BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Pertanggung Jawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah Tangkap Atau Error In Persona

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga

  penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi nya juga harus berdasarkan legitimasi hukum yang berlaku. Dimana fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan

   terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

  Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi janji-janji dan tujuan-tujuan hukum untuk mengamankan serta melindungi masyarakat menjadi kenyataan.

  Perincian tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, misalnya membuktikan hal tersebut, diantaranya yaitu:

  1. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

  2. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberi perlindungan dan pertolongan.

  3. Memelihara keselamatan Negara terhadap gangguan dari dalam.

  4. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat.

  5. Mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap peraturan- peraturan Negara. 1 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, USU press,

  Medan,2009,halaman 40

  Perincian tugas-tugas polisi sebagaimana yang tertera diatas, mencapai dan memelihara ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh polisi.

  Persoalan mulai timbul pada saat dipertanyakan dengan cara bagaimanakah tujuan tersebut hendak dicapai. Ternyata pekerjaan kepolisian tersebut hanya boleh dijalankan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu dari pembatasan-pembatasan tersebut adalah hukum. Polisi ditugasi untuk

   menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku.

  Kepolisian dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 merupakan sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kepolisian dalam undang-undang tersebut juga disebutkan mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

  Disepakati atau tidak sebenarnya polisi adalah pekerja sosial berseragam, tidak dapat disangkal bahwa mereka menyediakan sesuatu yang dalam arti luas dapat disebut sebagai pelayanan sosial bagi masyarakat yang menjadi tanggung jawab mereka. Jelas, hanya sebagian kecil dari kerja rutin aparat kepolisian harus mengarah 2 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing,

  Yogyakarta, 2009,Halaman 113 kepada mencegah, menjawab, dan menangani kejahatan. Sebenarnya jasa yang mereka berikan, entah berkaitan dengan kejahatan atau tidak, merupakan suatu bentuk layanan jasa sosial. Namun lebih jauh, dalam konteks kerja kepolisian, polisi harus berurusan dengan sederet pemberi jasa lainnya yang luas, mulai dari biro layanan keluarga dan anak-anak hingga dinas pekerjaan umum yang menyangkut pengumpulan sampah dan kondisi jalan. Bukan hal yang aneh jika tiba-tiba polisi harus menengahi penculikan anak, menangani pertikaian suami-istri, perkelahian antar tetangga, dan kasus-kasus depresi serta bunuh diri yang kondusif bagi kerjasama yang lebih besar dengan biro jasa sosial. Diantara kegiatan mereka, aparat kepolisian harus tiba-tiba berurusan dengan pemberi jasa lain, atau dalam beberapa kasus, berhadapan dengan masalah pencegahan kejahtan yang barangkali lebih beresiko, misalnya yang menyangkut orang-orang jompo atau manula atau pemabuk, keduanya memerlukan kepekaan yang berbeda antara calon korban dan calon

   pelanggar.

  Polisi pada hakekatnya dihadapkan kepada suatu situasi konflik dan polisi bertugas untuk mengambil keputusan. Apabila pada akhirnya polisi bertindak, maka pada saat tersebut polisi telah melakukan suatu yang menguntungkan atau melindungi salah satu pihak dalam konflik, tetap dengan melawan, mengalahkan “merugikan” pihak yang lain, tetapi sulit juga untuk mengharapkan, polisi selalu akan mempertimbangkan dengan masak-masak segala segi etis dan moral. Untuk itu, maka 3 Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi dalam pembinaan keamanan dan ketertiban

  

masyarakat perbandingan perspektif dan prospeknya , PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, halaman 83-84 polisi tidak hanya harus berbuat sebagai seorang polisi, melainkan juga seorang

   filosofi.

  Kepolisian Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diberikan kewenangan dalam hal melaksanakan tugas sebagai penyelidik dan penyidik.

  Penyelidikan merupakan tindakan, bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas

   kepada penuntut umum.

