BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) - Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

  Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) definisi PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang

  1 berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.

  Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari waktu ke waktu tampak bahwa sekitar sepertiga morbiditas dan mortalitas di Indonesia adalah penyakit paru, termasuk didalamnya PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan Republik Indonesia (SKRT) 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari sepuluh penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada SKRT 1995 menduduki peringkat kelima. Diperkirakan di Indonesia terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevalensi

  16 5,6%.

  Diperkirakan jumlah penderita PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta penderita dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5-6,7% seperti di Cina dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5.014 juta jiwa dan Vietnam sebesar 2.068 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalens 5,5%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90%

  1

  penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Di negara Amerika serikat dibutuhkan dana sekitar 29,5 US$ setahun untuk penatalaksanaan PPOK dengan

  2 biaya tak langsung sebesar 20,4 US$.

  Berdasarkan kriteria ATS, penderita terbanyak berumur antara 71-80 tahun yaitu 33,9% dan kurang dari 50 tahun hanya 7,7% serta sebagian penderita adalah laki-laki. Pada orang normal penurunan faal paru yaitu volume ekspirasi detik pertama 28 ml per tahun, sedangkan pada penderita PPOK antara 50-80 ml.

  Di RS Persahabatan sebagai pusat rujukan paru nasional, PPOK menduduki peringkat ke-5 dari jumlah penderita yang berobat jalan serta menduduki

  17 peringkat ke-4 dari jumlah penderita yang dirawat.

  Asap rokok diketahui merupakan satu-satunya penyebab terpenting PPOK. Asap rokok bersama partikel berbahaya lainnya menyebabkan kerusakan jaringan paru, disfungsi mukosilier dan inflamasi saluran napas dan sistemik. Mekanisme tersebut diperberat dengan berulangnya eksaserbasi penyakit dan berperan pada terjadinya hiperinflasi dinamik paru, keterbatasan aliran udara ekspirasi, perubahan vaskuler paru dan disfungsi otot perifer yang memberikan gejala sesak napas, batuk disertai produksi sputum, kelelahan, intolerans latihan, depresi dan kecemasan yang seluruhnya menjadi faktor penentu kualitas hidup penderita

18 PPOK. Tidak banyak abnormalitas yang dijumpai pada pemeriksaan fisik.

  Wheezing tidak selalu ditemukan dan tidak berkorelasi dengan keparahan obstruksi. Pemeriksaan klinis yang selalu dijumpai pada PPOK simptomatik adalah waktu ekspirasi memanjang yang paling baik didengar di depan laring saat manuver forced expiratory. Ekspirasi yang > 4 detik suatu indikasi yang bermakna dari obstruksi. Jika penyakit bertambah berat, kelainan fisik bertambah

  19 jelas. Tampak barrel chest, pursed lip breathing, badan tambah kurus. PPOK merupakan diagnosis fungsional sehingga foto toraks hanya dapat memberi arah diagnosis PPOK. Pada tipe emfisema terlihat hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung atau pendulum. Pada tipe bronkitis kronik, foto toraks bisa normal atau corakan

  19 vaskuler bertambah pada 21% kasus.

  Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosa PPOK dan menilai derajat keparahan penyakit. Spirometri sekarang menjadi baku emas untuk mendiagnosa PPOK. Pada pengukuran spirometri penderita PPOK, didapat penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP). Nilai VEP1/KVP selalu kurang dari 70% nilai normal. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK

  1,2,19 dan memantau perjalanan penyakit.

  Panduan mengenai derajat/klassifikasi PPOK telah dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti American Thoracic Society (ATS), European

  Respiratory Society (ERS), British Thoracic Society (BTS) dan terakhir adalah

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Keempat

  panduan tersebut hanya mempunyai perbedaan sedikit, kesemuanya berdasarkan rasio VEP1/KVP dan nilai VEP1.

  20,21

Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Keparahan PPOK dari Beberapa Panduan

  Derajat I Ringan Ringan Derajat 0 Derajat I 50฀ 70฀ VEP1 60฀ VEP1<80 (berisiko) (Ringan)

  VEP1 Derajat I

  80 VEP1

  (Ringan)

  80 VEP1

  Derajat II Sedang Sedang Derajat IIa Derajat II 35฀ 50฀ 40฀ (Sedang) (Sedang)

  VEP1<50

  VEP1<70

  VEP1<60 50฀ VEP1<80 50฀ VEP1<80 Derajat IIb

  Derajat III 30฀ VEP1<50 (Berat)

  30฀ VEP1<50 Derajat III Berat Berat Derajat III Derajat IV

  VEP1 <

  VEP1<50

  VEP1<40 (Berat) (Sangat berat)

  35 VEP1 <50 &

  VEP1 <50 & gagal gagal nagas atau nagas atau gagal gagal jantung jantung kanan atau kanan atau

  VEP1<30

  VEP1<30 ATS 1995 ERS 1995 BTS 1997 GOLD 2001 GOLD 2012

2.2. Mekanisme Pernapasan Dan Disfungsi Otot Skletal Pada PPOK

  PPOK merupakan suatu penyakit progresif yang mengakibatkan kemunduran fungsi paru dan pertukaran gas secara bertahap. Manifestasi dini dari gejala PPOK adalah sesak napas saat beraktivitas dan pengurangan aktivitas. PPOK merupakan penyakit yang progresif dengan kerusakan dan remodelling jaringan paru, kurangnya elastic recoil, perubahan ventilasi dan perfusi, peningkatan frekuensi

  22 napas membuat sesak napas semakin menonjol ketika beraktivitas.

