Perkembangan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II

(1)

PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG

PASCA PERANG DUNIA II

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O

L

E

H

ROY PUTRA F.L. TOBING

NIM : 082203024

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PASCA PERANG DUNIA II

KERTAS KARYA

Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang studi Bahasa Jepang

Dikerjakan

Oleh

ROY PUTRA F.L TOBING NIM: 082203024

Pembimbing Pembaca

Zulnaidi, S.S, M.Hum Mhd. Pujiono, S.S, M.Hum NIP. 196708072004011001 NIP. 196910112002121001

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Medan, ……… 2012 PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Program Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Ilmu Bidaya Universitas Sumatera Utara Medan,

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang Studi Bahasa Jepang

Pada :

Tanggal :

Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. Nip. 19511013 197603 1 001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Zulnaidi, S.S, M.Hum ( )


(4)

Disetujui oleh :

Program Diploma Sastra Dan Budaya

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi D-III Bahasa Jepang

Ketua Program Studi

Zulnaidi, S.S, M.Hum


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada tuhan yang maha kuasa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

kertas karya ini guna untuk melengkapi syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya

pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul kertas karya ini adalah

“Perkembangan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II”.

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini jauh dari sempurna, baik dari

pengkajian kalimat, penguraian materi dan pembahasan masalah. Tetapi berkat

bimbingan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu terutama kepada :

1. Bapak Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulnaidi, S.S, M.Hum. selaku ketua program studi Diploma III

Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Zulnaidi, S.S, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan

memberikan petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan kertas karya


(6)

4. Bapak Mhd. Pujiono, S.S, M.Hum. selaku dosen pembaca yang telah memberikan nilai yang sangat baik kepada penulis.

5. Kedua orang tua ku tercinta yang telah memberikan segenap cintanya

untuk mendidik dan membesarkanku sampai sekarang ini. Terima kasih

atas doanya selama ini.

6. Seluruh teman-teman dari GMKI Fakultas Ilmu Budaya USU

7. Sahabatku rocky tanakha yang telah banyak membantu dan mendukung.

8. Seluruh teman-teman dari Bahasa Jepang baik dari stambuk ’08,’09,’10

dan ’11.

9. Seluruh teman-teman dari Fakultas Ilmu Budaya USU.

10.Seluruh teman-teman dari Universitas Sumatera Utara.

11.Teman-teman yang selalu menemani penulis selama masa perkuliahan dan

memberikan keceriaan di hari-hari penulis.

Semuga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuan yang

telah diberikan kepada penulis dan penulis memohon maaf apabila ada sesuatu hal

yang terlupakan. Akhirnya penulis berharap semoga kertas karya ini dapat

menambah dan memperluas pengetahuan kita semua. Terima Kasih.

Medan, Juli 2012

( Roy Putra F.L. Tobing ) NIM : 082203024


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI……….iii

BAB I PENDAHULUAN………..1

1.1 Alasan Pemilihan Judul………...1

1.2 Tujuan Penulisan……….3

1.3 Batasan Masalah………..3

1.4 Metode Penulisan………...4

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JEPANG………...5

2.1 Sejarah Jepang………...5

2.2 Jepang pada Masa Feodalisme………...7

BAB III PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PASCA PERANG DUNIA II………14

3.1 Mentalitas Lapar pada Orang Jepang……….14

3.2 Pemakaian Energi Dunia yang Pincang oleh Jepang…….27

3.3 Pergaulan Orang Jepang dalam Perbisnisan Dunia……...32

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………...35

4.1 Kesimpulan……….35

4.2 Saran………...37 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung

Barat Samudera Pasifik, di sebelah Timur Laut Jepang dan bertetangga dengan

Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia. Pulau-pulau paling Utara berada di laut

Okhotsk, dan wilayah paling Selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di laut

Cina Timur, tepatnya di sebelah Selatan Okinawa yang bertetangga dengan

Taiwan.

Sebagai negara maju dibidang ekonomi, Jepang memiliki Produk

Domestik Bruto (PDB) terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat dan masuk

dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan kamampuan berbelanja. Jepang

adalah anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, G8, OECD, dan APEC. Jepang

memiliki kekuatan militer yang memadai lengkap dengan sistem pertahanan

modern seperti AEGIS serta satu armada besar kapal perusak.

Sejarah Jepang sangatlah panjang dan penuh dengan perebutan kekuasaan

antar kaisarnya. Sampai sekarang sistem Pemerintahan Jepang masih dipegang

oleh Kaisar. Jepang menganut sistem negara monarki konstitusional yang sangat

membatasi kekuasaan kaisar Jepang. Sebagai kepala negara seremonial,

kedudukan kaisar Jepang diatur dalam konstitusi sebagai simbol negara dan

pemersatu rakyat. Kekuasaan Pemerintah berada di tangan Perdana Menteri


(9)

berada di tangan rakyat Jepang. Kaisar Jepang bertindak sebagai Kepala Negara

dalam urusan Diplomatik.

Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang

pemimpin yang biasanya dari kaum bangsawan memiliki anak buah yang banyak

yang juga masih dari kalangan bangsawan, tetapi lebih rendah yang disebut vazal.

Setiap vazal wajib membayar upeti ke pemimpinnya. Dan pola hubungan seperti

ini tidak berhenti hanya dua tingkat saja, tetapi setiap vazal juga menjadi

pemimpin bagi vazal-vazal yang lain. Awal mulanya feodalisme di Jepang

ditandai dengan pembagian kekuasaan antara Tennou ( Kaisar ) yang hanya

memegang kekuasaan simbolik semata dan kekuasaan Shogun yang memegang

kekuasaan praktis. Selama hampir 700 tahun feodalisme di Jepang berkembang

sampai ke ranah masyarakat yaitu pembentukan strata masyarakat yang sangat

tegas dan kaku. Membicarakan feodalisme Jepang, sangat erat hubungannya

dengan fasisme. Munculnya fasisme Jepang tidak dapat dipisahkan dari Restorasi

Meiji. Berkat Restorasi Meiji, Jepang berkembang menjadi negara industri yang

kuat. Majunya industri tersebut membawa Jepang menjadi negara imperialis.

Jepang menjadi negara fasis dan menganut Hakko I Chiu. Fasisme di Jepang

dipelopori oleh Perdana Menteri Tanaka, masa pemerintahan Kaisar Hirohito dan

dikembangkan oleh Perdana Menteri Hideki Tojo.

Setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, dan menyadari bahwa


(10)

cukup parah akibat terjadinya penghancuran terhadap dua kota pusat industrinya,

Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh AS, Jepang mulai merayap untuk

membangun negaranya dengan berangkat kembali dari titik nol. Menurut Ishihara

Shintaro, seorang pengarang terkenal dan pernah menjadi anggota Diet

( Parlemen ) dari LDP, unsur paling mendasar dalam proses modernisasi Jepang

pasca kekalahannya dari Perang Dunia II ialah dengan membentuk “mentalitas

lapar” orang Jepang. Kita semua maklum, orang lapar bisa berbuat apa saja untuk

menutupi laparnya, termasuk berbuat yang tidak bermoral. Cita-cita Nasional

yang didasarkan pada aspirasi “lapar” pasti memperlihatkan kesempitan dan

wawasan yang kurang dalam, karena hanya mengejar kepentingan sesaat. Namun

memang benar, dengan mentalitas lapar ini yang kemudian menjadi moralitas

nasional bangsa Jepang diharapkan akan dapat mengejar ketertinggalan bahkan

akhirnya bisa mengungguli bangsa Barat, terutama Amerika Serikat yang pernah

menjadi musuhnya.

Dalam hal pemakaian energi dunia pun, Jepang sudah lama mengalami

keadaan sangat pincang. Negara-negara industri maju (dimana Jepang termasuk di

dalamnya) yang hanya berpenduduk 18 persen dari total penduduk dunia, namun

memakai energi sampai 63 persen dari total energi yang dihasilkan dunia.

Sementara negara-negara yang dulu pernah tergabung dalam blok komunis

dengan penduduk 32 persen dari total penduduk dunia, menggunakan 28 persen

energi dunia. Mari kita lihat bagaimana negara-negara sedang berkembang atau


(11)

penduduk 50 persen dari total penduduk dunia namun hanya menggunakan 9

persen dari energi dunia.

