Pemanfaatan Kitosan Sebagai Koagulan Untuk Memperoleh Kembali Protein Yang Dihasilkan Dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan

(1)

PEMANFAATAN KITOSAN SEBAGAI KOAGULAN UNTUK

MEMPEROLEH KEMBALI PROTEIN YANG DIHASILKAN DARI

LIMBAH CAIR INDUSTRI PEMINDANGAN IKAN

DISUSUN OLEH

DEWI MURNIATI (037022001)

SEKOLAH PASCA SARJANA

MAGISTER TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMANFAATAN KITOSAN SEBAGAI KOAGULAN UNTUK

MEMPEROLEH KEMBALI PROTEIN YANG DIHASILKAN DARI

LIMBAH CAIR INDUSTRI PEMINDANGAN IKAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Magister Teknik Kimia Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

DEWI MURNIATI

037022001/MTK

SEKOLAH PASCA SARJANA

MAGISTER TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : PEMANFAATAN KEMBALI PROTEIN YANG DIHASILKAN DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PEMINDANGAN IKAN DENGAN MENGGUNAKAN KITOSAN SEBAGAI KOAGULAN.

Nama Mahasiswa : DEWI MURNIATI Nomor Pokok : 037022001

Program Studi : Magister Teknik Kimia

Menyetujui, Komisi Pembimbing:

Prof. DR. Ir. Setiaty Pandia Zuhrina Masyithah, ST, M.Sc Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Sekolah Pascasarjana Magister Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara

Prof. DR. Ir. Setiaty Pandia Prof. DR. Ir. T Chairun Nisa B, M.Sc Nip. 130 372 214 Nip. 130 535 852


(4)

TELAH DIUJI PADA Tanggal : 5 Oktober 2007

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.DR. Ir. Setiaty Pandia Anggota : Zuhrina Masyithah, ST, MSc

Prof. DR. Zul Alfian, MSc DR. Rumondang Bulan, MS DR. Halimatuddahliana, ST, MSc.


(5)

ABSTRAK

Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa kuat. Kitosan memiliki banyak kandungan nitrogen daripada kitin. Gugus amina dan hidroksil menjadikan kitosan bersifat lebih aktif dan bersifat polikationik. Sifat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam pengolahan limbah cair industri pemindangan ikan.

Dalam penelitian ini, di kaji proses koagulasi ion organik dalam larutan limbah cair dengan penambahan kitosan sebagai koagulan dengan memvariasikan konsentrasi kitosan dan pH koagulasi.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan 2 faktor, masing-masing diulang 2 kali yaitu: penambahan dosis kitosan (200, 400, 600, 800, 1000 mg/L) dan pH (4, 5, 6, 7, 8). Penelitian ini dilakukan dengan pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer dan sentrifuse. Setelah ini dilakukan analisa kadar protein, lemak, serat,air, abu dari limbah cair industri pemindangan ikan.

Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bahwa dengan penambahan kitosan 1000 mg/L pada pH 7 kedalam limbah cair industri pemindangan ikan dapat mengkoagulasi limbah cair tersebut sehingga didapat kadar proteinnya 50,56%,sedangkan pada penambahan kitosan 800 mg/L dan pH 7 didapat kadar lemaknya 4,75 % , serat 3,08% dan penambahan kitosan 1000 mg/L pada pH 8 didapat kadar airnya 11,87 % dan kadar abu sebesar 6,36 %.


(6)

ABSTRACT

Chitosan is chitin which its acetyl group part has been vanished by using strong alkali. Chitosan contens more nitrogen than chitin. Amino and hydroxyl group made chitosan become more active and polycationic. Those nature able to use as coagulant in fish meal processing wastewater industry.

In this research, ion organic coagulation was tested in wastewater with addition of chitosan as coagulant by varied chitosan concentration and coagulation pH. By using factorial random design with 2 (two) factors, when each of The factor repeated twice to : add chitosan dosage (200, 400, 600, 800, 1000 mg/L) and pH (4, 5, 6, 7, 8). This reseach performed by strirring with magnetic stirrer and centrifuge. After analysis of protein level, fat, fiber, water and ash from fish meal processing wastewater industry.

The results informed that by chitosan amount adding 1000 mg/L at pH 7 into fish meal processing wastewater industry able to coagulated the wastewater until emerge its protein level about 50,56% and for chitosan amount 800 mg/L at pH 7 its fat 4,75 %, fiber 3,08% and chitosan amount 1000 mg/L at pH 8 its water 11,87%, ash 6,36% .


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Saya Panjatkan kepada Allah SWT yang memberikan Saya kemampuan telah dapat menyelesaikan tesis penelitian ini. Tesis ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Kitosan Sebagai Koagulan Untuk Memperoleh Kembali Protein Yang Dihasilkan Dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Ibu Zuhrina Masyithah , ST, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga tesis terwujud.

Ucapan terima kasih tak lupa pula penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Staf Pengajar serta karyawan / ti Sekolah Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara.

3. Keluarga besar, yang telah memberikan dorongan dan dukungan yang besar kepada Saya.

4. Rekan – rekan mahasiswa, yang telah memberikan masukan dan saran – saran kepada saya.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat memberikat manfaat.

Hormat Saya,

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN vi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 4

1.5. Ruang Lingkup Penelitian 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitosan 6

2.1.1. Sumber Kitosan 8

2.1.2. Sifat-sifat Kitosan 9

2.2. Kegunaan Kitosan 11

2.3. Metode Penyediaan Kitin 12

2.4. Metode Penyediaan Kitosan 14

2.5. Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 19

2.6. Protein 21

2.7. Lemak 23

2.8. Serat Kasar 23

2.7. Koagulasi 24


(9)

BAB III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian 28

3.2. Bahan 28

3.3. Alat 29

3.4. Pelaksanaan Penelitian 29

3.4.1. Proses Perlakuan Limbah Cair Tanpa Diolah Dengan Koagulan kitosan 29

3.4.2. Proses Perlakuan Limbah cair Dengan Menggunakan Koagulan Kitosan 30

3.5. Rancangan Statistik 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Komposisi Kimia Limbah Cair Pemindangan Ikan 35

4.2. Pengaruh Variasi Dosis Kitosan dan pH Koagulasi Terhadap Kadar Protein Limbah Cair Pemindangan Ikan 36

4.3. Pengaruh Variasi Dosis Kitosan dan pH Koagulasi Terhadap Kadar Lemak Limbah Cair Pemindangan Ikan 38

4.4. Pengaruh Variasi Dosis Kitosan dan pH Koagulasi Terhadap Kadar Serat Limbah Cair Pemindangan Ikan 39

4.5. Pengaruh Variasi Dosis Kitosan dan pH Koagulasi Terhadap Kadar Air Limbah Cair Pemindangan Ikan 41

4.6. Pengaruh Variasi Dosis Kitosan dan pH Koagulasi Terhadap Kadar Abu Limbah Cair Pemindangan Ikan 42

4.7. Pengujian Statistik 44

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 51


(10)

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN A 56

LAMPIRAN B 64

LAMPIRAN C 69


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sumber – Sumber Kitin dan KItosan 8

Tabel 2.2. Karateristik Kitosan 10

Tabel 2.3. Penggunaan Kitin dan Kitosan 12

Tabel 2.4. Kondisi Perlakuan Dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi 16

Tabel 2.5. Kondisi Perlakuan Dengan HCl pada Proses Demineralisasi 17

Tabel 2.6. Komposisi Beberapa Komponen Limbah Cair Pemindangan Ikan 20

Tabel 2.7. Komponen Kandungan Asam amino Limbah Cair pemindangan ikan 20

Tabel 2.8. Komposisi Beberapa Kandungan Nutrisi Bahan Baku Pakan 21

Tabel 3.1. Bentuk Tranformasi Data Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) 31

Tabel 4.1. Komposisi Kimia Limbah Cair Pemindangan ikan 35

Tabel 4.2. Analisis Varian Untuk Parameter Kadar Protein 44

Tabel 4.3. Analisis Varian Untuk Parameter Kadar Lemak 46

Tabel 4.4. Analisis Varian Untuk Parameter Kadar Serat 47

Tabel 4.5. Analisis Varian Untuk Parameter Kadar Air 48


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur Kitin dan Kitosan 6 Gambar 4.1. Grafik Hubungan Variasi Dosis Kitosan (mg/L) dan pH Koagulasi

Terhadap Kadar Protein limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 36 Gambar 4.2. Grafik Hubungan Variasi Dosis Kitosan (mg/L) dan pH Koagulasi

Terhadap Kadar Lemak limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 38 Gambar 4.3. Grafik Hubungan Variasi Dosis Kitosan (mg/L) dan pH Koagulasi

Terhadap Kadar Serat limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 40 Gambar 4.4. Grafik Hubungan Variasi Dosis Kitosan (mg/L) dan pH Koagulasi

Terhadap Kadar air limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 41 Gambar 4.5. Grafik Hubungan Variasi Dosis Kitosan (mg/L) dan pH Koagulasi


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

L.A.1. Prosedur Analisa Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 56

L.A.2. Contoh Perhitungan Perhitungan Analisa Protein dan Lemak Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 60

L.B.1. Data Hasil Pengukuran Penentuan Kadar Protein Dari Koagulasi Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 64

L.B.2. Data Hasil Pengukuran Penentuan Kadar Lemak Dari Koagulasi Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 65

L.B.3. Data Hasil Pengukuran Penentuan Kadar Serat Dari Koagulasi Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 66

L.B.4. Data Hasil Pengukuran Penentuan Kadar Air Dari Koagulasi Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 67

L.B.5. Data Hasil Pengukuran Penentuan Kadar Abu Dari Koagulasi Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan 68

L.C.1. Perhitungan Data Statistik Dengan Program SPSS. 11 69

L.D.1. Proses Koagulasi Protein Limbah Cair Pemindangan Ikan 76


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningkatnya perkembangan sektor industri di Indonesia merupakan sarana untuk memperbaiki taraf hidup rakyat, tetapi dilain pihak muncul masalah pencemaran lingkungan akibat limbah industri yang dihasilkan. Sehingga dapat merusak kelestarian lingkungan, keseimbangan sumber daya alam dan berkembangbiaknya bibit penyakit.

Industri pengolahan udang merupakan salah satu industri yang berkembang pesat pada saat ini dan memiliki potensi menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Selama ini limbah kulit udang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal limbah ini masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, misalnya: kitin dan kitosan , tepung udang, pakan ternak dan flavor udang (Suhardi, 1993).

Limbah udang hasil samping pengolahan udang beku merupakan sumber yang potensial untuk pembuatan kitin dan kitosan, yakni biopolimer yang secara komersil potensial untuk berbagai bidang kesehatan dan industri seperti: industri tekstil, industri kosmetik, industri farmasi, industri fungisida, industri pengolahan pangan, industri fotografi, bidang kedokteran dan kesehatan serta bidang penanganan limbah.