  Kelainan saluran napas dan parenkim paru yang terjadi berpengaruh pada kerja otot-otot respirasi. Usaha inspirasi penderita PPOK meningkat lebih dari empat kali dibandingkan orang normal. Kehilangan elastic recoil menyebabkan volume paru saat relaksasi meningkat dan terjadi penutupan saluran napas kecil pada awal ekspirasi (hiperinflasi statis). Ventilasi semenit saat istirahat meningkat 50% sebagai kompensasi terhadap gangguan pertukaran gas. Meningkatnya frekuensi napas menurunkan compliance paru dibawah nilai normal. Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang terjadi pada 60% penderita PPOK menghambat proses pengosongan paru sehingga inspirasi dimulai pada saat paru belum mencapai

  23 volume relaksasinya (hiperinflasi dinamik).

  Penelitian terkini menyatakan bahwa PPOK bukan hanya sebagai penyakit saluran napas yang hanya memberikan gejala di saluran napas saja tetapi juga memiliki efek sistemik diantaranya inflamasi sistemik, kehilangan berat badan, gangguan nutrisi, disfungsi otot rangka, penyakit kardiovaskular, gangguan sistem saraf dan efek pada tulang rangka. Disfungsi otot didefinisikan sebagai keadaan berkurangnya kekuatan dan atau ketahanan otot. Kekuatan otot adalah kemampuan untuk menghasilkan tenaga maksimal dan ketahanan otot adalah kemampuan otot mempertahankan kerja dengan beban tertentu selama beberapa

  24

  waktu. Disfungsi otot rangka menjadi penyebab utama keterbatasan aktivitas atau intolerans latihan pada penderita PPOK selain beberapa faktor lain yang diperkirakan dapat menjelaskan terjadinya kemunduran otot rangka pada penderita PPOK. Kurangnya aktivitas, kurangnya penggunaan otot rangka menyebabkan atropi otot rangka. Hal lain yang juga berperan adalah inflamasi sistemik, ketidakseimbangan nutrisi, pemakaian kortikosteroid sistemik, hipoksemia, dan juga gangguan elektrolit. Inflamasi sistemik PPOK berhubungan dengan perubahan biokimiawi tubuh dan fungsi organ secara bermakna. Inflamasi sistemik dianggap menjadi dasar terjadinya kaheksia, kehilangan berat badan, osteoporosis, muscle wasting, gagal jantung, aterosklerosis, demensia, depresi dan

  25,26 kanker.

  Perubahan otot rangka penderita PPOK terutama terjadi pada otot-otot tungkai seperti otot quadriseps. Otot ini mengalami kehilangan serat tipe I (tipe

  27,28

  aerobik), pengurangan enzim oksidatif dan meningkatnya apoptosis. Gosker dkk. mendapatkan persentase serat otot tipe l sebanyak 16% pada penderita

  28

  emfisema dibandingkan dengan kontrol 45%. Kelemahan otot juga berhubungan dengan level lnterleukin-8 dalam sirkulasi. Faktor lain yang menyebabkan kelemahan otot adalah stres oksidatif. Tavilani H pada tahun 2012 telah membuktikan terjadinya penurunan kapasitas antioksidan plasma pada penderita PPOK dan juga perokok serta terjadinya peningkatan stres oksidatif pada kedua

  29

  kelompok ini. Saat latihan terjadi peningkatan produksi radikal bebas oleh mitokondria dan jika mekanisme pertahanan tidak mencukupi akan terjadi proses oksidasi lemak dan protein. Atrofi otot dapat dilihat pada otot secara keseluruhan atau pada tingkat miosit tetapi dapat juga dinilai dengan memperkirakan kehilangan fat-free mass di tungkai. Perubahan otot rangka ini disebabkan oleh berubahnya gaya hidup penderita PPOK. Kemampuan oksidatif otot ini akan berkurang dari keadaan asidosis laktat akan lebih mudah terjadi pada latihan yang bersifat incremental. Asidosis laktat menjadi alasan mengapa penderita akan lebih awal menyelesaikan latihannya dan peningkatan ventilasi dibutuhkan untuk mengurangi kelebihan karbondioksida sebagai mekanisme kompensasi terhadap

  18,30 asidosis laktat.

  Sindrom metabolik seperti hipertensi, diabetes dan hiperlipidemia serta penyakit jantung sering dilaporkan sebagai faktor penyerta pada PPOK. Gangguan atau penyakit tersebut dapat memperburuk toleransi latihan pada penderita PPOK. Crisafulli dkk. mendapatkan prevalens sindrom metabolik sebanyak 61% dan penyakit jantung 24% sebagai penyerta pada 2962 penderita PPOK yang diteliti.

