Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dengan Ppok Stabil

(1)

PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT DENGAN PPOK

STABIL

TESIS

Oleh

NOVRIN

NIM : 087101034

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT DENGAN PPOK

STABIL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar

Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVRIN

NIM : 087101034

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT DENGAN PPOK STABIL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

Oleh

NOVRIN

NIM : 087101034

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

Nama Mahasiswa : Novrin NIM : 087101034

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik - Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui, Pembimbing Pertama

NIP. 195104011977111001 dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP

Pembimbing Kedua

NIP. 195207131982031002 dr. E. N. Keliat, SpPD-KP

Disahkan oleh:

Program Magister Kedokteran Klinik Dekan Sekretaris Program Studi

Dr. Murniati Manik,Msc,SpKK.SpGK Prof. Dr. Gontar A Siregar.SpPD-KGEH NIP.19530719 198003 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001


(5)

Judul Tesis : PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT DENGAN PPOK STABIL

Nama Mahasiswa : Novrin NIM : 087101034

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik - Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui, Pembimbing Pertama

NIP. 195104011977111001 dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP

Pembimbing Kedua

NIP. 195207131982031002 dr. E. N. Keliat, SpPD-KP

Ketua Departemen Penyakit Dalam Ketua Program Studi

Dr. Refli Hasan SpPD,SpJP (K)

NIP. 19610403 198709 1 001 NIP. 19680504 199903 1 001Tanggal lulus : 29 Januari 2015 Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP


(6)

Telah diuji

Pada Tanggal : 29 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Haris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K)

Anggota : Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH Dr. Armon Rahimi, Sp.PD-KPTI


(7)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Novrin

NIM : 087101034


(8)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Novrin

NIM : 087101034

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik - Ilmu Penyakit Dalam Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:

PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT

DENGAN PPOK STABIL

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 29 Januari 2015 Yang menyatakan :


(9)

Abstrak

PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT

DENGAN PPOK STABIL

Novrin, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang. PPOK eksaserbasi akut dan stabil menyebabkan terjadinya peningkatan inflamasi pada saluran nafas dan sistemik yang memicu pelepasan beberapa sitokin proinflamasi ke sirkulasi darah.

Tujuan.

Proses inflamasi ini merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Peningkatan kadar fibrinogen pada pasien PPOK menunjukkan risiko untuk dilakukannya perawatan di rumah sakit meningkat menjadi 70% dan setiap peningkatan kadar fibrinogen 1g/l meningkatkan risiko kematian pada pasien PPOK menjadi 4 kali lipatnya.

Bahan dan Cara. Penelitian ini dilaksanakan secara cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Subjek dengan PPOK eksaserbasi akut masuk ke instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria inklusi dilakukan anamnesis terhadap keluhan utama, riwayat merokok atau paparan terhadap polusi udara, riwayat serangan sebelumnya, riwayat penyakit lain, pemeriksaan IMT, laboratorium darah: leukosit, plasma fibrinogen pada saat PPOK eksaserbasi akut dan PPOK stabil, foto thorak, dan spirometri.

Untuk menilai apakah ada perbedaan kadar fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan PPOK stabil.

Hasil. Dari 45 subjek penelitian didapatkan pria 35 orang (77,8%) dan wanita 10 orang (22,2%), IMT underweight 6 orang, normoweight 27 orang, overweight 12 orang, hasil test spirometri berdasarkan kriteria GOLD sebagai berikut: GOLD 1 dengan 1 subjek (2,2%), GOLD 2 dengan 20 subjek (44,4%), GOLD 3 dengan 17 subjek (37,8%), GOLD 4 dengan 7 subjek (15,6%). Sedangkan hasil dari kadar plasma fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 426,49 ± 39,79 mg/dl dibandingkan pada PPOK stabil dengan rerata dan SD 283,22 ± 24,28 mg/dl signifikan meningkat dengan p=0,0001.


(10)

Kesimpulan. Kadar plasma fibrinogen akan semakin meningkat pada PPOK eksaserbasi akut dibandingkan dengan PPOK stabil. Kadar plasma fibrinogen

Kata Kunci : PPOK eksaserbasi akut, PPOK stabil, fibrinogen, IMT, spirometri.

dapat digunakan sebagai biomarker terhadap keparahan terjadinya PPOK eksaserbasi.


(11)

Abstract

Comparison of Fibrinogen Levels at Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Acute Exacerbation With COPD Stable

Novrin, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Division

Internal Medicine Department

Faculty of Medicine University of North Sumatera

H. Adam Malik General Hospital Medan

Background. COPD acute exacerbation and COPD stable led to an increase of airways and systemic inflammation that triggers the release of several proinflammatory cytokines into the blood circulation. This inflammatory process stimulates the liver to produce acute phase proteins such as CRP and fibrinogen. Increased levels of fibrinogen in patients with COPD showed the risk for hospitalization did increase to 70% and any increase in fibrinogen levels 1 g/l increase the risk of death 4 times in patients with COPD.

Objective. To assess whether there are differences in the levels of fibrinogen in acute exacerbations of COPD and stable COPD.

Materials and Methods. This is a cross sectional descriptive analytic study. Subjects admitted into the emergency room with acute exacerbations of COPD who fits the inclusion criteria were inquired for ; smoking or exposure to air pollution, previous exacerbation history, other diseases, BMI examination, leucocyte level, serum fibrinogen level during acute COPD exacerbations and stable COPD, Chest X-Ray, and spirometry.

Result. From the 45 research subjects, 35 men (77.8%) and 10 women (22.2%), Based on BMI 6 subjects were underweight, 27 subjects normoweight, 12 subjects overweight, spirometry test results based on the GOLD criteria as follows: GOLD 1 1 subject (2.2%), GOLD 2 20 subjects (44.4%), GOLD 3 17 subjects (37.8%), GOLD 4 7 subjects (15.6%). Serum fibrinogen level in acute exacerbation of COPD mean and SD 426.49 ± 39.79 mg / dl compared with stable COPD with a mean and SD 283.22 ± 24.28 mg / dl significantly increased with p = 0.0001 .


(12)

Conclusion. Serum fibrinogen level will be elevated in acute exacerbations of COPD compared to stable COPD. Serum level of fibrinogen may be a useful biomarker to indicate the severity of COPD exacerbations.


(13)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “ PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT DENGAN PPOK STABIL” yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan tugas akhir pendidikan Magister Kedokteran Klinik dan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam pada fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dekan Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Gontar A. Siregar Sp.PD-KGEH yang telah memberikan izin dan menerima penulis untuk mengikuti Program Magister – Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di FK USU.

2. Dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH (Alm) dan Dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH (alm) dan Dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam FK-USU yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Ilhamd, SpPD-KGEH dan Dr. Dairion Gatot, SpPD-KHOM selakuSekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medanyang telah memberikan kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

5. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP dan Dr. Ermanta Ngirim Keliat, SpPD-KP sebagai pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan kesabaran membimbing


(14)

penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Allah SWT memberikan rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga.

6. Para guru besar, Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, Sp.PD-KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum, Sp.PD-Kpsi, Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD-KKV, Prof. Dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI-Sp.MK, Prof. Dr. OK Moehad Sjah, Sp.PD-KR, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, Sp.PD-KGEH, Prof. Dr. M Yusuf Nasution, Sp.PD-KGH, Prof. Dr. Abdul Majid, Sp.PD-KKV, Prof. Dr. Azmi S Kar, Sp.PD-KHOM, Prof. Dr. Gontar A. Siregar Sp.PD-KGEH, Prof. Dr. Haris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), Prof. Dr. Harun Al Rasyid Damanik, Sp.PD-KGK, yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.

7. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik/ RSU Pirngadi Medan, para guru penulis selama proses pendidikan: Dr. Zulhelmi Bustami, Sp.PD-KGH (alm), Dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH (alm), Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Dr. Alwinsyah Abidin, Dr.Santi Safril SpPD- KEMD Sp.PD-KP, dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP, Dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP, Dr. A. Adin St. Bagindo, KKV, Dr. Mabel Sihombing, Sp.PD-KGEH, DR. Dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD, DR. Dr. Blondina Marpaung, Sp.PD-KR, DR. Dr. Juwita Sembiring, Sp.PD-KGEH, Dr. Leonardo Dairi, Sp.PD-KGEH, DR. Dr. Rustam Effendi, Sp.PD-KGEH, Dr. Yosia Ginting, Sp.PD-KPTI, Dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI, Dr. Mardianto, KEMD, Dr. Armon Rahimi, KPTI, Dr. E.N. Keliat, KP, Dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD-KAI, Dr. Pirma Siburian, Sp.PD-KGer (Alm), Dr. Savita Handayani, Dr. Saut Marpaung, Sp.PD, Dr. Endang, Sp.PD, Dr. T. Abraham, Sp.PD, Dr. Meutia Sayuti, Sp.PD, Dr. Jerahim Tarigan, Sp.PD, Dr. Calvin Damanik, Sp.PD, Dr. Soegiarto Gani, Sp.PD, Dr. Ilhamd, Sp.PD-KGEH, Dr. Religius Pinem, Sp.PD, Dr. Elyas Tarigan, Sp.PD, Dr. Fransiskus Ginting, Sp.PD, Dr. Alwi Thamrin Nasution, Sp.PD, Dr. Syafrizal Nasution, Sp.PD, Dr. Imelda Rey, Sp.PD, Dr. Deske Muhadi, Sp.PD, Dr. Melati Sylvani Nasution, Sp.PD, Dr Aron M Pase, Sp.PD, Dr. Dewi Murni Sartika, Sp.PD, Dr Medina, Sp.PD, Dr. Restuti Saragih, Sp.PD, Dr. Dina Aprilia Sp.PD, Dr. Sumi Ramadhani, Sp.PD, Dr Anita Rosari, Sp.PD, Dr. Taufik Sungkar, Sp.PD, Dr. Zulkhairi, Sp.PD, Dr. Adlin, Sp.PD, Dr. Radar Radius Tarigan, Sp.PD, Dr Wika Lubis, Sp.PD, dan Dr. Riri Andri Muzasti, Sp.PD, sebagai dokter kepala ruangan / poliklinik / senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

8. Kepada teman-teman seangkatan selama pendidikan yang memberikan dorongan semangat: dr. Ivan Ramayana, M.Ked.PD, SpPD, dr. M. Feldi Gazaly Nasution, M.Ked.PD,SpPD, ,dr. Ryki M. Sihombing, M.Ked.PD, SpPD, dr. M. Isa Ansari Harahap, M.Ked.PD, SpPD, dr. Ali Imron


(15)

Harahap, dr. Dodo Aryanto, dr. Ferry Merbawanto, dr. Koko Infana Tarigan, dr. Beri TM Sidabutar,dr. Leo Widia Sahputra, dr. Nova Damayanti. Juga para teman sejawat dan PPDS interna lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, paramedik dan Bapak Syarifuddin Abdullah, Kak Leli, Deni, Fitri, Ita, Wanti, Yanti, Tika dan Sari atas kerjasama yang baik selama ini.

9. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

10. Para co-asisten dan petugas kesehatan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

11. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

12. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

13. Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Indaragiri Hulu yang telah memberikan bantuan secara moril dan materil selama pendidikan ini.

Rasa hormat dan terima kasih saya yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis tujukan kepada ayahanda Drs. H. Amiruddin Tanjung (alm) dan ibunda Hj. Azliar yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasanya ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan kebahagian kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi. Demikian juga mertua saya Maksum dan Afriza yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasihati agar kuat dalam menjalani pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Kepada isteri tercinta Fitra Suzanti Ssi, MSi dan keempat anakku tercinta Alif Hibatul wafi, Alya Nurazizah Al Afifi, Muhammad Daffa Asshiddiq, Atifah Humairoh, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita serta mendapat rido oleh Allah SWT.


(16)

Terima kasih sebesar-besarnya kepada abang dan kakak kandung penulis Drs. Eka mirza, Apt, Ir. Dita Mirwandi MM, Ir. Elfida, Drs. Femi Okriza, begitu juga adik kandung penulis Ir, Azmiral, Dr. Andri Boy, Dr, Arfandi Bukit, serta segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan bantuan moril, semangat dan doa tanpa pamrih selama pendidikan.

Kepada semua pihak, baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin saya ucapkan satu persatu yang telah membantu saya dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih, maha pemurah dan maha penyayang.

Medan, Januari 2015


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembaran Pengajuan Tesis ………... i

Lembaran Pengesahan ……….. vi

Abstrak ……….. vii

Abstract ………. viii

Kata Pengantar ……….. ix

Daftar Isi ………... xiv

Daftar Tabel ……….. xvi

Daftar Gambar ……….. xvii

Daftar Singkatan ………... xviii

Daftar Lampiran ………... xix BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Hipotesis ... 1.4. Tujuan Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ... 1.6. Kerangka Konsepsional ... 1 4 4 4 4 5 BAB II TINAJAUAN PUSTAKA

2.1. PPOK ... 2.1.1. Definisi PPOK ... 2.1.2. Epidemiologi PPOK ... 2.1.3. Patologi, Patogenesis dan Ptofisiologi ... 2.1.3.A. Patologi ... 2.1.3.B. Patogenesis ... 2.1.3.C. Patofisiologi ... 2.1.4. Diagnosa dan Penilaian ... 2.1.4.A. Diagnosa ... 2.1.4.B. Penilaian ... 2.1.5. PPOK Eksaserbasi Akut ... 2.1.6. PPOK Stabil ... 2.2. Spirometri ...

6 6 7 9 9 10 12 13 13 14 17 20 23


(18)

2.3. Fibrinogen ... 2.3.1. Definisi Fibrinogen ... 2.3.2. Patofisiologi Fibrinogen ... 2.3.3. Fibrinogen dan Peradangan ... 2.3.4. Fibrinogen Pada PPOK ... 2.3.4.A. Fibrinogen Pada PPOK Stabil ... 2.3.4.B. Fibrinogen Pada PPOK Eksaserbasi Akut ... 25 25 26 26 28 28 29 BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian ... 3.2. Waktu dan Tempat ... 3.3. Populasi dan Sampel ... 3.4. Kriteria Inklusi ... 3.5. Kriteria Eksklusi ... 3.6. Besar Sampel ... 3.7. Cara Penelitian ... 3.8. Identifikasi Sampel ... 3.9. Definisi Operasional ... 3.10. Analisa Data ... 3.11. Ethical clearance dan informed consent ... 3.12. Kerangka Operasional ...

36 36 36 36 37 37 38 39 39 39 40 41 BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Dasar Populasi Penelitian ... 4.2. Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada PPOK

Eksaserabsi Akut Dengan PPOK Stabil ...

42 44 BAB V PEMBAHASAN

5.1. Pembahasan Hasil Peneliti ... 46 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ...

49 49 DAFTAR PUSTAKA ...... 50


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1.4.1 Modifikasi British Medical Research Council (mMRC) .... 15 Tabel 2.1.4.2 COPD Assessment Test ( CAT ) …..………... 15 Tabel 2.1.4.3 Penilaian Dari Keterbatasan Aliran Udara Pada PPOK …... 16 Tabel 2.1.5.1 Penilaian PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Riwayat

Kesehatan ..………

20

Tabel 2.1.5.2 Penilaian PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Tanda – Tanda Keparahan ………

20

Tabel 4.1.1 Data Karakteristik Dasar Populasi ………... 43 Tabel 4.2.1 Perbandingan Kadar Fibrinogen Pada PPOK Eksaserbasi

Akut Dengan PPOK Stabil …..………...


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1.3.1. Mekanisme yang mendasari keterbatasan aliran udara pada PPOK ………..

10

Gambar 2.1.3.2 Proses patologi yang terlibat dalam Empisema ……….. 11 Gambar 2.1.5.1 Gabungan penilaian dari PPOK ..……… 19 Gambar 2.1.6.1 Penatalaksanaan PPOK Stabil Ringan ……… 22 Gambar 2.1.6.2 Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang Dan Berat ….………. 23 Gambar 2.3.4.1 Mekanisme Terjadinya PPOK Eksaserbasi Akut Dan PPOK

Stabil .………..

30

Gambar 2.3.4.2 Hubungan Antara Sistem Mediator, Respon Imun, Infeksi Pada PPOK ………..

35

Gambar 4.1.1 Klasifikasi IMT Dari Data Penelitian ...……….. 43 Gambar 4.1.2 Data Klasifikasi PPOK Stabil Penelitian Berdasarkan

Kriteria GOLD ………

44

Gambar 4.2.1 Perbandingan Kadar Fibrinogen PPOK Eksaserbasi Akut Dengan PPOK Stabil Pada Penelitian .………


(21)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

AF Atrium Febrilasi BB Berat Badan CRP C - Reaktif Protein CAT COPD Assessment Test EELV End Expiratory Lung Volume EGFR Epidermal Growth Factor Reseptor

FEV1 Force Expiration Volume Pada 1 Detik Pertama FRC Functional Residual Capacity

FVC Forse Vital Capacity

GOLD Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease HDL High Density Lipoprotein

ICAM-1 Intercelluler Adhetion Molekul-1 IHD Iskemik Heart Disease

IL - 6 Interlaukin – 6 IL - 8 Interlaukin – 8 IMT Index Masa Tubuh LDL Low Density Lipoprotein LTB4 Leukotriene B 4

mMRC Modified British Medical Research Council Mac-1 Macrophage adhesion ligand-1

MVV Maximal Voluntary Ventilation PPOK Penyakit Paru Obstruksi Kronik PO2 Pressure of oxygen

PCO2 Pressure of carbon dioxide SVC Slow Vital Capacity


(22)

TB Tinggi Badan

TNF Tumor Nekrosis Faktor WHO World Health Organization


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman LAMPIRAN 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek... 55

LAMPIRAN 2. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian... 56 LAMPIRAN 3. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian…..………..…... 57 LAMPIRAN 4. Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian... 59 LAMPIRAN 5. Daftar Riwayat Hidup…………... 60 LAMPIRAN 6. Rekapitulasi Subjek Penelitian ... 64


(24)

Abstrak

PERBANDINGAN KADAR FIBRINOGEN PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT

DENGAN PPOK STABIL

Novrin, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang. PPOK eksaserbasi akut dan stabil menyebabkan terjadinya peningkatan inflamasi pada saluran nafas dan sistemik yang memicu pelepasan beberapa sitokin proinflamasi ke sirkulasi darah.

Tujuan.

Proses inflamasi ini merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Peningkatan kadar fibrinogen pada pasien PPOK menunjukkan risiko untuk dilakukannya perawatan di rumah sakit meningkat menjadi 70% dan setiap peningkatan kadar fibrinogen 1g/l meningkatkan risiko kematian pada pasien PPOK menjadi 4 kali lipatnya.

Bahan dan Cara. Penelitian ini dilaksanakan secara cross sectional yang bersifat deskriptif analitik.

Subjek dengan PPOK eksaserbasi akut masuk ke instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria inklusi dilakukan anamnesis terhadap keluhan utama, riwayat merokok atau paparan terhadap polusi udara, riwayat serangan sebelumnya, riwayat penyakit lain, pemeriksaan IMT, laboratorium darah: leukosit, plasma fibrinogen pada saat PPOK eksaserbasi akut dan PPOK stabil, foto thorak, dan spirometri.

Untuk menilai apakah ada perbedaan kadar fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan PPOK stabil.

Hasil. Dari 45 subjek penelitian didapatkan pria 35 orang (77,8%) dan wanita 10 orang (22,2%), IMT underweight 6 orang, normoweight 27 orang, overweight 12 orang, hasil test spirometri berdasarkan kriteria GOLD sebagai berikut: GOLD 1 dengan 1 subjek (2,2%), GOLD 2 dengan 20 subjek (44,4%), GOLD 3 dengan 17 subjek (37,8%), GOLD 4 dengan 7 subjek (15,6%). Sedangkan hasil dari kadar plasma fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 426,49 ± 39,79 mg/dl dibandingkan pada PPOK stabil dengan rerata dan SD 283,22 ± 24,28 mg/dl signifikan meningkat dengan p=0,0001.