  Berdasarkan kewenangan Aparat Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik dalam membantu memperlancar proses penyidikan maka seorang aparat kepolisian juga berwenang untuk melakukan Penangkapan, yaitu Wewenang yang diberikan kepada penyidik khusus nya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sangatlah luas. Bersumber dari wewenang tersebut,penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, selama masih berpijak pada suatu landasan hukum yang sah. Salah satu wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak 4 5 Satjipto Rahardjo, Op.Cit. halaman 113-117 Ratna Sari, penyidikan dan penuntutan dalam hukum acara pidana, kelompok studi hukum

  dan masyarakat fakultas hukum USU, Medan , 1995, halaman 30 pidana. Aparat kepolisian juga berwenang melakukan Penahanan,yang merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang, sehingga penahanan merupakan suatu kewenangan penyidik yang sangat bertentangan dengan hak asasi

  

  manusia. Penahanan berkaitan erat dengan penangkapan karena seorang tersangka pelaku tindak pidana yang setelah ditangkap dan memenuhi persyaratan sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-undang, baru dapat dikenakan penahanan guna kepentingan pemeriksaan. Jadi penangkapan merupakan langkah awal dari

   perampasan kemerdekaan tersangka atau terdakwa.

  Aparat penegak hukum adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam masyarakat, ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas waktu yang telah ditentukan, sehingga tersangka/ terdakwa menderita lahir bathin akibat sikap tindak para aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran

   terhadap hak asasi manusia.

  Seseorang ditangkap, ditahan, kemudian diadili diforum pengadilan dengan kekuasaan yang diberikan hukum (khususnya aturan tertulis) mengandung resiko bahwa, semakin bebas aparatur hukum melaksanakan tugas (kewenangan ) yang 6 7 Mahmud Mulyadi, Op.cit, halaman 20 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan ruang lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta,

  1986, halaman 35-36 8 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, Halaman 3

  ditentukan aturan formal (tidak luwes), semakin besar kemungkinan terjadi pelanggaran (penyelewengan/penyimpangan), karena pada dasarnya aturan (itu sendiri) merupakan “musuh tersembunyi”( a hidden enemy). Hal demikian membawa konsekuensi (semacam tuntutan), perlu kehati-hatian dalam menerapkan aturan,

   karena aturan seringkali bias terutama apabila berjalan melalui proses penafsiran.

  Tindakan penangkapan sebagai pegangan, baru dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu: “diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Pembuat Undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan “kekurangpastian”dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup.

  Salah satu solusi yang rasional dan realistis adalah apabila kata ‘permulaan dalam ketentuan tersebut dihilangkan. Dengan demikian nya ada tercipta suatu kepastian dalam melakukan proses penangkapan, sebagaimana yang telah diterapkan dalam hukum acara pidana Amerika yang menentukan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan harus didasarkan atas affidavit and testimony

   yakni harus berdasarkan adanya bukti dan kesaksian .

  Penangkapan tidak boleh dilakukan terhadap tersangka tindak pidana pelanggaran sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat 2 KUHAP, 9 10 Anton F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, Halaman 6-7 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHP,(penyidikan dan

  penuntutan)buku I , Sinar grafika, Jakarta, 2007, Halaman 158 namun apabila tersangka tindak pidana pelanggaran tidak memenuhi panggilan penyidik selama 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah maka tersangka dapat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan paksa untuk dilakukan pemeriksaan.

  Menurut ketentuan Pasal 21 ayat 4 KUHAP tidak semua tersangka tindak pidana pelanggaran tidak dapat ditangkap dan ditahan karena menurut ketentuan ini penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka pelaku percobaan tindak pidana dan terhadap orang yang memberi bantuan untuk terjadinya suatu tindak pidana.

  Setiap dalam melakukan tugasnya, Polisi (dalam hal ini adalah penyidik) harus selalu bertindak berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “ tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut Undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada

   perbuatannya itu sendiri.

  Pelaksanaan wewenang sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh aparatnya terkadang terjadi penyimpangan tindakan anggota Polri dari yang seharusnya dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Padahal Polisi yang sehari-hari dihadapkan pada tugas yang tak menentu dan berhadapan

11 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung,

  1997, halaman 123 langsung dengan masyarakat, sangat mutlak memiliki kestabilan emosi dan

   berprilaku baik kepada masyarakat.

  Kepolisian terutama Polri nyatanya sebagai penyidik yang memiliki kewenangan dalam menangani setiap tindak pidana. Sebagaimana fenomena yang ada sekarang tentang Kepolisian Republik Indonesia banyak dijumpai kejanggalan- kejanggalan dalam hal penyidikan yang melampaui dari batas-batas kewenangannya, seperti dalam tahap awal pemeriksaan yang seringkali tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur oleh peraturan perundang-undang yang ada. Penyimpangan pelanggaran hak asasi manusia terkadang terjadi didalam prakteknya.

