Anatomi Manajemen Publik dalam Konteks P
W
TAHUN II, NOMOR 1, APRIL 2OO3 ISSN 1412.7044
CENTRE FOR PUBLIC POLICY AND MANAGEMENT STUDIES
Jurusan llmu Administrasi Neg ara
Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik
U niversitas Katolik Parahyangan
-.T-.-
J
u RNA_L_4o r.l
in?Jrnnsr
pu
ISSN t4I2-ZO4O
=
B
Lr K
Dal
Jurnal Administrasi-pubrik (.J{p)
.meruqgkan, majarah. irmiah yang terbit dua
kali dalam satu tah.un, ber)si tLrisJn-yang
ueruentut""rruy dan atau hasir
penelitian datam kajiiri AJmil..ririiiii'puorir.
Penasehat
Edil
Whi
Ale
Penanggungjawab
Dekan FISIP Universitas Katolik parahyangan
Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara,
FISIp
UNPAR
Pemimpin Redaksi
Redaksi pelaksana
Susana Ani Berliyanti
Ana
Tutik Rachmawati
di Ir
Leo
Dewan Redaksi
Tata Usaha
dan Sirkulasi
Deny M.Tri Arvadi
Desi Fernandd
Dgdung Sumahdumin
9lna Ningsih yuwono
Hubertus Hasan Ismail
Sadu Wasistiono
Ulber Sitatahi
Christiana yuni Kusmiati
The
NGO
Bob
Politi
dalar
: Jan Mulyana
Alan
: Center
policy and
for public
-t-*.'r*it'nr,riiju^isin-haiiiii"ll#,"e,?E:1",
Penerbit
Setting dan
Layout : CV. parahyangan Lestari
JAP menerima turisan ygng berum pernah.diterbitkan
baik merarui media di
if,
ii+#f:"{s"13:33.,3iJX.*r.".?sfi
:,[Th1li"ft ff ,?,1i1?'J#,,,f
Alamat Redaksi
:
Center for p_ublic policy and.Management
Studies
\ v,,', J,,
"r (CPMS)
J u rusa n,I I rh ulo m in iiir#
i
rrr eg-a.i-'
Fakuttas l.tmu Sosiji Aaiillmu potitik
Universilas Katolik RErahyangan
Jl. Ciumbuleuit No. 64
,",81?Bill.I?o\I'r'
Fax. (022\.203s75s
e-mail : [email protected]
ffi
#
Anali
dan t
of Pu
Poliq
llarii
Relev
dan P
Kualit
Utber
CPT$
DAFTAR
ISI
Daftar Isi
Editorial
1
What can Indonesia learn from American Federalism?
Aleksius Jemadu ph.D
4-14
Anatomi Manajemen publik dalam Konteks perubahan
di Indonesia pasca Reformasi
Leo Agustino
The Politics of civil society in The post-Suharto Indonesia
NGO'sand CSO's Relations
Bob S. Hadiwinata
t5-42
:
43-60
Politik dan Birokrasi : Reposisi peran Birokrasi pubrik
dalam Proses politik Lokal
Alamsyah
61-78
Analisis Formulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Listrik, Terepon
dan BBM di tahun 2003 : Disintegrate Sytem Model
of Public Policy Toward Organizational Learning and
Policy Change
Maria Rosarie Harni Triastuti
79-9s
Relevansi Kebijakan Human-Centered Development
dan Perbaikan Kuaritas pendidikan daram pengembangan
Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
Ulber Silalahi
96 - tL7
CPMS EVENTS
118
/
,ftl
1/-nt
"/f
'/
lsp
0"lr4L;
Anatomi Manajamen Publik dalam Konteks perubahan di
Indonesia Pascareformasi
ig
ht
b.
Leo Agustinoe
lo
There are three kinds of societies : high trust
society, low trust society and zero trust society or
In
distrust society. Indonesia tries to
achieve
democratization, therefore should provide civil
liberties and political rights to all citizens,
unfortunately in the Suharto's regime those were
not exist. Government only accommodate certain
groups: entrepreneurs, bureaucrats and military.
Many books reveal ways to change the authoritarian
government to democratic government. Role of the
elite, society involvement, and mix between elites
and societies. Huntington mentioned three scenarios
should be used. Transformation, replacements and
transplacements. According to Larry, external
intervention could be used to make the change.
At the end of the 20th century, Indonesia has most
dramatic political experience. Reformation Era arises
and supported by the arises of freedom to speak (at
the pers level). After five years of the transition
time, many questions emerge and need answers.