(25)

Kesimpulan. Kadar plasma fibrinogen akan semakin meningkat pada PPOK eksaserbasi akut dibandingkan dengan PPOK stabil. Kadar plasma fibrinogen

Kata Kunci : PPOK eksaserbasi akut, PPOK stabil, fibrinogen, IMT, spirometri.

dapat digunakan sebagai biomarker terhadap keparahan terjadinya PPOK eksaserbasi.


(26)

Abstract

Comparison of Fibrinogen Levels at Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Acute Exacerbation With COPD Stable

Novrin, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Division

Internal Medicine Department

Faculty of Medicine University of North Sumatera H. Adam Malik General Hospital Medan

Background. COPD acute exacerbation and COPD stable led to an increase of airways and systemic inflammation that triggers the release of several proinflammatory cytokines into the blood circulation. This inflammatory process stimulates the liver to produce acute phase proteins such as CRP and fibrinogen. Increased levels of fibrinogen in patients with COPD showed the risk for hospitalization did increase to 70% and any increase in fibrinogen levels 1 g/l increase the risk of death 4 times in patients with COPD.

Objective. To assess whether there are differences in the levels of fibrinogen in acute exacerbations of COPD and stable COPD.

Materials and Methods. This is a cross sectional descriptive analytic study. Subjects admitted into the emergency room with acute exacerbations of COPD who fits the inclusion criteria were inquired for ; smoking or exposure to air pollution, previous exacerbation history, other diseases, BMI examination, leucocyte level, serum fibrinogen level during acute COPD exacerbations and stable COPD, Chest X-Ray, and spirometry.

Result. From the 45 research subjects, 35 men (77.8%) and 10 women (22.2%), Based on BMI 6 subjects were underweight, 27 subjects normoweight, 12 subjects overweight, spirometry test results based on the GOLD criteria as follows: GOLD 1 1 subject (2.2%), GOLD 2 20 subjects (44.4%), GOLD 3 17 subjects (37.8%), GOLD 4 7 subjects (15.6%). Serum fibrinogen level in acute exacerbation of COPD mean and SD 426.49 ± 39.79 mg / dl compared with stable COPD with a mean and SD 283.22 ± 24.28 mg / dl significantly increased with p = 0.0001 .


(27)

Conclusion. Serum fibrinogen level will be elevated in acute exacerbations of COPD compared to stable COPD. Serum level of fibrinogen may be a useful biomarker to indicate the severity of COPD exacerbations.


(28)

BAB I

PEN DAH U LU AN

1 .1 . La t a r Be la k a ng

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Negara berpendapatan tinggi, menengah dan rendah. Menurut WHO tahun 2001, PPOK dinyatakan penyebab utama kematian ke lima di Negara berpendapatan tinggi dengan perkiraan 3,8 % dari total kematian. Sedangkan pada Negara berpendapatan menengah dan rendah penyebab kematian ke enam dengan perkiraan 4,9 % dari total kematian. Dalam laporan yang sama, PPOK juga diperkirakan menjadi penyebab morbiditas ke tujuh pertahun di Negara berpendapatan tinggi, dan ke sepuluh pertahun di Negara berpendapatan menengah dan rendah.1

PPOK merupakan penyakit dengan karakteristik adanya keterbatasan aliran udara persisten yang biasanya disebabkan oleh respon inflamasi kronis pada jalan napas dan paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Eksaserbasi akut dan komorbid yang sering menyertai PPOK berkontribusi terhadap beratnya penyakit.2 Sedangkan PPOK eksaserbasi akut adalah peristiwa akut yang ditandai dengan memburuknya gejala pernapasan pasien yang melebihi variasi normal sehari-hari dan menyebabkan perubahan dalam pengobatan.3 Didasarkan pada peningkatan episodik gejala pada pernapasan yang dilaporkan oleh pasien, berupa peningkatan dyspnea, batuk yang disertai mengi, dan produksi sputum. Beberapa studi menyatakan bahwa eksaserbasi akut terjadi akibat infeksi yang menyebabkan peningkatan peradangan pada saluran napas.

PPOK disebut juga penyakit multikomponen yang ditandai dengan obstruksi aliran udara yang di akibatkan reaksi inflamasi terhadap asap rokok, dan aerotoxin. Hal ini dapat juga dikarenakan kerusakan alveolar (emfisema) dan berhubungan dengan hipersekresi mukus.

4

3

Proses inflamasi pada saluran napas (bronkitis) terus menerus menyebabkan produksi dahak dan memberikan kontribusi obstruksi pada jalan napas.

PPOK eksaserbasi akut dan stabil selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, juga menyebabkan peningkatan pada inflamasi sistemik termasuk stres oksidatif sistemik,


(29)

aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi.6,7 Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein

seperti CRP dan fibrinogen.8

Fibrinogen merupakan protein penting dalam mekanisme pembekuan darah yang disintesa oleh hepatosit dan dilepas dalam jumlah besar ke sirkulasi dalam menanggapi stimulasi dari interleukin 6 (IL

-6). Dimana IL-6 mempunyai kemampuan memodulasi jumlah dan aktivitas sel inflamasi yang penting terhadap proses peradangan dan protease.

Pada PPOK stabil kadar fibrinogen plasma direproduksi dalam derajat rendah, namun pada PPOK eksaserbasi akut terjadi peningkatan derajat tinggi kadar fibrinogen plasma dan menurun secara signifikan selama 4 - 6 minggu setelah stabil.

9

3,4

Peningkatan kadar fibrinogen pada pasien PPOK menunjukkan risiko untuk dilakukannya perawatan di rumah sakit meningkat menjadi 70% dan setiap peningkatan kadar fibrinogen 1 g/l meningkatkan risiko kematian pada pasien PPOK menjadi 4 kali lipatnya.

Beberapa penelitian menyatakan peningkatan kadar fibrinogen plasma berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru dan meningkatkan resiko terjadinya PPOK.

10

9

Fattouh Mona, dkk, 2014, menyatakan kadar serum fibrinogen menunjukkan peningkatan yang signifikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan PPOK stabil.11 Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Zhang Yonghong, dkk, 2014, menyatakan kadar serum fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut signifikan meningkat dibandingkan PPOK stabil. Polatli Mehmed, dkk, 2007, menyatakan kadar serum fibrinogen secara signifikan meningkat pada kelompok PPOK eksaserbasi akut dibandingkan PPOK stabil dan kelompok kontrol. Begitu juga pada kelompok PPOK stabil dibandingkan kelompok kontrol terjadi peningkatan yang signifikan kadar fibrinogen plasma.

12

13

Sedangkan Thomsen Mette, dkk, 2013, menyatakan terjadi peningkatan secara bersamaan kadar plasma CRP, fibrinogen dan jumlah leukosit pada pasien PPOK yang dihubungkan dengan meningkatnya risiko mendapat eksaserbasi, baik pada pasien PPOK yang lebih ringan dan pada mereka yang tidak pernah mengalami eksaserbasi sebelumnya.14


(30)

Hal ini berbeda terhadap penelitian oleh Valipour Arschang, dkk, 2008, menyatakan kadar serum fibrinogen pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan pasien PPOK stabil tidak berbeda secara signifikan, tetapi terdapat perbedaan yang signifikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut dan PPOK stabil dibandingkan kontrol.15 Pada penelitian oleh Fekri S. Mitra, dkk, 2010, menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan kadar serum fibrinogen pada pasien PPOK dibandingkan dengan pasien kontrol.

Duvoix, dkk, menyatakan bahwa fibrinogen plasma dapat digunakan sebagai biomarker dalam mengelompokkan pasien PPOK eksaserbasi risiko tinggi atau rendah dan ke depan dapat mengidentifikasi risiko kematian yang lebih tinggi.

16

3

Sedangkan Dahl, dkk, menyatakan peningkatan fibrinogen plasma dikaitkan dengan penurunan FEV1 dan

peningkatan resiko PPOK. Hal ini bukan semata-mata karena merokok.9 Begitu juga Valvi, dkk, menyatakan peningkatan kadar fibrinogen merupakan prediktor terhadap mortalitas, PPOK dengan rawat inap.

Sampai saat ini belum ada biomarker khusus yang digunakan pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan kadar plasma fibrinogen pada pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan pada pasien PPOK stabil.

17

1 .2 . Pe rum usa n M a sa la h

Apakah ada perbedaan kadar fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan PPOK stabil.

1 .3 . H ipot e sa

Terdapat perbedaan kadar fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan PPOK stabil.

1 . 4 . T ujua n Pe ne lit ia n 1 .4 .1 . T ujua n U m um


(31)

Untuk menilai apakah ada perbedaan kadar fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan PPOK stabil.

1 .4 .2 . T ujua n K husus

Untuk mengetahui apakah kadar fibrinogen dapat digunakan sebagai biomarker pada penderita PPOK, dapat memprediksi eksaserbasi pada masa yang akan datang dan mengidentifikasi seseorang memiliki risiko tinggi kematian.

1 .5 . M a nfa a t Pe ne lit ia n 1. Dengan

2. Untuk bahan penelitian lebih lanjut apakah ada tempatnya pemberian anti koagulan pada penderita PPOK eksaserbasi.

mengetahui adanya perbedaan kadar fibrinogen pada PPOK eksaserbasi akut dengan PPOK stabil sehingga dapat memberikan keputusan yang tepat untuk pilihan pengobatan.

1 .6 . K ERAN GK A K ON SEPSI ON AL


(32)

BAB I I

T I N J AU AN PU ST AK A

2 .1 . PPOK

2.1.1. Definisi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang umumnya dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis ditingkat saluran napas dan paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi terhadap tingkat keparahan seluruh individu pasien.

Keterbatasan aliran udara yang kronis pada penyakit paru obstruktif kronis disebabkan oleh kombinasi antara penyakit jalan nafas kecil dan destruksi parenkim. Inflamasi kronis menimbulkan perubahan struktural dan penyempitan saluran nafas kecil. Destruksi dari parenkim paru yang juga disebabkan oleh proses peradangan menyebabkan hilangnya perlekatan alveolus terhadap jalan nafas kecil dan menurunkan elastisitas paru, sehinga perubahan tersebut mengurangi kemampuan jalan napas untuk tetap terbuka saat ekspirasi.

