Stilistika Personifikasi dalam Hujan B

Personifikasi dalam Hujan Bulan Juni

Diajukan untuk memenuhi tugas semester V
dalam mata kuliah Stilistika

Dosen Pembina:
Abdul Hamid, Drs.
Baban Banita, M. Hum.

Disusun Oleh:
Risnasari Rosman

180110090021

JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011

KATA PENGANTAR


Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT dengan selesainya
tulisan ini tepat waktu. Tanpa ridho dari-Nya tulisan ini mungkin tidak akan
selesai. Terima kasih ya Allah. Saya sangat mengucap syukur.
Tulisan sederhana ini saya beri judul “Personifikasi dalam Hujan Bulan
Juni”. Saya membahas personifikasi dan latar belakang kepengarangan Sapardi
Djoko Damono, sehingga menerbitkan kumpulan puisi atas pilihan karyakaryanya selama 30 tahun.
Jujur saja, sebelum mendapat salah satu tugas dari Stilistika ini, saya tidak
mengetahui latar belakang Sapardi sedalam setelah mengerjakan tugas ini. Saya
jadi tahu bahwa Sapardi pernah merasa seperti menjadi seorang nabi ketika
menulis puisinya untuk memberikan nasihat-nasihat ke dunia.
Dari tugas ini saya mengetahui banyak tentang Sapardi karena bahan
referensi tidak sulit saya dapatkan. Saya berterima kasih sekali untuk
Perpustakaan Nalar yang telah menyediakan berbagai sumber referensi dari
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni¸tulisan orang-orang “besar” yang membahas
karya Sapardi, juga tersedianya majalah Basis tahun 1995.
Tak lupa, saya ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Abdul Hamid
yang telah menugasi saya dan teman-teman mata kuliah Stilistika dengan tugas
ini. Saya kira atas salah satu perhatiannya terhadap kelas Stilistika, maka
terbersitlah tugas ini.

Saya hanya berharap, semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk temanteman saya yang mungkin membacanya. Oleh karena itu, saya akan sangat
menghargai kritik dan saran yang bersifat membangun. Karena, akan berguna
dalam pengerjaan tugas-tugas selanjutnya.
Akhir kata, selamat membaca tulisan yang sederhana ini.

Jatinangor, 19 Desember 2011
Risnasari Rosman

BAB I

PENDAHULUAN

Puisi dengan kualitas gaya tinggi, misalnya dihasilkan oleh Sanusi Pane,
Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono, untuk
menyebut beberapa nama saja. (2009:162)
Dalam kesusastraan Indonesia modern, Sapardi Djoko Damono (SDD)
bukan saja seorang penyair yang kondang, melainkan juga dihormati. Ia bukan
saja penyair yang produktif, tapi pun puisi-puisinya khas, berkualitas dan
berpengaruh baik kepada penyair yang lebih muda darinya, maupun kepada
penyair seangkatannya.

Dari segi usia kepenyairan saja, SDD sudah termasuk seorang penyair yang
unggul. Kebanyakan penyair Indonesia berhenti menulis puisi ketika sudah
menginjak usia setengah abad. Bahkan ketika usianya baru menginjak kepala
empat, tidak sedikit penyair Indonesia yang kreativitasnya sudah sekarat. Hal ini
punya tautan dengan kenyataan bahwa di Indonesia, sampai sekarang pun, puisi
bisa dikata belum memiliki nilai ekonomi. Sampai sekarang belum ada seorang
pun penyair Indonesia yang bisa menghidupi dirinya hanya dari menulis puisi.
Semua penyair Indonesia menghidupi dirinya dengan melakoni pekerjaanpekerjaan seperti kebanyakan orang Indonesia pada umumnya. Malah tak sedikit
yang pekerjaan kesehariannya bisa disebut jauh dari kepenyairan. Misalnya,
penyair Afrizal Malna. Pada tahun 1980-an, ketika masih tinggal di Jakarta, ia
bekerja sebagai pegawai asuransi. Hal inilah yang ditengarai banyak pengamat
sastra sebagai penyebab utama pendeknya usia kepenyairan kebanyakan penyair
Indonesia. Sedangkan usia kepenyairan SDD terang pantas dikata panjang.
Ia sudah menulis puisi ketika masih berusia belasan. Ketika itu, di
Surakarta, SDD masuk sebuah SMP yang di situ Jeihan Sukamto, seorang yang
kemudian menjadi pelopor puisi mBeling dan pelukis terkenal, juga bersekolah.
Di SMP itu, Jeihan mengelola majalah dinding. Jeihan yang bersahabat dengan
SDD tahu bahwa SDD ketika itu sudah banyak menulis puisi. Maka, sebagai
pengelola majalah dinding, seperti dikatakannya dua tahun lalu, Jeihan berkali
menampilkan puisi-puisi SDD.