Where the reformation is leading? Indonesian citizen
think that democratic movement is not congruence
with many people wished and may be get worse
than Suharto's regime. The writer proposes the
continuing new democratic way to support the
reformation process. Based on that, the writer
focuses on several problems. Civil society, local
autonomy relate to socio economic development,
civil-military relationship, gender and
women
representatives.
s
Pengajar di Jurusan Ilmu Adminstrasi Negara, FlSlP-Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung
r
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN
l4!2-7O40
15
Pendahuluan
Dalam bukunya Trust: the social virtues and the creation
o.f Prosperity (1995) Francis Fukuyama pernah men-thesis-kan
dua bentuk masyarakat, pertama, masyarakat dengan tingkat
kepercayaan tinggi (high trust society) dan masyarakat ying
bertingkat kepercayaan rendah (row trust society). pada bukunyl
tersebut ia berujar bahwa tingkat kepercayaan masyarakat dapat
dibangun melalui social cgoitalyang berbasis pada rifut dun sikap
untuk saling percaya baik daram bentuk relasi horisontal maupun
vertikal. Melalui pendekatan pengkategorian masyarakat tersebut
Fukuyama dapat menganarisis mengenai perkembangan sosiar,
politik, serta ekonomi di suatu negara. Kemudian bagaimana
kabarnya bila kita kaitkan dengan Indonesia?
Bila Fukuyama mengatakan ada dua bentuk masyarakat
yang dapat membangun lanskap sosial, ekonomi, dan politik,
t?k? penulis perlu menambahkan satu kategori masyarakat lagl
untuk menganalisis.pembangunan sosiar, etonomi,'dan poritik
tersebut di atas, yakni: zero trust sociefy atau distrust society.
Kenapa demikian? Jawabannya bisa dirujuk melalui akar se3arah
panjang Indonesia, yang dibangun merarui pemberontikan,
konflik, pertentangan kepentingan, saring tidak p"r.uyu, saring
sikut satu dengan yang rainnya. pJoa intinya tidak
ada
kepercayaan, zero trust sociefy atau distrust society, diantara
warga masyarakatnya. oleh karena itu, sangat perlu dibahas
pada masa perubahan sekarang ini mengenai manalamen publik
yang berusaha . mengurai persoalan-persoalan
yang telah
mengakar pada sikap dan perilaku bangsa Indonesia, pengaturan
serta pemformatan ulang oleh birokrat begitu penting bukan
sebagai wadah otoriter baru tetapi berupaya untuk mengarahkan
masyarakat yang distrust menjadi lebih saiing percaya dln saling
bahu-membahu guna membangun negara. Era reformasi inilah
momen yang tepat guna perubahan yang radikal itu.
Pada awar dan pertengahan 1990-an kita
seraru
berargumen bahwa secara teoritik- perjuangan Indonesia ke arah
demokratisasi semakin hari semakin mewuiud ke dalam bentuk
yang ideal. Hal ini didasarkan atas asumsi yang menyatakan
bahwa demokrasi hanya dapat ditegakkan dalam s-atu komunitas
yang telah memenuhi beberapa kriteria atau syarat. Merujuk
pada pendapat Raymond D.Gastir (1993), suatu tatanan
demokratis .baru dapat tegak apabila ditoping oleh landasan
kebebasan sipil (civit tiberties) yang kuat dan d[alankan dengan
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN
I4I2-704O
16
konsekuen, serta diberikannya hak-hak politik (political rights)
yang seharusnya pada seluruh lapisan masyarakat.
Namun sayangnya, diparuh kedua tahun 1990-an, ketika
rezim Soeharto menyerahkan mandatnya pada
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Istana Merdeka, yang terjadi
bukanlah political developmenf seperti apa yang dibayangkan dan
diharapkan banyak orang, yang terwujud justru political decay.
Przeworski ( 1993), seorang pemikir politik mengemukakan
mengenai pelbagai kerumitan yang muncul manakala
demokratisasi digulirkan pada masyarakat transisional,
khususnya dari masyarakat otoriter atau totaliter menuju
masyarakat demokratis. Penopangan demokratisasi, menurutnya,
baru dapat berjalan dengan baik apabila kepentingankepentingan pelbagai elemen dapat diakomodir; mulai dari
kepentingan angkatan bersenjata yang hendak menjaga otonomi
konstitusinya, kaum pengusaha yang berupaya memelihara hak
milik dan alat-alat produksinya, para birokrat yang berupaya
mengamankan posisinya dari persoalan-persoalan hukum, sampai
kepentingan kelas pekerja yang berdaya upaya untuk
memperbaiki nasib, dan lain-lain. Dalam kajian politik, peralihan
dari rezim yang otoriter menuju rezim demokratis dapat muncul
melalui tiga pendekatan. Pendekatan pertama, demokrasi dapat
muncul oleh karena peran elite (Dankwart Rustow, L97O);
kedua, peran aktif masyarakat termasuk organisasi non
pemerintah, kelompok penekan, kelompok kepentingan, dan lainlain,untuk menggugat pemerintahan yang lalim (John Keane,
1988; Jean L. Cohen and Andrew Arato, 1995); ketiga,
kombinasi dari kedua pendekatan sebelumnya,
yakni
penggabungan antara peran aktif dari masyarakat dan keinginan
dari elite yang berkuasa (Donald Share, t9B7; Guillermo
O'Donnell, Phlippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead, 1993).
