BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI 2.1 Komik - Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI

2.1 Komik

  Komik atau dalam bahasa Jepang disebut manga adalah salah satu bentuk karya sastra yang terdapat di Jepang.

  “Manga are comics created in Japan, or by Japanese creators in the Japanese language, conforming to a style developed in Japan in the late 19th century” (en.wikipedia.org/wiki/Manga).

  Artinya : “Manga adalah komik yang diciptakan di Jepang, atau ditulis oleh orang Jepang dalam bahasa Jepang, sesuai dengan gaya yang dikembangkan di Jepang pada akhir abad 19.” Istilah manga ditulis dengan kanji (漫画), dalam hiragana (まんが), dalam katakana (マンガ) adalah kata dalam bahasa Jepang untuk komik dan kartun.

  Manga adalah istilah untuk komik yang diciptakan oleh orang Jepang.

  Di Jepang, manga dibaca oleh berbagai usia. Cerita manga juga bermacam-macam seperti petualangan, percintaan, olahraga dan permainan, drama sejarah, komedi, fiksi ilmiah dan fantasi, misteri, detektif dan horor.

  Manga mengalami sejarah panjang dalam perkembangannya. Agama

  Buddha masuk sekitar abad VI-VII ke Jepang dan mengawali sejarah manga. Para pendeta Buddha membuat lukisan gulung yang menggambarkan banyak kisah. Lukisan gulung ini menggunakan banyak simbol untuk menandai perubahan waktu, misalnya sakura berbunga, daun mapel atau simbol-simbol lain yang biasanya dimengerti orang Jepang. Simbol-simbol itu kemudian tersusun dan membentuk sebuah cerita. Hokusai Katsushika (1760-1849), adalah seorang seniman yang telah menerbitkan 15 volume gambar-gambarnya dan merupakan orang pertama yang menciptakan kata manga di Jepang.

  Manga berkembang di Jepang secara perlahan-lahan, tetapi perkembangan

manga yang paling menonjol, disaat masuknya armada laut Amerika yang

  dipimpin oleh Komodor Perry (1853) dan membawa pengaruh Barat ke budaya Jepang dan membuat sebuah terobosan dalam manga oleh Ozama Tezuka (1928- 1989). Ozama mendapat gelar “The God of Manga” dan membawa inspirasi kepada manga modern.

  Manga memang pada awalnya diperuntukkan bagi anak-anak. Namun,

  pada pertengahan 1950-an, Yoshihiro Tatsumi yang merupakan seorang penulis komik pemula dan berguru kepada Ozama Tezuka, ingin menulis cerita yang lebih nyata dan merefleksikan kehidupan yang sehari-hari dilihatnya. Sehingga, Yoshihiro Tatsumi membuat aliran baru dalam pembuatan komik yaitu gekiga.

  

Gekiga dalam arti harfiahnya adalah “manga yang dramatis”. Dalam karyanya,

  Yoshihiro Tatsumi menceritakan tentang kehidupan sehari-hari yang dialaminya terutama tentang kehidupan masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II. Tatsumi melihat masyarakat Jepang bekerja keras untuk meningkatkan perekonomian Jepang terutama pada tahun 1970 tetapi perlahan-lahan melupakan diri sendiri dan bersosialisasi dengan orang lain. Dengan aliran baru yang dibuat Tatsumi, ia berhasil merebut pasar manga (Website NUANSA Juli-September 2011).

2.1.1 Setting/latar

  Menurut Abrams dalam fananie (2001: 97), setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya. Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan atau bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian setting akan diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh dengan kodisi masyarakat, situasi sosial dan pandangan masyarakatnya.

  Menurut Sumardjo dalam Fananie (2001:76), setting yang berhasil haruslah terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofisnya.

  Dalam hal ini tentu setting haruslah mampu membentuk tema dan plot tertentu yang dalam dimensinya terkait tempat, waktu, daerah dan orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup, dan cara berpikirnya.

  Menurut Abrams dalam Fananie (2001:99), untuk mengetahui ketepatan

  setting dalam sebuah karya dapat dilihat dari beberapa indikator meliputi :

  1. General locale atau latar tempat/latar peristiwa.

  2. Historical time atau latar waktu/latar sejarah.

  3. Social circumstance atau latar sosial.

  Jika indikator tersebut diterapkan dalam telaah setting sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa dan situasi sosialnya melainkan juga kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak para tokohnya sesuai dengan situasi pada karya sastra tersebut diciptakan.

2.1.2 Penokohan

  Cerita terbentuk karena ada tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh dalam sebuah cerita sangat memegang peranan penting. Tokoh adalah salah satu unsur penggerak cerita yang memiliki watak yang berkembang sesuai dengan tingkat kedewasaan manusia. Jalan cerita dapat diikuti melalui tindak tanduk tokoh cerita (Fananie, 2001: 86). Tokoh tidak hanya berfungsi untuk membentuk sebuah cerita tetapi juga berperan untuk menampilkan ide, motif, plot dan tema. Dengan adanya tokoh, konflik dapat terbentuk baik oleh tokoh antagonis maupun tokoh protagonis.

  Walaupun permunculan karakter tokoh tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa, karakter tokoh dapat diekspresikan dengan bermacam- macam cara seperti menggunakan tampilan fisik atau dengan cara berpikir dan berperilaku si tokoh.

  Melalui penggunaan fisik, pengarang mengungkapkan melalui gambaran fisik tokoh termasuk di dalamnya ciri-ciri khusus. Pengarang menguraikan secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian awal cerita. Tokoh-tokoh cerita dideskripsikan sendiri oleh pengarang yang artinya, pengaranglah yang menganalisis watak tokoh-tokohnya. Sementara dengan cara berpikir dan berperilaku si tokoh, karakter akan dibangun dari cara berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi suatu peristiwa, perjalan karir dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. Biasanya pengarang mencoba menggambarkan tokoh utama melalui dialog antar tokoh dan kemudian membuat satu presentasi state of mind tahap demi tahap yang dihubungkan dengan peristiwa. Watak tokoh diungkapkan pengarang mengalir seirama dengan situasi yang dihadapi para tokoh. Melalui dialog-dialog dikemukakan pengarang, pembaca akan mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas dan pemikiran, watak dan perilaku tokohnya (Fananie, 2001: 90).