(15)

Kitosan yang diperoleh dari limbah pengolahan udang dapat dimanfaatkan untuk penanganan limbah sebagai penyerap logam-logam beracun seperti : merkuri, timah, tembaga, plutonium dan uranium karena sifat polikationiknya kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal dalam penanganan limbah berprotein dan memiliki potensi digunakan untuk pakan ternak.

Industri pemindangan ikan merupakan industri kecil yang mengolah dan mengawetkan ikan yang mampu meningkatkan masa simpan ikan segar. Produksi pemindangan ikan yang dihasilkan pada tahun 2005 mencapai 1,4 juta ton. Dari total produksi tersebut limbah yang tidak dimanfaatkan mencapai 118.868 – 158.025 ton (DKP, 2005).

Dalam proses pengolahan pemindangan ikan menghasilkan limbah cair yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama bau yang dikeluarkan akibat dari pembusukan protein. Limbah cair pengolahan pemindangan ikan mengandung nilai gizi yang cukup tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk pangan dan pakan dengan cara membuat produk protein konsentrat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2005).

Penggunaan kitosan sebagai koagulan dalam penanganan limbah cair pengolahan pangan dapat memudahkan terjadinya pemisahan protein dari filtratnya, sehingga mengurangi beban limbah hasil samping yang terkoagulasi dari limbah pengolahan pangan pada umumnya mengandung protein antara 30% - 75% dan memiliki potensi untuk digunakan sebagai pakan (Bough dan Landes, 1976).


(16)

rajungan dapat digunakan untuk perolehan kembali protein dari limbah cair precooking tuna kaleng sebesar 69,9 %, Harnentis (1998) yang meneliti tentang pemanfaatan kitosan dari kulit beberapa jenis udang untuk memperoleh kembali protein dalam penanganan limbah cair hasil samping pengolahan limbah udang, Kennedy (1994) yang menyatakan kitosan sebagai koagulan untuk memperoleh kembali protein dari limbah cair pabrik keju sebesar 40 %, Knorr (1991) meneliti tentang perolehan kembali dan pemanfaatan kitin dan kitosan dalam penanganan limbah pabrik pengolahan bahan makanan, Holland (1986) yang meneliti tentang proses pemanfaatan kitosan dalam limbah pengolahan pangan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pemanfaatan limbah cair dari industri pemindangan ikan untuk dimanfaatkan proteinnya dengan menggunakan kitosan dari kulit udang sebagai koagulan dengan variasi pH dan jumlah pemberian kitosan. Diharapkan limbah cair industri pemindangan ikan yang terkoagulasi ini akan mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi dan memiliki potensi untuk digunakan sebagai pakan.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana pengaruh penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk mendapatkan kembali protein yang dihasilkan dari limbah cair industri pemindangan ikan.


(17)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi kitosan dan pH yang optimum pada rentang penelitian untuk memperoleh kembali protein dalam limbah cair industri pemindangan ikan dengan mutu terbaik.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

- Sebagai masukan berupa informasi baru dan teknologi alternatif dalam mengolah limbah cair bagi industri pemindangan ikan dan industri lain yang menghasilkan limbah sejenis.

- Sebagai informasi aplikatif mengenai penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk mendapatkan protein pada limbah cair industri pemindangan ikan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah; a. Bahan baku yang digunakan:

• Kitosan dari limbah kulit udang dari industri pengolahan udang. b. Variabel yang digunakan:

• pH koagulasi : 4, 5, 6, 7, 8.

• Dosis kitosan : 200, 400, 600, 800, 1000 mg/ L asam asetat 1%.

c. Limbah cair adalah limbah cair industri pemindangan ikan dengan volume 500 ml


(18)

Beberapa parameter yang diamati dan diuji pada penelitian ini adalah: 1. Pemberian kitosan sebagai koagulan pada limbah cair terhadap:

• Kadar air • Kadar abu • Kadar protein • Kadar lemak • Kadar serat


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitosan

Kitosan ditemukan oleh Routget pada tahun 1959. Kitosan merupakan turunan (derivat) dari kitin. Kitosan memiliki struktur (1-4) – 2 – Amino – 2 – Deoksi - β - D – Glukosa . Pembuatan kitosan dari kitin diperoleh melalui jalan melakukan proses pemasakan dengan alkil kuat (NaOH). Sumber kitin yang sangat potensial adalah kerangka crustacea (kepiting, lobstar, udang) dan dinding struktural fungi serta

hewan tingkat rendah. Kitosan mengandung gugus amina lebih besar 60%, sebaliknya amina lebih kecil dari 60% adalah kitin (Whistler, 1973).

Rudall (1969) menjelaskan bahwa kitin adalah salah satu senyawa molekular selain sellulosa dan kolagen. Senyawa ini merupakan suatu mikopolisakarida yang berkonjugasi dengan protein dan sering berada pada dinding sel dalam tanaman menggantikan sellulosa atau kadang-kadang terjadi bersama sellulosa.

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, 0,5 % H3PO4 sedangkan dalam H2SO4 tidak larut. Kitosan juga tidak larut dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol, aseton, dimetil formamida dan dimetilsulfida tetapi kitosan larut baik dalam asam formiat berkonsentrasi (0,2 – 100%) dalam air (Knorr,1983). Kitosan tidak beracun dan


(20)

mudah terbiodegradasi. Berat molekul kitosan adalah sekitar 1,2 x 105, bergantung degradasi yang terjadi selama proses.

Perbedaan antara kitin dan kitosan terletak pada

kumpulan asetamida dari karbon dari karbon ke dua pada

strukturnya. Pada kitosan sebagian dari kumpulan gugus

asetil diganti dengan atom hidrogen melalui reaksi hidrolisis

dengan alkali pekat. Kitosan secara umum merupakan

kopolimer yang mengandung unit ulang kitin dengan

kandungan nitrogennya melebihi 7% (Muzzarelli, 1977).

Kitosan mempunyai sifat menyerap dan menggumpal yang baik, sifat ini dapat meninggikan kreaktifannya dalam pembuatan turunannya. Satu sifat yang spesifik adalah kitosan mudah mengurai didalam pelarut yang sesuai. Disamping itu kitosan berintegrasi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein (Bastaman,1989). Oleh karena itu kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan kesehatan (Knorr , 1991).


(21)

Kitosan

Gambar 2.1. Struktur Kitin dan Kitosan (sumber:Brine, 1984)

Pada Gambar 2.1, terlihat bahwa kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH3), kitosan murni mengandung gugus amino (NH2). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia senyawa tersebut.

2.1.1. Sumber Kitosan

Pada Tabel 2.1 dapat dilihat beberapa sumber kitin kitosan: Tabel 2.1.Sumber-sumber kitin dan kitosan

Jamur/ cendawan 5 – 20%

Tulang cumi-cumi 3 – 20%

Kalajengking 30% Laba-laba 38% Kecoa 35% Kumbang 37%

Ulat sutra 44%

Kepiting 69% Udang 70% Sumber: Muzzarelli, 1977


(22)

Dari Tabel 2.1 di atas terlihat bahwa sumber kitin dan kitosan yang terbanyak adalah terdapat pada jenis udang-udangan (70%).

Sebenarnya kitin dan kitosan yang diproduksi secara komersial memiliki gugus asetamida dan gugus amida pada rantai polimernya, dengan beragam komposisi gugus tersebut. Perbedaan antara keduanya juga berdasarkan kandungan nitrogennya. Bila nitrogen kurang dari 7% maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan (Roberts, 1992). 2.1.2. Sifat-sifat Kitosan

Sifat kationik biologi dan sifat larutan kitosan adalah sebagai berikut : 1. Sifat kationik

a. Linear polielektrolit pada pH asam.

b. Jumlah muatan positif tinggi: satu muatan per unit gugus glukosamin, jika banyak material bermuatan negatif (seperti protein) maka muatan positif kitosan berinteraksi kuat dengan permukaan negatif.

c. Flokulan yang baik : gugus NH3+ berinteraksi dengan muatan negatif dari koloid.

d. Mengikat ion-ion logam (Fe, Cu, Cd, Hg, Pb, Cr, Ni, Pu dan U). 2. Sifat biologi :

a. Dapat terdegradasi secara alami. b. Polimer alami

c. Non toksis. 3. Sifat kimia :


(23)

a. Linear oliamin (poli D-glukosamin) yang memiliki gugus amino yang baik untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam.

b. Gugus amino yang reaktif.

c. Gugus hidroksil yang reaktif (C3-OH, C6 – OH) yang dapat membentuk senyawa turunannya.

Aplikasi kitosan dalam berbagai bidang tergantung sifat kationik, biologi dan sifat kimianya (Sandford dan Hutchins, 1978).

Tabel 2.2. Karateristik Kitosan

Sifat Ukuran 1. Bentuk partikel Serpihan-bubuk

2. Kadar air < 10%

3. Kadar abu < 2%

4. Persen deasetilasi > 70%

5. Warna larutan Jernih

6. Viskositas : - rendah < 200 - medium 200 – 799 - Tinggi 800 – 2000 - Ekstra tinggi > 2000 Sumber : Roberts (1992)

4. Sifat larutan kitosan (Kationik Amin, NH3+) a. Berbentuk larutan viskos


(24)

b. Berbentuk gel dengan polianion c. Larut dalam campuran alkohol-air.

2.2. Kegunaan Kitosan

Kitosan memiliki sifat unik yang dapat digunakan dalam berbagai cara serta memilki kegunaan yang beragam, antara lain sebagai bahan perekat, aditif untuk kertas dan tekstil, penjernih air minum, serta untuk mempercepat penyembuhan luka dan memperbaiki sifat pengikatan warna (Cho Kyun Rha,1980).

Kitosan dapat digunakan untuk mengolah limbah, seperti pengolahan limbah dari industri pengolahan pangan dan untuk memisahkan protein dari limbah. Padatan yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein dalam makanan ternak (Bough dan Landes, 1976).

Kualitas kitosan tergantung pada penggunaannya, misalnya untuk kitosan yang dipakai dalam proses permurnian air limbah tidak dibutuhkan kualitas yang tinggi tetapi untuk penggunaan dalam bidang kesehatan dibutuhkan bahan dengan kemurnian yang tinggi (Bastaman, 1989).

