BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN A. Pengertian Perjanjian Pengangkutan - Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian yang Menyebabkan Rusak atau Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Kon

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN A. Pengertian Perjanjian Pengangkutan Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau

  mengirimkan. Pengangkutan artinya usaha membawa, mengantar atau

   memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain.

  Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut :

  1. Ada sesuatu yang diangkut.

  2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan.

   3. Ada tempat yang dapat dilalui oleh angkutan.

  Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia

   dari tempat asal ke tempat tujuan.

  Menurut pendapat R. Soekardono, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat

   serta efisiensi.

  4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1996, hal. 45. 5 Ridwan Khairandy, dkk Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 194. 6

  Adapun proses dari pengangkutan itu merupaka gerakan dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu

   diakhiri.

  Mengenai pengertian perjanjian pengangkutan di dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak diberikan definisinya. Perjanjian pengangkutan itu sendiri bersifat konsensuil, sehingga untuk terciptanya perjanjian pengangkutan tidak diperlukan adanya syarat tertulis, jadi hanya bersifat konsensuil.

  Menurut pendapat yang diungkapkan R. Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain,

   sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar ongkosnya.

  Sedangkan menurut pendapat H.M.N. Purwosutjipto, yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan adalah perjanjian antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang

   angkutan.

  Di dalam perjanjian pengangkutan terdapat kesepakatan antara pihak- pihak yang ingin mengadakan pengangkutan maka perjanjian pengangkutan

  8 Muchtarudin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, Lembaga penerbitan FE UI, Jakarta, 1981, hal. 5. 9 10 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung 1979, hal. 81. menimbulkan hak dan kewajiban. Dimana para pihak yang dimaksud harus dengan sungguh-sungguh melaksanakannya.

  Dalam perjanjian pengangkutan di laut para pihak dapat meminta untuk dibuatkannya suatu akta yang disebut carter party. Tapi carter party ini bukan merupakan syarat adanya perjanjian itu melainkan semata-mata sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perjanjian pengangkutan.

  Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelengarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak pengirim barang atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar ongkos

   angkutannya.

B. Asas-Asas Dalam Perjanjian Pengangkutan

  Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian pengangkutan, yang memiliki asas-asas sebagai berikut: 1.

  Asas Personalia ”Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah

   hanya untuk kepentingan perseorangan saja”. 11 12 Ibid., hal. 2.

  Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata, Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.” Sedangkan Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Namun, ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, yang berbunyi: “dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat seperti itu.” 2.

  Asas konsensualisme ”Asas konsensualisme adalah bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata

   sepakat atau kehendak mengenai isi atau pokok perjanjian”.

  Asas konsensualisme ini kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian, bahwa dengan adanya konsensualisme, perjanjian itu telah lahir atau terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak diperlukan formalitas lain.

3. Asas Kebebasan Berkontrak

  Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 13

  Asas ini merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan Hak Asasi Manusia dalam mengadakan perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. ”Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata banyak didalam Undang-Undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan pada asas ini”.

  Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh undang- undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan ”sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik dan mereka wajib melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat layaknya undang-undang”.

  Oleh karena Buku III KUHPerdata bersistem terbuka dan pasal-pasalnya merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap, maka para pihak boleh mengenyampingkan pasal-pasal dalam hukum perjanjian jika mereka menghendaki. ”Tetapi, jika dalam perjanjian tersebut para pihak tidak mengatur mengenai sesuatu hal, maka bagi sesuatu hal tersebut berlakulah ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata”.

  Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

  a) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

  b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

  c) Menentukan mengenai klausula/isi dalam perjanjian, pelaksanaan, serta persyaratannya. d) Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

  e) Menentukan cara membuat perjanjian.

  4. Asas Kepercayaan.

  ”Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari”.

  5. Asas Kekuatan Mengikat.

  Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. ”Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar undang-undang”.

  6. Asas Itikad Baik Asas ini menghendaki agar suatu perjanjian dilaksanankan dengan itikad baik. Itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a)

  Itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum tidak lain adalah perkiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan bahwa syarat- syarat yang diperlukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi semuanya.

  b) Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang timbul dari suatu hubungan hukum tidak lain maksudnya adalah itikad baik pada waktu melaksanakan perjanjian.

