BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA - Pengaruh Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setalah Perang Dunia Kedua

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

2.1 Yakuza

2.1.1 Awal Munculnya Yakuza

  Yakuza pertama sekali muncul pada zaman Edo atau zaman Tokugawa

  (1603-1868). Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang besar di Jepang yang melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu perang Sekigahara. Perang tersebut berawal dari perselisihan daimyo (penguasa wilayah pada zaman feodal) dari kedua keluarga tersebut untuk memperebutkan kekuasaan dan kedudukan shogun sebagai pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi, yang berhak mewarisi kedudukan shogun adalah putra dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun kekuatan Tokugawa Ieyasu semakin hari semakin kuat dan hal tersebut membuat khawatir keluarga daimyo Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung Hideyori Ieyasu. Karena kekhawatiran tersebut, Ishid a Mitsunari kemudian mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa Ieyasu. Tetapi Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja, sehingga perselisihan diantara daimyo-daimyo pendukung keluarga tersebut semakin memanas dan akhirnya terjadilah perang Sekigahara.

  Perang Sekigahara berhasil dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu. Ia kemudian diangkat menjadi shogun dan mendirikan pemerintahan bakufu di Edo

  (Tokyo) pada tahun 1603. Meskipun perang sudah berakhir, namun Jepang belum stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar 500.000 samurai kehilangan tuan dan menganggur, padahal keahlian utama mereka adalah dibidang ketentaraan dan bela diri. Samurai yang tidak memiliki tuan ini disebut ronin. Kemudian sebagian besar samurai tersebut bergabung dengan kelas pedagang yang sedang berkembang. Sebagian lagi menemukan pekerjaan dalam birokrasi sipil atau sebagai cendikiawan dan filsuf. Namun tidak semuanya bisa berhasil. Para ronin yang pengangguran ini terpaksa memilih jalan lain untuk meneruskan hidupnya yaitu sebagai perampok, pengganggu, suka membuat perkelahian di jalan, dan menebar teror. Para ronin pengangguran tersebut membentuk beberapa kelompok dalam melakukan aksinya dan menamakan dirinya kabuki-mono. Masyarakat menganggap kelompok ini sebagai orang-orang aneh karena perilaku mereka yang menyimpang dan penampilan yang eksentrik. Kemanapun mereka pergi, kabuki-

  mono selalu berpakaian aneh dan potongan rambut yang tidak lazim pada zaman itu, serta selalu membawa pedang panjang untuk menakuti lawan mereka.

  juga dikenal masyarakat sebagai hatamoto-yakko, yaitu

  Kabuki-mono

ronin pembantu shogun yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada tuannya dan

  bersumpah untuk saling melindungi sesama kelompoknya dalam situasi apapun, bahkan bila harus melawan orangtua sendiri.

  Meskipun pada masa itu kabuki-mono atau hatamoto-yakko merupakan

  

samurai pengganggu, namun yakuza tidak mengidentifikasikan mereka sebagai

  kelompok tersebut. Yakuza lebih mengidentifikasikan mereka sebagai machi-

  

yakko atau pelayan kota. Machi-yakko merupakan suatu kelompok masyarakat

  yang terdiri dari orang-orang dengan profesi berbeda seperti juru tulis, pemilik toko, pemilik penginapan, seniman, buruh, serta samurai pengembara. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kota dari gangguan para kabuki-

  mono yang semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Karena tujuannya

  adalah untuk melindungi kota, masyarakat menerima dan menganggap kelompok ini sebagai pahlawan.

  Seiring waktu berlalu, kabuki-mono berhasil dikalahkan. Namun hal ini kemudian menyebabkan machi-yakko tidak lagi memiliki pekerjaan sebagai pahlawan kota. Justru para machi-yakko ini yang kemudian membuat resah masyarakat dengan kegiatan sehari- hari mereka yaitu berjudi. Sebagian lagi memilih untuk menjadi pedagang keliling. Namun bukan seperti pedagang pada umumnya, pedagang ini sering menipu masyarakat bahkan sesama kelompok pedagang. Kedua kelompok ini yaitu bakuto (penjudi) dan tekiya (pedang keliling) kemudian dikenal sebagai kelompok yakuza tradisional.

  Istilah ‘yakuza’ berasal dari sebuah permainan kartu hanafuda (kartu bunga) yang dimainkan oleh kelompok bakuto (penjudi). Dalam permainan kartu ini, para pemain dibagi tiga buah kartu. Jumlah angka yang mereka pegang berasal dari angka terakhir dari jumlah angka keseluruhan dala m kartu yang mereka miliki. Apabila dalam permainan seorang pemain mendapatkan total angka dari kombinasi kartu yang dimiliki berjumlah 20, maka pemain tersebut dianggap kalah. Angka terakhir merupakan angka penentu, dan angka 0 merupakan angka yang paling buruk. Kombinasi tiga angka terburuk yang menghasilkan nilai 20 adalah angka 8, 9, dan 3. Ketiga angka tersebut dalam bahasa jepang dibaca ya-ku-sa. Dari situlah asal mula nama yakuza. Pada awalnya istilah ini digunakan oleh kelompok bakuto untuk menjuluki orang yang kalah bermain kartu dan tidak berguna dalam kelompoknya. Semakin lama istilah ini semakin meluas dan kemudian digunakan juga oleh kelompok tekiya.

