BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Pengertian Stres - Pengaruh Stres Terhadap Pola Makan Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

2.1.1 Pengertian Stres

  Menurut Hans Selye tahun1976 stres adalah segala situasi dimana tuntutan tindakan (Potter & Perry, 2005). Stres merupakan kumpulan hasil, respon, jalan dan pengalaman yang berkaitan yang disebabkan oleh berbagai stresor, keadaan atau peristiwa yang menyebabkan stres (Manktellow, 2007).

  Menurut Looker & Gregson (2004), stres merupakan keseimbangan antara bagaimana kita memandang tuntutan-tuntuan dan bagaimana kita berfikir bahwa kita dapat mengatasi semua tuntutan yang menentukan apakah kita tidak merasakan stres, merasakan distres (respon stres yang buruk) atau eustres (respon stres yang menimbulkan rasa bahagia).

  Penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan adanya tuntutan-tuntutan non-spesifik yang mengharuskan individu untuk berespon (Potter & Perry, 2005) dan mampu berfikir bagaimana untuk mengatasi semua tuntutan yang menetukan apakah kita tidak merasakan stres, merasakan distres atau eustres (Looker & Gregson, 2004).

2.1.2 Etiologi Stres

  Stres dapat terjadi karena terdapat suatu perubahan baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, di rumah, dalam kehidupan sosial dan lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir & Muhith, 2011). Kondisi tersebut dapat menyebabkan stres disebut sebagai stresor.

  Stres yang dialami seseorang mengakibatkan munculnya konsep stressor, yaitu stresor internal dan stressor eksternal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005). Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya: demam, biologik yang berkelanjutan.

  Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang. Perubahan bermakna dalam sutau lingkungan, perubahan peran dan sosial, proses pembelajaran, pekerjaan serta hubungan interpersonal. Perubahan kondisi keuangan dan segala akibatnya (menciutnya anggaran keuangan, keterbatasan uang). Berdasarkan penjabaran singkat tentang stresor, setiap individu harus beradaptasi dengan stresor yang terjadi pada dirinya dalam rangka bertahan hidup terhadap stresor yang datang dari internal dan eksternal.

  Mahasiswa tingkat akhir juga mengalami stresor baik yang datang dari internal maupun eksternal. Stresor eksternal yang dihadapi mahasiswa berupa stres akademik maupun non akademik. Agolla dan Ongori (2009 dalam Purwati, 2011) mengemukakan bahwa sumber stres akademik meliputi: manajemen waktu, tuntutan akademik dan lingkungan akademik. Sumber stres tersebut dijabarkan dan diperoleh berupa: tugas-tugas akademik, penurunan motivasi, ketidakadekuatan peran akademik, jadwal perkuliahan yang padat dan tidak jelas, serta kecemasan tidak mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah.

  Permasalahan non-akademis terutama berasal dari tekanan sosial yang dialami mahasiswa sehari-hari seperti permasalahan yang terkait dengan keluarga, misalnya karena tinggal terpisah dari keluarga, kondisi keuangan keluarga, riwayat pola pengasuhan dari orangtua, perbedaan prinsip dengan orang tua. Selain itu masalah-masalah yang bersumber dari kehidupan di pondokan, beradaptasi dengan teman yang mempunyai latar belakang sosial dan budaya yang masalah di dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan sering merupakan sumber permasalahan yang serius bagi mahasiswa (Fakultas Psikologi UGM, 2013).

2.1.3 Jenis Stres

  Menurut Nasir & Muhith (2011) stres melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami sebagai perasaan yang anxiousness (distress) atau pleasure (eustres).

  Hans Selye menggunakan istilah distres pada keadaan stres yang merusak atau tidak menyenangkan (Rice, 1992). Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus mempunyai arti sebagai hal yang memberikan pelajaran bagi kita, betapa suatu hal yang dirasakan seseorang memberikan arti sebuah pelajaran dan bukan sebuah tekanan. Menurut Nasir & Muhith (2011) stres dikatakan positif apabila setiap kejadian merupakan suatu pelajaran yang berharga dan mendorong seseorang untuk selalu berpikiran yang positif dan setiap stimulus yang masuk merupakan suatu pelajaran yang berharga dan mendorong seseorang untuk selalu berpikir dan berperilaku bagaimana agar apa yang akan dilakukan membawa manfaat dan bukan bencana.