Orang pernah berkunjung ke Jepang dan akan sangat kagum melihat

bahwa negara Jepang sangat baik dan rapi penataannya. Jepang sangat mengetahui

bagaimana menata suatu tempat agar tidak terjadi banjir ataupun polusi dan juga

untuk kualitas makanan yang dikonsumsi penduduknya. Tetapi ini hanya mereka

lakukan untuk kepentingan negara mereka sendiri. Kelihatan sekali sikap orang

Jepang yang hanya memikirkan keuntungan bagi kegiatan usahanya dan

kesejahteraan bagi sesama orang Jepang tanpa peduli apa yang dilakukan banyak


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Alasan Pemilihan Judul

Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung

Barat Samudera Pasifik, di sebelah Timur Laut Jepang dan bertetangga dengan

Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia. Pulau-pulau paling Utara berada di laut

Okhotsk, dan wilayah paling Selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di laut

Cina Timur, tepatnya di sebelah Selatan Okinawa yang bertetangga dengan

Taiwan.

Jepang memiliki empat musim yaitu musim panas ( februari-april ), musim

semi ( mei-juli ), musim gugur ( agustus-oktober ) dan musim dingin (

November-januari ).

Jumlah penduduk Jepang sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah

penduduk Indonesia. Luas tanahnya pun sangat sempit dibandingkan dengan luas

tanah air kita. Tetapi masyarakat Jepang jauh lebih maju dibandingkan dengan

masyarakat Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dengan cepatnya Jepang bangkit


(13)

Tentara Amerika. Dua kota itu adalah Hiroshima dan Nagasaki. Dua kota ini

adalah pusat industri dan perekonomian terpenting di Jepang.

Dengan dijatuhkannya bom atom oleh Amerika Serikat ini telah

mengakhiri politik fasisme militeristik penguasa Jepang ketika itu. Namun

peristiwa kekalahan ini tidak berarti membuat surut semangat para pemimpin

Jepang berikutnya untuk tetap menjadikan negaranya menjadi kekuatan yang

dominan di dunia. Justru dengan kekalahan secara militer ini telah membuka

kesadaran baru bagi pemimpin Jepang untuk memadukan antara kekuatan militer

yang tangguh dengan kemampuan teknologi yang canggih dengan ditopang

kekuatan ekonomi yang bisa menguasai pasar Dunia.

Jepang memang hanya mengalami kehancuran fisik sejak dua kota

industrinya itu luluh lantak dihancurkan oleh bom atom. Tetapi disisi lain sudah

lama Jepang mempelajari spirit modernisasi dari Eropa dan Amerika Serikat.

Modernisasi Jepang telah berlangsung sepanjang kurun waktu pemerintahan Meiji

yang kita kenal dengan Restorasi Meiji. Modernisasi ini ditopang pula oleh akar

budaya yang telah terbentuk sejak zaman Tokugawa.

Sehingga masyarakat Jepang telah memiliki mental yang kuat untuk

bangkit dari keterpurukannya dan hasilnya bisa dilihat bahwa negara Jepang ini

dapat kita lihat dari berbagai sektor misalnya, teknologi, ekonomi, budaya dan

lain-lain. Bangkitnya negara Jepang Pasca Perang Dunia II melalui gurita


(14)

1.2Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan kertas karya ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang sejarah Jepang

2. Untuk mengetahui tentang pembangunan Negara Jepang dilihat dari

perekonomian, teknologi, budaya dan industri di Jepang Pasca Perang

Dunia II

3. Memberikan pelajaran terhadap penulis tentang Jepang Pasca Perang

Dunia II

1.3Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis membahas tentang bagaimana

pembangunan negara Jepang Pasca Perang Dunia II melalui ekonomi Jepang.

Sebelum menjelaskan pembangunan negara Jepang Pasca Perang Dunia II,

perlu menjelaskan juga keadaan negara Jepang sebelum modern atau pada zaman


(15)

1.4Metode Penulisan

Dalam penyusunan kertas karya ini, penulis menggunakan metode

penelitian kepustakaan ( library research ) yakni dengan cara memanfaatkan

sumber-sumber bacaan yang ada yakni sebagai referensi yang berkaitan dengan

pokok permasalahan yang dibahas kemudian dirangkum dan dianalisa serta

dideskripsikan ke dalam kertas karya ini. Selain itu, penulis juga memanfaatkan

informasi teknologi internet sebagai referensi tambahan agar data yang didapatkan

menjadi lebih akurat dan lebih jelas.


(16)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG NEGARA JEPANG

2.1 Sejarah Jepang

Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung

barat Samudera Pasifik, di sebelah Timur Laut Jepang dan bertetangga dengan

Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia. Pulau-pulau paling Utara berada di laut

Okhotsk, dan wilayah paling Selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di laut

Cina Timur, tepatnya di sebelah Selatan Okinawa yang bertetangga dengan

Taiwan.

Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang membuatnya menjadi suatu

kepulauan. Pulau-pulau utama dari Utara ke Selatan adalah Hokkaido, Honshu

( pulau terbesar ), Shikoku dan Kyushu. Sekitar 97 % wilayah daratan Jepang

berada di keempat pulau terbesarnya. Sebagian besar pulau di Jepang

bergunung-gunung dan sebagian diantaranya merupakan bergunung-gunung berapi. Menurut penelitian,

penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang dan berada di peringkat ke-10 negara

berpenduduk terbanyak di dunia.

Sebagai negara maju dibidang ekonomi, Jepang memiliki Produk

Domestik Bruto (PDB) terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat dan masuk

dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan kamampuan berbelanja. Jepang


(17)

memiliki kekuatan militer yang memadai lengkap dengan sistem pertahanan

modern seperti AEGIS serta satu armada besar kapal perusak. Dalam perdagangan

luar negeri, Jepang berada di peringkat-4 negara pengekspor terbesar dan

peringkat ke-6 negara pengimpor terbesar di dunia. Sebagai negara maju,

penduduk Jepang memiliki standar hidup yang tinggi ( peringkat ke-8 dalam

Indeks Pembangunan Manusia ) dan angka harapan hidup tertinggi di dunia

menurut perkiraan PBB. Dalam bidang teknologi, Jepang adalah negara maju di

bidang telekomunikasi, permesinan dan robotika.

Menurut penelitian arkeologi, menunjukkan bahwa Jepang telah dihuni

manusia purba setidaknya 600.000 tahun yang lalu pada masa paleolitik Bawah.

Setelah beberapa zaman es yang terjadi pada masa jutaan tahun yang lalu, Jepang

beberapa kali terhubung dengan daratan Asia melalui jembatan darat ( dengan

Sakhalin di Utara dan kemungkinan Kyushu di Selatan ), sehingga

memungkinkan perpindahan manusia, hewan, dan tanaman ke kepulauan Jepang

dari wilayah yang kini merupakan Republik Rakyat Cina dan Korea. Zaman

Paleolitik Jepang menghasilkan peralatan bebatuan yang telah dipoles yang

pertama di dunia, sekitar tahun 30.000 SM.

Dengan berakhirnya zaman es terakhir dan datangnya periode yang lebih

hangat. Kebudayaan jomon muncul pada sekitar 11.000 SM yang bercirikan gaya

hidup pemburu, pengumpul, semi-setender Mesolitik hingga Neolitik dan Jomon


(18)

Perkembangan selanjutnya Buddhisme di Jepang dan seni ukir rupang

sebagian besar dipengaruhi oleh Buddisme Cina. Walaupun awalnya kedatangan

agama Buddha ditentang penguasa yang menganut Shinto, kalangan yang

berkuasa akhirnya ikut memajukan agama Buddha di Jepang dan menjadi agama

yang populer di Jepang sejak zaman Asuka.

2.2 Jepang dalam Masa Feodalisme

Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang

pemimpin yang biasanya dari kaum bangsawan memiliki anak buah yang banyak

yang juga masih dari kalangan bangsawan, tetapi lebih rendah yang disebut vazal.

Setiap vazal wajib membayar upeti ke pemimpinnya. Dan pola hubungan seperti

ini tidak berhenti hanya dua tingkat saja, tetapi setiap vazal juga menjadi

pemimpin bagi vazal-vazal yang lain.

