2012

DS467 Australia- Certain Measures Concerning Trademarks, Geograpical Indicatons and Other Plain Packaging Requirements Applicable to Tobacco Product and Packaging (Penggugat : Indonesia). Status terkini : In consultations

20 September 2013

DS470 Pakistan – Anti Dumping and Countervailing Duty Investigations on Certain Paper Product form Indonesia (Penggugat : Indonesia) Status terkini : in Concultations

27 November 2013

DS467 Australia – Tobacco Plain Packaging (Penggugat : Indonesia)

5 Mei 2014 DS442 EU – Fatty Alcohols (Penggugat : Indonesia) 18 Desember 2014 DS480 EU – Biodiesel (Penggugat : Indonesia) 31 Agustus 2015 DS491 US – Coated Paper (Penggugat : Indonesia) 28 September 2015 Sumber : http:/www.wto.org/English/tratop.html, dalam Sutiarnoto MS.


(26)

Berdasarkan table di atas maka dapat dilihat bahwa kurang dari 2 tahun setelah Indonesia dituntut sebagai tergugat dalam kasus Mobnas, maka Indonesia kembali ke forum penyelesaian sengketa WTO dengan berkedudukan sebagai penggugat untuk kasus lain yang melibatkan Argentina (sengketa berkenaan import kaus kaki), Korea (sengketa berkenaan dumping untuk produksi kertas), Afrika Selaan (sengketa berkenaan dumping kertas).

Menurut suatu sumber di departemen perdagangan, kasus-kasus perselisihan dagang antara Indonesia dengan negara-negara lain akhir-akhir ini telah diselesaikan secara bilateral di luar kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Misalnya dalam persengketaan antara Indonesia dan MEE mengenai rotan, Indonesia dan Amerika Serikat mengenai tarif dan non-tarif (1989). Begitu pula persengketaan mengenai subsidi dengan Amerika Serikat (1985) telah diselesaikan melalui konsultasi bilateral. Dalam penyelesaian sengketa demikian jelas sebagai pihak yang lemah, Indonesia telah menjadi korban tekanan bilateral dari negara maju yang menjadi mitra dagangnya. Salah satu contoh lemahnya posisi Indonesia dalam melakukan konsultasi bilateral dengan negara maju adalah ketika Amerika Serikat berhasil menggiring Indonesia untuk mau menandatangani Code of Subsidies and Countervailing Duties dan juga menandantangani suatu perjanjian bilateral.

Indonesia pernah menjadi Negara yang digugat oleh Negara anggota World Trade Organization (WTO) lainnya, yaitu Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pada saat itu permasalahannya adalah kebijakan Indonesia dalam program Mobil Nasional yang dianggap telah memberikan kemudahan bagi industri mobil


(27)

nasional merupakan bentuk diskriminasi dan dengan demikian telah melanggar ketentuan World Trade Organization (WTO) yang terkait dan Persetujuan Trade Related Investment Measures (TRIMs). Dalam tahap DSB, Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya agar selaras dengan peraturan World Trade Organization (WTO).

Indonesia juga memiliki pengalaman menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota World Trade Organization (WTO) dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina (tergugat) dimana dalam kasus ini Argentina dianggap melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatasan impor produk alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa Negara anggota World Trade Organization (WTO) termasuk Indonesia. Indonesia yang merupakan eksportir utama produk alas kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambah-an bea masuk (specific duty) sedang-kan negara-negara Mercosur (Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya mengenai safeguard. Di samping itu, Indonesia bersama- sama dengan beberapa anggota World Trade Organization (WTO) lainnya yaitu Canada, Mexico, Jepang, Brasil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan dan European Union menggugat Amerika Serikat dalam kasus US – Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (US – CDSOA).

Dalam kasus tersebut Indonesia bersama dengan negara lainnya menganggap kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat dalam US – CDSOA bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati dalam Agreement WTO


(28)

tentang anti dumping (Anti Dumping Agreement/AD Agreement) dan anti subsidi (Subsidy and Countervailing Measures Agreement/ASCM Agreement). Kasus ini kemudian dibawa ke sidang Panel pada tahun 2001. Dalam keputusannya Panel merekomendasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-persetujuan World Trade Organization (WTO) dengan cara mencabut kebijakan US – CDSOA. Terhadap keputusan Panel tersebut, AS mengajukan banding ke Appelate Body. Dalam keputusannya di tahun 2003, Appelate Body juga merekomendasikan AS agar melakukan penyesuaian dengan mengadakan perubahan kebijakan terkait dengan US – CDSOA atau yang juga dikenal dengan Byrd Amendment agar konsisten dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Hal ini dilakukan karena Appelate Body juga memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak konsisten dengan persetujuan-persetujuan World Trade Organization (WTO).130