  Seluruh penyakit penyerta dalam penelitian ini memperburuk toleransi dan

  31 mengurangi efektifitas rehabilitasi. Gas dan partikel berbahaya

  Kerusakan Disfungsi jaringan mukosilier

  Inflamasi Eksaserbasi lokal dan sistemik

  Progresifitas penyakit Karakteristik penyakit Gejala

  Keterbatasan ekspirasi, hiperinflasi Sesak, batuk, sputum Perubahan vaskuler Lelah

  

QOL

  Disfungsi otot perifer Intolerans latihan Depresi, cemas

  16 Gambar 2.1. Penurunan kualitas hidup penderita PPOK

2.3. Rehabilitasi Paru Pada PPOK

  Sejarah rehabilitasi pertama kali dikembangkan pada penderita PPOK, kemudian diterapkan pada penyakit paru kronik misalnya penyakit interstisial, fibrosis kistik, bronkiektasis, bentuk dada abnormal, persiapan operasi dan evaluasi setelah operasi. Rehabilitasi dapat juga digunakan pada pascatrauma paru akut. Penderita yang menggunakan ventilator yang lama dan penderita

  

30

  dengan gejala respirasi yang tidak stabil. Individu dengan penyakit pernapasan yang kronik seperti PPOK sering mengalami gejala-gejala yang mengganggu seperti sesak napas dan kehilangan nafsu makan, keterbatasan aktivitas dan penurunan kualitas hidup.

  Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi sesak napas dan menghilangkan rasa takut penderita akan timbulnya sesak napas yang menghambat penderita untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Rehabilitasi paru berusaha untuk memulihkan individu ke arah potensi fisik, medik, mental, emosional, ekonomi, sosial sepenuhnya menurut kemampuannya. Melalui program rehabilitasi paru, penderita diajar untuk memahami lebih dalam tentang penyakitnya, pilihan-pilihan terapi dan strategi-strategi untuk mengatasinya.

  Mereka didorong untuk secara aktif terlibat dalam usaha-usaha pemeliharaan kesehatan, lebih mandiri dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari, dan tidak terlalu bergantung pada petugas kesehatan atau sumber-sumber daya medis lain yang mahal. Tiap usaha harus dilakukan untuk membawa penderita ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan memelihara efisiensi pemakaian energi yang maksimal, sehingga penderita bisa melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Jika hal ini tidak mungkin, maka diusahakan latihan bekerja yang lebih ringan. Bahkan jika tidak mungkin memperoleh pekerjaan yang lebih menguntungkan, titik berat harus diletakkan agar penderita mempunyai kepercayaan diri

  30,32 semaksimal mungkin dan mengurangi ketergantungan pada orang sekitar.

  Definisi awal yang dianut oleh Komite Rehabilitasi Paru American sejak tahun 1974 menyatakan bahwa

  College of Chest Physician (ACCP)

  rehabilitasi paru adalah suatu seni pengobatan dimana melalui diagnosis yang tepat, terapi, dukungan psikologis, dan edukasi, dirancangkan suatu program multidisiplin untuk masing-masing penderita guna menstabilkan atau menyembuhkan gangguan fisiologis pernapasan, dengan maksud mengembalikan penderita kepada tingkat kapasitas fungsional tertinggi yang masih mungkin

  30,33

  dicapai dalam kondisi penyakitnya. Sedangkan menurut ATS (American pada tahun 1999 rehabilitasi paru adalah suatu program dengan

  Thoracic Society)

  multidisiplin yang memberikan perhatian pada penderita PPOK melalui suatu disain yang dapat mengoptimalkan kemampuan fisik dan kehidupan sosial serta mampu mandiri. Melibatkan berbagai spektrum seperti strategi pengobatan, latihan fisik, edukasi, nutrisi, dukungan psikososial dan kedisiplinan yang merupakan suatu kesatuan pada managemen terapi jangka panjang penderita PPOK.

34 Menurut National Institutes of Health (NIH) Workshop an Pulmonary,

  rehabilitasi paru adalah pelayanan langsung multidisiplin secara terus menerus kepada seseorang dengan penyakit paru dan keluarganya, menggunakan interdisiplin tim spesialis, dengan tujuan meningkatkan dan mempertahankan tingkat kemampuan tertinggi untuk mandiri dan berguna bagi lingkungannya.

  30 Rehabilitasi paru merupakan program yang telah mantap dan diterima

  secara luas sebagai penyempurnaan terapi standar penderita PPOK. Tujuan utama dari program ini adalah :

a. Meningkatkan pemahaman terhadap penyakit dan memperbaiki self-management.

  b. Mengendalikan atau meringankan gejala penyakit dan komplikasi gangguan pernapasan semaksimal mungkin.

  c. Mengembalikan penderita pada tingkat aktivitas fisik mandiri tertinggi yang masih mungkin tercapai d. Memperbaiki kemampuan fisik dan psikologis penderita dalam interaksi dengan lingkungannya

  e.

  Mencegah suatu kondisi yang membuat keterbatasan aktivitas dan pergerakan pada penderita PPOK oleh karena sesak napas yang dialaminya

34 Rehabilitasi paru secara menyeluruh mencakup beberapa hal yaitu

  evaluasi penderita, edukasi dan dukungan psikososial, latihan relaksasi, latihan pernapasan, latihan fisik dada, dan latihan fisik (exercise training).

