Pengaruh Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setalah Perang Dunia Kedua

(1)

PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

DAINIJI SEKAI TAISENGO NO NIHON SEIJI DE NO YAKUZA NO

EIKYŌ

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

FEBRO STAR HAREFA 090708028

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa Ya ng Maha K uasa, Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih, dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

Skripsi ini berjudul “PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETALAH PERANG DUNIA KEDUA adalah salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Sastra Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi dan uraiannya yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari pihak lain. Maka, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Sastra Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman K usdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Program S1 Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.


(3)

4. Bapak Drs. Eman K usdiyana, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Pujiono, S.S., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik.

6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswa Sastra Jepang (S1) selama masa perkuliahan.

7. Teristimewa kepada bapak, S. Harefa dan mamak, T. Hutahaean atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang tidak ternilai dan tidak akan terlupakan selamanya.

8. Kepada “Ma Bro” Voller Harefa, atas ejekan dan motivasinya yang luar biasa serta dukungan materi yang diberikan sampai selesainya studi ini. Dan kepada adikku Siti Wasty Harefa, atas dukunga n doa dan semangat yang diberikan sehingga skripsi ini bisa selesai.

9. Kepada Astry Pebriani Sitepu yang tidak pernah berhenti menyemangati penulis disaat senang maupun sedih, dan selalu membantu penulis mencari bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

10.Kepada kawan-kawan dan sahabatku yang luar biasa, David Tino, Peter Kolbert, Frinsoni, Yopita, Agus Suhery, dan Briyant Richson yang selalu memberi dukungan dibalik obrolan-obrolan sehat kalian. Meskipun jauh, dukungan dan doa yang kalian berikan sangat bermanfaat bagi penulis. Kejar terus impian kalian. Sukses beserta kita kawan-kawan.


(4)

11.Kepada sahabat-sahabatku, Zivo, Johan, Erick, Ella, Juwita, Rohana, Maria, dan Birdy yang banyak membantu proses pengerjaan skripsi ini, dan juga selalu memberikan dukungan semangat kepada penulis.

12.Kepada kawan-kawan Sastra Jepang stambuk 2009 yang telah memberikan semangat, hiburan, serta persahabatan yang luar biasa selama 4 tahun.

Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari sempurna. O leh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.

Medan, 21 Oktober 2013 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….... i

DAFTAR ISI………...……. iv

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Rumusan Masalah………. 7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………. 8

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….. 8

1.4.1 Tinjauan Pustaka………. 8

1.4.2 Kerangka Teori….……… 10

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 11

1.5.1 Tujuan Penelitian……….. 11

1.5.2 Manfaat Penelitian……… 11

1.6 Metode Penelitian………... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA... 14

2.1 Yakuza………. 14

2.1.1 Awal Munculnya Yakuza………...………….. 14

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza……….. 17

2.1.2.1 Bakuto………...………... 17

2.1.2.2 Tekiya………... 22


(6)

2.1.3.1 Yubitsume... 26

2.1.3.2 Irezumi... 27

2.1.4 Giri dan Ninjō Dalam Yakuza... 29

2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza... 31

2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza... 36

2.2 Politik Jepang Setelah Perang Dunia Kedua... 39

2.2.1 Politik Jepang Pada Masa Pendudukan Sekutu... 39

2.2.2 Politik Jepang Setelah Tahun 1952... 40

BAB III PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA... 45

3.1 Pengaruh Terhadap Partai... 45

3.2 Pengaruh Terhadap Pemerintahan Pusat... 52

3.3 Pengaruh Terhadap Pemerintahan Daerah... 60

3.4 Pengaruh Terhadap Ketenagakerjaan... 62

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 64

4.1 Kesimpulan... 64

4.2 Saran... 67

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(7)

ABSTRAK

PENGARUH YAKUZA DALAM POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

Yakuza adalah organisasi kejahatan yang pertama sekali muncul pada zaman Edo. Pada awalnya yakuza merupakan sekelompok ronin yang sering mengganggu masyarakat. Ada dua kelompok dalam yakuza yaitu bakuto dan tekiya. Yakuza memiliki struktur organisasi yang tersusun rapi dan memiliki pola identitas yaitu irezumi dan yubitsume. Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi yang membedakan yakuza dengan organisasi kejahatan lainnya. Yakuza melakukan berbagai tindak kejahatan dan terlibat dalam bisnis ilegal seperti narkoba, prostitusi, perjudian, dan lain-lain.

Jepang merupakan negara dengan kehidupan politik yang sangat maju dan selalu mengalami perkembangan. Setelah perang dunia kedua, politik Jepang didasarkan atas kebijakan-kebijakan yang buat oleh pasukan sekutu dan kebijakan-kebijakan yang dibuat setelah masa pendududukan pasukan sekutu berakhir. Setelah perang, pemerintahan Jepang didominasi oleh tokoh-tokoh politik konservatif, terutama politikus Parta i Liberal Demokrat (Jiyūminshutō). Partai ini merupakan partai paling berkuasa sejak tahun 1955 sampai awal tahun 1990. Pada masa kekuasaan partai ini terdapat beberapa kebijakan yang menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaruh yakuza.

Meskipun yakuza adalah organisasi kejahatan yang umumnya berkecimpung dalam bisnis ilegal, fakta membuktikan ada keterkaitan dan


(8)

hubungan yang terjadi antara yakuza dengan politik pemerintahan Jepang. Hubungan ini dipengaruhi juga oleh adanya kelompok-kelompok politik sayap kanan. Kelompok ini merupakan orang-orang dengan pemikiran politik yang radikal. Yakuza dan kelompok sayap kanan sering bekerjasama dalam mempengaruhi dunia politik Jepang. Banyak orang-orang sayap kanan yang berhasil masuk ke dunia politik dengan bantuan yakuza.

Yakuza terlibat dalam pembentukan Partai Liberal Demokrat (Jiyūminshutō). Seorang pemimpin dari semua pemimpin yakuza bernama Kodama Yoshio memberikan uang dalam jumlah besar dalam proses pembentukan Jiyūminshutō. Sejak saat itu Jiyūminshutō menjadi partai paling berkuasa dan Kodama mampu mengendalikan partai tersebut. Dangan kemampuan dan koneksinya, Kodama menaikkan politikus-politikus yang memiliki hubungan dengannya ke posisi penting di pemerintahan. Hal itu mengakibatkan beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah tidak sesuai dan terkesan dipaksakan. Kodama juga terlibat dalam kasus suap dan korupsi yang melibatkan politikus penting di pemerintahan.

Yakuza sering digunakan sebagai penjaga keamanan dalam kampanye Jiyūminshutō. Selain itu, yakuza sering direkrut pemerintah untuk membubarkan aksi unjuk rasa. Perusahaan-perusahaan besar juga sering menggunakan yakuza untuk membubarkan aksi mogok massal para buruh. Hal itu menunjukkan pengaruh besar yakuza tidak hanya dalam politik, tetapi juga ketenagakerjaan Jepang.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik juga dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat ( http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-politik-menurut-para-ahli.html). Sehingga dapat dikatakan bahwa inti dari politik adalah kekuasaan, dan politik bersangkut paut dengan negara dan pemerintahan.

Politik bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama (Andrew Heywood dalam Budiardjo, 2008 : 16). Menurut Peter Merkl dalam Budiardjo (2008 : 15-16), politik dalam bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan, sedangkan politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Hal tersebut senada dengan pendapat Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam Budiardjo (2008 : 60) yang mengatakan kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat


(10)

menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.

Jepang merupakan negara dengan kehidupan politik yang sangat maju. Kehidupan politik Jepang telah berlangsung lama sejak zaman Yamato yang merupakan sistem politik tradisional. Seiring perkembangan zaman, kehidupan politik Jepang berubah dan semakin berkembang. Pergantian kekuasaan, pemerintahan, kebijakan negara, pengambilan keputusan, dan proses menuju negara demokrasi merupakan rangkaian panjang sejarah politik Jepang sampai sekarang.

Politik Jepang setelah perang dunia kedua didasarkan atas kebijakan-kebijakan yang diberlakukan antara tahun 1945 dan tahun berakhirnya masa pendudukan pasukan sekutu tahun 1952, ketika keamanan Jepang-Amerika dibentuk dan perjanjian perdamaian ditandatangani. Selama masa itu, pendudukan Amerika melaksanakan banyak perubahan dalam segala bidang dengan melaksanakan demokratisasi dan penghapusan militerisme dan fasisme. Gabungan-gabungan industri besar (zaibatsu) dibubarkan dan dilaksanakanlah reformasi sampai tuntas. Undang-Undang Dasar Jepang yang baru merupakan perlindungan hukum terhadap pembaharuan itu. Partai-partai konservatif sebelum perang kembali muncul dalam bentuk yang telah diperbaharui dan partai-partai reformis yang hanya mempunyai kekuatan kecil sebelum perang memperoleh keuntungan besar dengan adanya kebijakan demokratisasi itu. Sesudah perang, terbentuk suatu pemerintah koalisi antara partai konservatif dan sosialis yang berkuasa sampai sekarang (Fukutake, 1988 : 176).


(11)

Jepang disamping merupakan sebuah negara dengan kehidupan politik, perekonomian dan kebudayaan yang sangat maju ternyata memiliki suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Fenomena itu berupa sebuah bentuk kebudayaan dalam hal sistem organisasi sosisal masyarakat Jepang. Yakuza merupakan kelompok sosial masyarakat Jepang yang diidentikkan dengan organisasi kejahatan yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Yakuza muncul pertama kali pada zaman Edo, tepatnya pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa. Berawal dari perang saudara yang berlangsung selama berabad-abad mencapai akhir bersejarah ketika Tokugawa Ieyasu menyatukan Jepang pada 1604. Tetapi pada saat itu Jepang belum stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar 500.000 samurai menganggur, padahal keahlian mereka adalah di bidang ketentaraan dan seni bela diri.

