Pemanfaatan Asap Cair Dari Tempurung Kelapa Sebagai Koagulan Komersial Karet Alam Nias Utara

  1. Karet konvensional.

  Karet konvensional adalah karet yang tingkatan mutunya ditetapkan berdasarkan sifat-sifat penampakan (visual), seperti warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan noda-noda lain. Sesuai dengan mutu, sifat visual dan cara pengepakan, karet alam terdiri dari 8 (delapan) tipe (The Green Book, 1969), yaitu :

  a.

   Ribbed Smoked Sheets (RSS) b. White and Pale Crepes c. Estate Brown Crepes d.

   Compo Crepes e. Thin Crepes f. Thin Blanket Crepes g.

   Flat Bark Crepesa h. Pure Smoked Blanket Crepes.

2. Karet spesifikasi teknis.

  Karet spesifikasi teknis adalah karet yang diolah dalam bentuk karet remah dan jenis mutunya ditetapkan berdasarkan pengujian sifat-sifat teknis sesuai dengan rumusan International Standard Organization (ISO), yaitu mencakup kadar kotoran, kadar abu, kadar tembaga, kadar mangan, kadar zat yang mudah menguap, kadar nitrogen, PRI dan karakteristik vulkanisasi (curing characteristics). Di Indonesia karet spesifikasi teknis ini dikenal sebagai SIR (Standars Indonesian Rubber), yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian Republik Indonesia dan mengacu kepada perkembangan teknologi serta permintaan konsumen. Selain itu mengenal lateks kebun yang berwarna putih kekuning-kuningan, diperoleh dari pohon Hevea brasiliensis. Komponen utamanya adalah karet (36%), protein (2%), air (59%), damar (1%), abu (0,5%), dan gula (1,5%). Angka-angka tersebut di atas tidak tetap, tergantung pada beberapa faktor seperti jenis klon karet, keadaan tanah, keadaan cuaca, keadaan iklim, musim dan lain sebagainya. Hasil pengolahan lateks kebun secara teknis pemusingan kimiawi, dengan menambahkan bahan penggumpal asam organik seperti asam formiat dan asam asetat pada pH sekitar 4,5 menghasilkan lateks pekat dengan kadar karet kering 60% dan mutunya memenuhi spesifikasi teknis yang mengacu kepada American Society for Testing and Material (ASTM) atau International Organization for Standardization 2004 (ISO 2004).

  D1076

  Berdasarkan kadar amonia yang terdapat dalam lateks pekat dikenal: lateks pekat amonia rendah (Low Ammonia) adalah lateks pekat yang mengandung amonia maksimum 0,29%, lateks pekat amonia tinggi (High Ammonia) adalah lateks pekat yang mengandung amonia maksimmum 0,60%.

  Gambar.2.2 Karet Alam Nias Utara Tabel.2.1. Komposisi Karet Alam (Surya 2006)

  Komponen dalam Komponen dalam No Komponen latex segar (%) latex kering (%)

  Hidrokarbon 36 92-94

  1 Protein 1,4 2,5-3,5

  2

  • 3 Karbohidrat 1,6

  4 Lipida 1,6 2,5-3,2

  Persenyawaan Organik Lain - 0,4

  5 Persenyawaan Anorganik 0,5 0,1-0,5

  6 Air 58,5 0,3-1,0

  7

2.1.1.Peranan Karet Alam Dalam Perekonomian Nasional

  Karet memiliki berbagai peranan penting bagi Indonesia, antara lain: (a) Sumber pendapatan dan lapangan kerja penduduk (b) Sumber devisa negara dari ekspor non-migas (c) Mendorong tumbuhnya agro-industri di bidang perkebunan (d) Sumber daya hayati dan pelestarian lingkungan.

  Luas areal tanaman karet pada tahun 2006 sekitar 3,31 juta hektar, dengan produksi 2,64 juta ton atau 27,3% produksi karet alam dunia (9.2 juta ton), menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand (IRSG, 2007). Pada tahun 2005, karet mampu menghasilkan devisa hingga US $ 2,58 milyar, naik menjadi US $ 3,77 milyar pada tahun 2006, menempatkan karet sebagai komoditas penghasil devisa terbesar diantara komoditas perkebunan. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 2,29 juta ton pada tahun 2006. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2005 mencapai US$ 2,58 milyar, dan meningkat tajam menjadi US $ 4,36 milyar pada tahun 2006 seiring dengan melonjaknya harga karet dari 1,2 USD/kg hingga sekitar 2 USD/kg pada tahun 2006 (Depperind, 2007).