Atau dalam bahasa lain, ada kerja sama dari softliner yang
berada di dalam kekuasaan dengan individu-individu yang berada
di luar kekuasaan.
Merujuk pada teori lain, Huntington (1995) misalnya,
peralihan dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan
demokratis mengambil tiga skenario, yaitu: pertama,
transformasi. Transformasi adalah sebuah proses demokrasi yang
dikendalikan atau dimotori oleh elite penguasa. Dalam kerangka
tersebut, demokratisasi merupakan konsekuensi dari perubahan
yang terjadi dalam tubuh rezim itu sendiri berupa pemihakan
penguasa pada proses-proses demokrasi. Kedua, replacement
atau pergantian rezim. Dalam kasus ini proses demokrasi terjadi
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN 1412-7040
L7
,iim
lebih disebabkan oleh runtuhnya rezim yang
berkuasa.
Keruntuhan rezim itu disusul secara langsung dengan naiknya
rezim yang benar-benar baru dan pro pada kegiatan-kegiatan
yang demokratis. Ketiga, transplacement atau perombakan
rezim. Demokratisasi pada skenario transplacement tumbuh
karena adanya sinkretisasi di dalam dan di luar tubuh rezim
berkuasa. Dorongan yang kuat dari dalam aparatur negara
dikombinasikan dengan faksi-faksi pro demokrasi yang ada di
dalam masyarakat yang kemudian bersatu dalam rezim baru
guna mendorong lahirnya proses-proses demokrasi
yang
dicitakan bersama. Persatuan dua kultur yang berbeda inilah
yang kemudian mengendalikan sinergitas demokrasi suatu
negara.
Ada satu skenario lain yang juga dapat dijadikan rujukan
bagi pendemokrasian demokrasi, teori ini diintrodusir oleh Larry
Diamond dkk. (1991). Menurutnya mendemokrasikan demokrasi
di negara-negara yang awalnya otoriter dapat terjadi dengan
jalan infervensi. Intervensi merupakan suatu proses demokrasi
yang dihasilkan dari keikutsertaan pihak luar (asing) dalam
melengserkan rezim berkuasa dengan jalan diplomasi atau
lainnya. Kemudian, dengan bantuan pihak luar pula entitasentitas dalam unsur-unsur negara dan masyarakat belajar
menjadi elemen-elemen yang demokratis. Kejadian di
Afghanistan dan Timor Timur merupakan salah satu contohnya.
Transisi menuju demokrasi di Indonesia dari pemerintahan
atau rezim yang otoriter menuju rezim yang (relatif) demokratis
menjadi peristiwa politik paling dramatis pada akhir abad ke-20.
Meski kadang menyakitkan, proses peralihan menuju demokrasi
ini telah mengembalikan bangsa Indonesia pada kebebasan yang
sudah tak berwujud sejak eksperimen demokrasi pertama yang
berusia pendek pada 1950-an (Demokrasi parlementer). Era
reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998 sudah menghasilkan
prestasi yang luar biasa, yakni dengan kembalinya: kebebasan
pers, kebebasan untuk mengutarakan pendapat (khususnya
pendapat-pendapat. yang berseberangan dengan pemerintah),
kebebasan berkumpul dan berserikat seringkali oleh orde Baru
dimaknai sebagai pembentukan partai politik atau pembentukan
organisasi kontra-pemerintah, dan terselenggaranya pemilihan
umum yang secara egaliter, yang diakui sebagai pemilu yang
lebih demokratis dibandingkan pemilihan-pemilihan umum
sebelumnya.
Tapi setelah hampir lima tahun transisi menuju demokrasi
berlangsung banyak orang yang kini bertanya-tanya kemana arah
JAP, Tahun
2, Nomor 1, April 2003, ISSN 14j,2-7O40
18
reformasi ini bergerak? Bagaimana kelanjutan dari transisi ini
manakala rezim yang demokratis telah berkuasa? Sejauh mana
keberadaan perempuan diberpihaki, kemudian seperti apakah
hubungan sipil dan militer ke depan, dan bagaimanakah
administrasi publik berkiprah pada pasca-Orde Baru? Dan,
(sebenarnya) masih banyak pertanyaan lainnya yang harus
dijawab, oleh karenanya, pengambilan judul anatomi, yang
dildopsi dari ilmu biologi menjadi terasa cocok karena penulis
berusaha untuk memahami satu per satu persoalan yang harus
dikelola oleh aparatur negara guna mendorong lahirnya
demokratisasi di Indonesia pasca reformasi. Kenapa hal ini amat
penting disikapi? Karena beberapa kalangan saat ini setelah
empat- tahun lebih Reformasi sudah mulai prihatin akan gerak
demokratisasi di Indonesia bakal terhenti dan atau bahkan
berbalik arah ke arah yang lebih buruk dari rezim orde Baru.