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza

  Kelompok-kelompok yakuza terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua kelompok ini telah ada sejak zaman Edo, yaitu sisa-sisa para ronin dan kelompok machi-yakko yang dulunya dianggap pahlawan oleh masyarakat, dan sebagian lagi berasal dari masyarakat golongan bawah yang merasa terbuang dan tidak dianggap oleh masyarakat pada umumnya. Tetapi tidak semua anggota yakuza berasal dari masyarakat golongan bawah yang terbuang. Ada juga berasal dari keluarga mampu dan terpandang. Umumnya mereka memilih bergabung dengan kelompok yakuza karena merasa tertekan dengan tuntutan dalam keluarga, atau para pelajar yang putus sekolah dan yang dibuang oleh orangtuanya karena faktor ekonomi dan lain-lain.

2.1.2.1 Bakuto

  Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang hobi dan sangat mahir dalam berjudi. Pada masa pemerintahan Tokugawa, bakuto sering direkrut oleh pemerintah dan bos-bos konstruksi lokal. Para bos ini bertanggungjawab terhadap berbagai pekerjaan irigasi dan konstruksi. Mereka mengeluarkan upah dalam jumlah yang cukup besar kepada pekerjanya. Namun, dengan taktik yang licik para bos ini berusaha mendapatkan kembali uang tersebut. Caranya adalah dengan menyewa kelompok-kelompok bakuto untuk berjudi bersama para pekerja. Berkat keahlian yang dimiliki oleh bakuto, pekerja-pekerja tersebut kalah dan uang gaji mereka kembali ke tangan para bos lokal.

  Para penjudi sewaan tersebut akhirnya menarik perhatian pedagang, seniman, maupun orang-orang yang memiliki status tinggi seperti samurai dan pemain sumo. Ketika tumbuh menjadi kelompok terorganisasi, penjudi-penjudi awal tersebut mendirikan tempat-tempat perjudian di sepanjang jalan utama. Jalan raya pada masa Jepang feodal merupakan lingkungan yang ramah bagi penjudi. Guna mencegah terjadinya pemberontakan di provinsi, pemerintah Tokugawa memerintahkan semua tuan tanah untuk mengunjungi Tokyo setahun sekali, sementara keluarga mereka harus menetap di Tokyo secara permanen. Dengan demikian, jalan-jalan utama menjadi jalur perpolitikan negara karena terus- menerus dilalui oleh bangsawan beserta abdinya dan para kurir.

  Tempat-tempat pemberhentian dibangun disepanjang jalan, sehingga para pengguna jalan bisa beristirahat dimalam hari dan mendapat hiburan, termasuk berjudi. Rute terkenal pada masa itu adalah Tokaido yang dibangun pada tahun 1603. Rute tersebut menghubungkan Kyoto dan Tokyo. Secara keseluruhan ada 53 tempat peristirahatan disepanjang rute Tokaido. Pada pertengahan abad ke-19, sebagian besar tempat peristirahatan tersebut menjadi pusat kegiatan geng bakuto.

  Kelompok bakuto merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan istilah “yakuza”, karena kata “yakuza” sendiri berasal dari permainan kartu

  

hanafuda . Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemain dianggap kalah

  apabila mendapat jumlah angka 20 dan 8-9-3 merupakan salah satu kombinasi angka terburuk dan dibaca ya-ku-sa.

  Kombinasi ya-ku-sa kemudian digunakan secara luas di kalangan geng penjudi awal untuk menunjukkan seseorang yang tidak berguna. Semakin lama, istilah tersebut ditujukan kepada kaum penjudi sendiri karena mereka dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Selama bertahun-tahun, penggunaan istilah

  

“yakuza” terbatas hanya pada geng bakuto. Namun, memasuki abad ke-20,

  sedikit demi sedikit istilah

  “yakuza” mulai digunakan secara luas oleh masyarakat

  untuk menyebut kelompok bakuto, tekiya, dan kelompok kejahatan lainnya di Jepang.

  Kelompok bakuto awal mengembangkan serangkaian aturan mencakup ketaatan mutlak pada kerahasiaan organisasi, kepatuhan pada sistem oyabun-

  

kobun (atasan-bawahan) dan urutan kedudukan yang menentukan status dan

  peranan dalam kelompok dan aturan serta tradisi ini berlaku dalam organisasi

  

yakuza sampai sekarang. Bakuto awal adalah organisasi feodal dengan kendali

  hampir sepenuhnya dipegang oleh oyabun. Promosi jabatan biasanya didasarkan pada performa anggota selama terjadi tawuran antar geng. Selain itu, keahlian berjudi dan loyalitas kepada oyabun juga sangat dipertimbangkan. Bagi kobun rendahan, promosi ke atas bisa menjadi pekerjaan berat. Biasanya, ia diberi tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti menyemir dadu, membersihkan rumah oyabun, menjadi pesuruh dan menjaga bayi.

  Para penjudi akan menghukum keras siapa saja yang melanggar aturan geng. Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan geng. Ada beberapa bentuk pelanggaran yang dianggap sangat tabu, diantaranya adalah pemerkosaan dan pencurian kecil-kecilan. Selain hukuman mati, hukuman terberat adalah diusir dari geng. Setelah me ngusir si pelanggar,

  

oyabun akan memberitahu geng bakuto lain bahwa orang tersebut tidak lagi

diterima dalam kelompoknya.

  Berdasarkan kesepakatan umum antargeng, si pelanggar tidak akan bisa bergabung dengan kelompok lawan. Tradisi sejak dulu ini masih berlaku sampai sekarang. Apabila terjadi pengusiran, geng yang bersangkutan akan mengirim serangkaian kartu pos kepada ‘keluarga’ dunia hitam. Kartu pos tersebut berisi pemberitahuan resmi perihal pengusiran serta permintaan kepada geng lain supaya tidak berhubungan dengan si mantan anggota.