Indonesia telah terlibat dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) sejak tanggal 24 Februari 1950. Sebagai Negara berkembang, Indonesia telah menunjukan sikap yang positif terhadap pengaturan perdagangan bebas yang bersifat multilateral ini. Indonesia telah menjadi original member serta meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization tersebut melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.131

130 Freddy Josep Pelawi, Penyelesaian Sengketa Wto Dan Indonesia, Direktorat

Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia.

131

Hata, Op.Cit, hal 204

Pengaturan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) juga memberikan peranan yang besar dalam mengembangkan perdagangan internasional. Manfaat yang dirasakan Indonesia


(29)

dari pengaturan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) adalah keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan ekspornya, terutama ekspor non migas.132

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sebagai Bagian dari Pengawasan Internasional

Persengketaan dan bagaimana cara menyelesaikannya adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk hukum internasional. Perbedaan pendapat, dan bagaimana subjek hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua belah pihak, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkaya dan memperkuat sistem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasi. Sebagai bagian dari sistem hukum internasional norma-norma GATT juga telah berkembang dan diperkokoh oleh pengalaman yang panjang dari system penyelesaian sengketanya dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan antar negara anggota. Salah satu fungsi penyelesaian sengketa adalah agar supaya norma-norma hukum yang mengatur hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi. Dengan perkataan lain di dalamnya terkandung fungsi pengawasan dalam masyarakat nasional, pengawasan ini dipercayakan pada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam masyarakat internasional,

132 S.B. Joedono, Kebijakan Perdagangan Indonesia Dalam Pasca Putaran Uruguay,

Pengarahan Menteri Perdagangan RI dalam seminar benang Merah Putaran Uruguay- GATT, Peluang dan Tantangan Bagi Bisnis Indonesia, Jakarta 14 Juni 1994


(30)

yang tidak mungkin kekuasaan sentral, diserahkan pada para anggotanya sendiri.133

Menurut Van Hoof pengawasan internasional mempunyai tiga fungsi:134 1. Review Function, pada umumnya, review diartikan sebagai mengukur atau

menilai suatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum ini berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum. Review function dalam hubungannya dengan Negara dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya Negara tersebut dengan hukum internasional.

2. Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian, fungsi ini dapat pula bersifat preventif, manakala negara- negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan hukum internasional sebagai akibat eksistensi atau ancaman dan mekanisme koreksi ini. Tujuan akhir dari pengawasan internasional adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan hukum internasional. Oleh karena itu pelanggarannya harus diperbaiki. Terlepas dari kasus-kasus di mana negara melakukan pelanggaran memperbaiki pelanggaran atas kehendak sendiri, kepatuhan terhadap hukum internasional harus dipastikan melalui persuasi atau paksaan dari luar. Ini merupakan ungsi koreksi dari pengawasan internasional, yang biasa juga disebut sebagai fungsi pemaksa (enforcement function). Satu persoalan yang terkait dengan hal ini adalahpengenaan sanksi dalam hukum internasional. 3. Creative Function: sekalipun review creative function merupakan bagian

pokok dari pengawasan, namun pengawasan juga dapat berfungsi kreatif, terutama dalam hukum internasional. Hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam eksekutif dan judikatif. Tindakan-tindakan legislatif seringkali abstrak atau tidak jelas. Oleh karena itu usaha untuk memperjelas

norma-norma hukum internasional ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi

kreatif. Jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas aturan- aturan hukum internasional yang belum jelas.

Secara normatif General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO) menyediakan sejumlah ketentuan pengawasan

133 Hata, Op.Cit, hal 181

134 G.J. H. Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber-sumber Hukum Internasional,

Terjemahan Hata, Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2000, hal 74


(31)

di dalamnya. Misalnya, dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pasal X mengandung ketentuan tentang pengawasan secara umum. Pasal ini mewajibkan negara-negara menerbitkan aturan-aturan nasional yang terkait dengan perdagangan internasional. Ini merupakan review function dari pengawasan.