Akan tetapi, SDD tidak menulis puisi hanya untuk majalah dinding yang
dikelola oleh Jeihan. Sebagian dari puisi-puisi yang ditulisnya juga dikirim ke
beberapa media yang memiliki ruang untuk puisi. Dan kegiatan seperti ini tentu
saja tidak dilakukan SDD hanya ketika ia duduk di bangku SMP. Ia terus
melakukan kretivitasnya menulis puisi dan mengirimkannya ke berbagai media
massa hingga kini, setelah ia pensiun sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia (UI).
Seperti telah diketahui banyak orang, setelah menamatkan SMA di kota
kelahirannya, Surakarta, SDD melanjutkan kuliah ke Jurusan Sastra Inggris
Universitas Gajah Mada. Ia kemudian menjadi pengajar di Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro. Ketika di UGM, produktivitas SDD semakin meningkat.
Dan puisi-puisinya semakin banyak dimuat oleh berbagai media massa yang
berwibawa seperti majalah Basis, Sastra, Budaya Jaya dan Horison. Maka SDD
sudah sohor sebagai penyair berbobot selagi ia masih berstatus sebagai
mahasiswa. Oleh karenanya, wajar jika ketika duduk di tahun terakhir di UGM,
SDD sudah diajak bekerja di majalah Basis. Wajar pula jika ketika menjadi
pengajar di UNDIP, beberapa kawannya di Jakarta, seperti Goenawan Mohamad,
HB Jassin dan Fuad Hassan, diam-diam mengupayakannya untuk pindah ke
Jakarta, untuk menjadi pengajar di UI.

Upaya tersebut untuk memungkinkan kepenyairan SDD berkembang, yang
perkembangannya diyakini akan berarti sumbangan bagi kesusastraan Indonesia.
SDD tidak menyia-nyiakannya. Ia bukan saja pindah ke UI dan semakin
menghidupkan iklim bersastra di UI, tapi pun terus produktif dan kreatif menulis
puisi. Bahkan SDD pun produktif dan kreatif menulis kritik sastra. Maka tidak
mengherankan jika kemudian SDD diajak menjadi redaksi Horison dan jurnal
Kalam.
Di sela-sela pekerjaannya ia terus tekun menulis puisi, kumpulan puisi
pertamanya DukaMu Abadi terbit tahun 1969 di Bandung. Pada tahun 1974 terbit
dua kumpulan puisinya, Mata Pisau dan Akuarium. Tahun 1983 terbit kumpulan
puisinya Perahu Kertas oleh Balai Pustaka. Setahun setelahnya Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur, menerbitkan karya kumpulan puisinya berjudul Sihir
Hujan.

