RELIGIUSITAS SAINS MENURUT ISLAM PB

1

RELIGIUSITAS SAINS MENURUT ISLAM

Oleh:
Purwo Subekti/F361150141, Uiversitas Pasir Pengaraian
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Nopember 2015

1. FILSAFAT SAINS
Menurut Aristoteles, Falsafah adalah ilmu yang mencari kebenaran yang pertama,
ilmu tentang segala sesuatu yang ada yang menunjukkan adanya yang mengadakan sebagai
pengerak pertama. Sedangkan menurut Ibnu Tufail, Usaha-usaha pikiran untuk mengetahui
semua prinsip pertama. [1] Dalam filsafat, digunakan nalar dan pernyataan-pernyataan
untuk menemukan kebenaran dan pengetahuan akan fakta. Ketika menyelesaikan masalah
secara falsafah, seseorang tidak harus merujuk pada sumber lain tapi hendaknya bisa
menjawab masalah yang dipikirkannya menggunakan akal budinya, dengan pikiran yang
bebas. Jika seseorang berfikir sangat dalam ketika menghadapi suatu masalah dalam
hubungannya dengan kebenaran, maka orang itu dapat dikatakan telah berpikir secara
filsafati dan kajian yang tersusun oleh pemikirannya itu disebut falsafah.

Kata sains berasal dari kata science yang berarti pengetahuan. Kata sains berasal dari
bahasa latin yaitu iscire yang berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan dalam bahasa arab
disebut dengan al`ilm yang berarti tahu, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut
dengan ilmu atau ilmu pengetahuan.[2]
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan ilmu. Jika ilmu terbatas hanya pada
persoalan empiris, maka filsafat mencakup masalah diluar empiris. Secara historis, ilmu
berasal dari kajian filsafat karena pada awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan
tentang segala yang ada secara sistematis, rasional dan logis. Filsafat merupakan tempat
berpijak bagi kegiatan keilmuan.

2

Perkembangan kajian terkait dengan masalah empiris menimbulkan spesialisasi
keilmuan dan menghasilkan kegunaan praktis. Sehingga, filsafat sains merupakan disiplin
ilmu yang digunakan sebagai kerangka dasar/landasan berpikir bagi proses keilmuan.
Seorang ilmuwan yang mampu berfikir filsafati, diharapkan bisa mendalami unsur-unsur
pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga bisa memahami sumber,
hakikat dan tujuan dari ilmu yang dikembangkannya, termasuk manfaatnya bagi
pengembangan masyarakatnya
Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan

kesejahteraan bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan
manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya karena Allah telah mengaruniakan
anugerah kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling melengkapi yaitu anugerah
agama dan kenikmatan sains teknologi. Penerapan sains dalam dunia modern telah
menghasilkan banyak teknologi yang membuat kehidupan manusia lebih baik, lebih
nyaman dan aman. Oleh karena itu, sain merupakan sebuah karunia dari Allah SWT.[3]
Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam
hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih
maju lagi. Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Al-Quran sebab kitab
suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yang
artinya “Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu guna
memelihara diri dalam peperanganmu.” [4]
Dari keterangan itu jelas sekali bahwa manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan
sarana teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika abad ke-7 M telah banyak lahir
pemikir Islam yang tangguh produktif dan inofatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kepeloporan dan keunggulan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan
sudah dimulai pada abad itu. Tetapi sangat disayangkan bahwa kemajuan-kemajuan itu
tidak sempat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sehingga tanpa sadar umat Islam

akhirnya melepaskan kepeloporannya. Lalu bangsa Barat dengan mudah mengambil dan
menransfer ilmu dan teknologi yang dimiliki dunia Islam dan dengan mudah pula mereka
membuat licik yaitu membelenggu para pemikir Islam sehingga sampai saat ini bangsa
Baratlah yang menjadi pelopor dan pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi.

3

Peran religiusitas sangat berarti dalam mencapai kesejahteraan kehidupan manusia,
karena dipandang sebagai faktor penting bagi penataan kehidupan manusia serta segala
aktivitas yang merujuk pada penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua kebenaran
dan pengetahuan yang diperoleh lewat sains, seluruhnya telah Allah tunjukkan dalam AlQur‟an bahkan sebelum fakta sains itu ditemukan. Keberadaannya menunjukkan bahwa
penyelidikan dan penguasaan manusia tentang sains merupakan bagian dari berkah Allah
SWT, sebagmana firman Allah dalam surat Al Kahfi ayat 109 yang artinya "Katakanlah :
Kalau Sekiranya Lautan Menjadi Tinta Untuk (Menuliskan) Kalimat-Kalimat Tuhanku,
Sungguh Habislah Lautan Itu Sebelum Habis (Dituliskan) Kalimat-Kalimat Tuhanku,
Meskipun Kami Datangkan Tambahan Sebanyak Itu (Pula)." [4]
Dengan demikian sains harus memiliki peran dan fungsi spiritual di samping fungsi
intelektualnya dalam membantu memenuhi kebutuhan manusia. Diantara kebutuhan
tersebut, yang terpenting adalah memperoleh kepastian dalam pengetahuan tentang Allah
SWT. Oleh karena itu, hendaknya manusia meyakini bahwa Islam adalah agama yang

