Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implis

1

Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada
Penyandang Disabilitas Fisik

Diah Deir Zahrani
[email protected]
Cleoputri Al Yusainy
Ika Herani
Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui pengaruh dari kesegeraan
pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas
fisik, dan untuk 2) menggambarkan pola korelasi antara stigma ekplisit dan stigma implisit.
Desain penelitian menggunakan between-subject experimental design dalam setting
laboratorium, dengan partisipan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya sebanyak 46 orang. Instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma implisit
adalah Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) dan instrumen yang digunakan
dalam pengukuran stigma eksplisit adalah Social Distance Scale (SDS) dan Feelimg
Thermometer (FT). Partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, dimana satu kelompok
menerima feedback segera, dan kelompok lain menerima feedback tertunda. Hasil penelitian

menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap
stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara stigma eksplisit dan
stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik. Meskipun demikian, hasil analisis
tambahan menunjukkan adanya pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma
implisit kepada penyandang disabilitas fisik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang
berfokus pada sigma implisit dan strategi intervensinya pada sampel masyarakat Indonesia
Kata Kunci: stigma implisit; Single Category Implicit Association Test (SC-IAT); stigma
eksplisit; feedback bias implisit
ABSTRACT

The aims of this study were to 1) investigate the role of implicit bias feedback’s timing
on explicit stigma and to 2) portray the correlation between explicit and implicit stigma
toward physically disabled people. Between-subject experimental design was used in
laboratory setting with 46 undergraduate students of Faculty of Social and Political Science
of Brawijaya University as participants. Implicit stigma was measured by Single Category
Implicit Association Test (SC-IAT) and explicit stigma was measured by Social Distance
Scale (SDS) and Feeling Thermometer (FT). Participants were divided into two groups,
where feedback was immediately given and where feedback was delayed after explicit
measurements. This research found no effect of implicit bias feedback’s timing on explicit
stigma and no significant correlation between explicit and implicit stigma. However,

additional analysis showed that there was a significant effect of sequence of compatibility on
implicit stigma toward physically disabled people. Further studies that focus on implicit
stigma and its intervention strategy in Indonesia are warranted
Keywords: implicit stigma; Single Category Implicit Association Test (SC-IAT); explicit
stigma; feedback

2

Pada

tahun

2011,

World

Health

melalui


kombinasi

dari

stereotipe,

Organization dan World Bank menyatakan

prasangka, dan diskriminasi (Ali, Hassiotis,

bahwa kurang lebih 1 miliar orang atau 15%

Strydom, & King, 2012).

populasi dunia memiliki disabilitas. Tahun
2012,

Survei

Nasional


fokus dalam mengukur stigma eksplisit,

penduduk

yaitu stigma yang secara sadar dilakukan

Indonesia yang menyandang disabilitas

dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior,

sebesar 2,45% (Kementrian Kesehatan RI,

2014) seperti perilaku menghindar secara

2014). World Health Organization (2015)

terang-terangan,

memrediksi bahwa prevalensi disabilitas


ketidaksukaan secara langsung. Pengukuran

akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

secara eksplisit terkait hal-hal sensitif

Melihat fakta ini, sudah seharusnya isu

seperti

tentang

bagi

disabilitas sangat dipengaruhi oleh social

penyandang disabilitas menjadi prioritas

desirability, dimana individu termotivasi


para pemerintah negara.

untuk memunculkan respon yang dipercaya

mendapatkan

Kesehatan

Sejauh ini penelitian lebih banyak

data

bahwa

pemenuhan

Pengadaan

hak-hak


sekolah

inklusi

dan

kesempatan kerja yang sama adalah contohcontoh upaya untuk mencapai persamaan

stigma

atau

mengatakan

terhadap

penyandang

dapat diterima secara sosial (Antonak &

Livneh, dalam Wilson &Scior, 2014).
Selain

stigma

eksplisit,

perilaku

bagi penyandang disabilitas. Namun usaha

individu sebagian diprediksi oleh stigma

mencapai persamaan bagi semua manusia

implisit (Greenwald, Poehlman, Uhlmann,

diluar perkara keterbatasan yang dimiliki,

& Banaji, dalam Wilson & Scior, 2014).


tidak akan tercapai secara maksimal selama

Stigma implisit memiliki dampak pada

masyarakat umum masih membatasi dirinya

perilaku yang tidak dapat dikendalikan

dengan peyandang disabilitas (Wilson &

secara sadar namun tetap penting bagi

Scior, 2014). Secara sederhana, sikap

pengalaman penyandang disabilitas sehari-

membatasi diri itu disebut dengan istilah

harinya, seperti kontak mata dan bahasa


stigma.

proses

tubuh. Maka, penting untuk membahas

dimana suatu kelompok khusus, dalam hal

lebih jauh tentang stigma implisit agar dapat

ini

disabilitas,

mengetahui lebih baik tentang mekanisme

dimarginalkan dan dikurangi nilainya oleh

yang dapat mengantisipasi stigma implisit


lingkungan

(Wilson &Scior, 2014).