Puisi-puisinyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda,
Cina, Jepang, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Tidak asing jika ia meraih
berbagai penghargaan. Pada tahun 1983, ia menerima Anugerah Puisi Putera dari
Malaysia, Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 1984, Hadiah Sastra
Asean tahun 1986, dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI pada tahun 1990.
Keterkenalannya tidak hanya sebatas Indonesia, negara-negara seperti

Amerika, Asia, Australia, dan Eropa, kerap mengundangnya sejak tahun 1970-an
untuk mengikuti seminar atau membaca puisi.
Keseriusannya menulis juga jadi keseriusan orang-orang membahas
karyanya. Lewat esai “Nyanyi Sunyi Kedua”, Goenawan membahas puisi-puisi
dalam kumpulan puisi DukaMu Abadi. Puisi pada kumpulan puisi itu SDD tulis
pada periode 1967-1968. Goenawan berkesimpulan: kumpulan DukaMu Abadi
adalah perkembangan baru, pembebasan dan penemuan kembali (2011: 135).
Keterangan tahun ditulisnya puisi itu oleh SDD menjadi penting, karena
melewati dua tahun setelah 1965. SDD menjadi salah satu penyair yang
bertentangan dengan puisi-puisi bertema kepahlawanan di tahun 1965. Harry
Avelin menulis dalam bukunya, “Penganjur Utama neo-romantisme di awal Orde
Baru adalah Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan penulis muda
Abdul Hadi W.M.” (2003: 30)
Selain Goenawan, Nirwan Dewanto belum lama —2010— di Salihara
berpendapat, “Puisi Sapardi adalah puisi yang ingin kita cintai dengan sederhana.
Ia tidak menuntut: puisi yang dengan sendirinya membuka diri.” (2010: 2). Secara
kronologi, puisi SDD dapat kita pahami, karena sesuai secara gramatika dan
semantik. Berbeda dengan Chairil Anwar yang secara nalar kebahasaaan sulit
diterima.
Bukan hanya oleh Goenawan dan Nirwan, puisi SDD dibahas serius oleh A.

Teeuw, Seno Gumira Adjidarma, dan Linus Suryadi AG. Menurut Linus, “Sapardi
pun sangat pintar mendaya-gunakan tehnik penulisan puisi. Oleh penguasaan
teknik berpuisi yang sudah matang, kata-kata sederhana itupun punya tenaga
keindahan yang khas.” (1989: 111)

Oleh karena itu, SDD dikenal sebagai maestro puisi. Kemampuannya dalam
berpuisi tidak diragukan lagi dan karyanya memang layak dicintai. Puisi-puisinya
terkesan sederhana, mendeskripsikan sesuatu yang dekat dengan sekitar seperti
benda-benda: pisau, bola lampu, pohon, bunga.
Dalam bidang puisi, ia tersohor sebagai penyair puisi lirik, puisi yang
menyatukan suasana hati dengan alam. Saya sependapat dengan Sutardji Calzoom
Bachri yang menyatakan puisi-puisi SDD menunjukkan dunia kanak-kanak. SDD
liar bermain dengan imaji-imajinya. Bahkan hal yang bisa jadi menurut logika
tidak masuk akal, namun, pada puisi SDD kita akan bisa dengan mudah menerima
hal itu.
Dunia yang diciptakaannya menjadi masuk akal. Sumbernya karena,”pada
saat-saat tertentu memang terasa sangat kuat dorongan untuk mengungkapkan
sesuatu, namun pada saat-saat lain saya hanya merasa sangat asyik bermain-main
dengan kata-kata sampai ada sesuatu yang terbentuk di dalamnya.” (1984:128)
Bermodal keasyikan yang luar biasa ketika menulis, terciptalah rahangrahang laut, rahang-rahang bunga, dan rahang-rahang langit saat ia menulis

