Pemilihan Gubernur Pasca Orde Baru Penga

rssN

VoI. 2 No. 1 Tahun 2011

2c8C-88S2

ffi' Jurn eI Ed
Pusat Etudi Informasi, Dokumentasi, dan Kesejru

Daftar

Isi

:

uBeqnuq BEsIA Oq?e

Provinsi Banten

pq-d.q .T.qhun


effi
-dan

29$

LeoAgustino].'...-'

2gg$

leqbqniling.qn Stfetegi gjleE petempqqrl
MemeRgngF.qn Kuqsi, Ai

Eeli Naswati
H.qml( bgn N#t.sin

ftihffi''ii.ffi

H.lr.,qrr.rl l

\rri I !ahtirr l,\o.2(2r;lIl


' PCnilthen

Gubernur pesce Orde Baru: Pengalaman
Provlnsi Benten pada Tahun 2OOl den 2006

[,eo
disi

"Agustino'

tini
pai
lan,

ht.
tsm

hn
t


fah
hah
I

b
tm

TN I bersiap menghadapi perlawanan pR R I di Bandara
Tabin g
Repro. Djawatan Penerangan provinsi Sumatera Barat, 1959

can

Ith

F

ie-


t:
;

*

Pensyarah kanan d.i program Sains politik, pusat pengajian
Sejarah, Politik dan

S_trategi (PPSPS),

i

hlas

Fakulti Sains Sosial dan Kemanrrr'i""r,
6SSrc;, Universiti
(UKM), 43600 Bangi, nA)"uri".
E-mail:

Kebangsaan Malaysia

Ieoagustino@gmail. com

Edita (Edilor Akademik),

J urnal Pus indok- IJ niv

e

rs

itas A ndalas

\l't t Trhiii. t t*i t-CDttl

ll,rt ,rUaN

*-*Ht-Altl.ril-W*]
2

ET;TTNTItrITTFIWIJ


Prnvinsi Banten: pcnguasaan ekonomi-politik oleh para iawara

Dendalruluan

tr

ikel ini membincangkan politik lokal di Indonesia pasca Orde
Baru, khususnya dalam memahami perkembangan politik di
Provinsi Banten. Untuk menspesifikasi analisisnya, maka politik

pasca Orde Baru yang dimaksud dalammakalah ini adalahdalamkonteks
pemilihan ke pala daerah(gubemur). Oleh karena pemilihan kepala daerah

pasca Orde Baru diadakan dalam dua model-melalui mekanisme
perwakilan dan pemilihan langsung, maka analisisnya pun mengikut
realita objektif tersebut. Agar ia memiliki fokus yang jelas, pemilihan
gubernur pada tahun 200I (yangmewakili pemilihan melalui mekanisme
perwakilan) dan tahun 2006 (pemilihan langsung) dipilih sebagai
justifikasi berlakunya perubahan dan juga perbedaan antua politik pada

masa Orde Baru dan pada era Orde Reformasi, serta menunjukkan pula
perbedaan antata pemilihan tidak langsung dan langsung. Karena
tumpuannya adalah mengenai keterampasan demokrasi, maka pada
kedua pemilihan gubemur tersebut dibahas tentang proses dan mekanisme
keterampasan tersebut.
Persoalan yang diajukan dalam artikel ini ialah apakah dengan
terjadinya pergeseran dari politik sentralisasi pada masa Orde Baru
kepada politik desentralisasi pada era Reformasi berlaku pula perubahan
politik di level lokal? Sejauhmanakah dampak perubahan tersebut ke
atas pemilihan kepala daerah di tingkat daeratt? Paling penting, bagaimana
proses dan mekanisme perampasan demokrasi di Banten pasca Orde
Baru dan pasca berpisah dengan Provinsi JawaBarut? Untuk menjawab
persoalan tersebut, uraian dan analisis dalam makalah ini dibagikan ke
dalam empat bagian. Pertama, menguraikan demografi provinsi Banten,
sambil membincangkan wujudnya penguasaan ekonomi-politik oleh elit
lokal yang dikenal sebagai jawara. Kedua, menganalisis pemilihan kepala
daerah legasi politik rejim Orde Baru (dalam makalah ini disebut 'politik
dalam ruangan'). Ketiga, membahas perubahan pemilihan kepala daerah
yang mencetuskan wujudnya komintas epsitemik dan kedinamikan politik
jelang pelaksanaan Pilkada tahun 2006. Keempat, menilai pemilihan

kepala daerah dan keterampasan demokrasi dalam pemilihan tersebut,
walaupun politik Indonesia telah tereformasi. Bahasan terakhir, kelima,
merumuskan sekaligus menutup semua pembahasan.