Awal mulanya feodalisme di Jepang ditandai dengan pembagian

kekuasaan antara Tennou ( Kaisar ) yang hanya memegang kekuasaan simbolik

semata dan kekuasaan Shogun yang memegang kekuasaan praktis. Selama hampir

700 tahun feodalisme di Jepang berkembang sampai ke ranah masyarakat yaitu

pembentukan strata masyarakat yang sangat tegas dan kaku.

Sejak Pemerintahan militer berdiri di Jepang, yaitu pada masa Kamakura,

babak baru sejarah Jepang yang disebut zaman feodalisme dimulai. Karakteristik


(19)

yaitu Pemerintahan sipil dan agama yang berpusat di istana Tennou di Kyouto

yang mempunyai kekuasaan sangat kecil dan pemerintahan militer yang saat itu

dibentuk oleh Yoritomo di Kamakura. Sistem politik ini terus dijalankan hampir

selama 700 tahun sampai pada masa kekuasaan Tokugawa.

Dalam kurun waktu 700 tahun sampai akhir abad ke-16, feodalisme

berkembang secara alami di Jepang dan semakin berkembang dari suatu wilayah

ke wilayah lain. Antara satu tempat dan yang lain hanya ada perbedaan rincian

dan perbedaan pemakaian istilah saja. Maka dari itu, saat itu Pemerintah

mengambil kebijakan untuk menstratifikasi masyarakat secara jelas dan tegas.

Selain ditujukan untuk menertibkan dan menyeragamkan tatanan sosial, kebijakan

ini juga ditujukan sebagai antisipasi terhadap Gekokujo adalah penumbangan

kekuasaan penguasa yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.

Alasan populer pemerintah Jepang menerapkan pembagian kelas

masyarakat dari kelas yang paling suci sampai kelas yang paling bawah, salah

satunya adalah antisipasi pemberontakan kelas bawah. Namun, pemantapan posisi

Bakufu dan pengkerdilan kekuasaan kaisar juga mugkin bisa dijadikan alasan.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin terjadi. Tennou dan

bangsawan-bangsawan kaisar yang digaji oleh bakufu, Tennou yang hanya boleh

setahun sekali mengunjungi rakyatnya sampai pengangkatan pejabat kaisar yang

harus dengan persetujuan Bakufu adalah bukti nyata bahwa Bakufu berusaha


(20)

Kondisi Pemerintahan dan masyarakat yang bisa dikatakan tidak sehat ini

akhirnya menemui keruntuhannya. Tidak adanya perang membuat kekuasaan para

samurai mulai dipertanyakan. Samurai-samurai yang saat itu menganggur mulai

banyak yang terlilit hutang. Hal ini secara tidak langsung merusak kepercayaan

masyarakat kepada kaum samurai. Selain masalah tersebut juga terjadi

pemberontakan yang justru tidak muncul dari rakyat jelata, tetapi dilakukan oleh

kaum samurai sendiri. Konflik horizontal yang terjadi di kalangan samurai ini

semakin membuat situasi kacau dan melemahkan Bakufu.

Akhirnya kekacauan-kekacauan yang terjadi tersebut membawa bakufu ke

titik kulminasi. Yaitu ketika kaisar sebagai kepala Negara sudah tidak percaya lagi

kepada Bakufu dan meminta kekuasaan pemerintahan kembali diambil oleh

istana.

Meskipun pengaruh feodalisme amat kental, namun tidak berarti bangsa

ini tidak mau merintis jalan menuju alam kehidupan yang lebih maju dengan

impian untuk menjadi negara yang jaya dan dapat menguasai dunia, terutama

lewat jalur perekonomian dan perdagangan. Memasuki awal abad XVII, bangsa

Jepang di bawah Tokugawa Shogun bahkan sudah demikian giat membangun

jaringan untuk menciptakan hubungan internasional, khususnya dibidang

perdagangan dengan bangsa-bangsa lain, mulai Cina sebagai tetangga dekatnya

sampai bangsa Eropa, terutama Prancis dan Belanda.

Ini banyak dilakukan secara diam-diam oleh para pedagang Jepang yang


(21)

luar juga maju. Padahal sebelum itu, justru bangsa Jepang seolah-olah terisolasi,

karena di bawah Tokugawa Shogun, mereka tak bisa menjalin hubungan

perdagangan dengan bangsa manapun. Para pedagang dari Cina dan Eropa bahkan

yang menguasai sebagian dari pelabuhan Nagasaki.

Di masa Pemerintahan Meiji, barulah Jepang membuka diri sebagai

wilayah yang siap untuk menjalin hubungan perdagangan dengan luar negeri. Apa

yang dilakukan oleh para pedagang Jepang melalui jalinan perdagangan dengan

dunia luar secara diam-diam di masa kekuasaan Tokugawa, mulai bersifat

terbuka, karena mulai diakui manfaatnya bagi kepentingan masa depan bangsa

Jepang. Ketika mulai muncul cita-cita agar bangsa Jepang dapat menjadi bangsa

yang lebih kaya, lebih maju industrinya, dengan angkatan perang lebih kuat

sebagai perlindungan. Dan untuk mencapai semua cita-cita itu, tak ada pilihan lain

kecuali membuka hubungan dengan negara luar.

Membicarakan feodalisme Jepang, sangat erat hubungannya dengan

fasisme. Munculnya fasisme Jepang tidak dapat dipisahkan dari Restorasi Meiji.

Berkat Restorasi Meiji, Jepang berkembang menjadi negara industri yang kuat.

Majunya industri tersebut membawa Jepang menjadi negara imperialis. Jepang

menjadi negara fasis dan menganut Hakko I Chiu. Fasisme di Jepang dipelopori

oleh Perdana Menteri Tanaka, masa pemerintahan Kaisar Hirohito dan

dikembangkan oleh Perdana Menteri Hideki Tojo.


(22)

diperolehnya mandat atas pulau-pulau yang semula menjadi milik Jerman di

Samudera Pasifik. Dengan mudah Jepang berhasil menduduki Manchuria dan

mendirikan negara boneka di sana yang disebut Manchukuo. Jepang juga unggul

dalam perang Cina-Jepang I ( 1894-1895 ) dan Perang Cina II ( 1937 ) dan mulai

mendirikan pakta militer dengan Jerman dan Italia ( 1940 ).

Perang Cina-Jepang I adalah sebuah perang antara Dinasti Qing Cina dan

Meiji Jepang dalam perebutan kendali atas Korea. Perang Cina-Jepang merupakan

simbol kemerosotan Dinasti Qing dan juga menunjukkan kesuksesan modernisasi

Jepang sejak Restorasi Meiji dibandingkan dengan Gerakan Penguatan Diri di

Cina. Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Dinasti Qing dan

penandatanganan Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895 yang berakibat pada

ganti rugi 30 miliar tael kepada Jepang. Pengaruh selanjutnya dari perang ini

adalah pergantian dominasi regional Asia dari Cina kepada Jepang dan merupakan

pukulan telak untuk DInasti Qing dan tradisi Cina kuno.

Perang Cina-Jepang II adalah perang besar antara Cina dan Jepang,

sebelum dan selama Perang Dunia II. Perang ini adalah perang Asia terbesar pada

abad ke-20. Walaupun kedua negara telah sebentar-sebentar berperang sejak tahun

1931, perang berskala besar baru dimulai sejak tahun 1937 dan berakhir dengan

menyerahkan Jepang pada tahun 1945. Perang ini merupakan akibat dari

kebijakan imperialis Jepang yang sudah berlangsung selama beberapa dekade.

Jepang bermaksud mendominasi Cina secara politis dan militer untuk menjaga


(23)

Pada saat yang bersamaan, kebangkitan nasionalisme Cina dan kebulatan tekad

membuat perlawanan tidak bisa dihindari. Sebelum tahun 1937, kedua pihak

sudah bertempur dalam insiden-insiden kecil dan lokal untuk menghindari perang

secara terbuka. Invasi Manchuria oleh Jepang pada tahun 1931 dikenal dengan

nama Insiden Mukden. Bagian akhir dari penyerangan ini adalah insiden Jembatan

Marco Polo tahun 1937 yang menandai awal perang besar-besaran antara kedua

negara. Sejak tahun 1937-1941, Cina berperang sendiri melawan Jepang. Setelah

peristiwa penyerangan terhadap Pearl Harbour terjadi, perang Cina-Jepang II pun

bergabung dengan konflik yang lebih besar, Perang Dunia II.