  Bagi perekonomian nasional, karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang signifikan sebagai salah satu sumber devisa non-migas, pemasok bahan baku karet dan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan karet. Karet bersama- sama dengan kelapa sawit merupakan dua komoditas utama penghasil devisa terbesar dari subsektor perkebunan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, karet menyumbang devisa dari 25% hingga 40% terhadap total ekspor produk perkebunan.

2.1.2 Prospek Perdagangan Karet Alam

  Hasil kajian para pakar memperlihatkan bahwa prospek perdagangan karet alam dunia sangat baik. Dalam jangka panjang, perkembangan produksi dan konsumsi karet menurut ahli pemasaran karet dunia yang juga Sekretaris Jenderal International

  , Dr. Hidde P. Smit, menunjukkan bahwa konsumsi karet alam

  Rubber Study Group

  akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 8,5 juta ton di tahun 2005, naik menjadi 9,23 pada tahun 2006, dan diprediksi menjadi 11,9 juta ton pada tahun 2020. Sementara itu produksi karet alam dunia sebesar 8,5 juta ton pada tahun 2005, naik menjadi 9,18 juta ton pada tahun 2006, diprediksi menjadi 11,4 juta ton di tahun 2020. Harga karet alam di pasar dunia juga diprediksikan tetap bertahan pada level di atas US $ 1 per kg, bahkan pada tahun 2013 diperkirakan bisa menembus US $ 2,4 per kg dan bahkan level harga tersebut telah dicapai pada tahun 2006 ini. Pada tahun 2020 diperkirakan harga karet alam di pasaran dunia tetap bertahan pada angka US $ 1,9 per kg.Timbulnya peningkatan konsumsi karet alam di negara-negara Asia disebabkan makin meningkatnya perkembangan industri ban dan komponen industri lainnya. Konsumsi karet alam dan karet sintetik dunia yang pada tahun 2004 baru mencapai 20,03 juta ton akan meningkat mencapai 28,67 juta ton pada tahun 2020, diantaranya 11,9 juta ton karet alam. Indonesia diharapkan dapat memasok 3,5 juta ton pada tahun 2020.

  ISRG berpendapat bahwa pada jangka panjang diperkirakan terdapat kekurangan pasokan yang tidak saja disebabkan oleh permintaan dunia yang meningkat dengan cepat tetapi juga 2 diantara 3 negara penghasil karet alam yaitu Malaysia dan Thailand yang merupakan negara dengan ekonomi yang berkembang cepat, mungkin menjadi generasi baru dari Newly Industrialized Countries (NICs), sehingga kedua negara akan meninggalkan agrobisnis karet. Indonesia diharapkan dapat mengisi kekurangan pasokan untuk kebutuhan dunia.

2.1.3 Jenis-Jenis Karet Alam

  Karet merupakan polimer yang bersifat elastis, sehingga dinamakan pula sebagai elastomer. Saat ini karet tergolong atas karet sintetik dan karet alam. Karet sintetik dibuat secara polimerisasi fraksi-fraksi minyak bumi. Contoh karet sintetik yang kini banyak beredar adalah SBR (Strirene Butadiene Rubber), NBR (Nitrile Butadiene

  Rubber ), karet silikon, Urethane dan karet EPDM (EthilenePropileneDiMonomer).

  Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Braziliensis. Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur kelelahan (fatigue). Berdasarkan keunggulan tersebut, maka saat ini karet alam sangat dibutuhkan terutama oleh industri ban. Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet lembaran asap, karet krep dan crumb rubber. (a) Lateks pekat diolah langsung dari lateks kebun melalui proses pemekatan yang umumnya secara sentrifugasi sehingga kadar airnya turun dari sekitar 70% menjadi 40-45%. Lateks pekat banyak dikonsumsi untuk bahan baku sarung tangan, kondom, benang karet, balon, kateter, dan barang jadi lateks lainnya. Mutu lateks pekat dibedakan berdasarkan analisis kimia antara lain kadar karet kering, kadar NaOH, nitrogen, MST dan analisis kimia lainnya. (b) Karet sit asap atau dikenal dengan nama RSS (Rubber Smoked Sheet) dan karet krep (crepe) digolongkan sebagai karet konvensional, juga dibuat langsung dari lateks kebun, dengan terlebih dulu menggumpalkannya kemudian digiling menjadi lembaran-lembaran tipis, dan dikeringkan dengan cara pengasapan untuk karet sit asap, dan dengan cara pengeringan menggunakan udara panas untuk karet krep. Mutu karet konvensional dinilai berdasarkan analisis visual permukaan lembaran karet. Mutu karet akan makin tinggi bila permukaannya makin seragam, tidak ada gelembung, tidak mulur, dan tidak ada kotoran serta teksturnya makin kekar/kokoh. (c) Karet remah digolongkan sebagai karet spesifikasi, karena penilaian mutunya tidak dilakukan secara visual, namun dengan cara menganalisis sifat-sifat fisika- kimianya seperti kadar abu, kadar kotoran, kadar nitrogen, plastisitas Wallace dan viskositas Mooney. Karet remah produksi Indonesia dikenal dengan nama (SIR). Saat ini umumnya (SIR 10 dan 20) dibuat