Akhirnya sebagian samurai berusaha mencari profesi lain untuk melanjutkan hidup seperti berdagang, atau sebagai cendikiawan dan ahli filsafat. Namun tidak semua yang berhasil dan para samurai yang tidak mempunyai pekerjaan akhirnya memilih jalan lain yaitu mengganggu masyarakat. Masyarakat menyebut samurai pengganggu ini sebagai hatamoto yakko atau kabukimono, yang berarti samurai pengembara tak bertuan yang suka berpakainan mencolok dan gemar melakukan kekerasan atau kejahatan. Kemudian muncul machi yakko, yaitu sekelompok pemuda kota yang bergabung untuk menghalau serangan para hatamoto yakko. Kelompok ini berasal dari berbagai golongan, seperti juru tulis, pemilik toko, atau seniman. Mereka cukup handal dalam menggunakan pedang dan lihai dalam hal berjudi. Mereka dianggap sebagai pahlawan kota oleh masyarakat.


(12)

Setelah kabukimono berhasil dikalahkan, para pahlawan tersebut menjadi tidak memiliki pekerjaan. Inilah awal mulanya kelompok machi yakko menjadi pengganggu bagi masyarakat dan menjadikan mereka dikenal sebagai yakuza. Yakuza tradisional terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang. Anggotanya kebanyakan berasal dari golongan orang miskin, orang yang tidak memiliki lahan, pelanggar hukum, dan yang dianggap berbeda oleh kaum mayoritas. Setiap kelompok yakuza tradisional menjaga wilayah kekuasaannya masing- masing tanpa menimbulkan konflik dan sampai sekarang organisasi ini masih eksis dalam masyarakat Jepang (Kaplan & Alec Dubro, 2011 : 4-16).

Sebagai organisasi kejahatan yang terorganisir, yakuza melakukan berbagai tindak kejahatan dan menguasai bisnis-bisnis ilegal seperti narkoba, prostitusi, dan bisnis lainnya yang dilakukan secara ilegal. Namun yang mencolok dari yakuza tidak hanya kejahatan dan bisnis-bisnis ilegalnya. Yakuza juga terlibat dalam kehidupan politik pemerintahan Jepang sejak perang dunia kedua berakhir. Keterlibatan yakuza dalam politik pemerintahan Jepang sangat erat kaitannya dengan kelompok-kelompok ultranasionalis yang sudah ada di Jepang sejak tahun 1880. Kelompok ultranasionalis di Jepang ada dua yaitu kelompok kanan dan kiri. Kelompok ultranasionalis kanan atau yang disebut kelompok sayap kanan terdiri dari sekelompok aktivis pemuja kaisar dan antikomunis. Sedangkan kelompok ultranasionalis kiri atau kelompok sayap kiri terdiri dari orang-orang yang memiliki paham komunis dan sosialis. Kedua kelompok ini saling bertentangan dan masing- masing berusaha memperluas pengaruhnya dalam pemerintahan.


(13)

Yakuza memiliki hubungan yang cukup baik dengan kelompok sayap kanan. Hal itu dikarenakan yakuza dan kelompok sayap kanan memiliki pendapat yang sejalan, yaitu sangat meninggikan kaisar, sama-sama menginginkan Jepang menjadi kekuatan militer terbesar, dan keduanya sering melakukan tindak kekerasan untuk mencapai tujuannya. Selain itu, yakuza dan kelompok sayap kanan sangat membenci paham komunis. Hal itu kemudian yang menyebabkan sering terjadi pertikaian kedua kelompok tersebut dengan kelompok sayap kiri yang beraliran komunis dan sosialis. Kerjasama dan paham yang sejalan antara yakuza dengan kelompok sayap kanan menjadikan kedua kelompok tersebut seolah tidak ada bedanya. Masyarakat Jepang menganggap orang-orang yang ada dalam kelompok sayap kanan merupakan anggota yakuza. Yakuza mulai berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintahan Jepang sejak perang dunia kedua berakhir, yaitu pada saat pasukan Amerika menduduki Jepang yang kalah dalam perang. Kekalahan Jepang meninggalkan kehancuran di seluruh wilayah. Bangsa Jepang harus menanggung malu dan perekonomian negara dalam keadaan kritis. Dalam waktu dua minggu setelah Jepang menyerah kalah, pasukan Amerika mulai mendarat di Jepang dan mendirikan markas besar negara- negara sekutu yang bernama SCAP (Supreme Commander for the Allied Powers). Keberadaan pasukan Amerika di Jepang bertujuan untuk membuat ulang Jepang.

Pasukan sekutu kemudian menangkap para penjahat perang, jenderal militer, dan para politikus radikal sayap kanan. Selama masa pendudukan Amerika, terjadi banyak perubahan dalam segala bidang dengan melaksanakan demokratisasi dan penghapusan militerisme. Namun tujuan Amerika bukan hanya untuk membentuk suatu negara Jepang yang baru. Kekhawatiran Amerika


(14)

terhadap komunisme juga merupakan salah satu faktor penyebab pendudukan Amerika untuk mencegah masuknya pengaruh Uni Soviet di Jepang. Kekhawatiran tersebut menimbulkan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh Amerika. Selama masa pendudukan ternyata pasukan Amerika bekerjasama dengan yakuza untuk menyingkirkan kaum kiri. Dengan alasan memera ngi komunisme, Amerika membantu dan membiayai operasi penyingkiran kelompok sayap kiri oleh yakuza.

Solidnya organisasi yakuza, disamping karena kombinasi antarklan yang sangat baik juga dipengaruhi oleh sosok kepemimpinan Kodama Yoshio, godfather dari semua godfather yakuza. Kodama memiliki semua kemampuan untuk membuat yakuza semakin kuat dalam segala bidang. Kerjasama dengan intelijen Amerika, hubungan yang sangat dekat dengan para pemimpin politik Jepang, dan berhasil mempersatukan kelompok-kelompok yakuza adalah sebagian dari prestasi Kodama. Kodama bahkan memiliki beberapa anak didik yang kemudian sukses berkarir di dunia politik Jepang. Kasus besar yang sangat menarik perhatian terhadap yakuza adalah kasus suap perusahaan pembuatan pesawat Amerika, Lockheed Corporation dengan perusahaan penerbangan Jepang, All N ippon Airways yang juga melibatkan Kodama dan politikus Jepang. Kodama juga memiliki pengaruh besar dalam Jiyūminshutō (Partai Liberal Demokrat) yang merupakan partai politik paling berkuasa di Jepang sejak akhir perang dunia kedua sampai sekarang. Bantuan dana Kodama dalam proses penggabungan Jiyūtō (Partai Liberal) dan Minshutō (Partai Demokrat) menjadi Jiyūminshutō pada tahun 1955 merupakan sebuah fakta dan bukti pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang. Banyak fakta lain yang membuktikan pengaruh


(15)

tersebut, diantaranya beberapa pemimpin yakuza yang berhasil memenangkan pemilu, kabinet pemerintahan yang beberapa diantaranya diduduki oleh orang-orang yakuza, bahkan beberapa perdana menteri Jepang pun terlibat dengan yakuza. Kerjasama dan keterlibatan yakuza dalam politik pemerintahan Jepang merupakan fakta yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik Jepang. Hal inilah yang menjadi alasan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Yakuza Dalam Politik Pemerintahan Jepang Setelah Perang Dunia Kedua”.

1.2Rumusan Masalah

Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala aktivitas anggotanya. Loyalitas yang tinggi dalam organisasi membuat yakuza dapat bertahan sampai sekarang dan mampu menjalankan kegiatan-kegiatan ilegal dengan rapi. Selain karena faktor kordinasi yang baik antarklan, hubungan yang terjalin antara yakuza dengan tokoh-tokoh politik dalam pemerintahan Jepang juga sangat berpengaruh terhadap keberadaan yakuza sampai sekarang. Yakuza mengetahui siapa yang berkuasa dan ingin membentuk aliansi dengan pemegang kekuasaan. Tokoh politik sayap kanan, anggota parlemen, dan petinggi partai berkuasa di Jepang merupakan target utama yakuza dalam menjalin kerjasama.

Meskipun yakuza kebanyakan dikenal sebagai organisasi kejahatan, mafia, atau gangster yang sering membuat kekacauan dan menjalankan bisnis ilegal, namun keberadaan yakuza sebagai organisasi kejahatan yang mampu masuk ke dalam kehidupan politik Jepang terutama setelah perang dunia kedua merupakan fakta yang terjadi saat itu.


(16)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan dalam bentuk pertanyaan yang akan dibahas pada skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua?

2. Bagaimana pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar penelitian lebih teratur maka ruang lingkup pembatasan harus dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga masalah yang akan dibahas dapat lebih terarah.

Dalam penulisan skripsi ini, ruang lingkup yang akan diba has difokuskan pada pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua sampai sekarang. Untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan menjelaskan mengenai gambaran umum yakuza dan keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua.

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Politik menurut Budiardjo (2008:15) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Di dalam politik terdapat unsur kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kedua


(17)

unsur ini diperlukan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses politik.

Kekuasaan (power) menurut Barbara Goodwin dalam Budiardjo (2008:60) adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.

Yakuza merupakan contoh dari suatu kelompok yang mampu mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Yakuza merupakan organisasi kejahatan yang mampu berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintaan Jepang setelah perang dunia kedua. Yakuza mengetahui siapa yang berkuasa dalam pemerintahan dan ingin membentuk aliansi dengan pemegang kekuasaan. Sampai saat ini, peran yakuza dalam dunia politik Jepang masih berlanjut, yaitu sebagai penyedia uang dan sebagai penjahat bayaran (Kaplan & Alec Dubro, 2011 : 34-59).

Zairun (1982:3) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu proses bangunan lembaga yang merupakan hasil proses pembagian dan penyatuan usaha yang ditujukan ke arah tercapainya suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Winardi (2003 : 11) mengatakan bahwa organisasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari aneka macam elemen atau subsistem, dan manusia adalah subsistem terpenting, dan dimana terlihat bahwa masing- masing subsistem saling berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan.


(18)

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam melakukan dan menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadap jalannya suatu penelitian. Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian historis (Historical Research). Menurut Sumadi Suryabrata (1983 : 16) tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan kuat. Penulis menggunakan pendekatan ini dikarenakan pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah yakuza sejak dulu sampai sekarang. Keseluruhan peristiwa di dalamnya sudah terjadi (historis).