paling sempurna dan Al-Qur‟an melengkapi kesempurnaan itu dalam kandungan ayatayat-Nya yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Berdasarkan Webster New Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah
“Pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan
yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya
didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada
sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan
dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang
terjadi di alam .[5]
Pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan
melalui metode tersebut atau bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu
pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.
Sains secara epistimologinya berbeda dengan ilmu karena sains hanya digunakan oleh
Barat yang berupa fisik saja seperti kekalaman/fisika. Sedangkan ilmu yang membahas
fisik dan non fisik seperti metafisika, seperti pendapat Mulyadhi guru besar Filsafat istilah
ilmu dalam spistimologi Islam mempunyai kemiripan dengan istila science dalam
epistimologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistimology Barat dibedakan dengan
knowledge dan ilmu dalam epistimologi Islam dibedakan dengan opini (ra`y).

4


Pengertian ilmu sebenarnya tidak berbeda dengan sains hanya saja sains hanya
dibatasi dalam bidang fisik dan indrawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidangbidang non fisik seperti metafisika.[6]

2.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SAINS
Masalah ilmu apa saja yang dianjurkan oleh Islam, menjadi pokok penting yang
mendasar sejak hari-hari pertama Islam. Apakah ada ilmu khusus yang harus dicari?. Para
ulama besar Islam hanya memasukkan cabang ilmu yang secara langsung berhubungan
dengan masalah agama. Sedangkan masalah ilmu-ilmu lain mereka menyerahkannya
kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan mereka. Hadist “Menuntut
ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim” melahirkan berbagai pembahasan, seperti
ilmu mana yang harus dipelajari dan dicari oleh orang muslim.
Imam Al-Ghazali lebih memandang bahwa ilmu yang wajib dipelajari atau dituntut
sebatas pada pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat saja. Sebagai contoh, seorang
pedagang untuk menghindari terjerumus dalam riba, maka dia harus mempelajari ilmu
berdagang sehingga ia dapat menjauhinya.
Selanjutnya Al-Ghazali, mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kategori, yaitu “ilmu
agama” dan ilmu “non agama”. Ilmu agama yaitu ilmu yang diajarkan lewat ajaran-ajaran
nabi dan wahyu, sedangkan ilmu ilmu non agama beliau mengklasifikasikannya dengan

tiga kategori, yaitu mahmud, mubah dan madzmum. Beliau memasukkan hukum mubah
terhadap sejarah; ilmu sihir termasuk kategori ilmu madzmum; ilmu-ilmu terpuji yang
penting didalam kehidupan sehari-hari termasuk fardu kifayah, seperti contoh ilmu obatobatan, matematika dan ilmu lain yang menunjang kemaslahatan masyarakat termasuk
fardu kifayah.[7]
Mulla Muhsin Faiydh Al-Kasyani mengemukakan: Mempelajari hukum Islam sesuai
dengan kebutuhannya sendiri hukumnya wajib `ainy bagi setiap orang Islam. Lebih lanjut,
belajar fiqih untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah baginya.
Shadr al-Din Syirazi meragukan pendapat Al-Ghazali dan Alamah Kasyani terhadap
kategori yang termasuk fardu kifayah, beliau mengemukakan: [7]
a. Tidak sependapat bahwa klasifikasi ilmu kepada ilmu agama dan ilmu non
agama, menyebabkan miskosepsi bahwa ilmu non agam itu terpisah dari Islam,
dan tampak tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam yang menyatakan
dapat merahmati kebahagiaan penuh kepada kemanusiaan. Dalam Al-Quran dan

5

hadis, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti
dalam Al-Quran surat Al-Baqorah ayat 31 yang Artinya “Dan dia mengajarkan
kepada


Adam

nama-nama

(benda-benda)

seluruhnya,

Kemudian

mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar"
[4]
b. Beberapa ayat Quran dan hadits secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu tiu
tidak hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja, sebagai
contoh dalam surat An-Naml ayat 15-16 yang artinya “Dan Sesungguhnya kami
Telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan:
"Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hambahambanya yang beriman". Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia
berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan
kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia
yang nyata". [4]. Dalam hadits disebutkan, “Tuntutlah ilmu walaupun di negeri

Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka kepada para
penuntut ilmu karena senang (rela) dengan yang ia tuntut. (H.R. Ibnu Abdil
Bar).
c. Alasan lain untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji tidak hanya sebatas pada
studi-studi teologis dan hukum-hukum agama saja yang berhubungan dengan
halal haram saja. Hal ini dikukuhkan oleh sejarawan-sejarawan pada masa kini
bahwa selama beberapa abad para ulama-ulama Islam merupakan pembawa
obor pengetahuan, karya-karya mereka dipakai sebagai buku-buku teks di Eropa
selama berabad-abad.
d. Memilah-milah kelompok ilmu dengan alasan ilmu itu tidak memiliki kesamaan
nilai dengan studi-studi agama, tidaklah benar. Karena bidang ilmu apapun yang
konsusif terhadap pemeliharan dan kekuatas vitalisas masyarakat Islam, ilmu
tersebut wajib kifayah.[8]
Sampai saat ini telah terbukti bahwa perintah Al-Quran dan Sunnah mengenai
menuntut ilmu tidak hanya sebatas ajaran syariat tertentu, tetapi juga mencakup setiap ilmu

6

yang berguna bagi manusia. Jelas bahwa menyembah Allah tidak hanya shalat, haji dan

sebagainya, suatu gerakan menuju taqarrub (kedekatan) kepada Allah SWT juga dianggap
sebagai ibadah. Salah satu cara untuk menolong manusia dalam perjalanannya menuju
Allah adalah ilmu, dan hanya dalam hal inilah ilmu dpandang bernilai.
Di dalam Islam batasan mencari ilmu hanyalah bahwa orang Islam harus menuntut
ilmu yang berguna. Islam hanya melarang menuntut ilmu yang mudharatnya lebih besar
dari manfaatnya, seperti sihir, judi dan sebagainya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu theologi
maupun ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, selama
memerankan peranan ini, maka ilmu dianggap suci.

3. PENDEKATAN AL-QURAN TERHADAP SAINS
Sikap yang paling umum di dunia Islam adalah melihatnya sebagai suatu kajian yang
objektif terhadap alam dunia, yaitu sebagai suatu cara untuk menguraikan ayat-ayat Tuhan
tentang alam semesta. [9]
Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab
suci al-Qur‟an. Bahkan kata „ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 105 kali,
tetapi dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali. Sains merupakan salah satu
kebutuhan agama Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah
selalu memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan
shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu
tertentu dan untuk mentukan waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam

Islam pada abad pertengahan dikenal istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”.
Banyak lagi ajaran agama yang pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan
teknelogi, seperti untuk menunaikan ibadah haji, bedakwah menyebarkan agama Islam
diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah telah meletakkan garis-garis besar
sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur‟an, manusia hanya tinggal menggali,
mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana terdapat dalam
surat Ar-Rahman ayat 33 yang artinya Hai jama‟ah jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat
menembusnya kecuali dengan kekuatan.[4]

7

Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara
ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh
Allah untuk mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan
kekuatan (sulthan); kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama
adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknelogi, dan hal ini telah terbukti di era mederen
sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menmbus angksa luar
bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknelogi telah
berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet-pelanet

lainnya.[10]
Sains dan teknologi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan muslim maupun oleh ilmuan
barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, itu semua sebagai bukti kebenaran
informasi yang terkandung di dalam al-qur‟an, karena jauh sebelum peristiwa penemuanpenemuan itu terjadi al-Qur‟an telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal itu, dan ini
termasuk bagian dari kemukjizatan al-Qur‟an, dimana kebenaran yang terkandung
didalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara
ilmiyah oleh siapa pun.

4. RELIGIUSITAS SAINS
Ketakwaan terhadap Allah Subhanahu Wa ta'ala sangat di butuhkan oleh para pemikir
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemakmuran dan kemajuan peradaban
dunia seisinya. Untuk itu diperlukan upaya memasukkan aspek religiusitas ke dalam
setiap aktivitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, integrasi imtak (iman dan takwa)
merupakan alternatif yang dapat ditempuh, dengan demikian diharapkan setiap hasil
pemikiran dan karya akan senantiasa berada dalam bingkai nilai dan spiritualisme.
Upaya ini, setidaknya sejalan dengan rekomendasi Nasr, yang menyatakan bahwa
Pendidikan sains yang sesuai dengan perspektif Islam harus dimulai dan memiliki
pandangan kosmos yang qurani sebagai latar belakang di setiap jenjang pendidikannya.
[11]. Ada beberapa kosep religiusitas sebagaimana dikembangkan oleh Glock & Stark
dimana spiritualitas dapat diartikan terdiri dari 5 dimensi, yaitu: [12,13]
a. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat
keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaranajaran fundamental atau dogma.