  Standard Indonesian Rubber

  dari lump atau sleb dari perkebunan rakyat. Disebabkan bahan bakunya kotor, maka proses pengolahan di pabrik karet remah melibatkan berbagai peralatan pengecilan ukuran (size reduction) dan pencucian.

2.1.4 Kontaminan Pada Bahan Olah Karet

  Lateks sebagai sumber pertama dari bahan baku karet remah sesungguhnya merupakan material alam yang sangat bersih, bahkan mengandung bahan-bahan yang berperan penting dalam menjaga mutunya agar tetap baik. Pada lateks, selain hidrokarbon karet (polimer poliisoprena), terkandung juga berbagai senyawa penting antara lain lipid dan protein. Lipid berperan sebagai antioksidan, yakni bahan pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet. Sedangkan protein, selain berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga berperan sebagai bahan yang mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi karet. Masuknya kontaminan pada karet, akan merusak bahan-bahan alami tersebut (Archer, et al., 1983). Kontaminasi terhadap sesuatu produk diartikan sebagai pencemaran. Dengan demikian kontaminan bisa didefinisikan sebagai zat pencemar, karena berdampak buruk terhadap mutu, seperti bersifat meracuni, produk menjadi cepat busuk, merusak tekstur, warna, rasa dan kerusakan mutu lainnya. Demikian pula untuk karet, kontaminan bisa menyebabkan karet mudah teroksidasi, memperlemah elastisitas, menurunkan kekuatan tarik, dan ketahanan sobek dari vulkanisatnya.

  Sebagai contoh kasus untuk karet, tawas sebagai koagulan bisa dianggap sebagai kontaminan, karena di dalam tawas terkandung logam alkali yang bersifat sebagai pro-oksidan, serta berdampak menahan air yang memudahkan berkembangnya mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon karet. Itulah sebabnya mengapa koagulan yang disarankan hingga kini adalah asam semut, asam cuka atau asam lemah lainnya. Koagulan-koagulan tersebut tidak berbahaya, bahkan meningkatkan mutu karena bersifat mendorong air/serum untuk segera keluar dari koagulum.

  Contoh lain yang sering terjadi di dalam bahan baku karet remah adalah sering bercampurnya pasir dan tanah ke dalam bokar secara sengaja maupun tidak disengaja. Untuk mengeluarkan kedua zat pengotor tersebut diperlukan serangkaian proses pengecilan dan pencucian yang banyak memerlukan air, listrik dan waktu proses. Dengan demikian, kontaminan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap mutu produk, namun juga memerlukan biaya tambahan untuk membersihkannya.

2.2. Stabilitas Koloid Lateks

  Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloidnya stabil, yaitu tidak terjadi frokulasi atau penggumpalan selama penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Ada kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air (serum) misalnya asosiasi komponen-komponen bukan karet pada permukaan partikel- partikel karet.

  2. Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri (Robert, 1988).

  Disamping kedua faktor di atas ada 3 (tiga) faktor lain yang dapat menyebabkan sistem koloid partikel-partikel karet menjadi tetap stabil, yaitu :

  1. Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi gaya tolak menolak antara dua atau lebih partikel karet tersebut.

  2. Adanya interaksi antara molekul air dengan partikel karet yang menghalangi terjadinya penggabungan partikel-partikel karet tersebut.

  3. Energi bebas antara permukaan yang rendah.

  Sistem koloid lateks terbentuk karena adanya lapisan lipida yang teradsorpsi pada permukaan partikel karet (lapisan primer) dan lapisan protein pada lapisan luar (lapisan sekunder) memberikan muatan pada permukaan partikel koloid. Penambahan bahan pengawet ammonia dan bahan pemantap ammonium laurat akan menyempurnakan lapisan pelindung tersebut.