(32)

BAB IV

HUBUNGAN PENYELESAIAN SENGKETA GATT/WTO DENGAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA

DAMAI

A. Penyebab Timbulnya Sengketa Internasional

Sengketa internasional (international dispute) adalah perselisihan yang terjadi antara negara dan negara, antara negara dan individu-individu, atau antara negara dan badan-badan atau lembaga-lembaga yang menjadi subjek hukum Internasional. Sengketa atau konflik yang terjadi secara umum disebabkan oleh hal-hal berikut :

a. Salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian Internasional. b. Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian Internasional.

c. Perebutan sumber-sumber ekonomi. d. Penghinaan terhadap harga diri bangsa.

e. Adanya intervensi terhadap kedaulatan negara lain.

f. Perebutan pengaruh ekonomi, politik, dan keamanan regional serta internasional.135

Konflik atau sengketa dapat dibedakan menjadi perang antaranegara dan sengketa bersenjata atas pelanggaran perdamaian yang tidak bersifat perang. Suatu sengketa dapat digolongkan menjadi perang atau bukan perang didasarkan pada luas atau dalamnya sengketa, niat para pihak yang bersengketa, dan sikap serta reaksi pihak-pihak yang tidak berperang. Dalam Traktat Paris tahun 1928

135

Juni 2016


(33)

disebutkan bahwa negara-negara peserta traktat bersepakat untuk tidak melakukan perang sebagai cara dalam menyelesaikan sengketa internasional. Para pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di antara mereka dengan cara damai. Dalam piagam PBB juga diatur bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian sepakat untuk menyelasaikan sengketa di antara mereka dengan cara damai sehingga tidak membahayakan perdamaian, keamanan, dan keadilan. Mereka yang mengadakan perjanjian telah berjanji untuk memenuhi kewajiban dengan itikad baik dan bersepakat untuk mematuhi saran-saran dan keputusan Dewan Keamanan.

Mengenai hak pembelaan, Piagam PBB menentukan bahwa setiap negara untuk mengadakan pembelaan diri baik secara individu maupun kolektif terhadap adanya serangan bersenjata, selama menunggu saran dan keputusan dari Dewan Keamanan. Hak untuk mengadakan pembelaan diri ini hanya berlaku pada keadaan yang mendesak dan tidak dapat dilakukan dengan cara lain, serta tidak secara berlebihan.136Meskipun hubungan antamegara telah diatur dalam hukum internasional atau perjanjian internasional, dalam pergaulan dunia ternyata masih terdapat sengketa internasional. Sengketa internasional terjadi, bermula dan konflik antarbangsa. Dapat juga karena kesalahpahaman tentang suatu hal atau salah satu pihak sengaja melanggar halakepentingan negara lain. Sengketa antar negara ada yang dapat mempengaruhi kehidupan internasional serta mengancam dunia dan ada pula yang tidak.137

136

April 2016

137

tanggal 10 April 2016


(34)

Ada beberapa sebab terjadinya sengketa internasional, antara lain: 1. Politik luar negeri yang terlalu luwes atau sebaliknya terlalu kaku

Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan timbulnya sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham merupakan pemicu utama terjadinya konflik. Salah satu contohnya adalah sikap Inggris yang terlalu luwes (fleksibel) dalam masalah pengakuan pemerintahan Cina. Pada akhirnya mengakibatkan ketersinggungan pihak Amerika Serikat yang bersikap kaku terhadap Cina.

2. Unsur-unsur moralitas dan kesopanan antarbangsa

Dalam menjalin kerja sama atau berhubungan dengan bangsa lain, kesopanan antarbangsa penting untuk diperhatikan dalam etika pergaulan. Sebab jika kita menyalahi etika bisa saja timbul konfl ik atau ketegangan. Hal ini pernah terjadi saat Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan Malaysia, meskipun hubungan baik telah lama mereka jalin.

3. Masalah klaim batas negara atau wilayah kekuasaan

Negara-negara yang bertetangga secara geografis berpeluang besar terjadi konflik atau sengketa memperebutkan batas negara. Hal ini dialami antara lain oleh Indonesia-Malaysia, India-Pakistan, dan Cina-Taiwan.

4. Masalah hukum nasional (aspek yuridis) yang saling bertentangan

Hukum nasional setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Jika suatu negara saling bekerja sama tanpa mempertimbangkan hukum nasional negara lain, bukan tidak mungkin konfrontasi bisa terjadi. Hal ini terjadi saat Malaysia secara yuridis menentang


(35)

cara-cara pengalihan daerah Sabah dan Serawak dari kedaulatan Kerajaan Inggris ke bawah kedaulatan Malaysia.