Stigma

adalah

adalah

sebuah

penyandang

sosial,

karena

nilai

dan

karakteristik mereka yang berbeda dari
kelompok yang dominan. Stigma terbentuk

Terdapat

berbagai

variasi

metode

pengukuran stigma di level implisit, salah

3

satunya adalah Implicit Association Test

stigma eksplisit, menggunakan metode yang

(IAT). Cara kerja alat ini berlandaskan pada

mereplikasi penelitian Menatti, Smyth,

asumsi

partisipan

akan

Yeachman, & Nosek (2013) dan Yusainy,

stimulus

yang

Thohari, & Gustomy (2015). Pada kedua

ditampilkan ketika pasangan kategori target

penelitian sebelumnya, hasil menunjukan

dan kategori atribut sesuai dengan asosiasi

hal yang bertolak belakang dengan teori

otomatis partisipan (Wang, Huang, Jackson,

yang

& Chen, 2012).Penelitian ini menggunakan

pengaruh kesegeraan feedback bias implisit

salah satu bentuk adaptasi dari IAT yaitu

terhadap stigma eksplisit. Inkonsistensi

Single Category – Implicit Association Test

pada

(SC-IAT; Karpinski & Steinman, 2006).

mendorong

SC-IAT

penelitian yang berfokus pada pengaruh

bahwa

menglasifikasikan

terkait

terintegrasi
pandangan

dengan

informasi

partisipan

terhadap

diasumsikan

hasil

kesegeraan

menjadi

penelitian
peneliti

mekanisme

sebelumnya,

untuk

pemberian

melakukan

feedback

bias

penyandang disabilitas didasarkan pada

implisit terhadap stigma eksplisit partisipan

performanya selama pengukuran. Informasi

kepada penyandang disabilitas.

ini disebut dengan istilah feedback bias
implisit.

METODE

Diharapkan
mengetahui

ketika

bagaimana

seseorang
sebenarnya

Desain Penelitian

ia

memandang penyandang disabilitas dan

Kondisi 1

Stigma
implisit

Feedback

Stigma
eksplisit

Kondisi 2

Stigma
implisit

Stigma
eksplisit

Feedback

menyadari mereka telah merespon terhadap
situasi dengan cara yang stigmatik, yang
kontras dengan keinginan mereka untuk
memerlakukan semua orang dengan cara

Gambar 1. Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan
Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit
kepada Penyandang Disabilitas Fisik

yang sama, isyarat untuk mengendalikan
(cues for control) akan muncul, untuk

Penelitian ini merupakan bagian dari

kemudian mengarahkan individu agar lebih

grand design penelitian yang berjudul

berhati-hati

Reduksi

dalam

memberikan

respon

Stigma

kepada

Penyandang

diskriminatif di masa yang akan datang

Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit,

(Shaffer, 2011).

oleh Cleoputri Yusainy Ph.D dan Ika Herani
untuk

S.Psi, M.Si yang mereplikasi penelitian

mengetahui stigma publik dengan menguji

Menatti, Smyth, Yeachman, & Nosek

kembali pengaruh kesegeraan peberian

(2013).

Penelitian

ini

berusaha

feedback bias implisit terhadap reduksi

4

Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif

eksperimen

laboratorium

dengan

dalam

setting

between

subjects

1. Single Category Implicit Association
Test (SC-IAT)

Stigma

implisit

beserta

dimensi-

experimental design. Partisipan dibagi ke

dimensinya diukur dengan menggunakan

dalam dua kondisi, yaitu 1) kelompok yang

Single Category Implicit Association Test

terlebih

pengukuran

(SC-IAT). Instrumen SC-IAT terdiri atas

stigma implisit, diikuti pemberian feedback

dua level; incompatible dan compatible

atas bias implisit dan pengukuran stigma

(Cronbach alpha 0,92).

dahulu

menerima

implisit, dan 2) Kelompok yang terlebih
dahulu

menerima

pengukuran

stigma

implisit, diikuti pengukuran stigma eksplisit
dan pemberian feedback bias implisit.