  Selain pengusiran dari kelompok, ada juga tradisi hukuman yang dikenalkan oleh bakuto, yaitu yubitsume. Tradisi ini dilakukan dengan cara memotong ruas jari kelingking tangan apabila anggota melakukan kesalahan. Tradisi ini dikenalkan oleh kelompok bakuto dan kemudian menyebar pada kelompok-kelompok kejahatan lainnya. Selain yubitsume, tradisi irezumi atau tato juga dikenalkan oleh bakuto pada masa feodal. Awalnya tato merupakan bentuk hukuman yang digunakan pemerintah untuk mengasingkan penjahat dari masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, tato digunakan oleh kelompok

  

bakuto sebagai ajang unjuk kekuatan, keberanian, ketangguhan, dan kemaskulinan

  mereka. Layaknya ritual potong jari, tradisi pembuatan tato juga menyebar dari bakuto ke tekiya dan geng-geng lainnya dalam yakuza.

  Kontribusi bakuto terhadap sejarah awal yakuza lebih luas daripada tradisi potong jari dan pembuatan tato. Beberapa kelompok yakuza awal, baik bakuto maupun tekiya mendapat izin resmi untuk beroperasi. Sejumlah oyabun bahkan ditunjuk sebagai wakil polisi. Kesepakatan dengan polisi seperti ini memungkinkan para geng berkonsolidasi dan memperluas kekuasaan. Akan tetapi, geng-geng lain memandang bahwa kerjasama dengan polisi bertentangan dengan kode perilaku para penjudi, sehingga mereka sering menyerang bakuto yang bertentangan.

  Walaupun ada beberapa geng yang bekerjasama dengan pemerintah, sementara geng yang lain mengadakan pertumpahan darah demi memperebutkan wilayah kekuasaan, umumnya geng- geng bakuto awal bersedia saling membantu. Salah satu bentuk paling jelas dari kebiasaan itu adalah sistem ‘pengelana’ yang diterapkan oleh bakuto. Penjudi yang sedang berkelana akan mengunjungi setiap bos besar di wilayah yang mereka lalui, tinggal selama beberapa hari di rumah bos tersebut, dan menerima sedikit uang saku. Mereka akan diperlakukan secara sopan, setara dengan perlakuan yang diterima tamu undangan. Menurut etika bakuto, meskipun tuan rumah dan tamunya adalah orang asing, mereka tetap memiliki profesi yang sama, yaitu berjudi.

  Ketika Jepang mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Perjudian masih menjadi pusat kehidupan geng-geng bakuto, meskipun sistem pengelolaan polisi yang semakin baik memaksa mereka untuk membuka perjudian semakin ke bawah, yaitu tempat-tempat persembunyian di perkotaan atau rumah-rumah pribadi. Banyak bos besar bakuto mulai menjalankan bisnis legal sebagai kedok bagi bisnis ilegal mereka dan menyogok polisi. Kebiasaa n lama tersebut bertahan lama hingga sekarang.

2.1.2.2 Tekiya

  Kelompok kedua dalam yakuza adalah tekiya atau pedagang keliling. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tekiya. Ada yang percaya bahwa tekiya berasal dari para nomad yang berkeliling menjual barang dagangan di kota-kota kastil dan pusat perdagangan. Ada juga teori lain yang menyebutkan bahwa tekiya berasal dari kata yashi, yaitu istilah yang dulu digunakan untuk menyebut pedagang keliling. Karena yashi berkonotasi dengan bandit atau penjahat, kemungkinan tekiya berasal dari para ronin pelanggar hukum yang berkelana di desa-desa.

  Ada juga teori yang mengkaitkan tekiya dengan dewa Shinno, yaitu dewa pelindung yashi. Dewa Shinno adalah dewa pertanian dalam mitologi Cina yang dipercaya menemukan obat-obatan untuk menolong orang miskin dan orang sakit. Teori tersebut menyebutkan bahwa yashi adalah sekelompok pedagang obat keliling. Kata shi berarti obat dan ya berarti pedagang atau pedagang keliling.

  Seiring waktu, istilah yashi menjadi sebutan umum bagi pedagang keliling yang menjual barang apa saja.

  Pada pertengahan tahun 1700-an, tekiya membentuk kelompok-kelompok atas dasar kepentingan bersama sekaligus untuk melindungi diri dari ancaman pemerintahan Tokugawa. Geng- geng tekiya mampu mengendalikan kios-kios pekan raya yang diadakan di kuil Shinto maupun kuil Buddha. Mereka mempunyai reputasi menjual barang-barang bermutu rendah dan suka menipu ketika menjual dagangannya. Hal ini masih bertahan sampai sekarang di kalangan anggota tekiya.

  Para tekiya awal mengembangkan banyak teknik yang terbukti mampu mengelabui pembeli. Misalnya berbohong tentang kualitas dan asal- usul produk, pura-pura mabuk dan bertingkah seolah-olah menjual barang dengan harga murah sehingga pembeli percaya kalau si pedagang tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, atau menipu pembeli dengan trik-trik kreatif seperti menjal bonsai tanpa akar.

  Tekiya dikelola sesuai dengan status feodal. Anggota tekiya terbagi dalam

  lima tingkatan, yaitu bos besar atau oyabun, bos kecil, perwira, prajurit, dan pemagang. Dalam beberapa hal, tekiya beroperasi secara canggih. Rumah oyabun berfungsi sebagai markas besar sekaligus pusat pelatihan anggota baru. Para anggota baru mengawali karier dengan cara tinggal di rumah bos besar dan mempelajari bisnis. Nantinya, mereka akan bergabung dengan para prajurit dan harus berkeliling manjajakan barang dagangan si bos ke desa-desa. Jika kembali dengan membawa hasil yang baik, mereka akan diterima sebagai anggota penuh.