8

b. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat
kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan
di dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang dalam
melaksanakan ibadah, sembahyan, puasa, dll.
c. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau experiental dimension), yaitu yang
menunjukkan seberapa jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami
perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman religiusnya. Misalnya seberapa
besar seseorang merasakan kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya
terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan.
d. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang menunjukkan tingkat
pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama
yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya, apakah
individu memahami bagaiman cara melakukan sholat, bagaimana cara mensucikan
diri dari kotoran, berpuasa yang benar, dll.
e. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang menunjukkan tingkatan
seseorang dalam berprilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa
jauh seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku hidupnya
sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamanya mengajarkan untuk beramal, maka
dengan senang hati mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti
menolak untuk mencuri, berbohong atau memakai narkoba.

Untuk merealisasikan pandangan-pandangan di atas, perlu ditelaah lebih jauh
kehidupan dan karya ilmuwan muslim. Para tokoh Islam terkemuka mengatakan bahwa
Al-Quran bukanlah sebuah buku ilmu kealaman, tetapi kitab petunjuk dan pencerahan.
Rujukan Al-Quran terhadap fenomena alam dimaksudkan untuk menarik perhatian
manusia pada Pencipta Alam yang Maha Mulia sebagaiman Surat Ar-Rum ayat 22 yang
artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.”
Dalam prespektif Al-Quran, memahami alam bukanlah usaha yang bermakna,
kecuali jika ia membantu kita memahami Penciptaan Allah SWT dan bisa mendekatkan
diri kepada-Nya. Memahami alam dapat mengembangkan wawasan manusia bagi

9

pengenalan Allah SWT dan memungkinkannya untuk dapat lebih baik dalam
memanfaatkan pemberian Allah SWT demi kebahagian dan kesejahteraannya.
Islam melalui Al-Qur‟an telah memotivasi seluruh umat Islam untuk berfikir dan
merenungkan alam semesta ini untuk mengenal kebesaran Tuhan,sebagaimana tersebut
dalam Surat Al-Baqarah ayat 164 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi,silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa
yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air lalu
dengan air itu kami hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi
itu segala jenis hewan,dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit
dan bumi, sesungguhnya terdapat tanda-tanda (ke-Esaan dan Kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan”.[4]

Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi,
yaitu:
a. Pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimana
cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu
pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara
mendapatkan pengetahuan yang benar. Dapat

dikatakan bahwa al-Qur‟an

menggunakan kata ilmu dalam berbagai bentuk dan artinya antara lain, sebagai
proses pencapaian ilmu pengetahuan dan objek ilmu pengetahuan tentang
sumber-sumber ilmu pengetahuan, di samping klasifikasi dan ragam
disiplinnya. Sehingga sebagian ilmuwan muslim berpendapat bahwa ilmu
menurut al-Qur‟an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi
manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, baik
tentang ilmu-ilmu fisika (empirik) maupun metafisika (non empirik).[15]
b. Kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objek
kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian ilmu.
Hakikat ilmu adalah segala pengetahuan manusia tentang alam fisik maupun
metafisika baik yang diperoleh melalui pengalaman empirik, melalui
penggalian pemikiran rasional, melalui kontemplasi pemikiran, maupun melalui
wayu Tuhan, baik wahyu yang langsung maupun yang tidak langsung. Dengan
demikian, hakikat ilmu menurut al-Qur‟an sangat luas dan tidak terhingga
bahkan lebih luas dari cakrawala pemikiran manusia dan jagad raya ini.