Tabel 2.3. Penggunaan Kitin dan Kitosan


(25)

1. Klasifikasi (penjernihan)

Ü Limbah industri pangan

Ü Industri sari buah

Ü Pengolahan wine dan minuman beralkohol

Ü Penjernihan air minum

Ü Penjernihan kolam renang

Ü Penjernihan zat warna

Ü Penjernihan tannin

Koagulasi/flokulan Flokulan pektin/protein Flokulan protein/mikroba

Koagulasi

Flokulan mikroba Pembentuk kompleks Pembentuk kompleks

2. Pengambilan Protein Mengendapkan bahan protein

3. Detoksifikasi limbah industri Membentuk senyawa kompleks dengan logam dan bahan kimia berbahaya

4. Biomedis Menurunkan kadar kolesterol Mempercepat penyembuhan luka 5. Bioteknologi Imobilisasi enzim

6. Industri tekstil Meningkatkan ketahanan warna 7. Kosmetik Substantive ketahanan warna 8. Fotografi Melindungi film dari kerusakan 9. Pertanian Bersifat sebagai Fungistatik Sumber:Bastaman,1989

2.3. Metode Penyediaan Kitin

Kitin secara komersial umumnya diekstraksi dari kulit

udang, cangkang kepiting dan tulang rawan cumi yang

diperoleh dari limbah industri pengolahan hasil laut. Proses


(26)

tulang rawan cumi secara kimia merupakan proses yang

relatif sederhana. Ada beberapa metode dasar ekstraksi

kitin yang banyak dikembangkan dalam berbagai

penelitian,seperti metode Hackman dan Goldberg,

Blumberg dan Rigby (Muzzarelli,1977), dan juga dapat

digunakan metode Alimuniar sebagai metode penyediaan

kitin (Alimuniar, 1992).

Metode Rigby

Sisa kulit krustacea dengan larutan sodium karbonat 1

% panas dicampur dengan asam klorida 1 - 5% dan

kemudian sodium karbonat 0,4%.

Metode Blumberg

Kitin dari kulit udang dicampur dengan larutan

sodium hidroksida 5 % panas, larutan HCl dingin dan

larutan HCl 5 % panas.

Metode Hackman dan Goldberg

Tulang rawan cumi-cumi dibersihkan dengan air

mengalir dan dikeringkan dalam oven, kemudian direndam


(27)

dengan HCl 1 M selama 24 jam lalu disaring. Hasil saringan

direfluks dengan NaOH 1 M pada suhu 100

o

C selama 5 jam

dan kemudian dicuci dengan air suling dan dikeringkan.

Metode Alimuniar, A dan Zainuddin, R

Kitin udang yang telah bersih dan kering direndam dengan HCl 2 M selama 24 jam untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam kulit. Untuk menghilangkan protein dilakukan dengan merendam selama 24 jam dengan NaOH 2 M, kemudian dicuci dengan air bersih lalu dikeringkan dengan penyinaran matahari.

2.4. Metode Penyediaan Kitosan

Metode penyediaan kitosan yang pertama dilakukan oleh Hope Seyler pada tahun 1984 yaitu dengan merefluks kitin dalam kalium hidroksida pada suhu 180oC. Terdapat beberapa metode penyediaan kitosan lainnya antara lain (Muzzarelli,1977):

Metode Wolfrom dan Rigby

Kitin dicampur dengan 40% larutan NaOH dan direfluks pada suhu 115oC selama 4 jam, kemudian didinginkan dan seterusnya dicuci dengan air.


(28)

Kitin dicampur dengan NaOH 50% dan larutan paraffin selama 2 jam pada suhu 120oC, campuran tersebut dituangkan dalam air dan seterusnya disaring dan dibilas dengan air suling.

Metode Horowitz

Kitin dicampur dengan larutan KOH dan campuran logam nikel dibawah aliran gas nitrogen. Campuran dipanaskan pada suhu 180oC selama 30 menit, setelah itu dimasukkan kedalam etanol dan akan mengendap kemudian hasil yang diperoleh dicuci dengan air suling.

Metode Alimuniar dan Zainuddin

Kitin dicampur dengan NaOH 40% dan dibiarkan selama 6 hari, dan setiap harinya dilakukan pengadukan kemudian dicuci dengan air. Kitosan yang diperoleh lalu dijemur.

Pembuatan kitosan yang menggunakan metode Alimuniar dan Zainuddin (1992) lebih ekonomis penyediaannya dibandingkan dengan metode lainnya karena:

1. Proses deasetilasi kitin terjadi tanpa pemanasan pada temperatur 30oC.

2. Pada umumnya metode lain menggunakan vessel khusus dengan kontrol atmosfir selama waktu tertentu, sedangkan pada metode ini hanya menggunakan vessel sederhana.

3. Pada metode lain untuk mengontrol reaksi pembentukan produk dibutuhkan sejumlah bahan aditif, sedangkan pada metode ini tidak menggunakan konsumsi bahan aditif lainnya.


(29)

Kitin yang terdapat pada kulit atau cangkang ini masih terikat dengan protein, CaCO3 pigmen dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk memisahkannya, tetapi pada umumnya melalui tiga tahapan yaitu demineralisasi dengan HCl encer, deproteinisasi dengan NaOH encer (setelah tahap ini diperoleh kitin dan selanjutnya deasitilasi kitin menggunakan NaOH pekat (Brine, 1981 dan Shahidi dkk, 1999).

Deproteinisasi

Proses deproteinisasi menggunakan berbagai pereaksi seperti NaOH yang lebih banyak. Perlakuan dengan larutan NaOH bervariasi antara 0,25 N hingga 2,5 N dan berbagai suhu serta lama perendaman seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.4 (Roberts,1992).

Tabel 2.4. Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada proses Deproteinisasi Sumber Kosentrasi NaOH

(N)

Suhu (oC)

Lama Reaksi (jam)

Tulang rawan cumi

0,125 0,25 0,75 1,25 100 65 100 100 0,5 1 2 0,5

Udang / kepiting

0,5 1,0 1,0 1,0 1,25 1,25 65 80 100 100 85-90 100 2 3 36 72 1,5-2,25 24


(30)

Lobster 1,0 1,25

2,5

100 80-85

100

60 1 2,5 Sumber : Roberts, 1992

Keterangan : sk = suhu kamar

Penggunaan enzim untuk memisahkan protein juga

dilakukan dalam beberapa penelitian diantaranya dengan

pepsin, tripsin, enzim proteolitik seperti tuna proteinase dan

papain, setelah didemineralisasi sebelumnya dengan HCl.

Perlakuan dengan enzim ini masih menyisakan protein

sekitar 5 % yang memerlukan proses lanjutan (Roberts,

1992).

Demineralisasi

Proses

demineralisasi

menggunakan HCl dengan

konsentrasi 0,275 – 1 N, dengan kisaran suhu perendaman –

20

o

C sampai dengan 22

o

C (Tabel 2.5). Perendaman pada

suhu kamar lebih banyak dilakukan untuk meminimalkan

hidrolisis pada rantai polimer (Roberts, 1992). Proses

demineralisasi bertujuan untuk memisahkan CaCO

3

dari

kitin .

Tabel 2.5. Kondisi Perlakuan dengan HCl pada proses Demineralisasi Sumber Konsentrasi HCl

(N)

Suhu (oC)

Lama Reaksi (jam)


(31)

0,5 1,25 1,57

sk sk 20 – 22

1 1 1 – 3 Udang / kepiting 0,65

1,0 1,0 1,57 2,0 11,0 sk sk sk sk sk -20 24 12 8 5 48 4 Lobster 1,57 2,0 2,0 sk sk sk 11 –14 5 48 Sumber : Roberts (1992)

Keterangan : sk = suhu kamar

Deasetilasi

Kitin yang diperoleh dari proses deproteinisasi dan demineralisasi tidak dapat larut dalam sebagian besar pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin di deasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya adsorbsi kitin akan meningkat dengan bertambahnya gugus amina (NH2) yang terdapat didalamnya, proses ini terjadi tanpa pemutusan rantai polimernya. Perbedaan antara kitin dan kitosan terletak pada gugus asetamida pada karbon (C-2) di dalam strukturnya. Pada kitosan sebagian dari gugus asetil digantikan dengan atom hidrogen melalui reaksi hidrolisis dengan basa kuat (Muzzarelli, 1977).

Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Hwang dan Shin (2000) menggunakan larutan NaOH 40 % dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70 oC selama 6 jam yang menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 92 %. Derajat


(32)

deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis.

Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan, makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan dalam proses ini. Rigby dan Dupont dalam Roberts (1992) membuat beberapa variasi deasetilasi seperti 5 % NaOH, 150 oC, 24 jam; 40 % NaOH,100 oC,1 jam.

Menurut Yunizal, dkk. (2001) ekstraksi kitosan dari

kepala udang putih (Penaeus merguensis) dengan kondisi

perlakukan yang tepat adalah deproteinase dengan NaOH 3

%, demineralisasi dengan HCl 1,25 N dan proses deasetilasi

menggunakan NaOH 50 %.

2.5. Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan

Pengolahan pindang ikan sangat berperan dalam

usaha pemanfaatan hasil perikanan di Indonesia, karena

hampir 50 % dari hasil tangkapan memberikan hasil devisa

yang cukup besar. Dalam proses pengolahannya ikan segar

yang di pindang dengan bantuan air dan garam akan

menghasilkan pindang ikan dan hasil sampingan berupa

limbah cair yang berasal dari perebusan dan penirisan.

Pemindangan menempati urutan kedua setelah pengasinan


(33)

ikan, baik dalam volume maupun nilai perdagangannya.

(Moelyanto, 1992).

Pemindangan adalah merebus ikan dalam air dengan garam di bawah tekanan udara normal, tanpa perlakuan lanjutan sehingga kegiatan enzim dan autolisis serta bakteri pembusuk dapat dicegah. Pada pemindangan ikan dan garam yang telah tersusun dalam wadah kedap air dimasak pada bak pemasakan yang telah berisi air selama 2 jam. Setelah masak pindang diangkat dan ditiriskan. Limbah cair didapatkan berupa air sisa dari bekas memasak dan hasil meniriskan ikan, dimana limbah tersebut mengandung protein terlarut (Afrianto dan Liviawaty, 1991).

Tabel 2.6. Komposisi beberapa komponen limbah cair

pemindangan ikan

Komponen

Jenis Kandungan (% berat)

Protein 13,22

Lemak 2,10

Abu 2,60

Air 70,00

Garam 12,08


(34)

Sumber : Deptan, 1995

Protein yang terlarut dalam limbah cair pemindangan

ikan dapat dimanfaatkan dengan mengkoagulasi dengan

kitosan. Dalam kandungan limbah cair pemindangan ikan

terkandung asam amino berupa methionin dan lysine yang

dapat digunakan sebagai bahan pencampur untuk pakan

ternak dan ikan.