Seperti yang sudah kita ketahui, Jepang mengalami kekalahan dalam

Perang Dunia II setelah dijatuhkannya bom atom yang meluluh lantakkan dua

pusat ekonomi dan industri Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika

Serikat. Akibat perang itu, bukan hanya merusak bangunan dan rumah-rumah

warganya, tetapi juga banyak rakyatnya yang menjadi korban luka bahkan korban

jiwa.

Namun hal itu tak lantas mampu menyurutkan cita-cita bangsa Jepang

untuk menguasai dunia. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dijadikan

pelajaran berharga bagi Jepang untuk membangun bangsanya lebih maju dan lebih

baik lagi.


(24)

BAB III

PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PASCA PERANG DUNIA II

3.1 Mentalitas Lapar pada Orang Jepang

Setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, dan menyadari

bahwa strateginya untuk menguasai dunia melalui kekuatan militernya mengalami

kegagalan dan bahkan mengalami kerugian di berbagai sektor ekonomi yang

cukup parah akibat terjadinya penghancuran terhadap dua kota pusat industrinya,

Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh AS, Jepang mulai merayap untuk

membangun negaranya dengan berangkat kembali dari titik nol. Bagaimana pun

strategi untuk menguasai dunia dengan kekuatan militer harus diganti dengan

menampilkan dirinya sebagai “economic animal” yang benar-benar harus bisa

tampil tanpa pandang bulu dan juga harus menyingkirkan segala bentuk

pertimbangan moralitas untuk mencapai tujuannya itu.

Menurut Ishihara Shintaro, seorang pengarang terkenal dan pernah

menjadi anggota Diet ( Parlemen ) dari LDP, unsur paling mendasar dalam proses

modernisasi Jepang pasca kekalahannya dari Perang Dunia II ialah dengan

membentuk “mentalitas lapar” orang Jepang. Kita semua maklum, orang lapar

bisa berbuat apa saja untuk menutupi laparnya, termasuk berbuat yang tidak


(25)

Seperti dikemukakan Ishihara Shinto, suatu perasaan lapar mungkin

memberikan daya dorong yang amat kuat untuk mencapai suatu cita-cita, namun

hampir tidak dapat berfungsi sebagai suatu aspirasi dalam cara apapun, kecuali

dalam cara yang paling primitif. Cita-cita Nasional yang didasarkan pada aspirasi

“lapar” pasti memperlihatkan kesempitan dan wawasan yang kurang dalam,

karena hanya mengejar kepentingan sesaat. Namun memang benar, dengan

mentalitas lapar ini yang kemudian menjadi moralitas nasional bangsa Jepang

diharapkan akan dapat mengejar ketertinggalan bahkan akhirnya bisa

mengungguli bangsa Barat, terutama Amerika Serikat yang pernah menjadi

musuhnya.

Ketika itu selepas Perang Dunia II, masyarakat Jepang dengan

perekonomiannya memang dalam keadaan amat kusut. Karena itu, mereka harus

berusaha keras untuk bisa kembali sebagai bangsa yang unggul. Dan fokus untuk

meraih keunggulan ini adalah dengan terus memacu pertumbuhan ekonomi.

Karena didasari dengan “semangat lapar” ini akhirnya menimbulkan kekosongan

spiritual di jantung bangsa Jepang. Dan berujung dengan terjadinya degenerasi

moral. Dari sudut ini Ishihara Shintaro berkeyakinan dengan “mentalitas lapar” itu

bangsa Jepang tidak akan dapat menyelamatkan bangsa dan negaranya dari

keruntuhan kalau mereka tidak cepat-cepat “banting stir”.

Namun di sisi lain, Ishihara juga mengaku “mentalitas lapar” yang


(26)

kebutuhan”, karena sesungguhnya “mentalitas lapar” ini terutama dipicu oleh rasa

rendah diri terhadap peradaban Barat yang lebih maju. Sejak zaman Tokugawa,

rasa “iri” untuk bisa menguasai dunia seperti bangsa Barat memang sudah

tertanam dalam jiwanya. Karena itulah Jepang membangun kekuatan militer yang

tangguh dengan perhitungan lewat ekspansi militerisme Jepang akan tampil

menjadi pemimpin dunia. Namun terbukti gagal karena kemudian dikalahkan

secara militer pula dengan dijatuhkannya bom atom oleh Barat (Amerika Serikat)

di dua kota industri utama Jepang.

Dengan “mentalitas lapar”, bangsa Jepang yang merasa rendah diri ini

terbakar aspirasinya untuk kembali berusaha mengungguli Barat. Tanpa sindroma

lapar yang merasuki jiwa bangsa Jepang di semua lapisan, maka Jepang tak akan

pernah dapat menjadi suatu bangsa yang maju dan modern industrinya dalam

waktu singkat bahkan akhirnya terbukti mampu mengungguli Barat. Namun kali

ini bukan di segi militerisme, melainkan teknologi, industri di mana hasil

produknya telah membanjiri sekaligus menguasai dunia. Banyak negara-negara

industri Barat yang semula memandang Jepang dengan sebelah mata justru mulai

ketakutan akan ekspansi produk teknologi canggih dan industri Jepang yang mulai

tampil seperti gurita raksasa.

Bangsa Jepang, memang menempatkan dirinya ibarat permukaan cermin

yang luas, yang menerima dan memantulkan cahaya dari peradaban

bangsa-bangsa lain di dunia. Para ahli tehnik, industri otomotif dan elektronika,


(27)

bayangan kemajuan dari negara lain untuk kemudian diadopsi, direkayasa

sehingga akhirnya menjadi produk baru yang lebih canggih dari aslinya dan itu

merupakan karya bangsa Jepang yang kemudian dilempar ke pasaran dunia.

Program pendidikan merupakan aset utama dalam program pembangunan

nasional Jepang. Anggaran belanja negara, banyak tersedot dalam program ini dan

pada awalnya terutama untuk proyek-proyek penerjemahan serta riset dan

penelitian, khususnya di bidang teknologi dan industri. Seperti halnya yang

dilakukan oleh Taiwan yang kini termasuk “Macan Asia” sebagai salah satu

negara industri baru di kawasan Timur, Jepang mendidik para penerjemah (antara

lain dengan mengirim mereka keluar negeri) di mana setelah memperoleh

pengetahuan bahasa yang cukup mereka harus segera kembali dan mulai

melaksanakan tugas menerjemahkan buku apa saja dari luar, khususnya dari

negara-negara Barat yang dianggap sudah lebih maju, ke dalam bahasa Jepang.

Dengan cara demikian rakyat Jepang, terutama para pelajar dan mahasiswa

yang duduk di perguruan tinggi, tak harus membuang waktu dengan bersusah

payah belajar bahasa asing. Mereka dapat mempelajari dan mengadopsi ilmu-ilmu

terapan dari Barat dengan lebih mudah melalui literature yang sudah tertulis

dalam bahasa Jepang. (catatan : Dahulu Prof. Dr. Sutan Takdir Alisjahbana

semasa hidupnya juga tak jemu-jemunya menyarankan kepada Pemerintah untuk

membentuk suatu komisi penerjemah yang bertugas menerjemahkan buku-buku


(28)

pintas untuk mengadopsi ilmu dari Barat, namun kurang mendapat tanggapan dari

pihak Pemerintah Indonesia ).

Dewasa ini kita menyaksikan, di samping Jepang, negara-negara Timur

lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan dan Tiongkok telah menjadi negara industri

maju, menguasai teknologi canggih dan komoditas industrinya yang berbasis

teknologi telah menguasai dunia. Semua itu antara lain karena sudah sejak lama

negara-negara tersebut telah melakukan program penerjemahan dan penelitian

yang sangat membantu para mahasiswa untuk menyerap ilmu dari Barat.

Bagi bangsa Jepang sendiri, sudah jelas program penerjemahan dan

penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari “mentalitas lapar”. Dengan

menjadikan dirinya sebagai cermin yang luas, yang sanggup menerima dan

memantulkan kembali semua bayangan obyek yang terjangkau, bangsa Jepang

tidak bersikap fanatik dalam memandang bangsa lain di dunia. Prinsip tidak ada

kawan dan lawan yang abadi telah ditanam jauh-jauh di lubuk hatinya.

