perbandingan afiks bahasa sunda bahasa indonesia ila nafilah

PERBANDING
AN ANTARA
AFIKS
PEMBENTUK
VERBA BAHASA SUNDA DENGAN AFIKS
PEMBENTUK VERBA BAHASA INDONESIA

Oleh :
ILA NAFILAH, S.S., M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA dan SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA dan SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2013
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, peneliti lafadzkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Selawat
1

dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul junjungan Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, dan segenap umatnya hingga akhir zaman.

Penelitian ini berisi tentang perbandingan antara afiks pembentuk verba bahasa
Sunda dengan bahasa Indonesia.
Penelitian ini bertujuan agar mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia,
khususnya yang sedang mengambil mata kuliah analisis kontrastif mengetahui apa
itu hakikat analisis kontrastif, hakikat morfologi, hakikat proses morfologis, dan
hakikat kesalahan afiks.
Penelitian ini juga bermanfaat bagi para dosen dan peneliti lainnya agar tidak
saja menemukan perbandingan antara afiks pembentuk verba bahasa Sunda
dengan afiks pembentuk verba bahasa Indonesia, tetapi juga menemukan
perbandingan antara afiks pembentuk verba bahasa daerah yang ada di seluruh
Nusantara dengan afiks pembentuk verba bahasa Indonesia baik dalam bidang
fonologi, sintaksis, dan semantik

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan di dalam penelitian
ini. Oleh karena itu, peneliti berharap masukan dan kritik baik dari mahasiswa
maupun rekan-rekan sesama dosen demi kesempurnaan penelitian ini.
Akhir kata, peneliti berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pemelajaran yang akan datang, khususnya
i mengenai analisis kesalahan berbahasa.


Jakarta, Maret 2013
Peneliti
ILA NAFILAH, S.S., M.Pd

2

DAFTAR
ISI
ii

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I

PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.


BAB II

Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
Identifikasi Masalah .............................................................................. 3
Perumusan Masalah ............................................................................. 3
Manfaat Penelitian ................................................................................ 4

LANDASAN TEORITIK
A. Hakikat Analisis Kontrastif .................................................................... 5
B. Tujuan Analisis Kontrastif ..................................................................... 6
C. Hakekat Morfologi ................................................................................. 7
1. Morfem, Alomorf, dan Kata ............................................................ 7
a. Morfem ......................................................................................

2.

b.

7
Alomorf ......................................................................................


c.

8
Kata ...........................................................................................

9
Proses Morfologis ........................................................................ 10
2.1 Afiksasi ................................................................................. 10
2.1.1 Prefiks

...........................................................................

11

3

2.1.2 Infiks

.............................................................................


12
2.1.3 Sufiks

............................................................................

13
2.1.4 Konfiks

..........................................................................

14
2.1.5 Sirkumfiks ..................................................................... 16

2.1.6 Interfiks .........................................................................
17
2.1.1.7

iii
Transfiks .................................................................


...... 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian ................................................................................ 18
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 18
C. Metode Penelitian ............................................................................... 18
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 18
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data .................................................................................... 19
.1 Afiks Pembentuk Verba Bahasa Sunda ....................................... 19
.a Verba berprefiks/berawalan dalam
Bahasa Sunda ......................................................................... 19
.b Verba berinfiks/bersisipan dalam
Bahasa Sunda ......................................................................... 20
.c Verba bersufiks/berakhiran dalam
Bahasa Sunda ......................................................................... 20
.d Verba berkonfiks/gabungan dalam
Bahasa Sunda ......................................................................... 21
.2 Afiks Pembentuk Verba Bahasa Indonesia .................................. 25
.a Verba berprefiks/berawalan dalam

Bahasa Indonesia .................................................................... 25
.b Verba bersufiks/berakhiran dalam
Bahasa Indonesia .................................................................... 26
.c Verba berkonfiks/gabungan dalam
Bahasa Indonesia .................................................................... 26
.d Verba bersimulfiks dalam Bahasa Indonesia ........................... 27
.e Verba berkombinasi dalam Bahasa Indonesia ........................ 27
.3 Persamaan Afiks Pembentuk Verba
iv Pembentuk
Bahasa Sunda dengan Afiks
Verba Bahasa Indonesia .............................................................. 28
.4 Perbedaan Afiks Pembentuk Verba
Bahasa Sunda dengan Afiks Pembentuk
Verba Bahasa Indonesia .............................................................. 29
4

BAB V

PENUTUP
5.1 Simpulan ............................................................................................. 30

5.21Saran .................................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33

v

5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur
lain, entah karena yang jaraknya jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau
berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap
menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat monolingual.
Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan
dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami kontak bahasa, sehingga ada
kemungkinan masyarakat tutur itu mengalami bilingualisme atau mempunyai dua
bahasa.

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut
juga kedwibahasaan. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang
harus mengasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa
pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua, adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu
disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan).
Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas
(dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawan).1 Bloomfield dalam Chaer
dan Agustina mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seorang
penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. 2 Jadi, disebut
bilingual jika dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya.

1

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Edisi Revisi. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), pp. 84-85.
2
Ibid., p.85

1


2
Selama ini, dalam pengajaran linguistik seringkali memperbandingkan bahasa
pertama (B1) atau bahasa ibu dengan bahasa kedua (B2) yang dipelajari/bahasa
target. Cara atau metode yang digunakan untuk membandingkan perbedaanperbandingan dalam pemelajaran bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2)
dalam ilmu linguistik dikenal juga dengan istilah analisis kontrasif. Analisis kontrasif
adalah sebuah metode yang digunakan dalam mencari suatu perbedaan antara
bahasa pertama (B1) dengan bahasa kedua (B2). Maka, dengan adanya analisis
kontrasif ini diharapkan pemelajar dapat memahami bahasa kedua dengan lebih
mudah.
Analisis kontrasif tidak hanya penuh masalah, tetapi juga penuh dengan
kontroversi. Bahkan, sepuluh tahun belakangan ini analisis kontrasif dianggap tidak
aman lagi dan saling bertentangan. Namun, sekian banyak praktisi tetap
bersemangat untuk menilainya. Kegiatan ini ditunjukkan melalui beberapa cara,
yaitu: sejumlah proyek analisis kontrasif yang didanai sepuluh tahun terakhir,
dokumen-dokumen dibacakan di konferensi-konferensi dan dipublikasikan dalam
bentuk jurnal, disertesis dan komponen kuliah pascasarjana yang ditawarkan dalam
analisis kontrasif. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat bahwa analisis kontrasif
memiliki ‘validitas muka’, hal itu tampak sebagai sesuatu yang masuk akal dan jelas
tentang apa yang akan dilakukan ahli bahasa dan pengkajian kerangka pendirinya.