18

PPOK merupakan penyakit yang progresivitasnya lambat, meskipun tingkat progresivitasnya bervariasi. Ini merupakan suatu konsep yang penting atas dampak perkembangan PPOK kedepan berdasarkan aktifitas penyakit, tingkat keparahan dan dampak pada pasien. Aktivitas dari penyakit mempengaruhi proses dari keparahan penyakit kedepan yang tergantung dari saat terjadinya serangan penyakit seperti proses yang sangat aktif akan menghasilkan penyakit yang lebih parah pada usia lebih muda. Demikian pula, tingkat keparahan penyakit akan memiliki dampak yang berbeda-beda pada pasien, hal ini tergantung pada tingkat perkembangan dari PPOK. Perubahan kecil yang berkembang cepat lebih cenderung memiliki dampak yang lebih besar pada pasien dengan usia lebih muda dibandingkan perubahan yang sama yang berkembang secara berlahan-lahan terjadi pada pasien usia lebih tua.

18


(33)

Hal ini, semakin diperkuat dengan adanya perubahan besar pada spirometri, yang memiliki beberapa fenotipe yang berbeda-beda, baik secara klinis dan patologis, terjadinya komorbiditas yang mungkin memiliki beberapa kesamaan secara fisiologis, namun berbeda dalam mekanisme patologis.

2.1.2. EPIDEMIOLOGI PPOK

19

Di masa lalu, definisi dan variabel yang tepat terhadap PPOK mengalami kesulitan dalam mengukur prevalensi, morbiditas, dan mortalitas. Selain itu, ketidak tahuan dan kesalahan diagnosa PPOK menyebabkan tidak signifikan dilaporkan. Hal tersebut tersebar luas diseluruh negara dan tergantung pada tingkat kesadaran dan pemahaman tentang PPOK diantara profesional kesehatan, organisasi pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat untuk pengobatan PPOK.

Akhir-akhir ini PPOK semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskuler. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $ 24 milyar per tahunnya.

20

Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi di seluruh negara. Seringkali, prevalensi PPOK secara langsung berkaitan dengan prevalensi merokok, meskipun di banyak negara, baik itu pekerja yang merokok di luar maupun didalam ruangan menyebabkan polusi udara. Ada juga polusi yang diakibatkan oleh pembakaran kayu dan bahan bakar lainnya merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Prevalensi penduduk di dunia terhadap PPOK diproyeksikan meningkat dalam dekade mendatang akibat paparan terus menerus terhadap faktor risiko.

21

Begitu kompleksnya, dari data yang ada dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai prevalensi PPOK, paling tidak dapat meningkatkan kualitas data. Suatu tinjauan secara sistematis dan studi meta analisis yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004 serta studi tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK cukup tinggi pada perokok dan bekas perokok dibandingkan tidak perokok terhadap usia ≥ 40 tahun daripada usia ≤ 40 tahun, dan Pria dibandingkan Wanita.

20

11


(34)

kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam.

The Latin American Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) meneliti prevalansi keterbatasan aliran udara paska bronkodilator diantara orang-orang usia ≥ 40 tahun pada 5 kota terbesar di Amerika Latin; Brazil, Chili. Meksiko, Uruguay dan Venezuela. Di setiap negara, prevalensi PPOK meningkat tajam dengan bertambahnya usia, dimana prevalensi tertinggi usia ≥ 60 tahun, mulai dari yang terendah 7,8% di kota Mexiko, dan tertingi 19,7% di Montevideo Uruguay. Pada semua negara prevalensi dari PPOK Pria dan Wanita, sama dengan temuan dari kota-kota Eropa seperti di Salzburg.

21

18

Morbiditas pasien PPOK diperoleh dari kunjungan ke dokter, pelayanan gawat darurat, dan pasien rawat inap di rumah sakit. Morbiditas akibat PPOK meningkat dengan bertambahnya usia dan dipengaruhi oleh kondisi komorbiditas penyakit kronis lain (misalnya, penyakit jantung, gangguan muskuloskeletal, diabetes mellitus) yang sering pada pasien dengan PPOK dan dapat berdampak pada status kesehatan pasien, serta mengganggu manajemen dari PPOK.

PPOK sering terdaftar sebagai kontribusi penyebab kematian oleh karena itu The Global Burden of Disease Study memproyeksikan bahwa PPOK menjadi peringkat keenam sebagai penyebab kematian pada tahun 1990, dan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020, selanjutnya PPOK diperkirakan akan menjadi penyebab utama kematian keempat pada tahun 2030. Namun demikian PPOK adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian di sebagian besar negara. Peningkatan mortalitas ini terutama didorong oleh perluasan epidemi merokok, berkurangnya penyebab umum dari kematian yang lain, dan meningkatnya proses penuaan pada populasi dunia.

20

2.1.3. Patologi, Patogenesis Dan Patofisiologi

18

2.1.3. A. Patologi

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar menyebabkan radang paru-paru, sebagai respon normal yang terjadi pada pasien yang


(35)

mengalami PPOK. Respon inflamasi kronis ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan parenkim dan mengganggu perbaikan dan mekanisme pertahanan normal yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan terperangkapnya udara dan keterbatasan aliran udara yang progresif. Suatu gambaran singkat berikut perubahan patologis pada PPOK, mekanisme seluler dan molekuler serta bagaimana kelainan ini mendasari dan gejala karakteristik penyakit secara fisiologis.

Perubahan inflamasi kronis dengan peningkatan jumlah dari jenis sel inflamasi serta perubahan struktural yang dihasilkan dari cedera berulang dan perbaikan, ditemukan di saluran napas, parenkim paru dan pembuluh darah paru pada pasien PPOK. Secara umum, perubahan ini meningkat dengan keparahan penyakit dan menetap meskipun telah berhenti merokok.

22

18

(Gambar 2.1.3.1)

2.1.3. B. Patogenesis

Patogenesis dari Peradangan pada saluran pernapasan pasien PPOK menunjukkan perubahan dari respon inflamasi pada saluran pernafasan terhadap iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme peradangan ini terjadi pada PPOK namun belum dipahami secara genetik. Peradangan pada paru-paru dapat berlanjut walaupun sudah berhenti merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun auto antigen dan mikro organisme persisten yang mungkin memainkan peranan. Stres Oksidative dan kelebihan proteinase di Gambar 2.1.3.1. Mekanisme Yang Mendasari Keterbatasan


(36)

paru-paru menyebabkan perubahan lebih lanjut pada peradangan paru. Bersamaan dengan mekanisme ini menyebabkan perubahan patologis karakteristik pada PPOK.

Stres oksidatif mungkin merupakan mekanisme penting dalam memperkuat terjadinya PPOK. Biomarker stres oksidatif meningkat dalam pernapasan, dahak dan sirkulasi sistemik pada PPOK. Stres oksidatif semangkin meningkat pada PPOK eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikel inhalasi lainnya dilepaskan dari aktivitas sel-sel inflamasi seperti makrofag dan neutrofil.

23

18,24

Bukti ini semakin diperkuat dengan ketidakseimbangan protease dan antiprotease di paru-paru pada pasien PPOK, dimana protease bekerja menghancurkan komponen jaringan ikat dan antiprotease melindungi paru terhadap kerja dari protease. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel epitel meningkat pada pasien PPOK dan mereka dapat berinteraksi satu sama lain. Protease memediasi penghancuran elastin, suatu komponen utama jaringan ikat di parenkim paru yang diyakini menjadi gambaran penting dari emfisema dan mungkin bersifat Irreversibel.

18,22

(Gambar 2.1.3.2)

Gambar 2.1.3.2. Proses Patologi yang terlibat dalam Empisema. Keterangan:

19

1. Asap rokok mengaktifkan makrofag. A. Deteksi Marker yang mempenga 2. Sel epitel ruhi saluran napas.

3. Neutrofil pada saluran nafas B. LTB4, leukotriene B4; 4. Terlepasnya sitokin pro inflamasi IL8, Interlaukin 8


(37)

dan Neutropil kemo atraktan. C. Reflek dari peristiwa (migrasi

5. Produksi Mukus yang berlebihan. Neutropil dan aktivitas makropag) 6. Terjadinya adhesi dan migrasi.

2.1.3. C. Patofisiologi

Keterbatasan aliran udara dan terperangkapnya udara akibat peradangan dan penyempitan saluran napas di perifer menyebabkan penurunan FEV1. Rusaknya parenkim karena emfisema juga berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara disebabkan berkurangnya elastisitas. Kombinasi dari keduanya semakin memperberat keterperangkapan udara selama ekspirasi, mengakibatkan hiperinflasi.25 Hiperinflasi didefinisikan sebagai peningkatan volume udara yang tersisa di paru-paru pada akhir ekspirasi spontan, terjadi ketika beristirahat FRC (fungsional residual capacity) atau end expiratory lung volume (EELV) meningkat di atas normal.

Ketidak normalan pertukaran udara dapat mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnia dan beberapa mekanisme yang dapat terjadi pada PPOK. Yang utama adalah ventilasi

26

-perfusi (VA/Q). Penurunan pergerakan ventilasi dapat menyebabkan retensi karbon dioksida, terutama bila dikombinasikan dengan berkurangnya pergerakan perfusi.

Hipersekresi mukus, menghasilkan batuk produktif yang kronis, adalah gambaran dari bronkitis kronis dan tidak selalu berhubungan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus. Bila ada, itu adalah karena peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronik jalan napas.

27

Hipertensi pulmonal akibat dari perkembangan perjalanan dari PPOK. Hal ini dapat disebabkan oleh vasokonstriksi arteri pulmonalis kecil yang mengalami hipoksia, akhirnya mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intima dan hipertrofi otot polos dan hilangnya ruang kapiler paru karena emfisema. Pada pembuluh darah paru, respon inflamasi mirip dengan yang terlihat di saluran napas. Hipertensi pulmonal berat dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan.

28


(38)

Gejala eksaserbasi pernafasan sering terjadi pada pasien dengan PPOK, ini dipicu oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor yang tidak diketahui. Selama eksaserbasi, sering terjadi kekambuhan peradangan, peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, berkurangnya aliran ekspirasi, dan meningkatnya gejala sesak. Disini juga terjadi penurunan dari VA/Q yang tidak normal, yang dapat mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia. Kondisi medis lainnya seperti pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut dapat memperburuk eksaserbasi PPOK.29

2.1.4. Diagnosa Dan Penilaian

2.1.4. A. Diagnosa

Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki dyspnea, batuk kronis dan produksi sputum serta riwayat paparan terhadap faktor risiko untuk penyakit ini. Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosa klinis dalam konteks tersebut.