2.2 Sosiologi Sastra

  Sastra menyajikan “kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subyektif manusia. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 109).

  Seniman menyampaikan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan “dokumen karena merupakan monumen” (“document because they

  

are monuments” ). Sastra membawa “sifat mewakili zaman” dan “kebenaran

  sosial” dianggap sebagai sebab dan hasil kehebatan nilai artistik suatu karya sastra (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 111).

  Hubungan sastra dengan masyarakat yang bersifat deskriptif (bukan normatif) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

2. Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

  3. Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 111). Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dengan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial, namun sastra hanya berkaitan secara tidak langsung dengan situasi ekonomi, politik dan sosial yang kongkret (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 126).

  Kebenaran sosial mendukung kompleksitas dan koherensi karya sastra, sehingga menaikkan nilai artistik dari karya sastra tersebut, namun sastra yang bersifat sosial hanya merupakan satu ragam sastra dari banyak ragam lainnya. Sifat sosial bukan merupakan inti teori sastra, kecuali bila hanya beranggapan bahwa sastra pada dasarnya adalah “tiruan” hidup dan kehidupan sosial. Tetapi, sastra jelas bukan pengganti sosiologi atau politik, karena sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 132).

  Ian Watt dalam Damono (1984: 3) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra:

  1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

  3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat hibur dan pendidikan terhadap masyarakat pembaca.

  Ian Watt dalam Damono (1984: 4) mengatakan sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Pengertian “cerminan” di sini sangat kabur dan oleh karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang terutama mendapat perhatian adalah, sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta- fakta sosial dalam karyanya, genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhatikan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.

2.3 Kehidupan Pekerja Jepang Pasca Perang Dunia II

2.3.1 Keadaan Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II

  Pada akhir Perang Dunia II ekonomi Jepang hancur luluh. Jepang dihadapkan dengan kelaparan karena sektor pertanian hampir hancur, kebanyakan kembali bermigrasi ke daerah pedesaan dan mengerjakan apa saja agar menghasilkan beberapa sen untuk membeli semangkuk nasi.

  Namun, kekalahan pada Perang Dunia II bagaikan “pembukaan kedua” bagi Jepang setelah seabad lalu Jepang meningkatkan kekayaan bangsa dan memperkuat angkatan bersenjatanya untuk mengejar bangsa-bangsa Barat yang semakin cepat maju. Setelah menolak adanya kekuatan militer, Jepang memusatkan perhatiannya khusus hanya pada usaha menambah kekayaan dengan secepat-cepatnya. Dibandingkan dengan pembesaran angkatan bersenjata sebelum perang, maka anggaran belanja militer kecil sehingga, investasi negara dianjurkan untuk mengembangkan basis produksi dan perlahan-lahan perekonomian Jepang tumbuh.

  Edwin O. Reischauer (1981: 270), mengatakan bahwa Jepang memusatkan perhatian kepada perkembangan ekonomi setelah kalah perang dan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan.

  “Once the change in occupation policies and the outbreak of the

  Korean war in 1950 had started the economy rolling it continued to pick up speed, and in the mid-fifties it raced past the prewar peak levels established two decades earlier and maintained for the next decade and half an average rate of growth of close to 10 % percent a year in real terms-that is, after discounting inflation. This was a speed of economic expansion no major country had ever approached before.”

  Artinya : “Di saat terjadinya politik okupasi dan pecahnya perang Korea di tahun 1950, menjadi awal perputaran ekonomi yang melaju pesat dan pada pertengahan tahun 50-an, perekonomian melampaui peringkat puncak dari perekonomian sebelum Perang Dunia II yang tidak dapat dicapai dua dekade sebelumnya dan akan bertahan hingga dua dekade berikutnya yang setengah dari peringkat rata-rata dari pertumbuhan ekonomi mendekati 10% setiap tahunnya setelah pemotongan inflasi. Hal ini adalah sebuah perkembangan pesat ekonomi yang belum pernah dihadapi oleh negara non adikuasa sebelumnya.” Kesempatan besar bagi Jepang diperoleh ketika pecah perang Korea pada tahun 1950. Untuk kegiatan perang ini, Amerika Serikat memerlukan Jepang untuk menyediakan perlengkapan militer karena tidak dapat dilayani sepenuhnya oleh industri Amerika sendiri. Keadaan ini juga menimbulkan permintaan dari banyak negara di dunia yang dimanfaatkan oleh Jepang.

  Setelah perang Korea berakhir, perekonomian Jepang mengalami stagnasi dan ekspor menjadi berkurang. Kemudian Jepang mengadakan perubahan dari suatu rekonstruksi kuantitatif menjadi perubahan teknologi yang berlangsung dari 1950 hingga awal 1960. Pada masa ini, industri-industri dasar berfungsi sebagai penentu untuk modernisasi peralatan. Perluasan dari pasaran domestik memungkinkan penggunaan peralatan baru dan pendirian industri baru, kemajuan pesat dalam pemakaian teknologi dari luar mempengaruhi perluasan ekspor, perbaikan teknik dalam industri yang memungkinkan pengurangan impor.

  Pemerintah juga berperan penting dalam modernisasi perlatan berupa pemberian petunjuk mengenai modernisasi industri dasar.

  Setelah Perang Dunia II, industri Jepang tidak hanya menghasilkan barang-barang dalam jumlah besar, tetapi juga semakin tinggi kualitasnya. Sejak tahun 1960-an, barang-barang optik Jepang merebut pasaran dunia termasuk di Jerman yang sebelumnya adalah negara produksi utama. Selain itu, ada juga barang elektronik, sepeda motor, arloji bahkan kapal laut.