Tabel 1
Struktur Single Category Implicit
Association Test (SC-IAT)
Level

a. Partisipan Penelitian
Incompatible

Partisipan
mahasiswa

yang

Program

digunakan
Studi

adalah

dan

Brawijaya
analisis

Ilmu

Politik

Malang.
statistical

menggunakan

Compatible

Universitas

Berdasarkan
power

G*Power

Kategori
(kiri atas)

Rasio
Stimulus

Disabilitas
+ Atribut
positif

Disabilitas
+ Atribut
Negatif

Atribut
Positif

Disabilitas
: Atribut
Negatif:
Atribut
Positif =
1:2:1
Disabilitas
: Atribut
Negatif:
Atribut
Positif =
1:1:2

Psikologi

semester 1 angkatan 2015 Fakultas Ilmu
Sosial

Kategori
(kanan
atas)
Atribut
negatif

hasil
dengan

versi

3.1

menunjukkan bahwa dengan effect size

*Urutan level incompatible dan compatible disajikan
secara random kepada partisipan
** Data practice trials tidak diolah untuk
penghitungan D-score
.

kategori large (d=0.40), Alpha level sebesar
0.05, dan power sebesar 0.80, dibutuhkan
total sampel N ≥ 66 untuk 3 kondisi

Secara total, terdapat tiga kategori
stimulus

yang

harus

direspon

oleh

partisipan, yaitu 1) empat simbol yang

perlakuan. Sehingga, 1 kondisi perlakuan

merepresentasikan

membutuhkan

disabilitas, 2) dua belas atribut positif, 3)

mengantisipasi

22

partisipan.

Untuk

kemungkinan

data

target

penyandang

dua belas atribut negatif.

exclusion, penelitian ini menggunakan total

sampel), atau n=24 untuk tiap kondisi.

Tabel 2
Stimulus atribut dalam Single Category
Implicit Association Test (SC-IAT)

Instrumen Penelitian

Elemen

sampel N=73 (ditambah 10% dari total

SC-IAT

Atribut
Positif
Terpuji,

Negatif
Berbahaya,

5

kompeten,
abnormal, rapuh,
harga
diri, menyedihkan
kuat
Bosan,
takut,
SC-IAT Gembira,
santai, riang, gugup, jijik
Afektif
ceria
Ditolak, kabur,
SC-IAT Pendekatan,
Perilaku menghormati, menghina,
peduli,
menghindar
mengajak
Penyajian
stimulus
pada
level

compatible, terdiri dari 24 stimulus latihan

incompatible - compatible selalu diawali

pada level compatible dikurangi rerata

dengan instruksi mengenai dimensi stimulus

latensi respon pada level incompatible

dan

level

dibagi dengan standar deviasi seluruh

compatible, target Penyandang Disabilitas +

latensi respon pada kedua level ini. Makin

Atribut negatif tampil pada sisi kiri atas,

negatif D-score, makin kuat asosiasi antara

Atribut positif pada sisi kanan atas, dan

Penyandang Disabilitas dengan Atribut

stimulus yang harus direspon tampil pada

negatif. Makin positif D-score, makin kuat

sisi tengah layar monitor. Partisipan harus

asosiasi

secepatnya

dengan Atribut positif.

Kognitif

respon

yang

tepat.

menekan

huruf

Pada

“P”

pada

keyboard jika muncul stimulus dari kategori

di awal dan dilanjutkan dengan 72 stimulus
yang sesungguhnya.
yang

Feedback

diberikan

kepada

partisipan disajikan dalam bentuk D-score,
yang merupakan kekuatan asosiasi antar
kategori yang diukur. Secara lebih spesifik,
D-score adalah selisih rerata latensi respon

antara

Penyandang

Disabilitas

2. Social Distance Scale (SDS)

‘‘Penyandang Disabilitas” atau ‘‘Atribut

Stigma eksplisit pada dimensi perilaku

negatif’’, dan huruf “Q” jika muncul

diukur dengan menggunakan modifikasi

stimulus dari kategori “Atribut positif”.

kuisioner self-repported dari Wang dkk

Sebaliknya

incompatible,

(2012) yaitu Social Distance Scale (SDS;

partisipan harus menekan huruf “P” jika

alpha Cronbach 0,83). SDS adalah sebuah

muncul stimulus dari kategori “Atribut

ilustrasi

negatif”, dan huruf “Q” jika muncul

disabilitas bernama Dian, lalu menjawab

stimulus

“Penyandang

lima pertanyaan mengenai sejauh mana

Disabilitas” atau ‘‘Atribut positif.’’ Apabila

kesedian mereka untuk 1) menjadi tetangga

partisipan salah merespon, muncul tanda X

Dian, 2) menghabiskan waktu bersosialisasi

warna merah di sisi bawah stimulus (150

dengan Dian, 3) berteman dengan Dian, 4)

ms). Partisipan harus merevisi respon

bekerja

dengan cara menekan huruf yang benar.