Kriteria spirometri untuk keterbatasan aliran udara ditetapkan setelah pasca-bronkodilator dengan perbandingan rasio FEV1/FVC kurang dari 0.70. Kriteria ini sederhana, independen dari nilai referensi dan telah digunakan dalam berbagai bentuk uji klinis sebagai bukti dasar dari beberapa rekomendasi pengobatan yang digunakan. Meskipun pasca

18

-bronkodilator spirometri diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan PPOK, derajat reversibilitas dari keterbatasan aliran napas (misalnya, mengukur FEV1 sebelum dan sesudah bronkodilator atau kortikosteroid ) tidak lagi dianjurkan.

Gejala karakteristik dari PPOK bersifat kronis dan sesak nafas yang progresif, batuk, dan produksi dahak. Batuk kronis dan produksi dahak dapat berkembang menjadi keterbatasan aliran napas yang dialami bertahun-tahun. Pada individu, khususnya mereka yang terpapar faktor risiko PPOK dengan gejala harus diperiksa untuk mencari dasar penyebab dan mengambil tindakan yang tepat.

30

Suatu riwayat kesehatan secara rinci terhadap pasien baru harus diketahui dan diduga memilik PPOK,harus ditanya :

31

• Terpapar dengan faktor risiko • Riwayat kesehatan terdahulu


(39)

• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit pernapasan kronis yang lain

• Riwayat eksaserbasi PPOK atau rawat inap sebelumnya terhadap gangguan pernafasan

• Adanya komorbiditas

• Dampak penyakit pada kehidupan pasien

• Keadaan sosial dan tersedianya dukungan keluarga terhadap pasien

• Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko, terutama berhenti merokok

Meskipun pemeriksaan fisik bagian penting dari perawatan pasien, namun jarang dilakukan untuk diagnosa pasti pada PPOK. Tanda-tanda fisik terhadap keterbatasan aliran napas pada awalnya tidak signifikan sampai adanya penurunan dari fungsi paru sehinga deteksi ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah.32

2.1.4. B. Penilaian Terhadap Penyakit.

Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan : 1. Dampak penyakit terhadap status kesehatan pasien.

2. Keparahan dari keterbatasan aliran napas.

3. Risiko terjadinya peristiwa kedepan seperti terjadinya exaserbasi, rawat inap dirumah sakit dan kematian.

yang pada akhirnya dapat menentukan pilihan terapi yang tepat.

Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien PPOK yang digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih ringan dan pasien dengan gejala yang lebih berat. GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) telah merekomendasikan penggunaan modifikasi British Medical Research Council (mMRC) suatu kuesioner pada sesak napas atau COPD Assessment Test (CAT), yang keduanya memiliki cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-hari dan kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya Clinical Quesioner PPOK.18 ( Tabel 2.1.4.1 dan 2.1.4.2) .


(40)

2.

Spirometri secara kusus digunaka untuk menentukan cut of poin. Spirometri harus dilakukan setelah pemberian yang memadai dosis bronkodilator inhalasi kerja singkat untuk mengurangi eksaserbasi. Semakin memberatnya keterbatasan aliran udara dikaitkan dengan

Tabel 2.1.4.1. Modifikasi British Medical Research Council (mMRC)18

Tabel 2.1.4.2. COPD Assessment Test ( CAT )18


(41)

peningkatan prevalensi eksaserbasi dan risiko kematian. Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK.

20

FEV1 merupakan suatu penilaian yang sangat penting terhadap derajat keparahan

PPOK, dimana kegunaannya diperlihatkan oleh berbagai penelitian. Suatustudi penting dari Fletcher dan Peto yang dilakukan sejak 30 tahun yang lalu dengan mengukur FEV1 setiap 6

bulan selama 8 tahun yang terdiri dari 792 laki-laki pekerja, didapati penurunan FEV1 yang

progresif dari waktu ke waktu pada pasien PPOK seiring dengan bertambahnya usia.

Pada penelitian oleh Luigi G. Francios et all. menemukan nilai FEV

33

1 secara statistik

berhubungan dengan derajat keparahan pada PPOK.34 Donaldson et al. melaporkan bahwa pasien dengan PPOK berat (GOLD derajat III) memiliki frekuensi terjadinya eksaserbasi 3,43 % per tahun dibandingkan PPOK sedang (GOLD derajat II) dengan kejadian 2,68 % per tahun dimana p = 0.029. PAGGIARO et al. melaporkan, pada pasien dengan FEV1 > 60% prediksi, dengan rerata dan SD 1,6 ± 1,5% mengalami eksaserbasi per tahun, dibandingkan FEV1 59% - 40% prediksi dengan rerata dan SD 1,9 ± 1,8 % yang mengalami eksaserbasi dan FEV1 <40% prediksi dengan rerata dan SD 2,3 ± 1,9% yang mengalami eksaserbasi pada pasien PPOK.

2.1.5. PPOK Eksaserbasi Akut

35

PPOK eksaserbasi akut adalah peristiwa akut yang ditandai dengan memburuknya gejala pernapasan pasien yang melebihi variasi normal sehari-hari dan menyebabkan perubahan dalam pengobatan.18 Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak nafas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum. Terkadang dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, fatigue dan gangguan susah tidur.22


(42)

Menurut Roisin gejala klinis PPOK eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala respirasi berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, napas yang dangkal dan cepat. Sedangkan gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien.

PPOK eksaserbasi akut merupakan peristiwa penting dalam perjalanan penyakit oleh karena :

22

-Dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien yang semakin buruk.

-Memiliki efek pada gejala dan fungsi paru-paru yang memakan waktu beberapa minggu untuk pulih kembali dengan pengobatan.

-Mempercepat terjadinya penurunan fungsi paru-paru.

-Berhubungan dengan kematian, terutama pada pasien yang membutuhkan rawat inap. -Membutuhkan biaya sosial ekonomi yang tinggi.

Prevalensi terjadinya mortalitas di rumah sakit pada pasien eksaserbasi akut dengan komplikasi hiperkapnia dan asidosis diperkirakan10%. Kematian dalam 1 tahun mencapai 40% setelah mendapatkan bantuan alat pernafasan.

18

Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran pernafasan trakheobronkial (virus dan bakteri) dan polusi udara, namun sekitar sepertiga kasus eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. Peranan infeksi bakteri pada PPOK eksaserbasi masih kontroversi, tetapi penelitian terbaru menyatakan setidaknya 50 % penderita mempunyai populasi bakteri yang tinggi pada saluran nafas bagian bawah.

18

Tingkat di mana terjadinya eksaserbasi sangat bervariasi antara pasien. Prediktor terbaik menilai riwayat peristiwa seringnya eksaserbasi sebelum diobati. Keparahan eksaserbasi biasanya diklasifikasikan sebagai ringan saat gejala eksaserbasi pernafasan membutuhkan pengobatan inhalasi terhadap pasien, moderat ketika gejala eksaserbasi pernafasan membutuhkan intervensi medis termasuk pemberian antibiotik dan oral steroid, dan berat saat gejala eksaserbasi pernafasan memerlukan rawat inap.

2

mMRC atau CAT skala direkomendasikan untuk menilai gejala, dengan tingkat mMRC ≥ 2 atau CAT skor ≥ 10 menunjukkan tingkat gejala berat. Cut off ini harus


(43)

digunakan sebagai indikator. Tujuan utamanya adalah untuk memisahkan pasien dengan beban gejala yang berat dari gejala ringan. Ada dua metode untuk menilai resiko eksaserbasi. Salah satunya adalah metode berbasis populasi menggunakan GOLD Klasifikasi spirometri dengan kategori GOLD 3 atau GOLD 4 menunjukkan risiko berat. Yang lain didasarkan pada riwayat individu pasien yang mengalami eksaserbasi dua atau lebih pertahun sebelumnya yang menunjukkan risiko berat. Keterangan tentang mMRC, CAT skala dan klasifikasi spirometri berdasarkan kriteria GOLD sudah dijelaskan sebelumnya. Pada gambar dibawah ini diterangkan bagaimana penilaian kombinasi pengobatan terhadap PPOK.

Gambar 2.1.5.1. Gabungan penilaian dari PPOK.

18,20

18

Keterangan Gambar 2.1.5.1.

Pertama menilai gejala dan menentukan apakah pasien milik kotak sisi kiri dengan gejala sedikit (seperti yang ditunjukkan oleh tingkat mMRC 0-1 atau CAT < 10) atau kotak sisi kanan dengan gejala banyak ( seperti yang ditunjukkan oleh tingkat mMRC > 2 atau CAT > 10 ). Selanjutnya, menilai risiko eksaserbasi untuk menentukan apakah pasien milik kotak bagian bawah beresiko rendah atau kotak bagian atas beresiko tinggi.

Hal ini dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode: (1) Menggunakan spirometri untuk menentukan tingkatan GOLD keterbatasan aliran udara


(44)

(GOLD 1 dan 2 mengindikasikan risiko rendah, sedangkan GOLD 3 dan 4 menunjukkan

risiko tinggi ); atau (2) Menilai jumlah eksaserbasi pasien yang dimiliki sebelumnya dalam 12 bulan ( nol atau

satu menunjukkan risiko rendah, sedangkan dua atau lebih eksaserbasi menunjukkan risiko tinggi ).18,20

Saat ini, diagnosis eksaserbasi dilakukan secara eksklusif berdasarkan presentasi klinis pasien yang mengeluh terjadinya perubahan gejala akut (dyspnea, batuk, dan produksi sputum) yang berada di luar keadaan normal yang bervariasi dari hari ke hari. Penilaian dari suatu eksaserbasi didasarkan pada riwayat penyakit terdahulu dan keluhan klinis yang memperberat pasien. Kedepannya, dibutuhkan biomarker yang memungkinkan untuk diagnosis dan etiologi yang lebih tepat.2,18

Tabel 2.1.5.1. Penilaian PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Riwayat ( Tabel 2.1.5.1. dan 2.1.5.2)

Kesehatan.18

Tabel 2.1.5.2. Penilaian PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Tanda- Tanda Keparahan.18

2.1.6. PPOK Stabil

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK Stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi akut terhadap pasien PPOK. Dikatakan PPOK stabil bila memenuhi kriteria sebagai berikut:


(45)

 Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik.  Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2

 Dahak jernih tidak berwarna.