10

Hakikat ilmu berdasarkan tingkat kepentingannya bagi manusia dapat
diklasifikasi kepada “ilmu yang wajib diketahui”, “yang dianjurkan untuk
diketahui”, dan “yang boleh diketahui serta dapat diketahui manusia untuk
kemaslahatan dan kebaikan hidupnya baik secara individual maupun secara
sosial, di dunia maupun di kehidupanakhirat.”
Dikatakan wajib diketahui karena ada cabang-cabang ilmu yang secara shar„i>
hukumnya wajib diketahui seperti ilmu akidah untuk memperoleh keimanan
yang benar dan ilmu-ilmu syariah untuk mematuhi dan menjalankan aturan
Tuhan dengan benar, dan ada ilmu akhlak untuk membimbing perilaku yang
baik dan terpuji serta meninggalkan perilaku yang tercela. Ada pula cabangcabang ilmu yang wajib diketahui tetapi bersifat fardu kifayah, yaitu hanya
diwajibkan kepada sebagian orang dan tidak kepada setiap individu. Jika
sebagian orang sudah mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban bagi yang
lainnya. Termasuk dalam kategori ini adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
keahlian atau profesi yang dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat luas.
Misalnya, ilmu kedokteran memang diperlukan untuk mengobati orang sakit,
tetapi tidak setiap orang diwajibkan belajar ilmu kedokteran. Demikian pula
ilmu-ilmu lainnya yang diperlukan untuk kepentingan orang banyak tetapi tidak
mungkin semua orang dapat menguasainya. Seperti ilmu-ilmu fisika, kimia,
biologi, zoologi, ekonomi, politik, filsafat, dll. Ilmu seni dengan berbagai
cabangnya jika digunakan untuk kebaikan dan dilakukan dalam batasbatas
moral yang dibolehkan oleh shari„at merupakan contoh ilmu yang dibolehkan
untuk dipelajari. Ada pula ilmu-ilmu yang haram dipelajari jika bertujuan untuk
merusak kehidupan dan merusak keyakinan aqidah manusia, seperti ilmu sihir
dan ilmu-ilmu seni yang dapat merusak moral masyarakat.[15]
c. Ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang
tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini
lebih dikenal dengan teori nilai. Nilai guna ilmu pengetahuan selalu
dihubungkan dengan kedudukan dan tugas keberadaan manusia di muka bumi.
[15] Keberadaan manusia di muka bumi memiliki kedudukan ganda, di satu
pihak manusia adalah sebagai khalifah

dan di pihak lain manusia

berkedudukan sebagai hamba Tuhan, sebagaiman tersebut dalam Surat Al
Baqarah : 30 Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para

11

Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.” Dalam konteks ini, tujuan ilmu pengetahuan adalah:
-

Dalam kedudukannya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memiliki
pengetahuan

tentang

kepemimpinan,

kemasyarakatan,

kebudayaan,

kealaman, dan pengetahuan-pengetahuan praktis yang bersifat profesional,
di mana masing-masing individu satu sama lain saling membutuhkan dan
tidak mungkin dimiliki atau dilakukan semuanya oleh seorang individu. Di
samping itu, manusia juga dituntut untuk memiliki ilmu-ilmu tentang
akhlak, etika dan moralitas yang terpuji serta aturan-aturan hukum
(syari„ah). Semua ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan manusia untuk
dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, ketertiban dan
kedamaian dalam kehidupan masyarakat serta menjaga keseimbangan dan
kelestarian alam sebagai tempat manusia berkiprah.
-

Dalam kedudukannya sebagai hamba Tuhan, manusia dituntut selain untuk
memiliki pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan,
sifat-sifat Tuhan, makna dan eksistensi kehidupannya di alam dunia
maupun alam akhirat, mahluk-mahluk Tuhan yang tidak tampak kasat mata
tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan, tentang kehidupan
sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka, dll. Juga untuk
memiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi
manusia, tentang tata cara penyembahan (ritual) yang benar, seperti salat,
berdoa, berzikir, puasa dan haji (syari`ah dalam arti sempit). Semuanya itu
diperlukan semata-mata sebagai bekal penghambaan manusia kepada
Tuhan.

Peningkatan kualitas spiritual ketika berinteraksi dengan bidang ilmu pengetahuan
dan aplikasinya, sehingga dalam menghadapi segala permasalahan tentang ilmu
pengetahuan hendaknya untuk tetap berikhtiar, tidak mudah berputus asa, dan tidak
menunda-nunda untuk tetap mempelajari konsep pengembangan ilmu pengetahuan.
Diantra prilaku relijius ilmuwan muslim diatranya adalah mensucikan diri dengan air,

12

memakai pakaian yang bersih, kemudian shalat istikharah, berdoa dan menyampaikan
hajatnya kepada Allah SWT, kemudian bershadaqah. Dari gambaran tersebut, diharapkan
seluruh ilmuwan menyadari betul bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya berasal dari
Allah SWT, al-„Alīm, yang karena itu, kepada Nya jualah, permohonan untuk untuk
mendapatkan ilmu dipanjatkan.
Nasehat dan praktek spiritualisasi yang dilakukan tersebut, pada dasarnya
merupakan bagian dari upaya penciptaan suasana religius dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di

modern. Spiritualisasi sains nampaknya juga menjadi kecendrungan

perkembangan sains modern, baik di Barat maupun di dunia Islam. Dalam upaya ini,
dunia Islam mengenal tokoh-tokoh yang menggaungkan pentingnya Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, semisal Jabir bin Hayyan, Ismail Raji Al-Faruqi, Nequib al-Attas, Ziauddin
Sardar, Mehdi Ghoulsyani, dan lain lainnya.
Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal
Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan al-Qur‟an. Hal ini membuktikan
bahwa Al-Qur‟an, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu, adalah wahyu Tuhan, bukan
karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan
justifikasi ini adalah Harun Yahya, Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun,
konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa
legitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern tidak diperlukan oleh Kitab suci.
Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan
konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan
kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun demikian proses tersebut tidak cukup dan
harus dikembangkan ke dalam konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah
kemunduran umat.