“Catatan Masa Kecil, 2”. Bahkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang
rahang-rahang bunga terkam-menerkam. SDD bebas mengekspresikan dirinya
dalam dunia kata-kata, hingga terbentuk dunia yang bisa masuk akal dalam dunia
itu.
Ia hanya “sekedar” bermain, “Namun sekarang dalam dunianya yang baru,
yang rekaan, segala hal yang rasanya pernah saya alami di masa kecil itu
menjelma lambang-lambang” (1984:131). Saat seperti ini, SDD seperti menjadi
nabi yang berusaha menyampaikan pesan ke dunia.
Kemahirannya bermain dengan kata-kata dan imaji-imaji, menjadi tidak
klise ketika dalam puisinya benda-benda hidup, memiliki indra perasa selayaknya
manusia. Seperti dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, “Sajak-sajak dalam
buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkan selama 30 tahun,
antara 1964 sampai dengan 1994”. Begitulah awal pembuka SDD dalam
pengantar Hujan Bulan Juni (HBJ).

Dalam HBJ, saya terbetot dengan personifikasi yang Sapardi Djoko
Damono buat —personifikasi adalah pengumpamaan (perlambangan) benda mati
sebagai orang atau manusia, seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan
menjadi saksi sumpah setia (2008:1062)—. Dalam salah satu sajak yang dibahas
A. Teeuw dengan judul “Tritunggal Tentang Waktu”. Ia membahas hubungan

sajak “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, dan “Sehabis
Mengantar Jenazah.” Pada puisi “Berjalan di Belakang Jenazah” personifikasi
muncul, di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala.

BAB II
ISI

Saya akan coba mengulas satu persatu puisi dalam HBJ yang mengandung
personifikasi paling banyak diantara puisi-puisinya yang lain:

Ulasan sajak SDD, “Berjalan di Belakang Jenazah”
Pertama, saya akan coba menganalisis sajak SDD yang berjudul “Berjalan
di Belakang Jenazah”. Karena, dalam Hujan Bulan Juni sajak ini paling awal
mengandung gaya bahasa personifikasi. Berikut sajaknya:
berjalan di belakang jenazah angin reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga

jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
—“BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH”, 1967
Pada sajak di atas, SDD menghidupkan pohon dan jam menjadi seperti
manusia, jam “mengerdip”, pohon demi pohon “menundukkan kepala”. Walau
memang, yang bisa menunduk dan mengerdip bukan hanya manusia, binatang pun
mampu melakukannya. Namun, sudah melekat, kedua sifat itu erat dengan
manusia.
Pohon dan jam pada sajak di atas seakan-akan turut berduka. Malah, angin
pun reda, siang menepi untuk melapangkan jalan, pohon demi pohon
menundukkan kepala. Alam seolah-olah turut mengiringi

kepergian jenazah.

Namun, bagian-bagian alam itu bukan hanya sekedar cerita, mereka seperti simbol
dari cepatnya hidup berlalu. Seperti kata A. Teeuw, “yang dikiaskan pula hidup
manusia, yang jamnya mengerdip, waktu hidup bagi manusia berlalu dengan
sangat cepat, siang hidupnya menepi cepat sekali.” (Tergantung Pada Kata,
1980:97)
Saya sependapat dengan A. Teeuw. Setelah membaca sajak “Berjalan di

Belakang Jenazah”, saya dibuat sadar bahwa hidup sangat sebentar. SDD pandai

mengibaratkannya dengan jam yang mengerdip, mengerdip asal katanya
kerdip/kedip, kata ini identik dengan mata. Saya mengasumsikannya jam yang
mengerdip itu ibarat kedipan mata yang dalam prosesnya tidak kita sadari. Kita
mana pernah menghitung jumlah kedipan mata dalam sehari. Jangankan dalam
sehari, sejam pun kita sulit menghitungnya.