  Itikad baik disini juga terletak pada sanubari manusia, yang selalu ingat bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari

   perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.

  7. Asas Keseimbangan.

  Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi (kreditur) berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya (debitur), namun kreditur juga memiliki beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. ”Jadi, kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang”.

  8. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.

  Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa: “perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.

C. Jenis-Jenis Perjanjian Pengangkutan

  Adapun sebagai jenis-jenis pengangkutan adalah: 1. Pengangkutan udara 14 J.Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Citra Aditya Bakti, Bandung,

  Pengangkutan udara adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di udara.

  Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menjelaskan Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

  Pasal 1 butir 14 sampai dengan 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menjelaskan berbagai jenis angkutan udara yang meliputi:

  a) Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.

  b) Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

  c) Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  d) Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya. e) Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

2. Pengangkutan Laut

  Pengangkutan laut yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk penangngkutan orang atau barang yang dijalankan di laut. Yang diatur di dalam :

  a) KUHD, Buku II, Bab V, tentang “Perjanjian Carter kapal”.

  b) KUHD, Buku II, Bab V-A, tentang “Pengangkutan barang-barang”.

  Pengangkutan barang-barang ini adalah merupakan suatu bentuk pengangkutan dengan objek yang diangkut berupa barang-barang. Muatan barang lazim disebut dengan barang saja. Barang yang dimaksud adalah yang sah menurut undang-undang. Dalam pengertian barang termasuk juga hewan.

  c) KUHD, Buku II, Bab V-B, tentang “Pengangkutan orang”.

  d) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menjelaskan angkutan laut merupakan angkutan di perairan. Pasal 1 butir 3 Undang-

  Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menjelaskan angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan atau barang dengan menggunakan kapal.

  3. Pengangkutan Darat yaitu : Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang di jalan selain daripada kendaraan yang berjalan di atas rel. Yang dapat dibagi :

  a) Pengangkutan kereta api yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas rel.

  Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian dijelaskan Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.

  b) Pengangkutan jalan raya yaitu kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di setiap jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum.

  Undang-Undang yang mengatur tentang pengangkutan di jalan raya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.

  4. Pengangkutan Perairan darat atau perairan pedalaman Yaitu kendaraan yang biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang yang dijalankan di atas perairan seperti sungai, danau ataupun terusan-terusan. Yang diatur di dalam : a) KUHD, Buku II, Bab XIII, pasal 748 sampai dengan 754, mengenai kapal-kapal yang melalui perairan darat.

  b) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan.

  D.

  

Tanggungjawab Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Melalui

Darat

  Sebelum menguraikan siapa saja yang terkait dalam angkutan barang melalui darat, maka dapat dilihat dari praktek pengiriman barang melalui darat tersebut yaitu: 1.

  Pihak pengirim.

  Pihak pengirim adalah pihak yang berkepentingan atas perpindahan barang yang dikirimkan ke tempat tujuan.

  2. Pihak pengangkut.

  Pihak pengangkut yang dimaksudkan disini adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha pengiriman barang.

  3. Pihak armada pengangkutan.

  Pihak armada pengangkutan adalah pihak yang melakukan pengangkutan atau perpindahan barang dari tempat pengiriman ke tempat tujuan.

  4. Pihak asuransi.

  Adalah pihak yang menjamin atas risiko yang timbul dari peristiwa pengiriman barang tersebut.

  Pada setiap perjanjian, sudah barang tentu harus ada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, karena tanpa adanya pihak-pihak tersebut maka perjanjian itu tidak mungkin ada. Demikian pula halnya pada perjanjian pengangkutan, karena tanpa adanya yang mengadakan perjanjian pengangkutan tidaklah akan ada (lahir).

  Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan itu adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim barang, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar ongkos (uang angkutan) sebagaimana yang diperjanjikan.

  Dari pengertian pengangkutan tersebut di atas, dapatlah kita ketahui bahwa, pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan itu adalah “pengangkut dan pengirim. Dengan kata lain bahwa, pengangkut dan pengirimlah yang

   mengadakan perjanjian pengangkutan.