  Tekiya memiliki tiga perintah atau aturan organisasi yaitu tidak boleh

  menyentuh istri anggota lain, tidak boleh membuka rahasia organisasi kepada polisi, dan wajib menjaga kesetiaan dalam hubungan oyabun-kobun. Bos besar tidak hanya bertugas mengendalikan kobun, tetapi juga mengalokasi kios dan stok barang tertentu. Ia akan mengumpulkan uang sewa dan iuran perlindungan bagi para pemilik kios yang menyewa. Uang sewa dan iuran perlindungan merupakan bentuk pemerasan yang masih berlangsung sampai sekarang. Bos tekiya menuntut pembayaran dari pedagang di pinggir jalan karena mereka sudah diizinkan membuka kios di wilayah kekuasaan tekiya. Mereka yang tidak mau membayar akan kehilangan barang dagangannya, konsumennya diusir, dan beresiko diserang secara fisik oleh para anggota geng yang ingin mempertahankan monopoli mereka di wilayah tersebut.

  Perbedaan pendapat antarbos tekiya mengenai daerah kekuasaan sering mengarah pada perkelahian. Walaupun demikian, kerjasama yang cukup baik dapat tercipta di antara geng tekiya. Tidak seperti bakuto, umumnya tekiya melakukan pekerjaan yang sah secara hukum. Bahkan penguasa feodal memperbesar rentang kekuasaan bos tekiya dengan memberikan pengakuan resmi atas status mereka pada tahun 1735-1740. Demi mengurangi kecurangan diantara para tekiya dan mencegah terjadinya tawuran memperebutkan wilayah kekuasaan, pemerintah Tokugawa menunjuk sejumlah oyabun sebagai rekanan dan memberikan kehormatan berupa nama keluarga dan dua bilah pedang. Hal itu menyimbolkan bahwa status mereka mendekati samurai.

  Dengan legitimasi yang diberikan pemerintahan Tokugawa dan diiringi pertumbuhan kota yang sangat pesat hingga satu abad kemudian, geng-geng

  

tekiya turut meluas. Beberapa geng mulai mengorganisasi sendiri pekan raya

  tambahan. Mereka menyelenggarakan festival me nyerupai sirkus, diiringi berbagai pertunjukan menarik serta kios-kios yang menjual makanan, cinderamata, perlengkapan rumah tangga, dan apapun yang bisa menarik perhatian pembeli.

  Meskipun sudah mendapatkan legitimasi, geng- geng tekiya tetap mengembangkan beberapa karakteristik geng kriminal. Contohnya, memasukkan penjahat dan buronan kedalam jaringan mereka yang luas atau perlindungan terhadap bisnis ilegal yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya daerah kekuasaan. Tawuran antargeng bahkan kerap mengubah tempat pertemuan tekiya menjadi kamp bersenjata.

  Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang- orang kelas buangan pada masa Jepang tradisional. Mereka adalah para

  burakumin

  atau ‘orang dusun’ yang membentuk kasta terpisah. Defenisi mengenai kelas burakumin tergantung pada situasi. Umumnya kelas burakumin diisi oleh orang-orang yang bekerja dengan bangkai binatang seperti penyamak kulit atau pekerjaan sejenis seperti perawat jenazah. Diskriminasi terhadap kaum burakumin sangat kejam dan berlangsung terus- menerus. Biasanya mereka disebut sebagai

  

eta (sangat kotor) atau hinin (bukan manusia) sehingga baik samurai bahkan

  rakyat jelata pun diizinkan menyiksa burakumin. Dalam bukunya yang berjudul

  

Peasants, Rebels and Outcasts , sejarawan Mikiso Hane menggambarkan kondisi

  kehidupan burakumin: Mereka dibatasi mulai dari tempat tinggal, kualitas rumah, mobilitas keluar-masuk desa, pakaian, gaya rambut, bahkan alas kaki. Di beberapa daerah mereka harus mengenakan tanda pengenal khusus, seperti kerah kuning. Mereka dilarang memasuki kuil Shinto maupun Buddha yang diperuntukkan bagi komunitas non-eta. Pernikahan dengan kelas lain juga sangat dilarang (Hane dalam Kaplan & Alec Dubro, 2011:12) Di bawah pemerintaha Tokugawa, siapapun yang melanggar hukum atau adat akan diturunkan statusnya menjadi eta atau hinin. Dengan demikian, beberapa anggota tekiya sudah lebih dulu dicap bukan manusia. Pada waktu yang bersamaan, banyak orang yang lahir dari keluarga burakumin bergabung dengan geng tekiya yang menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.

  Berjualan keliling desa setidaknya memberikan kesempatan bagi kaum

  

burakumin untuk meninggalkan tempat kelahirannya, dimana mereka akan selalu

  dikenal sebagai orang buangan. Burakumin merupakan kelas yang sangat berpotensi memunculkan pelaku kriminalitas. Pada masa akhir pemerintahan Tokugawa yaitu sekitar tahun 1867, jumlah burakumin mencapai 400.000 jiwa dari populasi Jepang pada saat itu yang berjumlah 33.000.000 jiwa. Bentuk diskriminasi yang sah secara hukum terhadap burakumin akhirnya resmi dihapuskan pada tahun 1871 melalui keputusan pemerintah. Tetapi, sikap sewenang-wenang terhadap mereka masih saja terjadi sehingga hal itu ter us mendorong sejumlah besar burakumin mesuk ke dalam cengkeraman yakuza.