Pada Oktober 20lC lalu, Banten telah menginjak usianya yang
kcscpuluh walau pada dasarnya sebagai sebuah Kerajaan Nusantara,
Banten telah berusia lebih dari ratusan tahun. Sebagai sebuah provinsi
baru berdasar Undang-undang No. 23 tahun 2003, Banten menjadi
provinsi ke-30 yang terletak di ujung Barat pulau Jawa. Provinsi Banten
terdiri atas lima kabupaten dan tiga kota yaitu Kabupaten Serang,
Kabupaten Tanggerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang,
Kabupaten TanggerangSelatan, Kota Tanggerang, Kota Cilegon dan Kota
Serang. Luas wilayah provinsi ini adalah 8.800,83 Km2 dengan jumlah
pendudukan 9.083.144 jiwa (BPS 2005:9).
Kehadiran Banten sebagai sebuah provinsi merupakan menifestasi
dari beberapa tuntutan. Pertama, terkait dengan tuntutan untuk lebih
memajukan (pertumbuhan dan pemerataan) ekonomi yang lebih nyata
bagi paru warganya sehingga level kesejahteraan rakyat meningkat.
Kecenderungan ini memang sangat tergambar ketika Banten masih
menjadi bagian dari Jawa Barat. Gambaran bahwa Banten merupakan

daerah terbelakang yang tertinggal selama bergabung dengan JawaBarat
menjadi bukti bagaimana warga Banten menghendaki pemisahan diri
agar mampu mengelola sumber-sumberdaya yang dimilikinya guna
peningkatan kesejahteraan warga. Hal ini wajar jika dilihat orientasi
pembangunan Jawa Barat ketika itu lebih menitikberatkan kepada la'wa
Baratbagian Tengah danbagianTimur, berbanding dengan pembangunan
dan pemerataan di Jawa Barat bagian Barat (Banten). Kedua, terkait
dengan tuntutan ke atas perbedaankultur. Tidak dapat dipungkiri bahwa
di Indonesia berkembang dua sistem politik yakni (i) politik coastalmaritime (pesisir) dan (ii) politik inland-agrarian (pedalaman) (Hoadley
1998:153-176). Kedua nuansa politik ini tidak hanya berkembang di
Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara secara umumnya. Kedua sistem
politik ini memberikan khazanah yang berbeda atas kultur yang
berkembang bagi w arga masyarakatnya. Misalnya, dalam kontels politik
coastal-maritime tendensi bahwa politik lebih egaliter, terbuka, dan
terbukanya posisi tawar yang luas menjadi logika-logika politik yang
mempengaruhi perilaku warga. Sedangkan dalam konteks politik inlandagrarian tendensi akan cara pandang yang sempit, tidak terbuka, posisi
tawar yang tak memiliki ruang menjadi episteme yang berkembangbagi
warga masyarakatnya. Banten merupakan identik dengan nuansa politik

%llt$ItitihtEott)


