201390153 Bank Indonesia Transformasi Perekonomian Indonesia

Transformasi Perekonomian Indonesia

Membangun Kapabilitas Industrial untuk Mendukung Migrasi ke High Income Country

Reza Anglingkusumo Yenny Fridayanti Fenty Tri Suryani

Harry Satriyo Hendharto

Grup Riset Ekonomi Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Desember 2013

Transformasi Perekonomian Indonesia

Membangun Kapabilitas Industrial untuk Mendukung Migrasi ke High Income Country

Reza Anglingkusumo, Yenny Fridayanti, Fenty Tri Suryani, Harry Satriyo Hendharto 1

Working Paper No. 4/2013 Desember 2013

ABSTRAK

Makalah ini membahas tentang transformasi perekonomian Indonesia paska krisis Asia. Hasil kajian menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan struktural baik di sisi permintaan maupun penawaran di Indonesia paska krisis Asia. Struktur sisi permintaan semakin mencerminkan perbaikan tingkat kesejahteraan dalam perekonomian, sementara struktur sisi penawaran mengalami hambatan dalam merespon. Implikasi dari ketidakseimbangan tersebut adalah pada potensi terjadi perlambatan migrasi Indonesia ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Untuk mengatasi ketidakseimbangan struktural tersebut direkomendasikan untuk melakukan penguatan kapabilitas industrial (industrial upgrading) dan pembangunan kapasitas inovasi. Diajukan pula sebuah gagasan tentang pembangunan technoparks sebagai ekosistem inovasi yang terintegrasi secara spasial di Nusantara sebagai upaya memperkuat kapabilitas industrial di Indonesia.

JEL classification: O1, O2, O3, O5 Keywords: Economic development, economic transformation, structural reform

1 Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi – Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak semata-mata merefleksikan

pandangan DKM atau Bank Indonesia. E-mail: anglingkusumo@bi.go.id , yenny_f@bi.go.id , fenty_suryani@bi.go.id , dan harry_sh@bi.go.id

Daftar Grafik (LAMPIRAN)

Grafik (Lampiran) 1 Identifikasi break pada Pertumbuhan PDB riil .......................................... - 3 - Grafik (Lampiran) 2 Rata-rata Pertumbuhan Jangka Panjang dari Pertumbuhan PDB Riil ....... - 4 -

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam literatur studi pembangunan, transformasi perekonomian sebagai sebuah konsep memiliki setidaknya dua konotasi. Pertama adalah konotasi transformasi perekonomian sebagai perubahan struktural yang mencakup perubahan komposisi, penyerapan tenaga kerja dan produktifitas sektoral dalam perekonomian dari waktu ke waktu. Perubahan struktural tersebut merupakan fitur daripada proses pembangunan yang terjadi dalam suatu periode yang panjang (lihat misalnya pembahasan di UNECA (2011), Losch et al (World Bank dan AFD, 2012), Soubbotina (2000), dan Timmer (2007)). Konotasi kedua adalah transformasi perekonomian sebagai perubahan kapabilitas faktor modal dasar perekonomian (factor endowments). Dalam konotasi ini, transformasi perekonomian identik dengan perubahan kapasitas penyerapan teknologi dan inovasi, peningkatan kapasitas modal manusia dan peningkatan daya saing perekonomian yang menopang peningkatan kesejahteraan dari waktu ke waktu (lihat misalnya pembahasan dalam laporan WEF Global Competitiveness, Malunda & Musana (ACET, 2012), dan Hausmann et al (2011)).

Transformasi perekonomian Indonesia yang akan dibahas dalam makalah ini meminjam se a gat dari kedua konotasi tersebut. Pertama adalah dengan memandang transformasi perekonomian yang telah terjadi di Indonesia (ex post), khususnya pada periode paska krisis Asia

1997/98, melalui kacamata perubahan yang telah terjadi pada struktur sisi permintaan dan penawaran dalam perekonomian. Kedua adalah dengan menggagas sebuah pandangan idealistik tentang arah transformasi perekonomian ke masa depan (ex-ante) sebagai sebuah perubahan kapabilitas industrial dalam perekonomian dalam rangka menjawab tantangan-tantangan struktural terkait proses migrasi Indonesia menuju ke negara maju berpenghasilan tinggi. Penulis memandang pendekatan yang demikian sangat fungsional karena selain memungkinkan terbangunnya diskursus tentang transformasi perekonomian Indonesia, juga sekaligus membuka ruang bagi advokasi kebijakan publik oleh Bank Indonesia dalam rangka transformasi tersebut.

Advokasi kebijakan publik oleh Bank Indonesia terkait arah transformasi perekonomian kedepan menjadi sangat penting dilakukan terutama karena, pertama, pada tahun 2014 yang akan datang Pemerintah Indonesia akan merampungkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Tahap II (RPJMN II). Terkait itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) saat ini tengah menyusun draft RPJMN III sebagai basis bagi program-program pembangunan sampai dengan 2019. Kedua, tidak terhindar bagi Bank Indonesia bahwa dalam melaksanakan mandatnya memelihara stabilitas nilai rupiah untuk senantiasa berkoordinasi dengan Kementerian / Lembaga Pemerintah terkait upaya-upaya untuk membangun suatu fondasi perekonomian yang kokoh. Dalam konteks perekonomian domestik yang sangat terbuka, advokasi publik terkait arah transformasi perekonomian dalam kerangka koordinasi kebijakan ekonomi menjadi penting. Gejolak siklus boom-bust dalam perekonomian global adalah sebuah keniscayaan yang menuntut kemampuan perekonomian domestik untuk menyerapnya. Untuk itu dibutuhkan sebuah struktur perekonomian domestik yang kokoh dan sekaligus fleksibel (agile). Oleh karenanya, makalah yang dapat menjadi salah satu rujukan bagi Pimpinan Bank Indonesia dalam menyampaikan pandangan terkait arah transformasi perekonomian Indonesia di masa depan menjadi relevan untuk ditulis.

I.2. Tujuan Penulisan

Dengan latar belakang singkat diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

i. Mengulas tentang perubahan struktural terkait sisi permintaan dan penawaran di Indonesia pada periode setelah krisis Asia, khususnya periode 2000 - 2012.

ii. Menyampaikan pandangan tentang peluang dan tantangan perekonomian Indonesia saat ini yang dipandang akan tetap relevan sampai dengan lima tahun kedepan.

iii. Menggagas tentang arah transformasi perekonomian dalam RPJMN III (2015-2019) sebagai sebuah sumbang saran yang dapat dijadikan rujukan oleh Pimpinan Bank Indonesia dalam melakukan advokasi kebijakan publik terkait pembangunan ekonomi.