Kendati tulisan singkat
ini
membahas mengenai pelbagai
persoalan mengenai pengaturan masalah manaiemen negara di
Indonesia dalam konteks perubahan, namun tidak sedikit pun
tulisan singkat ini berpretensi untuk menjawab semua persoalan
yang tengah berlangsung dalam aras demokratisasi tersebut.
Akar pemikiran mengapa tulisan ini menjadi penting
dibahas karena demokratisasi baru dapat ber(ke)lanjut(an)
apabila proses reformasi dan perubahan itu sendiri dijalankan
dengan cara yang demokratis pula' Oleh karenanya, tujuan dan
prioritas reformasi tak boleh hanya ditetapkan secara terbatas
oleh elite-elite pembuat kebijakan saja, tapi juga (seharusnya)
dibuat melalui diskusi dan konsultasi yang meliputi seluruh warga
masyarakat mulai dari akademisi, konsultan, hingga grass roots,
di mana salah satu jalannya adalah melalui pertukaran wacana
dalam jurnal ini. Beberapa tema pokok yang coba'dibahas dalam
anatomi manajemen publik pada konteks perubahan di Indonesia
yang termaktub pada makalah ini, adalah:
persoalan
pembangunan civil society, otonomi daerah yang berkait dengan
pembangunan sosio-ekonomi, hubungan sipil-militer, serta
gender dan keterwakilan kaum perempuan.
Membangun Civil Society atau Masyarakat Sipil
Istilah civit society sering diartikan dengan masyarakat sipil
atau masyarakat madani (selanjutnya makalah ini menggunakan
istilah masyarakat sipil). Masyarakat sipil dalam konteks negara
yang demokratis meliputi pelbagai pranata, seperti: pers yang
bebas dan bertanggung jawab, berkembangnya organisasi nonpemerintah (ornop) atau non-govermental organisations (NGO's)
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN
t4t2-7040
19
yang beroposisi secara royar pada, pem.erintah,
merdekanya
kelompok-kerompok agama' dan adat,
dan rain sebagainya.
Dalam ikrim demokrasi yang sedang tumbuh
kelompok-kerompok ini' daiat uur,r.u,.., wajibseperti di Indonesia,
riemaintan peran
vitar baik untuk. mengawasi (counter batincing
the state) dan
-n"gura,
(check zna oain
turruruun
lgnoimbangi
dan ikut
bekerja (sama). mewujudkan peiubahan
";
ke
;;;
yang
lebih
demokratis' pokok bahasan' paoa bagian -ini"
mengangkat
"sebagai
mengenai keberagaman (prurarisme)
pemerkaya
demokratisasi dalam
sipil,
karena,
sering pula
pluralisme diartikan sebagai
''uryiiutul.
biang dari'fragmeniei'society.
Ketika rezim Soehart6 yang
otoriter berkuasa,
pemerintahannya s-ecara eksprisit meng-kooptasi
serta merarang
kelompok-kerompok daram masyarakai sipir
r"trr.
berkembang
melalui pendekatan yang disebut oleh Luis ntirrrr.u,.
sebagai
Repressive state Aparatul (RSA) dan Ideorogi.uistltu
Aparatus
(ISA). Yang berkembang turuut ieterah itu-adarah
masyarakat
satu dimensi meminjam istirah Herbert rvarcuie-atau
rembaga
masyarakat tunggal.
Maksudnya,
rezim
soeharto
ketika
itu
, bentuk keorganisasian,
hanya. mengakui satu
seperti: satu
organisasi kepemudaan (KNpI, miiarnya),
kewanitaan (Kowani), satu iemoaga pers ('pw-r), iatu organisasi
d;; seterusnya.
Di luar organisasi y?n.g
oreh
pemerintah
adarah
_ditetaikan
organisasi ranpa Bentuk (orB)'yang
seringkari diserewengkan
-oarr,
menjadi organisasi
atau organisasi yang berwarna
,teroris
komunisme. Hasir dari
kooptasi'merarui i,sn Jun isn ini adarah
pembangunan negara yang kuat
dengan masyarakat sipir yang
lem.ah'
timbur puGruguman-penyeragaman, murai
-.sehinggadari: sikap, perilaku, objek iiiifi p",'bangunan,
hingga cara
berpikir.