Demikianlah, dalam rangka memenuhi rasa laparnya itu, bangsa Jepang tetap

mencoba menjalin hubungan baik dengan musuh-musuhnya, seperti Cina, Korea

dan juga Amerika Serikat serta beberapa negara di Eropa. Yang penting,

bagaimana dapat menyerap ilmu mereka dan melihat peluang pasar di

negara-negara tersebut untuk nanti menjadi lahan bagi penjualan komoditasnya.

Yang dipertanyakan, apakah usaha-usaha Jepang itu dapat diterima baik

oleh bangsa Asia lainnya yang sejak dulu masih dihinggapi trauma kekejaman


(29)

dulu juga telah melakukan banyak kekejaman terhadap bangsa Cina, Korea,

Thailand, Malaysia dan negara-negara lain di Asia. Dan trauma kekejaman itu

masih terus melekat hingga hari ini.

Menyadari kenyataan tersebut, maka dalam simposium di Tokyo tentang

“Masa Depan Asia” yang diselenggarakan pada awal bulan Juni 2003, Perdana

Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Perdana Menteri Thailand Thaksin

Shinawatra mengingatkan kepada bangsa-bangsa Asia yang pernah menjadi

korban kekejaman Jepang untuk melupakan dendam tentang konflik masa lalu

demi kesatuan dan kesejahteraan regional Asia di Masa Depan”. Tentu, seruan

kedua Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi bahwa ternyata meskipun sudah

lewat setengah abad, bangsa-bangsa Asia masih tetap belum bisa melupakan

kekejaman rakyatnya di masa lalu. Lebih-lebih lagi, karena agresi Jepang yang

pernah berlangsung terhadap negara-negara tetangganya di Asia dan sikap

Pemerintahnya yang tidak mau minta maaf, apalagi memberikan kompensasi

kepada korbannya, menjadi sumber kepahitan yang sulit dihapuskan.

Mengingat kenyataan itu, Perdana Menteri Junichiro Koizumi tentu tidak

ingin mengalami nasib seperti Perdana Menteri sebelumnya, yakni Kakuei Tanaka

yang pada tahun 1974 melakukan kunjungan ke berbagai negara di Asia seperti

Thailand, Malaysia dan Indonesia di mana ternyata mendapat sambutan

demonstrasi anti Jepang yang demikian kuatnya, terjadi pembakaran dan


(30)

dihapuskan sebagai lembaran hitam paling buruk dalam sejarah hubungan

Indonesia-Jepang. Sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Mahathir Mohamad sempat ”menyindir” Junichiro dalam acara simposium

tentang “masa depan Asia” tersebut dengan menegaskan bahwa sebenarnya

banyak peluang yang dimiliki Jepang untuk menyembuhkan luka-luka lama yang

diperbuatnya dengan negara-negara tetangganya. “kadang-kadang kita melakukan

kesalahan di masa silam. Dan kita tidak ingin mengulanginya lagi. Dan Jepang

bisa berbuat seperti begitu dan dapat menebus antara lain dengan dengan

meminjamkan uang dan memperkenalkan kemajuan teknologi yang telah

dicapainya.”

Kalau mau, tentu Jepang dengan mudah dapat melakukannya, sebab

Jepang sudah memiliki apa yang dikehendaki Mahathir. Modal untuk investasi

dan kemampuan untuk ahli teknologi. Masalahnya, bukankah Jepang ingin tetap

mendominasi perekonomian di Asia, bahkan di dunia. Kalau apa yang

dikehendaki Mahathir dipenuhi begitu saja, maka Jepang tak bisa memerankan

dirinya sebagai gurita yang bisa mendikte ( sekaligus mencengkeram )

negara-negara tetangganya di bidang ekonomi.

Gurita ekonomi Jepang semakin terasa ketika sampai tahun 2003, negeri

ini telah mengendalikan 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di kawasan

Asia. Produk ekspornya pun yang terbesar masuk ke negara-negara Asia. Di satu

sisi, seperti dikatakan oleh Presiden Pilipina Gloria Macapagal-Arroyo yang juga


(31)

banyak di Asia untuk menghindari dominasi Amerika Serikat. Arroyo memang

menginginkan agar bangsa Asia lebih bertanggung jawab untuk semua keamanan

ekonomi dan politik di Asia. Kalau Jepang, Cina dan negara-negara Asia lainnya

dapat menjalin kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan, maka akan

menghasilkan sebuah dunia multipolar yang tidak bisa didikte oleh AS.

Dan Jepang tentu sudah paham pula dengan keinginan itu, karena

bukankah itu pula yang menjadi keinginan Jepang. Bukankah dulu di masa Perang

Dunia II, Jepang pula yang menyatakan dirinya sebagai “saudara tua” terhadap

bangsa-bangsa Asia lainnya. Jadi jelaslah, bila Amerika Serikat tidak mampu

mendominasi perekonomian Asia ( dan itulah memang yang diinginkan Jepang ),

maka Jepanglah ( sebagai sesama bangsa Asia ), yang akan menjadi penggantinya.

Tetapi karena kedua negara itu tetap sama-sama kapitalis yang sedang

kelaparan, maka masalahnya “perlindungan” yang akan diberikan oleh Amerika

Serikat atau Jepang bagi bangsa atau negara-negara Asia lainnya tak ubahnya

akan membuat negara-negara di Asia ini seperti harus memilih, masuk ke mulut

macan atau mulut singa. Dan tentu saja tak ada satu negara pun yang mau

mengalami nasib seperti itu.

Baik Jepang maupun Amerika Serikat, memang tak pernah melepaskan

perhatiannya terhadap pasar Asia yang dianggapnya sangat menguntungkan.

perang dagang antara keduanya telah berlangsung lama untuk mendominasi


(32)

Semula, setidaknya sebelum Bill Clinton berkuasa, Amerika Serikat

memang masih melihat Jepang dengan sebelah mata. Ketika itu, berbagai produk

Jepang, mulai otomotif, elektornik hingga peralatan rumah tangga mengalir ke

negeri Paman Sam ini. Di masa Clintonlah, kalangan industri di AS terbangun

dari tidur dan melihat bahwa gurita Jepang ternyata sudah berada di depan mata.

Dan sejak itulah, AS dengan sigap mengambil langkah-langkah strategis

agar produk-produk Jepang tak semakin dominan semakin menguasai pasar di

negerinya. Ketika itu, pasar-pasar di AS memang sudah didominasi oleh produk

Jepang. Sebagai contoh, dari lebih 8 juta mobil yang diproduksi Jepang pada

tahun 1977, lebih dari separuhnya di ekspor dan hampir dua juta diantaranya

menghiasi etalase took mobil di AS. Padahal, AS sendiri adalah negara produsen

mobil.

Nilai ekspor Jepang ke negeri Paman Sam sepanjang dekade 1970-an juga

terus meningkat, hingga mencapai 18 miliar dollar AS pada tahun 1977. Padahal

dua tahun sebelumnya baru mencapai 11 miliar dollar AS. Sementara itu pada

masa yang sama, impor Jepang dari AS tak melebihi angka 10 miliar dollar AS.

Melihat kepincangan itu, dimulailah “penciptaan keseimbangan”, ala

Clinton, antara lain Jepang diharuskan membeli berbagai jenis produk pertanian

seperti beras, buah-buahan, sayuran segar, daging, bahkan juga berbagai produk

elektronik seperti mainan anak-anak dan lain-lain dari AS. Padahal, semua itu


(33)

Di bagian depan telah kita singgung bagaimana pihak Jepang mengalami

kesulitan ketika “ditodong” untuk membeli beras dari AS. Sebab kualitas beras

Jepang sendiri jauh lebih baik dan orang Jepang sudah terbiasa mengkonsumsi

beras hasil pertaniannya sendiri yang lebih enak. Tapi apa daya, “todongan” itu

pun harus diterima karena banyak perusahaan Jepang membutuhkan pasar

domestik AS untuk menampung produksinya, yang tak mungkin hanya bisa

ditampung oleh pasar di Asia atau Eropa.

