Bercermin dari Turnover Pekerja Industri

1

Bercermin dari Turnover Pekerja Industri Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT) di Kabupaten Semarang

Ain Hafidita

I.

PENDAHULUAN
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan kesempatan yang luas bagi

suatu negara untuk memulai industrialisasi ekonominya. Industri ini memainkan
peranan penting dalam meningkatkan orientasi ekspor khususnya di negara-negara
Asia. Jumlah penduduk negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
yang mencapai sekitar 612 juta jiwa1 dan kesepakatan penghapusan tarif bea masuk
0% menjadi peluang besar bagi pasar TPT2.
Di Indonesia, perkembangan industri TPT juga memberikan kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi domestik. Pada tahun 2009, industri TPT berkontribusi sebesar
12,72 persen dalam perolehan devisa terhadap ekspor hasil industri tidak termasuk
minyak dan gas (migas) dan sebesar 9,58 persen terhadap total ekspor non migas,

meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Bermodal 248.5 juta
jiwa atau setara dengan 40.6% dari total populasi penduduk ASEAN, Indonesia
menyediakan banyak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan industri ini3.
Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi untuk manufaktur
termasuk khususnya industri TPT. Jawa Barat menyumbang hampir seperempat dari
nilai total hasil produksi Indonesia di sektor non migas. Komoditas ekspor utama
Jawa Barat adalah tekstil yaitu sekitar 55,45% dari total ekspor dan sisanya adalah
besi baja, alas kaki, furnitur, rotan, elektronika, komponen pesawat dan lainnya.
Namun demikian, belakangan ini marak terjadi relokasi pabrik yang dilakukan
1

PRB. 2013. World Population Data Sheet 2013. Washington DC: Population Reference Bureau.

2

Ekspor hasil industri pakaian jadi dan tekstil lainnya.

3

Hermawan, I. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri

Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.

2

industri TPT Jawa Barat ke beberapa daerah di Jawa Tengah karena makin tingginya
upah minimum provinsi (UMP) Jawa Barat. Selisih UMP antara Jawa Barat dan Jawa
Tengah mencapai sekitar Rp 1.000.000,00 per karyawan. Kisaran UMP di Jawa Barat
adalah Rp 2.200.000,00 sedangkan di Jawa Tengah hanya Rp 1.200.000,00. Investasi
yang dikeluarkan untuk membangun pabrik baru adalah sekitar Rp 10 miliar, relatif
kecil jika dibandingkan dengan kompensasi yang harus dibayarkan jika tetap
mempertahankan operasional pabrik di Jawa Barat dan sekitarnya. Tidak melulu
karena tarif, Jawa Tengah dinilai memiliki iklim investasi yang kondusif dan cocok
untuk industri padat karya4.
Salah satu sentra industri TPT di Jawa Tengah adalah Kabupaten Semarang.
Lokasi strategis Kabupaten Semarang yang menghubungkan Kota Semarang dengan
Solo dan Yogyakarta menjadi incaran investor, khususnya perusahaan TPT.
Kabupaten Semarang merupakan rumah bagi 31 industri TPT, diantaranya adalah PT.
Ungaran Sari Garment, PT. Apac Inti Corpora, PT. Morich Indo Fashion, PT.
Sinabro/Global Garment, PT. Liebra Permana, PT. Batam Textile Industri


dan

sebagainya5. Berikut adalah jumlah industri TPT dan pekerja menurut KKI 3 Digit
dan jenis kelamin di Kabupaten Semarang tahun 2012.
Tabel 1. Komposisi Industri TPT Besar dan Sedang dan Jumlah Pekerja
Menurut KKI 3 Digit dan Jenis Kelamin di Kabupaten Semarang tahun 2012
Tenaga Kerja Produksi

Tenaga Kerja Lainnya

KKI 3
Digit

Banyaknya
Perusahaan
/ Usaha

Laki-laki

Perempuan


Jumlah

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

131

4

3.182

5.246

8.428

796


778

1.574

141

24

3.859

34.882

38.681

790

1.192

1.982


143

3

320

1.347

1.667

15

30

45

Statistik Industri Besar dan Sedang Kabupaten Semarang 2012 (BPS)
4


Maulana, A. G. 2014. Industri di Jawa Barat Ramai Direlokasi ke Jawa Tengah. Dikutip dari
http://kabar24.bisnis.com/read/20141008/78/263254/industri-di-jawa-barat-ramai-direlokasi-ke-jawatengah. Diakses pada 21 Januari 2015.