Tapi sejak berakhirnya kekuasa.an
masyarakat
sipil kian tumbuh s,ub.ur, Oeragam, dan soeharto,
_"iOuf.u,
mulai
dari:
serikat pekerja, kerompok-t"erompot etnis, perkumpuranperkumputan masyargkgtr hingga
ketompot
TAHUN II, NOMOR 1, APRIL 2OO3 ISSN 1412.7044
CENTRE FOR PUBLIC POLICY AND MANAGEMENT STUDIES
Jurusan llmu Administrasi Neg ara
Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik
U niversitas Katolik Parahyangan
-.T-.-
J
u RNA_L_4o r.l
in?Jrnnsr
pu
ISSN t4I2-ZO4O
=
B
Lr K
Dal
Jurnal Administrasi-pubrik (.J{p)
.meruqgkan, majarah. irmiah yang terbit dua
kali dalam satu tah.un, ber)si tLrisJn-yang
ueruentut""rruy dan atau hasir
penelitian datam kajiiri AJmil..ririiiii'puorir.
Penasehat
Edil
Whi
Ale
Penanggungjawab
Dekan FISIP Universitas Katolik parahyangan
Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara,
FISIp
UNPAR
Pemimpin Redaksi
Redaksi pelaksana
Susana Ani Berliyanti
Ana
Tutik Rachmawati
di Ir
Leo
Dewan Redaksi
Tata Usaha
dan Sirkulasi
Deny M.Tri Arvadi
Desi Fernandd
Dgdung Sumahdumin
9lna Ningsih yuwono
Hubertus Hasan Ismail
Sadu Wasistiono
Ulber Sitatahi
Christiana yuni Kusmiati
The
NGO
Bob
Politi
dalar
: Jan Mulyana
Alan
: Center
policy and
for public
-t-*.'r*it'nr,riiju^isin-haiiiii"ll#,"e,?E:1",
Penerbit
Setting dan
Layout : CV. parahyangan Lestari
JAP menerima turisan ygng berum pernah.diterbitkan
baik merarui media di
if,
ii+#f:"{s"13:33.,3iJX.*r.".?sfi
:,[Th1li"ft ff ,?,1i1?'J#,,,f
Alamat Redaksi
:
Center for p_ublic policy and.Management
Studies
\ v,,', J,,
"r (CPMS)
J u rusa n,I I rh ulo m in iiir#
i
rrr eg-a.i-'
Fakuttas l.tmu Sosiji Aaiillmu potitik
Universilas Katolik RErahyangan
Jl. Ciumbuleuit No. 64
,",81?Bill.I?o\I'r'
Fax. (022\.203s75s
e-mail : [email protected]
ffi
#
Anali
dan t
of Pu
Poliq
llarii
Relev
dan P
Kualit
Utber
CPT$
DAFTAR
ISI
Daftar Isi
Editorial
1
What can Indonesia learn from American Federalism?
Aleksius Jemadu ph.D
4-14
Anatomi Manajemen publik dalam Konteks perubahan
di Indonesia pasca Reformasi
Leo Agustino
The Politics of civil society in The post-Suharto Indonesia
NGO'sand CSO's Relations
Bob S. Hadiwinata
t5-42
:
43-60
Politik dan Birokrasi : Reposisi peran Birokrasi pubrik
dalam Proses politik Lokal
Alamsyah
61-78
Analisis Formulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Listrik, Terepon
dan BBM di tahun 2003 : Disintegrate Sytem Model
of Public Policy Toward Organizational Learning and
Policy Change
Maria Rosarie Harni Triastuti
79-9s
Relevansi Kebijakan Human-Centered Development
dan Perbaikan Kuaritas pendidikan daram pengembangan
Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
Ulber Silalahi
96 - tL7
CPMS EVENTS
118
/
,ftl
1/-nt
"/f
'/
lsp
0"lr4L;
Anatomi Manajamen Publik dalam Konteks perubahan di
Indonesia Pascareformasi
ig
ht
b.
Leo Agustinoe
lo
There are three kinds of societies : high trust
society, low trust society and zero trust society or
In
distrust society. Indonesia tries to
achieve
democratization, therefore should provide civil
liberties and political rights to all citizens,
unfortunately in the Suharto's regime those were
not exist. Government only accommodate certain
groups: entrepreneurs, bureaucrats and military.
Many books reveal ways to change the authoritarian
government to democratic government. Role of the
elite, society involvement, and mix between elites
and societies. Huntington mentioned three scenarios
should be used. Transformation, replacements and
transplacements. According to Larry, external
intervention could be used to make the change.
At the end of the 20th century, Indonesia has most
dramatic political experience. Reformation Era arises
and supported by the arises of freedom to speak (at
the pers level). After five years of the transition
time, many questions emerge and need answers.