2.3.1. Evaluasi Penderita

  Penilaian penderita PPOK untuk program rehabilitasi paru bertujuan mendapatkan kandidat penderita yang tepat untuk diberikan program latihan.

  Penderita PPOK yang dianjurkan mengikuti program rehabilitasi paru adalah penderita dengan derajat 2 atau PPOK sedang atau penderita yang memiliki VEP

  1

  kurang dari 80% dari nilai prediksi. Penderita dengan derajat PPOK ringan dan sangat berat juga dapat dianjurkan untuk melakukan rehabilitasi paru. Rehabilitasi paru secara umum diindikasikan untuk penderita PPOK yang telah mengalami gejala pernapasan yang menetap, penurunan kapasitas latihan, penurunan aktivitas dan penurunan kualitas hidup. Akan tetapi sebenarnya tidak ada suatu penurunan fungsi paru spesifik yang dijadikan standar pada program rehabilitasi paru.

  Kontraindikasi relatif rehabilitasi paru adalah penderita yang tidak dapat berjalan disebabkan kelainan ortopedi atau saraf, angina pektoris tidak stabil atau infark miokard, gangguan psikiatrik atau kognitif dan tidak dapat berkomunikasi dengan

  34 efektif.

  Tampilan Klinis

  Berisiko Simptomatik Eksaserbasi Gagal napas

  Intervensi Berhenti merokok Management penyakit Rehabilitasi Paru Lain – lain Gejala

  VEP1

  34 Gambar 2.2. Gambaran penderita PPOK yang harus diberikan rehabilitasi paru

  Tahap awal rehabilitasi paru adalah menentukan penderita dan dievaluasi untuk disesuaikan dengan tujuan program. Proses evaluasi terdiri atas: a. Wawancara

  Wawancara merupakan langkah pertama yang penting untuk mengenalkan penderita tentang program, mengetahui riwayat penyakit dan problem psikososial.

  Anggota keluarga dan lingkungannya dilibatkan dalam wawancara ini. Komunikasi dengan dokter yang merawat dan petugas rehabilitasi penting untuk menentukan prioriti pertanyaan medis dalam mengawali program sehingga setiap individu mendapatkan jenis program yang sesuai dengan harapan.

  b. Evaluasi medis Sebelum proram rehabilitasi dilakukan, penting kiranya mengetahui kondisi penyakit penderita serta terapi yang diberikan selama ini apakah sudah

  34

  optimal. Riwayat penyakit penyerta harus diperhatikan untuk menentukan tingkat program. Data dasar harus dicatat termasuk faal paru, kemampuan uji latih, analisis gas darah (AGDA), foto toraks, elektro kardiografi (EKG), kadar hemoglobin (Hb), fungsi ginjal dan lainnya.

  c. Uji diagnostik Uji faal paru digunakan untuk menentukan karakteristik penyakit paru dan derajat kelainan. Spirometri digunakan untuk mengukur faal paru. Parameter yang sering diukur adalah kapasitas difusi, tahanan jalan napas dan tekanan maksimal respirasi. Uji latih membantu untuk menentukan toleransi latihan, perubahan hipoksemia dan hiperkapnia selama latihan sehingga dapat menentukan intensitas latihan yang aman. Toleransi latihan juga ditentukan oleh persepsi gejala sesak napas. Pengukuran yang dilakukan selama monitoring adalah besarnya beban kerja, heart rate, EKG, oksigen arteri, analisis gas darah, konsumsi oksigen (VO2) dan gejala sesak napas. Pemeriksaan AGDA sebelum dan selama latihan penting untuk mengukur kapasiti latihan yang menginduksi hipoksemia.

  d. Status psikososial Keberhasilan rehabilitasi tidak hanya ditentukan oleh penanganan masalah fisik penderita tetapi juga masalah psikologi, emosi dan sosial. Penderita dengan problem psikososial sering tidak dapat menentukan masalahnya sendiri. Kelainan neuropsikologi sering ditemukan pada PPOK, penderita menjadi depresi, takut, cemas dan sangat tergantung kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Gejala sesak yang progresif adalah gejala yang sangat ditakuti karena sedikit aktivitas akan bertambah sesak sehingga menghasilkan rasa takut dan cemas yang berlebih. Pada akhirnya aktivitas penderita akan terbatas. Status psikososial dan perhatian terhadap masalahnya dapat ditentukan waktu wawancara misalnya tingkat dukungan keluarga dan lingkungannya, aktivitas harian, hobi dan tingkat keterbatasannya. Kunci penting saat wawancara adalah memperhatikan komunikasi nonverbal seperti ekspresi wajah, sikap tubuh, sikap tangan dan gerakan tubuh. Kelainan kognitif yang terbatas pada penderita dapat secara baik diidentifikasi. Anggota keluarga dan lingkungan dapat dimasukkan dalam proses seleksi dan program bila memungkinkan.

  e. Target yang akan dicapai Target rehabilitasi ditentukan berdasarkan derajat penyakit, kebutuhan dan harapan penderita. Target harus realistik dan objektif sesuai dengan program.

  Keluarga dan lingkungan lainnya dilibatkan dalam penentuan target.