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena pembahasan dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial, dan sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999 : 11). Penulis menggunakan pendekatan ini untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial yang terjalin antara yakuza dengan politikus Jepang dan untuk mengetahui konflik yang terjadi sebagai akibat dari adanya pengaruh yakuza dalam politik Jepang.


(19)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui keadaan politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua.

2. Untuk mengetahui pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang setelah perang dunia kedua.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu:

1. Dapat menambah wawasan mengenai sejarah dan perkembangan yakuza di Jepang.

2. Dapat menambah wawasan mengenai perkembangan dan keadaan politik pemerintahan Jepang terutama setelah perang dunia kedua.

3. Dapat memberikan dan menambah informasi sejauh mana pengaruh yakuza dalam politik pemerintahan Jepang terutama setelah perang dunia kedua.

4. Dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti organisasi yakuza lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah prosedur atau tatacara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu (Siswantoro, 2005 : 55 ).


(20)

Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dalam memecahkan masalah penelitian, mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta- fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran.

Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau re ferensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006 : 13).


(21)

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian yang terdapat di Perpustakaan Pusat USU, Perpustakaan Sastra Jepang USU, Perpustakaan FISIP USU, serta jurnal maupun artikel dan berbagai situs internet.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN POLITIK JEPANG SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

2.1Yakuza

2.1.1 Awal Munculnya Yakuza

Yakuza pertama sekali muncul pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1603-1868). Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang besar di Jepang yang melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu perang Sekigahara. Perang tersebut berawal dari perselisihan daimyo (penguasa wilayah pada zaman feodal) dari kedua keluarga tersebut untuk memperebutkan kekuasaan dan kedudukan shogun sebagai pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi, yang berhak mewarisi kedudukan shogun adalah putra dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun kekuatan Tokugawa Ieyasu semakin hari semakin kuat dan hal tersebut membuat khawatir keluarga daimyo Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung Hideyori Ieyasu. Karena kekhawatiran tersebut, Ishid a Mitsunari kemudian mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa Ieyasu. Tetapi Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja, sehingga perselisihan diantara daimyo-daimyo pendukung keluarga tersebut semakin memanas dan akhirnya terjadilah perang Sekigahara.

Perang Sekigahara berhasil dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu. Ia kemudian diangkat menjadi shogun dan mendirikan pemerintahan bakufu di Edo


(23)

(Tokyo) pada tahun 1603. Meskipun perang sudah berakhir, namun Jepang belum stabil. Perdamaian mengakibatkan sekitar 500.000 samurai kehilangan tuan dan menganggur, padahal keahlian utama mereka adalah dibidang ketentaraan dan bela diri. Samurai yang tidak memiliki tuan ini disebut ronin. Kemudian sebagian besar samurai tersebut bergabung dengan kelas pedagang yang sedang berkembang. Sebagian lagi menemukan pekerjaan dalam birokrasi sipil atau sebagai cendikiawan dan filsuf. Namun tidak semuanya bisa berhasil. Para ronin yang pengangguran ini terpaksa memilih jalan lain untuk meneruskan hidupnya yaitu sebagai perampok, pengganggu, suka membuat perkelahian di jalan, dan menebar teror. Para ronin pengangguran tersebut membentuk beberapa kelompok dalam melakukan aksinya dan menamakan dirinya kabuki-mono. Masyarakat menganggap kelompok ini sebagai orang-orang aneh karena perilaku mereka yang menyimpang dan penampilan yang eksentrik. Kemanapun mereka pergi, kabuki-mono selalu berpakaian aneh dan potongan rambut yang tidak lazim pada zaman itu, serta selalu membawa pedang panjang untuk menakuti lawan mereka.

Kabuki-mono juga dikenal masyarakat sebagai hatamoto-yakko, yaitu ronin pembantu shogun yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada tuannya dan bersumpah untuk saling melindungi sesama kelompoknya dalam situasi apapun, bahkan bila harus melawan orangtua sendiri.

Meskipun pada masa itu kabuki-mono atau hatamoto-yakko merupakan samurai pengganggu, namun yakuza tidak mengidentifikasikan mereka sebagai kelompok tersebut. Yakuza lebih mengidentifikasikan mereka sebagai machi-yakko atau pelayan kota. Machi-yakko merupakan suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari orang-orang dengan profesi berbeda seperti juru tulis, pemilik


(24)

toko, pemilik penginapan, seniman, buruh, serta samurai pengembara. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kota dari gangguan para kabuki-mono yang semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Karena tujuannya adalah untuk melindungi kota, masyarakat menerima dan menganggap kelompok ini sebagai pahlawan.

Seiring waktu berlalu, kabuki-mono berhasil dikalahkan. Namun hal ini kemudian menyebabkan machi-yakko tidak lagi memiliki pekerjaan sebagai pahlawan kota. Justru para machi-yakko ini yang kemudian membuat resah masyarakat dengan kegiatan sehari- hari mereka yaitu berjudi. Sebagian lagi memilih untuk menjadi pedagang keliling. Namun bukan seperti pedagang pada umumnya, pedagang ini sering menipu masyarakat bahkan sesama kelompok pedagang. Kedua kelompok ini yaitu bakuto (penjudi) dan tekiya (pedang keliling) kemudian dikenal sebagai kelompok yakuza tradisional.

Istilah ‘yakuza’ berasal dari sebuah permainan kartu hanafuda (kartu bunga) yang dimainkan oleh kelompok bakuto (penjudi). Dalam permainan kartu ini, para pemain dibagi tiga buah kartu. Jumlah angka yang mereka pegang berasal dari angka terakhir dari jumlah angka keseluruhan dala m kartu yang mereka miliki. Apabila dalam permainan seorang pemain mendapatkan total angka dari kombinasi kartu yang dimiliki berjumlah 20, maka pemain tersebut dianggap kalah. Angka terakhir merupakan angka penentu, dan angka 0 merupakan angka yang paling buruk. Kombinasi tiga angka terburuk yang menghasilkan nilai 20 adalah angka 8, 9, dan 3. Ketiga angka tersebut dalam bahasa jepang dibaca ya-ku-sa. Dari situlah asal mula nama yakuza. Pada awalnya istilah ini digunakan oleh kelompok bakuto untuk menjuluki orang yang kalah


(25)

bermain kartu dan tidak berguna dalam kelompoknya. Semakin lama istilah ini semakin meluas dan kemudian digunakan juga oleh kelompok tekiya.

2.1.2 Kelompok-Kelompok Yakuza

Kelompok-kelompok yakuza terdiri dari kelompok bakuto atau penjudi dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua kelompok ini telah ada sejak zaman Edo, yaitu sisa-sisa para ronin dan kelompok machi-yakko yang dulunya dianggap pahlawan oleh masyarakat, dan sebagian lagi berasal dari masyarakat golongan bawah yang merasa terbuang dan tidak dianggap oleh masyarakat pada umumnya. Tetapi tidak semua anggota yakuza berasal dari masyarakat golongan bawah yang terbuang. Ada juga berasal dari keluarga mampu dan terpandang. Umumnya mereka memilih bergabung dengan kelompok yakuza karena merasa tertekan dengan tuntutan dalam keluarga, atau para pelajar yang putus sekolah dan yang dibuang oleh orangtuanya karena faktor ekonomi dan lain-lain.

2.1.2.1 Bakuto

Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang hobi dan sangat mahir dalam berjudi. Pada masa pemerintahan Tokugawa, bakuto sering direkrut oleh pemerintah dan bos-bos konstruksi lokal. Para bos ini bertanggungjawab terhadap berbagai pekerjaan irigasi dan konstruksi. Mereka mengeluarkan upah dalam jumlah yang cukup besar kepada pekerjanya. Namun, dengan taktik yang licik para bos ini berusaha mendapatkan kembali uang tersebut. Caranya adalah dengan menyewa kelompok-kelompok bakuto untuk berjudi bersama para pekerja. Berkat


(26)

keahlian yang dimiliki oleh bakuto, pekerja-pekerja tersebut kalah dan uang gaji mereka kembali ke tangan para bos lokal.

Para penjudi sewaan tersebut akhirnya menarik perhatian pedagang, seniman, maupun orang-orang yang memiliki status tinggi seperti samurai dan pemain sumo. Ketika tumbuh menjadi kelompok terorganisasi, penjudi-penjudi awal tersebut mendirikan tempat-tempat perjudian di sepanjang jalan utama. Jalan raya pada masa Jepang feodal merupakan lingkungan yang ramah bagi penjudi. Guna mencegah terjadinya pemberontakan di provinsi, pemerintah Tokugawa memerintahkan semua tuan tanah untuk mengunjungi Tokyo setahun sekali, sementara keluarga mereka harus menetap di Tokyo secara permanen. Dengan demikian, jalan-jalan utama menjadi jalur perpolitikan negara karena terus-menerus dilalui oleh bangsawan beserta abdinya dan para kurir.

Tempat-tempat pemberhentian dibangun disepanjang jalan, sehingga para pengguna jalan bisa beristirahat dimalam hari dan mendapat hiburan, termasuk berjudi. Rute terkenal pada masa itu adalah Tokaido yang dibangun pada tahun 1603. Rute tersebut menghubungkan Kyoto dan Tokyo. Secara keseluruhan ada 53 tempat peristirahatan disepanjang rute Tokaido. Pada pertengahan abad ke-19, sebagian besar tempat peristirahatan tersebut menjadi pusat kegiatan geng bakuto. Kelompok bakuto merupakan kelompok yang pertama kali menggunakan istilah “yakuza”, karena kata “yakuza” sendiri berasal dari permainan kartu hanafuda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemain dianggap kalah apabila mendapat jumlah angka 20 dan 8-9-3 merupakan salah satu kombinasi angka terburuk dan dibaca ya-ku-sa.