I.3. Pertanyaan-Pertanyaan Riset

Untuk membantu penulisan makalah ini beberapa pertanyaan riset berikut ini akan dijawab dalam pembahasan, yaitu:

1. R1: Perubahan-perubahan struktural apa saja yang telah terjadi di sisi permintaan dan penawaran di Indonesia pada periode 2000 – 2012?

2. R2: Apa implikasi perubahan struktural tersebut pada keseimbangan ekonomi makro dan kesinambungan migrasi Indonesia menuju tingkat pendapatan yang lebih tinggi (negara maju)?

3. R3: Apa peluang dan tantangan global d an domestik yang dipandang sedang dan akan melingkupi lingkungan strategis perekonomian Indonesia sampai dengan lima tahun kedepan?

4. R4: Apa rekomendasi yang dapat disampaikan terkait penguatan fondasi perekonomian Indonesia dalam rangka menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang global dan domestik yang ada?

I.4. Skematika Pembahasan

Demi memudahkan pembaca dalam mengikuti alur pembahasannya, makalah ini telah dibagi menjadi beberapa bagian setelah bab pendahuluan ini. Bab II akan mengulas landasan konseptual terkait transformasi Perekonomian secara umum. Bab III menyampaikan secara singkat tentang metodologi analisis yang digunakan dalam pembahasan makalah, serta deskripsi tentang data dan indikator yang digunakan. Bab IV menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan di Sub-Bab

I.3. Bab V akan menyimpulkan keseluruhan makalah ini.

I.5. Rangkuman Makalah

Pesan-pesan utama yang akan diulas secara lebih detil dalam makalah ini dapat dirangkum sebagai berikut. Perekonomian Indonesia dalam satu dekade terakhir secara berangsur telah bertransformasi kearah dimana terindikasi adanya ketidakseimbangan struktural yang semakin menguat. Kapabilitas industrial di sisi penawaran tertinggal dalam merespon permintaan pasar barang domestik yang semakin kompleks terkait ekspansi kelas menengah. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan proses migrasi Indonesia ke negara maju berpenghasilan tinggi dapat melambat. Untuk mengatasi kendala pada pertumbuhan ekonomi diperlukan kebijakan struktural yang kuat dalam rangka meningkatkan kapabilitas industrial domestik. Kuncinya terletak pada alih teknologi, pembangunan modal manusia, penguatan faktor produksi komplementer dan pembangunan ekosistem inovasi di seluruh Nusantara. Keseluruhan tuntutan ini menunjukkan perlunya model pertumbuhan ekonomi baru (New Growth Model) yang menjadi basis bagi transformasi perekonomian Indonesia kedepan.

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL

II.1. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Struktural Produksi

Sebagaimana telah sedikit disinggung sebelumnya di Bab I, konsep transformasi perekonomian dapat dilihat dari sudut pandang perubahan struktural dalam perekonomian. Timmer (2007) misalnya, setelah melakukan observasi historis di 86 negara sejak 1965 sampai 2000, menyimpulkan transformasi perekonomian sebagai sebuah proses perubahan dalam struktur

perekonomian suatu negara yang meliputi setidaknya fitur-fitur berikut 2 . Pertama adalah menurunnya pangsa output dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang diikuti oleh

meningkatnya produktifitas di sektor tersebut. Proses ini sebagaimana yang dapat diilustrasikan di Diagram 1 dan observasi historis dari Timmer (2007) yang dapat dilihat di Grafik 1. Kedua, seiring dengan perubahan peran sektor pertanian tersebut adalah meningkatnya pangsa aktifitas perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor urban terutama di sektor industri dan jasa-jasa pendukungnya. Ini berarti bahwa dalam proses transformasi tersebut terjadi pula peningkatan migrasi penduduk dari desa ke kota.

Diagram 1 Eksposisi Transformasi Perekonomian (Timmer, 2007)

2 Lihat Timmer, P. C. (2007): The Structural Transformation and the Changing Role of Agriculture in Economic Development, American Enterprise Institute, Washington DC.

Grafik 1 Perubahan Peran Sektor Pertanian di 86 Negara: 1965 – 2000 (Timmer, 2007)

Apa yang disampaikan dalam Timmer (2007) menegaskan kembali pandangan tentang pentingnya konseptualisasi sebuah perekonomian dualistik sebagai conditio sine qua non sebelum diskursus tentang transformasi perekonomian dimulai. Untuk ini bisa meminjam dari teori perekonomian dualistik. Salah satu teori utama terkait perekonomian dualistik adalah sebagaimana yang diajukan oleh Lewis (1954). Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu perekonomian tradisional di perdesaan yang didominasi oleh sektor pertanian subsisten dan perekonomian modern di perkotaan (urban) dengan industri sebagai

sektor utama 3 . Diasumsikan pula bahwa pertumbuhan penduduk di pedesaan masih relatif lebih tinggi dan perekonomiannya masih bersifat tradisional subsisten sehingga terjadi kelebihan suplai

tenaga kerja. Berlimpahnya tenaga kerja ini menyebabkan tingkat upah di perdesaan menjadi sangat rendah.

3 Pembahasan mengenai model perekonomian dual ala Lewis dalam sub-bab ini banyak meminjam dari Das, Mitali, and P. N Dia e,

, Ch o i le of a De li e Fo etold: Has Chi a ‘ea hed the Le is Tu i g Poi t? IMF Wo ki g Pape / (Washington: International Monetary Fund), dan Zhang, X., Yang J., and Wang S.,

, Chi a has ea hed the Le is Tu i g Poi t IFP‘I Dis ussio Pape

. U tuk tulisa se i al te kait pe eko o ia dual lihat Sir Arthur Lewis , E o o i De elop e t ith U li ited “upplies of La ou , The Ma heste “ hool, , pp.

Sebaliknya di perkotaan, sektor industri mengalami kekurangan tenaga kerja sehingga upah relatif lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Perbedaan upah inilah yang menarik banyak tenaga kerja pindah dari sektor pertanian ke sektor industri sehingga terjadi suatu proses migrasi dan urbanisasi. Secara agregat, berpindahnya sebagian tenaga kerja dari sektor dengan upah rendah ke sektor dengan upah yang lebih tinggi membuat pendapatan di negara tesebut jadi meningkat. Peningkatan pendapatan masyarakat di negara bersangkutan menyebabkan masyarakatnya cenderung mengkonsumsi macam-macam produk industri dan jasa. Hal-hal inilah yang menjadi motor utama pertumbuhan output di sektor manufaktur. Sektor manufaktur kemudian berkembang dengan menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian subsisten di daerah perdesaan.