  2 .3. Penggumpalan Lateks

  Rusaknya kemantapan sistem koloid lateks mengakibatkan terjadinya penggumpalan. Kerusakan ini dapat terjadi antara lain dengan jalan penetralan muatan protein dengan penambahan asam sehingga muatan negatif dan muatan positif lateks setimbang (tercapai titik isoelektrik). Titik isoelektrik dari lateks pada umumnya sekitar pH 4,7. Penggumpalan diawali dengan flokulasi yaitu interaksi antara partikel karet dengan partikel karet lainnya selanjutnya terjadilah koagulasi.

  Untuk memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan. Hal ini pertama-tama berlaku untuk alat-alat yang digunakan dalam pekerjaan penggumpalan lateks bersentuhan dengannya. Selain dari kemungkinan pengotor lateks oleh kotoran- kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya prakoagulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk

  diolah.

  Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Dalam keadaan tertentu, pada saat penggumpalan lateks biasa juga menggunakan obat anti koagulasi (antikoagulan) untuk mencegah terjadinya prakougulasi. Tetapi penggunaan anti koagulasi ini harus dibatasi sampai batas sekecil-kecilnya, karena biasanya cukup besar dan kadang-kadang lateks yang dibubuhi antikoagulan memerlukan obat koagulan (misalnya asam semut) yang terpaksa kadarnya harus dinaikkan. Penambahan asam yang berlebihan dalam proses koagulasi juga dapat menghambat proses pengeringan (Setyamidjaja, 1993).

  Penggumpalan dengan cara penetralan muatan dalam lateks dapat juga terjadi dengan sendirinya akibat kontaminasi dengan mikroba yang terdapat disekelilingnya. Mikroba ini merombak senyawa-senyawa bukan karet seperti karbohidrat, protein atau lipid menghasilkan lemak eteris (asam asetat dan asam propionat). Penggumpalan dapat juga terjadi dengan cara dehidrasi yaitu dengan penambahan alkohol yang bersifat menarik air. Penggumpalan dapat juga dilakukan dengan penambahan larutan elektrolit bermuatan positif yang menetralkan muatan negatif dari sistem koloid seperti kalsium dan magnesium (Roberts, 1988) Adapun bahan-bahan penggumpal lateks yang sering digunakan adalah asam asetat (CH COOH) dan asam formiat (HCOOH). Pada waktu penggumpalan lateks

  3

  harus diperhatikan hal-hal berikut : COOH

  3

  1. Jumlah asam yang harus sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 20 ml CH 2,5% atau 20 ml HCOOH 2% tiap 1 liter lateks.

  2. Pengadukan harus dengan hati-hati dan sempurna karena dapat menyebabkan gelembung udara, ketebalan dan kekerasan koagulum yang tidak merata.

2.4. Standar Karet Indonesia.

  Standar ini meliputi ruang lingkup, defenisi, penggolongan, bahan olah, syarat ukuran, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, pengemasan, syarat penandaan dan catatan umum SIR. SIR digolongkan dalam 6 jenis mutu, yaitu:

  1. SIR 3 CV (Constant Viscosity)

  2. SIR 3 L (Light)

  3. SIR 3 WF (Whole Field)

  4. SIR 5

  5. SIR 10

  6. SIR 20 2.4.1 Syarat Mutu Karet Indonesia.

  Pada Tabel 2.2 disajikan skema SIR yang merupakan standar mutu karet remah produksi Indonesia atau skema persyaratan mutu. Karet remah tidak dapat dinilai secara visual, tetapi harus dinilai atas dasar spesifikasi teknis. Dengan demikian kekurangan-kekurangan dari penilaian visual dapat dihindarkan. Dengan spesifikasi teknis para konsumen karet dapat mengetahui secara obyektif sifat-sifat tertentu dari karet. Karet remah disebut juga sebagai SIR yaitu karet alam produksi Indonesia yang dijual dalam bentuk bongkahan dan mutunya dinilai berdasarkan spesifikasi teknis.