(27)

Kombinasi ya-ku-sa kemudian digunakan secara luas di kalangan geng penjudi awal untuk menunjukkan seseorang yang tidak berguna. Semakin lama, istilah tersebut ditujukan kepada kaum penjudi sendiri karena mereka dianggap tidak berguna bagi masyarakat. Selama bertahun-tahun, penggunaan istilah “yakuza” terbatas hanya pada geng bakuto. Namun, memasuki abad ke-20, sedikit demi sedikit istilah “yakuza” mulai digunakan secara luas oleh masyarakat untuk menyebut kelompok bakuto, tekiya, dan kelompok kejahatan lainnya di Jepang.

Kelompok bakuto awal mengembangkan serangkaian aturan mencakup ketaatan mutlak pada kerahasiaan organisasi, kepatuhan pada sistem oyabun-kobun (atasan-bawahan) dan urutan kedudukan yang menentukan status dan peranan dalam kelompok dan aturan serta tradisi ini berlaku dalam organisasi yakuza sampai sekarang. Bakuto awal adalah organisasi feodal dengan kendali hampir sepenuhnya dipegang oleh oyabun. Promosi jabatan biasanya didasarkan pada performa anggota selama terjadi tawuran antar geng. Selain itu, keahlian berjudi dan loyalitas kepada oyabun juga sangat dipertimbangkan. Bagi kobun rendahan, promosi ke atas bisa menjadi pekerjaan berat. Biasanya, ia diberi tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti menyemir dadu, membersihkan rumah oyabun, menjadi pesuruh dan menjaga bayi.

Para penjudi akan menghukum keras siapa saja yang melanggar aturan geng. Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan geng. Ada beberapa bentuk pelanggaran yang dianggap sangat tabu, diantaranya adalah pemerkosaan dan pencurian kecil-kecilan. Selain hukuman


(28)

mati, hukuman terberat adalah diusir dari geng. Setelah me ngusir si pelanggar, oyabun akan memberitahu geng bakuto lain bahwa orang tersebut tidak lagi diterima dalam kelompoknya.

Berdasarkan kesepakatan umum antargeng, si pelanggar tidak akan bisa bergabung dengan kelompok lawan. Tradisi sejak dulu ini masih berlaku sampai sekarang. Apabila terjadi pengusiran, geng yang bersangkutan akan mengirim serangkaian kartu pos kepada ‘keluarga’ dunia hitam. Kartu pos tersebut berisi pemberitahuan resmi perihal pengusiran serta permintaan kepada geng lain supaya tidak berhubungan dengan si mantan anggota.

Selain pengusiran dari kelompok, ada juga tradisi hukuman yang dikenalkan oleh bakuto, yaitu yubitsume. Tradisi ini dilakukan dengan cara memotong ruas jari kelingking tangan apabila anggota melakukan kesalahan. Tradisi ini dikenalkan oleh kelompok bakuto dan kemudian menyebar pada kelompok-kelompok kejahatan lainnya. Selain yubitsume, tradisi irezumi atau tato juga dikenalkan oleh bakuto pada masa feodal. Awalnya tato merupakan bentuk hukuman yang digunakan pemerintah untuk mengasingkan penjahat dari masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, tato digunakan oleh kelompok bakuto sebagai ajang unjuk kekuatan, keberanian, ketangguhan, dan kemaskulinan mereka. Layaknya ritual potong jari, tradisi pembuatan tato juga menyebar dari bakuto ke tekiya dan geng-geng lainnya dalam yakuza.

Kontribusi bakuto terhadap sejarah awal yakuza lebih luas daripada tradisi potong jari dan pembuatan tato. Beberapa kelompok yakuza awal, baik bakuto maupun tekiya mendapat izin resmi untuk beroperasi. Sejumlah oyabun bahkan ditunjuk sebagai wakil polisi. Kesepakatan dengan polisi seperti ini


(29)

memungkinkan para geng berkonsolidasi dan memperluas kekuasaan. Akan tetapi, geng-geng lain memandang bahwa kerjasama dengan polisi bertentangan dengan kode perilaku para penjudi, sehingga mereka sering menyerang bakuto yang bertentangan.

Walaupun ada beberapa geng yang bekerjasama dengan pemerintah, sementara geng yang lain mengadakan pertumpahan darah demi memperebutkan wilayah kekuasaan, umumnya geng- geng bakuto awal bersedia saling membantu. Salah satu bentuk paling jelas dari kebiasaan itu adalah sistem ‘pengelana’ yang diterapkan oleh bakuto. Penjudi yang sedang berkelana akan mengunjungi setiap bos besar di wilayah yang mereka lalui, tinggal selama beberapa hari di rumah bos tersebut, dan menerima sedikit uang saku. Mereka akan diperlakukan secara sopan, setara dengan perlakuan yang diterima tamu undangan. Menurut etika bakuto, meskipun tuan rumah dan tamunya adalah orang asing, mereka tetap memiliki profesi yang sama, yaitu berjudi.

Ketika Jepang mengalami modernisasi, yakuza turut memperluas aktivitas mereka sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Perjudian masih menjadi pusat kehidupan geng-geng bakuto, meskipun sistem pengelolaan polisi yang semakin baik memaksa mereka untuk membuka perjudian semakin ke bawah, yaitu tempat-tempat persembunyian di perkotaan atau rumah-rumah pribadi. Banyak bos besar bakuto mulai menjalankan bisnis legal sebagai kedok bagi bisnis ilegal mereka dan menyogok polisi. Kebiasaa n lama tersebut bertahan lama hingga sekarang.


(30)

2.1.2.2 Tekiya

Kelompok kedua dalam yakuza adalah tekiya atau pedagang keliling. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan asal-usul tekiya. Ada yang percaya bahwa tekiya berasal dari para nomad yang berkeliling menjual barang dagangan di kota-kota kastil dan pusat perdagangan. Ada juga teori lain yang menyebutkan bahwa tekiya berasal dari kata yashi, yaitu istilah yang dulu digunakan untuk menyebut pedagang keliling. Karena yashi berkonotasi dengan bandit atau penjahat, kemungkinan tekiya berasal dari para ronin pelanggar hukum yang berkelana di desa-desa.

Ada juga teori yang mengkaitkan tekiya dengan dewa Shinno, yaitu dewa pelindung yashi. Dewa Shinno adalah dewa pertanian dalam mitologi Cina yang dipercaya menemukan obat-obatan untuk menolong orang miskin dan orang sakit. Teori tersebut menyebutkan bahwa yashi adalah sekelompok pedagang obat keliling. Kata shi berarti obat dan ya berarti pedagang atau pedagang keliling. Seiring waktu, istilah yashi menjadi sebutan umum bagi pedagang keliling yang menjual barang apa saja.

Pada pertengahan tahun 1700-an, tekiya membentuk kelompok-kelompok atas dasar kepentingan bersama sekaligus untuk melindungi diri dari ancaman pemerintahan Tokugawa. Geng- geng tekiya mampu mengendalikan kios-kios pekan raya yang diadakan di kuil Shinto maupun kuil Buddha. Mereka mempunyai reputasi menjual barang-barang bermutu rendah dan suka menipu ketika menjual dagangannya. Hal ini masih bertahan sampai sekarang di kalangan anggota tekiya.


(31)

Para tekiya awal mengembangkan banyak teknik yang terbukti mampu mengelabui pembeli. Misalnya berbohong tentang kualitas dan asal- usul produk, pura-pura mabuk dan bertingkah seolah-olah menjual barang dengan harga murah sehingga pembeli percaya kalau si pedagang tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, atau menipu pembeli dengan trik-trik kreatif seperti menjal bonsai tanpa akar.

Tekiya dikelola sesuai dengan status feodal. Anggota tekiya terbagi dalam lima tingkatan, yaitu bos besar atau oyabun, bos kecil, perwira, prajurit, dan pemagang. Dalam beberapa hal, tekiya beroperasi secara canggih. Rumah oyabun berfungsi sebagai markas besar sekaligus pusat pelatihan anggota baru. Para anggota baru mengawali karier dengan cara tinggal di rumah bos besar dan mempelajari bisnis. Nantinya, mereka akan bergabung dengan para prajurit dan harus berkeliling manjajakan barang dagangan si bos ke desa-desa. Jika kembali dengan membawa hasil yang baik, mereka akan diterima sebagai anggota penuh.

Tekiya memiliki tiga perintah atau aturan organisasi yaitu tidak boleh menyentuh istri anggota lain, tidak boleh membuka rahasia organisasi kepada polisi, dan wajib menjaga kesetiaan dalam hubungan oyabun-kobun. Bos besar tidak hanya bertugas mengendalikan kobun, tetapi juga mengalokasi kios dan stok barang tertentu. Ia akan mengumpulkan uang sewa dan iuran perlindungan bagi para pemilik kios yang menyewa. Uang sewa dan iuran perlindungan merupakan bentuk pemerasan yang masih berlangsung sampai sekarang. Bos tekiya menuntut pembayaran dari pedagang di pinggir jalan karena mereka sudah diizinkan membuka kios di wilayah kekuasaan tekiya. Mereka yang tidak mau membayar akan kehilangan barang dagangannya, konsumennya diusir, dan beresiko diserang


(32)

secara fisik oleh para anggota geng yang ingin mempertahankan monopoli mereka di wilayah tersebut.

Perbedaan pendapat antarbos tekiya mengenai daerah kekuasaan sering mengarah pada perkelahian. Walaupun demikian, kerjasama yang cukup baik dapat tercipta di antara geng tekiya. Tidak seperti bakuto, umumnya tekiya melakukan pekerjaan yang sah secara hukum. Bahkan penguasa feodal memperbesar rentang kekuasaan bos tekiya dengan memberikan pengakuan resmi atas status mereka pada tahun 1735-1740. Demi mengurangi kecurangan diantara para tekiya dan mencegah terjadinya tawuran memperebutkan wilayah kekuasaan, pemerintah Tokugawa menunjuk sejumlah oyabun sebagai rekanan dan memberikan kehormatan berupa nama keluarga dan dua bilah pedang. Hal itu menyimbolkan bahwa status mereka mendekati samurai.