Bahasa mana pun di dunia ini pasti mengalami perubahan-perubahan dan
perkembangan yang cukup pesat, karena salah satu ciri dari bahasa adalah sifatnya
yang dinamis. Begitu pula dengan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia selalu
mengalami perubahan dan perkembangan dari zaman ke zaman. Perubahan dan
perkembangan itu dapat bersifat struktural, maupun gramatikalnya sistem morfologi
bahasa. Melihat keadaan demikian, penelitian yang menjelaskan sistem morfologi

3
bahasa Sunda dan bahasa Indonesia khususnya sistem morfologi kata kerja
memegang peranan yang sangat penting.

B. Identifikasi Masalah
Subjek penelitian ini berkaitan dengan perbandingan-perbandingan antara
afiks

pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks pembentuk verba bahasa

Indonesia. Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
(1) Apa pengertian morfologi?
(2) Apa pengertian afiks?
(3) Bagaimana ciri morfologi bahasa Sunda?
(4) Bagaimana ciri morfologi bahasa Indonesia?
(5) Bagaimana ciri verba bahasa Sunda?
(6) Bagaimana ciri verba bahasa Indonesia?
(7) Bagaimana perbandingan sistem morfologi bahasa Sunda dengan sistem
(8)

morfologi bahasa Indonesia?
Bagaimana perbandingan sistem morfologi verba bahasa Sunda dengan

sistem morfologi verba bahasa Indonesia?
(9) Bagaimana afiks pembentuk verba bahasa Sunda?
(10) Bagaimana afiks pembentuk verba bahasa Indonesia?
(11) Bagaimana perbandingan afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan
afiks pembentuk verba bahasa Indonesia?

C.

Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:
(1) Apa pengertian morfologi?
(2) Apa pengertian afiks?
(3) Bagaimana afiks pembentuk verba bahasa Sunda?
(4) Bagaimana afiks pembentuk verba bahasa Indonesia?
(5) Bagaimana perbandingan afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks
pembentuk verba bahasa Indonesia?

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi teoretis dan kontribusi praktis.

Kontribusi teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan teori perbandingan bahasa B1 dan bahasa B2 dalam pengajaran
bahasa. Adapun kontribusi praktis yang diharapkan muncul dari penelitian ini adalah
teridentifikasinya perbandingan-perbandingan afiks pembentuk verba dalam bahasa
Sunda dengan bahasa Indonesia untuk memperkaya khasanah kebahasaan.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan dalam
memperbandingkan afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks pembentuk

4
verba bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi pemelajar bahasa
sebagai referensi dalam memeperbandingkan bahasa pertama yaitu bahasa Sunda
dan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORETIK

A.

Hakikat Analisis Kontrastif
Menurut James, analisis kontrastif adalah bagian dari linguistik, seseorang

yang ahli dalam ilmu ini disebut kontrastivis dan orang yang ahli dalam linguistik
disebut linguist.3
Lebih lanjut, James mengatakan bahwa analisis kontrastif adalah suatu
aktivitas linguistik yang bertujuan menghasilkan tipologi dua bahasa dan didasari
pada asumsi bahwa bahasa-bahasa itu dapat dibandingkan. 4 Aktivitas ini diharapkan
mampu memprediksi atau memperkirakan tingkat kesulitan yang akan dihadapi oleh
orang yang akan memelajari bahasa kedua (B2).
Studi anakon sangat diperlukan bagi seorang guru bahasa agar memperoleh
pengertian yang lebih mendalam tentang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
oleh seorang pelajar B2 yang dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan yang
dibuatnya dalam proses belajar mengajar.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisis kontrastif adalah suatu metode
dalam linguistik yang digunakan untuk mencari perbedaan yang ada antara bahasa
pertama dengan bahasa target atau bahasa kedua. Adapun objek dari anakon ini
adalah bahasa yang menghasilkan analisis bagi kepentingan pengajaran bahasa.
Analisis kontrastif digolongkan menjadi dua, yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik.
Adapun mikrolinguistik analisis kontrastif ini adalah seluruh aspek yang berkaitan
3
4

Carl James, Contrastif Analysist (Longman : London, 1980), p.1.
Ibid., p.3.

5

6
dengan bahasa itu sendiri atau biasa disebut “memelajari bahasa dari bahasa
itu sendiri”. Mikrolinguistik analisis kontrastif terdiri dari anakon gramatikal, fonetik,
fonologi, leksikal, dan sintaksis. Sedangkan makrolinguistik analisis kontrastif
mencakup segala aspek dari luar yang memengaruhi bahasa, seperti: budaya, adatistiadat, dan sopan santun atau tata krama. Makrolinguistik analisis kontrastif juga
terdiri dari penggabungan antara ilmu linguistik dengan ilmu-ilmu lain yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya, seperti: psikolinguistik, sosiolinguistik,
neurolinguistik, dan antropolinguistik.

B.

Tujuan Analisis Kontrastif
Menurut James, tujuan-tujuan analisis kontrastif 5 adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perbedaan antara B1 dengan B2 agar pengajaran bahasa
berhasil baik;
2. Menganalisis perbedaan antara B1 dengan B2 agar kesalahan berbahasa
siswa dapat diramalkan dan pengaruh B1 dapat diperbaiki;
3. Membantu siswa untuk menyadari kesalahannya dalam berbahasa, sehingga
siswa dapat menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya dalam waktu yang
tidak terlalu lama.

5

Ibid., pp.1-10.

7
C. Hakikat Morfologi
Menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, morfologi adalah bagian dari ilmu
bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk-beluk struktur kata serta
pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti kata. 6
Kridalaksana mengatakan bahwa morfologi dapat dipandang sebagai
subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. 7
Dari pendapat pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa morfologi
merupakan bagian dari subsistem linguistik yang menyelidiki dan memelajari selukbeluk struktur kata, bagian-bagiannya, serta cara pembentukannya.

1.1 Morfem, Alomorf, dan Kata
a. Morfem
Morfologi mengenal unsur dasar atau satuan terkecil dalam wilayah
pengamatannya. Satuan gramatikal yang terkecil itu disebut morfem. Jadi, morfem
menurut Kentjono, merupakan satuan hasil abstraksi wujud lahiriah atau bentukbentuk fonologisnya. 8 Bentuk-bentuk fonologis sebuah morfem dapat dipandang
sebagai anggota-anmggota atau wakil morfem tersebut.
Nida dalam Prawirasumantri mengatakan bahwa morfem adalah bentuk
linguistik yang terkecil yang mengandung makna. 9 Pendapat tersebut sejalan
dengan Chaer yang mengatakan bahwa : “... secara kualitas ada satuan lain yang

6

7

8

9

Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa
Sunda. (Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979), p.8
Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1996), p.10.
Djoko Kentjono, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, Penyunting : Kushartanti,
Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), p.144.
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Op.Cit., p.9.