  Dalam kurun waktu yang biasanya disebut pertumbuhan tinggi/pesat, PNB Jepang tumbuh dengan rerata 10% setahun dan dalam tahun 1968 menyusul Republik Federal Jerman dan menduduki tempat kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Yang mendukung pertumbuhan ini secara ekstern ialah perdagangan dunia yang meningkat 3 kali lipat dalam masa 1955-1970 (rerata pertumbuhan

  7,6% setahun) dan juga faktor domestik seperti kenaikan 22% dalam investasi pabrik dan peralatan dari tahun 1951 sampai 1973 yang mendorong kebutuhan domestik dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan yang pesat (Nakamura Takafusa, 1985: 82).

  Yang mendasari pertumbuhan pesat adalah stabilitas hubungan manajemen-karyawan yang berbeda dengan Amerika Serikat dan Inggris Raya.

  Dalam dekade pasca Perang Dunia II perusahaan-perusahaan mempunyai tujuan yang sama, sehingga mempererat hubungan manajemen dan karyawan yang didorong pula oleh sistem senioritas dan kesempatan bekerja seumur hidup yang sudah ada.

  Menurut standar internasional, perusahaan pemerintah modern Jepang yang sangat besar merupakan suatu lembaga yang sangat sukses. Perusahaan itu berhasil bukan karena suatu kesetiaan mistis kelompok yang terkandung dalam watak bangsa Jepang. Tetapi, karena rasa ikut memiliki dan rasa bangga pekerja, yang percaya bahwa hari depan mereka diurus dengan baik oleh perusahaan. Kebanggaan dan kemantapan yang dimiliki orang Jepang karena rasa persaudaraan dalam sebuah perusahaan besar membantu menstabilkan proses politik dan memberikan kesabaran pada masyarakat luas.

  Perdana Mentri Ikeda Hayato sadar akan pentingnya pertumbuhan ekonomi dan mengejarnya melalui rencana yang menganjurkan standar hidup nasional yang lebih tinggi dan kesempatan bekerja penuh melalui pertumbuhan mantap yang maksimal. Rencana ini sebenarnya tidak tepat sasaran sebagai kebijakan untuk mencapai pertumbuhan pesat, tetapi penting bagi dampak psikologis positif yang luas bukan saja bagi masyarakat dunia usaha tetapi juga bagi penduduk pada umumnya. Contoh pengaruh ini adalah kenaikan tinggi dalam investasi pabrik dan peralatan dalam tahun 1961, yang mengakibatkan ledakan ekonomi yang belum pernah terjadi setelah investasi-investasi besar-besaran dalam tahun 1960 dan juga kenaikan upah (13,8%) yang tinggi yang diperoleh dalam ofensif buruh musim semi dalam tahun 1961. Pertumbuhan yang luar biasa itu meningkatkan Jepang dari peringkat keenam/ketujuh dalam GNP yang berarti setingkat dengan Italia, ke peringkat ketiga sesudah Amerika Serikat dan Uni- Soviet-hanya dalam waktu 10 tahun (Tadashi Fukutake, 1988: 31).

  Namun, pemerintahan Jepang bukanlah suatu pemerintahan demi rakyat. Pertumbuhan ekonomi dinyatakan sebagai sasaran utama, kebutuhan modal didahulukan dengan mengalahkan kesejahteraan rakyat dan kesejahteraan sosial.

  Dengan kata lain, pemerintah berusaha untuk meningkatkan GNP terlebih dahulu dan sebelum hal tersebut terlaksana, sebagian besar rakyat yang termasuk kelas bawah harus menanggung kemiskinan.

2.3.2 Kehidupan Sosial Pekerja Pasca Perang Dunia II

  Sepintas, kemakmuran Jepang disaat pertumbuhan ekonomi pesat setelah Perang Dunia II, tampak semakin mencolok. Tetapi, masalah-masalah kemiskinan sosial juga bermunculan. Penyakit-penyakit sosial masyarakat Jepang menggambarkan apa yang disebut struktur ganda ekonomi dan sistem keamanan sosial yang terbelakang. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan nasional yang paling penting dengan mengesampingkan semua pertimbangan lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut memacu industrialisasi menjadi semakin cepat lagi dan mengakibatkan perkembangan kota-kota besar secara tidak seimbang dan tidak terencana. Kepincangan-kepincangan dalam kehidupan di kota besar seperti Tokyo dibiarkan berlarut-larut dan oleh sebab itu industrialisasi serta urbanisasi maju dengan cara yang tidak terkendali (Tadashi Fukutake, 1988: 84).

  Penghapusan golongan samurai adalah salah satu kebijakan dari Meiji Tenno yang diteruskan sampai selesai Perang Dunia II yang menciptakan saluran- saluran baru untuk mobilitas sosial dan dengan demikian menciptakan sarana yang diperlukan untuk pengembangan industri modern, tetapi tetap mempertahankan status tradisional. Buyarnya sistem kelas feodal ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat untuk menaiki tangga sosial. Stratifikasi sosial terbuka terbukti menilai sangat penting dan mendorong terjadinya perkembangan ekonomi.

  Kelas atas yang berkuasa sebelum perang secara garis besar terdiri dari golongan kapitalis kaya, para pemilik tanah luas, politikus-politikus dan pejabat- pejabat tinggi. Kedudukan mereka kokoh karena didukung oleh sistem kekaisaran. Yang erat berkaitan dengan kelompok atas ini adalah pengusaha-pengusaha menengah dan kecil sebagai pemilik pabrik-pabrik kecil dan toko-toko besar. Para pemilik tanah berukuran menengah dan kecil merupakan kelas menengah kecil yang berada tepat di atas kelas petani, pekerja, pedagang-pedagang kecil, dan golongan pengrajin. Kelas menengah baru yang berupa karyawan pemerintah, pegawai dalam perusahaan-perusahaan besar, guru-guru dan para pekerja profesional lainnya jumlahnya lebih kecil daripada kelas menegah lama tetapi tetap menjadi satu keseluruhan struktur kelas pelapisan sosial. Sesungguhnya kelas menengah baru itu memainkan peranan perantara diantara kelas yang berkuasa dengan menengah lama (Tadashi Fukutake, 1988: 32).