Dengan legitimasi yang diberikan pemerintahan Tokugawa dan diiringi pertumbuhan kota yang sangat pesat hingga satu abad kemudian, geng-geng tekiya turut meluas. Beberapa geng mulai mengorganisasi sendiri pekan raya tambahan. Mereka menyelenggarakan festival me nyerupai sirkus, diiringi berbagai pertunjukan menarik serta kios-kios yang menjual makanan, cinderamata, perlengkapan rumah tangga, dan apapun yang bisa menarik perhatian pembeli.

Meskipun sudah mendapatkan legitimasi, geng- geng tekiya tetap mengembangkan beberapa karakteristik geng kriminal. Contohnya, memasukkan penjahat dan buronan kedalam jaringan mereka yang luas atau perlindungan terhadap bisnis ilegal yang semakin berkembang seiring dengan bertambahnya daerah kekuasaan. Tawuran antargeng bahkan kerap mengubah tempat pertemuan tekiya menjadi kamp bersenjata.


(33)

Walaupun pada umumnya tekiya memiliki anggota dari golongan yang sama dengan bakuto, kelompok tekiya awal juga mencari anggota dari orang-orang kelas buangan pada masa Jepang tradisional. Mereka adalah para burakumin atau ‘orang dusun’ yang membentuk kasta terpisah. Defenisi mengenai kelas burakumin tergantung pada situasi. Umumnya kelas burakumin diisi oleh orang-orang yang bekerja dengan bangkai binatang seperti penyamak kulit atau pekerjaan sejenis seperti perawat jenazah. Diskriminasi terhadap kaum burakumin sangat kejam dan berlangsung terus- menerus. Biasanya mereka disebut sebagai eta (sangat kotor) atau hinin (bukan manusia) sehingga baik samurai bahkan rakyat jelata pun diizinkan menyiksa burakumin. Dalam bukunya yang berjudul Peasants, Rebels and Outcasts, sejarawan Mikiso Hane menggambarkan kondisi kehidupan burakumin:

Mereka dibatasi mulai dari tempat tinggal, kualitas rumah, mobilitas keluar-masuk desa, pakaian, gaya rambut, bahkan alas kaki. Di beberapa daerah mereka harus mengenakan tanda pengenal khusus, seperti kerah kuning. Mereka dilarang memasuki kuil Shinto maupun Buddha yang diperuntukkan bagi komunitas non-eta. Pernikahan dengan kelas lain juga sangat dilarang (Hane dalam Kaplan & Alec Dubro, 2011:12)

Di bawah pemerintaha Tokugawa, siapapun yang melanggar hukum atau adat akan diturunkan statusnya menjadi eta atau hinin. Dengan demikian, beberapa anggota tekiya sudah lebih dulu dicap bukan manusia. Pada waktu yang bersamaan, banyak orang yang lahir dari keluarga burakumin bergabung dengan geng tekiya yang menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.

Berjualan keliling desa setidaknya memberikan kesempatan bagi kaum burakumin untuk meninggalkan tempat kelahirannya, dimana mereka akan selalu dikenal sebagai orang buangan. Burakumin merupakan kelas yang sangat


(34)

berpotensi memunculkan pelaku kriminalitas. Pada masa akhir pemerintahan Tokugawa yaitu sekitar tahun 1867, jumlah burakumin mencapai 400.000 jiwa dari populasi Jepang pada saat itu yang berjumlah 33.000.000 jiwa. Bentuk diskriminasi yang sah secara hukum terhadap burakumin akhirnya resmi dihapuskan pada tahun 1871 melalui keputusan pemerintah. Tetapi, sikap sewenang-wenang terhadap mereka masih saja terjadi sehingga hal itu ter us mendorong sejumlah besar burakumin mesuk ke dalam cengkeraman yakuza.

2.1.3 Pola Identitas Yakuza

Pada umumnya, setiap organisasi kejahatan pasti menjalankan aktivitasnya secara diam-diam untuk menyembunyikan identitas. Tetapi yakuza tidak merahasiakan identitas dan keberadaan mereka seperti organisasi kejahatan yang lain. Yakuza justru terbuka dan menunjukkan kepada masyarakat siapa diri mereka. Beberapa karakteristik yakuza yang terlihat jelas di masyarakat dapat dilihat dari simbolisme pada tubuh yakuza. Simbolisme tubuh yakuza pertama kali dikenalkan oleh kelompok bakuto pada zaman dulu dan tradisi tersebut berlangsung sampai sekarang. Yubitsume atau pemotongan jari dan irezumi atau pembuatan tato adalah simbolisme tubuh yang menunjukkan identitas yakuza di masyarakat.

2.1.3.1 Yubitsume

Yakuza terkenal dengan ketaatan dan loyalitas yang sangat tinggi terhadap organisasi. Setiap anggota yakuza wajib mematuhi perintah bos mereka dan apabila melakukan kesalahan atau melanggar aturan geng, mereka akan dihukum.


(35)

Sifat pengecut, ketidaktaatan, dan membuka rahasia geng tidak hanya dianggap sebagai pengkhianatan tetapi juga penghinaan terhadap reputasi dan kehormatan geng. Apabila melakukan kesalahan, anggota yakuza dapat dihukum mati atau diusir dari geng, tergantung seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Selain hukuman mati dan diusir dari geng, yakuza juga memiliki bentuk hukuman lain yang juga menunjukkan identitas mereka kepada masyarakat yaitu yubitsume.

Yubitsume adalah bentuk hukuman bagi pelanggar peraturan dalam organisasi yakuza. Yubitsume merupakan tradisi potong jari yang dikenalkan sejak dulu oleh kelompok bakuto atau penjudi dan berlaku sampai sekarang. Dalam ritual potong jari, ruas teratas jari kelingking dipotong dalam suatu upacara. Pada awalnya yakuza memberlakukan hukuman potong jari dengan tujuan melemahkan genggaman, artinya pedang yang memiliki peran signifikan bagi yakuza awal tidak dapat lagi digenggam erat. Ritual tersebut, baik dipaksakan atau dilakukan secara sukarela, berhasil membuat kobun atau anggota yakuza yang suka melanggar aturan menjadi patuh dan tergantung kepada atasannya.

2.1.3.2 Irezumi

Pada zaman feodal, tato digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk hukuman yang digunakan untuk mengasingkan para penjahat dari mas yarakat. Para penjahat diberi tato berbentuk lingkaran hitam di sekeliling lengan untuk setiap pelanggaran yang dilakukan, sehingga masyarakat dapat mengenali penjahat dan menjauhinya. Akan tetapi, tato kemudian mengalami perkembangan dan perubahan makna. Tato tidak lagi dianggap hanya sebagai penanda bagi para


(36)

penjahat, tetapi juga sebagai hasil seni dan menjadi tradisi mulia di Jepang. Tato Jepang merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan telah berusia ratusan tahun.

Seiring waktu, pola desain tato berkembang dan semakin kompleks, berupa gabungan antara gambar dewa-dewa terkenal, pahlawan rakyat kecil, binatang, dan bunga yang sangat indah. Pada akhir abad ke-17, desain tato yang rumit dan membentang di seluruh tubuh menjadi popular di kalangan penjud i dan pekerja kasar seperti kuli angkut, pembantu di kandang kuda, tukang batu, bahkan para geisha.

Asal mula tradisi irezumi dalam yakuza dilakukan oleh kelompok bakuto. Mereka membuat tato di seluruh tubuh untuk menunjukkan identitas mereka dalam masyarakat. Selain sebagai identitas, tato bagi yakuza juga menunjukkan hubungan oyabun-kobun atau hubungan saudara. Anggota yakuza yang memiliki pola dan gambar tato yang sama membuktikan komitmennya dalam kelompok yakuza. Pembuatan tato bagi anggota yakuza juga dianggap sebagai uji kekuatan. Hal itu dikarenakan pembuatan tato dengan cara tradisional adalah proses yang sangat menyakitkan. Seniman tato menggunakan alat yang diukuir dari tulang atau kayu dengan ujung berupa sekelompok jarum kecil. Alat tersebut kemudian ditusukkan ke kulit dengan rangkaian tusukan yang menyakitkan. Tusukan sang seniman tato akan terasa menyengat dan menyakitkan bagi anggota yakuza. Proses pembuatan tato tradisional memakan waktu sangat lama. Untuk membuat tato seluruh badan dapat memakan waktu selama seratus jam. Lamanya proses pembuatan tato dan rasa sakit yang dirasakan selama pembuatan tato merupakan bentuk uji kemampuan anggota dalam menunjukkan keberanian dan ketangguhan seorang yakuza.


(37)

Meskipun zaman sekarang pembuatan tato dap at dilakukan dengan jarum listrik yang dapat membuat tato lebih cepat dan tidak menyakitkan, masih banyak anggota yakuza yang lebih memilih menggunakan cara tradisional karena ketangguhan menahan rasa sakit selama proses pembuatan tato sangat dihargai. Seperti tujuan awal dibuatnya tato oleh pemerintah untuk mengasingkan penjahat yang tidak berguna, tato yakuza juga merupakan bentuk identitas sebagai kelompok yang diasingkan dari masyarakat.

2.1.4 Giri dan Ninjo Dalam Yakuza

Yakuza pada awalnya berasal dari para ronin, sehingga banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dari kaum samurai atau pada zaman Tokugawa disebut bushi. Pada masa itu samurai menyusun suatu kode etik yang disebut bushido atau jalan hidup bushi (samurai). Kode etik ini sangat kental dengan unsur kesetiaan dan pengabdian diri yang mutlak kepada tuan. Yakuza menganggap mereka mewarisi nilai- nilai bushido. Kesetiaan kobun kepada oyabun merupakan cerminan bushido yang diakui oleh yakuza. Seperti samurai, yakuza membuktikan kekuatan dan kemampuan mereka dengan ketabahan mereka dalam menahan rasa sakit, lapar maupun hukuman penjara. Bagi yakuza, kematian adalah takdir yang puitis, tragis, dan terhormat seperti samurai pada zaman dahulu.