8
fugsional yang disebut morfem. Sebagai satuan fungsional, morfem ini merupakan
satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna.” 10
Dari pendapat pakar mengenai morfem, maka dapat disimpulkan bahwa
morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. Misalnya, dalam
bahasa Sunda dalam deretan bentuk-bentuk digusur ‘diseret’, kagusur ‘terseret’,
diteunggeul /ditəŋgəl/ ‘dipukul’, dan kateunggeul /katəŋgəl/ ‘terpukul’ terdapat
morfem-morfem gusur ‘seret’, teunggeul /təŋgəl/ ‘pukul’ di- ‘di-’, dan ka- ‘ter’.
b. Alomorf
Morfem ada yang hanya mempunyai satu struktur fonologis yang fonemfonemnya banyak serta urutannya selalu tetap; misalnya, dalam bahasa Sunda
morfem lumpat artinya ‘lari’, terdiri dari enam fonem, yaitu /l/, /u/, /m/, /p/, /a/, dan /t/.
Di samping itu, ada pula morfem yang mempunyai beberapa struktur fonologis,
mem- /məm-/, men- /mən-/, meny- /məñ-/, meng- /məŋ-/, dan me- /mə-/, misalnya
pada kata membawa /məmbawa/, mendengar /məndəŋar/, menyuruh /məñuruh/,
menggali / məŋgali/, dan melerai /mələrai/.
Menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, bentuk-bentuk mem- /məm-/,
men- /mən-/, meny- /məñ-/, meng- /məŋ-/, dan me- /mə-/ semuanya merupakan
alomorf dari morfem meN-.11 Sedangkan, menurut Chaer, alomorf dan morfem meNitu antara lain: me- /mə-/, mem- /məm-/, men- /mən-/, meny- /məñ-/, meng- /məŋ-/,
dan menge- /məŋə-/, seperti pada kata mengetik / məŋətik/.

c. Kata
10
11

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), p.146.
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit.

9
Kata menurut Kentjono merupakan satuan gramatikal bebas yang terkecil. 12
Hal senada juga diungkapkan oleh Chaer yang mengatakan bahwa batasan kata
yang dibuat oleh Bloomfield adalah satuan bebas terkecil (a minimal free form).13
Misalnya, dalam bahasa Sunda terdapat kata-kata : aya /?aya/ ‘ada’, cakcak
/cakcak/ ‘cecak’, cicing /ciciŋ/ ‘diam’, nyeuri /ñ əri/ ‘sakit’, kasurungkeun /kasuruŋk ən/
‘terdorong’, kapisanggem /kapisaŋgem/ ‘diucapkan’, ayeuna /ay əna/ ‘sekarang’,
rek /rẽk/ ‘akan’, ngajoprak /ŋajoprak/ ‘berbaring’.
Kata dapat terdiri dari sebuah morfem bebas atau terdiri paling sedikit sebuah
morfem bebas dengan sebuah atau beberapa buah morfem terikat. Menurut Chaer,
morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul
dalam petuturan.14 Dalam bahasa Sunda, misalnya, aya /?aya/ ‘ada’, cakcak
/cakcak/ ‘cecak’, cicing /ciciŋ/ ‘diam’, seuneu /s ən ə/ ‘api’, adalah termasuk morfem
bebas. Sebaiknya, yang dimaksud morfem terikat menurut Chaer adalah morfem
yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam
petuturan.15 Misalnya, dalam bahasa Sunda ngalungsar /ŋaluŋsar/ ‘berbaring’, dan
ngajanteng /ŋajanteŋ/ ‘berdiri’, berasal dari bentuk-bentuk lungsar /luŋsar/, dan
janteng /janteŋ/ tidak dapat berdiri sendiri; bentuk-bentuk itu baru dapat dipakai
dalam petuturan setelah mendapat bubuhan morfem lain.

1. Proses Morfologis

12

Djoko Kentjono, Op.Cit., p.151.
Abdul Chaer, Op.Cit., p.163.
14
Ibid., pp.151-152.
15
Ibid., p.152.
13

10
Menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, proses morfologis ialah proses
pembentukkan kata-kata dari bentuk lain yang merupakan bentuk dasarnya. 16
Proses pembentukkan kata atau proses morfologis baik dalam bahasa Sunda
maupun bahasa Indonesia itu bermacam-macam, di antaranya: afiksasi, reduplikasi,
dan komposisi.
2.1

Afiksasi
Kridalaksana mengatakan bahwa afiksasi adalah proses yang mengubah

leksem menjadi kata kompleks.17 Chaer mengatakan bahwa afiksasi adalah proses
pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar.18 Jadi, dalam proses
afiksasi melibatkan unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, (3) makna
gramatikal yang dihasilkan.
Imbuhan atau afiks menurut Ramlan dalam Prawirasumantri, ialah suatu
bentuk linguistik yang di dalam suatu kata merupakan unsur langsung yang bukan
kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada bentukbentuk lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. 19 Chaer mengatakan
bahwa afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang
diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata.20 Jadi, afiks pada
dasarnya merupakan sebuah bentuk morfem terikat yang hanya dapat bermakna
jika dilekatkan pada morfem lain.

16

Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Op.Cit., p.10.
Harimurti Kridalaksana, Op.Cit., p.28.
18
Abdul Chaer, Op.Cit., p.163.
19
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit.
20
Abdul Chaer, Loc.Cit.
17

11
Dilihat dari posisi melekatnya pada bentuk dasar biasanya dibedakan adanya
prefiks, infiks, sufiks, konfiks, interfiks, dan transfiks. Sedangkan dalam bahasa
Sunda hanya mengenal empat macam, yaitu prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks.

2.1.1 Prefiks
Kridalaksana mengatakan bahwa prefiks yaitu afiks yang diletakkan di muka
dasar.21 Chaer berpendapat bahwa prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di muka
bentuk dasar.22
Dalam bahasa Sunda terdapat kata kerja turunan yang dibentuk dengan jalan
pengimbuhan prefiks-prefiks/awalan-awalan, sebagai berikut :
1)

Prefiks/awalan ba-, misalnya: bajuang /bajuaŋ/ ‘berjuang’, bagerak
‘bergerak’, badami ‘berunding /berundiŋ/’;

2)

Prefiks/awalan barang-, misalnya: barangtanya /baraŋtaña/ ‘menanyakan
sesuatu’, barangbeuli /baraŋbəli/ ‘membeli sesuatu’;

3)

Prefiks/awalan di-, misalnya: dilegleg ‘ditelan’, dijieun /dijiən/ ‘dibuat’,
didenge /didẽŋẽ/ ‘didengar’, diantep ‘dibiarkan’, dibarung /dibaruŋ/
‘dibarengi /dibareŋi/’;

4)

Prefiks/awalan ka-, misalnya: kaambeu /kaambə/ ‘tercium’, kagegel
/kagẽgẽl/ ‘tergigit’, kapiceun /kapicən/ ‘terbuang /terbuaŋ/, kabawa
‘terbawa’, katenjo /katẽnjo/ ‘terlihat’, kahontal ‘tercapai’;

5)

21
22

Prefiks/awalan ma-, misalnya: magawe /magawẽ/ ‘membajak sawah’;

Harimurti Kridalaksana, Loc.Cit.
Abdul Chaer, Op.Cit., p.178.