  Tabel : 2.2 Skema Persyaratan Mutu

PERSYARATAN JENIS MUTU

  NO SIR CV SIR 3 L SIR 3 WF SIR 5 SIR 10 SIR 20 JENIS UJI / KARAKTERISTIK BAHAN OLAH LATEKS KOAGULUM LATEKS SATUAN

  1 2 Kadar Kotoran (b/b) % Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 3 Kadar Abu (b/b) % Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.75 Maks 1.00 4 Kadar Zat Menguap (b/b) % Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 5 - P R I Min 60 Min 75 Min 75 Min 70 Min 60 Min 50 6 Min 30 Min 30 Min 30 Min 30 - Po Min 30 - 7 Nitrogen (b/b) % Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Kemantapan

  Visikositas/WASHT Maks 8 - - - - - - (Skala Plastisitas 8 Wallace) Viskositas Moony

  • ) -
  • 9 ML (1 + 4) 100 C 10<
  • Maks 6 - Warna Skala Lovibond
  • 11<
  • Pemasakan ( cure) **) **) **) - - Hijau - Warna Lambang Hijau Hijau Hijau Bergaris Coklat Merah
  • 12 Coklat Warna Plastik Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan - 13 Pembungkus Bandela Putih Susu/ Putih Susu/ Putih Susu/ Putih
  • Warna Pita Plastik Jingga Transparan
  • 14 Transparan Transparan Transparan Transparan Tebal Plastik Mm 0.03 ± 0.01 0.03 ± 0.01 0.03 ± 0.01 0.03 ± 0.01 0.03 ± 0.01 0.03 ± 0.01 15 Pembungkus Bandela Titik Leleh Plastik o C Maks 108 Maks 108 Maks 108 Maks 108 Maks 108 Maks 108

      Pembungkus Bandela Sumber SNI 06-1903-2000 Keterangan :

    • ) Tanda Pengenal Tingkatan Batasan Viskositas Mooney :

      CV

      45 — 50 — 55

      CV

      55 — 60 — 65

      CV

      65 — 70 — 75

      '*) Informasi mengenai cure dibenkan dalam bentuk Rheograph sebagai Standard

      non —mandatory

    2.4.2. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249 — 1987 (E)]

      Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran di dalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul dan ketahanan retak lenturnya. Kotoran tersebut juga mengganggu pada pembuatan vulkanisat tipis.

      Potongan uji untuk penetapan kadar kotoran perlu ditipiskan lagi untuk memudahkan pelarutan. Potongan uji yang telah digiling ulang, dilarutkan di dalam pelarut yang mempunyai titik didih tinggi, disertai penambahan suatu zat untuk memudahkan larutnya karet (rubber peptiser). Larutan kotor yang tertinggal kemudian dituangkan melalui saringan 325 mesh. Kotoran yang tertinggal pada saringan setelah dikeringkan di dalam oven, kemudian ditimbang setelah didinginkan. Hasil pelaksanaan pengujian yang baik, dapat dilihat dari mudah bergeraknya kotoran kering di dalam saringan. Kadar kotoran dapat dihitung dengan rumus :

      Kadar kotoran = 100 %

      x

      …………………………. (2.1) Dengan:

      A = bobot saringan berikut kotoran B = bobot saringan kosong C = bobot potongan uji

    2.4.3 Penetapan Kadar Abu [ISO 247 — 1990 (E)]

      Abu di dalam karet terjadi dari oksida, karbonat dan fosfat dari kalium, magnesium, kalsium, natrium dan beberapa unsur lain dalam jumlah yang berbeda- beda. Abu dapat pula mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang jumlah kandungannya bergantung pada pengolahan bahan mentah karet.

      Abu dari karet memberikan sedikit gambaran mengenai jumlah bahan mineral di dalam karet. Beberapa bahan mineral di dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul seperti kalor timbul (heat build-up) dan ketahanan retak lentur (flex cracking resistance) dari vulkanisasi karet alam.

      Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor seperti tanah yang mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan membusuk). Kadar abu ini dapat tinggi akibat perlakukan yang tidak dianjurkan misalnya penggumpalan lateks dengan menggunakan ammonium sulfat mengakibatkan kadar abu karet kering tinggi.

      Faktor pengolahan dapat mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar tingkat pengolahan maka kadar abu semakin rendah, misalnya lateks yang digumpalkan tanpa pengenceran mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari pada dengan pengenceran. Dengan kata lain semakin encer lateks yang digumpalkan maka semakin rendah kadar abu karet yang diperoleh karena sebagian besar akan tercuci bersama serum (Kartowardoyo, 1980). Kadar abu dapat dihitung dengan rumus :

      Kadar Abu = 100 %

      x ………………………….. (2.2)

      dengan: A = bobot cawan berikut abu B = bobot kosong C = bobot potongan uji

    2.4.4 Penentuan Kadar Nitrogen [ISO 1656 — 1988 (E)]

      Karet alam pada umumnya memiliki kadar nitrogen yang cukup tinggi, yang besarnya berpengaruh terhadap sifat teknis karet. Menurut Alfa et al (1998), tingginya kadar nitrogen akan mempengaruhi karakteristik vulkanisasi dan sifat vulkanisat karet. Kandungan nitrogen karet alam terdapat dalam bentuk protein. Menurut Yapa (1984), hidrolisis protein dapat dilakukan dengan metode kimiawi dan metode enzimatis.