Tabel 2.7. Komposisi kandungan asam amino limbah cair

pemindangan ikan

Komponen

Jenis Kandungan (g/kg)

Treonin 3,09

Glysin 7,12

Valin 2,70

Methionin 2,83

Isolesin 4,60

Leusin 9,40

Phenil alamin

3,70

Lysine 10,60

Histidin 1,40

Arginin 5,80


(35)

Limbah cair pengolahan perikanan yang mengandung sumber protein selama ini belum dimanfaatkan sehingga dapat menimbulkan masalah di lingkungan bila tidak diolah terlebih dahulu, sedangkan limbah cair tersebut yang berasal dari hasil bekas memasak dan hasil meniriskan dapat dimanfaatkan untuk pakan. Dengan pengolahan lebih lanjut pemanfaatan limbah cair untuk pakan harus memenuhi kriteria pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Komposisi beberapa kandungan nutrisi bahan baku pakan Kandungan nutrisi Ukuran (% berat) 1. Protein (mininimal) 35 %

2. Lemak (maksimal) 5 %

3. Serat kasar (maksimal) 3 %

4. Kadar Air 10 – 12 %

5. Kadar Abu (maksimal) 20 %

Sumber : Deptan, 1996

Dengan mengetahui komposisi limbah cair pemindangan ikan dan kandungan nutrisi bahan baku pakan, maka diharapkan penelitian yang direncanakan ini dapat memberikan masukan yang berguna sebagai upaya pengolahan limbah cair pemindangan ikan.

2.6. Protein

Protein merupakan molekul organik komplek yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. Unsur utama penyusun protein adalah nitrogen yang


(36)

persentasenya cukup konstan (berkisar antara 15-18 % atau rata-rata 16 %). Pada umumnya protein juga mengandung sulfur, fosfor dan besi.

Senyawa organik protein ini sangat dibutuhkan oleh hewan untuk kepentingan struktur (membentuk kolagen dalam tulang dan kartilago atau kepentingan fungsional misalnya membentuk enzim atau protein khusus lain seperti hemoglobin).

Apabila protein di hidrolisis dengan larutan asam atau basa atau dengan enzim akan menghasilkan lebih kurang 20 asam amino yang berbeda. Dari 20 jenis asam amino tersebut telah diketahui sejumlah 10 asam amino merupakan jenis asam amino yang sangat penting dan harus tersedia dalam pakan, kesepuluh asam amino tersebut adalah leucine, methionine, isoleusine, tripthopban, valine, arginin, theonine, bistidine, phenylalamine dan lysine (Tabel 2.7).

Protein merupakan komponen bahan baku pakan ternak yang sangat penting bagi pertumbuhan ternak misalnya :

1. Memperbaiki jaringan

2. Untuk pertumbuhan dari jaringan baru 3. Metabolisme untuk energi

4. Untuk enzim yang essensial bagi fungsi tubuh yang normal

Protein dapat berasal dari tumbuhan (protein nabati) dan hewan (protein hewani). Berdasarkan hasil penelitian protein hewani lebih mudah dicerna daripada protein nabati. Kandungan asam amino essensialnya pun lebih lengkap daripada protein nabati.


(37)

Lemak adalah senyawa organik kompleks yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam ester, chloroform dan benzena. Lemak merupakan nama umum yang meliputi unsur sterol, wates, ester, phospolipid dan sphyngomyelin. Lemak mengandung asam lemak yang diklasifikasikan sebagai asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh ditandai dengan adanya ikatan rangkap (PUFA) sedangkan asam lemak jenuh ditandai dengan tidak adanya ikatan rangkap. Beberapa jenis asam lemak sangat dibutuhkan dalam bahan baku pakan ternak dan sering disebut asam lemak essensial.

Lemak dalam bahan baku pakan berfungsi sebagai sumber asam lemak dan energi atau sumber tenaga yang sangat penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ternak, dan juga dapat membantu penyerapan vitamin yang larut dan minyak, membantu pembentukan tekstur membran, serta mempengaruhi aroma dan tekstur dari pakan.

2.8. Serat Kasar

Serat kasar termasuk golongan karbohidrat yang berfungsi untuk mengisi dan menjaga agar alat pencernaan bekerja dengan baik, serta mendorong kelenjar-kelenjar pencernaan untuk mengeluarkan enzim-enzim pencernaan. Dengan adanya kandungan serat kasar yang cukup digunakan untuk bahan baku pakan dapat menekan jumlah kebutuhan pakan yang akan dikonsumsi.


(38)

Koagulasi merupakan penyerapan bagian-bagian dari suatu koloid menjadi berbagai bentuk yang lebih besar sehingga mampu mengendap. Biasanya dari suatu koloid dapat diperoleh endapan melalui pemanasan, sehingga bagian-bagian yang lebih besar menjadi berkembang dan mendesak bagian-bagian yang kecil (Reynolds, 1982).

Ukuran partikel cenderung mempengaruhi pengendapan partikel dalam suatu media air tenang. Koloid sering memerlukan koagulan untuk mencapai ukuran partikel agar dapat terbentuk suatu endapan dan juga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengendap. Bila waktu pengendapan tidak cukup dapat dilakukan dengan perlakuan lain untuk menggeser padatan suspensi, koagulasi dan flokulasi bisa menyebabkan perbesaran ukuran dan pengendapan dengan cukup cepat (Sawyer and McCarty, 1987).

Koloid dikategorikan hidrofobik dan hidrofilik. Koloid yang hidrofobik tidak bereaksi dengan air, sedangkan hidrofilik bereaksi dengan air. Dalam pengolahan air koloid hidrofilik bisa bereaksi dengan koagulan yang digunakan dalam proses pengolahan limbah.

Pengadukan diperlukan untuk memperbesar koagulasi agar dapat merusak stabilitas sistem koloid dengan terjadinya penggumpalan partikel. Penambahan energi pengadukan sangat diperlukan agar dapat memberikan intensitas pengadukan yang tinggi sehingga koagulan terdistribusi secara merata yang akan memperbesar tumbukan antar partikel-partikel dalam suatu larutan koloid.


(39)

Proses koagulasi untuk pengolahan air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : efek pH, efek garam, efek koagulan yang digunakan, efek suhu dan efek pencampuran (pengadukan). Umumnya partikel-partikel tersuspensi/koloid dalam air buangan memperlihatkan gerak Brownian. Permukaan partikel-partikel tersebut bermuatan listrik negatif. Partikel-partikel itu menarik ion-ion negatif. Ion-ion positif tersebut kemudian menyelubungi partikel koloid dan membentuk lapisan rapat muatan didekat permukaannya.

Proses terjadinya koagulasi menurut Farooq dan Velioglu dalam Cheremisinoff, 1989 adalah sebagai berikut:

1. Partikel koloid (suspensi) yang bermuatan negatif menarik partikel koagulan (polimer) yang bermuatan positif.

2. ion-ion positif kemudian menyelubungi partikel koloid dan membentuk lapisan rapat muatan didekat permukaannya yang disebut lapisan kokoh/tetap (fixed layer)

3. Lapisan kokoh dikelilingi lagi oleh sejumlah ion-ion yang berlawanan muatan yang disebut difusi (difussed layer).

4. Di dalam lapisan diffusi terdapat bidang geser (shear plane) batas dimana ion-ion yang berlawanan muatan dapat tersapu dari permukaan partikel karena gerakan fluida.

5. Kumpulan ion-ion berlawanan didalam air yang mengelilingi partikel koloid dan muatan-muatan permukaannya itu disebut lapisan ganda listrik (electrical double


(40)

6. Potensial listrik diantara bidang geser (shear plane) dan badan cairan dapat ditentukan dengan pengukuran elektroforesis (pengukuran laju partikel dalam suatu medan listrik) dan disebut potensial zeta ( ). Potensial zeta berhubungan dengan muatan partikel dan ketebalan lapisan ganda. Ketebalan lapisan tergantung pada konsentrasi ion didalam cairan, semakin besar konsentrasi ion semakin kecil ketebalan lapisan ganda dan berarti semakin rapat muatan. Potensial zeta sering digunakan sebagai suatu ukuran stabilitas partikel koloid karena semakin tinggi potensial zeta semakin stabil partikel koloid. Potensial zeta dinyatakan dengan persamaan :

= 4 ヾ q d D Keterangan :

= zeta potensial

q = muatan partikel persatuan luas (Coulombs/m2) d = ketebalan lapisan ganda disekitar bidang geser (m) D = konstanta dielektrik cairan.

Jika ion-ion atau koloid bermuatan positif (kation) ditambahkan ke dalam target koagulasi, maka kation tersebut akan masuk ke dalam lapisan difusi karena tertarik oleh muatan negatif yang ada pada permukaan partikel koloid. Hal ini menyebabkan konsentrasi ion-ion dalam lapisan difusi akan meningkat. Akibatnya ketebalan lapisan difusi akan berkurang (termampatkan ke arah permukaan partikel). Pemampatan lapisan difusi ini akan mempengaruhi potensial permukaan partikel koloid, gaya tolak menolak antar partikel serta stabilitas partikel koloid. Penambahan


(41)

kation hingga mencapai suatu jumlah tertentu, akan merubah besar potensial zeta ke suatu tingkat dimana gaya tarik menarik Van der waals antar partikel dapat melampaui gaya tolak menolak yang ada. Dengan demikian partikel koloid dapat saling mendekati dan menempel satu sama lain serta membentuk mikroflok. Mekanisme destabilisasi partikel koloid ini disebut pemampatan lapisan ganda listrik. Dalam hal ini jenis muatan permukaan partikel koloid tidak berubah (Farooq dan Velioglu dalam Cheremisinoff, 1989).

Menurut Davis dan Cornwell (1991) ada dua faktor penting dalam pertambahan koagulan yakni pH dan dosis. Dosis dan pH optimum harus ditentukan dalam test laboratorium. Untuk mengatur pH air atau limbah cair ke dalam range optimal koagulasi, diperlukan bahan penolong (coagulan aid) berupa asam atau alkali. Asam paling umum digunakan untuk menurunkan pH adalah asam sulfat dan untuk menaikkan pH biasanya digunakan lime [Ca(OH)2], soda abu (Na2CO3) dan NaOH.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Penelitian Fakultas MIPA dan Laboratorium sentral pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai Januari 2006 hingga Juni 2006.

3.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kitosan

2. Sampel (limbah cair industri)

3. Asam asetat, CH3COOH (p.a. E Merck) 4. Asam klorida pekat, HCl

5. Asam formiat, CH2O2 6. Natrium Hidroksida, NaOH 7. Kalium Sulfat, K2SO4 8. Asam sulfat, H2SO4 9. Petroleum benzen 10. Aquadest


(43)

11. Kertas saring 3.3. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Neraca Analitis

2. Sentrifuse 3. Magnetic stirrer 4. Sochlet

5. Kjedhal Term 6. Oven

7. Erlenmeyer 8. Beaker glass 9. Labu takar 10. Corong 11. Gelas ukur 12. Cawan porselen

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua tahapan yang dilakukan yaitu :

1. Proses perlakuan limbah cair tanpa diolah dengan koagulan kitosan 2. Proses perlakuan limbah cair dengan menggunakan koagulan kitosan. 3.4.1. Proses Perlakuan limbah cair tanpa diolah dengan koagulan kitosan


(44)

Air limbah pemindangan ikan yang digunakan berasal dari salah satu industri kecil pengolahan pemindangan ikan yang ada di Kampung Nelayan, Kec. Medan Labuhan. Dibawa ke laboratorium, dimasukkan dalam suatu wadah dan disaring. Kemudian dianalisa limbah cairnya meliputi : kadar protein, lemak, abu, air dan kadar garam.