'"..G
I

lrr.,rull.t

4

yang pertama sedangkan Jawa Barat yang Pasundan lebih bernuansa
politik inland-agrarian. Ketiga, tuntutan untuk mengembalikan jatidiri
Banten sebagai daerah yang berwibawa, maju, serta religius seperti pada
era kejayaan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh penduduk Provinsi Banten
yang terbesar adalah industri pengolahan yang jumlahnya mencapai
49,76%; disusul dengan: perdagangan, hotel, dan restoran 77 ,I3 persen;
pengangkutan dan komunikas i 8,58o/o; pertanian 8,5 4o/o; jasa-jasa 4,99o/o;
listrik, gas, dan airbersih4,87%o; keuangan, persewaan danjasa perusahaan
3,29oh; bangunan 2,73%o; serta pertambangan dan galian O,llyo. Kegitan
ekonomi di atas tidak menggambarkan realitas faktual kehidupan
ekonomi masyarakat Banten pada umumnya. Ini karena kehidupan

ekonomi masyarakat Banten pada umumnya bersifat agraris dengan
sektor yang dipekerjakan adalah perkebunan, kehutanan serta pertanian.
Tumbuhnya industri pengolahan di Banten hanya berkembang di daerahdaerah khusus seperti perkotaan dan perindustrain yang telah dilokalisasi.
Kawasan ini terdapat di Banten sebelah Utara. Karena itulah, sektor
perekonomian di Provinsi Banten terbelah menjadi dua kategori yang
sangat diametral. Banten Utara meliputi Kota Tanggerang, Kabupaten
Tanggerang, Kabupaten Tanggerang Selatan, Kabupaten Serang, Kota
Serang dan Kota Cilegon memfokuskan bidang ekonominya dalamhal
industri.t Manakala Banten Selatan yang terdiri dari Kabupaten Lebak
dan Kabupaten Pandeglang mengorientasikan diri pad,a peftanian,
perladangan perkebunan dan kehutanan.
Islam merupakan agama mayoritas penduduk di Banten. Selain
jumlah pemeluk agama Islam yang sangat banyak, di Banten pun tumbuh
berjamur pesantren-pesantren sebagai tempat masyarakat Banten yang

tAda lebih kurang tujuhbelas kawasan industri strategis di Banten Utara yang
memberikan kontribusi signifikan atas pendapatn daerah provinsi. Hal ini bisa dilihat
melalui Pendapatan Dosmetik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh empat kota
dan kabupaten di Banten Utara, yang berluas 3. 193,97 kilometer persegi, sebesar 88,987o

bagiPDRBprovinsiyangbernilaiRp.6l,35triliun. BahkanKotaTanggerang,sebagai
contoh, dapat memberikan konffibusi sebesar 34,2Vo padaAPBN Provinsi Banten tahun

2@5 lalu, dan Kabupaten Tanggerang26,83Vo. Sedangkan untuk Banten Selatan
(Kabupaten Irbak dan Kabupaten Pandeglang) hanya memiliki PDRB (Produk Domesrik
Regional Bruto) sebesar Rp.3,28 triliun (5,367o) dan Rp.3,36 triliun (5,48Ea). Lihat BPS
(2005), untuk data yang lebih komprehensif.

Till'ii,n

---TTTalirinInfUU-

I

bcrlgtrr lslam rncngaktualisasikan kcyakinan rcliginya. Jadi tidak hcran
lplbil;r lJantcn diidentikkan dengan daerah yang rcligius yang mclahirkan
banyak ulama bcsar antaranya Sycch Nawawi al-Bantani. Secara
scclcrhana, dcmografi Provinsi Banten dapat dilihat dalam Tabel 1 di
bawah ini.

Tabel

Kota

I

Provinsi Banten dalam angka

184

1.325.854

1.488.666

8.091

175,5

294.936

331.872

1.89'l

1.724,09

1.652.763

1.834.514

1.064

1.1 10,38

2.781.428

3.194.282

2.877

2.859,96

1.030.040

1.1

32.899

396

2.746,9

1.01 1.788

1 .1

00.91

401

8.800,83

8.096.809

9.083.144

Tanooerano
Kota

Cileoon
Kabupaten
Serano
Kabupaten
Tanooerano
Kabupaten
Lebak
Kabupaten
Pandeolano