  Pada sistem International Classification of Impairment Disability and penyakit paru diklasifikasikan menjadi empat tingkat

  Handicap (ICIDH) WHO,

  yaitu patologi, impairment, disability dan handicap. Impairment saluran napas merupakan hilangnya atau abnormaliti psikologis, fisiologis, struktur anatomi atau fungsi akibat penyakit saluran napas. Impairment merupakan keadaan patologi dan dapat ditentukan dengan pengukuran laboratorium. Pada penyakit saluran napas impairment menunjukkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan udara yang terperangkap pada uji faal paru atau penurunan kekuatan otot quadriceps pada uji fungsi otot. saluran napas akibat penyakit paru

  

Disability

  menunjukkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas normal. Pada keadaan ini terjadi penurunan fungsi dinamis dan keterbatasan kerja fisik. Pada rehabilitasi paru keadaan disability ditentukan oleh uji lapangan seperti uji jalan dalam waktu yang ditentukan dan kuesioner indeks sesak untuk mengukur derajat sesak. saluran napas adalah suatu keadaan akibat impairment dan disability

  Handicap

  sehingga penderita tidak mampu berperan dalam masyarakat seperti yang diharapkan, misalnya penurunan kinerja latihan saat uji jalan dalam waktu yang ditentukan merupakan disability tetapi kumpulan ketidakmampuan untuk

  35 mempertahankan pekerjaan adalah handicap.

2.3.2. Edukasi dan Dukungan Psikososial

  Edukasi penderita bertujuan agar setiap penderita PPOK memahami kondisi penyakitnya dan keterbatasan aktifitas yang disebabkan oleh progresifitas PPOK. Edukasi program komponen haruslah mencakup review terapi yang telah digunakan selama ini, pemakaian oksigen, mekanisme penyakit, modifikasi gaya hidup. Penderita PPOK selayaknya memahami penyakit yang diderita agar meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian. Penderita harus mengerti bagaimana memakai obat inhalasi secara tepat. Kebiasaan merokok harus dihentikan karena dapat memperburuk kapasiti fungsional penderita dan juga karena penderita yang masih tetap merokok biasanya akan menolak program rehabilitasi dengan alasan yang tidak jelas. Penderita PPOK cenderung untuk kehilangan berat badannya, terutama bagi penderita dengan derajat obstruksi yang berat. Kehilangan berat badan selalu dihubungkan dengan tingkat kematian yang tinggi. Oleh karena itu, jika hal ini dapat diatasi maka akan meningkatkan survival

  rate . Dibutuhkan dukungan nutrisi pada penderita PPOK. Obesitas pada penderita

  PPOK juga harus dikurangi untuk menghindari komplikasi pada kardiorespirasi

  35 sistem dengan jalan pengaturan diet.

  Dukungan psikososial berguna untuk memberikan rasa percaya diri penderita PPOK dan mencegah depresi yang akan berakibat menurunkan efektifitas rehabilitasi paru. Penderita PPOK harus dihindari dari keadaan depresi yang juga dapat menjadi alasan drop out program rehabilitasi. Prevalens serangan panik pada penderita PPOK sepuluh kali lebih besar daripada orang normal. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya partisipasi penderita dalam kegiatan- kegiatan sosial termasuk dalam hal hubungan seksual. Bimbingan psikologis sebaiknya dilakukan terhadap penderita PPOK terutama mereka yang memiliki kecenderungan mengalami serangan panik. Psikoterapi baik dalam bentuk penyuluhan atau edukasi maupun terapi relaksasi dan desentisasi sesak napas yang diintegrasikan dalam komponen rehabilitasi paru lainnya diharapkan dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan sesak napas, serta meningkatkan rasa percaya diri.

2.3.3. Latihan Relaksasi

  Tujuan latihan relaksasi adalah: a. Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu pernapasan.

  b. Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.

  c. Memberikan sense of well being Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa tegang, cemas dan takut. Untuk mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai latihan pernapasan dan terapi fisik dada. Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan. Latihan

  36 relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang dan posisi yang nyaman.

  Contoh gerakan peregangan

  2. Peregangan dada

  1. Peregangan leher  Tahan tangan dibelakang dada

   Miringkan kepala ke arah salah seperti terlihat pada gambar satu bahu secara perlahan tangan sejauh  Gerakkan  Tahan selama 10 detik mungkin dari dada

   Ulangi sebanyak dua atau tiga  Tahan selama 20 detik kali  Ulangi sebanyak dua atau tiga

   Ulangi ke arah bahu lainnya kali

  3. Rotasi bahu

   Letakkan tangan pada bahu seperti yang terlihat pada gambar  Gerakkan ke arah depan dan belakang dengan gerakan memutar  Ulangi sebanyak 5 kali

  5. Peregangan otot tricep  Tarik siku secara perlahan sampai dirasakan peregangan pada lengan  Tahan selama 20 detik  Ulangi sebanyak dua atau tiga kali

  4. Peregangan bahu  Tahan siku dengan tangan yang lain secara perlahan sampai terasa peregangan pada bahu  Tahan selama 20 detik

   Ulangi sebanyak dua atau tiga kali

  6. Peregangan otot quadricep  Tarik kaki ke arah belakang bokong sampai terasa peregangan pada pada depan  Tahan selama 20 detik  Ulangi sebanyak dua atau tiga kali

  7. Peregangan pinggang  Luruskan lengan di atas kepala  Miringkan badan ke arah samping  Tahan selama 20 detik  Ulangi sebanyak dua atau tiga kali

   Tahan selama 20 detik  Ulangi sebanyak dua atau tiga kali

  8. Peregangan urat lutut  Letakkan kaki pada sebuah balok badan sampai  Miringkan sampai terasa peregangan pada paha belakang

2.3.4. Latihan Pernapasan Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai penderita.

  Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:

  a. Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping

  b. Memperbaiki fungsi diafragma

  c. Memperbaiki mobilitas sangkar toraks

  d. Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernapasan e. Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih

  36 efektif dan mengurangi kerja pernapasan.

  Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan yang paling penting. Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pengaruh gerakan diafragma sebesar 65% dan volume tidal. Bila ventilasi meningkat barulah digunakan otot-otot bantu pernapasan (seperti skalenus, sternokleidomastoideus, otot penyangga tulang belakang) ini terjadi bila ventilasi melampaui 50 l/menit.

  Pada penderita PPOK terdapat hambatan aliran udara terutama pada waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Fungsi diafragma penderita PPOK kurang dari 35% volume tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu pernapasan. Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PE max) sekitar 37%. Latihan pernapasan meliputi: a.1. Latihan pernapasan diafragma

  Melatih kembali penderita untuk menggunakan diafragma dengan baik dan merelaksasi otot-otot asesorius. Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut: a.1.1. Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di rumah. a.1.2. Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke kiri atau ke kanan, mendatar. a.1.3. Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan dada minimal, dinding dada dan otot bantu napas relaksasi. a.1.4.Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian bawah. a.1.5. Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5-1 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini. Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya dilakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga

  36

  a.2. Pursed lips breathing (PLB) Tujuan program ini adalah mengurangi napas pendek dan aktivitas otot asesorius, mencegah kolaps saluran napas kecil selama ekspirasi, meningkatkan

  P02 dan menurunkan PC02. Pursed Lips Breathing dilakukan dengan cara menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 2-3 kali lamanya inspirasi, sekitar 4-6 detik. Penderita tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras. Pursed Lips Breathing dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang nasofaring. Dengan

  PLB akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini akan

  trapping

  menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi ventilasi merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol. Selain itu PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa sesak napas pada penderita. PLB akan menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan diafragma. Ventilasi alveolar yang efektif terlihat setelah latihan berlangsung

  36 lebih dari 10 menit.

  a.Menarik napas b. Bibir seolah-olah c. Buang napas perlahan-lahan akan meniup perlahan-lahan melalui hidung melalui mulut

  37 Gambar 2.3. Tekhnik pursed lips breathing

  a.3. Latihan batuk Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus memenuhui kriteria yaitu kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret dan mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi. Cara melakukan batuk yang baik adalah posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga menimbulkan tekanan intratorak. Tungkai bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita diminta menarik napas melalui hidung, kemudian menahan napas sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksikan otot-otot dinding perut serta badan sedikit membungkuk ke depan. Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai. Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk, diistirahatkan dengan melakukan Iatihan

  36 pernapasan diantara latihan batuk.

2.3.5. Terapi Fisik Dada

  Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius. Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea, dapat dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada, vibrasi menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat (mekanik). Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan (clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru terutama pada penderita PPOK dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari). Drainase postural adalah cara membersihkan jalan napas dari lendir dengan meletakkan penderita pada berbagai posisi pada waktu tertentu sehingga gravitasi akan membantu aliran lendir. Lendir digerakkan dari bronkial ke bronkus dan menuju trakea untuk dibatukkan. Posisi lobus yang akan didrainase diletakkan lebih tinggi daripada bronkus utama. Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama 5 menit. Sebelum dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengaliran

  36 sekret.

2.3.6.Latihan Fisik (Exercise Training)

  Latihan rekondisi merupakan kunci kesuksesan dalam program latihan pada penderita PPOK. Masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana mendisain pola latihan secara individual dengan mempertimbangkan kelainan kardiovaskuler dan sistem rangka yang mungkin sudah terjadi. Program latihan harus mempertimbangkan tiga hal utama yaitu intensitas, spesifisiti dan reversibiliti. Latihan harus dilakukan sedikitnya tiga hingga lima hari seminggu dan intensitas latihan antara 40-80 % dari cadangan ambilan oksigen (perbedaan antara ambilan oksigen pada waktu istirahat dengan ambilan oksigen maksimal). Latihan dilakukan selama lebih dari 20 menit secara kontiniu atau dengan interval. Latihan fisik sebanyak 20 sesi terbukti memberi manfaat yang lebih baik daripada 10 sesi. Sebagian program rehabilitasi melakukan latihan 3 kali seminggu diawasi langsung dengan durasi 3-4jam. Biasanya durasi program rehabilitasi selama 6

  25 hingga 12 minggu.