5. Masalah ekonomi

Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali memicu terjadinya konflik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan memihak adalah penyebab terjadinya konflik. Hal ini dapat terlihat ketika Amerika Serikat mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian menjadikan konflik tegang antara Amerika Serikat dan Irak.138

B. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional secara damai.

1. Prinsip kesepakatan para pihak (konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.139

138

tanggal 10 April 2016

139


(36)

Kesepakatan adalah salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya. Perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.140

penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

2. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa

Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian

141

Prinsip ini dapat ditemukan antara dalam pasal 33 Statuta Mahkamah Internasional yang memberikan berbagai alternatif metode penyelesaian sengketa. Pihak-pihak yang bersengketa bisa memilih metode apapun dari pilihan yang

140 Meria Utama, Op.Cit, hal 57

141 Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbtration:“Arbitration

Agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship , whether contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.’ 10 Pasal 38:2 Statuta Mahkamah Internasional: "This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon."


(37)

diberikan. Metode penyelesaian sengketa yang dilarang adalah penggunaan kekerasan.142

Principle of free choice of means, prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 THE UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjajian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.143

Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa.

3. Prinsip kebebasan memilih hukum

144

Prinsip ini adalah sumber dimana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa. Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.145

142 Sefriani, Op.Cit, hal 358 143 Meria Utama, Op.Cit, hal 58 144

Huala Adolf, Op.Cit, hal 7

145


(38)

4. Prinsip itikad baik (Good Faith)

Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.

Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.146

Dalam penyelesaikan sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap. Pertama, prinsip iktikad baik diisyratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat memengaruhi hubungan–hubungan baik diantara negara. Kedua, prinsip ini diisyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara–cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara–cara pilihan para pihak lainnya.147

146 Dalam instrumen-instrumen hukum internasional, prinsip ini jarang sekali ditemui. Hal

ini mungkin disebabkan karena sulitnya patokan yang dapat digunakan untuk mengukur sesuatu pihak telah atau tidak melaksanakan sesuatu perbuatan dengan itikad baik. Dalam hukum naisonal, prinsip ini antara lain tampak dalam pasal 1338 KUH Perdata dan UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (1) UU No 30 tahun 1999 menyatakan: “(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternative penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.“

147


(39)

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility (Draft artikel tentang tanggung jawab negara).

Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut: “When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.” (Ketika pelaksanaan Negara telah menciptakan situasi tidak sesuai dengan hasil itu dengan kewajiban internasional mengenai pengobatan juga diberikan kepada orang asing, apakah badan hukum atau perorangan, tetapi kewajiban memungkinkan bahwa hasil ini setara atau mungkin tetap menjadi dicapai dengan perilaku berikutnya dari Negara, ada pelanggaran dari kewajiban hanya jika alien yang bersangkutan telah habis obat lokal yang efektif yang tersedia untuk mereka tanpa mendapatkan pengobatan yang disebut oleh kewajiban atau, di mana hal itu tidak mungkin, pengobatan setara).

Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).148

Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkah–langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum

148


(40)

nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted), contoh sengketa the Interhandel Case (1959), Mahkamah Internasional.149 Prinsip ini diberikan untuk memberikan kesempatan pada pengadilan nasional untuk memberikan remedy kepada pihak yang merasa dirugikan sebelum sengketanya diajukan ke tingkat internasional.150

C. Proses/cara Penyelesaian Masalah-Masalah (Sengketa) Internasional Secara Damai

Gagasan mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai ketimbang penggunaan kekerasan sudah dimunculkan sejak lama. Namun demikian secara formal, usaha pembentukan lembaga, instrument hokum juga pengembangan teknik penyelesaiannya baru memperoleh pengakuan secara luas sejak dibentuknya PBB tahun 1945.151

Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan apabila para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. J.G. Starke mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat yaitu sebagai berikut : arbitrase, penyelesaian yudisial, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB.152

149

Meria Utama, Op.Cit, hal 59

150 Sefriani, Op.Cit, hal 358

151 John Merrils, The Means of Dispute Settlement, dalam Evans, Malcolm D, Internation

Law, Oxford University Press, First Edition, 2003, hal 530

152

J. G, Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh, Buku 1), Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 646

Penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui beberapa cara yakni: rujuk, penyelesaian sengketa di bawah perlindungan PBB, arbitrasi dan peradilan.