mengizinkan

Respon yang benar akan diikuti oleh tanda

keluarga

O warna hijau pada sisi bawah stimulus

dengan skala 1= sangat enggan sampai 4=

(150 ms). Setiap level incompatible –

sangat bersedia.

pada

dari

level

kategori

cerita

dekat

tentang

dengan
Dian

partisipan.

penyandang

Dian,

menikahi
Kesediaan

dan

5)

anggota
diukur

6

intensif

3. Feeling Thermometer (FT)
Stigma eksplisit pada dimensi afektif

dengan

penyandang disabilitas

(86,90% partisipan melaporkan skor rerata

diukur menggunakan skala adaptasi dari

kurang dari mid-point 3).

Wang

Tabel 3.
Data Demografis Partisipan

dkk

(2012)

yaitu

Feeling

Thermometer (FT). FT adalah skala analog

visual

dalam

bentuk

termometer

dari

rentang 0 (sangat negatif) sampai 100
(sangat positif).
Analisis Data
Pengaruh

kesegeraan

pemberian

Data
Usia (tahun;
M,SD)
Jenis Kelamin
(perempuan;
n,%)
Pengalaman
Disabilitas
Temporer %

Kondisi 1
(n=24)
18,33
(0,81)
19
(79,20%)

Kondisi 2
(n=22)
18,18
(0,73)
15
(68,20%)

0

1 (4,50%)

1
(2,20%)

24 (100%)

21
(95,50%)

45
(97,80
%)

feedback bias implisit terhadap stigma

eksplisit
independent

dianalisis

dengan

t-test

dengan

sample

membandingkan rerata hasil skor SDS dan
FT yang dilaporkan partisipan (Hipotesis 1).
Korelasi antara stigma implisit (D-score)
dengan stigma eksplisit subyek terhadap

tidak pernah;
n,%

Total
(N=46)
18,26
(0.77)
34
(73,90
%)

Rengalaman
dengan
1,38
2,05
1,70
penyandang
disabilitas (M)
Ket. kondisi 1: kelompok yang menerima perlakuan
feedback segera (stigma implisit- feedback bias
implisit-stigma eksplisit); kondisi 2: kelompok yang
menerima perlakuan feedback tertunda (stigma
implisit-stigma eksplisit-feedback bias implisit).

penyandang disabilitas (skor total SDS dan
FT) dianalisis dengan product moment

Analisis Pendahuluan

pearson dengan mengorelasikan skor FT,

Pada stigma di level eksplisit, peneliti

SDS, SC-IAT D-Score kombinasi, SC-IAT

mengukur sejauh mana kesediaan partisipan

D-Score kognitif, SC-IAT D-Score afektif,

untuk

dan SC-IAT D-Score perilaku (Hipotesis 2).

disabilitas fisik (nilai rerata Social Distance

berinteraksi

dengan

penyandang

Scale, SDS lebih dari mid-point 2,50 pada

HASIL

keseluruhan

Gambaran Umum Partisipan

partisipan

dengan

Alpha

Cronbach 0,83) dan seberapa hangat atau

Total partisipan yang terdaftar adalh 47

dingin

perasaan

partisipan

terhadap

partisipan namun 1 partisipan tidak dapat

penyandang disabilitas fisik (nilai rerata

menghadiri

sehingga

Feeling Thermometer, FT lebih dari mid-

didapatkan partisipan dalam penelitian ini

point 50, seluruh partisipan pada kedua

46

kondisi melaporkan skor yang lebih dari

orang

eksperimen

dengan

persebaran

data

demografis partisipan dijelaskan pada Tabel
3.Sebagian besar partisipan melaporkan
tidak memiliki pengalaman interaksi yang

mid-point).

7

Tabel 4
Properti Psikometri Stigma Eksplisit dan
Stigma Implisit (N=46)
Skala Stigma
Mean ,SD
SDS (mid-point
2.50; rentang 1-4)

3,22
0,46

FT (mid-point 50;
rentang 0-100)

78,59
13,74

SC-IAT
Kombinasi:
SC-IAT Kognitif

-0,18a

SC-IAT Afektif

-0,19a

SC-IAT Perilaku

0,16b

FT
SC-IAT
D-score
kombinasi

0,463
77,710
13,585

0,479
79,550
14,161

-0,140

-0,214

0,656
0,354

Ket. SDS = Social Distance Scale; FT = Feeling
Thermometer ; SC-IAT = Single-Category Implicit
Association Test; Kondisi 1 = Feedback atas bias
implisit segera diberikan, Kondisi 2 = Feedback
atas bias implisit ditunda pemberiannya. Semakin
rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT d-score
kombinasi maka semakin tinggi stigma kepada
penyandang disabilitas fisik

-0,21a

Uji Hipotesis 2
Berdasarkan data yang dijabarkan pada

Ket. SDS= Social Distance Scale;FT= Feeling
Thermometer ; SC-IAT= Single Category Implicit
Association Test; d-score= kekuatan asosiasi antar
kategori yang diukur. a= asosiasi lemah dengan
atribut negatif; b = asosiasi lemah dengan atribut
positif; semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT,
maka semakin tinggi stigma kepada penyandang
disabilitas fisik.