12
Prefiks/awalan N- dengan alomorf m-, n-, ng-, nga- ny-, misalnya: mawa

6)

‘membawa’, nawar ‘menawar’, ngomong /ŋomoŋ/ ‘berbicara’, ngadunga
/ŋaduŋa/ ‘berdoa’, nyawah /ñawah/ ‘mengolah sawah’;
Prefiks/awalan pa-, misalnya: patepang /patepaŋ/ ‘bertemu’, pateuteup

7)

/patətəp/ ‘bertatapan’, paamprok ‘berjumpa’, paadu ‘bertumbukan’;
8)

Prefiks/awalan pada-, misalnya: padamelong /padameloŋ/ ‘ditatap’;

9)

Prefiks/awalan si-, misalnya: sideku ‘berlutut’, sibeungeut /sibəŋət/
‘mencuci muka’;

10)

Prefiks/awalan

silih-,

misalnya:

silihsurung

/

silihsuruŋ/

‘saling

mendorong /saliŋ mendoroŋ/’, silihgenti ‘saling berganti /saliŋ berganti/’,
silihrurug ‘saling gempur /saliŋ gempur/’;
11)

Prefiks/awalan ti-, misalnya: tiguling /tiguliŋ/ ‘jatuh’;

12)

Prefiks/awalan ting-, misalnya: tinggerendeng / tiŋgerendeŋ/ ‘bergumam’,
tingjorelat /tingjorẽlat/ ‘berkelebatan’.

2.1.2 Infiks
Infiks menurut Kridalaksana yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar. 23
Sedangkan menurut Prawirasumantri infiks/sisipan adalah imbuhan yang disisipkan
pada bentuk dasarnya dengan beberapa penyimpangan, misalnya dalam bahasa
Sunda -in- yang disisipkan pada serat ‘tulis’ menjadi sinerat ‘ditulis’.24 Pendapat lain
dikemukakan oleh Chaer yang mengatakan bahwa infiks adalah afiks yang
diimbuhkan di tengah bentuk dasar.25

23

Harimurti Kridalaksana, Loc.Cit.
Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit.
25
Abdul Chaer, Loc.Cit.
24

13
Bahasa Sunda terdapat kata kerja turunan yang dibentuk dengan jalan
pengimbuhan sisipan sebagai berikut:
(1) Infiks/sisipan -ar- (dengan alomorf -ar-, -al-, dan ra-), misalnya, dariuk (jamak)
‘duduk’, dalahar (jamak) ‘makan’, rajleng /rajleŋ/ ‘berloncatan’;
(2) Infiks/sisipan -in-, misalnya, tinulis ‘tertulis’, tinemu ‘bertemu’;
(3) Infiks/sisipan -um-, misalnya, kumaula ‘mengabdi’, tumetep ‘menetap’,
lumangsung /lumaŋsuŋ/ ‘berlangsung /berlaŋsuŋ/.
2.1.3 Sufiks
Prawirasumantri mengatakan akhiran ialah imbuhan yang dibubuhkan di akhir
suatu bentuk dasar.26 Sementara itu, Kridalaksana mengatakan bahwa sufiks, yaitu
afiks yang diletakkan di belakang dasar. 27 Hal ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Chaer yang mengatakan bahwa sufiks adalah afiks yang
diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar.28
Bahasa Sunda terdapat kata kerja turunan yang dibentuk dengan jalan
pengimbuhan akhiran sebagai berikut:
(1) Sufiks/akhiran -an, misalnya, pulungan /pulunŋan/ ‘punguti /puŋuti/’, asupan
‘masuki’, tulungan /tuluŋan/ ‘tolong /toloŋ/’;
(2) Sufiks/akhiran -keun, misalnya, ebogkeun /ẽbogkən/ ‘tidurkan’, petakeun
/petakən/ ‘ragakan’.

26

Abud Prawirasumantri, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri, Loc.Cit.
Harimurti Kridalaksana, Op.Cit., p.29.
28
Abdul Chaer, Loc.Cit.
27

14
2.1.3 Konfiks
Menurut Chaer konfiks adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian
pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang kedua berposisi pada
akhir bentuk dasar.29 Kridalaksana mengatakan bahwa konfiks, yaitu afiks yang
terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu di belakang bentuk dasar;
dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi.30
1) Konfiks/gabungan di- + pang- + -keun, misalnya: dipangbacakeun
/dipaŋbacakən/

‘dibacakan’,

dipangdongengkeun

/dipaŋdoŋeŋk ən/

‘didongengkan’;
2) Konfiks/gabungan di- + pang- + N- + -keun, misalnya: dipangmilihkeun
/dipaŋmilihkən/ ‘dipilihkan’, dipangmenerkeun /dipaŋmenerk ən/ ‘ditolong
memperbaiki’;
3) Konfiks/gabungan di- + pi-, misalnya: dipieling /dipiẽliŋ/ ‘diperingati’,
dipilampah ‘dilakukan’, dipiindung /dipiinduŋ/ ‘dianggap ibu’;
4) Konfiks/gabungan di- + pi- + ka-, misalnya: dipikahayang / dipikahayaŋ/
‘diinginkan’, dipikameumeut /dipikaməmət/ ‘disayangi’, dipikatineung
/dipikatinəŋ/ ‘selalu diingat’;
5) Konfiks/gabungan di- + sa- + -keun, misalnya: disaumpamakeun
/disaumpamakən/

‘disetingkatkan’

disakalikeun

/disakalik ən/

‘disatukalikan’;
6) Konfiks/gabungan di- + -ar-, misalnya: dialajar (jamak) ‘belajar’, ditalaksir
‘ditaksir’, ditalurut ‘diturut’;
7) Konfiks/gabungan di- + -ar- + -an, misalnya: dibaredilan ‘ditembaki’;
29
30

Ibid., p.179.
Harimurti Kridalaksana, Op.Cit., p.29.