(41)

Melihat pandangan kedua ahli hukum di atas maka dapat terlihat bahwa penyelesaian sengketa secara damai153

1. Penyelesaian jalur diplomatik

pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan:

Penyelesaian jalur diplomatik sering disebut pula dengan cara penyelesaian jalur politik. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menyelesaian sengketa internasional melalui jalur diplomatik.154

a. Negosiasi

Negosiasi adalah suatu proses tawar menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi di antara pihak.155 Salah satu cara peran atau cara yang dapat dilakukan oleh suatu organisasi regional tersebut adalah mendorong para pihak untuk menghasilkan kesepakatan penyelesaian melalui sengketa.156

153 Sugeng F Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1998, hal

88

154 Sefriani, Op.Cit, hal 361 155

Faisal Santiago, Op.Cit, hal 120

156

Huala Adolf, Op.Cit, hal 119

Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan saling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional mereka. Hal ini mengingat cara ini diakui sebagai cara yang paling simple dan mudah dibandingkan cara-cara lain. Tidak ada tata cara khusus untuk melakukan negosiasi, dapat dilakukan bilateral maupun multilateral, formal maupun informal. Namun demikian akan sulit melakukan negosiasi bilamana antar oihak-pihak yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatic atau saling tidak mengakui eksistensi


(42)

masing-masing sebagai subjek hokum internasional.157Prosedur-prosedur negoisasi adalah negoisasi digunakan digunakan ketika sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi). Negoisasi digunakan ketika suatu sengketa telah lahir. Prosedur negoisasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh pihak (dalam arti negoisasi).158

b. Jasa baik (Good Offices)

Ketika negosiasi tidak dapat menyelesaikan sengketa, pada umumnya pihak sengketa akan menggunakan jasa/keterlibatan pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga dalam good officer tidak lebih dari mengupayakan pertemuan pihak-pihak bersengketa untuk berunding, tanpa terlibat dalam perundingan itu sendiri.159

Pihak ketiga disini sering disebut juga saluran tambahan komunikasi. Persoalan pertemuan yang sudah difasilitasi oleh pihak ketiga itu kemudian berakhir tanpa keputusan ataupun kemudian para pihak bersengketa melanjutkan kembali perseteruan mereka sudah di luar kompetensi pihak ketiga, bagaimanapun dengan berhasil mempertemukan kedua pihak bersengketa duduk bersama meja perundingan maka pihak ketiag sudah dikatakan berhasil melakukan good offices.160

c. Mediasi

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imartial) dan netral bekerja sama dengan pihak yang

157 Sefriani, Op.Cit, hal 362 158 Meria Utama, Op.Cit, hal 60 159

Sefriani, Op.Cit, hal 362

160


(43)

bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan dengan memutuskan.161 Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berupa negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang netral untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa.162 Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negoisasi. Biasanya ia, dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral, berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.163 Secara singkat dapat dikatakan bahwa fungsi mediasi adalah membangun komunikasi antar disputing parties, melepaskan atau mengurangi ketegangan antara disputing parties sehingga dapat diciptakan atmosfi yang kondusif untuk melakukan negosiasi, dapat menjadi saluran informasi yang efektif bagi disputing parties dan mengajukan upaya penyelesaian yang memuaskan disputing parties.164

Usulan-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentiikasi hal–hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan–usulan yang dapat mengakhiri sengketa.165

161

Gary Goodpaster dalam Djafar Al Bram, Penyelesaian sengketa Bisnis Melalui Mediasi, Jakarta : Pusat Kajian Ilmu Hukum Press, 2011, hal 11

162 Faisal Santiago, Op.Cit, hal 120 163 Meria Utama, Op.Cit, hal 60 164

Sefriani, Op.Cit, hal 363

165


(44)

d. Pencari fakta (fact finding/inquiry)

Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara etrus-menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain. Negara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry. Pencari fakta atau inquiry sering juga dibentuk melalui perjanjian internasional.166

e. Konsiliasi (conciliation)

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Ada perbedaan antara kedua istilah yaitu konsiliasi lebih format daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapakan persyaratan–persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidak mengikat para pihak.167

Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratanpersyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.168

166 Sefriani, Op.Cit, hal 364 167

Meria Utama, Op.Cit, hal 60-61

168


(45)

f. Penyelesaian melalui PBB

Penyelesaian melalui jalur politik yang menggunakan jasa PBB dapat dilakukan oleh Sekjend PBB, Majelis Umum maupun Dewan Keamanan Sekjend PBB sering kali diminta untuk menjadi mediator atau memberikan jasa baik oleh pihak-pihak bersengketa. Hal ini dikarenakan pada umumnya seorang Sekjend PBB dianggap netral dan memiliki kompetensi untuk membantu menyelesaian sengketa oleh kedua belah pihak bersengketa. Perlu persetujuan kedua belah pihak bersengketa tentunya untuk menggunakan mekanisme penyelesaian melalui Sekjend PBB ini. Dalam melaksanakan tugasnya Sekjend PBB tidak boleh menerima perintah atau instruksi dari Negara manapun.169