  Salah satu contoh Korban salah tangkap di Jakarta,yang dianiaya oleh oknum kepolisian Polres Tangerang Kabupaten, Ujang A. Melalui kuasa hukumnya mengatakan telah ditangkap untuk kasus yang kejahatan yang tidak dilakukan, kemudian dianiaya oknum polisi dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan itu.

  "Sampai saat ini tidak ada itikad baik dari kepolisian terkait salah tangkap ini," jelas kuasa hukum korban. Kuasa hukum korban menjelaskan bahwa Ujang diperlakukan bak tahanan selama 12 hari. Ia ditangkap, dipaksa mengaku, dianiaya kemudian dilepas kemudian diajak belanja beli baju lalu diberi uang Rp1 juta. "Keadilannya dimana, sudah dituduh yang tidak benar, disiksa, lalu sadar telah salah menangkap, klien dikeluarkan begitu saja tanpa kata maaf dan surat perintah perhentian penyidikan (SP3)," paparnya. Ujang K sudirman, sehari-harinya bekerja sebagai 12 Anton Tabah, Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka

  Utama,Jakarta,1991, Halaman 23 tukang ojek. Ia sendiri dituduh terlibat kasus pencurian brankas berisi uang tunai Rp. 80 juta dan surat-surat berharga di rumah Mintarja, warga Perumahan Citra Raya,

  

Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.

  Medan Sumatera Utara, juga ada terdapat kasus salah tangkap Sumiyati dan Sia Kim Tui, istri korban salah tangkap melaporkan kasus kekerasan dan intimidasi aparat kepolisian ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ditemani aktivis KontraS Usman Hamid, mereka diterima secara langsung oleh anggota bidang Hukum Albert Hasibuan.

  Menurut laporannya itu, mereka meminta agar pemerintah menindak aparat yang menangkap suaminya Ang Ho dan Sun An karena dituduh sebagai otak pembunuhan di Medan, Sumatera Utara. Tidak hanya ditangkap, korban juga mengalami kekerasan fisik dan seksual saat menjalani pemeriksaan.Sia Kim Tui ditangkap bersama suaminya saat berada di Hotel JW Marriot. Sedangkan Sumiyati ditahan kesesokan harinya di Kisaran, Sumatera Utara. Keempatnya dibawa ke ruang tahanan Mako Brimob Medan, Polsek Medan Timur dan Polresta Medan."Saya dan suami Sun An ditangkap polisi tanpa surat penangkapan. Saat di tahanan, saya mendengar suami berteriak karena disiksa. Saya juga diancam intel dan penyidik berjumlah 10 orang untuk mengakui suami saya otak pelaku pembunuhan," ujar Sia Kim di Wantimpres, Jakarta, Selasa (23/10). Akibat berada di bawah ancaman sejumlah penyidik, Sun An terpaksa mengakui 13

  , diakses pada tanggal 5 desember 2012 pukul 15.30 perbuatan yang belum pernah dia lakukan dan menandatangani BAP. Saat menandatangani, Sun An tidak didampingi pengacara yang ditunjuk pemerintah."Selama pemeriksaan, penyidik meminta uang sebesar Rp 12 juta, lalu minta lagi Rp 20 juta. Total ada Rp 30 juta. Ketika di tahanan, HP dan kartu ATM suami diambil dan diminta nomor PIN, di sana mereka mengambil semua uang tabungan yang jumlahnya Rp 50 juta," Sia Kim nada kesal.Tidak selesai di sana, salah satu penyidik bernama Aiptu Baharuddin yang memeriksa suaminya mengirimkan surat yang ditandatangai atas namanya. Surat itu berisi permintaan Baharuddin agar suami maupun keluarga memberikan bantuan untuk dapat membangun rumah tinggal.Dalam pemeriksaan di pengadilan, keduanya diputus bersalah dan dihukum seumur hidup, lebih tinggi dari tuntutan JPU selama 20 tahun penjara."Padahal BAP sudah dibatalkan, tapi hakim pengadilan negeri dan tinggi Medan menutup mata," sahut Edwin.Terkait pengalaman itu, dengan bantuan dari kuasa hukum dan KontraS, keluarga melaporkan kejadian yang mereka alami melalui Propam Mabes Polri, Kompolnas, Komisi Yudisial dan Wantimpres. Mereka

   berharap agar mendapatkan keadilan dari peristiwa yang mereka alami.