Total

1

1.032

Sumber: Diolah dari BPS (2005).
Sejarah sosial Banten tidak dapat dilepaskan dari peran ulama dan
jawara. Proses munculnya dua kekuatan ini di tanah Banten dari dapat
ditelusuri mulai pada.Nbad ke-19. Dua kekuatan ini muncul manakala
tekanan dari penjajah kolonial terhadap warga masyarakat Banten
scmakin mengimpit sehingga pada akhirnya mencetuskan perlawanan
politik di level lokal yang dimotori oleh elit pesantren yang dipimpin
oleh kyai. Pimpinan pesantren atau kyai yang melakukan perlawanan
mcmpunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan
kcmampuannya-yang pada akhirnya dibedakan menjadi ulama dan
,jawara. Santri mempunyai kemampuan ata:u bakat dalam bidang ilmu
agama dan mengembangkan kemampuannya dalam bidang ilmu hikmah
yang dikemudian hari kclak disebut dengan istilah ulama. Sedangkan
santri yang memiliki kemampuan atau bakat dalam bidang kanuragan
(kekuatan lahir atau bela diri) disebut dengan istilah jawara (Nina H.
Lubis 2004:127), IGkompakan santri-ulama dan santri-jawara di bawah

v*--?tE;!f-Ir-q

Trrffif*-'-l

kcpemimpinan kyai inilah yang kemudiannya menjadi kunci kebcrhasilan
perjuangan masyarakat Banten melawan kekuatan penjajah Belanda pada
abad tersebut di atas.
Tetapi dengan berjalannya waktu, gambaran mengcnai santri-jawara
yang baik lambat laun memudar karena perilaku mereka yang tidak lagi
mengindahkan perintah para kyainya. Hal ini disebabkan oleh karena
kekacauan yang timbul pasca penghapusan Kesulatanan Banten oleh
Daendels pada abadke- I 9. Dalam keadaan masyarakat yang kacau, setiap
orang berusaha untuk menunjukkan dirinya sebagai penguasa yangdapat
menertibkan kekacauan yang tengah terjadi. Kendati demikian, di sisi
lain, ada juga orang-orang yang justru memanfaatkan kekacauan untuk
kepentingannya sendiri ataupun kelompoknya. Mereka merampok,
membegal, menggarong serta melakukan perbuatan di luar hukum yang
menambah ketidakstabilan sosiopolitik pada masa itu. Disinyalir
melakukan perampokan, pembegalan, serta penggdongan tersebut ialah
para jawara yang memang memiliki kemampuan fisik yang sangat baik
serta memiliki ilmu hikmah yang sempat diterimanya dari parakyaiyang

--"Miltfr
hal positif'maupun ncgltif'. Dapat disimpulkan, awalnya jawara bcrjuang

rrrrtuk kcpcntingan warga Banten, tetapi ketika kekacauan muncul ia
luar dari scmangat juangnya mcnuju pembelaan siapa yang membayar.2

ke

r l)cran sosial yang sering diberikan kepada para jawara antaranya, pertama,
jadi.fcrc
(lurah). Di daerah perdesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa
rncn
yirng diketuai oleh seorang kepala desa yang disebut jaro. Asal-usul penggunaan
kilir .jaro sampai saat ini belum jelas sejak kapan kata tersebut digunakan untuk
rrcnunjukan suatujabatan administrasi perdesaan. Tetapi merujukM.A. Tihami (2OOZ),
krrta atau istilahjaro itu berasal dari bahasaArab'jar' yang berarti 'tetangga.' Sebuah
tlcsa di Banten pada zaman dahulu terdiri atas kolektivitas keluarga yang disebut
dcngan kejaroan dan pemimpin komunitas keluarga ini disebut sebagai jaro. Oleh
scbab itu, seorangjaro mempunyai tugas untuk memimpin sebuah kejaroan (kelurahan)

ltau kumpulan keluarga-keluarga yang menghimpun dalam suatu daerah tertentu. Pada
zilman Kesultanan Banten, jaro diangkat oleh Sultan. Tugas ttama jaro adalah
mengurus kepentingan kesultanan seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga

dulu menjadi guru mereka. Akibatnya, sebutan jawara menjadi

untuk kerja bakti (Sartono Kartodirdjo 1984:81). Dalam pekerjaan sehari-harinya,
scorangjarodibantuolehpejabat-pejabatlainseperti carik(sekretarisjaro),jagakersa
(keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot

terkontaminasinyanya dari arti yang bersih menjadi tidak baik. Malah
dalam perkembangan selanjutn y a, y ang diperkuat oleh sosialisasi intensif
penjajah Belanda, jawara merupakan singkatan dari jalma wani rampog
(orang yang berani merampok) atau joltna wani rahul (orang yang berani
berbohong atau menipu) (Sartono Kartodirdjo 1984:43).
Gambaran ini terus terbawa hingga Abad ke-2A. Misalnya dapat
ditelusuri dalam teks memoie van ovelgave (serah terima jabatan Residen
Banten) F.G. Putnam Craemer, Residen Banten ke-34 yang berkuasa di
Banten arLtara tahun 1925-1931. Dalam memoar tersebut dituliskan
bahwa jawar a pada awalnyamerupakan organisasi pemuda yang bertujuan
untuk menolong sesama watga dalam banyak hal, misalnya dalam hal
penyelenggaraan pernikahan, sunatan dan lain-lain. Tetapi lama ke
lamaan pekerjaan 'menjaga'ketertiban dan keamanan hajatan menjadi
pekerjaan yang'harus' diselenggarakan oleh kelompok jawara, apablla
tidak diserahkan kepada mereka, maka kelompok ini membuat keributan
dan keonaraan sepanjang hajatan diadakan. Aktivitas jawara ini tidak
hanya terekam oleh tulisan F.G. Putnam Craemer di Distrik Menes
(Kabupaten Pandeglang) di mana kelompok ini besar, tetapi meluas
hingga keluar dari Distrik Menes. Mereka kemudian menjadi kelompok
yang ditakuti oleh banyak pihak termasuk para Binnenlandsch Bestuur
dan Inlandsch Bestuur (Pangreh Praja). Konteks kejawaraan ini akhirnya
dimanfaatkan oleh p4ra oratg-orang memerlukan jasanya baik dalam

ntoditt (pengurus masalah-masalah keagamaan). Kedua, jawara mempunyai peran
sosial sebagai guru silat dan atau guru ilmu kebatinan. Sejarah ilmu persilatan di
Banten memiliki akar yang sangat panjang. Misalnya, di dalam Serat Centhini
disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah paguron (perguruan) atau
pudepokan di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang, sebagai
tempat masyarakat belajar ilmu silat maupun sebagai tempat belajar ilmu kebatinan
(van Bruinessen 1999:25). Paguron-paguron atau padepokan-padepokan biasanya
dipimpin dan dibina oleh para tokoh jawara besar. Mereka mengajarkan ilmu yang ia
miliki kepada murid-muridnya dalam rangka mengekalkan ilmu para leluhur atau ilmu
yang dikembangkannya sendiri. Masyarakat Banten mengenal pelbagai macampaguron
seperti Terumbu, Jalak Rawi, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande dan
sebagainya. Kini semua p aguron dan padepokan di Banten ada dalam sebuah wadah
organisasi formal yang disebut Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten
lndonesia (PPPSBBI). Bukan hanya ilmu silat yang lebih mengedepankan olah fisik,
tetapi juga para jawara seringkali mengajarkan beberapa ilmu kebatinan pada para
rnuridnya. Ilmu kebatinan ini biasanya digunakan untuk memenuhi keperluan praktis
untuk menjaga diri atau menjaga keamanan serta ketertiban ketika mereka menjadi
tokoh penting di desa-atau menjadi penjaga keamanan. Beberapa ilmu kebatinan
yang popular dikcnul olch masyarakat Banten ialah kebal dari berbagai senjata tajam,
tahan dari pBngsny0 api,ltn4jtutrusli (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat),
ilmu pengusir jin atnu setnn, li.ycrl(mengendali sesuatudari jarak jauh),puter giling
(untuk memutor kcmbrll nt&u mcnemukan kembali orang yang hilang atau kabur), ilmu
untuk rncnaklukln blnrhnj trng berbisu utau berbahaya dan sebagainya (M.A. Tihami
l'992 157- 166). Katln' pfrl ro:lrljewrrn scbagai tentara wakaf. Pada masa Orde
irtau