Tabel 6, tidak ditemukan adanya korelasi
antara stigma eksplisit dengan stigma
implisit partisipan terhadap penyandang
disabilitas fisik (ps ≥ 0,151; Hipotesis 2).
Korelasi yang signifikan muncul antar
kuisioner stigma eksplisit (SDS dan FT) dan

Uji Hipotesis 1

antar elemen dalam stigma implisit.

Hasil uji pengaruh urutan perlakuan
terhadap stigma eksplisit menggunakan
independent sample t-test menunjukkan

perbedaan rerata antar kondisi tidaklah
signifikan (ps ≥ 0,354; Hipotesis 1). Hasil

Tabel 6
Korelasi antara Stigma Eksplisit dan Stigma
Implisit (N = 46)
No

Variabel

1

SDS - FT
D-Score
Kombinasi - FT
D-Score
Kombinasi SDS
DScoreKognitif FT
D-Score
Kognitif - SDS
D-Score
kognitif - DScoreKombinasi
D-ScoreAfektif
- FT
D-ScoreAfektif
- SDS

2

ini berlawanan dengan prediksi peneliti
bahwa partisipan pada kondisi 1 akan

3

melaporkan stigma eksplisit yang lebih
rendah

dibandingkan

partisipan

pada

kondisi 2.
Tabel 5
Properti psikometri stigma eksplisit dan
implisit berdasarkan kondisi eksperimen
Kondisi 1 Kondisi 2
p(n = 24;
(n = 22;
value
M, SD)
M, SD)
SDS
3,233
3,209
0,861

4
5
6
7
8

Koefisien
Korelasi
0,615**

p-value

0,001

0,009#

0,954

0,022#

0,886

0,215

0,151

0,050

0,741

0,476**

0,001

0,083

0,585

0,058

0,704

8

9

10
11
12

13

14

15

compatible

D-ScoreAfektif
- DScoreKombinasi
D-Score Afektif
- D-Score
Kognitif
D-Score
Perilaku- FT
D-Score
Perilaku - SDS
D-Score
Perilaku - DScore
Kombinasi
D-Score
Perilaku - DScore Kognitif
D-Score
Perilaku - DScore afektif

0,614**

0,001

0,237

0,113

-0,031

0,840

0,040

0,793

-0,678**

0,001

-0,198

0,188

-0,302*

0,041

Ket. SDS = Social Distance Scale, FT =Feeling
Thermometer , SC-IAT = Single Category Implicit
Association Test; (…) = p-value; #= korelasi antara
stigma eksplisit dengan stigma implisit
*p < .05 ** p < .01

Pada stigma eksplisit, semakin tinggi

diikuti

stigma

implisit

compatible (kelompok 2).

Tabel 7
Pengaruh Sequence of Compatibility terhadap
Stigma Implisit

SC-IAT
D-score
kombinasi

Kelompok
1
(n = 26; M,
SD)

Kelompok
2
(n = 20; M,
SD)

-0,249

-0,080

pvalue

0,033*

Ket. SC-IAT = Single-Category Implicit Association
Test;
Kelompok 1 = Level incompatible diberikan terlebih
dahulu diikuti level compatible, Kelompok 2 = Level
compatible diberikan terlebih dahulu diikuti level
incompatible. Semakin rendah skor SDS, FT, dan
SC-IAT maka semakin tinggi stigma kepada
penyandang disabilitas fisik.
* p< 0,05

DISKUSI
Pembahasan Utama
Penelitian

skor SDS yang didapat partisipan semakin

ini

bertujuan

tinggi pula skor yang dilaporkan pada

mengetahui

kuisioner FT. Pada stigma implisit, semakin

feedback bias implisit dalam mereduksi

rendah D-Score kombinasiSC-IAT, maka

stigma eksplisit serta memetakan pola

evaluasi

korelasi antara stigma eksplisit dan stigma

partisipan

kognitif

dan

reaksi

akan

semakin

afektif

negatif,

dan

semakin rendah D-score kombinasi SC-IAT

efektivitas

untuk

pemberian

implisit terhadap penyandang disabilitas
fisik.
Dari

maka kecenderungan perilaku partisipan

hasil

preliminary

analysis

akan semakin positif.