2.1.3 Pola Identitas Yakuza

  Pada umumnya, setiap organisasi kejahatan pasti menjalankan aktivitasnya secara diam-diam untuk menyembunyikan identitas. Tetapi yakuza tidak merahasiakan identitas dan keberadaan mereka seperti organisasi kejahatan yang lain. Yakuza justru terbuka dan menunjukkan kepada masyarakat siapa diri mereka. Beberapa karakteristik yakuza yang terlihat jelas di masyarakat dapat dilihat dari simbolisme pada tubuh yakuza. Simbolisme tubuh yakuza pertama kali dikenalkan oleh kelompok bakuto pada zaman dulu dan tradisi tersebut berlangsung sampai sekarang. Yubitsume atau pemotongan jari dan irezumi atau pembuatan tato adalah simbolisme tubuh yang menunjukkan identitas yakuza di masyarakat.

  Yubitsume

2.1.3.1 Yakuza terkenal dengan ketaatan dan loyalitas yang sangat tinggi terhadap

  organisasi. Setiap anggota yakuza wajib mematuhi perintah bos mereka dan apabila melakukan kesalahan atau melanggar aturan geng, mereka akan dihukum.

  Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan geng. Apabila melakukan kesalahan, anggota yakuza dapat dihukum mati atau diusir dari geng, tergantung seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Selain hukuman mati dan diusir dari geng, yakuza juga memiliki bentuk hukuman lain yang juga menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat yaitu yubitsume.

  Yubitsume adalah bentuk hukuman bagi pelanggar peraturan dalam

  organisasi yakuza. Yubitsume merupakan tradisi potong jari yang dikenalkan sejak dulu oleh kelompok bakuto atau penjudi dan berlaku sampai sekarang. Dalam ritual potong jari, ruas teratas jari kelingking dipotong dalam suatu upacara. Pada awalnya yakuza memberlakukan hukuman potong jari dengan tujuan melemahkan genggaman, artinya pedang yang memiliki peran signifikan bagi yakuza awal tidak dapat lagi digenggam erat. Ritual tersebut, baik dipaksakan atau dilakukan secara sukarela, berhasil membuat kobun atau anggota yakuza yang suka melanggar aturan menjadi patuh dan tergantung kepada atasannya.

2.1.3.2 Irezumi

  Pada zaman feodal, tato digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk hukuman yang digunakan untuk mengasingkan para penjahat dari mas yarakat.

  Para penjahat diberi tato berbentuk lingkaran hitam di sekeliling lengan untuk setiap pelanggaran yang dilakukan, sehingga masyarakat dapat mengenali penjahat dan menjauhinya. Akan tetapi, tato kemudian mengalami perkembangan dan perubahan makna. Tato tidak lagi dianggap hanya sebagai penanda bagi para penjahat, tetapi juga sebagai hasil seni dan menjadi tradisi mulia di Jepang. Tato Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan telah berusia ratusan tahun.

  Seiring waktu, pola desain tato berkembang dan semakin kompleks, berupa gabungan antara gambar dewa-dewa terkenal, pahlawan rakyat kecil, binatang, dan bunga yang sangat indah. Pada akhir abad ke-17, desain tato yang rumit dan membentang di seluruh tubuh menjadi popular di kalangan penjud i dan pekerja kasar seperti kuli angkut, pembantu di kandang kuda, tukang batu, bahkan para geisha.

  Asal mula tradisi irezumi dalam yakuza dilakukan oleh kelompok bakuto. Mereka membuat tato di seluruh tubuh untuk menunjukkan identitas mereka dalam masyarakat. Selain sebagai identitas, tato bagi yakuza juga menunjukkan hubungan oyabun-kobun atau hubungan saudara. Anggota yakuza yang memiliki pola dan gambar tato yang sama membuktikan komitmennya dalam kelompok

  

yakuza . Pembuatan tato bagi anggota yakuza juga dianggap sebagai uji kekuatan.

  Hal itu dikarenakan pembuatan tato dengan cara tradisional adalah proses yang sangat menyakitkan. Seniman tato menggunakan alat yang diukuir dari tulang atau kayu dengan ujung berupa sekelompok jarum kecil. Alat tersebut kemudian ditusukkan ke kulit dengan rangkaian tusukan yang menyakitkan. Tusukan sang seniman tato akan terasa menyengat dan menyakitkan bagi anggota yakuza. Proses pembuatan tato tradisional memakan waktu sangat lama. Untuk membuat tato seluruh badan dapat memakan waktu selama seratus jam. Lamanya proses pembuatan tato dan rasa sakit yang dirasakan selama pembuatan tato merupakan bentuk uji kemampuan anggota dalam menunjukkan keberanian dan ketangguhan seorang yakuza.

  Meskipun zaman sekarang pembuatan tato dap at dilakukan dengan jarum listrik yang dapat membuat tato lebih cepat dan tidak menyakitkan, masih banyak anggota yakuza yang lebih memilih menggunakan cara tradisional karena ketangguhan menahan rasa sakit selama proses pembuatan tato sangat dihargai.

  Seperti tujuan awal dibuatnya tato oleh pemerintah untuk mengasingkan penjahat yang tidak berguna, tato yakuza juga merupakan bentuk identitas sebagai kelompok yang diasingkan dari masyarakat.