15
8) Konfiks/gabungan

di-

+

-ar-

+

-keun,

misalnya:

ditaringgalkeun

/ditariŋgalkən/ (jamak) ‘ditinggalkan’;
9) Konfiks/gabungan di- + -an, misalnya: dicirian ‘ditandai’, dilengkahkan
/dilẽŋkahkan/ ‘dilangkahi’; dipaehan /dipaẽhan/ ‘dibunuh’;
10) Konfiks/gabungan di- + -keun, misalnya: dijadikeun /dijadikən/ ‘dijadikan’,
dikudukeun /dikudukən/ ‘diharuskan’, ditujukeun /ditujuk ən/ ‘ditujukan’,
disebutkeun /disebutkən/ ‘disebutkan’;
11) Konfiks/gabungan ka- + pi-, misalnya: kapisanggem /kapisaŋgem/
‘dikatakan/diucapkan’;
12) Konfiks/gabungan ka- + -an, misalnya: kanyahoan ‘diketahui’, kahujanan
‘kehujanan’, kadatangan /kadataŋan/ ‘didatangi’;
13) Konfiks/gabungan ka- + -keun, misalnya: kajeueungkeun / kajəəŋkən/
‘terlihat olehnya’;
14) Konfiks/gabungan ka- + -keun, misalnya: kasurungkeun /kasuruŋkən/
‘terdorongkan’, kabejakeun /kabẽjakən/ ‘terberitakan’;
15) Konfiks/gabungan N- + pang- + -keun, misalnya: manglumpatkeun
/maŋlumpatkən/ ‘melarikan’;
16) Konfiks/gabungan

N-

+

pang-

+

-an

+

-keun,

misalnya:

mangnambihankeun /maŋnambihankən/ ‘menolong menambahkan’;
17) Konfiks/gabungan N- + -pi + ka-, misalnya: mikaresep ‘menyenangi’;
18) Konfiks/gabungan N- + ar- + -an, misalnya: nareangan (jamak)
/narẽaŋan/ ‘mencari’, nyarekelan /ñarẽkelan/ ‘memegang’;
19) Konfiks/gabungan N- + ar- + -keun,
/ŋadalaptarkən/ ‘mendaftarkan’;

misalnya:

ngadalaptarkeun

16
20) Konfiks/gabungan N- + -an, misalnya: nyareken /ñarẽken/ ‘memarahi’,
neangan /nẽaŋan/ ‘mencari’;
21) Konfiks/gabungan

N-

+

-an

+

i,

misalnya:

nyakseni

/ñaksẽni/

‘menyaksikan’;
22) Konfiks/gabungan N- + -keun, misalnya: museurkeun /musərkən/
‘memusatkan’;
23) Konfiks/gabungan pang- + N- + -keun, misalnya: pangmeulikeun
/paŋməlikən/ ‘tolong belikan’;
24) Konfiks/gabungan pang- + N- + -an + -keun, misalnya: pangneangkeun
/paŋnẽaŋkən/ ‘tolong mencarikan’;
25) Konfiks/gabungan ting- + -ar-, misalnya: tingkarecewis /tiŋkarecewis/
‘berbisik-bisik’;
26) Konfiks/gabungan N- + -ar-, misalnya: ngaromong (jamak) /ŋaromoŋ/
‘berbicara’.
2.1.3 Sirkumfiks
Tentang istilah sirkumfiks menurut Kridalaksana dalam Chaer adalah
digunakan untuk ‘afiks Nasal’, seperti yang terdapat dalam ragam bahasa Indonesia
nonbaku, seperti kata ngopi /ŋopi/, nembak, mukul, dan nulis.31

31

Abdul Chaer, Op.Cit., p.181.

17

2.1.3 Interfiks
Interfiks adalah sejenis infiks atau elemen penyambung yang muncul dalam
proses penggabungan dua buah unsur. Interfiks banyak dijumpai dalam bahasbahasa Indo German.32

2.1.3 Transfiks
Transfiks adalah afiks yang berwujud vokal-vokal yang diimbuhkan pada
keseluruhan dasar. Transfiks banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Semit (Arab
dan Ibrani).33

32
33

Abdul Chaer, Loc.Cit
Abdul Chaer, Loc.Cit

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian

ini

bertujuan

untuk

menemukan,

mendeskripsikan

serta

memperbandingkan afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks pembentuk
verba bahasa Indonesia.

B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di Jakarta. Adapun waktu penelitiannya
dilaksanakan pada Agustus 2009.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan teknik analisis
isi (content analysist). Metode penelitian ini juga menggunakan linguistik strukturalis
yang berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang
dimiliki bahasa itu.

D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik simak catat. Peneliti melakukan penyimakkan dan pencatatan
terhadap afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks pembentuk verba
bahasa Indonesia, yang terdiri dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks yang terdapat
dalam buku-buku sebagai acuan dalam penelitian.

18

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Afiks Pembentuk Verba Bahasa Sunda
a. Verba berprefiks/berawalan dalam Bahasa Sunda
1)

Prefiks/awalan ba-, misalnya: bajuang /bajuaŋ/ ‘berjuang’, bagerak
‘bergerak’, badami ‘berunding /berundiŋ/’;

2)

Prefiks/awalan

barang-,

misalnya:

barangtanya

/baraŋtaña/

‘menanyakan sesuatu’, barangbeuli /baraŋbəli/ ‘membeli sesuatu’;
3)

Prefiks/awalan di-, misalnya: dilegleg ‘ditelan’, dijieun /dijiən/
‘dibuat’, didenge /didẽŋẽ/ ‘didengar’, diantep ‘dibiarkan’, dibarung
/dibaruŋ/ ‘dibarengi /dibareŋi/’;

4)

Prefiks/awalan

ka-,

misalnya:

kaambeu

/kaambə/

‘tercium’,

kagegel /kagẽgẽl/ ‘tergigit’, kapiceun /kapicən/ ‘terbuang /terbuaŋ/,
kabawa ‘terbawa’, katenjo /katẽnjo/ ‘terlihat’, kahontal ‘tercapai’;
5)

Prefiks/awalan ma-, misalnya: magawe /magawẽ/ ‘membajak
sawah’;

6)

Prefiks/awalan N- dengan alomorf m-, n-, ng-, nga- ny-, misalnya:
mawa ‘membawa’, nawar ‘menawar’, ngomong /ŋomoŋ/ ‘berbicara’,
ngadunga /ŋaduŋa/ ‘berdoa’, nyawah /ñawah/ ‘mengolah sawah’;

7)

Prefiks/awalan

pa-,

misalnya:

patepang

/patepaŋ/

‘bertemu’,

pateuteup /patətəp/ ‘bertatapan’, paamprok ‘berjumpa’, paadu
‘bertumbukan’;
8)

Prefiks/awalan pada-, misalnya: padamelong /padameloŋ/ ‘ditatap’;

19

20
9)

Prefiks/awalan si-, misalnya: sideku ‘berlutut’, sibeungeut /sib əŋ ət/
‘mencuci muka’;

10)

Prefiks/awalan silih-, misalnya: silihsurung / silihsuruŋ/ ‘saling
mendorong /saliŋ mendoroŋ/’, silihgenti ‘saling berganti /saliŋ
berganti/’, silihrurug ‘saling gempur /saliŋ gempur/’;

11)

Prefiks/awalan ti-, misalnya: tiguling /tiguliŋ/ ‘jatuh’;

12)

Prefiks/awalan

ting-,

misalnya:

tinggerendeng

/

tiŋgerendeŋ/

‘bergumam’, tingjorelat /tingjorẽlat/ ‘berkelebatan’.
b.