Diagram 2 Titik Balik Lewis dalam Perekonomian Dualistik

Jika dilihat da i sudut pa da g pe ilik odal da alat p oduksi kapitalis , teo i Le is mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan, suplai tenaga kerja yang tidak terbatas dari

ekonomi subsisten memungkinkan para kapitalis untuk memperoleh tingkat kembalian investasi yang tinggi sehingga dapat memperluas aktifitas akumulasi modal untuk beberapa waktu tanpa harus menaikkan upah tenaga kerja. Pada gilirannya, hal ini akan meningkatkan stok kapital fisik dan membantu proses pembagian kerja (division of labor) yang lebih luas sehingga menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja dari sektor pertanian (rural) yang subsisten. Proses ini akan berlanjut ekonomi subsisten memungkinkan para kapitalis untuk memperoleh tingkat kembalian investasi yang tinggi sehingga dapat memperluas aktifitas akumulasi modal untuk beberapa waktu tanpa harus menaikkan upah tenaga kerja. Pada gilirannya, hal ini akan meningkatkan stok kapital fisik dan membantu proses pembagian kerja (division of labor) yang lebih luas sehingga menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja dari sektor pertanian (rural) yang subsisten. Proses ini akan berlanjut

Akan tetapi, pada satu titik tertentu dimana kelebihan tenaga kerja di sektor susbsisten telah diserap secara penuh oleh sektor modern dan dimana akumulasi modal lebih lanjut mulai meningkatkan upah tenaga kerja, akan terjadi apa yang disebut sebagai Titik Balik Lewis atau The Lewisian Turning Point . Hal ini sebagaimana yang dapat diilustrasikan di Diagram 2. Kondisi dimana telah terjadi Lewis Turning Point, adalah kondisi dimana terdapat tendensi upah secara agregat dalam perekonomian akan meningkat, sehingga pendapatan per kapita secara agregat dalam perekonomian juga ikut meningkat.

II.2. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Prasyarat Modal Dasar Pembangunan

Dalam konteks pembahasan mengenai transformasi ekonomi yang lebih kontemporer, proses meningkatnya penghasilan pekerja dalam perekonomian ini dapat dilihat pula sebagai proses transisi dimana sebagian masyarakat sudah mulai keluar dari kemiskinan, atau kehidupan yang subsisten, dan masuk dalam kategori tidak miskin. Proses transisi ini menyebabkan terjadi perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar negara yang selanjutnya dapat mencerminkan perbedaan tingkat pembangunannya (level of development). Perbedaan-perbedaan ini mendasari adanya pendekatan yang sedikit berbeda dalam melihat proses transformasi perekonomian, dimana proses transformasi perekonomian dapat pula diidentifikasi sebagai proses perubahan pada prasyarat kapabilitas modal dasar perekonomian (required factor endowments), untuk dapat bermigrasi dari tingkat pendapatan per kapita yang rendah ke lebih tinggi. Satu pendekatan berdasarkan perubahan prasyarat kapabilitas modal dasar perekonomian yang dapat menjadi rujukan adalah pendekatan transformasi perekonomian sebagaimana yang digunakan oleh World Economic Forum dalam membingkai analisis dalam laporan daya saing dunia (World Competitiveness

Report), sebagaimana yang dirangkum di Diagram 3 4 .

4 Pendekatan lain yang berbasis kapabilitas adalah capability approach sebagaimana yang dikembangkan oleh seorang Nobelaurate Ilmu Ekonomi Amartya Sen yang selanjutnya menjadi basis dari penyusunan Human Development Index dan

diimplementasikan dalam program-program pembangunan manusia oleh United Nations Development Program (UNDP).

Lihat argumentasi seminal di Sen, A. K. (1983), Development: Which Way Now?, Economic Journal, 93, 745, dan ulasan tentang capability approach to development di Clark, D.A. (2005), The Capability Approach: Its Development, Critiques and Recent Advances, Global Poverty Research Group, GPRG-WPS-032.

Diagram 3 Skematika Transformasi Perekonomian Menurut World Economic Forum

Dalam skematika di Diagram 3, perekonomian dapat dibagi dalam jenjang kisaran pendapatan per kapita yang mencerminkan tingkat pembangunan ekonominya. Pembagian tingkat pendapatan per kapita dalam hal ini merujuk pada Country Income Classifications yang disusun oleh World Bank. Country Income Classifications tersebut mengkategorikan negara berdasarkan pendapatan per kapita-nya yang terbagi atas 4 klasifikasi, yaitu pendapatan rendah (low-income), pendapatan menengah bawah (lower middle-income), pendapatan menengah atas (upper middle-

income) dan pendapatan tinggi (high-income) 5 . Metode perhitungan pendapatan per kapita tersebut menggunakan nilai Gross National Income (GNI) per kapita atas dasar harga berlaku (current prices),

dimana World Bank Atlas method membagi klasifikasi negara berdasarkan kelompok pendapatan sebagaimana di Tabel 1 berikut 6 :

5 Penjelasan secara lebih detil dapat di lihat di website Bank Dunia terkait Country Income Classifications:

http://data.worldbank.org/about/country-classifications. 6

Dalam metode perhitungannya, untuk mengurangi dampak nilai tukar yang berfluktuasi, maka pengelompokan GNI per kapita tersebu t menggunakan Atlas conversion factor yang merupakan rata-rata nilai tukar suatu negara yang disesuaikan dengan tingkat inflasi internasional, dimana sejak tahun 2000 terdiri atas the G-5 countries (France, Germany, Japan, the United Kingdom dan the United States) dan sejak tahun 2001 termasuk the Euro Zone, Japan, the United Kingdom dan the United States. Untuk penjelasan lebih detil dapat dilihat melalui web-link Bank Dunia di catatan kaki sebelumnya

Tabel 1 Klasifikasi Negara Menurut Pendapatan Per Kapita

(GNI, Atlas Method, World Bank)

Income group

GNI per capita

 Low income

U“D .

 Lower middle income

USD 1.036 – USD 4.085

 Upper middle income USD 4.086 – USD 12.615  High income

U“D .