Sistem nilai dalam yakuza bukan hanya sebatas cerminan kode etik samurai atau bushido. Inti sistem nilai yakuza terletak pada konsep giri dan ninjō. Giri dan ninjō merupakan istilah yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Secara sederhana, giri diartikan sebagai kewajiban atau tanggungjawab besar yang sangat berkaitan dengan nilai-nilai tradisional Jepang


(38)

yang kompleks. N ilai- nilai tersebut adalah nilai kesetiaan, terima kasih, dan utang budi. Sehingga dapat diartikan giri adalah kain sosial yang mengikat Jepang dengan penerapan yang terpusat pada hal-hal tertentu seperti sistem oyabun-kobun. Konsep giri yang terdapat dalam nilai bushido menjadi dasar nilai yakuza dalam mengikat hubungan atasan dan bawahan melalui tugas dan kewajiban.

Makna ninjō sejajar dengan perasaan dan emosi. Di dalam ninjō terkandung unsur kemurahan hati, simpati terhadap kaum lemah dan tidak berdaya, dan empati terhadap orang lain. Ninjō digunakan sebagai ungkapan penghubung dengan giri dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Giri merupakan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan ninjō merupakan nilai sosial yang bersifat pribadi. Yakuza mengadopsi nilai giri dan ninjō untuk menaikkan kedudukan mereka dalam masyarakat. Seorang oyabun dari kelompok Inagawa-kai, salah satu sindikat atau klan yakuza terbesar mengatakan:

yakuza berupaya menjalani patriotisme dan jalan hidup ksatria. Giri dan ninjō, itulah perbedaan terbesar kami dengan mafia Amerika. Jika memungkinkan, yakuza mencoba mengurus seluruh masyarakat, bahkan jika dibutuhkan satu juta yen untuk menolong satu orang” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

Senada dengan pendapat tersebut, seorang bos besar kelompok Sumiyoshi-kai mengatakan:

“pada musim dingin, kami memberikan sisi jalan yang terkena sinar matahari kepada masyarakat karena kami bisa bertahan hidup oleh kerja keras mereka. Pada musim panas, kami berjalan di sisi jalan yang terkena sinar matahari demi memberikan sisi yang sejuk dan teduh kepada mereka. Jika memperhatikan perilaku kami, anda bisa melihat komitmen kami yang kuat terhadap giri dan ninjō” (Kaplan & Alec Dubro, 2011:18)

Aplikasi konsep giri dan ninjō dalam kehidupan yakuza modern tampak pada masa setelah perang dunia kedua, ketika muncul kelas masyarakat baru


(39)

sebagai akibat perang yaitu sangokujin. Sangokujin terdiri dari orang-orang Korea, Cina, dan Taiwan yang dibawa ke Jepang untuk mengganti para pekerja Jepang yang direkrut menjadi tentara. Para sangokujin dipaksa bekerja layaknya budak. Setelah Jepang kalah dalam perang, kemarahan kaum sangokujin kepada orang Jepang memuncak akibat diskriminasi dan eksploitasi selama bertahun-tahun. Ada sebuah kejadian ketika gerombolan sangokujin berjumlah 300 orang menyerang kantor polisi di Kobe sebagai ajang untuk unjuk gigi. Karena kesulitan melawan sangokujin, walikota Kobe meminta bantuan kepada Taoka Kazuo, bos besar Yamaguchi-gumi. Taoka bersama anak buah dan sekutunya berhasil menyergap sangokujin di kantor polisi tersebut, menyerang mereka dengan pedang, senjata api dan granat. Sangokujin berhasil dikalahkan dan polisi memiliki utang giri kepada yakuza.

Pertempuran melawan sangokujin tersebut sangat patriotik dan sangat dikenang. Yakuza diposisikan sebagai pahlawan yang terjepit musuh tetapi berhasil menyelamatkan Jepang dari orang asing yang jahat. Layak nya para samurai yang suka menolong, yakuza juga memposisikan dirinya sebagai samurai.

2.1.5 Struktur Organisasi Yakuza

Yakuza dikenal sebagai organisasi kejahatan yang memiliki ciri khas tersendiri dengan struktur organisasi yang rapi, sehingga hal inila h yang membedakan yakuza dengan organisasi-organisasi kejahatan lainnya di dunia. Yakuza bukan hanya sekedar kumpulan penjahat dan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda, tetapi mereka semua tergabung dalam suatu ikatan keluarga.


(40)

Dalam organisasi yakuza terdapat istilah ikka, yaitu suatu bentuk keluarga yang anggotanya tidak memiliki hubungan darah satu sama lain. Dalam yakuza, kata ikka diganti dengan istilah gumi yang berarti kelompok atau kai yang berarti asosiasi. Kata tersebut diletakkan setelah nama suatu kelompok, misalnya Yamaguchi-gumi atau Inagawa-kai. Struktur organisasi yakuza berbeda dengan strukur organisasi kejahatan di negara lain. Dalam struktur organisasi yakuza terdapat tiga struktur yang mendasar, yaitu hirarki formal dalam tugas dan tingkatan, hirarki berdasarkan sistem Ie tradisional Jepang, dan hirarki dalam internal kelompok. Struktur organisasi yakuza memiliki bentuk yang sama dengan sistem keluarga inti Ie di Jepang.

Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat berakar pada masyarakat Jepang. O leh karena itu, Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri (Ito dalam Situmorang, 2009:26). Sistem Ie berbentuk patrilineal, yaitu suatu keluarga yang berlangsung terus menerus melalui garis keturunan ayah. Keluarga Ie dipimpin oleh kacho (ayah) sebagai keluarga dan chonan (anak laki- laki pertama) yang akan menjadi kacho generasi berikutnya. Objek dari kesinambungan sistem Ie adalah hubungan darah (hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang dengan adik), hubungan tempat tinggal ( rumah dan pekarangan), dan hubungan ekonomi ( produksi, konsumsi, usaha dan harta). Karena keluarga Ie merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darah pun dimungkinkan menjadi anggota keluarga.


(41)

Yakuza mengadopsi sistem Ie ke dalam hubungan orang tua-anak yang disebut hubungan oyabun-kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status oya, yaitu sebagai orang tua dalam kelompoknya atau sebagai pemimpin dari suatu organisasi. Dan kobun adalah orang yang memiliki status ko, yaitu sebagai anak dalam kehidupan keluarga atau sebagai bawahan dalam suatu organisasi. Oyabun mengatur, membawahi dan memberikan perlindungan terhadap kobun. Sedangkan kobun selalu tunduk dan setia menjalankan perintah yang diberikan oyabun.

Pada masa yakuza awal, hubungan oyabun-kobun membentuk kekuatan dan hubungan yang erat yang luar biasa, bahkan sampa i menciptakan pengabdian fanatik kepada bos. Sampai sekarang, sistem oyabun-kobun masih terus menyuburkan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan diantara para yakuza. Kobun harus bisa bertindak sebagai teppōdama (peluru) dalam sebuah perkelahian dengan geng lain. Mereka harus berdiri paling depan, menghadang senjata dan pedang musuh, serta mempertaruhkan nyawanya demi melindungi oyabun. Dan adakalanya kobun mengambilalih tanggungjawab dan masuk penjara atas kejahatan yang dilakukan oleh oyabunnya.

Tingkatan dalam organisasi yakuza tradisional dan modern bersifat feodal, yaitu satu pemimpin (oyabun) membawahi semua bawahan (kobun). Tingkatan hirarki dalam organisasi yakuza sangat jelas perbedaan stratanya. Masing- masing tingkatan memiliki kewajiban, status dan hak istimewa yang berbeda-beda. Urutan tingkat dari yang teratas adalah kumi-chō atau yang disebut dengan oyabun, yaitu pemimpin dari suatu organisasi, wakagashira atau pemimpin muda, saikō kanbu atau eksekutif senior, kanbu atau eksekutif, kumi-in atau prajurit, dan jun-kōsei-in atau anggota magang. Kemudian terdapat juga kigyōshatei yaitu


(42)

hubungan bisnis antarsaudara yang tidak berhubungan langsung dengan ikka, tetapi tetap mendapatkan keuntungan dari kelompok ikka tersebut.

Kumi-chō bertugas sebagai pemimpin dari suatu organisasi dan bertugas memberi arahan dan tugas terhadap bawahan dan sebagai pengambil keputusan dalam suatu tindakan. Wakagashira bertugas sebagai penasehat oyabun, dan kedudukan wakagashira layaknya orang kepercayaan oyabun. Diantara oyabun dan wakagashira terdapat kōmon yang bertugas sebagai penasehat oyabun juga, sehingga oyabun selalu mendapat nasehat dan masukan dari dua pihak bila menyangkut urusan kelompok. Saikō kanbun dan kanbun masing- masing memiliki anak buah tersendiri untuk bekerjasama dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Kumi-in bertugas sebagai bawahan yang mengurusi segala urusan kelompok seperti mengangkat telepon kantor, supir, bertanggungjawab dalam penjagaan atau keamanan, dan melayani tamu. Masing- masing dari mereka kurang lebih sepuluh orang harus berjaga dua puluh empat jam untuk menjaga kantor pusat organisasi, karena mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi, apakah adanya serangan dari kelompok lain atau menerima telepon yang penting. Di luar pekerjaan itu semua, kadang-kadang kumi-in juga diminta untuk bekerja dalam bisnis milik oyabun, dan apabila terjadi perkelahian dengan kelompok yakuza lain, kumi-in harus bisa melawan di barisan paling depan.

Bentuk hirarki yang lain dalam struktur organisasi yakuza adalah hirarki dalam kelompok terkecil. Dalam tiap tingkatan atau strata memiliki kobun tersendiri, yaitu tingkatan yang terdapat hubungan oyabun-kobun. Sehingga dalam satu kelompok memiliki dua posisi, yaitu posisi kobun dalam keseluruhan ikka dan posisi kobun dalam kelompok terkecil (kelompok internal). Anggota yang


(43)

terdapat dalam kelompok terkecil ini tidak lebih dari sepuluh anggota. Organisasi yakuza yang memiliki kekuatan yang besar umumnya menguasai kelompok yakuza yang lebih lemah untuk berganung dan menguasai kelompok tersebut ke dalam payung kekuasaan. Kelompok kecil yang tergabung tersebut akan menjadi kobun di dalam organisasi yang menguasainya. Kumi-chō dari kelompok yang lemah akan menjadi kobun dari kumi-chō dari kelompok penguasa atau menjadi kobun dalam badan eksekutif kelompok penguasa.