Setidaknya sepanjang dasawarsa tahun 1970-an dan berlanjut di era

Pemerintahan Clinton, Jepang memang benar-benar dihadapkan pada Perang

Pasar dengan AS yang amat menyulitkan. Sampai-sampai, kalangan industri

Jepang mulai mengambil langkah-langkah pengamanan ke dalam, antara lain

dengan menawarkan pensiun dini atau penurunan gaji sebagai pilihan daripada

melakukan PHK secara besar-besaran kepada para karyawan di perusahaannya

yang diperhitungkan akan mengalami dampak tidak menguntungkan akibat

“perang” tersebut lebih-lebih kalau sampai berlangsung berkepanjangan.

Mungkin tidak berlebihan bila dikatakan, dekade tahun 1970-an

merupakan masa resesi pertama bagi Jepang sejak selesainya Perang Dunia II.

Sebagai suatu masa yang sangat menyulitkan. Dalam dekade ini pulalah nanti

akan kita temui “Peristiwa Malari” yang sangat memukul kredibilitas Jepang

khususnya di Indonesia pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Kakuei Tanaka.


(34)

dari Departemen Keuangan Jepang ini lebih sibuk mengurusi inflasi, padahal

banyak faktor lain yang menuntut untuk segera diatasi. Dan angka pengangguran

pun melonjak sejak tahun 1977 hingga 2 persen dari total angkatan kerja. Hampir

20 ribu perusahaan bangkrut, sementara utang yang belum terbayar melejit sampai

12 miliar dollar.

Banyak komoditas yang diproduksi secara besar-besaran oleh Jepang yang

akhirnya menumpuk saja di gudang. Dan ini tentu merupakan masalah serius,

bukan hanya karena melonjaknya biaya pemakaian gudang, tetapi terutama juga

karena perputaran investasi menjadi terhambat. Apalagi, bagi investasi berskala

besar, seperti industri baja untuk keperluan produk otomotif dan industri

elektronik yang usia produknya sangat pendek karena akan selalu disusul dengan

produk baru yang lebih canggih seperti di bidang komponen komputer, telepon

genggam, radio dan lain sebagainya.

Orang Jepang sendiri, menyadari situasi perekonomian di negaranya yang

tak menentu, memilih memangkas semua anggaran belanja yang tidak pokok,

seperti biaya rekreasi atau pakaian baru dan pembelian barang mewah lainnya.

Mereka memilih menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Karena itu pula

sepanjang dasawarsa tahun 1970-an, disambung tahun 1980-an, orang Jepang

yang sejak mula memang gemar menabung menjadi semakin rajin untuk

menabungkan uang yang disisihkannya dari anggaran belanja sehari-hari. Ketika

itu tabungan Jepang secara Nasional mencapai 30 persen dari GNP dan sebagian


(35)

justru merepotkan pihak bank-bank nasional karena tidak dapat memanfaatkan

uang masyarakat yang menumpuk itu, yang harus disediakan bunganya, akibat

jalur untuk investasi masih mampat atau hanya sedikit yang bisa dimanfaatkan.

Berbagai jenis industri besar, misalnya di bidang perkapalan, mobil dan

kereta api yang telah mereka produksi, ternyata menghadapi hambatan akibat

berkurangnya pesanan dari negara lain. Apalagi, negara tetangga dekatnya, Korea

Selatan ternyata sudah mulai menggeliat sebagai salah satu “Macan Asia” yang

baru juga memproduksi komoditas hasil dari teknologi tinggi seperti yang telah

dilakukan oleh Jepang. Belum lagi produk-produk dari Taiwan dan Cina yang

juga mulai merambah pasaran dunia.

Jepang benar-benar tak lagi merupakan “Pemain Tunggal” sebagai “raja”

yang bisa malang melintang memainkan pasar Asia, lebih-lebih pasar dunia. Di

Indonesia sendiri, selama berpuluh-puluh tahun sejak Jepang mengakhiri

penjajahannya, sebenarnya mereka telah datang kembali sebagai penjajah. Para

investor “memberi bantuan” untuk membangun Indonesia dengan merambah dan

menguasai semua proyek, mulai pembangkit tenaga listrik, pembuatan jalan dan

jembatan, pembangunan kantor, sentra perkantoran, sentra pemukiman, sentra

bisnis, sentra industri dan lain-lain. Sementara itu, sebagaimana sudah disebutkan,

berbagai jenis produk otomotif dan elektronik telah menguasai pasar Indonesia

mulai di kota besar sampai kota-kota kecil.


(36)

melainkan akan membeli “Honda”. Mereka tidak menyebut akan memakai

“pompa air” tetapi akn memakai “sanyo”. Semua itu, menandakan bahwa

produk-produk Jepang merupakan satu-satunya pilihan karena merk-merk tersebut

dianggap produk terbaik dengan harga terjangkau.

Kini, orang Indonesia memang bisa memilih banyak produk lain di luar

yang dihasilkan oleh Jepang, akibat kebangkitan industri dari Korea dan Cina di

samping produk Eropa yang sejak dulu memang sudah masuk ke Indonesia.

Berbagai merk seperti KLA dan Hyundai dari Korea Selatan serta Liang Jing dari

Cina juga sudah mulai banyak dikenali, disamping BMW, Pigeot, Fiat, Citroen

(mobil) dan IBM (komputer/peralatan kantor) dan lain-lain dari Eropa atau AS

yang sudah lama masuk ke Indonesia. Dan ini jelas suatu tantangan bagi Jepang.

Dahulu orang yang kemampuannya kurang karena tidak mempunyai

pilihan lain yang lebih murah, harus menunggu beberapa bulan ataupun beberapa

tahun hanya untuk mendapatkan televisi ataupun mesin cuci karena harus

mengumpulkan uang terlebih dahulu. Dan sebaliknya orang yang kemampuannya

lebih tetap harus membeli produk Jepang karena produk Eropa yang

diinginkannya tidak ada di Indonesia dan dilarang masuk oleh Pemerintah

Indonesia.

Demikianlah penjajahan yang mereka lakukan yang dapat kita sebut

sebagai “penjajahan gaya baru” ataupun “penjajahan ekonomi” yang dampaknya

sangat menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini mereka lakukan dengan


(37)

yang benar-benar memahami apa yang telah diperbuat perusahaan Jepang dan

Pemerintahan Jepang yang selama berpuluh-puluh tahun memeras harta dan

keringat orang Indonesia.

Mereka seperti memakai topeng dimana wajah mereka yang sebenarnya

sangat kejam dan licik akan tertutup gambar topeng yang mereka buat dengan

gambar yang menyerupai “dewa penyelamat” yang selalu memberikan bantuan

yang sebenarnya adalah “hutang”. Dimana kata-kata ini dibantu oleh

penguasa-penguasa di zaman sebelum reformasi di Indonesia.

Dari hal yang disebutkan di atas haruslah kita mulai dari sekarang,

walaupun sudah sangat terlambat untuk berhati-hati atas kebaikan hati saudara tua

kita tersebut dengan pengalaman yang sudah kita peroleh selama ini bahwa

mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri tanpa punya niat untuk

membantu orang lain.

3.2 Pemakaian Energi Dunia Yang Pincang Oleh Jepang

Dalam hal pemakaian energi dunia misalnya, sudah lama keadaannya

sangat pincang. Negara-negara industri maju (dimana Jepang termasuk di

dalamnya) yang hanya berpenduduk 18 persen dari total penduduk dunia, namun

memakai energi sampai 63 persen dari total energi yang dihasilkan dunia.


(38)

energi dunia. Mari kita lihat bagaimana negara-negara sedang berkembang atau

dunia ketiga (dimana Indonesia termasuk di dalamnya) mempunyai jumlah

penduduk 50 persen dari total penduduk dunia namun hanya menggunakan 9

persen dari energi dunia. Padahal, 80 persen dari cadangan minyak sebagai energi

utama berada di negara-negara miskin atau berkembang, sementara 80 persen

pemakainya adalah negara industri. Demikian juga dengan energi-energi lain di

luar minyak rata-rata produksinya berada di Selatan (sebutan lain untuk negara

miskin dan negara berkembang) namun konsumsi terpusat di Utara (sebutan lain

untuk negara industri maju).

