Asuhan Keperawatan Klien dengan Amyotrop

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Amyotrophic lateral sclerosis, juga dikenal sebagai penyakit motor neuron,
penyakit Lou Gehrig atau penyakit Charcot, yaitu gangguan pada orang dewasa,
ditandai dengan degenerasi terutama pada bagian atas dan neuron motorik yang
lebih rendah, dan juga terjadi degenerasi sensorik, ekstrapiramidal dan serat
otonom dan saluran. (Christine, 2006)
Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3 orang per 100.000. Di Eropa,
insiden tahunan adalah 2,16 per 100 ribu orang/tahun. Di Indonesia, belum ada
data pasti. Rasio pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial rasio ini hampir
sama. Sekitar 5-10% kasus ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia
terbanyak adlaah 47-52 tahun. Pada ALS tipe sporadic, usia terbanyak adalah 5863 tahun.
Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu 3-5 tahun setelah diagnosis.
Hanya 1 dari 4 penderita ALS yang dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun
setelah diagnosis. Sebagian besar penderita ALS meninggal dunia karena gagal
napas (respiratory failure), rata-rata 3 tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset,
beberapa penderita dapat bertahan hidup hingga satu dasawarsa atau lebih.
Riluzole (Rilutek), anti glutamat, adalah obat pertama yang dikembangkan
untuk mengobati ALS. Ini menghambat pelepasan presinaptik dari asam glutamat
dalam SSP dan melindungi neuron terhadap excitotoxicity asam glutamat. Status

nutrisi penderita ALS juga perlu dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia,
hipermetabolisme, serta beragam penyakit. Tatalaksanan nutrisi seperti diet,
strategi menelan, kemungkinan dipasang selang makanan langsung ke lambung,
dan suplementasi berupa vitamin dan mineral.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) ?
2. Bagaimana etiopatogenesis pada Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) ?
3. Bagaimana patofisiologi dari Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) ?
4. Bagaimana manifestasi klinis pada penderota Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS) ?
5. Bagaimana kriteria diagnostik pada penderita Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS) ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan pada penderita
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) ?

1

7. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS) ?
8. Bagaimana prognosis pada penderita Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) ?

9. Apakah komplikasi yang dapat terjadi pada penderita Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS) ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk menangani kasus
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) ?
1.3 Tujuan
A. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan peran sebagai perawat dalam
pencegahan dan penanganan masalah Amyotrophic lateral sclerosis (ALS).
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi dari Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS)
2. Mengetahui dan memahami etiopatogenesis Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS)
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS)
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS)
5. Mengetahui dan memahami kriteria diagnostic pada Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS)
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan

oleh penderita Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada penderita Amyotrophic
lateral sclerosis (ALS)
8. Mengetahui dan memahami prognosis pada penderita Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS)
9. Mengetahui dan memahami komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
10. Memahami dan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan yang tepat
untuk penderita Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan serta keterampilan mahasiswa dalam pengerjaan
makalah dan presentasi di depan kelas. Menambah kecakapan dan rasa percaya
diri mahasiswa serta lebih memahami masalah neurobehavior terutama masalah

2

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) serta memahami asuhan keperawatan pada
klien dengan masalah Amyotrophic lateral sclerosis (ALS).

3


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Amyotrophic lateral sclerosis, juga dikenal sebagai penyakit motor neuron,
penyakit Lou Gehrig atau penyakit Charcot, yaitu gangguan pada orang dewasa,
ditandai dengan degenerasi terutama pada bagian atas dan neuron motorik yang
lebih rendah, dan juga terjadi degenerasi sensorik, ekstrapiramidal dan serat
otonom dan saluran. (Christine, 2006)
Amiotropik Lateral Sklerosis (ALS) adalah penyakit pada neuron motorik
yang paling banyak terjadi. ALS adalah gangguan paralitik fatal, bergantung pada
usia yang disebut juga sebagai penyakit Charcot atau penyakit lou Gehrig.
Onsetnya biasa pada usia pertengahan. ALS lebih sering menyerang pria dari
pada wanita.
2.2 Etiopatogenesis Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat beragam hipotesis tentang
etiologi yang masih kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak atau tinggi
glutamat. Faktor lingkungan intoksikasi timah dan merkuri juga diduga sebagai
penyebab ALS. Asumsi ini bermula dari tingginya insiden ALS di pulau Guam
pada tahun 1945. Begitu pula kondisi eksitotoksik asam-asam amino, terutama

glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan ALS. Hipotesis ini memerlukan riset
lanjutan, mengingat beberapa paparan lingkungan dapat mengubah genetik
programming melalui mekanisme epigenetik.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada ALS terjadi karena degenerasi
neuron motorik akibat apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan disfungsi
mitokondria. Disfungsi kemampuan sel-sel saraf untuk mengendalikan stres
oksidatif juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan karena mutasi gen yang
mengkode cytosolic antioxidant enzyme copper/zinc superoxide dismutase
(SOD1). Neuroinflamasi jelas berperan pada ALS. Sitokin proinflamasi yang
meningkat pada neuron-neuron motorik berdegenerasi juga memicu inflamasi
mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi akumulasi proses neurodegeneratif yang
kompleks.
Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan, dibuktikan dengan adanya
neuronal inclusions, termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins) atau Lewylike formations dan Bunina bodies. Struktur ini dijumpai pada sebagian besar
penderita ALS sporadik. Pada ALS familial, dijumpai bentuk berbeda, yaitu
hyaline conglomerate yang termasuk neurofilamen dan tidak mengandung
ubiquitin. Antigen neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh antibodi untuk
4

ubiquitin telah teridentifikasi sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada HIV).

Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP) telah teridentifikasi sebagai penyebab ALS
tipe sporadik dan familial. Identifikasi TDP-43 penting di dalam menegakkan
diagnosis postmortem ALS.
Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP mengimplikasikan TDP-43
sebagai mediator aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP-43, termasuk ALS.
Hal lain yang menarik, terjadi kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective
glutamate transporter, di bagian motor cortex dan spinal cord penderita yang
meninggal dunia karena ALS.
2.3 Patofisiologi Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Jalur molekuler yang tepat menyebabkan degenerasi motor neuron dalam
ALS tidak diketahui, tetapi seperti penyakit neurodegenerative lain, kemungkinan
untuk menjadi interaksi yang lebih kompleks antara mekanisme patogenik selular
ini termasuk:
1. Faktor Genetik
ALS sporadis dan familial secara klinis dan patologis serupa, sehingga ada
kemungkinan memiliki patogenesis yang sama. Walaupun hanya 2%
pasien penderita ALS memiliki mutasi pada SOD1, penemuan mutasi ini
merupakan hal penting pada penelitian ALS karena memungkinkan
penelitian berbasis molekular dalam patogenesis ALS. SOD1 adalah
enzim yang memerlukan tembaga, dan mengkatalisasi konversi radikal

superoksida yang bersifat toksik menjadi hidrogen peroksida dan oksigen.
Atom tembaga memediasi proses katalisis yang terjadi. SOD1 juga
memiliki kemampuan prooksidasi, termasuk peroksidasi, pembentukan
hidroksil radikal, dan nitrasi tirosin. Mutasi pada SOD1 yang mengganggu
fungsi antioksidan menyebabkan akumulasi superoksida yang bersifat
toksik. Hipotesis penurunan fungsi sebagai penyebab penyakit ternyata
tidak terbukti karena ekspresi berlebihan dari SOD1 yang termutasi
(dimana alanin mensubstitusi glisin pada posisi 93 SOD1 (G93A)
menyebabkan penyakit pada saraf motorik walaupun adanya peningkatan
aktivitas SOD1. Oleh karena itu, mutasi SOD1 menyebabkan penyakit
dengan toksisitas yang mengganggu fungsi, bukan karena penurunan
aktivitas SOD1.
2. Excitotoxicity
Ini adalah istilah untuk cedera neuronal yang disebabkan oleh rangsangan
glutamat berlebihan diinduksi dari reseptor glutamat postsynaptic seperti
reseptor
permukaan
sel
NMDA
dan

reseptor
AMPA.
Stimulasi berlebih ini dari reseptor glutamat diduga mengakibatkan
5

3.

4.

5.

6.

masuknya kalsium ke dalam neuron besar, yang menyebabkan
terbentuknya
oksida
nitrat yang meningkat
dan
dengan
demikian terjadi kematian neuronal. Tingkat glutamat dalam CSF

meningkat pada beberapa pasien dengan ALS . Elevasi ini telah dikaitkan
dengan hilangnya sel transporter asam amino rangsang glial EAAT2.
Stres Oksidatif
Stress oksidatif telah beberapa lama dikaitkan dengan neurodegenaratif
dan diketahui bahawa akumulasi reactive oxygen species (ROS)
menyebabkan kematian sel. Seperti mutasi pada enzim superoxide
dismutase anti-oksidan 1 (SOD1) gen dapat menyebabkan ALS, ada
ketertarikan yang signifikan dalam mekanisme yang mendasari proses
neurodegenerative di ALS. Hipotesis ini didukung oleh temuan dan
perubahan biokimia yang mencerminkan kerusakan radikal bebas dan
metabolism radikal bebas yang abnormal dalam jaringan sampel CSF dan
pasca mortem pasien ALS.
Disfungsi mitokondria
Kelainan morfologi mitokondria dan biokimia telah dilaporkan pada
pasien ALS. Mitokondria dari pasien ALS menunjukkan tingkat kalsium
tinggi dan penurunan aktivitas rantai pernapasan kompleks I dan IV, yang
melibatkan ketidakmampuan metabolism energy.
Gangguan transportasi aksonal
Akson motor neuron dapat mencapai hingga satu meter panjangnya pada
manusia, dan mengandalkan sistem transportasi intraseluler yang efisien.