Where the reformation is leading? Indonesian citizen
think that democratic movement is not congruence
with many people wished and may be get worse
than Suharto's regime. The writer proposes the
continuing new democratic way to support the
reformation process. Based on that, the writer
focuses on several problems. Civil society, local
autonomy relate to socio economic development,
civil-military relationship, gender and
women
representatives.
s
Pengajar di Jurusan Ilmu Adminstrasi Negara, FlSlP-Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung
r
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN
l4!2-7O40
15
Pendahuluan
Dalam bukunya Trust: the social virtues and the creation
o.f Prosperity (1995) Francis Fukuyama pernah men-thesis-kan
dua bentuk masyarakat, pertama, masyarakat dengan tingkat
kepercayaan tinggi (high trust society) dan masyarakat ying
bertingkat kepercayaan rendah (row trust society). pada bukunyl
tersebut ia berujar bahwa tingkat kepercayaan masyarakat dapat
dibangun melalui social cgoitalyang berbasis pada rifut dun sikap
untuk saling percaya baik daram bentuk relasi horisontal maupun
vertikal. Melalui pendekatan pengkategorian masyarakat tersebut
Fukuyama dapat menganarisis mengenai perkembangan sosiar,
politik, serta ekonomi di suatu negara. Kemudian bagaimana
kabarnya bila kita kaitkan dengan Indonesia?
Bila Fukuyama mengatakan ada dua bentuk masyarakat
yang dapat membangun lanskap sosial, ekonomi, dan politik,
t?k? penulis perlu menambahkan satu kategori masyarakat lagl
untuk menganalisis.pembangunan sosiar, etonomi,'dan poritik
tersebut di atas, yakni: zero trust sociefy atau distrust society.
Kenapa demikian? Jawabannya bisa dirujuk melalui akar se3arah
panjang Indonesia, yang dibangun merarui pemberontikan,
konflik, pertentangan kepentingan, saring tidak p"r.uyu, saring
sikut satu dengan yang rainnya. pJoa intinya tidak
ada
kepercayaan, zero trust sociefy atau distrust society, diantara
warga masyarakatnya. oleh karena itu, sangat perlu dibahas
pada masa perubahan sekarang ini mengenai manalamen publik
yang berusaha . mengurai persoalan-persoalan
yang telah
mengakar pada sikap dan perilaku bangsa Indonesia, pengaturan
serta pemformatan ulang oleh birokrat begitu penting bukan
sebagai wadah otoriter baru tetapi berupaya untuk mengarahkan
masyarakat yang distrust menjadi lebih saiing percaya dln saling
bahu-membahu guna membangun negara. Era reformasi inilah
momen yang tepat guna perubahan yang radikal itu.
Pada awar dan pertengahan 1990-an kita
seraru
berargumen bahwa secara teoritik- perjuangan Indonesia ke arah
demokratisasi semakin hari semakin mewuiud ke dalam bentuk
yang ideal. Hal ini didasarkan atas asumsi yang menyatakan
bahwa demokrasi hanya dapat ditegakkan dalam s-atu komunitas
yang telah memenuhi beberapa kriteria atau syarat. Merujuk
pada pendapat Raymond D.Gastir (1993), suatu tatanan
demokratis .baru dapat tegak apabila ditoping oleh landasan
kebebasan sipil (civit tiberties) yang kuat dan d[alankan dengan
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN
I4I2-704O
16
konsekuen, serta diberikannya hak-hak politik (political rights)
yang seharusnya pada seluruh lapisan masyarakat.
Namun sayangnya, diparuh kedua tahun 1990-an, ketika
rezim Soeharto menyerahkan mandatnya pada
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Istana Merdeka, yang terjadi
bukanlah political developmenf seperti apa yang dibayangkan dan
diharapkan banyak orang, yang terwujud justru political decay.
Przeworski ( 1993), seorang pemikir politik mengemukakan
mengenai pelbagai kerumitan yang muncul manakala
demokratisasi digulirkan pada masyarakat transisional,
khususnya dari masyarakat otoriter atau totaliter menuju
masyarakat demokratis. Penopangan demokratisasi, menurutnya,
baru dapat berjalan dengan baik apabila kepentingankepentingan pelbagai elemen dapat diakomodir; mulai dari
kepentingan angkatan bersenjata yang hendak menjaga otonomi
konstitusinya, kaum pengusaha yang berupaya memelihara hak
milik dan alat-alat produksinya, para birokrat yang berupaya
mengamankan posisinya dari persoalan-persoalan hukum, sampai
kepentingan kelas pekerja yang berdaya upaya untuk
memperbaiki nasib, dan lain-lain. Dalam kajian politik, peralihan
dari rezim yang otoriter menuju rezim demokratis dapat muncul
melalui tiga pendekatan. Pendekatan pertama, demokrasi dapat
muncul oleh karena peran elite (Dankwart Rustow, L97O);
kedua, peran aktif masyarakat termasuk organisasi non
pemerintah, kelompok penekan, kelompok kepentingan, dan lainlain,untuk menggugat pemerintahan yang lalim (John Keane,
1988; Jean L. Cohen and Andrew Arato, 1995); ketiga,
kombinasi dari kedua pendekatan sebelumnya,
yakni
penggabungan antara peran aktif dari masyarakat dan keinginan
dari elite yang berkuasa (Donald Share, t9B7; Guillermo
O'Donnell, Phlippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead, 1993).