berdasarkan pengukuran melalui SDS dan

Analisis Tambahan

FT

menunjukan

bahwa

pandangan

Variabel yang dianalisis adalah variabel

partisipan terhadap penyandang disabilitas

sequence of compatibility, dimana terdapat

fisik tergolong positif (Tabel 4), dengan

dua kondisi yaitu kelompok yang menerima

kata lain stigma yang rendah di level

pengukuran stigma implisit incompatible

eksplisit. Hasil ini sejalan dengan berbagai

diikuti

penelitian terkait stigma yang dilakukan

stigma

(kelompok
menerima

1),

implisit
dan

pengukuran

compatible

kelompok
stigma

yang

pada level eksplisit (Boyle, Williams,

implisit

Brown, Molloy, McKenna, Molloy, &

9

Lewis, 2010; Hsu, Huang, Liu, Ososkie,

implisit segera dengan partisipan yang

Fried, & Bezyak, 2015; Wang, Huang,

menerima feedback bias implisit tertunda.

Jackson, &Chen, 2012). Pandangan yang

Menatti

positif di level eksplisit lebih dikarenakan

ketidakefektifan pemberian feedback bisa

pengungkapan

terbuka

dikarenakan stigma implisit yang dimiliki

yang tabu di

partisipan dalam penelitian ini cenderung

masyarakat modern (Alterado, 2013),

rendah, sedangkan feedback bias implisit

sehingga pada taraf introspektif partisipan

akan menjadi sangat efektif bagi individu

cenderung

dengan stigma implisit yang tinggi.

stigma

merupakan suatu

secara

hal

melaporkan

respon

yang

menurutnya sesuai dengan standar sosial.
Adanya pengaruh social desirability
dalam

pengukuran

stigma

eksplisit

menjelaskan

bahwa

Penelitian ini menemukan bahwa tidak
ada korelasi antara stigma eksplisit dan
stigma implisit (Hipotesis 2). Hasil ini

didukung dengan fakta bahwa ketika

sejalan

dilakukan pengukuran di level implisit,

sebelumnya tentang korelasi eksplisit-

partisipan menunjukan pandangan yang

implisit (Nosek, Hawkins, & Frazier,

negatif terhadap penyandang disabilitas

2011; Chen, Ma, & Zhan dkk, 2012;

fisik. Partisipan dalam kedua kondisi lebih

Wang, Huang, Jackson, & Chen, 2012)

cepat mengasosiasikan disabilitas dengan

Salah satu teori yang menjelaskan tidak

atribut

negatif

dibandingkan

ada korelasi

atribut

positif

(Tabel

mengindikasikan

beberapa

antara

penelitian

eksplisit

dengan

ini

implisit adalah dual-process orientation

pengukuran

yang menyatakan bahwa perbedaan antara

4).

bahwa

dengan

dengan

Hal

stigma di level eksplisit tidak bisa

implisit

menggambarkan

perbedaan proses yang mendasarinya;

stigma

secara

ekplisit

merefleksikan

otomatis-dikendalikan, spontan-disengaja,

keseluruhan.
Penelitian

dan

ini

tidak

menemukan

tidak

sadar-sadar,

impulsive-refleksif

pengaruh yang signifikan dari kesegeraan

(Nosek, Hawkins, & Frazier, 2011).

feedback bias implisit, terhadap reduksi

Stigma eksplisit diindikasikan terjadi atas

stigma

kepada

respon sadar yang membutuhkan banyak

penyandang disabilitas fisik (Hipotesis 1).

kapasitas kognitif dalam prosesnya dan

Hal ini sejalan dengan penelitian 2

muncul dengan lambat. Sedangkan stigma

Menatti, Smyth, Yeachman, & Nosek

implisit

(2013) dimana tidak ada perbedaan yang

membutuhkan sedikit kapasitas kognitif

signifikan antara rerata stigma eksplisit

dan tidak disadari oleh individu.

eksplisit

partisipan

partisipan yang menerima feedback bias

sifatnya

cepat

dan

hanya

10

Tabel 6 menggambarkan pola korelasi
antar

dimensi

stigma

implisit

yang

dimensi kognitif sebagai basis dasar
implisit, aspek afektif memainkan peran

dimiliki oleh partisipan. Korelasi yang

yang

signifikan

dengan

antara

kombinasi

d-score

signifikan

untuk

keadaan,

dan

menyesuaikan
diikuti

oleh

dengan d-score dimensi afektif, kognitif,

komponen perilaku. Spekulasi ini juga

dan

didukung dengan skor stigma implisit

perilaku

mendukung

model

multidimensional yang menyatakan bahwa

partisipan

stigma

yang

memiliki skor tertinggi, diikuti dimensif

merefleksikan evaluasi kognitif, reaksi

afektif, dan terakhir dimensi perilaku yang

afektif, dan kecenderungan diskriminasi

justru cenderung positif (Tabel 4). Hal ini

(Wang, Huang, Jackson, & Chen, 2012).