Begitu besar kekhawatiran pihak Jepang terhadap

kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan politik secara drastis di Selatan, sudah

dibuktikan di mana ketika pecah dua kali perang di Irak akibat penyerbuan AS ke

negeri itu, Jepang ternyata ikut terkena imbasnya dengan direpotkan oleh

terganggunya pasukan minyak dari Timur Tengah. Oleh karena itu pula, Jepang

telah mengajak negara-negara anggota ASEAN yang menjadi produsen dan

pengekspor minyak ke negaranya untuk membangun pangkalan persediaan

(stockpile) minyak guna mengantisipasi keadaan darurat di masa-masa

mendatang.

Jelas, ajakan Jepang melalui Direktur Perencanaan Perminyakan

Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang Toshikazu

Masuyama ini lebih mengalah kebutuhan impornya agar tidak terganggu, apapun


(39)

menjadi produsen minyak menyadari ekspor utama produksinya ke Jepang, maka

ajakan itu pun mendapat sambutan baik, antara lain oleh Indonesia, Malaysia,

Thailand dan Pilipina.

Menteri METI, Takeo Hiranuma memang menegaskan dalam suatu

pertemuan forum energi yang berlangsung di Osaka pada September 2002, bahwa

kebutuhan minyak Asia akan meningkat drastis dalam waktu-waktu mendatang

dan atas dasar pertimbangan itulah Jepang mengajak negara-negara di Asia,

terutama produsen dan eksportir minyak untuk mengantisipasi kestabilan minyak

di Asia.

Selama ini, meskipun beberapa negara di Asia juga penghasil minyak,

tetapi seperti halnya di Indonesia, tetap masih membutuhkan pasokan minyak

untuk mengantisipasi kestabilan minyak di Asia.

Selama ini, meskipun beberapa negara di Asia juga penghasil minyak,

tetapi seperti halnya di Indonesia, tetap masih membutuhkan pasokan minyak

mentah dari Timur Tengah. Dan ini yang dijadikan alasan Jepang untuk mengajak

negara-negara di Asia membangun stockpile.

Diperkirakan ketergantungan Asia terhadap pasokan minyak mentah dari

Timur Tengah di masa mendatang akan meningkat menjadi 80 persen. Selama ini

Asia merupakan pengimpor minyak mentah terbesar di dunia dari Timur Tengah.

Persediaan minyak mentah yang dihasilkan dari Asia sendiri semakin berkurang.


(40)

Masuyama menilai hal ini dapat mengancam keamanan dan kestabilan energi di

Asia. Dalam hal ini presiden Asia Pasific Energy Research Centre di Tokyo,

Tatsuo Masuda memberikan contoh, bahwa sejak awal tahun 1990-an,

negara-negara di Asia menjadi pembeli minyak mentah dari Timur Tengah harus

membayar 1 hingga 1,5 US dollar lebih mahal untuk setiap barrelnya daripada

yang harus dibayar oleh AS atau Eropa.

Kalau mempelajari kondisi ini, sebenarnya Utaralah yang banyak

bergantung pada Selatan. Namun kenyataannya Selatan tetap miskin karena

memang dibuat agar tetap miskin lewat proyek-proyek “bantuan ekonomi” atau

“kerjasama ekonomi” tadi. Khususnya Jepang, sesungguhnya amat memerlukan

negara-negara tetangga sessama Asia, seperti Thailand, Filipina, Malaysia dan

Indonesia daripada negara-negara ini memerlukan Jepang.

Sebab di negara-negara tersebut tersedia berbagai potensi alam yang

dibutuhkan Jepang. Mulai minyak, batubara, hasil bumi (pertanian), hasil hutan

(terutama kayu) hingga hasil lautan (terutama ikan) mereka miliki. Tetapi, sekali

lagi kenyataan mengatakan negara-negara tersebutlah yang bergantung pada

Jepang, karena mereka membutuhkan pasar dan uang dan keduanya dimiliki oleh

negara industri maju ini.

Jepang bahkan dengan bangga memperlihatkan keunggulan dalam

memeras negara miskin dan sedang berkembang dengan mengatakan :”Dengan

Indonesia dan Malaysia, kami mengimpor sumber-sumber alam seperti minyak


(41)

bahan baku tersebut untuk ekspor balik dikerjakan oleh Jepang. Kami hanya

mengimpor mineral-mineral rendah yang nilai tambahnya atau hasil pertanian.

Nilai tambah lebih tinggi pada hasil produk berbahan baku mineral dan hasil

pertanian pembuatannya di Jepang.

Maka yang terjadi selama ini adalah pembagian kerja vertikal yang

berulang dengan nilai keuntungan tetap pada pihak Jepang. Pemilik sumber daya

alam dan bahan mentah adalah negara miskin atau sedang berkembang tetapi

Jepang yang mengolahnya. Rakyat negara miskin dan sedang berkembang yang

mengerjakan pertanian tetapi Jepang yang memiliki industrinya. Ibarat ikan,

pemiliknya hanya ke bagian duri, dagingnya di santap oleh Jepang. Keuntungan

masuk kantong Jepang, Negara miskin dan sedang berkembang kebagian sampah

yang harus dibersihkannya.

Jepang malah memandang rendah negara-negara sedang berkembang yang

selama ini dijadikan sapi perahnya itu. Sebaliknya terhadap sesama negara Asia

yang sebenarnya tidak memiliki sumber alam melimpah, namun sudah tergolong

maju menyusul Jepang bahkan dikenal sebagai “Macan Asia” seperti Singapura,

Taiwan, Korea Selatan dan Hongkong. Jepang sangat menghargai meskipun

dalam beberapa hal merupakan pesaingnya. Belakangan, RRC dan Vietnam juga

sudah mulai diperhitungkan oleh Jepang, terutama pasca keruntuhan komunis di


(42)

3.3 Pergaulan Orang Jepang dalam Perbisnisan Dunia

Orang pernah berkunjung ke Jepang dan akan sangat kagum melihat

bahwa negara Jepang sangat baik dan rapi penataannya. Jepang sangat mengetahui

bagaimana menata suatu tempat agar tidak terjadi banjir ataupun polusi dan juga

untuk kualitas makanan yang dikonsumsi penduduknya. Tetapi ini hanya mereka

lakukan untuk kepentingan negara mereka sendiri.

Kelihatan sekali sikap orang Jepang yang hanya memikirkan keuntungan

bagi kegiatan usahanya dan kesejahteraan bagi sesama orang Jepang tanpa peduli

apa yang dilakukan banyak menimbulkan kerugian pihak lain. Misalnya hal ini

terlihat ketika mereka menjadi investor dalam penerbangan kayu di Kalimantan di

mana kayu-kayu itu kemudian mereka ekspor ke negerinya.

Proses yang sudah berlangsung puluhan tahun ini dengan berbagai

kemudahan yang diberikan oleh penguasa orde baru sebagai mitra kerjasamanya

jelas telah mengakibatkan bumi Kalimantan mengalami kerusakan lingkungan

yang amat parah. Dan sebagaimana pribahasa mengatakan “habis manis sepah

dibuang”. Begitulah segala kerusakan yang diakibatkan oleh penebangan kayu

secara besar-besaran itu mereka tinggalkan begitu saja. Yang penting mereka telah

memetik keuntungan besar, memberikan keuntungan bagi usahanya dan

memenuhi kebutuhan kayu yang diperlukan negaranya.

Kayu-kayu yang mengalir ke Jepang serta negara-negara lain tak


(43)

Seperti diketahui, ekspor kayu Indonesia terutama dari pulau Kalimantan sebagian

besar selama berpuluh tahun dikirim ke Jepang. Dan upaya untuk menjaga

kelestarian lingkungan oleh pihak Jepang sama sekali tidak ada.

Yang terjadi justru sebaliknya, sehingga seperti yang terlihat sekarang di

daerah-daerah tertentu di Kalimantan, hutan telah habis karena penebangan

dilakukan secara besar-besaran. Akibat hutan mengalami kerusakan, lingkungan

pun menjadi rusak, tanah longsor, banjir dan lapisan tanah subur yang hilang,

semua itu menambah kesengsaraan rakyat setempat. Padahal sebagai orang yang

terpelajar, para pengusaha perkayuan Jepang tahu betul bahwa untuk mengambil

kondisi hutan seperti sebelum terjadi penebangan besar-besaran memerlukan

waktu bukan puluhan bahkan ratusan tahun.