> 60 mmHg.

 Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri).

 Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.  Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan terapi untuk PPOK Stabil adalah :

38

1. Mengurangi gejala ■ Meredakan gejala

■ Meningkatkan toleransi terhadap latihan ■ Meningkatkan status kesehatan

2. Mengurangi Resiko.

● Mencegah progresivitas penyakit ● Mencegah eksaserbasi

● Mengurangi Mortalitas

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.

19

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya.

Tujuan penatalaksanaan di rumah :

38

a. Menjaga PPOK tetap stabil

b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik


(46)

Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Adapun penatalaksanaan PPOK stabil dibagi atas :

1. Penatalaksanaan PPOK stabil ringan. ( Gambar 2.1.6.1 ) 2. Penatalaksanaan PPOK stabil sedang dan berat.38

( Gambar 2.1.6.2 )


(47)

Gambar 2.1.6.1. Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang dan Berat.

38

2 .2 . SPI ROM ET RI

Spirometri adalah suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan secara obyektif untuk mengukur hambatan aliran udara yang ada. Spirometri pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah kerja pernafasan seseorang mampu mengatasi kedua resistensi yang mempengaruhi kerja pernafasan kita yaitu resistensi elastik dan non elastik sehingga dapat menghasilkan fungsi ventilasi yang optimal.

Resistensi elastik dihasilkan oleh sifat elastis paru (tegangan permukaan cairan yang membatasi alveolus dan serabut elastik yang terdapat diseluruh paru) dan rongga toraks (kemampuan meregang otot, tendon, dan jaringan ikat). Resistensi non elastik dihasilkan oleh


(48)

tahanan gesekan terhadap aliran udara dalam saluran nafas, dalam jumlah kecil yang juga disebabkan karena viskositas jaringan paru.

Parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernafasan dalam mengatasi kedua resistensi tersebut adalah volume paru, baik volume statis maupun dinamis. Volume statis menggambarkan kemampuan kerja pernafasan dalam mengatasi resistensi elastik, sedangkan volume dinamik mengukur cepatan aliran udara dalam saluran pernafasan dibandingkan dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernafasan mengatasi resistensi non elastik.

2

Adapun volume dinamis tersebut antara lain:

18

■ Kapasitas Vital Paksa / Forse Vital Capacity (FVC)

Pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin.

■ Kapasitas Vital Lambat / Slow Vital Capacity ( SVC )

Volume gas yang diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan secara berlahan setelah atau sebelum inspirasi maksimal.

■ Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/Force expiration Volume (FEV1) Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara yang dapat di ekspirasi dalam waktu standar selama pengukuran kapasitas vital paksa).

■ Maximal Voluntary Ventilation ( MVV )

Jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 2 menit dengan bernafas cepat dan dalam secara maksimal.

Puncak aliran ekspirasi diukur sendiri tetapi tidak dapat diandalkan untuk digunakan sebagai satu-satunya test diagnostik, meskipun sensitivitasnya baik, namun spesifisitas yang lemah. Kualitas pengukuran spirometri digunakan dalam penilaian perawatan dalam kesehatan dan semua pelayanan kesehatan yang merawat pasien dengan PPOK harus memiliki kemampuan spirometri.

18

2 .3 . Fibrinoge n

39


(49)

Fibrinogen adalah larutan glikoprotein yang ditemukan dalam plasma, dengan berat molekul 340 kDa, terdiri dari tiga pasang rantai polipeptida non identik (rantai alpha, beta dan gamma), dimana satu sama lain dihubungkan dengan ikatan disulfida. Fibrinogen memiliki waktu paruh sekitar 100 jam dan disintesa terutama di dalam hati. Sebagai faktor pembekuan, fibrinogen merupakan komponen penting pada sistem pembekuan darah, dan menjadi prekursor fibrin. Namun, biasanya konsentrasi kadar fibrinogen plasma 1,5 - 3,5 g/l, jauh melebihi konsentrasi minimum 0.5-1g/l yang diperlukan untuk hemostasis.

Pada studi epidemiologi menunjukkan kadar plasma fibrinogen yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan kardiovaskular, termasuk penyakit jantung iskemik (IHD), stroke, penurunan fungsi paru dan thromboembolism. Dimana peningkatan kadar plasma fibrinogen dapat mengaktifkan prothrombotik atau kondisi hiperkoagulasi dan mengakibatkan risiko stroke dan tromboemboli terutama dalam keadaan seperti fibrilasi atrium (AF).

40

40

Hubungan antara hiperfibrinogenemia, aterosklerosis dan trombosis merupakan satu kesatuan yang kompleks. Sebagai proses trombogenesis sangat erat hubungan dengan pembentukan ateroma (atherogenesis). Faktor-faktor thrombogenesis seperti fibrinogen mungkin memainkan kunci penting dalam proses pembentukan lesi aterosklerosis, dengan efek pada penyakit kardiovaskular.

Plasma fibrinogen juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor yang meningkatkan plasma fibrinogen adalah usia, indeks massa tubuh, merokok, diabetes, pasca menopause, low density lipoprotein (LDL) kolesterol dan jumlah leukosit. Sebaliknya berkurang dengan asupan alkohol, aktivitas fisik, meningkatan high-density lipoprotein (HDL) kolesterol, dan terapi pengganti hormon.

2.3.2. Patofisiologi

41

Fibrinogen memainkan peran penting dalam sejumlah proses fisiopatologis dalam tubuh, termasuk peradangan, aterosklerosis dan trombogenesis. Namun demikian, pemahaman kita tentang mekanisme kerja dari atherothrombogenesis fibrinogen berbeda-beda. Mekanisme yang ada meliputi infiltrasi fibrinogen ke dinding pembuluh darah, efek haemorrheologikal karena peningkatan viskositas darah, meningkatkan pembentukan


(50)

agregasi platelet dan trombus. Disamping itu, fibrinogen plasma merupakan acute phase protein yang disintesa oleh hepatosit dan dilepas dalam jumlah besar ke sirkulasi darah dalam menanggapi stimulasi dari interleukin 6 (IL-6). IL-6 mempunyai kemampuan memodulasi jumlah dan aktivitas sel inflamasi yang penting terhadap proses peradangan dan protease. Dengan demikian, peningkatan konsentrasi fibrinogen, merupakan proses sekunder terhadap inflamasi atau infeksi yang meningkatkan reaktivitas trombosit.

2.3.3. Fibrinogen dan Peradangan

9,40

Proses peradangan terutama dimediasi oleh interaksi dengan leukosit melalui reseptor permukaan yang disebut integrin. Ada 2 reseptor utama tempat kerja fibrinogen pada permukaan leukosit yaitu:

MAC-1 (CD11b / CD18, alpha M beta 2) dan alpha X beta 2 (CD11c / CD18, p150, 95). Leukosit ( baik monosit dan mielosit ) khususnya dapat menginduksi MAC-1 reseptor untuk mengikat fibrinogen. Kemampuan MAC-1 reseptor untuk mengikat fibrinogen menghasilkan perubahan kematangan pada reseptor selama proses diferensiasi sel. Tempat fibrinogen berinteraksi dengan MAC-1 tidak dipengaruhi oleh integrin lainnya.

Fibrinogen berikatan dengan Intercelluler Adhetion Molekul

40

-1 (ICAM-1), dan meningkatkan interaksi monosit di endotel sel yang dijembatani oleh MAC 1 monosit di ICAM 1 pada sel endotel. Dengan demikian, ICAM-1 sebagai permukaan sel yang berikatan pada alpha L beta 2 dan alpha M beta 2 (MAC-1) integrin, dan memiliki peran penting dalam adhesi leukosit pada endotel vaskular. Selain itu, fibrinogen meregulasi dan meningkatkan konsentrasi dari ICAM-1 protein pada permukaan sel endotel, sehingga meningkatkan adhesi leukosit pada permukaan sel endotel. Fibrinogen juga mengikat ICAM-1 pada sel endotel yang memediasi adhesi trombosit. Interaksi fibrinogen dan sel mengekspresikan ICAM-1 yang berhubungan dengan proliferasi selluler.

Fibrinogen mengikat reseptor integrin pada permukaan leukosit yang memfasilitasi suatu respon chemotaktik, sehingga memainkan peran penting dalam proses inflamasi. Salah satu mekanisme dari fibrinogen menginduksi perubahan proinflamasi leukosit mencakup meningkatnya pelepasan kalsium intraseluler dan meningkatnya ekspresi penanda aktivasi


(51)

neutrofil. Proses ini menghasilkan peningkatan fagositosis, antibodi yang dimediasi oleh toksisitas leukosit dan menunda apoptosis.

Fibrinogen juga terlibat dalam fasilitasi interaksi diantara sel dan matriks ekstraseluler seperti kolagen. Dengan demikian, seperti dijelaskan di atas, fibrinogen adalah mediator penting pada interaksi sel

40

-sel, adhesi dan peradangan.40

2.3.4. Fibrinogen Pada PPOK

2.3.4. A. Fibrinogen Pada PPOK Stabil

Kadar fibrinogen plasma direproduksi pada pasien PPOK stabil, tetapi peningkatan kadar fibrinogen plasma ini derajat rendah dibandingkan PPOK eksaserbasi akut, terjadi peningkatan derajat tinggi. Selain itu, inflamasi juga memproduksi peningkatan jumlah leukosit darah, acute phase protein lainnya, dan sitokin.3,4 Hal ini diperkuat oleh Gan WQ, dkk, menyatakan pasien PPOK stabil memiliki peningkatan jumlah leukosit, CRP dan fibrinogen serta sitokin lainnya seperti IL-6, TNF-α.42

Inflamasi di saluran pernapasan pada pasien PPOK tampak sebagai respon modifikasi inflamasi di saluran pernapasan akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme terjadinya inflamasi ini tidak dapat dijelaskan, tetapi mungkin ditentukan secara genetik. Pasien yang tidak merokok juga dapat menderita PPOK, tetapi respon inflamasi pada pasien ini tidak diketahui. Stres oksidatif dan peningkatan proteinase di paru-paru selanjutnya memodifikasi radang paru-paru. Bersamaan dengan mekanisme ini terjadi perubahan patologis dari karakteristik pasien PPOK. Inflamasi di paru-paru tetap ada setelah pasien berhenti merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun autoantigens dan mikroorganisme persisten mungkin memainkan peranan.