Atau dalam bahasa lain, ada kerja sama dari softliner yang
berada di dalam kekuasaan dengan individu-individu yang berada
di luar kekuasaan.
Merujuk pada teori lain, Huntington (1995) misalnya,
peralihan dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan
demokratis mengambil tiga skenario, yaitu: pertama,
transformasi. Transformasi adalah sebuah proses demokrasi yang
dikendalikan atau dimotori oleh elite penguasa. Dalam kerangka
tersebut, demokratisasi merupakan konsekuensi dari perubahan
yang terjadi dalam tubuh rezim itu sendiri berupa pemihakan
penguasa pada proses-proses demokrasi. Kedua, replacement
atau pergantian rezim. Dalam kasus ini proses demokrasi terjadi
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN 1412-7040
L7
,iim
lebih disebabkan oleh runtuhnya rezim yang
berkuasa.
Keruntuhan rezim itu disusul secara langsung dengan naiknya
rezim yang benar-benar baru dan pro pada kegiatan-kegiatan
yang demokratis. Ketiga, transplacement atau perombakan
rezim. Demokratisasi pada skenario transplacement tumbuh
karena adanya sinkretisasi di dalam dan di luar tubuh rezim
berkuasa. Dorongan yang kuat dari dalam aparatur negara
dikombinasikan dengan faksi-faksi pro demokrasi yang ada di
dalam masyarakat yang kemudian bersatu dalam rezim baru
guna mendorong lahirnya proses-proses demokrasi
yang
dicitakan bersama. Persatuan dua kultur yang berbeda inilah
yang kemudian mengendalikan sinergitas demokrasi suatu
negara.
Ada satu skenario lain yang juga dapat dijadikan rujukan
bagi pendemokrasian demokrasi, teori ini diintrodusir oleh Larry
Diamond dkk. (1991). Menurutnya mendemokrasikan demokrasi
di negara-negara yang awalnya otoriter dapat terjadi dengan
jalan infervensi. Intervensi merupakan suatu proses demokrasi
yang dihasilkan dari keikutsertaan pihak luar (asing) dalam
melengserkan rezim berkuasa dengan jalan diplomasi atau
lainnya. Kemudian, dengan bantuan pihak luar pula entitasentitas dalam unsur-unsur negara dan masyarakat belajar
menjadi elemen-elemen yang demokratis. Kejadian di
Afghanistan dan Timor Timur merupakan salah satu contohnya.
Transisi menuju demokrasi di Indonesia dari pemerintahan
atau rezim yang otoriter menuju rezim yang (relatif) demokratis
menjadi peristiwa politik paling dramatis pada akhir abad ke-20.
Meski kadang menyakitkan, proses peralihan menuju demokrasi
ini telah mengembalikan bangsa Indonesia pada kebebasan yang
sudah tak berwujud sejak eksperimen demokrasi pertama yang
berusia pendek pada 1950-an (Demokrasi parlementer). Era
reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998 sudah menghasilkan
prestasi yang luar biasa, yakni dengan kembalinya: kebebasan
pers, kebebasan untuk mengutarakan pendapat (khususnya
pendapat-pendapat. yang berseberangan dengan pemerintah),
kebebasan berkumpul dan berserikat seringkali oleh orde Baru
dimaknai sebagai pembentukan partai politik atau pembentukan
organisasi kontra-pemerintah, dan terselenggaranya pemilihan
umum yang secara egaliter, yang diakui sebagai pemilu yang
lebih demokratis dibandingkan pemilihan-pemilihan umum
sebelumnya.
Tapi setelah hampir lima tahun transisi menuju demokrasi
berlangsung banyak orang yang kini bertanya-tanya kemana arah
JAP, Tahun
2, Nomor 1, April 2003, ISSN 14j,2-7O40
18
reformasi ini bergerak? Bagaimana kelanjutan dari transisi ini
manakala rezim yang demokratis telah berkuasa? Sejauh mana
keberadaan perempuan diberpihaki, kemudian seperti apakah
hubungan sipil dan militer ke depan, dan bagaimanakah
administrasi publik berkiprah pada pasca-Orde Baru? Dan,
(sebenarnya) masih banyak pertanyaan lainnya yang harus
dijawab, oleh karenanya, pengambilan judul anatomi, yang
dildopsi dari ilmu biologi menjadi terasa cocok karena penulis
berusaha untuk memahami satu per satu persoalan yang harus
dikelola oleh aparatur negara guna mendorong lahirnya
demokratisasi di Indonesia pasca reformasi. Kenapa hal ini amat
penting disikapi? Karena beberapa kalangan saat ini setelah
empat- tahun lebih Reformasi sudah mulai prihatin akan gerak
demokratisasi di Indonesia bakal terhenti dan atau bahkan
berbalik arah ke arah yang lebih buruk dari rezim orde Baru.