2.1.4 Giri dan Ninjo Dalam Yakuza

  Yakuza pada awalnya berasal dari para ronin, sehingga banyak dipengaruhi

  oleh nilai-nilai dari kaum samurai atau pada zaman Tokugawa disebut bushi. Pada masa itu samurai menyusun suatu kode etik yang disebut bushido atau jalan hidup

  

bushi (samurai). Kode etik ini sangat kental dengan unsur kesetiaan dan

  pengabdian diri yang mutlak kepada tuan. Yakuza menganggap mereka mewarisi nilai- nilai bushido. Kesetiaan kobun kepada oyabun merupakan cerminan bushido yang diakui oleh yakuza. Seperti samurai, yakuza membuktikan kekuatan dan kemampuan mereka dengan ketabahan mereka dalam menahan rasa sakit, lapar maupun hukuman penjara. Bagi yakuza, kematian adalah takdir yang puitis, tragis, dan terhormat seperti samurai pada zaman dahulu.

  Sistem nilai dalam yakuza bukan hanya sebatas cerminan kode etik

  samurai atau bushido. Inti sistem nilai yakuza terletak pada konsep giri dan ninjō. Giri dan ninjō merupakan istilah yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam

  bahasa lain. Secara sederhana, giri diartikan sebagai kewajiban atau tanggungjawab besar yang sangat berkaitan dengan nilai-nilai tradisional Jepang yang kompleks. N ilai- nilai tersebut adalah nilai kesetiaan, terima kasih, dan utang budi. Sehingga dapat diartikan giri adalah kain sosial yang mengikat Jepang dengan penerapan yang terpusat pada hal-hal tertentu seperti sistem oyabun-kobun. Konsep giri yang terdapat dalam nilai bushido menjadi dasar nilai yakuza dalam mengikat hubungan atasan dan bawahan melalui tugas dan kewajiban.

  Makna ninj

  Giri dan ninjō, itulah perbedaan terbesar kami dengan mafia

  ninjō dalam kehidupan yakuza modern tampak

  Aplikasi konsep giri dan

  ninjō” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

  “pada musim dingin, kami memberikan sisi jalan yang terkena sinar matahari kepada masyarakat karena kami bisa bertahan hidup oleh kerja keras mereka. Pada musim panas, kami berjalan di sisi jalan yang terkena sinar matahari demi memberikan sisi yang sejuk dan teduh kepada mereka. Jika memperhatikan perilaku kami, anda bisa melihat komitmen kami yang kuat terhadap giri dan

  kai mengatakan:

  Amerika. Jika memungkinkan, yakuza mencoba mengurus seluruh masyarakat, bahkan jika dibutuhkan satu juta yen untuk menolong satu orang” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18) Senada dengan pendapat tersebut, seorang bos besar kelompok Sumiyoshi-

  kai , salah satu sindikat atau klan yakuza terbesar mengatakan: “yakuza berupaya menjalani patriotisme dan jalan hidup ksatria.

  ō sejajar dengan perasaan dan emosi. Di dalam ninjō

  kedudukan mereka dalam masyarakat. Seorang oyabun dari kelompok Inagawa-

  ninjō untuk menaikkan

  bersifat pribadi. Yakuza mengadopsi nilai giri dan

  ninjō merupakan nilai sosial yang

  penghubung dengan giri dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Giri merupakan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan

  injō digunakan sebagai ungkapan

  terkandung unsur kemurahan hati, simpati terhadap kaum lemah dan tidak berdaya, dan empati terhadap orang lain. N

  pada masa setelah perang dunia kedua, ketika muncul kelas masyarakat baru sebagai akibat perang yaitu sangokujin. Sangokujin terdiri dari orang-orang Korea, Cina, dan Taiwan yang dibawa ke Jepang untuk mengganti para pekerja Jepang yang direkrut menjadi tentara. Para sangokujin dipaksa bekerja layaknya budak.

  Setelah Jepang kalah dalam perang, kemarahan kaum sangokujin kepada orang Jepang memuncak akibat diskriminasi dan eksploitasi selama bertahun-tahun. Ada sebuah kejadian ketika gerombolan sangokujin berjumlah 300 orang menyerang kantor polisi di Kobe sebagai ajang untuk unjuk gigi. Karena kesulitan melawan

  

sangokujin , walikota Kobe meminta bantuan kepada Taoka Kazuo, bos besar

Yamaguchi-gumi . Taoka bersama anak buah dan sekutunya berhasil menyergap

sangokujin di kantor polisi tersebut, menyerang mereka dengan pedang, senjata

  api dan granat. Sangokujin berhasil dikalahkan dan polisi memiliki utang giri kepada yakuza.

  Pertempuran melawan sangokujin tersebut sangat patriotik dan sangat dikenang. Yakuza diposisikan sebagai pahlawan yang terjepit musuh tetapi berhasil menyelamatkan Jepang dari orang asing yang jahat. Layak nya para yang suka menolong, yakuza juga memposisikan dirinya sebagai samurai.

  samurai

2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza

  Yakuza dikenal sebagai organisasi kejahatan yang memiliki ciri khas

  tersendiri dengan struktur organisasi yang rapi, sehingga hal inila h yang membedakan yakuza dengan organisasi-organisasi kejahatan lainnya di dunia.

  

Yakuza bukan hanya sekedar kumpulan penjahat dan orang-orang yang memiliki

  latar belakang berbeda, tetapi mereka semua tergabung dalam suatu ikatan keluarga.