      Menurut Johnson dan Peterson (1974), cara efisien untuk menghidrolisis protein adalah dengan menggunakan enzim protease. Enzim protease atau proteolitik adalah enzim yang dapat menguraikan atau memecahkan protein. Protease termasuk dalam kelas utama enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi reaksi hidrolisis. Menurut Winarno (1989), reaksi kalalisis enzim protease adalah menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Reaksi hidrolisisi protein dapat dilihat pada Gambar 2.3.

      Gambar 2.3.Hidrolisa Protein (Winarno, 1989) Nitrogen terdapat di dalam karet terutama berasal dari protein dan dapat digunakan sebagai petunjuk besarnya kadar protein. Walaupun banyaknya nitrogen bergantung pada jenis protein, diperkirakan kadar protein = 6,25 x kadar nitrogen, tetapi tidak dapat dianggap sebagai kadar protein yang sebenarnya. Karet Skim mengandung kadar nitrogen yang tinggi. Nitrogen ditetapkan dengan cara semimikro Kjeldahl. Karet dioksidasi dengan pemanasan oleh campuran katalis dan asam sulfat pekat, yang merubah senyawaan nitrogen menjadi ammonium hidrogensulfat. Setelah suasana dirubah menjadi basa, amonia dipisahkan dengan destilasi uap dan diikat oleh larutan standar asam borat, kemudian dititer dengan larutan standar asam sulfat

      .

      Kadar Nitrogen dapat dihitung dengan rumus : (V  V ) N x 0.0140

      1

      2 Kadar Nitrogen  x 100%...... .......... .......... ....(2.3)

      w dengan: V = ml H SO untuk titrasi larutan berisi contoh

      1

      2

      4 V = ml H SO untuk titrasi larutan blanko

      2

      2

      4 N = Normalitas H SO

      2

      4 W = Bobot contoh (gram)

    2.4.5. Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248 — 1991 (E )].

      Zat menguap di dalam karet sebagian besar terdiri dari uap air dan sisanya adalah

      o

      zat-zat lain seperti serum yang mudah menguap pada suhu 100

      C. Kadar zat menguap adalah bobot yang hilang dari potongan uji setelah pengeringan. Adanya zat yang mudah menguap di dalam karet, selain dapat menyebabkan bau busuk, memudahkan tumbuhnya jamur yang dapat menimbulkan kesulitan pada waktu mencampurkan bahan-bahan kimia ke dalam karet pada waktu pembuatan kompon tersebut terutama untuk pencampuran arang hitam pada suhu rendah.

      Potongan uji untuk menetapkan kadar zat menguap ditimbang lalu ditipiskan dan digunting menjadi potongan kecil-kecil untuk memperluas permukaan guna

      o

      memudahkan pengeringan pada suhu 100 C. Kadar zat menguap dapat dihitung dengan rumus :

      100 % Dengan : A = bobot cawan berikut contoh sebelum dipanaskan B = bobot cawan berikut contoh setelah dipanaskan C = bobot potongan uji

      2.4.6. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289 — 1985 (E )]

      karet alam menunjukkan panjangnya rantai molekul karet

      Viskositas Mooney

      atau berat molekul serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Pada umumnya semakin tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet semakin panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran dengan kata lain karetnya semakin kental dan keras. Sebaliknya, karet yang memiliki viskositas sangat rendah akan memberikan sifat karet jadi lembek dan kuat. Pada pembuatan ban dari karet alam dengan berat molekul tinggi cukup menarik karena sifat fisika ban yang dihasilkan seperti daya kenyal, tegangan tarik, perpanjangan putus dan sebagainya cukup baik.

      Karet mempunyai nilai viskositas yang berbeda-beda dan nilai ini naik terus selama penyimpanan atau disebut juga dengan pengerasan selama penyimpanan. Karet yang sudah direaksikan dengan bahan kimia ini akan mempunyai nilai viskositas yang tetap dan tidak berubah lagi untuk beberapa waktu. Karet yang mempunyai viskositas konstan disebut viscosity stabilized rubber.