mengindikasikan stigma implisit yang

Hubungan yang negatif antara d-score

dimiliki pada dimensi kognitif tidak

kombinasi

perilaku

termanifestasikan di level afektif dan

mengindikasikan bahwa semakin besar

perilaku. Partisipan bisa saja memiliki

stigma yang dimiliki partisipan pada

prasangka negatif terhadap penyandang

dimensi

akan

disabilitas fisik, namun munculnya rasa

semakin

kasihan (afektif) dan benturan dengan

memunculkan

norma yang memunculkan kesungkanan

melingkupi

aspek

dengan

afektif

mendorong

d-score

dan

partisipan

menekan

dirinya

perilaku

yang

kognitif,
untuk

agar

dimana

dimensi

kognitif

Bagi

(perilaku) mengakibatkan pola hubungan

masyarakat Indonesia yang hidup dalam

yang berbeda dengan stereotipe yang

budaya kolektif, pengungkapan stigma

dimiliki.

dalam

bentuk

berlawanan.

perilaku

terbuka

bisa

Pembahasan Tambahan

memunculkan konflik yang amat dihindari
(Koentjaraningrat,

dalam

Yusainy,

Pengaruh yang signifikan dari variabel
sequence of compatibility ditemukan pada

Thohari, & Gustomy, 2015).
Lebih jauh, Tabel 6 juga menunjukan

stigma

implisit

partisipan.

Kelompok

bahwa terdapat korelasi negatif yang

partisipan yang menerima pengukuran

signifikan antara dimensi perilaku dengan

stigma implisit di level incompatible

dimensi

terlebih dahulu (kelompok 1) memiliki

afektif,

namun

tidak

pada

hubungan antara dimensi afektif dengan

stigma

kognitif dan dimensi perilaku dengan

dibandingkan kelompok yang menerima

kognitif. Wang, Huang, Jackson, & Chen,

pengukuran

(2012) berspekulasi bahwa ketiga dimensi

compatible terlebih dahulu (kelompok 2).

dari stigma bersifat hierarkikal, dengan

implisit

yang

stigma

lebih

implisit

di

tinggi

level

11

Teori klasik disonansi kognitifdari

Salah satu keterbatasan dari penelitian

dan

ini adalah tidak adanya manipulation check

Camgoz, 2011) mengungkapkan bahwa

terkait dampak pemberian feedback bias

individu

implisit. Ada kemungkinan bahwa tidak

Leon

Festinger

(dalam

Metin

akan

ketidaknyamanan
dihadapkan

merasakan

psikologis

dengan

ketika

kondisi

yang

tereduksinya

stigma

eksplisit

pada

kelompok yang menerima feedback segera

kontradiktif dengan kepercayaan yang

dikarenakan

dimilikinya. Dalam hal ini, partisipan yang

dengan benar feedback yang diberikan

secara keseluruhan memiliki stigma di

sehingga self-control tidak teraktivasi.

level

implisit,

kognitif

mengalami

ketika

pengukuran

disonansi

dihadapkan

stigma

implisit

dengan
di

level

incompatible, dimana disabilitas justru

dipasangkan

dengan

atribut

baik.

Disonansi kognitif ini akan mendorong
partisipan

untuk

mengurangi

ketidaknyamanan yang dialaminya, salah
satu caranya adalah dengan confirmatory
bias, yaitu dengan cara memilih informasi

yang sesuai dengan kepercayaan yang
dimiliki. Pengukuran level compatible
pada kelompok 1 bisa menjadi bentuk
confirmation

sedangkan

bias

level

bagi

partisipan,

compatible

pada

kelompok 2 terjadi sebelum munculnya

partisipan

Terlepas

dari

tidak

membaca

keterbatasan

yang

dimiliki, penelitian ini memiliki beberapa
keunggulan. Pertama, studi ini membahas
stigma pada level yang masih sangat
jarang dibahas di Indonesia yaitu di level
implisit. Penelitian ini adalah penelitian
kedua yang membahas paradigma bias
implisit di Indonesia setelah penelitian
oleh

Yusainy,

dkk

(2015).