  Intensitas latihan yang rendah memperbaiki gejala penderita PPOK, kualitas hidup dan beberapa aspek aktivitas harian. Manfaat fisiologis lebih besar didapat pada intensitas latihan yang lebih berat. Intensitas latihan berat pada orang normal adalah intensitas tertentu yang dapat meningkatkan kadar laktat dalam darah. lntensitas melebihi 60% kapasitas puncak latihan dianggap cukup

  38 meningkatkan kemampuan. Spesifisitas latihan penderita PPOK umumnya dilakukan dengan memusatkan perhatian pada latihan tungkai dengan menggunakan treadmill, sepeda statis atau dengan latihan berjalan secara incremental. Aktivitas latihan juga dilakukan terhadap otor-otot lengan dengan menggunakan arm cycle

  , free weights dan elastic bands. Latihan terhadap otot lengan dapat

  ergometer

  mengurangi sesak sewaktu aktivitas dengan menggunakan lengan dan menurunkan kebutuhan ventilasi sewaktu mengangkat lengan. Orang normal membutuhkan peningkatan ambilan oksigen sebanyak 16% dan peningkatan

  18,30 ventilasi 24% sewaktu mengangkat lengan.

  dilakukan dengan cara berjalan atau bersepeda

  Endurance exercise

  termasuk latihan yang sering dilakukan dalam program rehabilitasi paru. Durasi latihan efektif harus melebihi 30 menit. Beberapa penderita sulit diperoleh durasi latihan yang kontiniu dan sebagai alternatif dapat dilakukan latihan secara interval dengan cara membagi durasi latihan menjadi beberapa sesi dengan selingan istirahat atau latihan dengan intensitas lebih rendah. Strength exercise dapat memberikan perbaikan massa dan kekuatan otot daripada endurance exercise. Oca dkk. melaporkan bahwa latihan bersepeda meningkatkan kapasiti fungsional penderita PPOK sebesar 19% lebih besar daripada uji jalan 6 menit yang hanya

  38 meningkatkan 1% kapasiti fungsional penderita.

  Latihan fisik dapat mengurangi gejala sesak napas dengan cara mengurangi hiperinflasi dinamik pada penderita PPOK. Hiperinflasi dinamik terjadi pada saat latihan fisik yang menyebabkan peningkatan kebutuhan ventilasi dan berkurangnya waktu ekspirasi hingga terjadi air trapping. Latihan fisik menurunkan kebutuhan ventilasi dan frekuensi napas sehingga memberikan waktu yang cukup untuk ekspirasi dan mengurangi hiperinflasi paru. Desensitisasi perasaan sesak terjadi di otak melalui mekanisme yang belum dapat dijelaskan. Kecemasan dan depresi pada penderita PPOK berkurang sebagai efek dari

  25 peningkatan kapasiti latihan.

  Resistance training dilakukan dengan cara memberi beban tertentu

  terhadap kelompok otot kecil secara berulang. Alasan dilakukannya latihan ini karena pada penderita PPOK biasanya terjadi kelemahan otot perifer yang juga berperan pada kelelahan pada waktu latihan. Latihan yang dilakukan pada otot perifer dapat mengurangi sesak pada penderita. Spruit dkk. membandingkan efek dengan endurance training pada penderita PPOK yang mengalami

  resistance

  kelemahan otot tungkai. Terdapat hasil bermakna pada peningkatan jarak jalan 6 menit sebesar 54 meter tetapi tidak terdapat perbedaan hasil antara resistance dan

  39 pada penderita yang diteliti. endurance training

  Peningkatan jarak minimum bermakna menurut rekomendasi British adalah 54 meter sedangkan menurut American Thoracic

  Thoracic Society (BTS)

39 Society (ATS) 50 meter.

  37 Gambar 2.4. Latihan fisik yang dapat dilakukan pada program rehabilitasi paru

2.4. Kualitas Hidup Penderita Ppok

  Kualitas hidup adalah tingkat keadaan individu dalam lingkup kemampuan keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut. Kualitas hidup dapat menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan penampilannya pada berbagai bidang misalnya kemampuan fisik, okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi. Konsep pengukuran kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan biasanya merujuk paling sedikit pada salah satu dari 4 domain atau komponen penting yaitu sensasi somatik, fungsi fisik, status emosi, atau psikososial dan interaksi sosial. Pengukuran kualitas hidup biasanya menggunakan kuesioner yang dapat mewakili 4 domain tersebut. Akan tetapi kuesioner kesehatan umum kurang sensitif terhadap derajat berat penyakit PPOK maka sering digunakan pengukuran spesifik misalnya St. George’s yang dikembangkan oleh Jones dkk, Clinical

  Respiratory Questionaire (SGRQ) COPD Questionnaire (CCQ), MRC (Medical Research Council) Dyspnoe Scale,

  dan juga CAT (COPD assessment Test) yang merupakan kuesinoer

  BODE Index,

  14 paling baru yang sedang dikembangkan.

  pertama kali diperkenalkan pada tahun 2009, merupakan lembar

  CAT

  penilaian yang mudah dan ringkas, dapat dipergunakan dalam praktik kedokteran sehari-hari, merupakan lembar penilaian yang dapat digunakan untuk menilai seluruh aspek pada penderita PPOK, dan juga meningkatkan komunikasi antara dokter dan penderita. Walaupun CAT hanya terdiri dari beberapa buah pertanyaan saja, namun sudah mencakup area luas yang dapat menilai kualitas hidup penderita. Validasi terhadap CAT telah dilakukan di Amerika Serikat dan di