3.4.2. Proses perlakuan limbah cair dengan menggunakan koagulan kitosan (Harnentis,1998)

̇ Sebanyak 200, 400, 600, 800, 1000 mg kitosan yang masing-masing dilarutkan dalam 1 L asam asetat 1 % .

̇ Sebanyak 100 ml larutan kitosan dengan konsentrasi yang berbeda kemudian ditambahkan ke dalam limbah cair industri pemindangan ikan sebanyak 500 ml yang telah disaring terlebih dahulu.

̇ Kemudian diaduk dengan magnetic stirrer pada kecepatan 100 rpm selama ± 30 menit dengan variasi pH 4 dengan penambahan 200, 400, 600, 800, 1000 mg/L ke dalam beaker glass.

̇ Dan selanjutnya dilakukan hal yang sama pada variasi pH 5, 6 ,7 dan 8.

̇ Campuran tersebut kemudian disentrifuse pada kecepatan 1.200 rpm selama 5 menit.

̇ Endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC selama ± 24 jam, kemudian dilakukan analisis kadar protein, lemak, serat, air dan abu (Lampiran A).


(45)

Pengujian perbedaan varian sangat banyak kegunaannya dalam penelitian. Pengujian menggunakan analisis varian dalam statistika parametric diantara kelompok yang saling memiliki perbedaan sebagai akibat adanya perlakuan dilakukan dengan menggunakan Analysis of Varian (ANOVA).

Uji ANOVA interaksi dua faktor (Two way ANOVA) dilakukan untuk mengetahui perbedaan nyata rata-rata antara varian dari tiga kelompok sampel atau lebih berdasarkan satu faktor dan dilihat interaksinya dengan faktor-faktor lain. Analisis terhadap rancangan dalam penelitian ini adalah menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) merupakan desain percobaan yang memiliki ciri pada ditemukannya kelompok dengan jumlah yang sama dan masing-masing kelompok memberikan perlakuan. Harapan atas dilakukannya pengelompokkan dalam RAKL adalah makin berkurangnya galat perlakuan.

Dalam kasus penelitian ini uji yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan nyata rata-rata antar varian dari lima kelompok sampel berdasarkan satu faktor perlakuan yang mempengaruhi masing-masing parameter Kadar air, abu, protein, lemak dan serat kasar dari limbah cair.

Pada analisis kasus dalam penyelesaian RAKL dengan SPSS 11 tabel data harus ditransformasikan dulu dalam bentuk seperti Tabel 3.1. Setelah pengisian data maka data diolah dengan program SPSS 11 sehingga diperoleh output sebagai berikut:


(46)

2. Output Test of Between subjects effects: merupakan uji ANOVA, yaitu uji yang

bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan (jelas) antar dua faktor, yaitu antara jumlah kitosan dan pH.

3. Output Test homogeneous subsets: merupakan uji yang bersifat menemukan

kelompok sampel manakah yang perbedaan rata-ratanya signifikan, dengan dasar letak kelompok sampel pada subsets (grup).

Dari tabel ANOVA dapat diketahui perbedaan rata-rata kadar airnya berdasarkan kelompok jumlah kitosan dan pH, dengan menentukan hipotesis (Ho dan Hi), maka pengambilan keputusan adalah : jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima dan bila probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak (berbeda nyata).

Pengertian Corrected total adalah menyatakan jumlah kuadrat (sum of square) dari variabel pH (sebagai variabel yang dependen). Corrected model adalah menyatakan jumlah kuadrat (sum of square) yang dihitung oleh model ANOVA. Pengertian Error adalah menyatakan jumlah kuadrat (sum of square) yang tidak


(47)

Tabel 3.1. Bentuk transformasi data Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) Blok

(dosis kitosan)

Perlakuan (pH koagulasi)

Kadar Protein

1 1 30,5 1 2 30,6 1 3 35,19 1 4 37,76 1 5 38,5 2 1 27,31 2 2 29,08 2 3 35,38 2 4 40,31 2 5 37,36 3 1 30,45 3 2 31,25 3 3 38,4 3 4 43,06 3 5 40,84 4 1 32,14 4 2 35,19 4 3 42,02 4 4 45,13 4 5 47,19 5 1 37,15 5 2 40,84 5 3 47,4 5 4 50,56 5 5 49,89 Keterangan kode blok : Kode perlakuan :

1 = Jumlah kitosan 200 mg/L 1 = pH 4 2 = Jumlah kitosan 400 mg/L 2 = pH 5 3 = Jumlah kitosan 600 mg/L 3 = pH 6 4 = Jumlah kitosan 800 mg/L 4 = pH 7 5 = Jumlah kitosan 1000 mg/L 5 = pH 8


(48)

Setelah data ditransformasikan akan diperoleh beberapa uji dari variabel yang akan dianalisa.


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan Komposisi kimia limbah cair pemindangan ikan

Penentuan komposisi kimia limbah cair pemindangan ikan yang digunakan pada proses koagulasi dimana dapat diketahui kandungan komposisi kimianya yang terdapat dalam limbah cair tersebut.

Dari hasil analisis limbah cair pemindangan ikan menunjukkan kandungan komposisi kimianya cukup baik, yaitu dengan kadar proteinnya 12,38% (Tabel 4.2). Hasil ini menggambarkan bahwa limbah cair pemindangan ikan cukup baik untuk diolah selanjutnya dalam proses koagulasi dengan penambahan kitosan sebagai koagulan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan.

Tabel 4.1. Komposisi kimia limbah cair pemindangan ikan. Komponen Jumlah kandungan (%)

Protein 12,38 Lemak 2,20 Abu 3,04

Air 71,79 Garam 10,59


(50)

4.2. Pengaruh variasi dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar protein limbah cair pemindangan ikan

Hasil pengujian penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk menentukan kadar protein dalam limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut ini:

20 25 30 35 40 45 50 55

0 4 5 6 7 8

pH

Ka

da

r Pr

ot

e

in (

%

)

dosis kitosan 200 mg/L dosis kitosan 400 mg/L

dosis kitosan 600 mg/L dosis kitosan 800 mg/L

dosis kitosan 1000 mg/L

Gambar 4.1. Grafik hubungan pengaruh variasi dosis kitosan (mg/L) dan pH koagulasi terhadap kadar protein limbah cair industri pemindangan ikan

Dari Gambar 4.1 di atas terlihat bahwa perolehan kadar protein optimum terjadi pada pH 7 dengan penambahan dosis kitosan 1000 mg/L. Pada pH 8 perolehan kadar protein untuk dosis kitosan 400 mg/L, 600 mg/L dan 1000 mg/L mengalami penurunan hal ini disebabkan proses adsorbsi partikel-partikel koloid ke dalam


(51)

kitosan berkurang karena akan bersaing dengan ion H dalam larutan untuk menempati grup amina bebas dari kitosan sehingga keaktifan gugus NH3+ dalam larutan berkurang untuk menggumpalkan protein. Knorr (1984) menyatakan bahwa pada pH yang tinggi proses adsorbsi partikel-partikel koloid dalam larutan berkurang, dengan demikian fungsi kitosan untuk mengadsorbsi dalam larutan semakin berkurang sehingga kemampuan mengendapkan protein semakin kecil.

Kadar protein setelah proses koagulasi diperoleh sebesar 50,56 % (Lampiran B) terjadi pada penambahan kitosan sebanyak 1000 mg/L dan pH 7. Hal ini memenuhi standarisasi kadar protein untuk dapat digunakan sebagai bahan baku yang diizinkan oleh pemerintah yaitu: minimal 35 % (Deptan, 1996). Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Harnentis (1998) pada proses koagulasi limbah cair hasil samping pengolahan limbah udang untuk menggumpalkan protein dengan kitosan sebagai koagulan diperoleh kadar proteinnya sebesar 44,24 % dengan konsentrasi kitosan 300 mg/L pada pH 7. Menurut Holland (1986) penggumpalan protein dalam limbah cair dengan penambahan kitosan sebagai koagulan dapat meningkatkan gugus NH3+ dalam larutan melalui mekanisme yaitu

NH3+ NH2 + H+

Gugus amino dalam kesetimbangan yang bergantung pada konsentrasi kitosan dan pH, dimana pada konsentrasi kitosan yang tinggi dan pH netral dapat meningkatkan keaktifan gugus amino dalam larutan akan meningkat sehingga


(52)

kemampuan gugus fungsional kitosan dalam menggumpalkan protein juga akan meningkat.

4.3. Pengaruh variasi dosis kitosan (mg/L) dan pH koagulasi terhadap kadar lemak limbah cair pemindangan ikan

Hasil pengujian penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk menentukan kadar lemak dalam limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut ini:

3 3.2 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6 4.8 5

0 4 5 6 7 8

pH

Kadar

Lem

a

k (

%

)

dosis kitosan 200 mg/L dosis kitosan 400 mg/L

dosis kitosan 600 mg/L dosis kitosan 800 mg/L

dosis kitosan 1000 mg/L

Gambar 4.2. Grafik hubungan pengaruh variasi dosis kitosan (mg/L) dan pH koagulasi terhadap kadar lemak limbah cair industri pemindangan ikan

Dari Gambar 4.2 di atas terlihat bahwa perolehan kadar lemak optimum terjadi pada penambahan kitosan 800 mg/L dan pH 7. Pada pH di atas pH 7 mengalami penurunan hal ini disebabkan kitosan yang ditambahkan ke dalam limbah


(53)

cair sudah jenuh dan tidak dapat lagi bereaksi lagi dengan partikel-partikel koloid dengan sempurna. Pada pH 5 untuk penambahan kitosan 400 mg/L dan penambahan kitosan 1000 mg/L terjadi penurunan perolehan kadar lemak hal ini disebabkan tidak sempurnanya penggumpalan protein dalam larutan karena sebagian sisa polimer yang berada dalam larutan tidak cukup untuk mengikat partikel lain sehingga jembatan partikel tidak sempurna terbentuk. Bastaman (1989) menyatakan bahwa kitosan dapat berinteraksi dengan bahan organik terutama protein dimana perolehan kadar protein berpengaruh terhadap perolehan kadar lemak dalam limbah cair. Hal ini dilihat pada penambahan kitosan sebanyak 800 mg/L dan pH 7 diperoleh kadar lemak sebesar 4,75 % (Lampiran B). Hal ini memenuhi standarisasi kadar lemak untuk dapat digunakan sebagai bahan baku yang diizinkan oleh pemerintah yaitu: maksimal 5 % (Deptan, 1996). Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Fadjar (2002) pada proses koagulasi limbah cair precooking tuna kaleng untuk menggumpalkan protein dengan kitosan sebagai koagulan diperoleh kadar lemaknya sebesar 2,54 % dengan konsentrasi kitosan 300 mg/L pada pH 7.