  Terjadinya salah tangkap terhadap orang-orang yang tidak sama sekali bersalah, bahkan lebih dari sekedar penangkapan, orang yang tidak bersalah tersebut terkadang mau tidak mau harus merasakan pahitnya penahanan dengan kurungan, menghadapi hukuman yang sama sekali tidak diperbuat oleh korban. Hal ini sudah 14

  di akses pada tanggal 7 Desember 2012, pukul 15.30 pasti mengalami mental dan fisik yang negatif pula bagi si korban, selain mendapati kerugian-kerugian besar bagi keluarga korban salah tangkap tersebut yang sebagian merupakan tulang punggung bagi kehidupan keluarganya selama ini, kemudian pada akhirnya di ketahui terjadinya kesalahan Penyidik Polri dalam melakukan tugasnya sebagai penegak hukum, tetapi hanya dengan membebaskan atau meminta maaf kepada korban salah tangkap tanpa melihat kerugian-kerugian yang diterima si korban. Hal tersebut sudah jelas tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat oleh Polri sebagai penyidik.

  Aparatur harus mampu mengoptimalkan fasilitas, kinerja yang ditopang oleh sikap mental agar hasil optimal, dan suasana kondusif dapat diwujudkan. Hal ini dapat menjadi umpan balik yaitu sebagai bentuk pengendalian diri sekaligus mekanisme tanggung jawab (akuntabilitas) peradilan yang selama ini sulit dipastikan.

  Sangat tidak bijaksana dan memperlihatkan rentannya persoalan apabila seorang (pejabat peradilan), atau kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan (dalam sebuah birokrasi) melakukan tindakan (pelanggaran hak asasi) yang merugikan (tersangka atau masyarakat umum), terlebih jika tindakan tersebut dilakukan dengan dalih atau dasar sebuah aturan yang mendukung. Etika, akuntabilitas pejabat dan professionalitas merupakan kunci utama yang mampu membawa peradilan kepada model pelayanan manusiawi, karena peradilan harus memanusiakan manusia sebagai

   manusia dan bukan mesin atau objek pasif yang rigid serta tertutup. 15 Anthon F. Susanto, Op.Cit, halaman 7 Untuk itu saya ingin mengetahui secara lebih jelas bagaimana upaya-upaya dan pertanggungjawaban penyidik Polri atas kesalahan yang diperbuat dan apa yang dapat dilakukan korban salah tangkap tersebut untuk menuntut atas hukuman dan kerugian yang telah korban alami.

  Maka dalam kasus diatas saya selaku penulis tertarik untuk membahas dan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai judul skripsi yang berjudul “Analisa

  

Pertanggungjawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah

Tangkap atau Error In Persona”.

A. Rumusan Masalah

  Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah fungsi Polri dalam penegakan hukum? 2.

  Bagaimanakah pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap terjadinya salah tangkap atau error in persona.

  B. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:

  1. Untuk mengetahui bagaimana fungsi Polri dalam penegakkan hukum.

  2. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam mengaplikasikan peraturan perandang-undangan yang mengatur tentang kesalahan penyidik Polri dalam kasus salah tangkap yang terjadi.

  C. Manfaat penelitian

  1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap korban salah tangkap yang terjadi atas kesalahan si penyidik sehingga kemungkinan terjadinya kerancuan- kerancuan dan tumpang tindih hukum dapat diminimalisasi.

  2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi mengenai Analisa Pertanggungjawaban Penyidik Polri dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah tangkap atau Error In Persona berdasarkan pemeriksaan arsip hasil penulisan skripsi di Fakultas Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.

  Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulisan sendiri tanpa ada penipuan, penjuplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulisan dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang perbankan. Dengan demikian, penulisan skripsi merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tanggung Jawab

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan wajib

  anggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah

  menanggung segala sesuatunya. T

  

laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga

  berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab timbul karena telah diterimanya wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab seimbang dengan wewenang.

  WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang

  Sedangkan menurut

  telah menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya. Dengan

demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib

menanggung segala sesuatunya. Dengan kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia

akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung

jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

  Burhanuddin Salam, dalam bukunya “Etika Sosial”, memberikan pengertian bahwa responsibility is having the character of a free moral agent; capable of determining one’s acts; capable deterred by consideration of sanction or consequences. (Tanggung jawab itu memiliki karakter agen yang bebas moral; mampu menentukan tindakan seseorang; mampu ditentukan oleh sanksi/hukuman atau konsekuensi). Setidaknya dari pengertian tersebut, dapat kita ambil 2 kesimpulan : a)harus ada kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan; dan b)harus ada kesanggupan untuk memikul resiko atas suatu perbuatan. Kemudian, kata tanggung

   jawab sendiri memiliki 3 unsur : 1)Kesadaran (awareness).

2. Pengertian Penyidik

  Menurut KUHAP ketentuan umum, pasal 1 ayat (1) penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakiikan penyidikan. Dan kemudian menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengampalkan bukti-bukti terjadi dan guna menemukan tersangkanya, Penyidikan dilakukan setelah adanya tahap penyelidikan terlebih dahulu yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai ttndak pidana guna menentnkan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan, Barangkali penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan pengusutan” 16 Muhammad Joe Sekigawa, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,

   Diakses tanggal 28 November 2012, jam 15.34 WIB sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bxikti-bukti

   sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

  Penyidik sebagaimana diatur didalam KUHAP terdiri dari dua bagian yaitu: A. Penyidik Polri

  Penyidik menurut ketentuanTasal 6 ayat (l) huruf a, salah satu instansi yang diberi wewenang melakukan penyidikan ialah “pejabat polisi Negara”. Memang dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, haras memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 6 ayat (2), Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalarn menetapkan kepangkatan jabatan penyidik disesuaikan dengan kepangkatan penutut umum dan Hakim Peradilan Negeri Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27 tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab 17 M. Yahya Harahap, Op,cit., halaman 109

  11 PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian, dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pejabat penyidik penuh

  Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh” harus memenuhi syarat kepangkatan dau pengangkaian.

  a.

  Sekurang-kurangnyaPembantu Letnan Dua Polisi; b.

  Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sector kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu letnan Dua; c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala kepolisian RI. Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi penjabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, sekalipun prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sector kepolisian, Peraturan Pemerintahan memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan Kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.

2. Penyidik Pembantu

  Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”diatur dalam

  Pasal 3 PPNo. 27 Tahun 1983.menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik umum: a.

  Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi; b.

  Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) c.

  Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

  Penyidikan pembantu bukan mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu.misalnya ahli kimia atau ahli patologi. Kalau pegawai negeri sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat pengangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai sipil.

  B.

  Penyidik Pegawai Negeri Sipil Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik negeri sipil diatur dalam Pasal ayat (1) huruf b, yaitu pegawai sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khususnya, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Lebih lanjut dapat dilihat kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan.

1. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah: a.

  Koordinasi penyidik Polri, dan b.

  Di bawah pengawasan penyidik Polri 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)) 3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (pasal 107 ayat (2)).

  4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)).

  5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus

   diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (pasal 109 ayat (3)).

3. Penangkapan

  Sering kali dikatakan pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan sejajar dengan arrest (inggris) sedangkan penahanan sejajar dengan detention (inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.

  Penangkapan pada Pasal 1 butir 20 KUHAP dijelaskan: “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

  Dari defenisi penangkapan yang disebut dalam pasal 1 butir 20 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa yang berwenang melakukan penangkapau ialah: a.

  Penyidik dan alas perintah penyidik juga penyelidik serta penyidik pernbanru untuk kepentingan penyidikan.

  b.

  Penuntut umum untuk kepentingan penuntutan. 18 M.Yahya Harahap, Op Cit. halaman 109-114.

  c.

  Hakim untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan.

  Untuk kepentingan penyidikan, maka baik penyidik maupun penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Penangkapan yang akan dilakukan ditujukan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Oleh sebab itu penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditajukan

   kepada orang yang benar-benar melakukan tindak pidana.

  Mengenai alasan penangkapan atau syarat penangkapan terdapat dalam pasal 17: a.

  Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana.

  b.

  Dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.

  Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan pasal 17 ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Selanjtrtnya penjelasan pasal 17 menyatakan; “Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang- wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana”.

  Sebagai pegangan, tindakan penangkapan bara dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu: “diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan 19 Ratna Sari, Op,cit., halaman 36. yang demikian, bias menimbulkan “kekurangpastian” dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak

   permulaan bukti yang cukup.

4. Error in persona

  Error in persona adalah suatu dwaling, saata salah faham atau kekeliruan dari

  pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jadi, salah paham tentang obyeknya perbuatan, umpamanya, apabila yang akan dibunuh itu A, kemudian dikira telah

   membunuh A, padahal sesungguhnya yang dianggap A itu adalah B.

  Keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, Tetapi terdakwa dapat dipidana tergantung dari bunyinya dakwaan. Jika didakwa telah membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh karena memang kesengajaannya untuk itu tidak ada. Yang adalah untuk membunuh A. Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B. Rumusan

  pasal 338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain dari pada terdakwa). Jadi error in persona dalam contoh diatas tidak membawa akibat apa-

   apa.

G. Metode Penelitian Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu.

  Sebagaimanatentang cara penelitian hams dilakukan, maka metode penelitian yang digunakan penulis mencakup antara lain: 20 21 M. Yahya Harahap, Op Cit. halaman 158. 22 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2008, halaman 209.

  Ibid, halaman 216

  1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan pidana sebagai sarana kebijakan hukum pidana, dalam rangka pembangunan dan pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap eksistensi pidana badan di Indonesia dan aplikasinyaterhadap penegakan hukum di Indonesia.

  2. Sumber Data a.

  Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

  b.

  Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari : 1)

  Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari : a.

  Norma kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945; b. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; c. Undang-undang No, 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang

  Hukum acara pidana dan Undang-undang No. 2 Talum 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; d.

  Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

  2) Badan Hukum Sekunder, yaitu badan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari: a.

  Buku-buku yang terkait dengan hukum; b. Artikel dijurnal hukum; c. Komentar-komentar atas putusan pengadilan; d. Skripsi, tesis dan Disertasi Hukum.

  e. karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

  3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari : a.

  Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia; b. Majalah-majalah yang ada hubungatmya dengan penelitian ini; c. Surat kabar yang berkaitan dengan materi skripsi; d. Data skunder diatas akan didukung alat data primer berupa data laporan

3. Lokasi Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di Kepolisian Medan pada instansi : a.

  Polda Sumatera Utara b. Pengadilan Negeri Medan

  4. Narasumber Penelitian a.

  Kepala Direktur Resort kriminal Umum atau yang mewakilinya b. Pelaku atau korban salah tangkap atau yang mewakilinya.

  5. Teknik Pengumpulan Data a.

  Library research (penelitian kepustakaan).

  Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan. dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

  b.

  Field research (penelitian lapangan) Yaitu data dilakukan dengan cara wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada responden penelitian.

  6. Analisis Data Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut : a.

  Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian b.

  Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan.

H. Sistematika Penulisan

  Dalam membantu penulis dan pembaca dalam memahami suatu skripsi perlu dibuat suatu sistematika (gambaran isi) dengan menguraikan secara singkat materi- materi yang terdapat didalam uraian mulai dari bab pertama sampai dengan bab yang terakhir sehingga tergambar hubunaan antara bab yang satu dengan bab yang lain.

  Maka dalam penulisan skripsi ini penulis menyusun secara sistematis dalam beberapa bab sebagai berikut:

  BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang : Latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistemarika Penulisan. BAB II : FUNGSI POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Tugas dan Fungsi POLRI secara umum, Fungsi POLRI dalam penegakan hukum, Penyimpangan Prilaku Penyidik dalam Penegakan Hukum

  BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI MENURUT KUHAP TENTANG POLISI BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Pertanggungjawaban Penyidik POLRI Menurut KUHAP Tentang Polisi Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Prosedur teknis Proses Praperadilan sebagai upaya pertanggungjawaban Penyidik terkait kasus salah tangkap di POLDA Sumatera Utara Tanjung Merawa Medan.

  BAB IV : KESIMPULAN dan SARAN Dalam bagian terakhir ini akan diuraikan Kesimpulan dan Saran Skripsi.