Kendati tulisan singkat
ini
membahas mengenai pelbagai
persoalan mengenai pengaturan masalah manaiemen negara di
Indonesia dalam konteks perubahan, namun tidak sedikit pun
tulisan singkat ini berpretensi untuk menjawab semua persoalan
yang tengah berlangsung dalam aras demokratisasi tersebut.
Akar pemikiran mengapa tulisan ini menjadi penting
dibahas karena demokratisasi baru dapat ber(ke)lanjut(an)
apabila proses reformasi dan perubahan itu sendiri dijalankan
dengan cara yang demokratis pula' Oleh karenanya, tujuan dan
prioritas reformasi tak boleh hanya ditetapkan secara terbatas
oleh elite-elite pembuat kebijakan saja, tapi juga (seharusnya)
dibuat melalui diskusi dan konsultasi yang meliputi seluruh warga
masyarakat mulai dari akademisi, konsultan, hingga grass roots,
di mana salah satu jalannya adalah melalui pertukaran wacana
dalam jurnal ini. Beberapa tema pokok yang coba'dibahas dalam
anatomi manajemen publik pada konteks perubahan di Indonesia
yang termaktub pada makalah ini, adalah:
persoalan
pembangunan civil society, otonomi daerah yang berkait dengan
pembangunan sosio-ekonomi, hubungan sipil-militer, serta
gender dan keterwakilan kaum perempuan.
Membangun Civil Society atau Masyarakat Sipil
Istilah civit society sering diartikan dengan masyarakat sipil
atau masyarakat madani (selanjutnya makalah ini menggunakan
istilah masyarakat sipil). Masyarakat sipil dalam konteks negara
yang demokratis meliputi pelbagai pranata, seperti: pers yang
bebas dan bertanggung jawab, berkembangnya organisasi nonpemerintah (ornop) atau non-govermental organisations (NGO's)
JAP, Tahun 2, Nomor 1, April 2003, ISSN
t4t2-7040
19
yang beroposisi secara royar pada, pem.erintah,
merdekanya
kelompok-kerompok agama' dan adat,
dan rain sebagainya.
Dalam ikrim demokrasi yang sedang tumbuh
kelompok-kerompok ini' daiat uur,r.u,.., wajibseperti di Indonesia,
riemaintan peran
vitar baik untuk. mengawasi (counter batincing
the state) dan
-n"gura,
(check zna oain
turruruun
lgnoimbangi
dan ikut
bekerja (sama). mewujudkan peiubahan
";
ke
;;;
yang
lebih
demokratis' pokok bahasan' paoa bagian -ini"
mengangkat
"sebagai
mengenai keberagaman (prurarisme)
pemerkaya
demokratisasi dalam
sipil,
karena,
sering pula
pluralisme diartikan sebagai
''uryiiutul.
biang dari'fragmeniei'society.
Ketika rezim Soehart6 yang
otoriter berkuasa,
pemerintahannya s-ecara eksprisit meng-kooptasi
serta merarang
kelompok-kerompok daram masyarakai sipir
r"trr.
berkembang
melalui pendekatan yang disebut oleh Luis ntirrrr.u,.
sebagai
Repressive state Aparatul (RSA) dan Ideorogi.uistltu
Aparatus
(ISA). Yang berkembang turuut ieterah itu-adarah
masyarakat
satu dimensi meminjam istirah Herbert rvarcuie-atau
rembaga
masyarakat tunggal.
Maksudnya,
rezim
soeharto
ketika
itu
, bentuk keorganisasian,
hanya. mengakui satu
seperti: satu
organisasi kepemudaan (KNpI, miiarnya),
kewanitaan (Kowani), satu iemoaga pers ('pw-r), iatu organisasi
d;; seterusnya.
Di luar organisasi y?n.g
oreh
pemerintah
adarah
_ditetaikan
organisasi ranpa Bentuk (orB)'yang
seringkari diserewengkan
-oarr,
menjadi organisasi
atau organisasi yang berwarna
,teroris
komunisme. Hasir dari
kooptasi'merarui i,sn Jun isn ini adarah
pembangunan negara yang kuat
dengan masyarakat sipir yang
lem.ah'
timbur puGruguman-penyeragaman, murai
-.sehinggadari: sikap, perilaku, objek iiiifi p",'bangunan,
hingga cara
berpikir.
Tapi sejak berakhirnya kekuasa.an
masyarakat
sipil kian tumbuh s,ub.ur, Oeragam, dan soeharto,
_"iOuf.u,
mulai
dari:
serikat pekerja, kerompok-t"erompot etnis, perkumpuranperkumputan masyargkgtr hingga
ketompot