4.4. Pengaruh Variasi dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar serat limbah cair pemindangan ikan

Hasil pengujian penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk menentukan kadar serat dalam limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini:


(54)

1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2

0 4 5 6 7 8

pH

K

a

d

a

r S

e

ra

t (%

)

dosis kitosan 200 mg/L dosis kitosan 400 mg/L

dosis kitosan 600 mg/L dosis kitosan 800 mg/L

dosis kitosan 1000 mg/L

Gambar 4.3. Grafik hubungan variasi dosis kitosan (mg/L) dan pH koagulasi terhadap kadar serat limbah cair industri pemindangan ikan

Dari Gambar 4.3 di atas terlihat bahwa perolehan kadar serat optimum terjadi pada penambahan kitosan 800 mg/L dan pH 7. Pada pH 5 untuk penambahan kitosan 200 mg/L dan 400 mg/L mengalami penurunan perolehan kadar serat hal ini disebabkan tidak sempurnanya partikel-partikel koloid dalam larutan berinteraksi dengan kitosan dalam menggumpalkan protein sehingga partikel-partikel padatan yang terlarut dalam limbah cair semakin kecil. Pada pH 8 untuk penambahan 200 mg/L, 800 mg/L dan 1000 mg/L mengalami penurunan perolehan kadar serat hal ini disebabkan partikel-partikel padatan yang terlarut dalam limbah cair sudah jenuh sehingga kemampuan kitosan untuk mengkoagulasi limbah cair tidak sempurna. Hal ini di lihat pada penambahan kitosan sebanyak 800 mg/L dan pH 7 terjadinya perolehan kadar serat sebesar 3,08 % (Lampiran B). Hal ini memenuhi standarisasi


(55)

kadar serat untuk dapat digunakan sebagai bahan baku yang diizinkan oleh pemerintah yaitu: maksimal 3 % (Deptan, 1996). Maezaki (1993) menyatakan bahwa penambahan kitosan pada limbah cair pengolahan pangan dapat menaikkan perolehan kandungan serat dalam proses penggumpalan protein.

4.5. Pengaruh variasi dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar air limbah cair pemindangan ikan

Hasil pengujian penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk menentukan kadar air dalam limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut ini:

6 6.5 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12

0 4 5 6 7 8

pH

K

a

d

a

r A

ir (

%

)

dosis kitosan 200 mg/L dosis kitosan 400 mg/L dosis kitosan 600 mg/L dosis kitosan 800 mg/L dosis kitosan 1000 mg/L

Gambar 4.4. Grafik hubungan pengaruh variasi dosis kitosan mg/L dan pH koagulasi terhadap kadar air limbah cair industri pemindangan ikan


(56)

Dari Gambar 4.4 di atas terlihat bahwa perolehan kadar air optimum terjadi pada penambahan kitosan 1000 mg/L dan pH 8 hal ini disebabkan semakin besar penambahan konsentrasi kitosan semakin besar kemampuan partikel-partikel padatan yang tergumpal.dalam limbah cair sehingga kadar air yang di dapat semakin tinggi. Hal ini di lihat pada penambahan kitosan sebanyak 1000 mg/L dan pH 7 diperoleh kadar airnya sebesar 11,87 % (Lampiran B). Hal ini memenuhi standarisasi kadar air untuk dapat digunakan sebagai bahan baku yang diizinkan oleh pemerintah yaitu: 10 - 12 % (Deptan, 1996). Pada pH 6 untuk penambahan 200 mg/L dan 600 mg/L mengalami penurunan hal ini disebabkan partikel-partikel padatan yang tergumpalkan tidak sempurna pada proses koagulasi sehingga kadar air yang didapat semakin kecil.

4.6. Pengaruh variasi dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar abu limbah cair pemindangan ikan

Hasil pengujian penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk menentukan kadar abu dalam limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut ini:


(57)

0 1 2 3 4 5 6 7

0 4 5 6 7 8

pH

Ka

da

r Ab

u (

%

)

dosis kitosan 200 mg/L dosis kitosan 400 mg/L

dosis kitosan 600 mg/L dosis kitosan 800 mg/L

dosis kitosan 1000 mg/L

Gambar 4.5. Grafik hubungan pengaruh variasi dosis kitosan (mg/L) dan pH koagulasi terhadap kadar abu limbah cair industri pemindangan ikan.

Dari Gambar 4.5 di atas terlihat perolehan kadar abu optimum diperoleh pada penambahan kitosan 1000 mg/L dan pH 8 hal ini disebabkan semakin besar jumlah kitosan yang ditambahkan dalam limbah cair semakin besar kadar abu yang diperoleh sehingga dapat menurunkan jumlah garam mineral yang tertinggal dalam penggumpalan protein. Chandrakrachang (1998) menyatakan bahwa semakin besar jumlah kitosan yang digunakan, semakin cepat dan banyak garam mineral yang dapat dihilangkan. Hal ini dilihat pada penambahan kitosan sebanyak 1000 mg/L dan pH 8 terjadinya kenaikan dari kadar abu sebesar 6,36 % (Lampiran B). Hal ini memenuhi standarisasi kadar abu untuk dapat digunakan sebagai bahan baku yang diizinkan oleh


(58)

pemerintah yaitu: maksimal 20 % (Deptan, 1996). Pada pH 6 terlihat adanya penurunan perolehan kadar abu untuk penambahan 400 mg/L, 600 mg/L dan 800 mg/L disebabkan kitosan yang ditambahkan untuk mengkoagulasi limbah cair industri pemindangan ikan terlarut tidak sempurna sehingga partikel-pertikel padatannya tidak mampu mengurangi jumlah garam mineral yang tertinggal untuk menggumpalkan protein.

4.7. Pengujian Statistik

Pada penelitian ini uji yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan nyata rata-rata antar varian dari lima kelompok sampel berdasarkan satu faktor perlakuan yang mempengaruhi masing-masing parameter kadar protein, lemak, serat, air dan abu dari limbah cair industri pemindangan ikan.

4.7.1 Pengaruh dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar protein dalam limbah cair industri pemindangan ikan.

Hasil penelitian pengaruh penambahan dosis kitosan dan pH koagulasi untuk menentukan kadar protein dari proses koagulasi limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat dari Tabel 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2. Analisis varian untuk parameter kadar protein

Sumber Varian Jumlah Kuadrat

Derajat Kebebasan

Rata-rata Kuadrat

F Hitung

F Tabel

Probabilitas Model koreksi 1023,610 8 127,951 73,314 2,82 0,000

Intersep 363666,49 1 36366,49 20837,5 0,000 Perlakuan A (dosis) 436,292 4 109,073 62,497 0,000

Perlakuan B (pH) 587,317 4 146,829 84,131 0,000


(59)

Total 37418,023 25

Total Koreksi 1051,533 24

Dari Tabel 4.2 di atas hipotesis yang dapat dirumuskan adalah:

Ho = semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar protein. Ha = tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar protein Hipotesis di atas dapat menjadi dasar pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yaitu apabila > 0,05 maka Ho diterima dan apabila probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.

Pada Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung adalah 84,131 denagan probabilitas 0,000 karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima atau kesimpulan yang dapat diambil adalah terbukti secara meyakinkan bahwa tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar protein limbah cair industri pemindangan ikan, ini berarti terbukti secara meyakinkan bahwa perlakuan B (pH) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kadar protein secara signifikan karena ada perbedaan nyata, maka uji lanjut perlu dilakukan. Kesimpulan ini juga dapat digunakan untuk perlakuan A (dosis) karena nilai F hitung adalah 62,497 dan probabilitas 0,000 < 0,05.

4.7.2. Pengaruh dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar lemak dalam limbah cair industri pemindangan ikan.


(60)

Hasil penelitian pengaruh penambahan dosis kitosan dan pH koagulasi untuk menentukan kadar lemak dari proses koagulasi limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat dari Tabel 4.3. dibawah ini:

Tabel 4.3. Analisis varian untuk parameter kadar lemak

Sumber Varian Jumlah Kuadrat

Derajat Kebebasan

Rata-rata Kuadrat

F Hitung

F Tabel

Probabilitas Model koreksi 3,326 8 0,416 20,345 2,82 0,000

Intersep 403,367 1 403,367 19738,063 0,000

Perlakuan A (dosis) 0,525 4 0,131 6,427 0,003 Perlakuan B (pH) 2,801 4 0,700 34,263 0,000

Error 0,327 16 2,044E-02

Total 407,020 25

Total Koreksi 3,653 24

Dari Tabel 4.3 di atas hipotesis yang dapat dirumuskan adalah:

Ho = semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar lemak. Ha = tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar lemak. Hipotesis diatas dapat menjadi dasar pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yaitu apabila > 0,05 maka Ho diterima dan apabila probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.

Pada Tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung adalah 34,263 dengan probabilitas 0,000 karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima atau kesimpulan yang dapat diambil adalah terbukti secara meyakinkan bahwa tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar lemak limbah cair industri pemindangan ikan, ini berarti terbukti secara meyakinkan bahwa perlakuan B (pH) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kadar lemak secara


(61)

signifikan karena ada perbedaan nyata, maka uji lanjut perlu dilakukan. Kesimpulan ini juga dapat digunakan untuk perlakuan A (dosis) karena nilai F hitung adalah 6,427 dan probabilitas 0,003 < 0,05.

4.7.3. Pengaruh dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar serat dalam limbah cair industri pemindangan ikan.

Hasil penelitian pengaruh penambahan dosis kitosan dan pH koagulasi untuk menentukan kadar serat dari proses koagulasi limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat dari Tabel 4.4. dibawah ini:

Tabel 4.4. Analisis varian untuk parameter kadar serat

Sumber Varian Jumlah Kuadrat

Derajat Kebebasan

Rata-rata Kuadrat

F Hitung

F Tabel

Probabilitas Model koreksi 7,630 8 0,954 84,829 2,82 0,000

Intersep 130,965 1 130,965 11648,075 0,000

Perlakuan A (dosis) 2,012 4 0,503 44,731 0,002 Perlakuan B (pH) 5,618 4 1,405 124,926 0,000

Error 0,180 16 1,124E-02

Total 138,775 25

Total Koreksi 7,810 24

Dari Tabel 4.4 di atas hipotesis yang dapat dirumuskan adalah:

Ho = semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar serat. Ha = tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar serat. Hipotesis di atas dapat menjadi dasar pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yaitu apabila > 0,05 maka Ho diterima dan apabila probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.