Menyadari potensi sosiopolitik yang sangat sentral, pcmcrintah
Orde Baru pun melakukan politik akomodasi terhadap kelompok jawara.
Politik akomodasi ini dilakukan dengan cara menjadikan para jawara
sebagai kepanjangan tangan pemerintah Orde Baru. Pada tahun 1971
misalnya, diadakan kongres yang berusaha untuk mengorganisir kelompok
ini. Hasilnya adalah terbentuk satu organisasi Satuan Karya (Satkar)
jawara di Batukuwung, Serang (Abdul Hamid 2006). Satkar Jawara
dibentuk bersamaan dengan pembentukan Satkar Ulama yang memang
didesain untuk menjadi organisasi otonom di bawah Golongan Karya
dalam rangka menghimpun kekuatan potensial iawara di Banten-yang
merupakan kekuatan informal di Jawa Barat bagianBarat.
Dalam perspektif lain, politik akomodasi yang dilakukan oleh rejim
Orde Baru merupakan cara untuk menyekat kekuatan formal di Banten
yang berencana untuk membentuk Provinsi Banten. Keinginan untuk
meningkatkan status Banten menjadi provinsi sebenarnya telah datang
jauh sebelum Orde Baru berkuasa, yakni pada tahun 1953. Pada tahun
tersebut pemerintah Republik Indonesia memberikan status Daerah
Istimewa kepada Yogyakarta. Bersamaan dengan itu pula muncul tuntutan
dari rakyat Aceh untuk mengistimewa daerahnya. Dari sinilah awal
keinginan rakyat Banten untuk menjadi provinsi yang terpisah dari Jawa
Barat. Keistimewaan Banten, menurut rakyat Banten misalnya, ketika
terjadi pendudukan Belanda pada masa kolonial, rakyat Banten tidak
pernah menyerah begitu saja kepada penjajah Belanda. Bahkan ketika

Belanda melakukan blokade terhadap Banten, Banten justru

mengeluarkan mata uang sendiri guna melangsungkan kehidupannya
(Halwany Michrob & A. Hudjahis Chudari 1993:284). Inilah di antara

Baru, 'tentara wakaf'dijadikan alat oleh Golongan Karya (Golkar) sebagai satuan
pengamanan. Namun ketika terjadi transfromasi politik pada tahun 1998, 'tentara wakaf'
ikut merubah pandangan politiknya. Saat ini 'tentara wakaf'terlihat mulai bersikap
netral dengan tidak berafiliasi pada satu pun partai politik. Oleh karena itu, jika ada
ajakan dan tawaran untuk menjaga keamanan ataumembantupolisi dalam hal keamanan
dan ketertiban, 'tentara wakaf' lebih terbuka dan menerima tawaran tersebut tanPa

harus melihat afiliasi politik. Peran jawara sebagai 'tentara wakaf' dari dulu sampai
dengan sekarang dikelola oleh PPPSBBI. Untuk perbincangan lebih lanjut mengenai
semua hal ini, rujuk inter alia, Halwany Michrob & A. Mudjahid Chudari (1993),
Mohamad Hudaeri (2002), Nina H. Lubis (2W6) dan Abdul Hamid (2006).

kcistirncwaan lJantcn. Karcna itu, wajarapabila rakyat Bantcn menuntut
hak yang sama untuk dijadikan provinsi tcrsendiri, selain memang secara
kultural lJanten berbeda dengan Jawa Barat Namun tuntutan ini tidak
ditanggapai scrius oleh pemerintah, sehingga keinginan tersebut tidak
dapat terkabul.
Pada tahun 1963, wacana pembentukan Provinsi Banten kembali
mencuat ke perukaan. Wacana pembentukan provinsi Banten datang
dan diorganisir oleh Bupati Serang ketika itu, M.H. Gogo Rafiudin
Sandjadirdja, dengan membentuk Panitia'Pembentukan Provinsi Banten'
(PBB) di Pendopo Kabupaten Serang.3 Berangkat dari pengalaman
sebelumnya-yang tidak nihil akan sokongan ral