Ulasan sajak SDD, “Mata Pisau”
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
—“MATA PISAU”, 1971
SDD mengaku “hanya merasa asyik bermain dengan kata-kata”, namun,
setelah sebuah sajak yang “main-main” itu terbentuk, tanpa sadar menjelma
sebuah simbol. Kali ini SDD menghidupkan mata pisau yang berkejap menatap.
Satu benda yang dihidupkan SDD: mata pisau. Mata pisau menjadi subjek yang
tak berkejap menatap. Si ‘kau’ pada sajak itu baru saja mengasahnya. Di akhir,
saya dibuat bergeming dengan kehadiran ‘ia’, mata pisau, berkilat terbayang
olehnya urat lehermu. Buat saya mengerikan.
Saya menafsirkannya, mata pisau itu ibarat lidah si ‘-mu’ dalam sajak.
Rasanya klise menggambarkan mulut yang dengan mudah menyakiti perasaan
orang lain dengan “lidah tajam”. SDD cerdas menganalogikannya dengan mata
pisau yang baru diasah.
Lidah “tajam” yang mampu mengiris apel pada akhirnya akan membunuh si
pemilik lidah. Dengan putusnya urat leher kita akan langsung mati seketika. Ini
menganalogikan hancurnya hidup si pemilik lidah “tajam” karena ulahnya sendiri.

Ulasan sajak SDD, “Sepasang Sepatu Tua”

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,
berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh
cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang
kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk
sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama
makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya
bisa mereka pahami berdua
— “SEPASANG SEPATU TUA”, 1973
Sama seperti puisi Bola Lampu, puisi Sepasang Sepatu Tua ini awalnya
hanya objek, yaitu sepatu tua yang tergeletak di sudut sebuah gudang. Tapi, pada
baris ketiga ia berubah menjadi subjek yang aktif berpikir. Puisi di atas bercerita
tentang sepasang sepatu tua yang menerka-nerka nasib yang mungkin akan terjadi
pada dirinya besok.
Saya menafsirkan nasib Sepasang Sepatu Tua di atas sebagai simbol
kehidupan. Dalam kehidupan, hidup memang rahasia. Kita tidak akan tahu apa
yang akan terjadi besok dan waktu-waktu yang akan datang. Terkadang, kita
khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan
datang.
Aktifitas Sepasang Sepatu Tua dia atas representasi dari aktifitas manusia,
yaitu berpikir dan mengenang segala yang pernah dialaminya. Aktifitas menerkanerka nasib kehidupan selanjutnya. Sepatu itu ibarat manusia yang memakai
perasaan dan akal memahami nasibnya. Buat saya jelas, puisi ini sebagai cermin
kehidupan manusia dengan segala kepasrahannya.

Ulasan sajak SDD, “Bola Lampu”

Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelaki

itu menyusun jari-jarinya dan bayang-bayangnya
tampak bergerak di dinding; “Itu kijang,” katanya.
“Hore!” teriak anak-anaknya, “sekarang harimau!”
“Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi hutan, itu kera ...”
Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa
berada di tengah hutan. Ia bising mendengar
hingar-bingar kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tiba
merasa asing dan tak diperhatikan.
—“BOLA LAMPU”, 1973
Awal sajak di atas, bola lampu menjadi objek. Ia sebagai penerang
“kesenangan” seorang lelaki yang sedang asik bermain bayang-bayang dengan
anak-anaknya. Bola lampu menyala sebagaimana biasanya fungsi lampu,
menggantung. Namun, bait ke dua, kita dibuat kaget dengan bola lampu yang
berubah menjadi subjek. Ia seperti makhluk hidup, katakan saja manusia, yang
ingin memejamkan dirinya. Bola lampu dibuat memiliki indra perasa, merasa
berada di tengah hutan. Ia jadi memiliki indra pendengar, bising mendengar
hingar-bingar.
Keras sekali sajak di atas. Kawanan binatang buas pada bait kedua saya
terka lelaki dan anak-anaknya, bukan bayangan binatang-binatang yang dibentuk
si lelaki. Karena, yang membuat ruangan menjadi gaduh si lelaki dan anakanaknya itu.
Saya menafsirkan bola lampu pada sajak di atas orang yang biasa bekerja di
belakang panggung, misalnya bagian lighting. Penonton tidak tahu, karena si
pengatur lampu memang tidak terlihat. Kita bisa membayangkan jika bagian ini
tidak ada, panggung tidak akan terlihat, gelap menguasai ruang. Namun, dalam
konteks puisi di atas, pemeran di panggung tidak menghargai jasa lighting. Ia
seakan-akan besar kepala bahwa keberhasilannya seutuhnya peran dirinya sendiri.
Jadi,