Stres oksidatif mungkin menjadi mekanisme penting untuk memperkuat terjadinya PPOK. Biomarker stres oxidative (seperti hidrogen peroksida, 8 - isoprostan) meningkat konsentrasinya didalam pernapasan, dahak, dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres oksidatif lebih meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikel inhalasi lainnya, dilepaskan sehingga mengaktifkan sel-sel inflamasi seperti makrofag dan neutrofil. Hal ini dapat menurunkan antioksidan endogen pada pasien PPOK


(52)

akibat pengurangan faktor transkripsi yang disebut Nrf 2 yang mengatur banyak gen antioksidan.

Bukti ini diperkuat dengan terjadinya ketidakseimbangan protease dan antiproteasi pada paru-paru pasien PPOK. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel epitel, meningkat pada pasien PPOK. Beberapa bukti menyatakan bahwa protease ini dapat berinteraksi satu sama lain. Protease memediasi penghancuran dari elastin, suatu komponen utama dari jaringan ikat di parenkim paru, yang diyakini menjadi gambaran penting untuk emfisema dan mungkin bersifat irreversibel. Berbagai macam mediator inflamasi memperlihatkan peningkatan pada pasien PPOK, sel inflamasi bergerak ke sirkulasi darah (faktor kemotaktik), menyebabkan pelepasan sitokin pro inflamasi dan menyebabkan terjadinya perubahan struktural.

18

18

Inflamasi sistemik pada pasien PPOK juga mempengaruhi adaptasi sistim imun, dimana beberapa penelitian menyatakan telah terjadi peningkatan kadar immunoglobulin plasma pada pasien PPOK dibandingkan kontrol.

2.3.4.B. Fibrinogen Pada PPOK Eksaserbasi Akut

6,7

Kadar fibrinogen plasma meningkat pada saat eksaserbasi dan menurun secara signifikan selama 4 - 6 minggu setelah stabil. Peningkatan kadar fibrinogen plasma pada PPOK eksaserbasi akut merupakan penguatan lebih lanjut proses inflamasi dalam paru-paru. Terjadinya eksaserbasi dipicu oleh satu atau lebih infeksi bakteri, infeksi virus, atau polusi lingkungan, meskipun sepertiga terjadinya eksaserbasi tidak diketahui penyebabnya. Emboli paru juga dapat menyebabkan eksaserbasi, dimana sekitar 25% dari pasien rawat inap dengan PPOK eksaserbasi akut mungkin memiliki emboli paru. Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami eksaserbasi.

Selama eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara disaluran pernapasan, disertai menurunnya aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan

dyspnea. Ini juga mengakibatkan memburuknya VA/Q yang abnormal, sehingga

mengakibatkan hipoksemia. Kondisi lain seperti pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut, dapat menyerupai gejala PPOK atau dapat memperburuk eksaserbasi PPOK.

3,7,18,43

Terjadinya inflamasi sistemik semakin diperkuat dengan banyaknya pasien pada PPOK memiliki komorbiditas yang berdampak besar terhadap kualitas dan kelangsungan hidup.


(53)

Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi jantung dan pertukaran udara. Mediator inflamasi pada sirkulasi dapat berkontribusi terhadap penurunan otot rangka dan cachexia, mungkin mengawali atau memperburuk komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, metabolik syndrom dan depresi.

Mekanisme hubungan terjadinya inflamasi pada PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi akut dijelaskan pada gambar dibawah ini.

18

7

Gambar 2.3.4.1 Mekanisme Terjadinya PPOK Eksaserbasi Akut Dan PPOK Stabil.7

Mekanisme terjadinya PPOK eksaserbasi akut, diakibatkan peningkatan Interleukin-6 yang merangsang pelepasan fibrinogen dan CRP kedalam sirkulasi darah. Interleukin -6 ( IL- 6 ) memegang peranan penting dalam proses inflamasi yang mampu memodulasi aktivitas peradangan pada sel dan protease. IL- 6 disintesis oleh epitel saluran napas, makrofag, dan beberapa sel lain pada lokasi inflamasi dalam menanggapi respon terhadap lingkungan seperti merokok atau faktor lainnya (infeksi). IL- 6 memiliki efek sistemik sebagai respon pada fase akut.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kadar fibrinogen darah meningkat pada pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan PPOK stabil. Suatu penelitian dilakukan oleh Mona Fattouh, dkk, 2014, di Rumah Sakit Universitas Sohag selama periode Januari 2013 sampai Maret 2014. Didapatkan 98 pasien PPOK dimasukkan dalam penelitian ini yang


(54)

dibagi dalam kelompok eksaserbasi dan kelompok stabil, sedangkan 30 orang yang sehat sebagai kelompok kontrol. Didapatkan data kadar serum fibrinogen menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik pada pasien PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 5,09 ± 1,861 g / L dibandingkan PPOK stabil dengan rerata dan SD 2,299 ± 0,571 g/L dengan P <0,001. Begitu juga kadar serum fibrinogen PPOK eksaserbasi akut dibandingkan kelompok kontrol dengan rerata dan SD 2,073 ± 0,575 g / L menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik dengan P <0,001. Mona Fattouh, dkk, juga menyatakan terjadi peningkatan jumlah leukosit yang signifikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 12.212 ± 6,175 x 109 / L dibandingkan PPOK stabil dengan rerata dan SD 7,877 ± 2,118 x 109 /L dimana P < 0,001, sedangkan peningkatan jumlah leukosit juga signifikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut dibandingkan kelompok kontrol dengan nilai rerata dan SD 7,943 ± 2,295 x 109 / L dimana P <0,001.

Zhang Yonghong, dkk, 2014, melakukan penelitian yang terdiri dari 44 pasien PPOK, dibagi dalam 14 pasien PPOK eksaserbasi akut dengan kadar plasma fibrinogen rerata dan SD

11

358.18±109.97 mg/dl yang dibandingkan dengan 30 pasien PPOK stabil dengan kadar plasma fibrinogen rerata dan SD 258.32 ± 60.22 mg/dl, didapatkan hasil peningkatan yang signifikan secara statistik dengan p < 0,01, begitu juga jumlah leukosit pada PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 7.54±3.45 x 109/L dibandingkan PPOK stabil dengan rerata dan SD 5.68±1.85 x 109/L dinyatakan meningkat signifikan dengan p < 0,01.

Polatli Mehmed, dkk, 2007, yang terdiri dari 59 pasien PPOK yang dibagi dalam 2 kelompok: 33 pasien dengan kelompok PPOK stabil dan 26 pasien dengan kelompok PPOK eksaserbasi akut, sedangkan 16 pasien sebagai kelompok kontrol. Didapatkan peningkatan secara signifikan kadar serum fibrinogen dengan p = 0,001, pada kelompok PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 447.67 ± 128 mg/dl dibandingkan PPOK stabil dengan rerata dan SD 346.88 ± 92.3 mg/dl dan PPOK eksaserbasi akut dengan rerata dan SD 447.67 ± 128 mg/dl dibandingkan kelompok kontrol dengan rerata dan SD 289.99 ± 39.9 mg/dl terjadi peningkatan yang signifikan dengan p < 0,001. Begitu juga pada kelompok PPOK stabil dibandingkan kelompok kontrol dinyatakan meningkat secara signifikan dengan p < 0,013.

12

13

Sedangkan Thomsen Mette, dkk, 2013, menyatakan terjadi peningkatan secara bersamaan kadar plasma CRP, fibrinogen dan jumlah leukosit yang dihubungkan dengan


(55)

meningkatnya resiko mendapat eksaserbasi, pada pasien PPOK stabil yang lebih ringan dan pada mereka yang tidak pernah mengalami eksaserbasi sebelumnya.

Hal ini berbeda terhadap penelitian oleh Valipour Arschang, dkk, 2008, terdiri dari 30 pasien PPOK eksaserbasi akut, 30 pasien PPOK stabil dan 30 pasien sebagai kontrol yang menyatakan kadar serum fibrinogen pasien PPOK eksaserbasi akut dengan rerata 419 mg/dl ( 329 – 470 mg/dl ) dibandingkan pasien PPOK stabil dengan rerata 424 mg/dl ( 358 -459 mg/dl ) tidak berbeda secara signifikan, tetapi terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kadar fibrinogen plasma pada PPOK eksaserbasi akut dan PPOK stabil dibandingkan kontrol dengan rerata 360 mg/dl ( 326 – 393 ) dengan p < 0,01.

14

15

Pada penelitian oleh Fekri S. Mitra, dkk, 2010, terdiri dari 30 pasien PPOK dan 29 pasien sebagai kontrol sehat menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan kadar serum fibrinogen dengan rerata dan SD 3.81±0.93 mg/dl pada pasien PPOK dibandingkan kadar serum fibrinogen dengan rerata dan SD 3.72±0.9 mg/dl pada pasien kontrol, dimana p = 0.82.

Kontribusi dari inflamasi sistemik juga menginduksi ekspresi faktor jaringan pada permukaan sel leukosit, terutama monosit. Peningkatkan CRP berperan dalam memfasilitasi interaksi sel monosit

16

-endotel dan meningkatkan Plasminogen Activator Inhibitor Type 1 ( PAI-1 ) dan faktor jaringan . CRP dapat berkontribusi mengaktifkan sistem komplemen dan sistem koagulasi dalam berbagai cara.

Hal ini telah dibuktikan pada sejumlah studi menunjukkan aktivitas peningkatan trombosit pada pasien PPOK ditemukan pada pasien dengan hiperkapnia dan hipoksemia, serta petanda hiperkoagulasi : trombin

44

-antitrombin III kompleks (TAT), fibrinopeptida A, dan aktivator plasminogen inhibitor tipe 1 (PAI-1), telah terbukti secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding subyek kontrol sehat.

