ENDAPAT ULAMA TENTANG SHALAT ORANG YANG

ENDAPAT ULAMA TENTANG SHALAT ORANG YANG TERKENA MACET
LALU LINTAS
1. Pendapat Pertama. Shalatnya dilaksanakan ketika telah sampai tujuan
Berdasarkan keterangan di dalam kitab Fathul Muin hal 118 yaitu pada pasal yang menjelaskan
tentang mengetahui masuk waktu shalat.

‫واعلم ان الصلةا تجب باول القت وجوبا موسعا فله التاخير من اوله الى وقت‬
‫يسعها بشرط ان يعزم على فعلها فيه ولو ادرك فى الوقت ل دونها فالكل اداء وال‬
‫فقضاء وياثم باخراج بعضها من الوقت وان ادرك ركعة‬
Ketahuilah bahwa shalat wajib dikerjakan pada awal waktunya sebagai kewajiban yang waktu
pelaksanaannya luas. Orang boleh menundanya sampai pada waktu yang diperkirakaan masih
cukup untuk shalat dengan syarat berazam (bermaksud) untuk mengerjakannya sejak awal. Bila
seseorang masih mendapatkan waktu shalat untuk satu rakaat saja maka shalatnya dianggap
shalat adaa, jika tidak mendapatkan maka shalatnya dianggap qadla. Melakukan separuh shalat
diluar waktu berdosa sekalipun masih ada satu rakaat yang dilakukan pada waktunya.
2. Pendapat kedua. Dibolehkan menjamak shalatnya.
a. Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam Bughyatul Mustarsyidin yaitu :
“kami mempunyai pendapat yang membolehkan jamak bagi seseorang yang tengah menempuh
perjalanan singkat yang telah dipilih oleh Syekh Albandaniji. Sebuah hadis mengungkapkannya
dengan jelas, walaupun jamak dilakukan oleh hadirin (bukan musafir) seperti tercantum dalam
Syarah Muslim. Dari Abu Ishak, Alkhatthabi menceritakan kebolehan jamak dalam perjalanan

singkat karena suatu hajat. Hal ini boleh saja meskipun bukan dalam kondisi terganggunya
keamanan, hujan lebat, dan sakit. Ibnul Munzir pun memegang pendapat ini,”
b. Keterangan yang terdapat di dalam Kifayatul Akhyar
“Menurut Imam Nawawi, Pendapat yang membolehkan jamak sembahyang bagi orang sakit,
sudah terang. Dalam shahih Muslim, Nabi Muhammad SAW menjamak sembahyang di kota
Madinah bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Menurut Imam
Asna’i, Pilihan Imam Nawawi didasarkan pendapat Imam Syafi‘i yang tercantum dalam kitab
Mukhtasar Imam Muzanni. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan dimana alasan sakit
laiknya perjalanan jauh menjadi alasan sah orang untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja
boleh dibatalkan, maka penjamakan sembahyang lebih mendapat izin. Bahkan sekelompok
ulama membolehkan jamak bagi hadirin untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak bisa
menjadi sebuah kebiasaan. Abu Ishak Almaruzi memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari
Syekh Qaffal yang diceritakan oleh Alkhatthabi dari ahli hadis. Ibnul Munzir Syafi‘i dan Syekh
Asyhab Maliki menganut pendapat di atas.
Berikut ini pendapat Ibnu Sirin yang diperkuat oleh cerita Ibnu Abbas. Ketika sebuah hadis
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. menjamak sembahyang zuhur dengan Asar, dan Magrib
dengan Isya bukan dalam kondisi terganggunya keamanan maupun hujan lebat, Ibnu Abbas
berkomentar bahwa dengan jamak itu, Rasulullah SAW. tidak mau menyusahkan umatnya. Saat
Said bin Jubair bertanya, ‘Mengapa Rasulullah SAW. melakukannya?’ Ibnu Abbas menanggapi,
‘Rasulullah SAW. tidak mau merepotkan umatnya. Karena itu, Beliau melakukannya tanpa sebab

sakit atau alasan lain,’” .