Tabel 3.1 Struktur Kelas (%) 1950 1955 1960 1965 1970 1975

  • Kapitalis

  1.9

  2.0

  2.7

  3.6

  5.0

  5.9 Orang-orang yang melayani keamanan

  0.9

  1.1

  1.1

  1.2

  1.2 1.4 -

  • Bekerja pada perusahaaan milik sendiri

  58.9

  53.2

  45.7

  38.3

  34.8

  29.4 Pertanian, Perhutanan dan Perikanan

  44.6

  37.7

  30.6

  23.0

  18.1

  12.7 Pertambangan, Pabrik-pabrik angkutan

  6.2

  6.2

  6.2

  6.2

  7.3

  6.8 dan perhubungan Penjualan

  6.2

  7.0

  6.2

  5.9

  5.5

  5.2 Karyawan/jasa

  0.9

  1.5

  1.6

  1.9

  2.3

  2.6 Profesional dan ahli teknik

  1.0

  0.9

  1.0

  1.2

  1.6

  2.1

  • Golongan pekerja

  38.2

  43.6

  50.5

  56.9

  59.0

  63.3 Pegawai bergaji

  11.9

  12.5

  14.2

  17.0

  18.3

  21.3 Pekerja produktif

  20.0

  22.4

  27.8

  29.2

  29.3

  28.2 Pekerja nonproduktif

  4.3

  6.8

  7.8

  9.3

  10.1

  11.5

  • Tidak dipekerjakan

  2.0

  1.9

  0.7

  1.4

  1.3

  2.3 Sumber : Fukutake, hlm. 33

  Tabel disusun berdasarkan beberapa sensus yang menunjukkan bahwa kelas orang gajian, terutama pegawai berjumlah 10% lebih sedikit. Susunan kelas seperti ini tentu saja disebabkan oleh adanya fakta bahwa jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian masih besar bila pekerja-pekerja dalam keluarga ikut dihitung, jumlah mereka mencapai 45% dari seluruh penduduk. Tetapi, perubahan-perubahan yang terjadi kemudian mengakibatkan penurunan yang terus-menerus dalam proporsi orang-orang yang bekerja di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan. Ini disertai oleh menurunnya proporsi pengusaha perorangan yang mandiri dari 60% pada tahun 1950 menjadi kurang dari 30% pada tahun 1970, sedangkan “kelas pekerja” meningkat dari hanya di bawah 40% menjadi lebih 60%. Sementara kelas orang gajian hampir menjadi dua kali lipat, dari hanya 10% lebih sedikit menjadi hampir 20%, pekerja produktif meningkat dari 20% menjadi 30% dan mereka yang bekerja di bidang industri perdagangan dan pelayanan serta para pekerja yang tidak produktif pada umumnya menjadi hampir tiga kali lipat.

  Struktur kelas yang ditunjukkan oleh tabel, menampilkan adanya beberapa gelintir kapitalis di tempat teratas disusul oleh kelas menengah lama yang terdiri dari para pengusaha mandiri terutama petani (10% lebih sedikit dari jumlah keseluruhan) dan pemilik toko serta pekerja industri pelayanan (kurang dari 10%).

  Kelas menengah baru yang terdiri dari kelas orang gajian (sekitar 20%) dan sejumlah kecil ahli teknik spesialis dan akhirnya kelas pekerja (sekitar 40%) (Tadashi Fukutake, 1988: 32-33). Golongan menengah baru berkembang dan mencakup banyak penduduk dan semakin banyak buruh bekerja dalam pabrik- pabrik, maka baik pegawai maupun buruh kasar muncul sebagai massa yang terlepas dari komunitas-komunitas tradisional. Seperti yang diutarakan oleh Soerjono Soekanto (1983: 70), salah satu akibat lain dari proses industrialisasi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru di dalam masyarakat sehingga, stratifikasi sosial pun berubah. Bertambahnya penduduk di wilayah perkotaan menumbuhkan suatu kelas pekerja yang baru yang sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan maupun prestise tertentu.

  Lapisan atas dan lapisan bawah kelas pekerja tidak dapat begitu saja disatukan sebagai “pekerja”. Perbedaan antara golongan menengah baru yang berupa pegawai-pegawai dengan kelas pekerja yang menggunakan tenaga fisiknya telah semakin menipis karena status pegawai semakin menurun dan gaji bagi kelas pekerja semakin meningkat. Tetapi, masih terdapat kesenjangan antara mereka bahkan, diantara kelompok tenaga kerja fisik pun, tingkatan gaji mereka di perusahaan-perusahaan gabungan besar dan mereka yang bekerja pada perusahaan-perusahaan menengah dan kecil telah semakin mendekat menuju kesamaan, tetapi keduanya masih dianggap sebagai kelompok-kelompok yang berlainan.

  Produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi nampaknya menyebabkan berkurangnya peningkatan relatif pekerja-pekerja produktif. Tetapi, pekerja non produktif yang bekerja di bidang penjualan dan pelayanan dengan cepat meningkat jumlahnya. Mereka juga “pekerja”, tetapi mereka tidak dapat dimasukkan di dalam kelas yang sama seperti tenaga kerja produktif. Kelompok ketiga adalah pegawai-pegawai pelayanan umum. Mereka secara relatif merupakan kelompok besar, tetapi juga tidak dapat disamakan dengan dua golongan yang lain.