Kemampuan suatu perekonomian bermigrasi dari dari suatu tingkat rata-rata pendapatan per kapita penduduk yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi ditentukan oleh ketersediaan prasyarat kapabilitas modal dasar pembangunannya (Lihat Diagram 3). Negara-negara dalam kategori berpendapatan rendah (low income) dapat bertransisi ke negara berpendapatan menengah rendah (lower middle income) jika prasyarat kapabilitas modal dasarnya terpenuhi berupa ketersediaan pekerja dengan pendidikan dasar, infrastruktur dasar yang memadai, fasilitas kesehatan dasar yang memadai bagi penduduk, dan institusi publik yang berfungsi. Akan tetapi ketika suatu perekonomian telah berhasil bertransisi ke perekonomian berpendapatan menengah (lower middle income) maka diperlukan transformasi kapabilitas modal dasar pembangunan (factor endowments) agar dapat bermigrasi ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Sebagaimana yang dirangkum di Diagram 3, pada tahapan lower middle income tersebut prasyarat bermigrasi ke upper middle income adalah ketersediaan pekerja dengan pendidikan tersier, pasar tenaga kerja dan barang yang efisien, pembangunan sektor keuangan, dan pembangunan kesiapan teknologi. Selanjutnya, untuk dapat bermigrasi dari upper middle income ke high income economy, diperlukan transformasi prasyarat kapabilitas modal dasar pembangunan yang lebih kuat lagi, berupa pembangunan kehandalan dunia usaha dan kapasitas inovasi, dimana pada prasyarat ini diperlukan pembangunan modal manusia dengan kompetensi tinggi dan penguatan kemampuan melakukan aktifitas penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

II.3. Transformasi Perekonomian Sebagai Pergeseran Struktur Permintaan Agregat

Transformasi perekonomian baik dari sisi sektoral maupun modal dasar pembangunan sebagaimana disampaikan diatas secara umum dapat dilihat sebagai transformasi di sisi penawaran dalam perekonomian. Sementara itu, sejalan dengan Hukum Say, sisi penawaran sejatinya adalah

pembentukan potensi permintaan (potential demand) 7 . Dalam konteks ini transformasi perekonomian di sisi penawaran tentunya akan tercermin pula pada transformasi di sisi permintaan.

Dengan meningkatnya kemampuan memasok barang seiring migrasi ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi, akan muncul pula dalam perekonomian kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan tidak miskin. Kelompok masyarakat ini dapat dila el se agai kelo pok kelas e e gah . Walaupun demikian, perlu kiranya dicatat b ah a kelas e e gah dala ko teks ega a seda g e

a gu (developing economy tidak dapat disa aka de ga kelas e e gah di ega a a g telah aju

(developed economy).

Hal ini dapat dilihat misalnya pada keragaman definisi kelas menengah yang diajukan oleh pa a pe eliti da il u a ketika e o a ela el kelo pok tidak iski dala pe eko o ia non-negara maju 8 . Ravallion (2009) misalnya membagi kelas menengah (middle class) atas 2 kelompok, yaitu kelompok

de elopi g o ld iddle lass serta kelompok este o ld iddle class . “e e ta a itu, Wo ld Ba k

e defi isika ah a kelas e e gah adalah kelompok dengan pendapatan berada antara USD 4000 sampai dengan USD 17.000 (PPP 2000) per tahun.

Dalam pembahasan di makalah ini nantinya, kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok penduduk dengan tingkat konsumsi USD 2 - USD 4 / orang / hari untuk kelas menengah bawah dan > USD 4 – USD 20 untuk kelas menengah inti dan kelas menengah atas. Definisi ini merupakan adaptasi dari definisi yang digunakan di ADB (2010) dan Banerjee – Duflo (2009).

7 Perlu ditekankan bahwa pernyataan JM Keynes (1936) dalam the General Theory of Employment, Interest and Money bahwa Hukum Say adalah suppl eates its o de a d merupakan sebuah misinterpretasi. Proposal JB Say tentang

sisi permintaan jauh lebih mendalam dibanding pernyataan dangkal dari Keynes. JB Say e gataka ah a p oduk di a a oleh p oduk atau ke a pua i di idu u tuk e eli suatu p oduk atau jasa te ga tu g pada ke a pua a

untuk memproduksi produk atau jasa yang dapat dipertukarkan di pasar barang dan jasa. Tanpa adanya kemauan dan kemampuan untuk memasok barang dan jasa di pasar barang dan jasa maka seorang individu tidak akan mampu membeli (memuaskan permintaannya) terhadap produk atau jasa. Dalam konteks ini, esensi dari Hukum Say adalah proposal bahwa motor utama sebuah perekonomian adalah agregat jam kerja atau produksi dan aktifitas pertukaran (perdagangan) yang dilakukan oleh individu terhadap produk dan / atau jasa yang dihasilkannya, bukan agregat konsumsi. Dalam konteks ini, periode resesi perekonomian muncul ketika individu secara agregat berhenti (tidak mau) berproduksi bukan ketika mereka berhenti berkonsumsi. Terkait Hukum Say Lihat JB Say (1803, hal 138- 153): A Treatise on Political Economy. Lihat juga interpretasi tentang Hukum Say di James Mill (1808, Bab VI): Commerce Defended dan di Hutt, W. (1974): A Rehabilitation

of “a s La , Ohio U i e sit P ess. 8 Lihat pe ahasa e ge ai kelas e e gah di Ho i Kha as

, the Emerging Middle Class in Developing Countries , OECD De elop e t Ce t e, Wo ki g Pape No. 5.

Mengkesampingkan keragaman definisi, kelas menengah atau kelompok penduduk tidak miskin dalam masyarakat memberi warna tersendiri pada dinamika perekonomian, terutama karena perannya sebagai penopang transformasi perekonomian secara berkelanjutan. Peran penting kelas menengah ini telah banyak menjadi obyek kajian misalnya oleh Juliet Schor (1999) dan Murphy,

Shleifer dan Vishny (1989) 9 . Pada intinya, kajian-kajian tersebut melihat adanya perubahan struktur permintaan dalam perekonomian terkait ekspansi kelas menengah.

Konsumen kelas menengah dengan kapasitas dan kapabilitas yang lebih baik dalam memasok barang dan jasa akan cenderung pula meminta produk-produk yang lebih berkualitas, bernilai tambah dan terdiferensiasi. Dalam konteks ini pula maka potensi permintaan yang muncul dari ekspansi kelas menengah (middle class) adalah salah satu faktor yang dapat menopang kesinambungan pertumbuhan ekonomi suatu negara, mendorong ekspansi perdagangan dunia, dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi dunia.