“Sebagian ulama mazhab Syafi‘i dan mazhab lain, secara mutlak membolehkan jamak takdim
bagi hadirin, tidak sakit, atau alasan lain. Syekh Namari menyebutkan ulama yang sejalan
dengan pendapat di atas, antara lain Ibnu Sirin, Rabi‘ah, Qaffal Shagir, Asyhab Maliki, Ibnul
Munzir Syafi‘i, Qaffal Kabir, dan Ahmad bin Hanbal. Sementara sejumlah ulama membolehkan
jamak dengan catatan tidak untuk kebiasaan. Jumlah mereka ini tidak terhitung. Hukum fikih di
atas berlaku untuk jamak takdim. Sedangkan untuk jamak takhir, ulama dengan jumlah besar
membolehkannya,”
(Disarikan dari hasil Bahtsul Masa’il Musyawarah Kerja Cabang (Mukercab) PCNU Jakarta
Selatan pada 7 Februari 2010. Redaktur: Alhafiz Kurniawan)
3. Pendapat ketiga. Tetap melaksanakan shalat pada waktunya.
Orang yang terjebak dalam kemacetan harus tetap melaksanakan shalat pada waktunya agar tidak
keluar waktu shalat, akan tetapi apakah ia melakukan shalat di dalam mobil atau di luar? jika ia
mampu untuk mengerjakan shalat yang diwajibkan di luar mobil dengan menghadap kiblat maka
inilah yang wajib ia kerjakan. Dan apabila ia tidak mampu dalam artian kepadatan tersebut
(antara kendaraan) menempel rapat (sampai-sampai) ia tidak mampu untuk keluar dan tidak
mendapatkan tempat untuk shalat, melakukan ruku’ atau sujud maka jawaban kami untuk
keadaan seperti ini adalah, boleh baginya melakukan shalat di atas kendaraannya yakni mobilnya
dan disyaratkan baginya menghadap kiblat ketika memulai takbir, kemudian (menyempurnakan)

shalatnya kemana pun arah kendaraannya. Maka ruku’nya dengan merunduk dan sujudnya lebih
rendah lagi, berdasarkan hadits Ya’la bin Murrah riwayat Al Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan yang
lainnya, bahwa Ya’la pernah bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di tempat yang sempit
lalu datanglah awan dan tanah pun basah, kemudian tiba waktu shalat, lalu nabi memerintahkan
muadzin untuk mengumandangkan adzan, maka ia mengumandangkan adzan dan iqamah dan
nabi pun shalat di atas kendaraanya. Ya’la berkata: “Beliau (shalat dengan –ed) merunduk dan
sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
(Rekaman tanya jawab dgn Asy-Syaikh Abdullah Al Bukhari.
KUMPULAN HADITS SHAHIH MUSLIM - KITAB SHALAT (bagian 2) "
14. Makmum harus mengikuti imam

Hadis riwayat Anas bin Malik ra. dia berkata:
Nabi saw. pernah jatuh dari kuda sehingga lambung kanan beliau robek. Kami datang
menjenguk. Saat tiba waktu salat, beliau salat bersama kami dengan duduk dan kami pun
salat di belakang beliau dengan duduk. Usai salat beliau bersabda: Sesungguhnya
seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Jadi, apabila dia bertakbir, bertakbirlah. Bila dia
sujud, sujudlah. Bila ia bangun, bangunlah. Bila ia membaca "sami`allahu liman
hamidah", bacalah "rabbanaa lakal hamdu" dan bila ia salat dengan duduk, salatlah
dengan duduk pula. (Shahih Muslim No.622)


Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah sakit. Para sahabat datang menjenguk beliau. Kemudian beliau
salat dengan duduk. Para sahabat bermakmum pada beliau dengan berdiri. Beliau
memberi isyarat kepada mereka agar duduk, maka mereka pun duduk. Selesai salat beliau
bersabda: Sesungguhnya seseorang dijadikan imam hanyalah untuk diikuti. Jadi apabila
ia rukuk, maka rukuklah kalian, bila ia bangun, maka bangunlah kalian dan bila ia salat
sambil duduk, maka salatlah kalian sambil duduk. (Shahih Muslim No.623)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Karena itu,
maka janganlah kalian menyalahinya. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, bila
ia rukuk, maka rukuklah kalian, bila ia membaca "sami`allahu liman hamidah", maka
bacalah "Allahumma rabbanaa lakal hamdu", bila ia sujud, maka sujudlah dan bila ia
salat sambil duduk, maka salatlah kalian sambil duduk. (Shahih Muslim No.625)
15. Imam mengangkat seseorang untuk menggantikannya apabila ia uzur, seperti sakit,
bepergian atau lainnya, makmum harus berdiri di belakang imam yang duduk selama ia
mampu, penghapusan hukum duduk di belakang imam yang duduk bagi makmum yang
mampu berdiri


Hadis riwayat Aisyah ra.:
Dari Ubaidillah bin Abdullah, ia berkata: Aku menemui Aisyah dan berkata: Maukah
Anda menceritakan kepadaku tentang sakit Rasulullah saw? Ia berkata: Nabi saw.
menderita lemah sekali, beliau bersabda: Apakah para sahabat sudah salat? Kami jawab:
Belum, mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air
untukku di bak. Kami pun melakukannya lalu beliau mandi. Setelah itu, saat ingin
bangkit beliau pingsan. Ketika siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah salat?
Kami jawab: Belum. Mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda:
Tuangkan air untukku di bak. Kami mengerjakannya dan beliau mandi. Saat akan berdiri
beliau pingsan lagi. Setelah siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah salat?
Kami jawab: Belum, mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda:
Tuangkan air untukku di bak. Kami mengerjakannya dan beliau mandi. Ketika akan
bangun beliau pingsan lagi untuk yang ketiga kalinya. Pada waktu siuman beliau
bertanya: Apakah para sahabat sudah salat? Kami jawab: Belum. Mereka menunggu
baginda, wahai Rasulullah. Para sahabat telah berkumpul di mesjid menunggu Rasulullah
saw. untuk salat Isyak. Beliau memerintahkan seseorang menemui Abu Bakar agar ia
mengimami salat. Tiba di hadapan Abu Bakar, ia berkata: Rasulullah saw. memerintahkan
Anda untuk mengimamai salat sahabat lainnya. Abu Bakar adalah seorang yang lembut
hati, ia berkata: Wahai Umar, imamilah mereka itu! Umar berkata: Anda lebih menjadi
imam mereka. Akhirnya Abu Bakar mengimami salat mereka selama beberapa hari.

Ketika sakit Rasulullah saw. agak ringan, beliau keluar untuk salat Zuhur, dibantu oleh

dua orang, salah satunya adalah Abbas. Saat itu Abu Bakar akan mengimami sahabat.
Ketika ia melihat Rasulullah saw. datang, ia mundur untuk menunda (salat). Nabi saw.
memberi isyarat kepadanya agar jangan ditunda. Kemudian beliau memerintahkan kedua
orang yang memapah beliau: Dudukkan aku di sampingnya. Mereka mendudukkan beliau
di samping Abu Bakar. Maka Abu Bakar salat berdiri bermakmum kepada Rasulullah
saw., para sahabat yang lain bermakmum kepada Abu Bakar dan Rasulullah saw. saat itu
salat sambil duduk. (Shahih Muslim No.629)

Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Bahwa Abu Bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah saw. sakit yang membuatnya
wafat, pada hari Senin, ketika berbaris dalam salat, Rasulullah saw. menyingkap tirai
kamar dan memandang kami dengan berdiri. Wajah beliau putih seperti kertas, beliau
tersenyum. Kami yang sedang salat terpukau karena gembira dengan keluarnya
Rasulullah saw. Kemudian Abu Bakar mundur untuk ke barisan pertama. Ia mengira
bahwa Rasulullah saw. keluar untuk salat. Rasulullah saw. memberi isyarat tangan kepada
mereka agar terus menyempurnakan salat. Lalu beliau masuk lagi dan menurunkan tirai
kamar. Pada hari itu Rasulullah saw. wafat. (Shahih Muslim No.636)


Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:
Rasulullah saw. sakit dan semakin bertambah parah. Beliau bersabda: Perintahkan Abu
Bakar agar mengimami salat kaum muslimin. Aisyah berkata: Wahai Rasulullah, Abu
Bakar adalah seorang yang berhati halus. Kalau ia menempati tempat baginda, ia tidak
akan mampu mengimami salat Kaum muslimin. Beliau bersabda: Perintahkan Abu Bakar
agar mengimami salat kaum muslimin. Kalian ini seperti teman-teman Yusuf (dalam
berdebat). Abu Musa berkata: Kemudian Abu Bakar mengimami salat mereka ketika
Rasulullah saw. masih hidup. (Shahih Muslim No.638)
16. Jamaah menunjuk seseorang untuk mengimami mereka bila imam yang tetap
terlambat datang dan mereka tidak khawatir akan timbul masalah akibat penunjukan
tersebut

Hadis riwayat Sahal bin Saad As-Saidi ra.:
Bahwa ketika Rasulullah saw. pergi ke Bani Amru bin Auf untuk mendamaikan
pertikaian di antara mereka, maka ketika tiba waktu salat, seorang muazin datang kepada
Abu Bakar lalu berkata: Maukah engkau mengimami salat orang-orang. Lalu saya
mengiqamati? Abu Bakar menjawab: Ya. Kemudian Abu Bakar salat. Ketika orang-orang
sedang salat, Rasulullah saw. datang. Beliau maju perlahan hingga sampai barisan awal.

Melihat itu orang-orang bertepuk tangan, tetapi Abu Bakar tidak menoleh. Ketika tepuk

tangan semakin riuh ia menoleh dan melihat Rasulullah saw. Beliau mengisyaratkan Abu
Bakar agar tetap di tempatnya. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya seraya memuji
Allah 'azza wa jalla sesuai dengan yang diperintahkan Rasulullah saw, lalu mundur
sehingga sejajar dengan barisan awal. Setelah itu Nabi saw. maju dan salat. Usai salat,
beliau bersabda: Hai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempatmu
ketika aku suruh? Abu Bakar menjawab: Tidak layak bagi anak Abu Quhafah salat di
hadapan Rasulullah saw. Beliau bersabda lagi: Mengapa kalian bertepuk tangan? Barang
siapa yang ingin mengingatkan sesuatu di dalam salat, hendaknya ia bertasbih, karena
bila ia bertasbih, ia akan ditoleh. Tepuk tangan hanya untuk wanita. (Shahih Muslim
No.639)
17. Bertasbih bagi lelaki dan tepuk tangan bagi wanita jika ingin mengingatkan sesuatu di
dalam salat

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. pernah bersabda: Bertasbih untuk lelaki dan tepuk tangan untuk wanita.
(Shahih Muslim No.641)
18. Perintah membaguskan, menyempurnakan dan khusyuk dalam salat

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Suatu hari Rasulullah saw. mengimami salat kami. Usai salat beliau bersabda: Hai fulan,

mengapa engkau tidak membaguskan salatmu? Tidakkah orang yang salat merenungkan
bagaimana salatnya? Sesungguhnya ia salat untuk dirinya sendiri. Demi Allah, sungguh
aku dapat melihat belakangku, sebagaimana aku melihat depanku. (Shahih Muslim
No.642)

Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sempurnakanlah rukuk dan sujud, demi Allah,
sesungguhnya aku dapat melihat engkau di belakangku (kemungkinan bersabda: yang di
belakang punggungku) saat engkau rukuk atau sujud. (Shahih Muslim No.644)
19. Larangan mendahului imam dalam rukuk, sujud atau lainnya


Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Muhammad saw. pernah bersabda: Apakah orang yang mengangkat kepalanya sebelum
imam, tidak takut kepalanya diganti oleh Allah dengan kepala keledai. (Shahih Muslim
No.647)
20. Meluruskan barisan dan merapikannya, berdesakan dalam barisan pertama dan
berlomba mendapatkannya, mendahulukan orang-orang yang punya keutamaan dan
mendekatkan mereka kepada imam


Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Luruskanlah barisan kalian. Sesungguhnya kelurusan barisan
salat termasuk bagian dari kesempurnaan salat. (Shahih Muslim No.656)

Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Sempurnakanlah barisan, karena sesungguhnya aku dapat
melihat engkau yang ada di belakangku. (Shahih Muslim No.657)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Luruskanlah barisan dalam salat, karena lurusnya
barisan itu termasuk kebaikan salat. (Shahih Muslim No.658)

Hadis riwayat Nukman bin Basyir ra., ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sebaiknya engkau mau meluruskan barisanmu
atau Allah akan menancapkan rasa permusuhan di antara engkau. (Shahih Muslim
No.659)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seandainya manusia tahu apa (keutamaan) yang
terdapat dalam azan dan barisan pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya

kecuali dengan cara mengundi, pasti mereka akan mengundinya. Seandainya mereka tahu

apa (keutamaan) yang terdapat dalam bersegera (datang sedini mungkin) melakukan
salat, pasti mereka berlomba-lomba melakukannya. Seandainya mereka tahu apa yang
terdapat dalam salat Isyak dan salat Subuh, pasti mereka akan mendatanginya meskipun
dengan merangkak. (Shahih Muslim No.661)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Seandainya kalian (atau mereka) tahu apa yang ada
dalam barisan depan, tentu akan diadakan undian. (Shahih Muslim No.663)
21. Perintah agar para wanita yang salat di belakang laki-laki untuk tidak mengangkat
kepala mereka dari sujud sebelum laki-laki mengangkat kepalanya

Hadis riwayat Sahal bin Saad ra., ia berkata:
Aku melihat orang-orang lelaki yang salat di belakang Nabi saw. mengikatkan kain
mereka pada leher seperti anak kecil karena sempitnya kain mereka. Seseorang berkata:
Hai para wanita, janganlah kalian mengangkat kepala kalian sebelum orang-orang lelaki
mengangkat kepala mereka. (Shahih Muslim No.665)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan
shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. Syafi’i,
Maliki dan Hambali: Harus dibunuh. Hanafi: la harus ditahan selama-lamanya, atau
sampai ia shalat.Imamiyah: Setiap orang yang meninggalkan yang wajib, seperti shalat,
zakat, membayar khumus, haji, dan puasa, maka bagi hakim (pemerintah) yang melihatnya
harus mendidiknya kalau ia patuh (mau mengikutinya). Bila tidak, harus mendidiknya lagi.
Bila tidak lagi, sang hakim (pemerintah) harus mendidiknya lagi, dan bila pada keempat
kalinya tetap tidak mau mengikuti, maka ia harus dibunuh. (Kasyful Ghita’, Karya Al-Syekh
Al-Kabir, halaman 79, cetakan tahun 1317 H). Shalat-shalat Sunnah Rawatib Shalat yang
disunnahkan banyak macamnya di antaranya adalah shalat-shalat rawatib sehari-hari.
Ulama mazhab, berbeda pendapat tentang jumlah banyak rakaatnya Syafi’i: Sebelas
rakaat, yaitu dua rakaat sebelum Shubuh, dua rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat
sesudahnya. Dua rakaat setelah Maghrib dan dua rakaat setelah shalat Isya’ serta satu
rakaat shalat witir. Hambali: Sepuluh rakaat, yaitu: Dua rakaat sebelum dan sesudah
Dzuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya’ dan dua rakaat sebelum shalat
Shubuh. Maliki: Untuk shalat-shalat sunnah rawatib tidak ada batas tertentu dan tidak ada
pula jumlah khusus, hanya yang paling utama adalah: Empat rakaat sebelum Dzuhur dan
enam rakaat setelah Maghrib. Hanafi: Shalat rawatib itu dibagi kepada sunnah masnunah
(disunnahkan) dan mandubah (disunnahkan) .12 12 Hanafi mempunyai istilah-istilah tentang apa yang
wajib dikerjakannya dan yang tidak boleh ditinggalkannya, yang mana dibagi dua, yaitu: Fardhu apabila perbuatan
itu ditetapkan berdasarkan dalil qath’i (pasti), seperti Al-Qur’an, hadis yang mutawatir, dan ijma’. Kedua, wajib
apabila ditetapkan berdasarkan dalil dzanni (perkiraan), seperti qiyas dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedangkan perbuatan yang lebih baik (kuat) untuk dikerjakannya dari pada ditinggalkan di bagi ke dalam dua
bagian juga, yaitu nasnun: Perbuatan yang biasa dilakukan Nabi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam,