  Menurut Fukutake (1988: 36), golongan yang paling kurang beruntung adalah para pekerja pada perusahaan-perusahaan kecil, pekerja yang tidak dipekerjakan, orang-orang setengah umur dan lanjut usia yang kembali lagi masuk menjadi pekerja. Mereka merupakan lapisan terendah dalam masyarakat. Mereka mencakup 2,4% dari seluruh rumah tangga (masih 12 orang diantara 1000) yang hidup dengan bantuan pemerintah atau berada dalam lapisan ambang yang mungkin sewaktu-waktu jatuh. Penduduk yang termasuk kelas-kelas ini merupakan golongan terbawah diantara kelas.

  Para pemimpin Jepang sesudah Perang Dunia II memusatkan perhatian kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pada upah dan konsumsi dan selanjutnya pada pembiayaan untuk kesejahteraan. Menjelang tahun 1973 hanya 20% dari pembiayaan umum di Jepang diperuntukkan bagi tunjangan-tunjangan sosial. Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya setelah pertumbuhan ekonomi pesat, Jepang masih berdiri di tengah-tengah antara negara-negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek keduanya (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982: 89). Inilah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar dalam suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi (meskipun upah nominal terus-menerus naik) atau malah tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial yang rendah yang timbul dari sikap belum dewasa. Berbagai macam alat listrik yang berjejal di dalam ruang-ruang tempat tinggal yang sempit, televisi yang jumlahnya hanya diungguli oleh Amerika, merupakan ciri Jepang modern.

  Menurut Buku Tahunan Statistik Tenaga Kerja keluaran Internasional

  

Labor Organization (tahun 1977), waktu kerja Jepang dalam seminggu adalah

  40,2 jam. Jika orang menghitung sepenuhnya waktu lembur yang tidak dilaporkan, maka pekerja Jepang biasa bekerja rata-rata tiga atau empat jam lebih banyak seminggunya. Akan tetapi, meskipun demikian minggu kerja totalnya masih dalam deretan negara-negara Eropa Barat. Kerajinan orang Jepang melampaui jam kerja buruh negara industri lainnya. Pada tahun 1978, jam kerja buruh Jepang rata-rata adalah 2146 jam (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982 :89).

  Asuransi sosial di Jepang memiliki sejarah yang sangat pendek. Asuransi merupakan suatu sistem yang diharapkan dapat memberikan penghasilan yang terjamin untuk mengimbangi hilangnya penghasilan yang disebabkan oleh usia lanjut, ketidakmampuan bekerja, kecelakaan di tempat kerja, penyakit akibat tugasnya, pengangguran dan juga untuk membayar biaya-biaya perawatan kesehatan bila orang mengalami cedera atau jatuh sakit. Tetapi, di negara Jepang terdapat kerangka simpang siur yang mengurus asuransi tunjangan kesejahteraan, tunjangan nasional, asuransi kesehatan nasional, asuransi pengangguran, asuransi ganti rugi kecelakaan pekerja, asuransi pelaut dan segala macam himpunan keuntungan timbal-balik (milik para karyawan negara tingkat pusat dan daerah, karyawan perusahaan-perusahaan pemerintah, guru-guru sekolah swasta, karyawan organisasi pertanian, kehutanan dan perikanan). Semuanya didirikan pada waktu yang berlainan dan berbeda-beda sifat dan pelayanan yang mereka lakukan. Tetapi, sistem tunjangan di Jepang secara keseluruhan baru saja dibentuk dan pembagian keuntungan baru dibayarkan mulai tahun 1971. Asuransi itu diawali oleh asuransi tunjangan tahunan pekerja tahun 1942, tetapi didirikan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan pembiayaan militer dan bukan kesejahteraan pekerja. Taraf tunjangan tahunan itu sangat rendah, tetapi dalam pemilihan tahun 1972 sistem tunjangan tahunan itu menjadi inti perdebatan. Dengan peninjauan kembali undang-undang perpajakan tahun 1973, taraf tunjangan tahunan itu dinaikkan dan dilaksanakan sistem tunjangan tahunan menurut indeks. Hasilnya sekarang, tunjangan tahunan kesejahteraan itu adalah sekitar 130.000 yen sebulan. Tunjangan tahunan nasional yang pada permulaan besarnya adalah 2000 yen sebulan juga telah meningkat menjadi 24.000 yen untuk pasangan suami-istri, setelah pasangan itu membayar saham tunjangan tahunan kesejahteraan selama jangka waktu yang telah ditentukan (Tadashi Fukutake, 1988: 172-173).

  Ditambah lagi, Jepang berkembang terus-menerus dan mendorong tumbuhnya kota semakin banyak dan semakin besar. Di Kota-kota besar padat penduduk seperti Tokyo, harga tanah tinggi karena kebijakan tanah secara resmi kurang memadai. Kota-kota sudah mendekati batas kemampuan menerima pertambahan penduduk. Pada hakikatnya Jepang tetap merupakan masyarakat pedesaan, sebab sistem politik dan ciri dasar kecenderungan politiknya yang dominan masih bersifat pedesaan.

  Kota-kota inti seperti Tokyo semakin berkembang dan menimbulkan kepincangan penduduk tidak hanya pada taraf nasional tetapi juga pada taraf lokal. Akhirnya, beberapa kota yang sangat besar beserta pinggirannya terutama Tokyo sungguh sesak karena terlalu padat penduduknya. Golongan pekerja yang jumlahnya membengkak tinggal secara berjejal-jejalan dalam apartemen- apartemen kecil yang didirikan secara pribadi dan terletak disana-sini di daerah- daerah perkotaan-perkotaan kuno/tersebar dalam kompleks-kompleks apartemen dan daerah-daerah pemukiman baru. Mereka membayar sewa tinggi untuk apartemen-apartemen satu kamar dalam bangunan kayu kecil. Dalam perkembangan Tokyo yang tidak terencana dan teratur, para penghuni bermukim diantara lokasi-lokasi industri dan mereka langsung terkena jelaga yang dihembuskan ke luar dari cerobong-cerobong pabrik. Masyarakat yang tidak mampu membeli tanah atau menyewa apartemen, tinggal di kota yang lebih kecil di dekat Tokyo, tetapi mereka tetap bekerja di Tokyo sehingga menyebabkan Tokyo yang penuh sesak dengan orang-orang pengelaju yang naik kereta api pada jam-jam sibuk.