(62)

Pada Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung adalah 124,926 dengan probabilitas 0,000 karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima atau kesimpulan yang dapat diambil adalah terbukti secara meyakinkan bahwa tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar serat limbah cair industri pemindangan ikan, ini berarti terbukti secara meyakinkan bahwa perlakuan B (pH) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kadar serat secara signifikan karena ada perbedaan nyata, maka uji lanjut perlu dilakukan. Kesimpulan ini juga dapat digunakan untuk perlakuan A (dosis) karena nilai F hitung adalah 44,731 dan probabilitas 0,002 < 0,05.

4.7.4. Pengaruh dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar air dalam limbah cair industri pemindangan ikan.

Hasil penelitian pengaruh penambahan dosis kitosan dan pH koagulasi untuk menentukan kadar air dari proses koagulasi limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat dari Tabel 4.5. dibawah ini:

Tabel 4.5. Analisis varian untuk parameter kadar air

Sumber Varian Jumlah Kuadrat

Derajat Kebebasan

Rata-rata Kuadrat

F Hitung

F Tabel

Probabilitas Model koreksi 33,260 8 4,157 52,934 2,82 0,000

Intersep 2222,180 1 2222,180 28293,603 0,000 Perlakuan A (dosis) 7,750 4 1,937 24,668 0,000

Perlakuan B (pH) 25,510 4 6,377 81,200 0,000

Error 1,257 16 7,854E-02

Total 2256,696 25

Total Koreksi 34,516 24


(63)

Ho = semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar air. Ha = tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar air. Hipotesis di atas dapat menjadi dasar pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yaitu apabila > 0,05 maka Ho diterima dan apabila probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.

Pada Tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung adalah 81,200 dengan probabilitas 0,000 karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima atau kesimpulan yang dapat diambil adalah terbukti secara meyakinkan bahwa tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar air limbah cair industri pemindangan ikan, ini berarti terbukti secara meyakinkan bahwa perlakuan B (pH) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kadar air secara signifikan karena ada perbedaan nyata, maka uji lanjut perlu dilakukan. Kesimpulan ini juga dapat digunakan untuk perlakuan A (dosis) karena nilai F hitung adalah 24,668 dan probabilitas 0,000 < 0,05.

4.7.5. Pengaruh dosis kitosan dan pH koagulasi terhadap kadar abu dalam limbah cair industri pemindangan ikan.

Hasil penelitian pengaruh penambahan dosis kitosan dan pH koagulasi untuk menentukan kadar abu dari proses koagulasi limbah cair industri pemindangan ikan dapat dilihat dari Tabel 4.6. dibawah ini:


(64)

Sumber Varian Jumlah Kuadrat

Derajat Kebebasan

Rata-rata Kuadrat

F Hitung

F Tabel

Probabilitas Model koreksi 14,973 8 1,872 49,762 2,82 0,000

Intersep 612,464 1 612,464 16283,943 0,000

Perlakuan A (dosis) 7,652 4 1,913 50,860 0,000 Perlakuan B (pH) 7,321 4 1,830 48,664 0,001

Error 0,602 16 3,761E-02

Total 628,038 25

Total Koreksi 15,575 24

Dari Tabel 4.6 di atas hipotesis yang dapat dirumuskan adalah:

Ho = semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar abu. Ha = tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar abu. Hipotesis di atas dapat menjadi dasar pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yaitu apabila > 0,05 maka Ho diterima dan apabila probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.

Pada Tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung adalah 48,664 dengan probabilitas 0,001 karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima atau kesimpulan yang dapat diambil adalah terbukti secara meyakinkan bahwa tidak semua perlakuan mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar abu limbah cair industri pemindangan ikan, ini berarti terbukti secara meyakinkan bahwa perlakuan B (pH) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kadar abu secara signifikan karena ada perbedaan nyata, maka uji lanjut perlu dilakukan. Kesimpulan ini juga dapat digunakan untuk perlakuan A (dosis) karena nilai F hitung adalah 50,860 dan probabilitas 0,000 < 0,05.


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi optimum perolehan kadar protein pada penambahan kitosan 1000 mg/L

dan pH 7 dengan kadar protein 50,56 %.

2. Penambahan kitosan 800 mg/L dan pH 7 menghasilkan kadar lemak sebesar 4,75% dan kadar serat sebesar 3,08 %.

2. Dengan penambahan kitosan 1000 mg/L dan pH 8 pada koagulasi limbah cair industri pemindangan ikan didapat kadar air sebesar 11,87% dan kadar abu sebesar 6,36%.

5. Dari Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kitosan sebagai koagulan untuk menggumpalkan protein dalam limbah cair industri pemindangan ikan memberikan hasil yang memenuhi standar mutu (Deptan No. 01/2715/1996) tentang standar pemanfaatan limbah pemindangan ikan dan pengalengan ikan untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak.

5.2. Saran

1. Perlu dilanjutkan dengan melakukan penyediaan kitosan dengan metode yang lain sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai koagulan untuk mengkoagulasi limbah cair pengolahan pangan.


(66)

2. Pemanfaatan kitosan sebagai bahan pengkoagulasi limbah cair disarankan dilakukan penelitian lanjutan terhadap limbah cair pengolahan pangan lainnya yang belum dimanfaatkan.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Alimuniar and Zainuddin. 1992. An Economical Technique for Producing Chitosa. In Chitin and Chitosan. Elseiver Applied Science. London.

Anonymous. 1987. Cational Polymer for Recovering Valuable By-Products From Food Processing Waste, Protein Laboratories. Burgess.

AOAC. 1984. Official Metods of Analisis Of The Association of Official of Analytical Chemist. 14th ed. Virginia.

Afrianto dan Eliviawaty. 1991. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Gramedia. Jakarta.

Bastaman, S. 1989. Studies of Degradation ang Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s Univ. Belfast.

Bough, W.A. and D.R. Landes. 1976. Recovery and Nutritional Evaluation of proteinaceous Solids Separated from Whey Bby Coagulation with Chitosan, Jour. Of Diary Science Vo. 59. No.11 p. 1874 – 1880.

Borgstrom, G. 1989. Fish as Food. Volume II Nutrition, Sanitation and Utilization. Academic Press New York San Fransisco, London.

Brine, C.J. and Austin, P.R. 1981. Chitin Variability With Species and Method of Preparation Comp. Biochem. Physiol p : 283 – 286.

Brzeski, M.M. 1987. Chitin ang Chitosan Putting Waste to Good Use. Indofish International (5).p. 31 – 33.

Chandrkrachang, S., U. Chinadit, P. Chan dayout and t. Supasiri. 1991. Profittable Spin- Offs from Shrimps. Seaweed Polyculture Indofish International, 6. p. 26 – 28.

Chandrakrachang, S., Kupongsak, S. and Noomhorm., A. (1998). Deacetilated Chitin Used as Adsorbent in Production of Charified Pineapple Syrup. J, Sci. Food. Agric. 76 (5) : 266 – 232.


(68)

Cho Kyun Rha. 1980. Chitosan As a Biomaterial In Biotechnologi Marione Sciences. Ed. By Colwell, R. R., A. J. Sinskey and E.R. Pariser. John Wiley and Son. New York.

Davis, M.L and D.A. Cornwell. 1991. Introduction To Environmental Engineering. 2nd Ed. Mc Grow Hill. New York.

Departemen Pertanian. 1996. Standar Nasional Indonesia No.01-2715-1996 Tentang Pemanfaatan Limbah Pemindangan Ikan dan Pengalengan Ikan Untuk Dijadikan Bahan Pakan Ternak. Jakarta.

Departemen Pertanian, 1995. Hasil Analisa Proksimat Kandungan Limbah Pengolahan Perikanan. Balai Besar Industri Hasil Pertanian. Bogor.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Statistik Perikanan Indonesia. (http://www. dkp.go.id/publikasi/)

Fadjar , K.H, Tri Susanto, S. Rakhmadiono dan Loekito S. 2002. Faktor – Faktor Berpengaruh Terhadap Tahap Deproteinase Menggunakan Enzim Protease Dalam Pembuatan Kitin Dari Cangkang Rajungan. Biosain, Vol 2, No.1.

Hadi, W. Supriatna. 1998. Pengembangan Udang Galah Dalam Hatchery dan Budidaya. Kanisius. Yogyakarta.

Harnentis. 1998. Mempelajari Ekstraksi Kitosan Dari Kulit Udang dan Manfaatnya Sebagai Koagulan Limbah Cair Hasil Samping Pengolahan Limbah Udang. Tesis Program PascaSarjana. IPB. Bogor.

Hirano, S. 1988. Production and Application of Chitin and Chitosan. In Japan Departement of Agricultural Biochemistry. Tottori University. Tottori. Japan. P: 37 – 43.

Holland, C.D. 1986. Recovery Of Single Cell Protein By Chitosan In A Batch Dissolved Air Flotation System, Departement Aeronautical and Chemical Engineering, The Queen’S University, Belfast, pp 559 – 664.

Hwang, J.K. and Shin . H. H, 2000. Rheological properties of Chitosan Solutions. In Korea – Australia. Rheology Journal. Vol. 12 : pp. 175 – 179.


(69)

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia , 2005. Pengelolaan Limbah Usaha Kecil dan Pemanfaatan Limbah. (http:// www. menlh.go.id/usaha kecil/)

Knorr, D., 1984. Dye Binding Properties of Chitin and Chitosan. J. Food Sci. 48.p :36 – 41.

Knorr, D. 1991. Recovery and Utilisation of Chitin and Chitosan In Food Processing Waste Management. J. Food Technology. 5. (5) : 144 – 121.

Kennedy, J.F., 1974. Chemically Reactive Derivates of Polysaccharides. In Advances in Carbohidrate Chemistry and Biochemistry. Ed. Tipson, R. S. and D. Horton. Academic Press. New York.

Kennedy, J.F., P.David W.S.,1994. Recovery of Proteins from Whey Chitosan As a Coagulant. Biotechnology and Bioactive Polymers. Plenum Press. New York.p : 55 – 68.

Maezaki, Y. 1993. Hypocholesterollemic Effect of Chitosan in Adult Males. Biosci. Biotech. Biochem ; 57 : 1439 – 1444.

Muzzarelli, R. A. A. 1977. Chitin. Pergamon Press. Oxford.

Moelyanto, 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan, Penerbit Swadaya, . Jakarta.

Peter M.G., 1993. Applications and Environmental Aspect of Chitin and Chitosan, University. Gerhard Domagk. Str. Bonn, Germany. Pp. 39 – 40.

Rudall, K.M. 1969. Chitin and Its Association With Other Molecules. J. Polymer Sci.

Roberts, G.A.F.1992. Chitin Chemistry. The Macmilan Press Ltd., London.

Sawyer, C.N. and Mc. Carty P. L. 1978. Chemistry for Enviromental Engineering, Mc. Graw Hill Kogakusha, Ltd. 3rd Edition, New York.