II.4. Transformasi Perekonomian dan Ketimpangan Pendapatan Pembahasan tentang transformasi perekonomian belumlah lengkap tanpa ulasan tentang

ketimpangan pendapatan (inequality). Seiring dengan proses transisi ke tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi suatu negara niscaya akan dihadapkan pada fenomena transisional berupa tingkat ketimpangan pendapatan yang meningkat. Middle income countries adalah kelompok negara dimana fenomena transisional tersebut sangat terlihat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses transisi negara-negara dari low menjadi middle income country diikuti pula oleh ekspansi kelas menegah dalam masyarakat. Akan tetapi, dengan keluarnya sebagian masyarakat dari kelompok miskin / hampir miskin menjadi kelas menengah tersebut, maka secara alamiah ketimpangan pendapatan (yang diukur dengan indeks Gini) akan meningkat.

Bahkan terdapat sebuah ironi, yaitu middle income countries dengan ekspansi kelas menengah yang menguat adalah juga tempat dimana porsi terbesar penduduk miskin dunia bertempat tinggal 10 . Ditengah ironi ini pula, middle income countries adalah kelompok negara yang

sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk mendapatkan bantuan pembiayaan lunak untuk pembangunan melalui concessional lending atau official development assistance dari lembaga- lembaga donor multilateral. Artinya, dalam pembiayaan pembangunannya, middle income countries

9 Eksposisi terkait kelas menengah di bagian ini banyak meminjam dari Kharas (2010)

10 Lihat misalnya pembahasan di Overseas Development Institute (2004): Inequality in Middle Income Countries – Synthesis Paper,

Poverty and Public Policy Group.

harus mengandalkan pembiayaan berbasis pasar (market based financing), seperti melalui obligasi Pemerintah.

Akan tetapi cerita lengkap terkait ketimpangan pendapatan di middle income countries tidak dapat pula mengkesampingkan sebuah proposal bahwa ketimpangan pendapatan yang meningkat tersebut adalah sebuah fenomena transisional yang lambat laun dapat terkoreksi dengan sendirinya jika lebih banyak lagi masyarakat yang sudah keluar dari kemiskinan.

Diagram 4 Kurva Kuznets

Proposal tentang fenomena transisional ini pertama kali digagas oleh Simon Kuznets, salah satu pemenang Nobel di bidang ekonomi, dan dikenal sebagai hubungan non-linier berbentuk huruf U-terbalik (inverted U-shaped) antara peningkatan pendapatan per kapita dan kesenjangan

pendapatan, atau Kurva Kuznets 11 (Diagram 4). Adanya fenomena transisional ini, memberi tantangan unik yang tidak ringan bagi sebuah middle income country. Ketimpangan pendapatan yang

meningkat berpotensi memicu gejolak sosial yang bersumber dari ketidakpuasan sebagian masyarakat yang masih tertinggal terhadap melebarnya kesenjangan ekonomi yang dirasakan

sebagai bentuk ketidak-adilan 12 . Untuk itu upaya-upaya transformasi struktural dalam rangka membangun perekonomian yang mampu secara sinambung meningkatkan pendapatan per kapita

11 Tentang kurva Kuznets, lihat artikel klasik Kuznets, Simon (1955), Economic Growth and Income Inequality, American Economic Review 65, dan pembahasan kontemporernya di Acemoglu, D. dan J.A. Robinson (2002), The Political Economy of the Kuznets Curve, Review of

Development Economics 6(2). 12 Lihat diskusi teoritis dalam Acemoglu dan Robinson (2002) di catatan kaki sebelumnya.

dan sekaligus menyediakan lapangan kerja yang berkualitas bagi sebanyak-banyaknya penduduk menjadi sangat penting.

Dalam perekonomian global Abad 21 ini, upaya membangun integrasi perekonomian ke rantai nilai global merupakan bagian penting dari upaya transformasi struktural tersebut. Peningkatan kapabilitas industrial yang tercipta dari proses integrasi tersebut merupakan salah satu jalan utama bagi terbangunnya suatu perekonomian yang inklusif dimana diversifikasi basis industri ke arah yang lebih berkualitas akan pula memperkuat basis penyerapan tenaga kerja yang lebih luas dan berkualitas. Hal ini akan diulas lebih lanjut berikut ini.

II.5. Transformasi Perekonomian dan Penguatan Kapabilitas Industrial Dalam Konteks Globalisasi

Konsep rantai nilai global sebagaimana yang telah disinggung diatas perlu mendapat klarifikasi. Konsep rantai nilai berangkat dari sebuah teori daya saing perdagangan yang dikemukakan oleh Michael E. Porter pada tahun 1985 dalam sebuah buku yang berjudul Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Dalam teori awal tersebut, rantai nilai didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan didalam industri yang spesifik, untuk menghasilkan produk atau jasa yang bernilai bagi pasar. Ide dibalik teori rantai nilai berangkat dari sudut pandang bahwa manufaktur itu adalah sebuah sistem yang dibangun dari sub- sistem, dengan masing-masing input, proses, dan output nya. Sehingga, aktivitas yang terjadi disepanjang rantai nilai pada akhirnya akan menentukan biaya dan keuntungan dari suatu bisnis (Diagram 5).

Diagram 5 Rantai Nilai Porter (Porter, 1985)

Aktivitas utama pada rantai nilai yang digambarkan dalam teori competitive advantage (Porter, 1985) adalah aktivitas inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing& sales, dan services sebagai aktivitas Utama. Kemudian terdapat aktivitas pendukung yaitu SDM, teknologi, Aktivitas utama pada rantai nilai yang digambarkan dalam teori competitive advantage (Porter, 1985) adalah aktivitas inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing& sales, dan services sebagai aktivitas Utama. Kemudian terdapat aktivitas pendukung yaitu SDM, teknologi,

Seiring dengan perkembangan teori rantai nilai global, maka tingkat kepentingan masing- masing aktivitas tersebut bergeser. Stan Shih yang merupakan pendiri salah satu perusahaan komputer terbesar di du ia aitu ACE‘, pada tahu

e gu gkapka teo i “ ile Cu e a g menggambarkan bagaimana aktivitas di sepanjang rantai nilai tersebut memiliki nilai tambah masing-masing (Diagram 6). Kemudian, deBacker pada tahun 2013 menyatakan terjadi pergeseran k u a “ ile Cu e ka e a se aki u ah a ia a p oduksi a a g aki at ke ajua tek ologi. Selain itu, dengan adanya fenomena trade-in-task dan global offshoring, aktivitas produksi juga

menjadi semakin fleksibel dalam konteks lokasi, jumlah, dan kualitas. Hal ini akan diulas lebih lanjut dibawah.