      Viskositas dari karet pada umumnya diuji dengan alat Mooney Viscometer yang prinsip kerjanya adalah memutarkan sebuah rotor yang berbentuk silinder di dalam karet tersebut. Makin besar viskositas karet, makin besar pula perlawanan yang diberikan oleh karet tersebut kepada rotor. Besarnya torak yang dialami oleh sumbu rotor diukur oleh sebuah pegas yang berbentuk U dan dihubungkan dengan mikrometer yang mempunyai skala 0-100.

      2.4.7. Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930 — 1991 (E)]

      Penentuan Plasticity Retention Index (PRI) adalah cara pengujian yang sederhana dan cepat untuk mengukur ketahanan karet terhadap degradasi oleh oksidasi pada suhu tinggi. Oksidasi karet oleh udara (O ) terjadi pada ikatan rangkap molekul karet,

      2

      yang akan berakhir dengan pemutusan ikatan rangkap karbon-karbon sehingga panjang rantai polimer semakin pendek.

      Terputusnya rantai polimer pada karet mengakibatkan sifat karet menjadi rendah. Bila nilai PRI diketahui, dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lunak atau lengket jika lama disimpan atau dipanaskan. Hal ini berhubungan dengan vulkanisasi karet pada pembuatan barang jadi, agar diperoleh sifat dari barang jadi karet yang lebih kuat.

      Tinggi rendahnya nilai PRI dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan proses pengolahan karet. Terdapatnya nilai PRI yang rendah, disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi pada karet. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya oksidasi pada karet antara lain adalah: a. Sinar Matahari.

      Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang menggiatkan terjadinya oksidasi pada karet apabila bahan baku lateks dan koagulum terkena langsung oleh sinar matahari, hal ini ditandai dengan mengeringnya kulit permukaan lateks dan koagulum.

      b. Pengenceran lateks dan Koagulum.

      Pengenceran lateks dengan penambahan air yang terlalu banyak dan perendaman dengan air yang terlalu lama yang tujuannya untuk mencuci kotoran-kotoran yang melekat pada koagulum. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat-zat non-karet di dalam lateks seperti terlarutnya asam-asam amino yang berfungsi sebagai anti oksidasi dan dapat juga berfungsi sebagai bahan pemacu cepat pada pembuatan barang jadi karet yang selanjutnya menurunkan PRI pada karet.

      c. Zat-zat pro-oksidasi (tembaga atau mangan).

      Kandungan ion-ion logam seperti Cu, Mg, Mn, dan Ca berkolerasi dengan kadar abu di dalam analisa karet. Kadar abu diharapkan rendah karena sifat logam tembaga (Cu) dan mangan (Mn) adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang melewati batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi dipercepat dan mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah. d. Pengeringan karet.

      Penguraian molekul karet oleh reaksi oksidasi dapat pula terjadi bila karet

      o

      dikeringkan terlalu lama dan temperatur pengeringan yang dipakai adalah 127

      C, dengan waktu pengeringan 2 - 4 jam tergantung pada jenis alat pengeringan. Nilai PRI akan turun bila terjadi ikatan silang (storage hardening) di dalam lateks kebun dan diantara butiran-butiran karet hasil pengeringan. Ikatan silang terjadi pada pembentukan gel secara perlahan-lahan sehingga butiran-butiran karet menjadi melendir dan lengket-lengket. Hal ini akan menyebabkan plastisitas karet Po karet, maka akan merubah nilai PRI karet sehingga menjadi turun.

      Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi khususnya pada suhu tinggi, sebaliknya karet dengan nilai PRI rendah akan peka terhadap oksidasi dan pada suhu tinggi cepat lunak. Faktor utama yang mempengaruhi nilai PRI adalah perimbangan prooksidan dan antioksidan dalam karet (Wadah, 1991).

      Pengujian ini meliputi pengujian plastisitas Wallace dari potongan uji sebelum dan sesudah pengusangan di dalam oven. Nilai PRI diukur dari besarnya keliatan karet mentah yang masih tertinggal apabila sampel karet tersebut dipanaskan di dalam

      o

      oven selama 30 menit pada suhu 140

      C. Nilai PRI adalah persentase keliatan karet sesudah dipanaskan dan ditentukan dengan alat ukur Wallace Plastimeter. Suhu dan waktu pengusangan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perbedaan yang nyata dari berbagai jenis karet mentah. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi (Syamsu, 1994) Besarnya nilai Plasticity Retention Index (PRI) dapat dihitung dengan rumus :

      

    Pa (P )

      30 Plasticity Retention Index (PRI) = 100 .......... .......... .......... .....( 2 . 5 ) x

      

    Po dengan: P = Plastisitas awal

      o

      Pa (P ) = Plastisitas setelah pengusangan selama 30 menit

      30

    2.5. Asap Cair

      Asap cair (wood vinegar, liquid smoke) merupakan suatu hasilhasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lainnya. Bahan baku yang banyak digunakan antara lain berbagai macam jenisn lain sebagainya. Selama pembakaran, komponen dari kayu akan mengalamin lain sebagainya. Asap cair mempunyai berbagai sifat fungsional, seperti untuk memberi sebagai bahan pengawet alami karena mengandung senyawasebagai bahan koagulan lateks pengganti asam formiat serta membantu pembentukan warna coklat pada produk sit.