5. SEKULERITAS SAINS
Pada awal masa Pencerahan abad ke 18, para saintis dan ilmuan Barat menjadikan
spirit agama mereka sebagai dorongan untuk pencarian kebenaran melalui sains
alam.Mereka pada umumnya masih mengakui Tuhan dan menganut agama, meskipun
benih-benih kekritisan yang sangat tajam terhadap dogma-dogma agama Kristen yang
dianggapnya tidak masuk akal mulai tumbuh. Jean Louis Agasizz (1807-1873) seorang
Palaentologis dan ahli Biologi mengatakan bahwa Tuhan adalah omong-kosong positif.
John Tyndall (1820-1893) seorang fisikawan yang dikenal teorinya dengan “efek Tyndall”,

13

ia melarang Tuhan masuk dalam memasuki ilmu alam dan mengizinkannya masuk dalam
proses-proses emosional.
Tidaklah berlebihan jika Engels menuliskan dalam Dialectics of Naturenya, bahwa
Tuhan tidak pernah diperlakukan lebih buruk oleh para ilmuwan yang percaya pada
Nya.Laplace(1749-1827) misalnya, seorang matemati kawan dan fisikawan terkemuka
yang terkenal dengan transformasi Laplacenya, ketika ditanyakan oleh Napoleon
Bonaparte, mengapa ia tidak menyebut nama Tuhan ketika membahasa mekanika
angkasanya? Ia menjawab: “Hal-hal seperti itu tidak ada gunanya bagiku”. Charles Darwin
(1809-1882) secara lebih halus menyatakan bahwa ia tidak menentang eksistensi Tuhan,
namun ia menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan semua spesies yang ada. Tuhan
hanya menciptakan spesies-spesies awal dan hukum seleksi alamlah yang membentuk
keragaman spesies. Ia membantah Teori Penciptaan dengan menuliskan:

“This grand fact of the grouping of all organic beings under what is called the
Natural System, is utterly inexplicable on the theory of creation” (Fakta besar
tentang pengelompokan semua makhluk hidup melalui apa yang disebut dengan
Sistem Alam, sama sekali tidak dapat dijelaskan pada teori penciptaan)
Darwin memposisikan Tuhan sebagai Pencipta makhluk hidup dalam tahap
permulaan namun makhluk hidup itu sendiri yang beradaptasi dengan lingkungan sehingga
membentuk keragaman. Sikap Darwin terhadap posisi Tuhan ini parallel dengan sikap
saintis dan filsuf awal yang menempatkan Tuhan hanya sebagai Prima Causa atau sekadar
sebagai Pembuat Jam, sebuah pandangan yang dikenal juga sebagai Deisme. Serangan
halus terhadap Tuhan dari Darwin dapat dimaklumi karena iklim kegamaan masih cukup
kuat di Eropa, sebagaimana cara untuk menghindarkan dari serangan frontal kaum
agamawan.
Pernyataan “perang” dari para ilmuwan dan saintis terhadap agama dan hal-hal
metafisikapun semakin terang dan terbuka, misalnya sebagai contoh Bertrand Russe
lhingga harus menyatakan serangannya pada ketuhanan (khususnya Kristen) dan agama
Kristen melalui buku setebal 159 halaman. Ia menuliskan dalam bukunya bahwa sains
tidak mendukung adanyaTuhan Kristen dan bahwa statusnya sama denga mitos Tuhan
dalam peradaban Yunan, MesirKuno, dan Babilonia:

14

“God and immortality, the central dogma of Christian religion, find no support in
science…The Christian God may exist; so may God of Olympus, or of ancient
Egypt, or of Babylon” (Tuhan dan keabadian, dogma sentral dari agama Kristen,
tidak memiliki dukungan sains…Tuhan Kristen bolehjadi ada; demikian juga
Tuhan Olimpus, atau (tuhan) Mesir Kuno, atau (tuhan) Babilonia).
Tidak terhitung ilmuwan dan saintis Barat pada akhir masa Pencerahan yang
menyerang secara terbuka ketuhanan dan agama, khususnya Kristen danYahudi, dan
mengungkapkan kemuakannya padahal-hal metafisika. Penentangan ilmuwan dan saintis
terhadap hal-hal metafisika seperti Tuhan dan agama berlanjut hingga masa modern saat
ini, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh ahli Fisika terkemuka Stephen Hawking bahwa
“Tuhan tidak menciptakan alam semesta”, dalam karyanya “The Grand Design”.
Demikian juga saintis ahli Biologi Richard Dawkins seorang penganut ateisme
terkemuka.Melalui sederet karya tulis dalam bentuk buku, website, dan videonya ia
dengan gigih mempromosikan gagasannya tentang ateisme dan ilusi agama dan ketuhanan,
ia menyerang berbagai keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai sesuatu yang
tidak bisa diterima sains modern.
Sekularisasi perlahan namun pasti tidak hanya merambah pada wilayah filsafat,
politik, agama, namun juga wilayah sains alam dan metoda ilmiahnya. Sekularisasi mulai
mempertanyakan tentang kebenaran dan pengetahuan yang berasal dari Kitab Suci dan
kaum agamawan, dan mereka mulai berfikir tentang pencapaian kebenaran melalui akal
manusia dan pengamatan terhada palam.Pada akhirnya dua aliran pemikiran ini
mengkristal menjadi dua pilar dalam pembentukan metoda untuk memperoleh
pengetahuan yang disebut dengan metoda saintifik (scientific methods). Hal inilah yang
disebutkan oleh Prof. S.M.N Al-Attas bahwa sekularisme memiliki bagian-bagian utama:
„„penghilangan pesona dari alam tabii‟ (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan
kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan
kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values).
Sekularisasi membawa dampak besar dalam sains. Alam tidak lagi berhubungan
dengan Tuhan, ia bukan lagi jejak Tuhan di dunia (vestigia dei), ia lepas dari alam, dan
alam menjadi sekadar sesuatu yang diciptakan Tuhan kemudian berjalan sendiri secara
mekanis. Tuhan seperti pembuat jam (clock maker), dan alam ini seperti jam yang berjalan
dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan di dalamnya. Tuhan adalah tuhan Pencipta
alam, prima causa, first creator, namun bukan Tuhan yang senantiasa memelihara alam

15

semesta. Prof. DR. H.M, Rasjidi mencoba meringkaskan keadaan di Inggris dan Prancis
pada masa Pencerahan tersebut, bahwa pemikiran berkisar pada tiga unsur :
1. Kepercayaan penuh kepada metoda ilmu pengetahuan (metoda saintifik)
2. Kehilangan kepercayaan kepada dogma agama (yang dimaksud adalah agama
yang dikenal di Barat, yakni agama Kristen).
3. Serta makin meresapnya faham materialisme, yakni pendapat yang mengatakan
bahwa yang ada hanyalah benda (materie), karena dapat disadari dengan pancaindera, sedangkan jiwa tidak demikian (tidak merasakan).
Cara pandang khas Barat seperti di atas merambah pada dunia Muslim. Akibat dari
sekularisasi sains, banyak saintis muslim yang tidak lagi tertarik pada “ilmu-ilmu Agama”.
Agama kalaupun masih dipraktikkan, ia tidak menjadi suatu pandangan-alam (worldview)
atau paradigma berfikir, ia sekadar sebagai ritual yang terpisah dari dunia ilmiah dan
sekadar obat penenang dari masalah-masalah hidup. Tidak sedikit lembaga-lembaga
“pendidikan” yang memicingkan mata pada perkuliahan agama di perguruan tinggi,
kalaupun tak cukup berani menghilangkannya, sekurangnya diarahkan pada sekdar
perkuliahan etika profesional.
Sejauh ini, tidak ada masalah serius di kalangan muslim saintis di masa lalu.
Mereka mampu menjawab masalah-masalah sains dalam hubungannya dengan agama
dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kekokohan epistemologis dan
memahami dengan baik kedudukan sains dan agama. Masalah muncul di kalangan saintis
muslim saat ini disebabkan mereka mengambil framework (kerangka-kerja) Barat sebagai
saintis muslim.
Memang tidak sedikit buah yang diperoleh dari kemajuan sains di Barat, namun
kita perlu mewaspadai onak dan duri yang berbahaya, yang tidak dapat dilihat kecuali kita
telah memiliki pandangan-alam Islam dengan baik. Jika tidak, tujuan sains dan pendidikan
sains sekadar menjadikan warga negara yang baik atau fungsional, bagaimana ia menjadi
alat bagi pemenuhun keperluan negara, dan bukan manusia yang baik dan beradab, lebih
mengkhawatirkan lagi, kecendrungan sains hanya menjadi alat bagi korporasi dalam
mengeruk kekayaan alam tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan. Para filsuf dan
saintis menempatkan Tuhan pada tempat yang ia inginkan, mengacuhkan Tuhan,
mempertanyakan Tuhan, menolak Tuhan, atau bahkan mengolok-olok Tuhan, mereka
tidak lagi melihat jejak Tuhan di alam, sebagai ayat, sebagai Vestigia Dei. Alam bukan