  Ditambah lagi, karena harga tanah sangat mahal, rakyat perorangan hampir tidak mungkin mampu mendirikan rumah sendiri. Pada tahun 1950 perbandingan penduduk yang memiliki rumah adalah lebih dari 80% dan menurun drastis sampai kurang dari separuhnya menjadi 60%. Proyek perumahaan pemerintah semakin diperlukan, tetapi hanya mencapai tidak lebih dari 45% dari peningkatan tahunan dalam jumlah unit-unit tempat tinggal. Unit tempat tinggal standar dalam proyek perumahan rakyat adalah “2 DK” ruang sempit yang mungkin mendorong terjadinya peralihan menuju keluarga inti. Ruang seluas itu dapat memberikan ruang makan terpisah dari ruang-ruang tidur, tetapi untuk kamar tidur terpisah bagi anak-anak, sementara anak-anak itu semakin lama semakin dewasa.

  Meskipun terjadi peningkatan taraf konsumsi yang dirangsang oleh pertumbuhan ekonomi, orang-orang Jepang tidak memiliki lingkungan hidup yang memadai di tempat yang paling penting bagi mereka secara pribadi seperti rumah tinggal mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 167).

  Masyarakat Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya pada pertumbuhan pesat ekonomi juga membuat masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif.

  Dengan didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan didorong oleh TV serta pertunjukan-pertunjukan iklan-iklan di media massa, tingkat konsumsi terus- menerus didorong untuk meningkat. Banyak orang yang terdorong membeli mobil untuk digunakan pada waktu senggang dalam liburan padahal sesungguhnya, mereka terpaksa tinggal dalam ruang-ruang sempit yang penuh sesak seperti dalam perumahan rakyat. Meskipun Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang besar, namun masyarakat sulit untuk menabung untuk dapat berpindah dari perumahan rakyat ke rumah milik sendiri. Demikianlah rakyat lalu membeli mobil dan pergi bertamasya pada masa-masa libur untuk melupakan frustasi mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 12). Ekonomi yang sangat maju dan konsumsi massa menyebabkan perkembangan penuh masyarakat massa. Pegawai dan buruh kasar meningkat sangat besar bersamaan dengan penurunan jumlah pengusaha mandiri dan pekerja keluarga. Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan antara pegawai dengan buruh kasar telah berkurang semenjak perang. Kedua golongan itu tidak ada yang memiliki harapan untuk memperoleh jaminan sosial jangka panjang, tetapi keduanya mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai konsumsi besar- besaran dalam masyarakat industri maju.

  Ekonomi Jepang yang tumbuh pesat itu telah sangat mengubah pola-pola konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum perang, orang Jepang menganggap berbelanja untuk konsumsi itu sebagai suatu sifat buruk, tetapi hal tersebut menjadi lumrah setelah pertumbuhan ekonomi pesat. Pengeluaran biaya tinggi untuk konsumsi dapat dibenarkan atau bahkan membawa gengsi. Jaminan sosial yang rendah tingkatannya itu mendorong orang-orang Jepang untuk menabung dan hidup sederhana. Tetapi, teknik-teknik pemasaran yang maju telah merangsang kecenderungan orang membelanjakan uang lebih banyak untuk barang-barang konsumsi, suatu kecenderungan yang muncul secara keseluruhan.

  Yang paling mencolok adalah meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi di daerah-daerah pedesaan. Suasana konsumsi massa tingkat tinggi juga sudah menyebar sampai ke desa-desa. Berbagai perubahan dalam pola-pola konsumsi berjalan begitu cepat sehingga menimbulkan kekacauan dalam gaya hidup.

  Misalnya, terdapat penghuni kompleks perumahan umum yang padat (dua kamar dan satu dapur) yang memiliki mobil yang hanya digunakan untuk apartemen yang berupa satu ruang berukuran 6 mat (kira-kira 9’ x 12’) yang penuh sesak dengan perabotan dan perkakas, sehingga hampir tidak ada tempat lagi bagi setiap orang untuk tidur. Jepang menyamai negara-negara terkemuka di dunia dalam hal pemerataan barang-barang konsumsi tahan lama, namun masih tetap terdapat kemiskinan lingkungan material. Meskipun Jepang setelah pertumbuhan ekonomi pesat memiliki sepersepuluh aset residensial Amerika Serikat dan kira-kira sepertiga aset Jerman Barat, namun tidak diragukan lagi bahwa lingkungan hidupnya sangat tidak memadai (Tadashi Fukutake, 1988: 134).

  Menurut Tadashi Fukutake (1988: 12), perpaduan antara perumahan rakyat yang tidak mencukupi dan kepemilikan kendaraan secara pribadi menggambarkan secara jelas keadaan pada umumnya dalam masyarakat Jepang modern. Tidak mungkin orang membangun kebudayaan konsumen yang menjamin adanya rasa aman bagi orang-orang berusia lanjut kalau rata-rata pekerja tidak dapat membeli rumah meskipun menggunakan seluruh penghasilan pensiunannya. Nilai-nilai setelah pertumbuhan ekonomi pesat, telah menjurus tajam menuju maih

  ōmushugi (“rumahku-isme), yang mencukupi suatu keinginan untuk pertama-tama mendahulukan keluarga sendiri dan pemenuhan kebutuhan.

  Penduduk dengan tingkat upah rendah yang mengejar pemenuhan keinginan sesaat, mencari jalan keluar sementara dari kenyataan-kenyataan hidup dengan salah satu bentuk perjudian atau dalam bentuk hiburan-hiburan lainnya.