Dalam kehidupan organisasi yakuza, peranan wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan kelompok. Wanita di d unia yakuza hanya sebatas sebagai pelacur, penghibur di bar, dan sebagai nyonya di anggota kelompok (istri oyabun). Istri oyabun sering disebut ane-san (saudara kakak perempuan). Mereka sebagai wanita sangat dipandang rendah dalam pekerjaan yakuza. Namun, bukan berarti wanita sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu contoh peran wanita dalam yakuza adalah ketika Taoka Fumiko, istri dari pemimpin kelompok Yamaguchi-gumi generasi ketiga memimpin kelompoknya untuk sementara karena pemimpin yang terpilih pada saat itu masuk penjara.

Dalam penerimaan anggota baru, kelompok yakuza melakukan suatu ritual sebagai tanda terjalinnya suatu hubungan darah antara individu dengan kelompok yang disebut sakazuki. Sakazuki adalah ritual pertukaran mangkuk sake sebagai tanda terjalinnya hubungan darah. Sakazuki adalah ritual penting di dunia yakuza yang mengekspresikan semangat yakuza dalam penentuan anggota, memperkuat ikatan organisasi, dan kompleksitas hubungan antarposisi dan fungsi dalam organisasi. Ritual ini tidak hanya sebagai tanda masuknya anggota baru dalam kelompok, namun juga sebagai tanda terjalinnya hubungan oyabun-kobun. Ritual


(44)

ini dilakukan dengan cara formal. Ritual ini dilakukan di ruangan yang beralaskan tatami (tikar Jepang) dengan para partisipasi ritual yang menggunakan pakaian haori hakama (pakaian luar untuk mempermewah kimono) dan terdapat nakōdo (perantara) untuk membantu pelaksanaan dan sebagai saksi upacara.

Ritual dilaksanakan di depan altar dan suatu persembahan dilakukan pertama kali untuk ditujukan kepada dewa Shinto yang diletakkan di atas altar sebelum ritual sakazuki dilakukan. Individu yang akan bergabung dan membentuk suatu jalinan dengan kelompok duduk di tatami dengan nakōdo di dekatnya. Pada saat pertukaran mangkuk sake, jumlah sake yang dituangkan ke dalam mangkuk berbeda-beda sesuai dengan status dan hubungan yang akan dibuat. J ika yang dihubungkan merupakan antarsaudara maka volume sake yang dituangkan sama banyaknya. Mangkuk sake diisi penuh oleh nakodo dan memberikannya ke masing- masing pihak yang akan dihubungkan. Apabila yang akan dihubungkan adalah saudara tua dan saudara muda, maka mangkuk sake untuk saudara tua diisi sebanyak enam persepuluh dan mangkuk sake untuk saudara muda diisi sebanyak empat persepuluh. Sedangkan apabila yang dihubungkan merupakan hubungan oyabun-kobun, maka mangkuk sake yang dibutuhkan hanya satu. Manguk sake tersebut diisi penuh oleh nakōdo, lalu diminum setengahnya oleh oyabun, dan sisanya diberikan kepada kobun yang akan dihubungkan.

2.1.6 Obyek Bisnis Yakuza

Kelompok yakuza tradisional yaitu bakuto dan tekiya pada dasarnya memiliki bidang yang berbeda dalam pekerjaannya. Bakuto sebagai kelompok penjudi pastilah bergerak di bidang perjudian, sedangkan tekiya bergerak di


(45)

bidang usaha perdagangan. Bakuto melakukan pekerjaan dengan cara yang tertutup, sedangkan tekiya secara terbuka membuka dan menguasai kios-kios dagangan di sekitar tempat diadakannya matsuri (pesta rakyat). Berawal dari kedua pekerjaan tersebut, bisnis yakuza kemudian meluas dan mencakup segala aspek bisnis ilegal.

Bisnis ilegal yang umumnya dijalankan dan dikuasai oleh yakuza yaitu penyelundupan narkoba, perjudian, penjualan senjata api, penjualan wanita atau prostitusi, bisnis klub-klub malam, real estate, dunia hiburan, dunia olahraga dan lain- lain. Yamaguchi-gumi, salah satu kelompok yakuza terbesar menguasai bisnis ilegal yakuza di bagian barat Jepang. Berbagai geng yang berafiliasi dengannya mengendalikan buruh harian di pelabuhan dan perusahaan konstruksi; memonopoli ratusan pengelola kios kaki lima; memeras uang dari bar lokal dan perusahaan nasional; serta mengelola berbagai bentuk perjudian, mulai dari judi tebak angka di pojok jalan hingga permainan kartu tingkat tinggi dengan taruhan mencapai jutaan dolar dalam semalam. Mereka mengontrol partai-partai politik dan bekerja sebagai asisten kampanye bagi para kandidat golongan sayap kanan. Pada awal tahun 1970, Yamaguchi-gumi telah mengembangkan bisnisnya ke bidang tinju professional, sumo, dan gulat gaya barat yang kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok yakuza lainnya.

Dalam bisnis hiburan, yakuza menguasai sekitar 100 perusahaan produksi. Selain itu, puluhan agensi pencari bakat dan penyalur tenaga kerja berada di bawah pengaruh yakuza. Banyak artis yang tidak bisa tampil di panggung kalau tidak disponsori yakuza. Rumah-rumah produksi yang sangat haus akan film- film gangster juga berada di bawah pengaruh yakuza. Keberadaan rumah-rumah


(46)

produksi yang dimiliki oleh yakuza pada dasarnya hanyalah sebuah kedok untuk menguasai bisnis hiburang di Jepang.

Meskipun perjudian dilarang oleh pemerintah, namun rumah judi dan kios-kios tekiya tetap menjadi bisnis standar yakuza. Judi dengan taruhan tinggi memberikan pemasukan besar bagi yakuza. Untuk melancarkan bisnis perjudian, yakuza membuat taktik yaitu dengan melakukan perjudian dibalik perjudian yang dilegalkan pemerintah, seperti pacuan kuda, lotre, dan lain- lain. Karena perjudian legal semacam ini dimonopoli oleh pemerintah, maka pihak luar atau yakuza yang ingin berjudi dalam bentuk ini harus membayar pajak kepada pemerintah. Akan tetapi yakuza termasuk kelompok yang menyelenggarakan perjudian jenis ini tanpa membayar pajak. Sehingga perjudian itu kemudian dianggap ilegal dan dilarang oleh pemerintah. Pelarangan tersebut tidak membuat yakuza mengurungkan niat mereka dalam menginvestasikan perjudian atau menurut untuk membayar pajak kepada pemerintah. Sebaliknya, mereka justru mencari cara agar tetap dapat berjudi tanpa harus membayar pajak.

Bisnis narkotika juga dianggap sebagai lumbung penghasil uang bagi yakuza. Amfetamin adalah salah satu jenis narkotika yang paling dicari pasca perang dunia kedua. Amfetamin digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat, dan bagi tentara berguna untuk meningkatkan stamina tubuh agar tetap kuat. Karena penggunaan dan kebutuhan masyarakat terhadap amfetamin pada masa pasca perang dunia kedua semakin meningkat, pemerintah kemudian menetapkan amfetamin sebagai obat terlarang untuk dijual secara umum. Akibatnya, masyarakat yang telah terlanjur menjadi pecandu terpaksa beralih ke narkotika jenis lain seperti heroin dan metafetamin. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh


(47)

yakuza untuk memperoleh keuntungan dalam jumlah besar. Namun tidak semua kelompok yakuza yang melakukan bisnis narkotika. Pemimpin kelompok Yamaguchi-gumi yang sangat sadar akan bahaya penggunaan narkotika mengeluarkan aturan pelarangan menjual da n memakai amfetamin dan obat-obatan jenis lain bagi anggotanya, meskipun aturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi.

2.2Politik Jepang Setelah Perang Dunia Kedua

2.2.1 Politik Jepang Pada Masa Pendudukan Sekutu

Dalam waktu dua minggu setelah Jepang menyerah kalah, pasukan-pasukan sekutu yang dipimpin Amerika Serikat mulai mendarat di Jepang. Pada tanggal 2 Oktober 1945 dibentuk SCAP (Supreme Commander for the Allied Powers) atau markas besar negara- negara sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mac Arthur. Tugas utama SCAP adalah mengatur dan melaksanakan reformasi dan kebijakan pemerintahan di seluruh wilayah Jepang yang meliputi penghapusan unsur-unsur feodal dan militer dari masyarakat Jepang, serta peningkatan kebebasan modern dan perdamaian. Angkatan bersenjata Jepang dilucuti dan dibubarkan, penjahat-penjahat perang ditangkap, diadili dan dihukum oleh mahkamah militer sekutu. Tokoh-tokoh politik yang pernah berkuasa, kaum militeris dan ultranasionalis, dan panglima perang untuk sementara waktu disingkirkan dari pemerintahan.

Tokoh-tokoh yang dipenjara karena kejahatan politik selama perang dibebaskan dan undang-undang yang membatasi kebebasan pendapat, berkumpul, dan berserikat juga dicabut. Hak bagi kaum wanita untuk bersuara dan menduduki


(48)

jabatan umum diakui, dan sistem kepolisian juga diubah pada masa pendudukan sekutu. Pasukan sekutu juga membuat reformasi di bidang sosial dan ekonomi yang mencakup penghapusan unsur feodal dari masyarakat, penghapusan zaibatsu, dan kebijakan land reform untuk kemajuan ekonomi.