khulafaur Rasyidun. yang kedua mandub, yaitu perbuatan yang diperintahkan oleh Nabi Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam tetapi tidak biasa dilakukan oleh beliau sendiri. Juga perbuatan yang wajib
ditinggalkannya dan tidak boleh dilakukannya, kalau ia ditetapkan berdasarkan dalil qath’i (pasti), maka perbuatan
yang dilarang itu adalah haram. Bila perbuatan ditetapkan berdasarkan dalil dzanni (perkiraan), maka larangan

Shalat masnunah ada lima shalat, yaitu: Dua rakaat
sebelum Subuh, empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat setelahnya selain hari jum’at,
dua rakaat setelah Maghrib dan empat rakaat setelan Isya’. Sedangkan shalat-shalat yang
mandubah ada empat shalat, yaitu: Empat rakaat sebelum Ashar, dan kalau mau dua rakaat
saja, enam rakaat setelah Maghrib, empat rakaat sebelum Isya’ dan empat rakaat setelah
Isya’. Sedangkan shalat-shalat yang mandubah ada empat shalat, yaitu: Empat rakaat
sebelum Ashar, dan kalau mau dua rakaat saja, enam rakaat setelah Magrib, empat rakaat
sebelum Isya’ dan empat rakaat setelahnya. Imamiyah: Shalat rawatib itu setiap hari ada
tiga puluh empat rakaat, yaitu: Delapan rakaat sebelum Dzuhur, delapan rakaat sebelum
Ashar, empat rakaat sesudah Magrib dan dua rakaat sesudah Isya’, tetapi dua rakaat yang
terakhir ini (dua rakaat sesudah Isya’) dilakukan sambil duduk, dan ia dihitung satu rakaat
serta dinamakan shalat witir, dan delapan rakaat shalat malam, dua rakaat untuk me-minta
syafa’at, satu rakaat untuk witir,13 dan dua rakaat untuk shalat Shubuh, yang dinamakan
shalat fajar. 13 Shalat witir menurut Hanafi ada tiga rakaat dengan satu salam. Waktunya berlaku mulai
tengelamnya syafaq ahmar (awan merah) sampai terbitnya fajar. Hambali dan Syafi’i berkata bahwa
paling sedikitnya shalat witir adalah satu raka’at dan paling banyak sebelas rakaat, serta
waktunya sesudah shalat Isya’. Hambali: Shalat witir itu yang berlaku (yang banyak
dilakukan para sahabat) adalah satu rakaat saja. Waktu Dua Dzuhur (Dzuhur dan
Ashar) Para ahli fiqih memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama
yang diperintahkan (difardhukan) kemudian setelah itu difardhukan shalat Ashar, kemudian
Maghrib, lalu Isya’, kemudian shalat Shubuh secara tertib. Kelima shalat tersebut
diwajibkannya di Mekkah pada malam Isra’ setelah sembilan tahun dari diutusnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam, berdasarkan firman Allah: “Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan Shubuh. Sesungguhnya shalat
Shubuh disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. Al-Isra’ 78). Para ulama mazhab sepakat
bahwa shalat itu tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya, dan juga sepakat bahwa
apabila matahari telah tergelincir berarti waktu Dzuhur telah masuk, hanya mereka berbeda
pendapat tentang batas ketentuan waktu ini dan. sampai kapan waktu shalat itu
berakhir. Imamiyah: Waktu Dzuhur itu hanya khusus dari setelah tergelincirnya matahari
sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, dan waktu Ashar juga khusus dari akhir waktu
siang sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Dan antara yang pertama dan yang
terakhir itu ada waktu musytarak14 (menghubungkan) antara dua shalat (Dzuhur dan Ashar).
Dengan dasar inilah Imamiyah membolehkan mela-kukan jama’ (mengumpulkan) antara
Dzuhur dan Ashar, yaitu pada waktu musytarak (penggabungan). Apabila waktunya sempit
dan sisa waktunya hanya cukup untuk mendirikan shalat Dzuhur saja, maka boleh
mendahulukan shalat Ashar dan shalat Dzuhur, kemudian shalat Dzuhur pada waktu terakhir
dengan qadha’. 14 Di antara para ulama mazhab ada yang setuju dengan Imamiyah yang menyatakan boleh
tersebut adalah makruh yang mendekati haram.