Verba berinfiks/bersisipan dalam Bahasa Sunda
1)

Infiks/sisipan -ar- (dengan alomorf -ar-, -al-, dan ra-), misalnya,
dariuk (jamak) ‘duduk’, dalahar (jamak) ‘makan’, rajleng /rajleŋ/
‘berloncatan’;

2)

Infiks/sisipan -in-, misalnya, tinulis ‘tertulis’, tinemu ‘bertemu’;

3)

Infiks/sisipan

-um-,

misalnya,

kumaula

‘mengabdi’,

tumetep

‘menetap’, lumangsung /lumaŋsuŋ/ ‘berlangsung /berlaŋsuŋ/.
c.

Verba bersufiks/berakhiran dalam Bahasa Sunda
1)

Sufiks/akhiran -an, misalnya, pulungan /pulunŋan/ ‘punguti /puŋuti/’,
asupan ‘masuki’, tulungan /tuluŋan/ ‘tolong /toloŋ/’;

2)

Sufiks/akhiran -keun, misalnya, ebogkeun /ẽbogkən/ ‘tidurkan’,
petakeun /petakən/ ‘ragakan’.

21
d.

Verba berkonfiks/gabungan dalam Bahasa Sunda
1)

Konfiks/gabungan di- + pang- + -keun, misalnya: dipangbacakeun
/dipaŋbacakən/ ‘dibacakan’, dipangdongengkeun /dipaŋdoŋeŋk ən/
‘didongengkan’;

2)

Konfiks/gabungan
dipangmilihkeun

di-

+

pang-

/dipaŋmilihkən/

+

N-

+

‘dipilihkan’,

-keun,

misalnya:

dipangmenerkeun

/dipaŋmenerkən/ ‘ditolong memperbaiki’;
3)

Konfiks/gabungan di- + pi-, misalnya: dipieling /dipiẽliŋ/ ‘diperingati’,
dipilampah ‘dilakukan’, dipiindung /dipiinduŋ/ ‘dianggap ibu’;

4)

Konfiks/gabungan di- + pi- + ka-, misalnya: dipikahayang /
dipikahayaŋ/ ‘diinginkan’, dipikameumeut /dipikam əm ət/ ‘disayangi’,
dipikatineung /dipikatinəŋ/ ‘selalu diingat’;

5)

Konfiks/gabungan di- + sa- + -keun, misalnya: disaumpamakeun
/disaumpamakən/

‘disetingkatkan’

disakalikeun

/disakalik ən/

‘disatukalikan’;
6)

Konfiks/gabungan di- + -ar-, misalnya: dialajar (jamak)

‘belajar’,

ditalaksir ‘ditaksir’, ditalurut ‘diturut’;
7)

Konfiks/gabungan di- + -ar- + -an, misalnya: dibaredilan ‘ditembaki’;

8)

Konfiks/gabungan di- + -ar- + -keun, misalnya: ditaringgalkeun
/ditariŋgalkən/ (jamak) ‘ditinggalkan’;

9)

Konfiks/gabungan

di-

+

dilengkahkan /dilẽŋkahkan/
‘dibunuh’;

-an,

misalnya:

dicirian

‘ditandai’,

‘dilangkahi’; dipaehan /dipaẽhan/

22
10)

Konfiks/gabungan di- + -keun, misalnya: dijadikeun /dijadikən/
‘dijadikan’,

/dikudukən/

dikudukeun

‘diharuskan’,

ditujukeun

/ditujukən/ ‘ditujukan’, disebutkeun /disebutkən/ ‘disebutkan’;
11)

Konfiks/gabungan ka- + pi-, misalnya: kapisanggem /kapisaŋgem/
‘dikatakan/diucapkan’;

12)

Konfiks/gabungan ka- + -an, misalnya: kanyahoan ‘diketahui’,
kahujanan ‘kehujanan’, kadatangan /kadataŋan/ ‘didatangi’;

13)

Konfiks/gabungan

ka-

+

-keun,

misalnya:

kajeueungkeun

/

kajəəŋkən/ ‘terlihat olehnya’;
14)

Konfiks/gabungan

ka-

+

-keun,

misalnya:

kasurungkeun

/kasuruŋkən/ ‘terdorongkan’, kabejakeun /kabẽjakən/ ‘terberitakan’;
15)

Konfiks/gabungan

N-

+

pang-

+

-keun,

misalnya:

manglumpatkeun /maŋlumpatkən/ ‘melarikan’;
16)

Konfiks/gabungan

N-

+

pang-

+

-an

+

-keun,

misalnya:

mangnambihankeun /maŋnambihankən/ ‘menolong menambahkan’;
17)

Konfiks/gabungan N- + -pi + ka-, misalnya: mikaresep ‘menyenangi’;

18)

Konfiks/gabungan N- + ar- + -an, misalnya: nareangan (jamak)
/narẽaŋan/ ‘mencari’, nyarekelan /ñarẽkelan/ ‘memegang’;

19)

Konfiks/gabungan N- + ar- + -keun, misalnya: ngadalaptarkeun
/ŋadalaptarkən/ ‘mendaftarkan’;

20)

Konfiks/gabungan

N-

+

-an,

misalnya:

nyareken

/ñarẽken/

‘memarahi’, neangan /nẽaŋan/ ‘mencari’;
21)

Konfiks/gabungan N- + -an + i, misalnya: nyakseni /ñaksẽni/
‘menyaksikan’;

23
22)

Konfiks/gabungan N- + -keun, misalnya: museurkeun /musərkən/
‘memusatkan’;

23)

Konfiks/gabungan pang- + N- + -keun, misalnya: pangmeulikeun
/paŋməlikən/ ‘tolong belikan’;

24)

Konfiks/gabungan

pang-

+

N-

+

-an

+

-keun,

misalnya:

pangneangkeun /paŋnẽaŋkən/ ‘tolong mencarikan’;
25)

Konfiks/gabungan ting- + -ar-, misalnya: tingkarecewis /tiŋkarecewis/
‘berbisik-bisik’;

26)

Konfiks/gabungan

N-

+

-ar-,

misalnya:

ngaromong

(jamak)

/ŋaromoŋ/ ‘berbicara’.
Bahasa Sunda juga mengenal adanya kata kerja berimbuhan yang produktif
dan yang tidak produktif, di antaranya sebagai berikut:
A. Bentuk-bentuk yang produktif adalah :
1) Kata kerja berprefiks/awalan ba-;
2) Kata kerja berprefiks/awalan barang-;
3) Kata kerja berprefiks/awalan di-;
4) Kata kerja berprefiks/awalan ka-;
5) Kata kerja berprefiks/awalan N-;
6) Kata kerja berprefiks/awalan pa-;
7) Kata kerja berprefiks/awalan pada-;
8) Kata kerja berprefiks/awalan si-;
9) Kata kerja berprefiks/awalan silih-;
10) Kata kerja berprefiks/awalan ti-;
11) Kata kerja berprefiks/awalan ting-;