Sekutu juga berusaha sebisa mungkin membatasi agar Jepang tidak lagi memiliki kemampuan politik dan ambisi militer yang dapat memberikan ancaman bagi bangsa dan negara lain khususnya bangsa barat. Pembatasan itu tampak jelas dalam Undang-Undang Dasar Jepang yang baru dan memang sengaja dipersiapkan oleh Amerika. Namun, kebijakan politik Amerika di Jepang berubah karena kekhawatiran Amerika terhadap komunisme yang semakin berkembang di Asia, sehingga Amerika memberikan tekanan untuk melaksanakan kebijaka n yang antikomunis. Semula sikap politik Amerika di Jepang lebih mengutamakan pelaksanaan hukuman terhadap mereka yang dituduh sebagai penjahat perang. Tetapi kemudian Amerika menyadari pentingnya menghalangi komunisme masuk ke Jepang. Caranya adalah dengan menjadikan Jepang sebagai sekutu dan benteng melawan komunisme. Hal tersebut semakin mudah dilakukan karena Jepang pada dasarnya sudah antikomunis sejak dulu.

Sekutu juga menyusun suatu konstitusi baru bagi Jepang. Konstitusi baru menetapkan kaisar hanya sebagai simbol negara dan simbol pemersatu bangsa. Dengan demikian, kaisar tidak lagi memiliki kekuasaan politik apapun.

2.2.2 Politik Jepang Setelah Tahun 1952

Pada tanggal 8 September 1951 Amerika Serikat dan Jepang menandatangani perjanjian perdamaian dan kemudian dilanjutkan dengan


(49)

pelaksanaan penyerahan kekuasaan dan kedaulatan penuh kepada pihak Jepang pada tanggal 28 April 1952. Sejak saat itu Jepang mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai negara merdeka dan memperoleh identitas politiknya sebagai negara berdaulat. Walaupun demikian, Amerika Serikat tetap melakukan pengawasan dan pembatasan terhadap Jepang, khususnya dibidang militer dan masalah keamanan dan pertahanan.

Sejak berakhirnya perang dunia kedua sampai tahun 1950, di Jepang terdapat dua golongan politik konservatif yaitu kelompok liberal yang merupakan penerus partai lama yang disebut Seiyūkai, dan kelompok demokrat yang berasal dari kelompok Minseitō. Kedua kelompok konservatif ini pada tahun 1950 bergabung membentuk Partai Liberal te tapi pada tahun 1953 pecah kembali. Tahun 1955 mereka kembali bergabung dengan membentuk partai baru bernama Jiyuminshūtō (Partai Liberal Demokrat). Partai inilah yang kelak di kemudian hari berhasil menguasai kehidupan politik Jepang sampai tahun 1990-an.

Partai Liberal Demokrat merupakan partai konservatif yang terdiri atas generasi tua yang dalam pandangan politiknya cenderung lebih mementingkan stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri. Pimpinan partai dari kelompok konservatif ini ditentukan oleh hirarki berjenjang yang berlaku di lingkungan partai seperti yang berlaku di dalam birokrasi. Di tubuh partai ini sejak semula telah terbagi dalam pengelompokan faksi- faksi yang lebih dilandasi oleh kepemimpinan tokoh perorangan dan bukan oleh penggolongan be rdasarkan kepentingan ideologis. Pada dasarnya faksi- faksi tersebut memiliki program dan tujuan yang hampir sama, tetapi memiliki fanatisme dalam mendukung tokoh kepemimpinan mereka. Adanya faksi- faksi tersebut menunjukkan Partai Liberal


(50)

Demokrat memberi toleransi terhadap perbedaan pendapat sehingga membuat partai tidak mudah terpecah-belah walaupun terjadi perbedaan pandangan dalam pelaksanaan politik diantara pemimpin faksi. Yang terpenting bagi partai adalah bagaimana cara agar bisa menang dalam pemilihan umum. Ketua partai secara otomatis akan dicalonkan sebagai perdana menteri namun terlebih dahulu harus memperoleh dukungan dari semua faksi atau mayoritas jumlah faksi.

Kebijakan politik Partai Liberal Demokrat lebih sering dikaitkan dengan upaya mendapatkan dukungan politik, ekonomi, dan keamanan dari Amerika Serikat. Kebijakan yang reaksioner itu nampak paling jelas pada tahun 1960 ketika kabinet K ishi Nobusuke memaksakan ratifikasi perjanjian keamanan yang diperbaharui. Hal ini membangkitkan protes rakyat secara besar-besaran terhadap taktik yang sangat licik itu, sehingga perdana menteri K ishi Nobusuke terpaksa meletakkan jabatan. Hal itu yang menyebabkan partai harus menghadapi pendapat umum yang cenderung menghendaki Jepang lebih bersikap netral dan mandiri dalam menjalankan politiknya. Setelah tahun 1955, pertumbuhan politik nasional di Jepang ditandai oleh adanya persaingan antara dua sikap politik yaitu antara kelompok yang tetap ingin mempertahankan pola-pola lama yang konservatif, dengan kelompok yang menghendaki pola-pola baru yang progresif. Kelompok yang berpandangan konservatif diwakili oleh para anggota Partai Liberal Demokrat, sedangkan yang berpandangan progresif diwakili oleh Nihonshakaitō (Partai Sosialis Jepang). Pemikiran progresif pada saat itu lebih banyak dianut oleh para politisi muda. Di masa ini juga sering terjadi perbedaan sikap antara kelompok konservatif dengan sosialis dalam menanggapi berbagai isu domestik


(1)

4.2 Saran

1. Pemerintah Jepang seharusnya lebih jeli dalam memperhatikan gerak-gerik yakuza supaya tidak mengganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah juga harus lebih teliti dan selektif dalam memilih dan menentukan orang-orang yang akan mengisi posisi di pemerintahan. Pemerintah harus mempelajari dengan seksama latar belakang orang-orang tersebut, apakah terlibat dengan yakuza atau tidak.

2. Dalam mengambil keputusan, pemerintah harus lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan perorangan yang berkuasa. Masyarakat pasti lebih tahu apa yang lebih penting bagi mereka. Selain itu, pengawasan terhadap yakuza harus lebih ditingkatkan. Sekecil apapun kejahatan yang dilakukan, pemerintah harus menindak yakuza dengan tegas.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu.

Arif, Indra Sulaiman. 2008. Perkembangan Yakuza di Jepang. (Skripsi Sarjana). Medan : FIB USU.

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarta : Sinar Harapan.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Curtis, Gerarld L. 1988. The Japanese Way Of Politics. New York : Columbia University Press.

Danandjaya, James. 1997. Folklor Jepang. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta : PT Gramedia. Hill, Peter B.E. 2003. The Japanese Mafia : Yakuza, Law and State. New York :

Oxford University Press.

Irsan, Abdul. 2005. Jepang : Politik Domestik, Global, & Regional. Makassar : Hasanuddin University Press.

Ishii, Ryosuke. 1989. Sejarah Institusi Politik Jepang. Jakarta : PT Gramedia. Kaplan, David E and Alec Dubro. 2011. Yakuza : Sejarah Dunia Hitam Jepang.

Jakarta: Komunitas Bambu.

Koentjaraningrat. 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


(3)

Lebra, Takie Sugiyama. 1976. Japanese Patterns of Behavior. Honolulu : University of Hawaii Press.

Najita, Tetsuo. 1974. Japan : The Intellectual Foundations of Modern Japanese Politics. Chicago : The University of Chicago Press

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.

Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nur, Intan Puspita. 2012. Organisasi dan Perkembangan Bisnis Yakuza (Skripsi Sarjana). Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1 (Edisi Revisi). Medan : USU Press.

Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra. Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Suradjaja, I Ketut. 1984. Pergerakan Demokrasi Jepang. Jakarta : PT. Karya Unipress.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV Rajawali.

The International Society for Educational Information, Inc. 1989. Jepang Dewasa Ini. Tokyo : The International Society for Educational Information, Inc. Winardi. 2003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada.


(4)

http://kajian-jepang.blogspot.com/2012/05/sejarah-jepang-11-masa-pendudukan.html. Diakses tanggal 1 Maret 2013.

http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-politik- menurut-para-ahli.html. Diakses tanggal 1 Maret 2013

http://yasuitori.wordpress.com/2012/08/26/ormas-radikal-a- la-jepang/. Diakses tanggal 1 Maret 2013

http://www.tuanguru.com/2012/01/politik-jepang-setelah- gagal-di-cina.html. Diakses tanggal 1 Maret 2013


(5)

要 旨

第 次世界大戦後 日本政治 やく 影響

やく 江戸時代 初 現 い 犯罪 組織 あ 最初

やく 社会 く邪魔 い 浪人 団体 あ やく

中 グル-プ あ す わ 博徒 的屋 あ やく

整理 あ 組織 構成 身元 型 持 す わ 入 墨

指津 あ やく 他 犯罪 組織 違い 組織 対 高い忠誠

あ やく い い 犯罪行為 犯 麻薬や売春や賭博

う 不法 営業 関係 い

日本 政治生活 進歩す 国 常 発展す あ 第 次

世界大戦後 日本政治 連合軍 立 政策や連合軍 占領 終わ あ

政策 基い い 戦後 日本政府 保 的 政治家 支配

く 自由民主党 政治家 あ 党 一九五五年 一九九〇年

初 一番権力 あ 党 あ 党 勢力時代 いく

論争 招い 政策 あ 一 原因 やく 影響 あ

やく 一般的 不法 営業 関係 あ 犯罪 組織 やく

日本政治 間 関係 あ 実際 立証 関係 右翼政治


(6)

あ やく 右翼団体 日本政界 影響 い く協

力 い やく 援助 政界 入 右翼 人々 く い .

やく 自由民主党 結成 巻 込ま 児玉譽士夫 いう名

やく 全指導員 あ 指導員 自由民主党 結成過程 多く

金 上 そ い い自由民主党 一番権力 あ 党 児玉氏

そ 党 成業す 能力 伝手 児玉氏 関係

あ 政治家 政府 大切 地位 上 そ 結果 政府 いく

立 政策 無理 印象 児玉氏 政府 大切 政治家 巻

込 い 贈賄 件 汚職 中 巻 込ま

自由民主党 政党運動 やく 治 警備員 く利用

い そ 上 示威運動 解散す やく 政府 く募集

い 労働者 ストライキ 解散す 大 い会社 やく

く利用 い そ やく 大 い影響 政治 日本