menurut

saya,

puisi

ini

memberikan

nasihat

untuk

tidak

menyombongkan diri. Ada orang-orang yang perlu kita perhatikan. Orang-orang
yang diam, tak bicara padahal berperan banyak untuk kehidupan kita.

Ulasan sajak SDD, “Bunga, 1”

(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi
padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca
berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang
berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia
mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para
Manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di
sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan
malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun
dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan
tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada
embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar
dan setelah api ...
Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para
manusia. Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”
—“BUNGA, 1”, 1975
Baris pertama bunga rumput telah menjadi subjek dan personifikasi sudah
muncul dengan adanya kata berdusta. Bunga rumputpun memiliki indra perasa
dengan mendengar, menyadari dan membayangkan.
Bunga rumput diibaratkan manusia. Siangnya cuaca berdenyut, berdenyut
sudah lekat dengan jantung, sajak ini pun menunjukkan kehidupan manusia.
Bunga rumput identik dengan kekuatan menghadapi segala hal. Jadi, saya
tafsirkan, puisi ini mengajak kita untuk tidak berputus asa atau mudah menyerah
dalam menghadapi suatu masalah.

BAB III
PENUTUP

Sapardi Djoko Damono (SDD) dalam Hujan Bulan Juni jelas sekali
menggunakan personifikasi yang cerdas. Cerdas dalam arti yang kata yang umum
mampu dikemas secara tepat sehingga kata itu hidup secara utuh. SDD juga
mampu membuat personifikasi yang baru secara tepat pula seperti “Mata Pisau”

dan “Sepasang Sepatu Tua”, sehingga muncul personifikasi yang segar dan tidak
klise.
Karya-karya SDD dapat dinikmati dengan sederhana, dengan kata yang
tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya tiada. Sederhana
karena puisi-puisinya cenderung deskriptif, tidak ganjil dalam gramatikal dan
semantik. Tapi, justru karena kesederhanaannyalah, karena kemahirannya bermain
dengan kata-kata yang membuat puisi-puisinya mengandung simbol-simbol.
Simbol-simbol ini bila berani menafsirkannya akan berbuah nasihat untuk
kehidupan.
Puisi-puisi SDD berasal dari pengalaman pribadinya yang menyatu dengan
alam. Maka, tak heran banyak yang berpendapat bahwa puisi SDD bergenre puisi
lirik, puisi dengan pengarang sebagai si aku-lirik.
Dengan penempatan dirinya sebagai si aku-lirik, banyak memunculkan
karyanya bergaya bahasa personifikasi. Ia pandai menghidupkan benda-benda,
meyakinkan pembaca bahwa “dunia” benda-benda dalam puisinya memang nyata.
Kemahirannya membuat sajak selama ini menjadi sumbangan yang sangat
besar bagi kepenyairan Indonesia. Dengan begitu, ia pun juga ikut andil dalam
pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 1995. Majalah Kebudayaan Umum Basis. Yayasan B.P.
Basis
Agustinus, Linus Suryadi. 1989. Di Balik Sejumlah Nama. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.

Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Dewanto, Nirwan, dkk..2010. Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Mohamad, Goenawan. 2011. Di Sekitar Sajak. Jakarta: Tempo dan PT Grafiti.
Haveling, Aveling. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Situmorang, Sitor, dkk.. 1984. Proses Kreatif. Jakarta: PT. Gramedia.
Teeuw, A. 1980. Tergantung Pada Kata.Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.