5

Wagiyanto, H. dan Adi S. 2013. Direktori Industri Besar dan Sedang Kabupaten Semarang 2011.
Kabupaten Semarang: BPS.

3

Keterangan KKI 3 Digit:
131 : Industri Pemintalan, Penenunan dan Penyelesaian Akhir Tekstil
141 : Industri Pakaian Jadi dan Perlengkapannya, Bukan Pakaian Jadi dari Kulit Berbulu
143 : Industri Pakaian Jadi Rajutan dan Sulaman / Bordir

Jumlah keseluruhan pekerja yang terserap pada sektor TPT adalah 52.377 jiwa
atau sebanyak 68.15% dari seluruh pekerja sektor industri di Kabupaten Semarang.
Data yang berbeda pada Kabupaten Semarang dalam Angka 2013 menyebutkan
bahwa pada tahun 2012 terdapat sejumlah 156 industri kecil menengah yang
berbentuk usaha pakaian jadi atau konveksi,


36 industri besar berbentuk usaha

garmen dan 8 industri besar produsen tekstil.
Walaupun sudah menyerap banyak tenaga kerja, perusahaan padat karya di sektor
garmen sering melaporkan kekurangan pegawai. Menurut Disnakertrans, faktor yang
paling dominan adalah banyak pencari kerja yang tidak memenuhi klasifikasi yang
dibutuhkan. Dari data yang dihimpun, pada tahun 2013 Disnakertrans mencatat
10.005 orang yang mengajukan kartu kuning atau AK-1. Lowongan kerja yang
tersedia sejumlah 11.325 sementara yang terserap hanya 7.073 orang. Hingga Juli
2014, tercatat 3.604 orang pencari kartu kuning, lowongan kerja yang tersedia
sejumlah 1.833 sementara tenaga kerja produktif yang terserap hanya sekitar 1.550
orang. Pencari kartu kuning yang paling banyak adalah lulusan SMP, SMK, dan
Sarjana. Berdasarkan gender, pencari kerja umumnya adalah perempuan yang akan
mengajukan lamaran ke perusahaan garment6.
Selain sukar mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan pabrik,
permasalahan yang lebih pelik adalah mempertahankan jumlah karyawan. Hubungan
kerja antara karyawan dan perusahaan dapat terhenti karena pensiun, adanya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau karyawan mengundurkan diri dari
perusahaan. Tingkat laju karyawan yang mengundurkan diri dari perusahaan disebut

dengan turnover rate (ratio). Secara umum, cara menghitung rasio turnover adalah
jumlah karyawan keluar dibagi dengan total jumlah karyawan dan disajikan dalam
bentuk presentase. Perhitungan dapat dilakukan bulanan ataupun tahunan sesuai
kebutuhan perusahaan. Turnover rate memiliki makna jika dibandingkan dengan
6

Putranto, P. D. 2014. Perusahaan Garmen di Ungaran Kesulitan Cari Tenaga Kerja. Dikutip dari
http://jateng.tribunnews.com/2014/08/10/perusahaan-garmen-di-ungaran-kesulitan-cari-tenaga-kerja.
Diakses pada 20 Januari 2015.