  Pengangkut adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan tepat pada waktunya. Sedangkan pengirim adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (ongkos) sebagai imbalan jasa yang dilakukan oleh pihak pengangkut dalam menyelenggarakan pengangkutan itu. 15 Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut barang muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan barang itu kepada orang yang ditunjuk (tempat tujuan) sebagai penerima, dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam hal ini, maka si penerima barang tersebut, mungkin saja di pengirim sendiri atau juga orang lain sebagai pihak ketiga.

  Apabila orang lain yang menjadi pengirim barang, maka disini kedudukan penerima tersebut adalah pihak ketiga (di luar pihak dalam perjanjian pengangkutan) yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu.

  Sebagai dasar hukum bagi si penerima menjadi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap terlaksananya perjanjian pengangkutan itu, terdapat pada Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyebutkan : Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

  Menurut isi pasal tersebut, jelaslah bahwa kedudukan penerima di dalam perjanjian pengangkutan adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan itu, tetapi ia tidak termasuk dalam perjanjian pengangkutan tersebut.

  Dalam hal ini, pihak penerima dapat menjadi pihak yang berkepentingan di dalam perjanjian pengangkutan adalah setelah ia menyatakan kehendaknya untuk menerima barang, maka si penerima barang berkewajiban untuk membayar uang angkutan (ongkos) barang itu jika ada penagihan dari pihak pengangkut.

  Apabila penerima telah menerima barang-barang itu sebagaimana yang telah dialamati dalam surat muatan pada perjanjian pengangkutan di tempat tujuan, maka penerima telah memasuki perjanjian pengangkutan dan menaklukkan diri kepada seluruh perjanjian pengangkutan antara si pengangkut dengan si pengirim.

  Penaklukan diri ini berarti, penetapan-penetapan hak dan kewajiban penerima, dan kewajiban si penerima tersebut adalah seperti membayar uang angkutan atau ongkos-ongkos lainnya sebagaimana yang termuat dalam perjanjian

   pengangkutan”.

  Mengenai uang angkutan, dapat diatur lain antara si pengirim dengan si penerima. Jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim dapat diketahui oleh penerima dari surat muatan yang diterimanya. Karena di dalam surat muatan itu akan dicantumkan apakah uang angkutan sudah dibayar atau belum. Dengan demikian jika uang angkutan belum dibayar oleh pengirim, maka penerima wajib untuk membayar uang angkutan (ongkos) yang dipergunakan dalam perjanjian pengangkutan itu sebagaimana telah ditentukan di dalam surat muatan.

  Pengirim pada suatu perjanjian pengangkutan tidak hanya orang perorangan saja, tetapi juga dapat merupakan suatu badan yang bergerak di dalam pengiriman barang, yang kemudian badan seperti ini dikenal dengan nama ekspeditur.

  Ekspeditur adalah suatu badan yang pekerjaannya menuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, baik melalui darat, laut maupun

   udara.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengiriman Barang Terhadap Kelalaian yang Menyebabkan Rusak atau Hilangnya Barang Pengiriman Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus PT. Tiki Cabang Gelugur Medan)

22 172 102

Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Orang Dan Barang Dalam Pengangkutan Udara Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

3 143 98

Tanggung Jawab Perusahaan Pengiriman Barang dalam Pengiriman Barang Paket Dengan Klausul...

0 27 3

Peranan Dan Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi Terhadap Kerusakan Barang Dagang Dalam Perjanjian Pengangkutan Laut (Studi CV. Camar Indah Medan)

6 200 102

Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Pengiriman Barang Atas Tindakan Wanprestasi Dihubungkan Dengan III Buku BW Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 19 98

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN - Tanggung Jawab Yuridis Para Pihak Dalam Pengiriman Tebu dari Kebun ke Pabrik (Studi pada Kebun Sei Semayang PTPN II)

0 0 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum - Pelaksanaan Angkutan Barang Dengan Peti Kemas Ditinjau Dari Aspek Yuridis (Studi pada PT Masaji Tatanan

0 0 26

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Perjanjian - Chapter II (497.7Kb)

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 2 55

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN - Aspek Yuridis Perjanjian Pengiriman Uang Dengan Sistem Online Pada BANK BRI Cabang Tanjung Balai

0 0 25