  Pembaharuan-pembaharuan teknik telah meningkatkan mekanisasi kerja dalam pabrik-pabrik yang besar. Dalam industri berat, mesin-mesin dimasukkan untuk menggeser tenaga kerja, memaksa mereka menyesuaikan gerakan mereka dengan mesin-mesin itu. Kerja tangan telah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Sehingga, buruh mengalami kesulitan mendapat kepuasan di dalam pekerjaannya. Bila seorang buruh berminat terhadap pekerjaannya dan merasakannya sebagai hal yang menyenangkan biasanya hal ini tidak disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri, tetapi karena upah yang diterimanya memuaskan atau karena gengsi yang diperoleh dari pekerjaan itu. Demikianlah, seorang buruh cenderung mengalami masa keterasingan-ditinggalkan (Tadashi Fukutake, 1988: 115).

  Penggunaan komputer dan cepatnya perubahan menuju mesin-mesin otomatis telah memaksa pekerjaan semakin dirasionalisasikan. Menurut salah satu pandangan, penerangan hasil-hasil teknologi maju tampak memerlukan pengetahuan dan latihan tingkat tinggi, dengan demikian mendorong berkembangnya spesialisasi pekerjaan. Tetapi, jumlah ahli-ahli teknik yang benar- benar mengurus pabrik otomatis sangat kecil bila dibandingkan dengan sejumlah besar buruh yang harus tunduk kepada mesin-mesin, melakukan kegiatan penuh yang terus berulang-ulang atau hanya mengawasi kegiatan mesin-mesin.

  Pekerjaan sederhana itu diulangi terus-menerus menurut irama mesin. Kerja hanya menjadi sarana untuk memperoleh upah demi memenuhi kebutuhan hidup. Buruh harus menangani dengan setia giliran proses memproduksi yang disodorkan kepadanya dengan ban berjalan menjadi tidak lebih daripada sebuah roda gigi dalam suatu mesin besar. Buruh yang jumlahnya banyak sekali ini dapat sampai kehilangan kepribadiannya sebagai manusia. Mereka tidak mempunyai harapan untuk dapat memelihara identitas mereka sebagai manusia di tempat-tempat kerja mereka. Kerja tangan sudah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Saat bekerja, buruh dipaksa untuk tidak memalingkan pandangannya dari jarum-jarum pengukur barang walaupun sebentar yang membuat mereka terasing dari hubungan-hubungan manusiawi yang wajar. Buruh lebih mengalami kelelahan mental daripada fisik (Tadashi Fukutake, 1988: 116).

  Buruh seperti itu harus mencari kesegaran di luar pekerjaannya. Sehingga, sering kali buruh mencoba menemukan kembali identitas pribadinya dengan bersenang-senang atau berjudi. Jam kerja pabrik-pabrik di Jepang masih lebih panjang daripada jam kerja di negeri-negeri maju lainnya, meskipun pada awal tahun 1979 jam kerja itu telah diturunkan menjadi 41,1 jam yang berarti berkurang 7 jam di rata-rata jam kerja tahun 1960 yang lamanya adalah 48,1 jam.

  Kerja 5 hari seminggu mulai dilaksanakan kira-kira tahun 1970 dan memberikan dua hari libur penuh setiap minggu. Perbaikan persyaratan kerja akan membebaskan buruh sampai taraf tertentu dari keterasingan yang dideritanya sementara ia bekerja. Tetapi, tidak ada perbaikan-perbaikan untuk lebih mendekatkan buruh kepada naungan keluarga mereka tetapi kebijakan pemerintah hanya menyediakan kesempatan-kesempatan untuk menebus kembali frustasi yang ditimbulkan oleh suasana kerja dengan hiburan-hiburan di waktu senggang saja, sehingga masalah identitas pribadi disaat bekerja itu tidak terpecahkan.

  Menurut survei yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja pada tahun 1974, dengan mempertimbangkan rata-ratanya secara keseluruhan, buruh merasakan bahwa kehidupan ini paling berharga pada saat mereka sedang mencurahkan perhatian kepada pekerjaan mereka dan pada saat mereka memperoleh pengakuan dari orang lain karena pekerjaannya itu (Tadashi Fukutake, 1988: 120).

Tabel 3.2 Perubahan Sikap terhadap Pekerjaan (%) 1962 1970

  Karena pekerjaan adalah tugas manusia, maka saya bekerja

  16.2

  11.0 sebanyak waktu yang tersedia Pekerjaan adalah suatu kesenangan

  9.6

  8.3 Bekerja adalah bekerja; bermain adalah bermain

  41.2

  39.6 Bekerja adalah sarana untuk mencari nafkah

  6.7

  4.6 Saya senang bekerja, tetapi rekreasi juga penting

  21.6

  28.6 Saya mau melakukan yang saya inginkan dan bilamana saya

  1.6

  4.4 inginkan Tidak ada kesimpulan atau tanpa jawaban

  3.2

  3.6 Sumber: Fukutake, hlm. 119

  Dari tabel tersebut dapat dianalisis bahwa terlihat penurunan yang menonjol dalam jumlah orang-orang yang menganggap pekerjaan itu sebagai suatu kewajiban dan peningkatan orang-orang yang berpendapat pentingnya rekreasi. Tambahan pula meskipun persentase orang-orang yang ingin melakukan apa yang mereka kehendaki bila mereka menghendakinya adalah masih sedikit jumlahnya, namun jumlah mereka yang mementingkan sikap seperti itu meningkat cukup banyak. Hasil-hasil survei kemudian oleh Pusat Riset tersebut tidak ditunjukkan dalam tabel karena pertanyaannya sendiri telah berubah, tetapi hasil survei tahun 1976 dapat diringkaskan seperti berikut: tujuh persen dari responden menganggap pekerjaan mereka sebagai sesuatu yang menjamin kehidupan, mereka yang menikmati kehidupan santai tetapi lebih menekankan pentingnya bekerja berjumlah 43%, mereka yang mementingkan baik kehidupan santai maupun pekerjaan adalah 30%, mereka yang lebih berminat pada kehidupan santai daripada bekerja berjumlah 11% dan mereka yang menumpahkan perhatiannya hanya untuk kehidupan santai berjumlah 4%. Dalam survei tahun 1975 oleh Kantor Perdana Menteri, 46% dari responden mengatakan bahwa mereka merasakan pemenuhan diri (a sense of fulfillment) bila berada bersama keluarganya. Angka ini jauh melebihi jumlah mereka yang merasa menghayati pemenuhan diri sebesar-besarnya bila mereka sedang mencurahkan perhatian mereka pada pekerjaannya yaitu 33% (Tadashi Fukutake, 1988: 119- 120).