4

angka lainnya. Sebagai contoh, jika turnover rate di sebuah perusahaan adalah 4,5%,
namun ternyata turnover rate rata-rata industri adalah 2% maka dapat disimpulkan
turnover rate perusahaan tersebut lebih besar dibandingkan rata-rata industri lain.
Tingginya turnover rate dapat mengindikasikan karyawan cenderung untuk berpindah
kerja ke perusahaan kompetitor dibandingkan bertahan di perusahaan tersebut atau
perusahaan kompetitor cenderung lebih menarik. Tunover rate kemudian bisa
menjadi sinyal peringatan bagi perusahaan untuk mengkaji lebih mendalam kebijakan
manajemen sumber daya manusianya7.

Salah satu dampak turnover yang tinggi pada perusahaan adalah munculnya
biaya-biaya berikut:
1.

Biaya Perpisahan
Biaya perpisahan umumnya berupa pesangon sesuai dengan ketentuan masingmasing perusahaan.

2.

Biaya Rekrutmen
Komponen biaya ini mencakup semua biaya yang diperlukan untuk mengganti
karyawan lama yang keluar, termasuk biaya pemasangan iklan (di media cetak,
portal lowongan pekerjaan, jobfair dan sebagainya), biaya seleksi internal jika
melakukan rekrutmen sendiri, maupun biaya jika menyewa pihak ketiga.

3.

Biaya Pengembangan Karyawan
Jika karyawan yang keluar sudah pernah mengikuti pelatihan, seminar dan
sertifikasi yang diselenggarakan atau dibayar oleh perusahaan, maka seluruh

investasi perusahaan tersebut dimasukkan ke biaya pengembangan karyawan.

4.

Biaya Tidak Langsung
Biaya tidak langsung mencakup di antaranya perkiraan pekerjaan yang tidak
terselesaikan dan kemunduran proyek.

II. DISKUSI
Berdasarkan sampel yang diambil Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang,
berikut adalah data rasio turnover pabrik garment di Kabupaten Semarang pada tahun
2014:
7

Anonim. 2012. Menghitung Kerugian Perusahaan Akibat Pengunduran Diri (Turnover). Dikutip dari
http://hrdlokal.blogspot.com/2012/10/menghitung-kerugian-perusahaan-akibat.html?view=timeslide.
Diakses pada 19 Januari 2015.

5

Tabel 2. Rasio Turnover 3 Pabrik Garment Kab. Semarang Tahun 2014
Periode
Januari – Maret
April – Juni
Juli – September
Oktober – Desember

Pabrik
A

B

C

4.95 %
5%
5%
4.98 %

3.96 %
5.05 %
7.69 %
6%

33.47 %
12.55 %
4.79%
19.69 %

Dari data tersebut dapat dilihat rasio turnover karyawan Pabrik C pada seluruh
periode cukup tinggi. Data ini tidak bisa menggambarkan keseluruhan turnover
pekerja pabrik garmen Kabupaten Semarang, karena jumlah sampel yang terlalu kecil
akibat sulitnya meminta data ke pabrik garment. Tingkat rasio turnover sebaiknya
dibedakan antara pengunduran diri karyawan yang potensial dengan pemutusan
hubungan kerja oleh perusahaan terhadap karyawan bermasalah. Jika tingkat rasion
turnover karyawan yang potensial cukup tinggi, maka perlu dipertanyakan sistem
manajerial di perusahaan dan penghargaan perusahaan terhadap karyawan.
Berdasarkan wawancara dengan narasumber yaitu Kepala Seksi Pendidikan Non
Formal dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang diperoleh
gambaran umum mengenai pekerja garment:
1. Persyaratan administratif melamar pekerjaan di perusahaan garment ideal adalah
berusia ≥ 18 tahun, memiliki ijazah SMA/SMK atau setara (Paket C) dan
memiliki keterampilan menjahit. Karena besarnya permintaan akan produk
garment yang mengakibatkan kebutuhan karyawan yang besar pula sedangkan
jumlah pelamar sedikit, seringkali standard penerimaan karyawan tidak
diperhatikan. Tidak semua karyawan yang dipekerjakan merupakan lulusan SMK
maupun memiliki sertifikat uji kompetensi level 1 (asisten pembuat pakaian).
Lulusan SMK jurusan tata busana biasanya diletakkan di bagian pola. Besar gaji
karyawan dengan sertifikat uji kompetensi dan yang tidak memiliki sertifikat
adalah sama, sehingga tidak menimbulkan semangat belajar.
2.