Diagram 6 Smiley Curve: 1970an VS 2000an (Stan Shih, 1992 dan deBacker, 2013)

Adanya globalisasi pada rantai nilai produksi mendorong Negara-negara untuk meningkatkan daya saingnya di sepa ja g “ ile Cu e . Be dasa ka ko sep “ ile Cu e , suatu Negara memiliki 3 cara untuk tetap mempertahankan daya saingnya dalam rantai nilai global (Diagram 7). Pertama adalah dengan terus meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi untuk menciptakan aktivitas produksi yang sangat murah, cara pertama ini menggambarkan posisi

te gah pada s ile u e . Kedua adalah de ga elakuka i dust ial upg adi g aitu meningkatkan aktivitas inovasi serta R&D seiring berproduksi. Cara kedua ini menggambarkan posisi

ki i pada s ile u e . Ketiga adalah de ga elakuka se i e upg adi g , aitu de ga meningkatkan kualitas layanan jasa, penjualan, dan pengantaran seiring dengan aktivitas produksi yang dilakukan suatu Negara posisi ka a s ile u e .

Diagram 7 Industrial Upgrading VS Service Upgrading

Pada tahun 2013, OECD bekerjasama dengan WTO merilis pendekatan baru didalam menghitung nilai perdagangan dari ekspor impor yang dilakukan suatu Negara. Ini merupakan bentuk dari pendekatan yang telah mengakomodasi adanya globalisasi rantai nilai dalam perdagangan internasional. Pendekatan ini berfokus pada nilai tambah sebenarnya yang dihasilkan oleh suatu Negara, bukan hanya semata-mata melihat harga jual dari barang tersebut ketika di- ekspor (Diagram 8).

Diagram 8 Pendekatan Trade in Value Added dalam Menghitung Aktifitas Perdagangan (OECD & WTO, 2013 dan deBacker, 2013)

Konsekuensinya adalah bisa terjadi selisih antara pencatatan yang selama ini dilakukan (gross export) dengan nilai tambah yang sebenarnya disumbang oleh suatu negara (domestic value added). Sehingga dapat disimpulkan, semakin tinggi selisih antara nilai gross export dengan value added yang sebenarnya berarti menggambarkan semakin tingginya intensitas perdagangan barang antara. Karena perdagangan barang antara identik dengan fenomena trade in task dalam rantai nilai global, maka artinya, semakin besar selisih tersebut, suatu Negara semakin terintegrasi kedalam aktivitas rantai nilai global.

Fenomena trade in task sendiri merupakan fenomena yang berkembang seiring dengan semakin kuatnya arus globalisasi perdagangan dunia. Sebagaimana yang diilustrasikan di Diagram 9, perdagangan dunia Abad 21 sudah jauh berbeda dari era pra-Revolusi Industri. Pada era itu, biaya transportasi dan komunikasi masih sangat mahal, sehingga produk biasanya diproduksi dekat dengan pasarnya dan perdagangan dunia didominasi pertukaran antar-barang jadi (finished goods). Biaya transportasi dan komunikasi yang semakin rendah di era global Abad 21 menyebabkan time & space compression sehingga memungkinkan fragmentasi (global offshoring) proses produksi,

termasuk spesialisasi produksi untuk barang antara di berbagai lokasi yang berbeda 13 .

Mengapa suatu Negara memilih untuk melakukan perdagangan barang dan jasa dengan Negara lain, bukan sebaliknya yaitu memproduksi seluruh kebutuhannya didalam negeri sendiri. Teori David Ricardo yang dikenal sebagai t eo i o pa ati e ad a tage

e gataka ah a suatu Negara sebaiknya memproduksi barang yang sesuai dengan keahlian dan sumber daya yang dimiliki negaranya (spesialisasi, sehingga menghasilkan efisiensi maksimal), sedangkan kebutuhan barang lainnya cukup dipenuhi dengan membeli (berdagang) dari Negara lain. Teori yang kemudian juga dike al de ga se uta ‘i a dia i i dapat de ga jelas e ja a pe ta aa te se ut diatas.

Transportasi dan mekanisasi produksi yang semakin murah, mudah, dan cepat mendorong adanya globalisasi lokasi konsumsi dan fragmentasi lokasi produksi. Ini berarti suatu produk dapat dikonsumsi oleh pasar yang semakin luas, namun dengan lokasi produksi yang tersebar sesuai spesialisasi masing-masing, semata-mata untuk mencapai efisiensi maksimal Ricardian. Kemudian dengan semakin meningkatkanya kompleksitas produk yang diminta (Hausmann et al, 2011), maka produksi tidak lagi melibatkan satu proses dan satu pabrik, namun banyak proses dan banyak pabrik.

13 Lihat pembahasan di Gene M. Grossman and Esteban Rossi-Hansberg (2006) dan juga tulisan oleh Thomas Friedman (2005);

dan Alan Blinder (2006). Fragmentasi atau offshoring lokasi spesialisasi produksi komponen tersebut kerap pula disebut sebagai fenomena trade in tasks. Lihat juga publikasi WTO (2012) tentang global offshoring (trade in tasks) industri manufaktur.

Diagram 9 Evolusi Tatanan Industri dan Perdagangan Dunia (WTO & IDE – JETRO, 2012)

Hal inilah yang menciptakan rantai nilai global dengan fenomena Trade-in-Task nya. Dengan semakin mudahnya memindahkan dan memproduksi barang, perdagangan barang sudah bukan lagi

e jadi fokus didala e apai efisie si aksi al ‘i a dia . Fokus saat i i adalah task apa a g bisa dengan baik dilakukan (spesialisasi) sehingga efisiensi maksimal tercapai dalam memproduksi

dan mengkonsumsi berbagai jenis barang. Karena untuk memproduksi berbagai jenis barang te se ut u gki e iliki ke utuha task a g i ip atau se upa.

Catatan akhir diatas menutup ulasan di bab ini. Berbagai ulasan terkait konsep-konsep diseputar transformasi perekonomian yang telah disampaikan diatas akan menjadi basis bagi analisa-analisa tentang transformasi perekonomian Indonesia di Bab IV. Namun sebelum itu, di Bab

III berikut akan disampaikan sedikit tentang metodologi analisis dalam makalah ini dan deskripsi data serta indikator yang digunakan.