      Asap cair adalah kondesat komponen asap yang dapat digunakan untuk menciptakan flavor asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tetapi baru sepuluh sampai lima belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990). Asap Cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode destilasi kayu asap (Pszczola, 1995).

      2.5.1 Proses Pembentukan Asap Cair

      Asap merupakan sistem komplek yang terdiri dari fase cairan teebagai pendispersi . Asap diproduksi dengan cara pembakaran tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan beratrendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi Selain itu asap juga memberikan pengaruh warna rasa dan aroma pada medium pendispersi gas. Sifat dari asap cair dipengaruhi oleh komponen utama.

      Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al, 2005 dalam Gani, 2007). Menurut Demirbas (2005 dalam Gani, 2007), umumnya proses pirolisis

      o dapat berlangsung pada suhu di atas 300 C dalam waktu 4-7 jam.

      Proses pirolisis melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah

      o

      penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150

      C, pirolisa hemiselulosa pada suhu

      o o

      200-250

      C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 C dan pirolisa lignin pada suhu

      o o

      400

      C. Pirolisa pada suhu 400 C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988).

      2.5.2 Komposisi Kimia Asap Cair

      Penelitian mengenai komposisi asap dilakukan pertama kali oleh Pettet dan Lane tahun 1940 (Girrard, 1992), bahwa senyawa kimia yang terdapat dalam asap kayu jumlahnya lebih dari 1000, 300 senyawa diantaranya dapat diisolasi. Yang sudah dideteksi antara lain: fenol 85 macam telah diidentifikasikan dalam kondensat dan 20 macam dalam asap, karbonil, keton dan aldehid 45 macam dalam kondensat, asam 35 macam, furan 11 macam. Alkohol dan ester 15 macam, lakton 13 macam, hidrokarbon alifatik 1 macam dalam kondensat dan 20 macam dalam produk asap. Komposisi kimia asap cair dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.

    Tabel 2.3 Komposisi Kimia Asap Cair (Sumber: Maga, 1988)

      2.93

      2.16

      15.23

      6.26

      2.11 Kayu Kamper

      2.20

      8.56

      4.27

      0.55 Kayu Bangkirai

      12.31

      11.39

      5.55

      0.84 Kayu Kruing

      2.41

      8.72

      5.21

      0.64 Glugu

      3.16

      12.94

      6.61

      1.18 Kayu Mahoni

      13.28

      

    Komposisi Kimia Kandungan (%)

      )

      Air 11-92

      Fenol 0,2-2,9

      Asam 2,8-4,5

      Karbonil 2,6-4,6

      Ter 1-1,7

      Analisis kimia yang dilakukan terhadap asap cair meliputi penentuan fenol, karbonil, keasaman dan indeks pencoklatan.

    Tabel 2.4 Analisis Kimia yang Dilakukan Terhadap Asap Cair (

      Girard, 1992

      Jenis Bahan Fenol (%) Karbonil (%) Keasaman (%) Indeks Pencoklatan (%)

      5.13

      Kayu Jati

      2.70

      13.58

      7.21

      2.16 Kayu Lamtoro

      2.10

      10.32

      6.21

      0.96 Tempurng Kelapa

      1.16 Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu

      

      Pengaruh ini disebabkan adanya sejumlah senyawa kimia di dalam asap cair yang dapat bereaksi dengan komponen bahan makanan. Upaya untuk memisahkan komponen berbahaya di dalam asap cair dapat dilakukan dengan cara redistilasi, yaitu proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan titik didihnya. Redistilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa- senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya sehingga diperoleh asap cair yang jernih, bebas tar, poli aromatik hidrokarbon (PAH) dan benzopiren pendispersi. Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain:

      1. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan tradisional.

      2. Lebih intensif dalam pemberian flavor.

      3. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah.

      4. Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan.

      5. Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial.

      6. Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap.

      7. Polusi lingkungan dapat diperkecil.