Prospek karir dari karyawan garment untuk yang memiliki sertifikat dan ijazah
yang memenuhi dan kompeten dapat menjadi supervisor line.

3.

Pada posisi tertentu tidak harus punya kompetensi (helper, trimming) tidak harus
memiliki standar kompetensi sebagai operator mesin.

6

4.

Pekerja garment mendapatkan upah yang relatif rendah. Berdasarkan data pada
Statistik Industri Besar dan Sedang Kabupaten Semarang 2012, gaji total rata-rata
tenaga kerja produksi garment per bulan adalah Rp 1.400.000,00 dimana Rp
1.200.000,00 merupakan upah dan Rp 200.000,00 merupakan insentif lain.
Walaupun gaji tersebut lebih besar dari UMK Semarang 2012 (Rp 941.600,00),
pada tahun 2014 sekitar Rp 1.500.000,00 – Rp 2.000.000,00 belum termasuk
uang lembur.

5.

Jam istirahat yang relatif singkat dihadapkan dengan fasilitas peribadatan yang
kurang memadai pada beberapa pabrik garment. Antri solat dan makan. Dapat
disiasati dengan selisih jam istirahat masing-masing line.

6.

Sering terjadi kerja lembur mendadak (tanpa pemberitahuan sebelumnya) yang
bersifat mengikat. Hal ini berkaitan dengan working order yang harus dipenuhi.
Produk yang tidak lolos QC (reject) harus diulangi pembuatannya. Semakin
tinggi kompetensi karyawan, maka kuota produksi akan cepat terpenuhi.

7.

Komunikasi dalam line selama proses menyelesaikan pekerjaan kurang nyaman.
Banyak pegawai pabrik yang mengundurkan diri karena proses supervisi
dianggap terlalu keras.

8.

Pemadaman listrik tidak terstruktur dapat mempengaruhi pemenuhan order.

9.

Kurangnya ruang laktasi.
Tidak hanya berdampak bagi finansial perusahaan, tingginya turnover dapat

mempengaruhi suasana kerja karyawan yang tinggal. Untuk dapat mengatasi tingkat
turnover yang tinggi ini perlu diketahui kenapa karyawan tidak ingin terus bekerja di
perusahaan. Berdasarkan riset intensif Gallup8, dapat dijelaskan beberapa sebab
karyawan mengundurkan diri dari perusahaan. 6 alasan karyawan memutuskan
hubungan kerja diurutkan dari yang paling umum terjadi adalah:
1.

Karyawan merasa perusahaan tidak mampu memberikan kesempatan untuk
pengembangan karir (promosi).

2.

Gaji dan tunjangan yang diterima dirasakan tidak sepadan dengan pekerjaan yang
dilakukan.

3.

Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai/cocok secara pribadi. Baik itu secara latar
belakang pendidikan, atau tidak sejalan dengan passion karyawan.

8

Robison, J. 2008. Turning Around Employee Turnover. Dikutip dari

http://www.gallup.com/

businessjournal/106912/turning-around-your-turnover-problem.aspx Diakses pada 19 Januari 2015.

7

4.

Manajemen (atasan) serta kondisi lingkungan secara umum tidak membuat
nyaman dalam bekerja. Politik kantor, atasan dengan kepemimpinan yang tidak
efektif, komunikasi antar bagian yang bermasalah, sangat mungkin untuk
mendorong karyawan mengundurkan diri.

5.

Jadwal / waktu kerja yang tidak fleksibel. Umum terjadi terutama bagi karyawati
yang kemudian memilih berkonsentrasi terhadap keluarga karena perusahaan
tidak memberikan fleksibilitas dalam jadwal kerja.