Kedua,

penelitian ini menemukan pengaruh dari
sequence of compatibility terhadap stigma

implisit. Ditemukannya pengaruh yang
signifikan dari sequence of compatibility
pada

stigma

implisit

menjadi

suatu

terobosan dalam usaha mereduksi stigma
implisit.

disonansi kognitif pada partisipan. Jadi,
KESIMPULAN

kelompok 1 memiliki stigma implisit yang
lebih negatif dikarenakan pengalaman

Penelitian ini tidak menemukan adanya

menjalani pengukuran di level compatible

pengaruh dari kesegeraan feedback bias

tidak sekedar sebagai kegiatan mengukur

implisit terhadap stigma ekplisit, juga tida

stigma implisit, namun juga sebagai media

ditemukan adanya korelasi antara stigma

untuk memertahankan kepercayaan yang

eksplisit dengan stigma implisit kepada

dimilikinya terkait penyandang disabilitas

penyandang

fisik.

pengaruh yang signifikan ditemukan dari

disabilitas

fisik.

Namun

12

variabel sequence of compatibility terhadap
stigma implisit partisipan.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., Hassiotis, A., Strydom, A., & King,
M. (2012). Self-stigma in people with
intellectual disabilities and courtesy
stigma in family carers: A systematic
review. Research in Developmental
Abilities,
33,
2122-2140.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ridd.2012.06
.013
Alterado, A. M. (2013). Stigma and having
tuberculosis: agenda for research. AsiaPacific E-Journal of Health Social
Science, 2(1). ISSN 2244-0240
Boyle, M. J., Williams, B., Brown, T.,
Molloy, A., McKenna, L., Molloy, E.,
& Lewis, B. (2010). Attitudes of
undergraduate health science students
toward patients with intellectual
disability, substance abuse, and acute
mental illness: a cross sectional study.
BMC Medical Education, 10(71).
http://www.biomedcentral.com/14726920/10/71
Chen, S., Ma, L., & Zhan, J. (2012).
Chinese undergraduate’s explicit and
implicit attitudes toward persons with
disabilities. Rehabilitation Counseling
Bulleting,
55(1)
38-45.
DOI:
10.1177/0034355211410705
Hsu, T., Huang, Y., Liu, Y., Ososkie, J.,
Fried, J., & Bezyak J. (2015).
Taiwanese attitude and affective
reactions toward individuals and
coworkers who have intellectual
disabilities. American Journal on
Intellectual
and
Developmental
Disabilities, 120(2), 110-124. DOI:
10.1352/1944-7558-120.2.110
Karpinski, A. & Steinman, R. B. (2006).
The single category implicit association
test as a measure of implicit social
cognition. Journal of Personality and

Social
Psychology,
91,
16-32.
http://dx.doi.org/10.1037/00223514.8.5.2.197

Kementrian Kesehatan RI. (2014). Situasi
penyandang disabilitas. Buletin Jendela
Data
dan Informasi Kesehatan,
Semester II. ISSN 2088 – 270x
Menatti, B. A., Smyth, F., Teachman, B. A.,
& Nosek, B. A. (2013). Reducing
stigma toward individuals with mental
illness: a brief online intervension.
Stigma
Research
and
Action.
http://osf.io/8rf2b/files/
Metin, I., & Camgoz, S. M. (2011). The
advances in the history of cognitive
dissonance
theory.
International
Journal of Humanities and Social
Science, 1(6), 131-136.
Nosek, B.A., Hawkins, C.B., & Frazier,
R.S. (2011). Implicit social cognition:
from measures to mechanisms. Trends
in Cognitive Sciences.
Shaffer, K. M. (2011). Impact of implicit
association experience and motivation
to control prejudice on stigma. Major
Thesis University of Virginia.
Wang, X., Huang, X., Jackson, T., & Chen,
R. (2012). Components of implicit
stigma against mental illness among
chinese students. Plos One, 7(9).
doi:10.1371/journal.pone.0046016
Wilson, M.C & Scior, K. (2014). Attitudes
towards individuals with disabilities as
measured by the implicit association
test: a literature review. Research in
Developmental Disabilities, 35, 294321
World Health Organisation, & World Bank.
(2011). World Report on Disability.
http://whqlibdoc.who.int/publication/20
11/9789240685215. Diakses
pada
tanggal 8 Desember 2015
World Health Organization. (2015).
Disability
and
health
care.
http://www.who.int/mediacentre/factsh

13

eets/fs352/en/ Diakses pada tanggal 8
Desember 2015
Yusainy, C., Thohari, S., & Gustomy, R.
(2015) #StopAbleism: Reduksi stigma
kepada penyandang disabilitas melalui
intervensi
bias
implisit.
Hibah
Penelitian Lintas Jurusan Fakultas
Ilmu
Sosial
dan
Ilmu
Politik
Universitas Brawijaya.