Padahal orang Jepang ataupun Pemerintahan Jepang yang mana sangat

mengetahui bahwa hal ini akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari bagi

negara Indonesia, maka sebagai bangsa yang maju dan sangat peduli mengenai

lingkungan hidup seperti yang terlihat di negaranya, seharusnya mengingatkan

apapun mengambil langkah-langkah pengamanan agar jangan sampai terjadi

kerusakan yang sangat parah seperti sekarang ini, walaupun Indonesia bukan

negaranya.

Sebagai bangsa yang maju, berpendidikan yang tinggi, seharusnya juga

mempunyai akhlak yang baik. Dan Pemerintahan Jepang yang jelas-jelas


(44)

terjadi akan berakibat sangat baik untuk Indonesia pada khususnya dan juga untuk

dunia pada umumnya.

Tetapi karena Pemerintahan Jepang khawatir akan kemungkinan

membanjirnya tenaga kerja asing, maka proses masuknya tenaga kerja asing ke

negaranya dipersulit. Sampai-sampai mereka mengontrol tenaga kerja tersebut

dengan cara bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja di Indonesia dengan

mendirikan Balai Latihan Kerja, dimana di Balai ini tenaga kerja dididik dengan

keras seperti tentara dan baru akan dapat berangkat ke Jepang setelah mengikuti

pendidikan antara enam bulan hingga satu tahun. Beginilah cara mereka untuk

mengurangi tenaga kerja yang masuk ke negaranya. Berbagai “barikade” sudah

mereka pasang.


(45)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung

barat Samudera Pasifik, di sebelah Timur Laut Jepang dan bertetangga

dengan Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia.

2. Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang

pemimpin yang biasanya dari kaum bangsawan memiliki anak buah yang

banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan, tetapi lebih rendah

yang disebut vazal.

3. Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, orang Jepang

membentuk”mentalitas lapar” untuk dapat mengungguli Negara Barat.

4. Jepang terkenal di dunia dengan sebutan “gila kerja”.

5. Negara-negara industri maju (dimana Jepang termasuk di dalamnya) yang

hanya berpenduduk 18 persen dari total penduduk dunia, memakai energi

sampai 63 persen dari total energi yang dihasilkan dunia. Sementara

negara-negara yang dulu pernah tergabung dalam blok komunis dengan

penduduk 32 persen dari total penduduk dunia, menggunakan 28 persen


(46)

50 persen dari total penduduk dunia namun hanya menggunakan 9 persen

dari energi dunia

6. Jepang sangat mengetahui bagaimana menata suatu tempat agar tidak

terjadi banjir ataupun polusi dan juga untuk kualitas makanan yang

dikonsumsi penduduknya. Tetapi ini hanya mereka lakukan untuk


(47)

4.2 Saran

1. Sebaiknya mahasiswa Bahasa Jepang lebih dapat mempelajari dan

memahami Sejarah Jepang

2. Mahasiswa Bahasa Jepang dapat mempelajari budaya hidup orang Jepang

yang mempunyai semangat kuat untuk bangkit setelah Perang Dunia II

3. Dengan kita mempelajari sejarah pemerintahan Jepang, kita bisa

mengetahui sistem pemerintahan yang pernah digunakan kekaisaran untuk

memerintah Jepang selama berabad-abad

4. Dengan adanya tulisan ini, mahasiswa Indonesia dapat lebih berhati-hati

pada negara lain dalam hal menjalin hubungan kerjasama (terutama


(48)

DAFTAR PUSTAKA

- Elmatera, Tim. 2010. Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta : Elmatera

Publishing

- Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan IEdisi Revisi. Medan : USU Press

- Tahiro. 2003. Sepak Terjang Jepang di Indonesia. Jakarta : Lembaga Humaniora


(1)

Seperti diketahui, ekspor kayu Indonesia terutama dari pulau Kalimantan sebagian besar selama berpuluh tahun dikirim ke Jepang. Dan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan oleh pihak Jepang sama sekali tidak ada.

Yang terjadi justru sebaliknya, sehingga seperti yang terlihat sekarang di daerah-daerah tertentu di Kalimantan, hutan telah habis karena penebangan dilakukan secara besar-besaran. Akibat hutan mengalami kerusakan, lingkungan pun menjadi rusak, tanah longsor, banjir dan lapisan tanah subur yang hilang, semua itu menambah kesengsaraan rakyat setempat. Padahal sebagai orang yang terpelajar, para pengusaha perkayuan Jepang tahu betul bahwa untuk mengambil kondisi hutan seperti sebelum terjadi penebangan besar-besaran memerlukan waktu bukan puluhan bahkan ratusan tahun.

Padahal orang Jepang ataupun Pemerintahan Jepang yang mana sangat mengetahui bahwa hal ini akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari bagi negara Indonesia, maka sebagai bangsa yang maju dan sangat peduli mengenai lingkungan hidup seperti yang terlihat di negaranya, seharusnya mengingatkan apapun mengambil langkah-langkah pengamanan agar jangan sampai terjadi kerusakan yang sangat parah seperti sekarang ini, walaupun Indonesia bukan negaranya.

Sebagai bangsa yang maju, berpendidikan yang tinggi, seharusnya juga mempunyai akhlak yang baik. Dan Pemerintahan Jepang yang jelas-jelas mengetahui hal tersebut seharusnya menyadari bahwa kerusakan hutan yang


(2)

terjadi akan berakibat sangat baik untuk Indonesia pada khususnya dan juga untuk dunia pada umumnya.

Tetapi karena Pemerintahan Jepang khawatir akan kemungkinan membanjirnya tenaga kerja asing, maka proses masuknya tenaga kerja asing ke negaranya dipersulit. Sampai-sampai mereka mengontrol tenaga kerja tersebut dengan cara bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja di Indonesia dengan mendirikan Balai Latihan Kerja, dimana di Balai ini tenaga kerja dididik dengan keras seperti tentara dan baru akan dapat berangkat ke Jepang setelah mengikuti pendidikan antara enam bulan hingga satu tahun. Beginilah cara mereka untuk mengurangi tenaga kerja yang masuk ke negaranya. Berbagai “barikade” sudah mereka pasang.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudera Pasifik, di sebelah Timur Laut Jepang dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia.

2. Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan di mana seorang pemimpin yang biasanya dari kaum bangsawan memiliki anak buah yang banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan, tetapi lebih rendah yang disebut vazal.

3. Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, orang Jepang membentuk”mentalitas lapar” untuk dapat mengungguli Negara Barat. 4. Jepang terkenal di dunia dengan sebutan “gila kerja”.

5. Negara-negara industri maju (dimana Jepang termasuk di dalamnya) yang hanya berpenduduk 18 persen dari total penduduk dunia, memakai energi sampai 63 persen dari total energi yang dihasilkan dunia. Sementara negara-negara yang dulu pernah tergabung dalam blok komunis dengan penduduk 32 persen dari total penduduk dunia, menggunakan 28 persen energi dunia. Negara-negara sedang berkembang atau dunia ketiga (dimana Indonesia termasuk di dalamnya) mempunyai jumlah penduduk


(4)

50 persen dari total penduduk dunia namun hanya menggunakan 9 persen dari energi dunia

6. Jepang sangat mengetahui bagaimana menata suatu tempat agar tidak terjadi banjir ataupun polusi dan juga untuk kualitas makanan yang dikonsumsi penduduknya. Tetapi ini hanya mereka lakukan untuk kepentingan negara mereka sendiri.


(5)

4.2 Saran

1. Sebaiknya mahasiswa Bahasa Jepang lebih dapat mempelajari dan memahami Sejarah Jepang

2. Mahasiswa Bahasa Jepang dapat mempelajari budaya hidup orang Jepang yang mempunyai semangat kuat untuk bangkit setelah Perang Dunia II 3. Dengan kita mempelajari sejarah pemerintahan Jepang, kita bisa

mengetahui sistem pemerintahan yang pernah digunakan kekaisaran untuk memerintah Jepang selama berabad-abad

4. Dengan adanya tulisan ini, mahasiswa Indonesia dapat lebih berhati-hati pada negara lain dalam hal menjalin hubungan kerjasama (terutama Jepang).


(6)

DAFTAR PUSTAKA

- Elmatera, Tim. 2010. Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta : Elmatera Publishing

- Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan IEdisi Revisi. Medan : USU Press

- Tahiro. 2003. Sepak Terjang Jepang di Indonesia. Jakarta : Lembaga Humaniora