  Distres merupakan respon stres yang negatif dan menyakitkan, sehingga tidak mampu lagi diatasi (Selye, 1976 dalam Rice, 1992). Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana respon yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga bisa diartikan sebagai sebuah ancaman.

  Skema 2.1 Respon Stres Respon Stres

  Respon Respon Fisiologis

  Psikologi s Sindrom Adaptasi

  Lokal (LAS) Sindrom Adaptasi

  Umum (GAS) Individu secara keseluruhan terlibat dalam merespon dan mengadaptasi stres. Namun demikian, sebagian besar dari riset tentang stres berfokus pada respon psikologis dan fisiologi, meski dimensi ini saling tumpang tindih dan berinteraksi dengan dimensi lain. Ketika terjadi stres, seseorang menggunakan energi fisiologis dan psikologis untuk berespon dan mengadaptasi (Potter & Perry, 2005).

2.1.4.1 Respon Fisiologis

  Respon fisiologis terhadap stres akut dikenal sebagai respon fight-or-

  

flight. Ini dimulai ketika orang dihadapkan dengan situasi ancaman stres. Ketika

  tubuh mempersiapkan untuk melawan atau melarikan diri, akan terjadi beberapa perubahan. Sistem saraf otonom dan sistem neuroendokrin bergabung untuk memberikan tubuh dengan kapasitas yang cukup untuk menangani stres. Hormon yang diperlukan untuk beradaptasi dengan stres disekresikan sehingga otot membesar dan kadar gula darah meningkat. Setelah penyebab stres dihapus, mekanisme homeostatis yang melibatkan sistem saraf parasimpatis dan aktivitas penurunan hipotalamus dan kelenjar hipofisis mengembalikan tubuh dari keadaan dari kesiapan tinggi ke mode rileks. Respon fight-or-flight sangat penting untuk pertahanan terhadap bahaya dan mentolerir. Namun, lanjutan hasil stres yang tak terselesaikan dalam kondisi stres kronis, yang berdampak pada tubuh dan mungkin akan menghasilkan salah satu dari berbagai macam penyakit atau gangguan (Funnel, Koutoukidis, Lawrence, 2005).

  Menurut Selye (1976 dalam Potter & Perry, 2005) mengidentifikasikan 2 respon fisiologis yaitu Sindrom Adaptasi Lokal (LAS) dan Sindrom Adaptasi Umum (GAS). LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh terhadap stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Dua respon setempat, yaitu respon reflek nyeri dan respon inflamasi. Respon reflek nyeri adalah respon adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut.

  Respon melibatkan reseptor sensoris, saraf sensoris yang menjalar ke medulla spinalis, neuron penghubung dalam medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar dari medulla spinalis, dan otot efektif. Respon inflamasi distimuli oleh trauma atau infeksi, respon ini memusatkan inflamasi sehingga dengan demikian menghambat penyebaran inflamasi dan meningkatkan penyembuhan. Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase. Fase pertama mencakup perubahan dalam sel- sel dan sistem sirkulasi. Fase kedua ditandai oleh pelepasan eksudat dari luka.

  Fase terakhir adalah perbaikan jaringan regenerasi atau pembentukan jaringan sel serupa (Potter & Perry, 2005).

  GAS adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres. Respon ini melibatkan beberapa sistem tubuh, terutama sistem saraf otonom dan sistem endokrin. GAS terdiri atas reaksi peringatan, tahap resisten dan tahap kehabisan tenaga. Pada tahap alarm respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih ke tahap pertahanan. Pada tahap pertahanan tubuh individu berupaya untuk mengadaptasi terhadap stresor.

  Jika stresor tetap terus menetap dan tidak berhasil menghadapinya maka individu memasuki tahap kehabisan tenaga. Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah menipis. Tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresor, regulasi fisiologis menghilang, dan jika stres berlanjut dapat terjadi kematian (Potter & Perry, 2005).

2.1.4.2 Respon Psikologis

  Pemajanan terhadap stresor mengakibatkan respon adaptif psikologis dan fisiologis. Perilaku adaptif psikologis dapat konstruktif dan destruktif. Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk menyelesaikan konflik.

  Perilaku destruktif mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan pemecahan masalah, kepribadian dan situasi yang sangat berat, kemampuan untuk berfungsi ( Potter & Perry, 2005).