Sandford and Hutchins. 1987. Chitosan – A Natural Cationic Biopolymer : Commercial Applications. In : Industrial Polysaccharides. Yalpani, M.(Ed) Elsevier, Amsterdam, pp. 365 – 371.

Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi


(70)

Whistler, R.L. 1973. Industrial Gums, Academic Press inc. New York, pp. 465 – 467.

Yunizal, N. Indriati, Murdinah, T. Wikanta, 2001. Ekstraksi Khitosan Dari Kepala Udang Putih (Penaeus mergunisis). In Agritech, Vol : 21 : 3 : 3, 173.


(71)

LAMPIRAN A

L.A.1. Prosedur Analisa Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan a. Analisa Kadar Air

̇ Timbang 5 g sampel hasil koagulasi kitosan (A gram)

̇ Masukan dalam cawan kosong yang telah diketahui beratnya (B gram)

̇ Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam

̇ Dinginkan dalam desikator hingga diperoleh bobot tetap dan ditimbang (C gram). Kadar Air = C - B x 100 %

A

A = Berat sampel sebelum dikeringkan (g) B = Berat cawan kosong (g)

C = Berat sampel + cawan setelah dikeringkan (g) b. Analisa Kadar abu

̇ 2 g sampel ditimbang (A gram)

̇ Masukan dalam cawan kosong yang telah diketahui beratnya (B gram).

̇ Sampel dalam cawan diabukan pada tanur pada suhu 550o C sampai pengabuan sempurna.

̇ Selanjutnya didinginkan dalam desikator lalu ditimbang hingga bobot tetap (C gram).

Kadar Abu = A

B C

x 100 %

A = berat sampel sebelum diabukan (g) B = berat cawan kosong (g)


(72)

C = berat sampel + cawan sesudah diabukan (g) c. Analisa Kadar Protein Secara Kjedhal

• Timbang sampel sebanyak 0,5 g kedalam tabung reaksi, setelah itu tambahkan ± 0,3 g selenium dan juga tambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2,5 ml

• Destruksi/ bakar sampel dalam tabung reaksi dengan menggunakan kjedhal therm pada suhu 400oC, sehingga larut yang ada didalam tabung menjadi jernih

• Pindahkan sampel tersebut kedalam tabung destilasi, tambahkan 50 ml aquadest, tambahkan 3 tetes indikator PP dan juga NaOH 40%, sehingga berwarna merah • Sediakan juga penampung hasil destilat berupa H3BO3 (diambil 5 ml H3BO3 3%

kemudian tambahkan 30 ml aquadest diletakkan dalam erlenmeyer)

• Pasang tabung destilat pada alat destilasi, kemudian letakan penampung destilat pada tempatnya, kemudian destilasi sampai penampung destilat pada erlenmeyer menjadi 150 ml.

• Setelah volume menjadi 150 ml, destilasi diberhentikan. Titrasi destilat dengan HCl 0,01 N hingga berwarna merah jambu.

Perhitungan:

% N = (ml titrasi HCl sampel – ml HCl blanko) x N HCl x 14, 008 x 100 %

g sampel x 1000

% Protein = % N x 6,25

d. Analisa Kadar Lemak


(73)

̇ Sebuah labu penyaring dengan diisi beberapa butir batu didih, dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, dinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (A gram).

̇ Timbang 5 g sampel (B gram) masukkan kedalam selongsong kertas saring yang berisi kapas bebas lemak, kemudian ditutup dengan kapas kembali dengan kertas dilipat.

̇ Selongsong penyaring dimasukkan kedalam alat sochlet dan diekstraksi dengan petroleum benzen diatas penangas air selama 24 jam sampai petroleum benzen didalam sochlet menjadi jernih.

̇ Setelah proses ekstraksi selesai petroleum benzen yang terdapat dalam labu penyaring disulingkan.

̇ Labu penyaring dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam.

̇ Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (C gram). % Kadar Lemak = C - A x 100

B

A = Berat labu penyaring kosong (g) B = Berat sampel (g)

C = Berat sampel + labu penyaring setelah dikeringkan (g) d. Analisa serat kasar (AOAC, 1984)

̇ Timbang 2 g sampel (A gram) , kemudian masukan kedalam erlenmeyer 600 ml, tambahkan 200 ml H2SO4 0,3 N dan tutuplah dengan pendingin balik, selanjutnya dipanaskan diatas pemanas listrik selama 30 menit sambil digoyang - goyangkan.


(74)

̇ Kemudian tambahkan 25 ml larutan NaOH 1,5 N kedalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang - goyangkan selama 30 menit.

̇ Saringlah melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya (B gram), sambil dicuci dengan 50 ml larutan K2SO4 10%. Cuci lagi residu dengan aguadest secukupnya dan kemudian dengan 20 ml aseton.

̇ Kertas saring dan endapannya dimasukkan kedalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan selama satu jam dalam oven pada suhu 105oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (C gram).

Perhitungan kadar serat:

% Kadar Serat = C - B x 100 % A

A = Berat sampel (g) B = Berat kertas saring (g)


(75)

L.A.2. Contoh perhitungan Analisa Protein dan lemak limbah cair industri pemindangan ikan.

1. Perhitungan analisa Protein pada pH koagulasi 4

Volume Titrasi HCl (ml) Ulangan I Ulangan

II

Rataan

Kadar Protein

%

Blanko 0,31 0,29 0,3 -

Limbah awal 39,8 39,6 39,7 12,38

Pemakaian kitosan 200 mg 39,7 39,9 39,8 30,5 Pemakaian kitosan 400 mg 30,5 30,7 30,6 27,31

Pemakaian kitosan 600 mg 43 45 44 30,45

Pemakaian kitosan 800 mg 50 52 51 32,14

Pemakaian kitosan 1000 mg 60,3 60,7 60,5 37,15

Kadar protein awal limbah = 12,38 % Kadar lemak awal limbah = 2,20 % Kadar abu awal limbah = 3,04 % Kadar air awal limbah = 71,79 %

Normalitas HCl untuk titrasi = 0,01149 N Volume HCl untuk blanko = 0,3 ml Konversi perhitungan protein = 6,25

N % = (ml titrasi HCl sampel – ml HCl Blanko) x N HCl x 14,008 x 100 g sampel x 1000

% protein = % N x konversi Kadar protein limbah awal :

% N =

(

)

100

1000 32 , 0 008 , 14 01149 , 0 3 , 0 7 , 39 x x x x


(76)

% N = 1,98

% protein = 6,25 x 1,98 = 12,38 %

Kadar Protein (dosis kitosan 200 mg pada pH koagulasi 4) :

% N =

(

)

100

1000 1303 , 0 008 , 14 01149 , 0 3 , 0 8 , 39 x x x x

% N = 4,88

% Protein = 6,25 x 4,88 = 30,5 %

Kadar Protein (dosis kitosan 400 mg pada pH koagulasi 4)

% N =

(

)

100

1000 1116 , 0 008 , 14 01149 , 0 3 , 0 6 , 30 x x x x − % N = 4,37

% Protein = 6,25 x 4,37 = 27,31 %

Kadar Protein (dosis kitosan 600 mg pada pH koagulasi 4)

% N =

(

)

100

1000 1443 , 0 008 , 14 01149 , 0 3 , 0 44 x x x x − % N = 4,872

% protein = 6,25 x 4,872 = 30,45 %

Kadar protein (dosis kitosan 800 mg pada pH koagulasi 4)

% N =

(

)

100

1000 1586 , 0 008 , 14 01149 , 0 3 , 0 51 x x x x − % N = 5,14

% protein = 6,25 x 5,14 = 32,14 %


(77)

% N =

(

)

100 1000 1632 , 0 008 , 14 01149 , 0 3 , 0 5 , 60 x x x x

% N = 5,94

% Protein = 6,25 x 5,94 = 37,15 %

2. Perhitungan kadar lemak pada pH koagulasi 4

Sampel Berat labu penyaring kosong

(g)

Berat sampel kering + labu penyaring (g)

Kadar lemak %

Limbah awal 65,5606 65,6706 2,20

Dosis kitosan 200 mg 66,4686 66,6451 3,53

Dosis kitosan 400 mg 65,9775 66,158 3,61

Dosis kitosan 600 mg 67,0443 67,2303 3,72 Dosis kitosan 800 mg 66,6859 66,8784 3,85 Dosis kitosan 1000 mg 66,8362 67,0242 3,76

% Kadar lemak = A – B x 100% C

Dimana : A = berat sampel + labu penyaring sesudah dikeringkan (g) B = berat labu penyaring kosong (g)

C = berat sampel sebelum dikeringkan (g) % Kadar lemak limbah awal = 100

5 5606 , 65 6706 , 65 x

= 2,20 %

% Kadar lemak (dosis kitosan 200 mg) = 100 5 4686 , 66 6451 , 66 x


(78)

% Kadar lemak (dosis kitosan 400 mg) = 100 5 9775 , 65 158 , 66 x

= 3,61 %

% kadar lemak (dosis kitosan 600 mg) = 100 5 0443 , 67 2303 , 67 x

= 3,72 %

% Kadar lemak (dosis kitosan 800 mg) = 100 5 6859 , 66 8784 , 66 x

= 3,85 %

% Kadar lemak (dosis kitosan 1000 mg) = 100 5 8362 , 66 0242 , 67 x


(1)

L.D.2. Proses pembuatan ikan pindang pada industri pemindangan ikan

Limbah

Cair

Ikan Mentah

Pencucian

Penyusunan dalam badeng

Penambahan 10 % garam dan 8 – 12 % air

Pemasakan dengan api besar selama 2 jam

Penirisan

Pelapisan dengan kertas semen dan garam kristal 8 %

Dewi Murniati: Pemanfaatan Kembali Protein Yang Dihasilkan dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan Dengan Menggunakan Kitosan sebagai Koagulan, 2007.


(2)

Pemanggangan dengan api kecil selama 3 jam

Ikan Pindang

Dewi Murniati: Pemanfaatan Kembali Protein Yang Dihasilkan dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan Dengan Menggunakan Kitosan sebagai Koagulan, 2007.


(3)

Dewi Murniati: Pemanfaatan Kembali Protein Yang Dihasilkan dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan Dengan Menggunakan Kitosan sebagai Koagulan, 2007.


(4)

Dewi Murniati: Pemanfaatan Kembali Protein Yang Dihasilkan dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan Dengan Menggunakan Kitosan sebagai Koagulan, 2007.


(5)

Dewi Murniati: Pemanfaatan Kembali Protein Yang Dihasilkan dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan Dengan Menggunakan Kitosan sebagai Koagulan, 2007.


(6)

Dewi Murniati: Pemanfaatan Kembali Protein Yang Dihasilkan dari Limbah Cair Industri Pemindangan Ikan Dengan Menggunakan Kitosan sebagai Koagulan, 2007.