  Dalam organisasi yakuza terdapat istilah ikka, yaitu suatu bentuk keluarga yang anggotanya tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Dalam yakuza, kata ikka diganti dengan istilah gumi yang berarti kelompok atau kai yang berarti asosiasi. Kata tersebut diletakkan setelah nama suatu kelompok, misalnya

  

Yamaguchi-gumi atau Inagawa-kai. Struktur organisasi yakuza berbeda dengan

  strukur organisasi kejahatan di negara lain. Dalam struktur organisasi yakuza terdapat tiga struktur yang mendasar, yaitu hirarki formal dalam tugas dan tingkatan, hirarki berdasarkan sistem Ie tradisional Jepang, dan hirarki dalam internal kelompok. Struktur organisasi yakuza memiliki bentuk yang sama dengan sistem keluarga inti Ie di Jepang.

  Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang

  berurat berakar pada masyarakat Jepang. O leh karena itu, Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri (Ito dalam Situmorang, 2009:26). Sistem Ie berbentuk patrilineal, yaitu suatu keluarga yang berlangsung terus menerus melalui garis keturunan ayah. Keluarga Ie dipimpin oleh kacho (ayah) sebagai keluarga dan chonan (anak laki- laki pertama) yang akan menjadi kacho generasi berikutnya. Objek dari kesinambungan sistem

  Ie adalah hubungan darah (hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang

  dengan adik), hubungan tempat tinggal ( rumah dan pekarangan), dan hubungan ekonomi ( produksi, konsumsi, usaha dan harta). Karena keluarga Ie merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darah pun dimungkinkan menjadi anggota keluarga.

  Yakuza mengadopsi sistem Ie ke dalam hubungan orang tua-anak yang

  disebut hubungan oyabun-kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status oya, yaitu sebagai orang tua dalam kelompoknya atau sebagai pemimpin dari suatu organisasi. Dan kobun adalah orang yang memiliki status ko, yaitu sebagai anak dalam kehidupan keluarga atau sebagai bawahan dalam suatu organisasi. Oyabun mengatur, membawahi dan memberikan perlindungan terhadap kobun. Sedangkan kobun selalu tunduk dan setia menjalankan perintah yang diberikan oyabun.

  Pada masa yakuza awal, hubungan oyabun-kobun membentuk kekuatan dan hubungan yang erat yang luar biasa, bahkan sampa i menciptakan pengabdian fanatik kepada bos. Sampai sekarang, sistem oyabun-kobun masih terus menyuburkan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan diantara para yakuza. Kobun harus bisa bertindak sebagai tepp

  ōdama (peluru) dalam sebuah perkelahian

  dengan geng lain. Mereka harus berdiri paling depan, menghadang senjata dan pedang musuh, serta mempertaruhkan nyawanya demi melindungi oyabun. Dan adakalanya kobun mengambilalih tanggungjawab dan masuk penjara atas kejahatan yang dilakukan oleh oyabunnya.

  Tingkatan dalam organisasi yakuza tradisional dan modern bersifat feodal, yaitu satu pemimpin (oyabun) membawahi semua bawahan (kobun). Tingkatan hirarki dalam organisasi yakuza sangat jelas perbedaan stratanya. Masing- masing tingkatan memiliki kewajiban, status dan hak istimewa yang berbeda-beda.

  Urutan tingkat dari yang teratas adalah kumi-ch

  ō atau yang disebut dengan

oyabun , yaitu pemimpin dari suatu organisasi, wakagashira atau pemimpin muda,

saikō kanbu atau eksekutif senior, kanbu atau eksekutif, kumi-in atau prajurit, dan jun- kōsei-in atau anggota magang. Kemudian terdapat juga kigyōshatei yaitu hubungan bisnis antarsaudara yang tidak berhubungan langsung dengan ikka, tetapi tetap mendapatkan keuntungan dari kelompok ikka tersebut.

  Kumi- chō bertugas sebagai pemimpin dari suatu organisasi dan bertugas

  memberi arahan dan tugas terhadap bawahan dan sebagai pengambil keputusan dalam suatu tindakan. Wakagashira bertugas sebagai penasehat oyabun, dan kedudukan wakagashira layaknya orang kepercayaan oyabun. Diantara oyabun dan wakagashira terdapat

  kōmon yang bertugas sebagai penasehat oyabun juga,

  sehingga oyabun selalu mendapat nasehat dan masukan dari dua pihak bila menyangkut urusan kelompok.

  Saikō kanbun dan kanbun masing-masing

  memiliki anak buah tersendiri untuk bekerjasama dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Kumi-in bertugas sebagai bawahan yang mengurusi segala urusan kelompok seperti mengangkat telepon kantor, supir, bertanggungjawab dalam penjagaan atau keamanan, dan melayani tamu. Masing- masing dari mereka kurang lebih sepuluh orang harus berjaga dua puluh empat jam untuk menjaga kantor pusat organisasi, karena mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi, apakah adanya serangan dari kelompok lain atau menerima telepon yang penting. Di luar pekerjaan itu semua, kadang-kadang kumi-in juga diminta untuk bekerja dalam bisnis milik oyabun, dan apabila terjadi perkelahian dengan kelompok yakuza lain, kumi-in harus bisa melawan di barisan paling depan.