  Potter & Perry (2005) membagi tingkatan stres menjadi stres ringan, sedang dan berat. Stres ringan adalah stresor yang dihadapi setiap orang secara teratur, umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya: lupa, kebanyakan tidur, kemacetan, dikritik. Situasi ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam dan biasanya tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus-menerus. Stres sedang terjadi lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya perselisihan kesepakatan yang belum selesai,dikarenakan kerja yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan baru, adanya permasalahan keluarga. Situasi seperti tersebut dapat mempengaruhi pada kondisi kesehatan seseorang. Stres berat merupakan stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun misalnya penyakit fisik yang lama. Makin sering dan makin lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan (Wiebe & Williams, 1992 dalam Potter & Perry, 2005).

2.1.6 Dampak Stres

  Stres yang dialami oleh individu akan menimbulkan dampak positif atau negatif. Stres dapat meningkatkan kemampuan individu dalam proses belajar dan berfikir. Dampak negatif stres dapat berupa gejala fisik maupun psikis dan akan menimbulkan gejala-gejala tertentu. Rice (1992) dalam Safaria dan Saputra

  (2009) mengelompokkan dampak negatif stres yang dirasakan oleh individu dalam lima gejala, yaitu gejala fisiologis, psikologis, kognitif, interpersonal, dan organisasional. Gejala fisiologis yang dirasakan individu berupa keluhan seperti perut, maag, berubah selera makan, susah tidur, dan kehilangan semangat. Selain gejala fisiologis, individu yang mengalami stres akan mengalami perubahan gejala emosional berupa perasaan gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi. Gejala kognitif berupa sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, mudah lupa, melamun secara berlebihan dan pikiran kacau.

  Dampak negatif stres yang mudah diamati dari gejala interpersonal yaitu sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis, agresif, minder, kehilangan kepercayaan pada oranglain dan mudah menyalahkan oranglain. Selain itu, gejala organisasional berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah, menurunnya produktifitas dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

2.2 Pola Makan

  Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut Mudanijah (2004) pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang di konsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Menurut ahli antropologi Margaret Mead, pola makan atau food pattern adalah cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan ekonomi dan sosio-budaya yang dialaminya

  (Almatsier, 2005). Pola makan juga dikatakan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang yang memilih dan mengkonsumsi makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, fisiologis, budaya dan sosial (Geissler&Power, 2005 keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat sedangkan tujuan psikologisnya adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera.

  Menurut Musbikin (2004), untuk sebagian orang yang jika mengalami kekecewaan atau kesedihan akan memilih makan sebagai penawarnya, kemudian ia akan makan sepuas-puasnya. Pelampiasan tersebut kalau diteruskan berulang- ulang, tentu bobot tubuh akan bertambah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Robiah (2012) di Fakultas MIPA Universitas Indonesia (FMIPA UI) yang menyatakan bahwa adanya hubungan tingkat stres dengan pola makan pada mahasiswa tingkat akhir di FMIPA UI. Responden dengan tingkat stres berat beresiko 6,5 kali lebih besar untuk memiliki pola makan yang tidak baik dibandingkan responden dengan tingkat stres ringan. Untuk itu perlu bagi mahasiswa mengetahui pola makan yang baik.

  Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan (Almatsier, 2004). Pada Pedoman Gizi Seimbang (Kemenkes, 2014) pengelompokkan makanan digambarkan dalam piramida menurut sumber zat gizi. Pada dasar piramida (3-4 porsi/hari) adalah makanan pokok (nasi, roti, dan umbi-umbian) sayuran (3-4 porsi/hari) dan buah-buahan (2-3 porsi/perhari), sumber zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral. Lapisan diatasnya adalah kelompok lauk-pauk (2-4 porsi/hari). Sedangkan dipuncak piramida adalah kelompok makanan yang secara proporsional hanya sedikit diperlukan yaitu minyak, gula, garam dan bumbu-bumbu.

2.2.2 Metode Food Frequency Questionnaire

  Metode ini dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu diperlukan kuesioner yang terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis pangan dan frekuensi konsumsi pangan (Riyadi, 2004).

  2.2.2.1 Langkah-langkah Metode Frekuensi Makanan a.

  Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.

  b.

  Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula.

  2.2.2.2 Kelebihan Metode Frekuensi makanan a.

  Relatif murah dan sederhana b.

  Dapat dilakukan senderi oleh responden c. Tidak membutuhkan latihan khusus d.

  Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit

2.2.2.3 Kekurangan Metode Frekuensi makanan a.

  Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari.

  b.

  Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data.

  c.