2.3.3 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat

  Pada saat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu antara tahun 1950-1980, Jepang sebenarnya masih berdiri ditengah-tengah antara negara- negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek-aspek dari keduanya. Jepang adalah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar pada suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi dan tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial sangat rendah.

  Kerangka sosial tradisional masyarakat semakin lemah disertai dengan berhamburnya penduduk meninggalkan tempatnya. Masyarakat kapitalis yang didasarkan pada produksi massa dengan menggunakan mesin-mesin membawa manusia ke dalam proses pembagian kerja yang semakin khusus dan membuat seseorang kehilangan kesadarannya sebagai seorang pribadi. Hubungan sosial impersonal dalam masyarakat yang mekanis itu membuat rasa terasing dan kesepian bagaikan bagian suatu massa manusia tanpa nama yang telah kehilangan semua keakraban dan rasa aman. Kecenderungan itu tercermin dari sebagian kelas pegawai sebelum perang. Tetapi, pada umumnya dahulu hubungan-hubungan keluarga dan kesadaran sebagai anggota dalam komunitas lokal mampu mengendalikan kecenderungan itu. Tetapi sekarang, ikatan-ikatan keluarga telah menjadi lemah dan struktur komunitas runtuh.

  Hubungan pribadi yang dialami oleh orang di desa tidak dapat dijumpai di dalam masyarakat yang sudah mengalami rasionalisasi secara menyeluruh. Oleh sebab itu, hubungan-hubungan dengan orang lain bersifat impersonal yang ditandai oleh tidak adanya keakraban dan ada perasaan terasing. Masyarakat seringkali merasa hanya menjadi atom-atom dalam suatu mesin sosial raksasa atau orang-orang mengalami perasaan tidak berdaya. Meskipun setiap individu dalam masyarakat massa ini juga terlepas dari masyarakat komunal kecil, namun tidak ada ikatan yang mempersatukan mereka bersama-sama karena semuanya mempunyai asal-usul pekerjaan dan kelas sosial yang berlain-lainan juga latar belakang pendidikan dan asuhan juga berbeda-beda. Karena tidak ada komunitas yang dapat meringankan perasaan keterasingan dan suasana tidak berdaya dan tidak ada pula tradisi atau kebiasaan bersama, maka mereka hidup dalam suasana anomi. Hiruk-pikuk dan kemacetan kota-kota besar itu adalah tambahan yang penting bahkan sering disambut baik bagi kehidupan orang-orang tersebut, tetapi setelah sepenuhnya menerjunkan diri ke dalam kehidupan yang penuh sesak ini, mereka tetap kesepian karena kurangnya hubungan-hubungan manusiawi. Unsur- unsur pembentuk masyarakat massa ini akhirnya berubah menjadi mayoritas yang anonim dan kerumunan tanpa bentuk (Tadashi Fukutake, 1988: 123-124). Di samping kemiskinan dalam arti kata yang konvensional, masyarakat Jepang menjadi terus semakin miskin dalam arti rohani meskipun kaya di bidang material karena, ada sesuatu kekurangan dalam hal mutu hidup mereka. Kebudayaan dikomersialkan, berciri hedonistik dalam mengejar kesenangan. Hiburan massa hanya memberikan pelepasan bagi nafsu seksual dan perjudian yang merupakan pelarian dari kenyataan hidup yang meningkatkan kemiskinan spiritual bahkan diantara orang-orang yang harta kekayaan melimpah, kejahatan mulai meningkat.

  Masyarakat terkonsentrasi di kota besar seperti Tokyo untuk bekerja dan memaksa hidup untuk hidup berdesak-desakan. Pekerjaan hanya membuat orang- orang menjadi roda gerigi dalam mesin sehingga mereka selalu mengalami frustasi. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi pada taraf tertentu dapat menyebabkan meledaknya emosi secara besar-besaran.

  Masyarakat tinggal di apartemen dan daerah pemukiman padat dengan ruang tinggal yang serba sempit. Unit “2DK” (dua kamar dan sebuah dapur kecil) yang sejauh ini dianggap sebagai tempat tinggal standar yang dilengkapi dengan peralatan listrik. Keadaan kota yang padat dan kesibukan bekerja membuat masyarakat tidak menaruh minat sama sekali pada masalah-masalah tetangga mereka. Masyarakat yang tinggal hanya menunggu kesempatan untuk berpindah tempat ke tempat yang lebih baik. Apalagi, ditambah dengan banyaknya orang- orang dari desa atau kota yang lebih kecil bekerja di Tokyo dan menganggap Tokyo hanyalah sebagai tempat untuk bekerja (Tadashi Fukutake, 1988: 48).

2.3.4 Hubungan Pekerja dengan Atasan

  Negara Jepang menganut filosofi kaizen yaitu, filosofi kerja yang diturunkan dari hasil sistem pendidikan dan interaksi sosial budaya Jepang yang mengutamakan keharmonisan dan kegiatan bersama (Bob Widyahartono, 2003: 190). Gagasan fundamental dalam pembentukan kebijakan nasional salah satunya adalah “keterlibatan karyawan dalam organisasi”. Pemimpin melalui kebersamaan ini mampu menciptakan strategi pengembangan sumber daya manusia sesuai kebutuhan strategi yang mereka rumuskan.