16

lagi bermakna petunjuk, ia sekadar objek yang tidak menunjukkan pada sesuatu yang lain,
kecuali fakta dan data atau hukum-hukum relasinya.
Metafisika tidak ditempatkan dengan semestinya dan dipisahkan sama sekali dari
Fisika. Akibatnya tujuan sains terbatas pada pemuasan rasa ingin tahu (curiousity) atau
pencarian hal-hal baru, scientia gratia scientiae, pengetahuan semata hanya demi
pengetahuan. Dalam paradigma sains modern, tugas utama seorang saintis alam dalam
metoda saintifik adalah bagaimana menemukan hubungan antara besaran-besaran fisis
yang dapat diindera atau diukur yang diharapkan bebas dari apriori atau suatu pengetahuan
deduktif yang dianut rasionalisme. [16]

6. KESIMPULAN
Menurut al-Qur‟an pengembangan ilmu memiliki tujuan yang mulia yakni untuk
menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Sebaliknya, ilmu tidak
boleh digunakan untuk tujuan yang dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi baik
merusak manusia secara individu maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan.
Dengan demikian, pengembangan ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan
kemaslahatan (meaningfull). Al-Qur‟an tidak dapat menerima pandangan sebagian filosof
dan ilmuan Barat yang berpendapat bahwa ilmu bebas nilai (meaningless). Pandangan
yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan
sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama, etika dan moral. Seperti jargon
mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk ilmu” atau “seni untuk seni”, sehingga
pengembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak perlu memperhatikan nilai-nilai moral,
etika dan agama. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam
al-Qur‟an. Sehingga kedepan ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan secara
bertahap untuk menerapakn kosep-konsep religiusitas, dengan harapan akan tercipta
susana kemajuan peradaban dunia seisinya secara seimbang dan berkelanjutan.

7. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. A. Aziz Darwis, MSc
Selaku Dosen Falsafah Sains Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor, 2015

17

8. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Bahan kuliah Falsafah Sains, semester ganjil TIP-IPB 2015
[2]. Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat
Modern (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) hal. 39
[3]. Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, (Bandung:
Mizan), Hal. 9
[4]. Departemen Agama Ri, Alhidayah Al-quran Tafsir Per Kata (Jakarta: Kalim)
[5]. http://sains4kidz.wordpress.com/2009/07/19/definisi-sains/diakses Tanggal 24
oktober 2015
[6]. Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qu'ran, Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 7.
[7]. Mahdi Ghuzani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran (Bandung: Mizan 1988). Hal. 41, 44
[8]. Mahdi Gulzani, Op.cit, Hal. 44-47
[9]. Tim, Tuhan, Alam Manusia Prespektif Sains dan Agama (Bandung : Mizan), Hal. 75
[10].http://blitarq-doel.blogspot.co.id/2013/03/ayat-ayat-tentang-ilmu-pengetahuan.html,
diakses tanggal 24 Oktober 2015
[11]. Nasr, Ensikolopedi Tematik Spiritualitas Islam (Buku Pertama):, h. 336.
[12]. Ancok, D & Suroso, F.N. 1994. Psikologi Islami : Solusi Islam Atas ProblemProblem Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
[13]. Safaria, Triantoro. 1999. Peranan Tingkat Religiusitas Terhadap Stres pada
mahasiswa UAD. Skripsi. Yogyakarta Fakultas Psikologi UAD.
[14]. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), 106.
[15]. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1992), 62.
[16]. http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2014/06/23/23804/mengapa-sainsmodern-menjadi-sekular.html/2, diakses tanggal 24 Oktober 2015.

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN WARISAN OLEH AHLI WARIS MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA

7 73 16

ANALISIS TENTANG STATUS HUKUM MACAM- MACAM HARTA PERKAWINAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT JAWA

3 28 18

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

KAJIAN YURIDIS TERHADAP SEORANG WALI YANG MELAKUKAN PENGAMBILAN HARTA WARIS ANAK DIBAWAH PERWALIANNYA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

1 28 17

PERKEMBANGAN YAYASAN PERGURUAN ISLAM DARUL HIKMAH DI JATILUHUR BEKASI 1997.2010

0 50 151

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PENGARUH MOTIVASI DAN KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI SAINS DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GI (GROUP INVESTIGATION) TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS XI SMTI TANJUNG KARANG

2 35 49

PENGARUH SKILL ARGUMENTASI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP LITERASI SAINS SISWA SMP

3 24 50

GAYA KEPEMIMPINAN WALI KOTA BANDAR LAMPUNG 2012-2014 DI BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN MENURUT PERSEPSI MASYARAKAT KECAMATAN TANJUNG KARANG TIMUR

3 34 79

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PROSTITUSI ONLINE SEBAGAI TINDAK PIDANA PELACURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

8 71 86