6.

Kelangsungan pekerjaan (job security). Karyawan melihat perusahan terancam
bangkrut, atau sebab lain yang dipersepsikan karyawan bahwa kelangsungan
pekerjaannya terancam.

Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis dapat memberikan solusi di antaranya:
1.

Pemberdayaan Karyawan
Karyawan merupakan aset terpenting bagi perusahaan. Karyawan yang kompeten
dan berada dalam lingkungan kerja yang kondusif akan bekerja secara efisien.
Tidak dapat dipungkiri bahwa gaji merupakan salah satu alasan pengunduran diri
seorang karyawan. Kebanyakan karyawan merasa kemampuan dan kerja keras
kurang dihargai

sehingga mencari perusahaan lain

yang menawarkan

penghargaan lebih. Pada industri garmen, sebaiknya diterapkan perbedaan gaji
untuk karyawan yang sudah lulus uji kompetensi maupun karyawan yang
kinerjanya bagus dengan standard yang diterapkan HRD perusahaan. Jika opsi
menaikkan upah tidak dapat dilakukan, maka alternatif lain adalah pemberian
bonus bagi karyawan yang bersikap profesional pada hal-hal sederhana seperti
tidak pernah datang terlambat selama kurun waktu tertentu, sudah bekerja selama
kurun waktu tertentu dan sebagainya. Perusahaan yang memberikan perhatian
lebih bagi para pekerjanya tentu akan membuat karyawan betah bekerja. Kenali
bakat dan kinerja karyawan, budayakan supervisor memberi pujian dan feedback
positif setiap kali karyawan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.
2.

Pembuatan Database Ijazah Karyawan
Sistem penahanan ijazah karyawan sampai dengan masa kontrak berakhir
sebenarnya kini dirasa tidak efektif lagi karena selalu dapat diakali dengan
mudahnya mengurus proses pengajuan surat keterangan kehilangan ijazah. Pabrik
garment disarankan membentuk database yang terus diperbaharui sesuai dengan
keluar masuknya karyawan dan harus dapat diakses oleh kantor polisi dan dinas

8

pendidikan terkait. Database ini berisi nama, pabrik tempat bekerja, lama kontrak
kerja dan keterangan mengenai ijazah yang ditahan. Upaya pembentukan
database ini diharapkan dapat menahan laju perpindahan karyawan garment
karena individu yang namanya tercantum dalam database tersebut tidak
diperkenankan mengajukan surat keterangan kehilangan ijazah sampai dengan
masa kontraknya berakhir.
3.

Penetapan Rasio Karyawan Pabrik
Penyerapan penduduk lokal sebagai tenaga kerja merupakan salah satu bentuk
CSR perusahaan. Kendati demikian, karyawan pabrik yang merupakan penduduk
lokal cenderung lebih mudah memutuskan kontrak dibandingkan karyawan yang
merupakan pendatang (bukan penduduk tetap). Karyawan yang merupakan
penduduk lokal cenderung memiliki lebih banyak informasi mengenai pabrik
garmen kompetitor karena memiliki lebih banyak kolega di daerah tersebut
dibandingkan karyawan pendatang. Karyawan yang merupakan penduduk lokal
juga cenderung lebih siap menghadapi waktu tunggu sejak pemutusan hubungan
kerja sampai dengan diterima di pabrik lain karena memiliki dukungan finansial
dari anggota keluarga dan tempat tinggal yang tetap. Karyawan pendatang
cenderung minim kolega dan tidak memiliki penyokong finansial selama
menganggur sehingga akan lebih hati-hati dalam memutuskan hubungan kerja.
Berdasarkan fakta tersebut, sebaiknya perusahaan menetapkan rasio penerimaan
karyawan lokal dan pendatang untuk mengendalikan tingkat turnover pegawai.

4.