Adapun penyelesaian menggunakan Majelis Umum hanya bisa dilakukan ketika Dewan Keamanan sudah tidak mampu atau gagal untuk mengemban tugasnya memelihara perdamaian keamanan internasional (residual function). Adapun penyelesaian melalui Dewan Keamanan adalah satu-satunya penyelesaian sengketa dalam hokum Internasional yang tidak memerlukan persetujuan para pihak lebih dahulu. Hal ini ditegaskan dalam piagam PBB. Manakala dalam pertimbangan politik Dewan Keamanan sengketa antara dua Negara sudah mengancam perdamaian, melanggar perdamaian internasional ataupun agresi maka Dewan Keamanan secara sepihak dapat memutuskan untuk intervensi dalam sengketa tersebut. Namun demikian intervensi Dewan Keamanan

169


(46)

juga dapat dilakukan atas inisiatif salahs atu atau kedua belah pihak atau juga atas permintaan dari Majelis umum dan atau Sekjend PBB.170

g. Penyelesaian melalui organisasi regional

Penyelesaian melalui organisasi regional seharusnya dilakukan lebih dahulu oleh para pihak yang bersangkutan sebelum membawa sengketa tersebut ke forum yang lebih luas (internasional) atau dalam hal ini Dewan Keamanan PBB.171

Untuk ASEAN, berdasarkan Treaty of Amity and Cooperation in Sountheast Asia, Negara-negara ASEAN sepakat untuk senantiasa mencegah dan menyelesaikan sengketa yanga dapat menganggu perdamaian dan keharmonisan regional dengan itikad baik melalui perundingan-perundingan yang bersahabat. Bilamana disepakati ASEAN menyediakan sebuah lembaga yakni high council yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Negara ASEAN setingkat menteri.172

Di samping the High Council yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan segala sengketa yang dapat menganggu perdamaian dan keharmonisan regional, ASEAN juga memiliki forum lain untuk menyelesaikan sengketa bidang kerja sama ekonomi yang dikenal dengan sebutan Enhanced Dispute Settlement Mechanism (SDSM) atau juga

170 Ibid, hal 367 171 Ibid

172

Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty 1990, hal 116


(47)

popular dengan sebutan ASEAN way. Mekanisme ini dibentuk melalui protocol on dispute settlement mechanism 2004.173

Adapun bab VIII tentang mekanisme penyelesaian sengketa merupakan salah satu dari penyempurnaan penyelesaian sengketa di ASEAN. Selain memberikan pengakuan terhadap mekanisme yang telah ada dan berlaku atau existing.

Terkait dengan penyelesaian sengketa maka ada dua bab penting dalam piagam yaitu bab VII dan VIII. Di dalam bab VII, pengambilan keputusan, piagam ASEAN telah melangkah lebih maju dari prinsip consensus yang selama ini dipakai tanpa ada pengecualian. Mekanisme ini serahkan kepada ASEAN Summit yang tidak saja dapat memutuskan sebuah permasalahan tetapi permasalahan tetapi juga cara untuk menyelesaikannya. Face “how a specific decision can be made” memberikan ruang untuk hal ini.

174

Arbitrase berasal dari bahasa latin “arbitrare” yang artinya kewenangan untuk menyelesaikan sesuatu dengan penuh kebijaksanaan.

2) Penyelesaian sengketa jalur hukum

a. Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum

175

173 Sefriani, Op.Cit, hal 368 174

Ibid, hal 369

175

Subekti, Artbitrase Perdagangan, Jakarta : Binacipta, hal 1

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berpekara melalui


(48)

pengadilan. Keuntungan lainnya dari cara ini adalah sifat kerahasiaannya dan dimungkinkan para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendaki).176 Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang nasional maupun internasional.177

Apabila pihak yang bersengketa dalam arbitrase publik adalah Negara dengan Negara, maka pihak atau subjek-subjek hokum yang bersengketa dalam arbitrase komersial internasional lebih luas. Pihak-pihak yang dimaksud bisa swasta melawan swasta, Negara melawan swasta atau bahkan Negara melawan Negara. Penyelesaian sengketa secara damai yang lain, prinsip sukarela juga mendasari penyelesaian sengketa melalui lembaga ini. Adanya kesepakatan para pihak untuk membawa sengektanya ke arbitrase haruslah terpenuhi sebelum arbitrase melaksanakan yurisdiksinya.178

Dalam penyelesaiaan arbitrase ini para pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.