BAB III METODOLOGI DAN DATA

III.1. Metodologi

Tidak dapat dihindari bahwa pembahasan tentang transformasi perekonomian dalam makalah ini akan sangat deskriptif sifatnya dengan menggunakan data dan indikator-indikator sebagaimana yang dirinci di sub-bab III.2. dibawah. Pertanyaan riset R1 misalnya akan dijawab dengan ulasan- ulasan deskriptif terkait perubahan-perubahan struktural yang telah terjadi di sisi permintaan dan penawaran di Indonesia pada periode 2000 – 2012. Demikian pula pertanyaan riset R4. Namun demikian, pembahasan di Bab IV juga akan mengambil manfaat dari studi-studi empiris untuk mendukung argumennya. Terkait ini agar tidak mengganggu alur pembahasan maka metodologi empiris yang digunakan akan disajikan tersendiri dalam anneks-anneks di lampiran makalah ini.

III.2. Deskripsi Data dan Indikator

Selanjutnya, berikut ini disampaikan rincian dan uraian singkat tentang indikator-indikator utam a yang digunakan didalam analisa di Bab IV (Tabel 2).

Tabel 2 Indikator Utama

Fungsi & Posisi

Deskripsi

No Nama Indikator

Formula Perhitungan

Indikator Dalam Sumber

Indikator

Alur Pikir Penelitian

1 Kapabilitas

Analisis Industrial

(Ekspor High Tech +

Pangsa ekspor

Mengukur

Ekspor Medium Tech

+ Ekspor Low Tech

berteknologi

industri manufaktur

Labor Intensive) /

tinggi,

domestik didalam

(Total Ekspor)

menengah, dan

memproduksi

rendah padat

barang-barang

modal

berteknologi dan

dibandingkan

padat modal

dengan total ekspor yang dihasilkan

2 Ketergantungan

Analisis Teknologi

(Impor High Tech +

Pangsa impor

Mengukur

Impor Medium Tech

produk

ketergantungan Penulis

Intensive) / (Total

berteknologi

teknologi pasar

Impor)

tinggi dan

domestik, baik

menengah

untuk konsumsi

dibandingkan

maupun untuk

dengan total

produksi barang-

impor

barang berteknologi dan padat modal

3 Trade in Value

Mengukur integrasi OECD-WTO Added – Re

Lihat OECD & WTO

Jumlah impor

suatu Negara Export

OMC (2013)

barang antara

kedalam rantai nilai Intermediates

yang di ekspor

kembali setelah

4 Trade in Value

Mengukur integrasi OECD-WTO Added – Direct

Lihat OECD & WTO

Jumlah barang

suatu Negara Domestic Value

OMC (2013)

ekspor yang

kedalam rantai nilai Added (DVA)

mengalami nilai

tambah

global

domestik, yang berasal dari satu pelaku domestik

5 Trade in Value

Mengukur integrasi OECD-WTO Added – Foreign

Lihat OECD & WTO

Jumlah barang

suatu Negara Value Added

OMC (2013)

ekspor yang

mengalami nilai

kedalam rantai nilai

tambah

global

sepenuhnya dari luar negeri (impor)

6 Revealed

Mengukur daya Balassa Comparative

Lihat Balassa (1965)

Mengukur

saing industri Advantage (RCA)

keunggulan

komparatif

domestik (statis)

produk yang dihasilkan suatu Negara terhadap rest of world (statis)

7 Revealed

Cai et al Comparative

Lihat Cai et al (2009)

Mengukur

Mengukur

pergeseran daya Advantage

keunggulan

saing industri Variation (RCAV)

komparatif

produk yang

domestik (dinamis)

dihasilkan suatu Negara terhadap rest of world (dinamis)

8 Smiley Curve

Mengukur tingkat Analisis Decomposition – Semikonduktur +

(Ekspor Sektor

Pangsa ekspor

industrial upgrading Penulis, Left Side Share

sektor yang

Permesinan+

sarat R&D dan

suatu negara klasifikasi

Transportasi) / Total

berdasarkan

Ekspor

OECD & WTO OMC

Ukuran baseline Analisis Decomposition – Pertanian +

9 Smiley Curve

(Ekspor Sektor

Pangsa ekspor

sebelum suatu Penulis, Mid Side Share

sektor yang

Makanan, Minuman,

sarat akan

Negara melakukan klasifikasi

Tembakau + Logam +

aktivitas

industrial upgrading sektor

Pertambangan +

produksi

atau service

berdasarkan

Tekstil + Kayu +

upgrading

OECD & WTO

Manufaktur Lainnya

OMC

+ ) / Total Ekspor

Mengukur tingkat Analisis Decomposition – Konstruksi + Logistik

10 Smiley Curve

(Ekspor Sektor

Pangsa ekspor

service upgrading Penulis, Right Side Share

yang sarat akan

+ Jasa Bisnis + Jasa

aktivitas jasa,

suatu negara klasifikasi

Keuangan + PHR +

logistik,

sektor

Listrik, Air, Gas + Jasa penjualan,

berdasarkan

Lainnya) / Total

layanan

OECD & WTO

OMC 11 Logistics

Ekspor

purnajual

Mengukur daya World Bank Performance

Lihat Arvis et al

Ukuran daya

saing non-upah Index

saing logistik

perdagangan

dalam mendukung

suatu negara

industri domestik

13 Knowledge

Mengukur kualitas World Bank Economy Index – (2005)

Lihat Chen et al

Jumlah tenaga

aktivitas inovasi Innovation

riset, jumlah

aplikasi paten,

dalam mendukung

dan jumlah

industri domestik

artikel ilmiah

Mengukur kualitas World Bank Economy Index – (2005)

14 Knowledge

Lihat Chen et al

Ukuran

sumber daya Education

pendidikan

primer,

manusia di suatu

sekunder, dan

negara

tersier, dan rata- rata lama sekolah

Mengukur daya HSBC Infrastructure

15 Asia

Lihat Man (2013)

Ukuran kualitas

saing infrastruktur Measure

infrastruktur

fisik dan digital

dalam mendukung

industri domestik 16 Ease of Doing

suatu negara

Mengukur daya World Bank Business Rank

Lihat World Bank

saing non-tarif

regulasi dan

dalam mendukung

prosedur dalam

industri domestik

memperoleh

(non-tariff barrier)

perizinan terkait aktivitas bisnis

BAB IV PEMBAHASAN

IV.1. Perubahan Struktural di Sisi Permintaan

Sejak tahun 2004, pendapatan per kapita Indonesia telah melewati batas maksimal pendapatan per kapita negara miskin yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu sebesar 1.048 USD (Lihat Tabel 1). Sejak saat itu, Indonesia telah bergabung dengan kelompok negara berpendapatan menengah- rendah (lower middle income) dan dapat dikatakan telah berhasil keluar dari potensi masuk kedalam jebakan kemiskinan (poverty trap) akibat krisis Asia tahun 1997/99. Kemampuan Indonesia untuk masuk dalam kategori lower middle income country (lower MIC) menutup berbagai kemunduran pencapaian pendapatan per kapita ketika krisis Asia. Setelah hampir masuk secara konsisten dalam kategori lower MIC pada tahun 1996 – 1997, pendapatan per kapita Indonesia tergerus sekitar setengahnya ketika krisis Asia melanda. Pada puncak krisis Asia tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 posisi pendapatan per kapita Indonesia menurun ke tingkat yang sama seperti di tahun 1980an (Grafik 2).