  40

  beberapa negara di Eropa, diharapkan juga efektif di Asia. Berdasarkan data yang telah diambil dari enam negara telah membuktikan bahwa pengukuran CAT telah melingkupi seluruh penilaian penderita PPOK. Data tersebut juga telah membuktikan bahwa CAT relevan dengan populasi PPOK dan dapat digunakan secara global. CAT merupakan kuesioner dengan delapan pertanyaan. Pertanyaan- pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sangat mudah. Penderita harus menjawab dengan memberi tanda silang pada angka yang memberikan gambaran terbaik kondisinya saat itu. Dokter tidak boleh mengarahkan jawaban yang akan diberikan kepada penderita. Setiap pertanyaan memiliki nilai dari 0 sampai 5. 0 artinya kondisinya sangat baik dan 5 berarti kondisinya sangat tidak baik. Namun lembar penilaian tidak memberikan nilai ukur terhadap skor 0-5 untuk setiap pertanyaan yang sudah ada, oleh karena itu untuk memudahkan proses pengisian lembar CAT, maka peneliti memberi penjelasan terhadap makna skor 0-5 dari setiap lembar penilaian CAT.

41 Delapan pertanyaan tersebut adalah (lembar penilaian CAT terlampir) :

  a. Kondisi batuk penderita

  b. Kondisi dahak penderita

  c. Apakah ada rasa berat di dada

  d. Bagaimana kondisi sesak napas saat mendaki/naik tangga

  e. Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari

  f. Apakah ada kekhawatiran untuk keluar dari rumah akibat penyakit yang dideritanya g. Apakah penderita dapat tidur dengan nyenyak atau tidak

  h. Apakah penderita merasa bertenaga atau tidak

Tabel 2.2. Lembar Praktis Penggunaan COPD Assessement Test (CAT)

  Skor CAT

  Level Gambaran klinis terhadap skor CAT Penatalaksanaan yang mungkin dilakukan

  30 Sangat tinggi Pada kondisi ini penderita sangat sulit untuk melakukan aktifitasnya, setiap hari ia akan terganggu akan penyakit PPOKnya. Penderita juga kan sulit walau hanya akan melakukan aktivitas seperti mandi atau sekedar keluar dari rumah.

  Penderita harus mendapatkan perhatian yang serius

  • Harus mendapatkan pengobatan dari spesialis
  • Pertimbangkan pemberian obat tambahan
  • Rujuk ke rehabilitasi paru
  • Pertimbangkan pendekatan pengobatan terbaik untuk mencegah terjadinya eksaserbasi

  Bahkan terkadang penderita akan sulit untuk meninggalkan tempat tidur atau kursinya. Pada kondisi ini, penderita sering menjadi lelah menjadi manumur yang tidak berguna

  20 Tinggi PPOK menggangu hampir seluruh aktivitasnya. Penderita akan merasa sesak walau hanya mandi, memakai baju atau berjalan di sekitar rumahnya. Penderita juga terkadang merasa sesak saat berbicara. Penderita sering merasa lelah dan merasa nyeri di dada yang dapat mengganggu tidur mereka. Pada keadaan ini penderita merasa semua aktivitas memerlukan tenaga yang besar. Terkadang penderita juga merasa stress dan panik terhadap penyakitnya

  10-20 Sedang PPOK merupakan masalah utama penderita ini. Mereka kadang memiliki beberapa hari yang baik dalam satu minggu, tetapi tetap mengeluhkan selalu adanya batuk disertai dahak setiap hari, dan mengalami satu atau lebih eksaserbasi setiap tahunnya. Penderita sering terbangun dari tidur karena keluhan sesak napas. Penderita hanya dapat melakukan aktifitas harian dengan perlahan- lahan

  • Periksa pengobatan yang telah diberikan selama ini. Sudah optimal apa belum.
  • Rujuk ke pusat rehabilitasi paru
  • Pertimbangkan pendekatan pengobtan terbaik untuk mencegah terjadinya eksaserbasi
  • Periksa faktor pemberat. Apakah penderita masih
merokok? < 10 Rendah Penderita tidak terlalu mengeluhkan

  • Berhenti merokok gejala PPOK, tetapi terkadang
  • Vaksinasi influenza mengganggu aktifitas. Penderita setiap tahun mengeluhkan adanya batuk dalam
  • Cegah terpapar beberapa hari setiap minggunya, dan dengan faktor risiko mengalami sesak napas ketika
  • Berikan pengobatan berolahraga atau bekerja keras.

  sesuai dengan hasil Penderita juga mudah mengalami pemeriksaan kelelahan.

  Uji jalan 6 menit

Dokumen yang terkait

Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

6 88 82

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

0 69 88

Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

8 116 108

Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil Dengan Disfungsi Ereksi

0 67 108

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik - Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Rsu Dr.Pirngadi Medan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2.1.1 Defenisi PPOK - Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

0 0 23

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

0 0 26

Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

0 0 23

I. DATA PRIBADI - Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

0 0 20

Analisis Kualitas Hidup Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Setelah Mengikuti Program Rehabilitasi Paru Yang Dinilai Dengan COPD Assessment Test (CAT) dan Uji Jalan 6 Menit

0 0 5