  Cukup menjenuhkan bagi para pewawancara.

  d.

  Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.

  e.

  Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.

2.3 Mahasiswa Tingkat Akhir

  Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar pada suatu perguruan tinggi. Mahasiswa juga memiliki definisi sebagai seorang yang belajar dan meneliti, menggunakan akal pikiran secara aktif dan cermat, serta penuh perhatian untuk dapat memahami suatu ilmu pengetahuan (Rahayu et. al, 2007). Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan teori dalam perkuliahan dan tengah mengambil tugas akhir atau skripsi.

  Skripsi merupakan karya tulis resmi akhir mahasiswa dalam menyelesaikan program Sarjana (S1). Skripsi menggambarkan kemampuan akademik mahasiswa dalam merancang, melaksanakan dan menyusun laporan penelitian pendidikan bidang studi yang berkenaan dengan masalah dalam bidang studinya (Universitas Pendidikan Indonesia, 2007). Dalam penyusunan skripsi banyak ditemukan aktivitas-aktivitas yang membuat mahasiswa mengalami stres. Seperti survey awal yang dilakukan penulis pada 5 mahasiswa Fakultas Keperawatan USU. Mahasiswa menyatakan penyusunan skripsi seperti sulitnya bertemu dengan dosen pembimbing untuk konsultasi skripsi, mencari referensi sebagai pendukung data, tugas kuliah yang menumpuk, belum lagi masalah dana yang tidak sedikit dalam penyelesaian skripsi.

  Banyaknya aktivitas tersebut membuat mahasiswa seringkali mengabaikan pola makan. Hasil penelitian Siagian, Sudaryati, Nadeak (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan status stres psikososial dengan konsumsi energi yaitu semakin tinggi status stres seseorang maka konsumsi energi semakin tinggi.

  Stres tidak hanya berdampak pada konsumsi makan berlebih tetapi stres juga dapat menimbulkan masalah-masalah pencernaan seperti gejala gastritis.

  Wahyuni, Sirajuddin, Najamuddin (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres yang tinggi dengan kejadian gejala gastritis yaitu tingkat stres yang tinggi lebih banyak mengalami gejala gastritis sebanyak 81 orang (63,0%). Sedangkan menurut hasil penelitian Khotimah (2012) tingkat stres mempengaruhi sindroma dispepsia dimana mahasiswa yang mengalami stres sedang 10 kali lebih besar menderita sindroma dispepsia dibandingkan dengan mahasiswa yang mengalami stres ringan.

Dokumen yang terkait

Perbedaan Pengaruh Teknik Dry-Bonding, Water Wet-Bonding dan Ethanol Wet-Bonding Pada Restorasi Klas II Resin Komposit Nanohybrid Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Pengaruh Teknik Dry-Bonding, Water Wet-Bonding dan Ethanol Wet-Bonding Pada Restorasi Klas II Resin Komposit Nanohybrid Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perbedaan Pengaruh Teknik Dry-Bonding, Water Wet-Bonding dan Ethanol Wet-Bonding Pada Restorasi Klas II Resin Komposit Nanohybrid Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 1 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perawatan Ortodonti - Perbandingan Indeks Plak Pengguna Pesawat Ortodonti Cekat pada Murid SMA Swasta Harapan 1 dan SMA Negeri 1 Medan

1 2 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gipsum - Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan dan Daur Ulang serta Gipsum Tipe III Daur Ulang dengan Penambahan Larutan Zink Sulfat 4% sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 20

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perbedaan Kekuatan Kompresi Gipsum Tipe III Pabrikan dan Daur Ulang serta Gipsum Tipe III Daur Ulang dengan Penambahan Larutan Zink Sulfat 4% sebagai Bahan Model Kerja Gigitiruan

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kekasaran Permukaan Resin Komposit Nanofiller Setelah Pengaplikasian Bahan Pemutih Gigi Karbamid Peroksida 10% dan 35%

0 0 14

Pengaruh Laju Aliran Saliva terhadap Kondisi Periodontal pada Penderita Gangguan Jiwa yang Mengkonsumsi Obat-Obatan Antipsikosis di Rumah Sakit Tuntungan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Definisi - Pengaruh Laju Aliran Saliva terhadap Kondisi Periodontal pada Penderita Gangguan Jiwa yang Mengkonsumsi Obat-Obatan Antipsikosis di Rumah Sakit Tuntungan

0 1 12

Pengaruh Stres Terhadap Pola Makan Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU)

0 0 40