Program stabilisasi perekonomian yang dilakukan bersama dengan IMF sampai tahun 2003 secara bertahap mengembalikan kemampuan perekonomian untuk bangkit dari keterpurukan. Secara bertahap pendapatan per kapita kembali meningkat. Tren peningkatan pendapatan per kapita semakin kuat sejak Indonesia kembali masuk dalam kategori lower MIC di 2004. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di sekitar 6% sejak 2005 dan kondisi ekonomi makro dan sistem keuangan yang relatif terjaga dan stabil, menopang kecepatan laju pertumbuhan pendapatan per kapita tersebut. Sampai akhir 2012, posisi pendapatan per kapita Indonesia hanya kurang beberapa dolar saja dari batas bawah kisaran untuk upper MIC. Jika tren pertumbuhan ekonomi dan stabilitas perekonomian dapat tetap terjaga maka bukan tidak mungkin pada tahun 2020 Indonesia telah memantapkan posisi di kategori upper MIC.

Grafik 2 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Indonesia 1970-2012

(World Development Indicators, World Bank)

Seiring dengan migrasi Indonesia dari low income country (LIC) ke lower MIC, terjadi pula perubahan struktural yang cukup mendasar pada komposisi penduduk menurut kategori tingkat kesejahteraannya. Dalam satu dekade terakhir, jumlah absolut kelompok penduduk kelas menengah (tingkat konsumsi US$2 – US$20 per hari) berkembang cukup pesat. Berlipatnya jumlah penduduk yang berada pada kelompok kelas menengah ini berasosiasi dengan turunnya jumlah masyarakat yang berada pada kelompok miskin dan hampir miskin. Di penghujung era 1980-an misalnya, setidaknya 9 dari 10 orang Indonesia masuk dalam kategori miskin atau hampir miskin. Jumlah penduduk yang miskin atau hampir miskin tersebut secara bertahap semakin berkurang dan digantikan oleh kelompok kelas menengah. Pada akhir 2010, sekitar 5 dari 10 penduduk Indonesia telah berada dalam kategori kelas menengah (Grafik 3).

Meski secara absolut, jumlah penduduk kelas menengah belum terpaut jauh dari penduduk miskin dan hampir miskin, namun ukuran pasar konsumsi yang tercipta dari kelompok tersebut sudah jauh lebih besar dibanding kelompok miskin dan hampir miskin. Selain meningkatkan ukuran pasar konsumsi domestik, ekspansi penduduk dalam kategori kelas menengah meningkatkan pula keragaman permintaan barang konsumsi dan jasa. Munculnya kelompok penduduk kelas menengah juga telah memperbesar dengan segmen pasar yang juga bervariasi. Pada akhir 2010, ukuran pasar yang dibentuk oleh konsumen kelas menengah secara total kurang lebih hampir 3,5 kali lipat ukuran pasar konsumen kelompok miskin dan hampir miskin (Grafik 3).

Grafik 3 Ekspansi Kelas Menengah dan Perubahan Struktur Permintaan Agregat

Berkembangnya kelas menengah di Indonesia menjelaskan kuatnya permintaan barang- barang produk manufaktur. Analisa terhadap data input/output 2005 menunjukkan bahwa sebagian besar dari konsumsi rumah tangga di Indonesia dipenuhi oleh sektor produksi domestik (Diagram 10). Sebagaimana juga yang terjadi di negara lain, konsumen kelas menengah Indonesia adalah tipe

ko su e a g au da a pu u tuk e

a a le ih u tuk e dapatka p oduk a g variatif, berkualitas, dan bernilai tambah tinggi. Hal ini terlihat dari semakin beragamnya permintaan atas barang-barang konsumsi oleh penduduk dalam 10 tahun terakhir, yang ditunjukkan oleh semakin berkurangnya proporsi konsumsi barang-barang nondurables hasil pertanian dalam komposisi konsumsi penduduk dan semakin besarnya proporsi permintaan untuk makanan olahan, perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang-barang tahan lama, aneka barang dan jasa serta barang

berteknologi tinggi (Grafik 4).

Oleh karenanya ekspansi kelas menengah dapat diartikan sebagai perubahan perilaku konsumen, dimana mereka tidak sekedar mau untuk membeli, namun sudah mampu untuk membeli. Mereka jeli memperhatikan kualitas produk dan mau untuk membayar lebih, guna mendapatkan produk yang lebih berkualitas (value for money). Mereka juga mulai mempertimbangkan untuk mengkonsumsi produk diluar kebutuhan dasar mereka.

Sumber : Tabel I/O2005, BPS diolah, OEI Edisi Agustus Sumber : BPS diolah, OEI Edisi Agustus 2012 dan Decymus 2012 dan Decymus dan Tri Yanuarti (2011)

dan Tri Yanuarti (2011)

Diagram 10 Struktur Konsumsi Grafik 4 Perubahan Pola Rumah Tangga

Konsumsi Penduduk

Dalam konteks ini, profil konsumsi masyarakat kelas menengah kemudian menjadi penting untuk dimasukkan sebagai bagian dari analisis terkait transformasi perekonomian. Perilaku konsumsi kelas menengah yang sudah sangat memperhatikan alue fo o e ketika berbelanja kebutuhan mereka, menggambarkan tantangan sekaligus peluang bagi penyedia barang dan jasa. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh AC Nielsen (2012), profil konsumsi masyarakat kelas menengah Indonesia saat ini adalah sebagai berikut:

 Apa yang dibeli oleh konsumen kelas menengah di Indonesia? o 37% pengeluaran bulanan masyarakat adalah untuk membeli makanan segar.

Produk konsumsi kelas menengah yang sangat dominan adalah konsumsi biskuit, mie instan, dan es krim.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0