melakukan jama’ bagi orang yang mukim (bukan musafir) Syaikh Ahmad Shadiq Al-Ghimari telah mengarang suatu
buku yang menjelaskan hal tersebut, yang buku itu dinamakan: Izalatul Khathar ‘Amman Jama’a Baina Al-Shalataini

Empat mazhab: Waktu Dzuhur dimulai dari tergelincirnya matahari sampai
bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dengan sesuatu itu. Apabila lebih, walau hanya
sedikit, berarti waktu Dzuhur telah habis. Tetapi Syafi’i dan Maliki: Batasan ini hanya
berlaku khusus bagi orang yang memilihnya, sedangkan bagi orang yang terpaksa, maka
waktu Dzuhur itu sampai bayang-bayang sesuatu (benda) lebih panjang dari benda
tersebut. Imamiyah: Ukuran panjangnya bayang-bayang sesuatu sampai sama dengan
fi al-hadhar.

panjang benda tersebut merupakan waktu Dzuhur yang paling utama. Dan kalau ukuran
bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari benda tersebut merupakan waktu
Ashar yang utama. Hanafi dan Syafi’i: Waktu Ashar dimulai dari lebihnya bayang-bayang
sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya
matahari. Maliki: Ashar mempunyai dua waktu. Yang pertama disebut waktu ikhtiari, yaitu
dimulai dari lebihnya bayang-bayang suatu benda dari benda tersebut, sampai matahari
tampak menguning. Sedangkan yang kedua disebut waktu idhthirari, yaitu dimulai dari
matahari yang tampak menguning sampai terbenamnya matahari. Hambali: Yang termasuk
paling akhirnya waktu shalat Ashar adalah sampai bayang-bayang sesuatu benda lebih
panjang dua kali dari benda tersebut, dan pada saat itu boleh mendirikan shalat Ashar
sampai terbenamnya matahari, tetapi orang yang shalat pada saat itu berdosa, dan
diharamkan sampai mengakhirkannya pada waktu tersebut. Mazhab-mazhab yang lain tidak
sependapat dengan pendapat di atas. Waktu Dua Isya’ Syafi’i dan Hambali (berdasarkan
pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambali): Waktu Magrib dimulai dari
hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya merah di arah Barat.
Maliki: Sesungguhnya waktu Maghrib itu sempit. Waktunya khusus dari awal
tenggelamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang
mana termasuk di dalamnya cukup untuk bersuci dan adzan serta tidak boleh
mengakhirkannya (mengundurkan) dari waktu ini dengan sesuka hati (sengaja). Se-dangkan
bagi orang yang terpaksa, maka waktu Magrib berlaku sampai terbitnya fajar, hanya tidak
boleh mengakhirkan waktu Maghrib dari awal waktunya. Ini hanya pendapat Maliki
saja. Imamiyah: waktu shalat Maghrib hanya khusus dari awal waktu terbenamnya
matahari15 sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, sedangkan waktu Isya’ hanya
khusus dari akhir separuh malam pada bagian pertama (kalau malam itu dibagi dua) sampai
diperkirakan dapat melaksanakannya. Di antara dua waktu tersebut adalah waktu