179

176 Meria Utama, Op.Cit, hal 61 177 Huala Adolf, Op.Cit, hal 16 178

Sefriani, Op.Cit, hal 374

179


(49)

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause). Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase.180

1) International Court of Justice (ICJ)

b. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional Ada beberapa pengadilan internasional antara lain :

International Court of Justice (ICJ) merupakan salah satu organ utama (primary organ) PBB yang dibentuk oleh masyarakat bangsa-bangsa pada tahun 1045. Organ ini diatur oleh statute mahkamah internasional (ICJ statute) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PBB. Setiap anggota PBB otomatis menjadi anggota statute. Meskipun demikian tidak ada kewajiban bagi tiap anggota PBB itu untuk membwa sengketanya ke depan ICJ. International Court of Justice (ICJ) sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa hokum antarnegara. Praktinya hanya sekitar 4-5 perkara yang diajukan ke lembaga ini pertahun.

2) Permanent Court of International of Justice (PCIJ)

Sebagai suksesor PCIJ, ICJ mewarisi arsi-arsip juga harta benda PCIJ saat lembaga ini dibubarkan secara resmi tahun 1946. PCIJ yang merupakan

180


(50)

pendahuli ICJ yang beroperasi 1922-1940 berhasil menyelesaikan 66 kasus, 28 di antaranya advisory opinion.

3) International Tribunal for the Law of the Sea, berbagai Adhoc Tribunal, juga International Criminal Court (ICC).181

D. Hubungan Penyelesaian Sengketa GATT dan WTO dengan Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

Penyelesaian sengketa internasional secara damai sebagaimana diketahui metode penyelesaian sengketa internasional secara damai dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yakni secara diplomatik Pertama-tama, pasal XXII mengandung dua ayat yang menunjuk pada penyelesaian sengketa lewat konsultasi. Ayat pertama konsultasi dilakukan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya dalam ayat dua, disebutkan jika usaha konsultasi bilateral tersebut pada ayat sati tidak menghasilkan penyelesaian, maka salah satu pihak dapat meminta bantuan contracting parties, untuk berkonsultasi dengan pihak lain. Konsultasi yang diadakan sesuai dengan ketentuan pasal XXII tersebut tidak mengharuskan telah terjadinya kerugian bagi salah satu pihak. Akan tetapi pihak yang dimintakan konsultasinya oleh pihak lain harus memberikan symphatetic consideration terhadapnya. Salah satu persidangan contracting parties tahun 1960 dinyatakan bahwa symphatic consideration dalam pasal tersebut mengandung unsur simpati dan tidak dapat ditundukkan pada suatu definisi hukum. Menurut perbaikan prosedur konsultasi yang disepakati tahun 1958, yakni procedures under article XXII on question affecting the interest of number of contracting

181


(1)

ABSTRAK Bermita Sembiring1

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Internasional USU **

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Fakultas Hukum USU

***

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Sutiarnoto MS**

Mahmul Siregar ***

Penyelesaian sengketa antarnegara dalam GATT (kemudian WTO)

sesungguhnya telah berlangsung lama. Mekanisme penyelesaian sengketa da1am

perjanjian WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan GATT. Prosedur dalam sengketa memerlukan banyak waktu, Sering kali timbul kesulitan untuk mencari anggota panel yang tepat untuk sebuah kasus yang timbul, Pihak yang kalah dalam sengketa dapat mencegah diterimanya laporan kepada council karena adanya aturan bahwa keputusan dalam council diambil dengan cara consensus.

Penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Bahan atau data yang dicari berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Analisis Data yang digunakan secara kualitatif yaitu data yang bersifat deskriptif.