Fibrinogen juga berperan dalam mengikat Intercelluler Adhetion Molekul 1 (ICAM-1) dalam meningkatkan Epidermal Growth Factor Reseptor ( EGFR ) untuk memproduksi mukus di sel epitel saluran pernafasan manusia. Fibrinogen berada pada plug mukus, meningkat pada saluran nafas pada pasien asma akut, PPOK, dan cystic fibrosis, dan ini terbukti menginduksi ICAM 1 yang tergantung pada sel endotel dan immun. Efek dari fibrinogen mengikat ICAM-1 pada saluran napas sel epitel belum diketahui.

45


(1)

4. Lokakarya Fasilitator Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS ). Depar temen Kesehatan dan kesejahteraan Sosial RI, Kalimantan Tengah, No

-pember 2001

5. Pendidikan dan Pelatihan Penanganan Penderita Gawat Darurat ( PPGD ) Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah, Desember 2003. 6. Pelatihan Pengunaan Obat Rasional Untuk Tenaga Kesehatan Di Propinsi Dan

Kabupaten / Kota.Dinas Kesehatan Propinsi Riau, Riau, Oktober 2004

7. Pelatihan Advanced Trauma Life Support. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia, Pekan Baru, Desember 2005.

VI. KARYA ILMIAH

1. Novrin, Endang Sembiring, Saut Marpaung, Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren, Armon Rahimi, Yosia Ginting. Urinary Tract Infections In Catheters Installation More Than 3 Days In The Inpatient Ward Of The General Hospital Dr. H. Adam Malik Medan. PETRI XVII. Semarang, July 2011.

2. Novrin, Anita Rosari Dalimunte, Wika Hanida Lubis,Habibah Hanum Nasution. Overview Of The Occurrence Of Depression In Elderly Hospital Dr. H. Adam Malik And Dr. Pirngadi Medan. KOPAPDI XV. Medan, Desember 2012.

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta Simposium From Hypertension To Heart Failure. Pekanbaru, 31 Mei 2008. 2. Peserta Simposium Penggunaan Testosteron pada Aging Male. Roadshow Ilmiah PB

PAPDI. Medan, 6 Maret 2010.

3. Panitia dan Peserta Gastro Entero Hepatologi UPDATE VIII 2010. Medan, 22 – 23 Oktober 2010.

4. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan ( PIT ) XII 2011 Penyakit Dalam, Pertemuan Ilmiah Nasional PERPARI. Medan, 28 – 30 April 2011.


(2)

5. Panitia dan peserta Simposium Rationale Strategy in the Management of Pancreatic B Dysfunction and Role of Oral Incretin Based Theraphy in Type 2 Diabetes Mellitus. PERKENI Cabang Medan. Medan, 29 Januari 2012.

6. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan ( PIT ) Penyakit Dalam XIII & Infection Update V. Medan, 09 – 10 Juni 2012

7. Panitia dan peserta Kongres Nasional XV Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XV). Medan, 12-15 Desember 2012.

8. Peserta Simposium dan Workshop Current Diagnosis & Management Clinical Problem & Diseases. Dies Natalis ke – 61 Tahun Fakultas Kedokteran USU. Medan, 29 – 31 Agustus 2013.

9. Panitia dan peserta Medan Chest And Clinical Immunology (MCCI). Medan, 5 – 7 Desember 2013.

10. Peserta Simposium Penanganan Terkini Gastro Esofaceal Reflux Disease (GERD) dan Laringo Pharyngeal Reflux (LPR). Dies Natalis ke - 62 Tahun Fakultas Kedokteran USU. Medan 09 September 2014.

Lampiran 6 : Rekapitulasi Subjek Penelitian

Judul Peneliti : Perbandingan Kadar Plasma Fibrinogen Pada PPOK Eksaserbasi Akut Dengan PPOK Stabil

Peneliti : dr. Novrin

No Nama Umur sex BB TB IMT Leukosit F1 F2 HS FEV1

1 Alfred Sianturi 68 1 54 165 19.83 14300 422 300 34%

2 Muhardi 57 1 65 167 23.31 14500 431 310 44%

3 Mailing Tarigan 79 1 40 150 17.78 13700 424 260 54% 4 Aman Simamora 68 1 55 160 21.48 15200 431 267 56% 5 Kliwon 62 1 46 164 17.10 15400 480 310 25% 6 Marlan 55 1 75 165 27.55 12800 390 280 56% 7 Mahlia 53 2 52 158 20.83 15000 481 313 24% 8 Suparno 64 1 56 158 22.43 14350 442 311 49% 9 Budi Pradipto 66 1 49 166 17.78 16100 482 250 27% 10 Roni Martono 52 1 58 170 20.07 14500 473 287 30% 11 Bresman Panjaitan 76 1 54 165 19.83 13900 427 301 50% 12 Drs.Franky S 57 1 60 159 23.73 13870 438 275 42% 13 Maulida 57 2 65 157 26.37 13200 428 253 56%


(3)

14 Tiarma Sitohang 41 2 55 148 25.11 16420 485 301 24% 15 Minto Manalu 44 1 52 155 21.64 14700 425 263 51% 16 Jurung 56 1 99 172 33.46 14450 431 314 46% 17 Bonar 56 1 73 172 24.68 15200 477 307 29% 18 Saiman 50 1 52 149 23.42 12100 373 268 72% 19 Bedali 45 1 47 165 17.26 11800 371 284 72% 20 Tatea 82 1 49 154 20.66 12000 366 251 76% 21 Syaban Lubis 72 1 72 166 26.13 13700 430 300 44% 22 Saut 58 1 69 157 27.99 14750 479 311 35% 23 Irawati 56 2 74 152 32.03 12400 368 283 78% 24 Baya Ginting 62 1 68 165 24.98 13100 392 264 59% 25 Muda 75 1 41 150 18.22 13500 385 298 61% 26 Nurli 52 2 52 148 23.74 145400 431 246 47% 27 Ismail Bukit 55 1 87 157 35.30 16120 421 311 52% 28 Isnaini 42 2 62 155 25.81 10870 381 288 62% 29 Serail 73 1 62 164 23.05 12300 372 250 72% 30 Iskandar 47 1 72 172 24.34 16700 470 301 39% 31 Aswan AR 69 1 84 165 30.85 16200 476 247 33% 32 Supriono 42 1 72 165 26.45 10670 389 311 59% 33 Washington 76 1 48 162 18.29 13800 423 273 51% 34 Saharuddin 73 1 53 162 20.20 11700 378 269 68% 35 Dewasa R 76 1 62 155 25.81 13100 403 245 53% 36 Hotimah 53 2 54 150 24.00 12870 404 285 49% 37 Hisar Sitorus 69 1 69 172 23.32 13760 477 321 34% 38 Kasmin 55 1 62 172 20.96 13670 427 296 44% 39 Menang 73 1 49 150 21.78 14000 426 250 49% 40 Nurhalimah 72 2 55 153 23.50 17100 480 310 29% 41 Buyung 62 1 52 163 19.57 10900 352 242 80% 42 Suyatik 42 2 59 155 24.56 13670 478 293 28% 43 Sujiman 73 1 48 152 20.78 13400 423 311 48% 44 Tiodor D 75 2 45 152 19.48 12200 379 256 64% 45 Abdurrani Beruh 70 1 53 160 20.70 14600 471 279 35% Singkatan: BB (Berat Badan), TB (Tinggi Badan), IMT (Indeks Masa Tubuh), F1 (Fibrinogen PPOK Eksaserbasi Akut), F2 (Fibrinogen Stabil), HS (Hasil Spirometri), Sex: 1(Pria), 2 (Wanita)


(4)

Lampiran 7. Uji Statistik

Uji T Berpasangang (Paired Test)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

45 45 45 45 45 45 45 45

61.33 59.56 159.84 23.2480 13.8469 426.49 283.22 48.67

11.544 12.391 7.364 4.18923 1.55899 39.794 24.281 15.569

.118 .155 .114 .089 .077 .152 .133 .099

.113 .155 .100 .089 .059 .122 .093 .099

-.118 -.076 -.114 -.071 -.077 -.152 -.133 -.066

.793 1.037 .763 .597 .517 1.018 .892 .663

.556 .233 .605 .868 .952 .251 .404 .771

N

Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Umur(tahun) Berat badan (Kg)

Tinggi

badan (cm) IMT Lekosit

Fibrinogen PPOK Eksaserbasi

Fibrinogen

PPOK Stabil Spirometri

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

Paired Samples Statistics

426.49 45 39.794 5.932

283.22 45 24.281 3.620

Fibrinogen PPOK awal (Eksaserbasi)

Fibrinogen PPOK setekah pengobatan (Stabil) Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Pa ired Sa mples Correlations

45

.407

.006

Fibrinogen PPOK awal

(Eksaserbasi) &

Fibrinogen PPOK setekah

pengobatan (Stabil)

Pair

1


(5)

Tabel Frekuensi

Tabel Diskripsi

Paired Samples Test

143.267 37.248 5.553 132.076 154.457 25.802 44 .000

Fibrinogen PPOK awal (Eksaserbasi) -Fibrinogen PPOK setekah pengobatan (Stabil) Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Jenis kelamin

35 77.8 77.8 77.8

10 22.2 22.2 100.0

45 100.0 100.0

Pria Wanita Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IMT

6 13.3 13.3 13.3

27 60.0 60.0 73.3

12 26.7 26.7 100.0

45 100.0 100.0

Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Total Valid

Frequency Percent Valid Perc ent

Cumulative Percent


(6)

Descriptive Statistics

45 41 82 61.33 11.544

45 40 99 59.56 12.391

45 148 172 159.84 7.364

45 17.10 35.30 23.2480 4.18923

45 10.67 17.10 13.8469 1.55899

45 352 485 426.49 39.794

45 242 321 283.22 24.281

45 24 80 48.67 15.569

45 Umur(tahun)

Berat badan (Kg) Tinggi badan (cm) IMT

Lekosit

Fibrinogen PPOK awal (Eksaserbasi)

Fibrinogen PPOK setekah pengobatan (Stabil) Spirometri

Valid N (listwise)