  Bentuk hirarki yang lain dalam struktur organisasi yakuza adalah hirarki dalam kelompok terkecil. Dalam tiap tingkatan atau strata memiliki kobun tersendiri, yaitu tingkatan yang terdapat hubungan oyabun-kobun. Sehingga dalam satu kelompok memiliki dua posisi, yaitu posisi kobun dalam keseluruhan ikka dan posisi kobun dalam kelompok terkecil (kelompok internal). Anggota yang terdapat dalam kelompok terkecil ini tidak lebih dari sepuluh anggota. Organisasi

  

yakuza yang memiliki kekuatan yang besar umumnya menguasai kelompok

yakuza yang lebih lemah untuk berganung dan menguasai kelompok tersebut ke

  dalam payung kekuasaan. Kelompok kecil yang tergabung tersebut akan menjadi

  kobun di dalam organisasi yang menguasainya. Kumi-ch ō dari kelompok yang

  lemah akan menjadi kobun dari kumi-

  chō dari kelompok penguasa atau menjadi kobun dalam badan eksekutif kelompok penguasa.

  Dalam kehidupan organisasi yakuza, peranan wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan kelompok. Wanita di d unia yakuza hanya sebatas sebagai pelacur, penghibur di bar, dan sebagai nyonya di anggota kelompok (istri oyabun). Istri oyabun sering disebut ane-san (saudara kakak perempuan). Mereka sebagai wanita sangat dipandang rendah dalam pekerjaan yakuza. Namun, bukan berarti wanita sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu contoh peran wanita dalam yakuza adalah ketika Taoka Fumiko, istri dari pemimpin kelompok

  

Yamaguchi-gumi generasi ketiga memimpin kelompoknya untuk sementara

karena pemimpin yang terpilih pada saat itu masuk penjara.

  Dalam penerimaan anggota baru, kelompok yakuza melakukan suatu ritual sebagai tanda terjalinnya suatu hubungan darah antara individu dengan kelompok yang disebut sakazuki. Sakazuki adalah ritual pertukaran mangkuk sake sebagai tanda terjalinnya hubungan darah. Sakazuki adalah ritual penting di dunia yakuza yang mengekspresikan semangat yakuza dalam penentuan anggota, memperkuat ikatan organisasi, dan kompleksitas hubungan antarposisi dan fungsi dalam organisasi. Ritual ini tidak hanya sebagai tanda masuknya anggota baru dalam kelompok, namun juga sebagai tanda terjalinnya hubungan oyabun-kobun. Ritual ini dilakukan dengan cara formal. Ritual ini dilakukan di ruangan yang beralaskan

  

tatami (tikar Jepang) dengan para partisipasi ritual yang menggunakan pakaian

haori hakama (pakaian luar untuk mempermewah kimono) dan terdapat nak ōdo (perantara) untuk membantu pelaksanaan dan sebagai saksi upacara.

  Ritual dilaksanakan di depan altar dan suatu persembahan dilakukan pertama kali untuk ditujukan kepada dewa Shinto yang diletakkan di atas altar sebelum ritual sakazuki dilakukan. Individu yang akan bergabung dan membentuk suatu jalinan dengan kelompok duduk di tatami dengan na

  kōdo di dekatnya. Pada

  saat pertukaran mangkuk sake, jumlah sake yang dituangkan ke dalam mangkuk berbeda-beda sesuai dengan status dan hubungan yang akan dibuat. J ika yang dihubungkan merupakan antarsaudara maka volume sake yang dituangkan sama banyaknya. Mangkuk sake diisi penuh oleh nakodo dan memberikannya ke masing- masing pihak yang akan dihubungkan. Apabila yang akan dihubungkan adalah saudara tua dan saudara muda, maka mangkuk sake untuk saudara tua diisi sebanyak enam persepuluh dan mangkuk sake untuk saudara muda diisi sebanyak empat persepuluh. Sedangkan apabila yang dihubungkan merupakan hubungan

  

oyabun-kobun , maka mangkuk sake yang dibutuhkan hanya satu. Manguk sake

  tersebut diisi penuh oleh

  nakōdo, lalu diminum setengahnya oleh oyabun, dan sisanya diberikan kepada kobun yang akan dihubungkan.

  Yakuza

2.1.6 Obyek Bisnis

  Kelompok yakuza tradisional yaitu bakuto dan tekiya pada dasarnya memiliki bidang yang berbeda dalam pekerjaannya. Bakuto sebagai kelompok penjudi pastilah bergerak di bidang perjudian, sedangkan tekiya bergerak di bidang usaha perdagangan. Bakuto melakukan pekerjaan dengan cara yang tertutup, sedangkan tekiya secara terbuka membuka dan menguasai kios-kios dagangan di sekitar tempat diadakannya matsuri (pesta rakyat). Berawal dari kedua pekerjaan tersebut, bisnis yakuza kemudian meluas dan mencakup segala aspek bisnis ilegal.

  Bisnis ilegal yang umumnya dijalankan dan dikuasai oleh yakuza yaitu penyelundupan narkoba, perjudian, penjualan senjata api, penjualan wanita atau prostitusi, bisnis klub-klub malam, real estate, dunia hiburan, dunia olahraga dan lain- lain. Yamaguchi-gumi, salah satu kelompok yakuza terbesar menguasai bisnis ilegal yakuza di bagian barat Jepang. Berbagai geng yang berafiliasi dengannya mengendalikan buruh harian di pelabuhan dan perusahaan konstruksi; memonopoli ratusan pengelola kios kaki lima; memeras uang dari bar lokal dan perusahaan nasional; serta mengelola berbagai bentuk perjudian, mulai dari judi tebak angka di pojok jalan hingga permainan kartu tingkat tinggi dengan taruhan mencapai jutaan dolar dalam semalam. Mereka mengontrol partai-partai politik dan bekerja sebagai asisten kampanye bagi para kandidat golongan sayap kanan. Pada awal tahun 1970, Yamaguchi-gumi telah mengembangkan bisnisnya ke bidang tinju professional, sumo, dan gulat gaya barat yang kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok yakuza lainnya.