Kerjasama dengan Lembaga dan Dinas setempat.
Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) dan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di
tiap kabupaten atau kota merupakan lembaga yang memberikan kursus atau
Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) di bawah naungan instansi pemerintahan.
Perusahaan garment dapat bekerja sama dengan lembaga tersebut agar dapat
memperoleh karyawan yang memiliki kompetensi terstandard. Karyawan dengan
kompetensi yang unggul dan berkomitmen akan membuat proses produksi lancar
sehingga supervisi yang ‘agresif’ tidak lagi diperlukan dan terjalin hubungan baik
antar pekerja.

9

III. PENUTUP
Berdasarkan tinjauan terhadap kondisi turnover karyawan pabrik garment Kab
Semarang, diharapkan kabupaten dan kota lain di Jawa Tengah dapat mempersiapkan
diri dalam menyambut investasi khususnya dalam hal industri garment. Pabrik-pabrik
garment yang sudah ada sebaiknya membina hubungan baik dengan pegawai dan
menjalin relasi yang luas dengan lembaga kursus dan lembaga pemerintahan setempat
sehingga dapat mengantisipasi persaingan dalam mendapatkan karyawan.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Bekerjasama untuk Memperbaiki Kesehatan Para Pekerja beserta
Keluarganya dan Komunitas di Indonesia (Kemitraan PT Dewhirst, Yayasan
Kusuma Buana, Marks & Spencer dan Medika Pratama). Jakarta: Public Health
Institute.
Anonim. 2012. Menghitung Kerugian Perusahaan Akibat Pengunduran Diri
(Turnover). Dikutip dari http://hrdlokal.blogspot.com/2012/10/menghitungkerugian-perusahaan-akibat.html?view=timeslide. Diakses pada 19 Januari
2015.
Hermawan, I. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap
Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan.
Maulana, A. G. 2014. Industri di Jawa Barat Ramai Direlokasi ke Jawa Tengah.
Dikutip dari http://kabar24.bisnis.com/read/20141008/78/263254/industri-dijawa-barat-ramai-direlokasi-ke-jawa-tengah. Diakses pada 21 Januari 2015.
Palupi, D. A. P. 2011. Memprediksi Turnover pada Karyawan Perusahaan Garmen
(Pengaruh

Praktek

Pengembangan

SDM

dan

Kepercayaan

Terhadap

Organisasi). Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan. Vol 2 Nomor 2.
Putranto, P. D. 2014. Perusahaan Garmen di Ungaran Kesulitan Cari Tenaga Kerja.
Dikutip dari http://jateng.tribunnews.com/2014/08/10/perusahaan-garmen-diungaran-kesulitan-cari-tenaga-kerja. Diakses pada 20 Januari 2015.
PRB. 2013. World Population Data Sheet 2013. Washington DC: Population
Reference Bureau.

10

Robison,

J.

2008.

Turning

Around

Employee

Turnover.

Dikutip

dari

http://www.gallup.com/businessjournal/106912/turning-around-your-turnoverproblem.aspx Diakses pada 19 Januari 2015.
Rosmaningrum, R. R. 2014. Pengaruh Keadilan Prosedural dan Kepuasan Karyawan
Terhadap Intensi Turnover (Pada PT. Grasia Timor Abadi Semarang). Skripsi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Tjandraningsih, I., Herawati, R. dan Suhadmadi. 2010. Diskriminatif & Eksploitatif
(Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di
Indonesia). Bandung: Akatiga.
Tjandraningsih, I. dan Herawati, R. 2010. Upah Layak Untuk Sektor Tekstil dan
Garmen di Indonesia. Bandung: Akatiga.
Wagiyanto, H. dan Adi S. 2014. Statistik Industri Besar dan Sedang Kabupaten
Semarang 2012. Kabupaten Semarang: BPS.
Wagiyanto, H. dan Adi S. 2013. Direktori Industri Besar dan Sedang Kabupaten
Semarang 2011. Kabupaten Semarang: BPS.