24
12) Kata kerja berinfiks/sisipan -ar13) Kata kerja berinfiks/sisipan-in-;
14) Kata kerja berinfiks/sisipan-um-;
15) Kata kerja bersufiks/akhiran -an;
16) Kata kerja bersufiks/akhiran-keun;
17) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + pang- + -keun;
18) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + pang- + N- + -keun;
19) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + pi-;
20) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + pi- + ka-;
21) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + sa- + -keun;
22) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + -ar-;
23) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + -ar- + -an;
24) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + -ar- + -keun;
25) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + -an;
26) Kata kerja berkonfiks/gabungan di- + -keun;
27) Kata kerja berkonfiks/gabungan ka- + -an;
28) Kata kerja berkonfiks/gabungan ka- + -keun;
29) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + pang- + -keun
30) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + pang- + -an + -keun;
31) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + -pi + ka-;
32) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + -ar-;
33) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + ar- + -an;
34) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + ar- + -keun;
35) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + -an;
36) Kata kerja berkonfiks/gabungan N- + -keun;

25
37) Kata kerja berkonfiks/gabungan pang- + N- + -keun;
38) Kata kerja berkonfiks/gabungan pang- + N- + -an + -keun;
39) Kata kerja berkonfiks/gabungan ting- + -ar-.
B. Bentuk-bentuk yang tidak produktif adalah :
1) Kata kerja berprefiks/awalan ma-;
2) Kata kerja bersufiks/akhiran -i (yang mungkin bergabung dengan imbuhan
lain;
3) Kata kerja konfiks/gabungan ka- + pi-;
4) Kata kerja konfiks/gabungan N- + -an + i.
2.

Afiks Pembentuk Verba Bahasa Indonesia
a. Verba berprefiks/berawalan dalam Bahasa Indonesia
1) Prefiks/awalan me-, misalnya: mengarang, mengusir, menghapus,
menyanyi,

menangis,

meramal,

menyabit,

menjala,

memaku,

menjanda, menyambal, menumis, menggulai, mengeong, mencicit,
melaut, mendarat, mengudara, merotan, mendamar, merumput,
membeo, membatu, mengapur, mengecat, memucat, membaik,
memburuk, merokok, mengantuk;
2) Prefiks/awalan ber-, misalnya: berpikir, berjuang, berjudi, bertanam,
bersantap, bernyanyi, bersawah, beternak, bertelur, berbunyi, berhasil,
berdisiplin, bertakwa, bersemangat, berdukacita, berpesta, berhamba,
berkuli,

bersitegang,

bertumbuk,

bersambut,

bertulis,

berhias,

berjawab, bercukur, bersisir, berguru, berdukun, bersatu, bersepatu,
berbaju, bernama, beristri, berkaki, berguna, bermobil, bersepeda,
berkeringat;

26
3) Prefiks/awalan per-, misalnya: pertuan, pertiga, perlima, perendah,
perbagus;
4) Prefiks/awalan ter-, misalnya: terikat, ternama, terhunus, tersirat,
tertulis, terkenal, terkenang, teringat, terkejut, terkenal, terpesona,
terangkat, terlihat, terdengar, terpojok, terhalang, terdesak, tertekan,
terapung, terbawa;
5) Prefiks/awalan ke-, misalnya: ketawa, kebaca, keangkat;
b. Verba bersufiks/berakhiran dalam Bahasa Indonesia
1) Sufiks/akhiran -in, misalnya, bacain, bikinin, doain, bohongin, jagain,
syukurin, kerasin, bagusin, kuatin, satuin, semuain, lebihin, kemanain,
gituin, ituin, giniin, ngabsenin, macarin, kedepanin;
c. Verba berkonfiks/gabungan dalam Bahasa Indonesia
1) Konfiks/gabungan ber-R, misalnya: berdua-dua, bermalas-malas,
berfoya-foya;

‘dibacakan’,

dipangdongengkeun

/dipaŋdoŋeŋk ən/

‘didongengkan’;
2) Konfiks/gabungan ber-an, misalnya: bersinggungan, bertabrakan,
berciuman, berlarian, bertebaran, berserakan;
3) Konfiks/gabungan ber-R-an, misalnya: berpeluk-pelukan, bersinggungsinggungan,

bercium-ciuman,

berlari-larian,

bertangis-tangisan,

berlompat-lompatan;
4) Konfiks/gabungan ber-kan, misalnya: berasaskan, bersenjatakan,
berdasarkan, bertaburkan, berhiaskan, bertatahkan;
5) Konfiks/gabungan ke-an, misalnya: kehilangan, kematian, kecurian,
kehujanan, kecopetan, kemalingan, ketahuan, kedapatan, kelewatan;

27
Selain prefiks, sufiks, dan konfiks, Bahasa Indonesia juga mengenal adanya
simulfiks, dan kombinasi afiks, di antaranya sebagai berikut:
d. Verba bersimulfiks dalam Bahasa Indonesia
1) Simulfiks N-, misalnya : membuat, nyambel, nyoto, nguping, ngorok,
ngebut, ngibul, nyoba, nyontek, ngelirik, nyuntik, ngerusak, ngelamun.
e. Verba berkombinasi dalam Bahasa Indonesia
1)

Kombinasi afiks me-i, misalnya: melempari, menanami, memotongi,
menggurui, merajai, menggarami, menguliti, menyusui, meyakini,
menaati,

membohongi,

mematuhi,

menghormati,

melebihi,

mengakui, mencintai, menuruni, menaiki, membasahi, memberesi,
membakari;
2)

Kombinasi afiks di-i, misalnya: makna kombinasi afiks di-i sejajar
dengan kombinasi afiks me-i;

3)

Kombinasi afiks me-kan, misalnya: menerbangkan, melemparkan,
melarikan,

mengemukakan,

mengebumikan,

menghitamkan,

melebihkan, menyatukan, membuatkan, mengatakan, menceritakan,
mebisikkan, menikamkan;
4)

Kombinasi afiks memper-, misalnya: memperpersuami, memperistri,
memperindah, memperbodoh, mempertebal;

5)

Kombinasi afiks diper-, misalnya: diperistri, dipersuami, diperindah,
diperbodoh, dipertebal;

6)

Kombinasi

afiks

mempertikaikan,

memper-kan,

misalnya:

memperdengarkan,

mempersoalkan,
mempertunjukkan,

28
mempermalukan,

mempersatukan,

memperdagangkan,

memperdayakan, mempermalukan, memperhitungkan;
7)

Kombinasi

afiks

dipersaudarakan,

diper-kan,

misalnya:

diperdengarkan,

dipertikaikan, diperdebatkan, diperhitungkan,

diperistrikan, dipersuamikan;
8)

Kombinasi afiks N-in, misalnya: ngeduluin, nyobain, ngerasain,
nyakitin, ngebagusin, ngapain;

9)

Kombinasi afiks ter-R, misalnya: tergopoh-gopoh, terhuyunghuyung, terseok-seok, termenung-menung, terapung-apung;

10)

Kombinasi afiks per-kan, misalnya: perlihatkan, pertunjukkan;

11)

Kombinasi afiks per-i, misalnya: perbaiki, perbarui;

12)

Kombinasi afiks ber-R, misalnya: berdua-dua, berempat-empat.