musytarak (penggabungan) antara shalat Maghrib dan Isya’. Dari itu, mereka (Imamiyah)
membolehkan melaksanakan shalat jama’, pada waktu musytarak ini. 15 Terbenamnya matahari
terjadi bila tidak ada sinar matahari yang membias ke atas, sama dengan pendapat empat mazhab. Hanya
Imamiyah berpendapat bahwa terbenamnya matahari itu tidak bisa diketahui dengan tidak terlihatnya bulatan
matahari dari pandangan mata, bahkan dengan naiknya cahaya merah di arah Timur dengan perkiraan tingginya
sama dengan orang lelaki berdiri, karena Timur lebih tinggi dari Barat, di atasnya terdapat cahaya merah yang
menentang (berlawanan) dengan cahaya matahari. Ini terjadi setiap matahari di arah Barat tenggelam, dan cahaya
yang berlawanan itu naik ke atas. Sedangkan isu yang kami dengar bahwa Syi’ah tidak berbuka puasa Ramadhan
sehingga sampai terbitnya bintang-bintang, adalah tidak mempunyai sumber dasar yang dapat dipertanggung
jawabkan. Bahkan orang-orang Syi’ah telah menentang isu ini sebagaimana yang ditulis mereka dalam beberapa
buku fiqih mereka. Mereka menolak orang yang menyangka bahwa bintang itu kadang-kadang terbit sebelum
terbenamnya matahari, bersamaan dengannya atau sesudahnya. Orang yang mengakhirkan (mengundurkan)
shalat Maghribnya sampai bintang-bintang bertaburan, maka ia dilaknat tujuh keturunan. Imamiyah (Syi’ah)
berpendapat seperti ini sebagai penolak (sikap menolak terhadap isu yang dikembangkan oleh pengikut Abul
Khattab yang berpendapat seperti diatas. Mereka sebenarnya (yang menuduh syi’ah seperti itu) adalah golongan
yang merusak dan jahat. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Dikatakan pada Imam Shadiq: “Sesungguhnya
penduduk Iraq selalu mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang bertaburan.” Maka Imam Shadiq

Keterangan di
atas kalau dihubungkan dengan orang yang memilih. Tapi kalau bagi orang yang terpaksa
baik karena tidur atau lupa, maka waktu dua shalat tersebut sampai pada terbitnya fajar,
hanya waktu shalat Isya’ khusus dari akhir waktu malam sampai diperkirakan dapat (cukup)
untuk melaksanakannya saja dan waktu shalat Maghrib khusus dari bagian pertama dari
separuh (setengah) malam bagian kedua sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja. Waktu Shubuh Waktu. Shubuh yaitu terbitnya fajar shadiq sampai
terbitnya matahari, menurut kesepakatan semua ulama mazhab kecuali Maliki. Maliki:
Waktu Shubuh ada dua: Pertama adalah ikhtar (memilih). yaitu dari terbitnya fajar sampai
menjawab:”Ini merupakan perbuatan yang selalu dilakukan musuh Allah, yaitu Abul Khattab.”

terlihatnya wajah orang yang kita pandang; sedangkan kedua adalah idhthirari (terpaksa),
yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbitnya ma