Pengaturan penyelesaian sengketa dalam GATT dan WTO berpatokan pada ketentuan pasal XXII-XXIII GATT. Pasal tersebut menghendaki para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral atas setiap persoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian/ketentuan-ketentuan GATT/ WTO atau penyelesaiannya melalui perundingan atau negosiasi dan apabila gagal diselesaikan dengan membentuk suatu panel (atau kelompok kerja). Pengaturan penyelesaian sengketa perdagangan internasional telah dilengkapi dengan aturan-aturan yang lebih komprehensif sehingga membentuk suatu sistem

yang cukup dapat diandalkan sebagai alat penyelesaian sengketa. Mekanisme

penyelesaian sengketa internasional GATT dan WTO melalui pengaturannya dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of

Dispute (DSU) yang merupakan annex 2 dari Agreement Establishing the World Trade Organization (Perjanjian WTO). Mekanisme penyelesaian sengketa yang

mengikat dan berdasarkan fitur kunci sistem rule based yang ditrapkan WTO sedangkan sistem rule based tersebut perubahan mendasar dari power based yang diterapkan GATT dalam menyelesaian sengketa dagang internasional. Gambaran sistem rule based dan power based itu dalam praktik perdagangan inetrnasional baik yang dilakukan oleh pemerintah dan juga yang dilakukan oleh pihak swasta asing. Upaya penyelesaian sengketa internasional secara damai diantaranya Penyelesaian melalui jalur diplomatic berupa Negosiasi, Jasa baik (Good Offices), Mediasi, Pencari fakta (fact finding/inquiry), Konsiliasi (conciliation), Penyelesaian melalui PBB, Penyelesaian melalui organisasi regional. Penyelesaian sengketa jalur hukum berupa Arbitrase dan Penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya yang selalu menyertai Penulis sampai penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul: PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA GATT DAN WTO adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis sadar akan ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga berharap agar semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar di kemudian hari Penulis dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak, maka penulisan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr.Chairul Bariah, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan Dosen Hukum Internasional. Terima kasih atas ilmu dan arahan yang telah diberikan sampai penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr.Sutiarnoto MS, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Hukum Internasional. Terima kasih atas bantuan dan bimbingan beliau yang sangat bermanfaat.


(3)

3. Bapak Dr.Mahmul Siregar, S.H., M.Hum ,selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas segala bantuan, kritik, saran, bimbingan, dan telah menjadi tempat bertanya dan berkeluh kesah Penulis sampai skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H.,M.Hum, selaku dosen wali. Terima kasih atas bantuan sejak menjadi mahasiswa baru sampai sekarang. 5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas

segala ilmu yang telah diberikan.

6. Bapak dan Mamak tersayang, Perdamen Sembiring dan Seri Ulina br Bukit, atas segala doa, semangat dan dukungan yang tak pernah berhenti diberikan. Semoga kelak Penulis dapat membanggakan kalian.

7. Anggota keluarga tercinta, Siska br Sembiring, S.Farm ,Freindta Sembiring dan Joss Melkr Sembiring, yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan.

8. Meri Susanna br Bukit sebagai saudara dan sahabat terbaik yang memberi motivasi dan arahan kepada Penulis dalam memulai proses penulisan skripsi ini, serta Theresia, Mayesti, Gina, Bella, Litote yang juga merupakan sahabat-sahabat Penulis. Semoga kalian juga dapat menyusul.

9. Teman-teman seperjuangan, Eggianina, Chelsi, Opik, Sella, Della, Riadhi. Terima kasih atas segala waktu yang dihabiskan dan telah


(4)

menjadi tempat Penulis berkeluh-kesah di akhiri-akhir penyelesaian penulisan skripsi ini.

10.Berbagai narasumber dan pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang membantu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, Maret 2013


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) DAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) ... 14

A. Sejarah Perjalanan GATT menuju WTO ... 14

B. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan kesepakatan GATT ... 27

C. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan kesepakatan WTO... 33

D. Ruang Lingkup Pengaturan GATT dan WTO ... 49

E. Penyelesaian sengketa berdasarkan ketentuan-ketentuan Organisasi Internasional yang terlibat dalam kegiatan perdagangan ... 58

BAB III : MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) DAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) ... 72


(6)

B. Peran dan Fungsi GATT dan WTO dalam menyelesaikan sengketa

perdagangan Internasional ... 84

C. Keterlibatan Indonesia dalam Penyelesaian sengketa Perdagangan ... 89

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa sebagai bagian dari pengawasan Internasional ... 96

BAB IV: HUBUNGAN PENYELESAIAN SENGKETA GATT/WTO DENGAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI ... 99

A. Penyebab Timbulnya sengketa Internasional ... 99

B. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai ... 102

C. Proses/cara penyelesaian masalah-masalah (sengketa) Internasional secara damai ... 107

D. Hubungan Penyelesaian Sengketa GATT dan WTO dengan bentuk penyelesaian sengketa Internasional secara damai ... 117

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 121 DAFTAR PUSTAKA