3. Persamaan Afiks Pembentuk Verba Bahasa Sunda dengan Afiks
Pembentuk Verba Bahasa Indonesia
Afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks pembentuk verba
bahasa

Indonesia

mempunyai

persamaan,

yaitu

sama-sama

memiliki

prefiks/awalan, sufiks/akhiran, dan konfiks/gabungan.
Adanya kesamaan antara morfem ‘juang’ dan ‘gerak’, baik dalam bahasa
Sunda maupun dalam bahasa Indonesia.
a. Bahasa Sunda

: Prefiks/awalan ba-

: bajuang

b. Bahasa Indonesia

: Prefiks/awalan ber-

: berjuang

29

4. Perbedaan Afiks Pembentuk Verba Bahasa Sunda dengan Afiks
Pembentuk Verba Bahasa Indonesia
Selain memiliki persamaan, afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan
afiks pembentuk verba bahasa Indonesia mempunyai perbedaan. Perbedaan itu
dapat dilihat, antara lain sebagai berikut:
a. Afiks pembentuk verba bahasa Sunda, memiliki : infiks/sisipan, adanya
kata kerja berimbuhan yang produktif dan yang tidak produktif.
b. Afiks pembentuk verba bahasa Indonesia, memiliki : simulfiks dan verba
kombinasi.

30

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa afiks pembentuk verba
bahasa Sunda terdiri dari : (1) Verba berprefiks/berawalan, seperti : ba-, barang, di-,
ka-, ma-, N- (dengan alomorf m-, n-, ng-, nga- ny-), pa-, pada-, si-, silih-, ti-, ting-. (2)
Verba berinfiks/bersisipan, seperti : -ar- (dengan alomorf -ar-, -al-, dan ra-), -in-, -um.
(3)

Verba

bersufiks/berakhiran,

seperti

:

-an,

dan

-keun.

(4)

Verba

berkonfiks/bergabungan, seperti : di- + pang- + -keun, di- + pang- + N- + -keun, di+ pi-, di- + pi- + ka-, di- + sa- + -keun, di- + -ar-, di- + -ar- + -an, di- + -ar- + -keun, di+ -an, di- + -keun, ka- + pi-, ka- + -an, ka- + -keun, ka- + -keun, N- + pang- + -keun,
N- + pang- + -an + -keun, N- + -pi + ka-, N- + ar- + -an, N- + ar- + -keun, N- + -an, N+ -an + i, N- + -keun, pang- + N- + -keun, pang- + N- + -an + -keun, ting- + -ar-, N- +
-ar-. Bahasa Sunda juga mengenal adanya kata kerja berimbuhan yang produktif
dan yang tidak produktif.
Afiks pembentuk
berprefiks/berawalan,

verba

seperti

bahasa
:

me-,

Indonesia
ber-,

terdiri

per-,

ter-,

dari
ke-.

:

(1)

Verba

(2)

Verba

bersufiks/berakhiran, seperti : -in. (3) Verba berkonfiks/bergabungan, seperti : ber-R,
ber-an, ber-R-an, ber-kan, ke-an. (4) Verba bersimulfiks, seperti : N-. (5) Verba
berkombinasi, seperti : me-i, di-i, me-kan, memper-, diper-, memper-kan, diper-kan,
N-in, ter-R, per-kan, per-i, ber-R.
Persamaan afiks pembentuk verba bahasa Sunda dengan afiks pembentuk
verba bahasa Indonesia, yakni : (1) sama-sama memiliki prefiks/awalan,
sufiks/akhiran, dan konfiks/gabungan. (2) Adanya kesamaan antara morfem
‘juang’ dan ‘gerak’, baik dalam bahasa Sunda maupun dalam bahasa Indonesia.

30

31

Bahasa Sunda

: Prefiks/awalan ba-

: bajuang

Bahasa Indonesia

: Prefiks/awalan ber-

: berjuang

Bahasa Sunda

: Prefiks/awalan ba-

: bagerak

Bahasa Indonesia

: Prefiks/awalan ber-

: bergerak

Perbedaannya: (1) Afiks pembentuk verba bahasa Sunda, memiliki :
infiks/sisipan, adanya kata kerja berimbuhan yang produktif dan yang tidak produktif.
(2) Afiks pembentuk verba bahasa Indonesia, memiliki : simulfiks dan verba
kombinasi.

B. Saran
Saran ditujukan bagi mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah Analisis
Kontrastif dan Analisis Kesalahan dalam pengajaran bahasa, khususnya bagaimana
memelajari ilmu analisis kontrastif yang memperbandingkan dua bahasa, yakni
bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) atau bahasa yang diperoleh melalui
berbagai pendidikan.
Penelitian ini hanya meneliti bagaimana perbandingan afiks pembentuk verba
dalam bahasa Sunda dan afiks pembentuk

verba dalam bahasa Indonesia,

diharapkan agar penelitian ini menjadi sumbangan dan inspirasi bagi mahasiswa
dan pengajar atau yang sedang melakukan penelitian mengenai anakon agar dapat
mengembangkan penelitiannya, sehingga menemukan afiks pembentuk adjektiva,
nomina, numeralia, dan interogativa baik dalam bahasa Sunda maupun dalam
bahasa Indonesia, kemudian dicari perbandingan di antara kedua bahasa tersebut.
Penelitian ini besar sekali manfaatnya bagi pembakuan, pembinaan, dan
pengembangan bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Bagi pembakuan
bahasa, hasil penelitian ini memberikan petunjuk mengenai bentuk-bentuk yang
dapat dijadikan struktur yang baku, misalnya yang frekuensinya paling tinggi; bagi
pembinaan bahasa, hasil penelitian ini memberikan arah tentang bentukan-bentukan

32
yang perlu dipelihara atau dipertahankan; dan bagi pengembang bahasa, penelitian
ini memberikan informasi tentang bentuk-bentuk yang perlu dikembangkan, misalnya
bentuk-bentuk yang frekuensinya rendah tetapi memiliki potensi yang tinggi karena
ketepatan maknanya. Bagi pengajaran bahasa, penelitian ini memberikan bahan
yang berharga karena yang dideskripsikan oleh penelitian adalah bahasa yang
hidup, yang berguna bagi para pelajar.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta, 1994.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
James, Carl. Contrastif Analysist. Longman : London, 1980.
Kentjono, Djoko Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, Penyunting :
Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Kridalaksana, Harimurti. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Prawirasumantri, Abud, Ahlan Husen, dan Elin Sjamsuri. Sistem Morfologi Kata
Kerja Bahasa Sunda. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979.

33