Sistem
ini terdiri
dari sistem
transportasi anterograde (lambat
dan cepat) dan
retrograde, dan
bergantung
pada molekul 'motor',
kompleks kinesin protein
(untuk anterograde) dan
kompleks dyneindynactin (untuk retrograde). Pada pasien dengan ALS ditemuka mutasi
pada gen kinesin yang diketahui menyebbakan penyakit saraf motoric
neurodegenerative pada manusia seperti paraplegia spastik turun temurun
dan penyakit Tipe 2A Charcot-Marie-Tooth. Mutasi di kompleks dynactin
menyebabkan gangguan motor neuron yang lebih rendah dengan
kelumpuhan pita suara pada manusia.
Agregasi neurofilamen
Neurofilamen protein bersama-sama dengan Peripherin (suatu protein
filament intermediet) ditemukan di sebagian besar neuron motorik aksonal
inklusi ALS pasien. Sebuah isoform beracun peripherin (peripherin 61),

telah ditemukan menjadi racun bagi neuron motorik bahkan ketika
diekspresikan pada tingkat yang sederhana dan terdeteksi dalam korda
spinalis pasien ALS tetapi tidak kontrol.
6

7. Agregasi protein

Inklusi Intra-sitoplasma adalah ciri dari ALS sporadis dan familial.
Namun, masih belum jelas, apakah pembentukkan agregat langsung
menyebabkan toksisitas selular dan memiliki peran kunci dalam
pathogenesis. Jika agregat,
mungkin terlibat oleh
produk dari
proses neurodegenerasi, atau jika pembentukan agregat mungkin benarbenar menjadi proses yang menguntungkan dengan menjadi bagian
dari mekanisme pertahanan untuk mengurangi konsentrasi intraseluler dari
racun protein.
8. Disfungsi inflamasi dan kontribusi sel non-syaraf
Meskipun ALS bukan gangguan autoimunitas primer atau disregulasi
imun, ada bukti yang cukup bahwa proses inflamasi dan sel non-syaraf
mungkin memainkan peranan dalam pathogenesis ALS. Aktivasi sel
microglial dandendritik patologi tekemuka di ALS manusia dan tikus
transgenic SOD 1. Non-sel saraf diaktifkan yang akan menghasilkan
sitokin inflamasi seperti interleukin, COX-2, TNFa dan MCP-1, dan bukti
upregulation ditemukan dalam CSF atau spesimen sumsum tulang
belakang pasien ALS atau dalam model in vitro.
9. Defisit dalam faktor-faktor neurotropik dan disfungsi jalur sinyal
Penurunan tingkat faktor neutropik (misalnya CTNF, BDNF,GDNF, dan
IGF1) telah diamati pada pasien ALS pasca mortem dan di dalam model
in vitro. Pada manusia, tiga mutasi pada gen VEGF yang ditemukan
terkait dengan peningkatan resiko mengembangkan ALS sporadis,
meskipun mata analisis ini oleh ditulis dengan kegagalan untuk
menunjukkan hubungan antara haplotype VEGF dan meningkatkan resiko
ALS pada manusi. Proses akhir dari kematian sel neuron dalam ALS
diduga mirip jalur kematian Selterprogram (apoptosis). Penanda biokimis
apoptosis terdeteksi dalam tahap terminal pasien ALS.
2.4 Manifestasi klinis Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Skerosis lateral amiotropik melibatakan degenerasi sel tanduk anterior dan
traktus kortiko spinal. Akibatnya terjadi manifestasi klinis neuron motorik bawah
meliputi Kelemahan, Atrofi, Kram, dan Fasikulasi( kedutan yang tidak teratur
pada serat atau berkas otot).
Manifestasi neuron motorik atas meliputi Spastisitas dan Hiperefleksia.
Keterlibatan traktur kortikolubar menyebabkan disfagia ( kesulitan menelan )dan
disartia ( bicara cadel ). Klien ini beresiko mengalami asupan kalori dan asupan
cairan yang kurang optimal serta memburuknya atrofi otot , kelemahan, dan
kelelahan. Sistem sensorik tidak terlibat dan fungsi kognisi tidak berpengaruh.
7

Klien tetap waspasa dan utuh secara mental selama perjalanan penyakit.
Perkembangan penyakit ini berlangsung tanpa henti. Kematian biasanya terjadi
akibat pneumonia yang disebabkan oleh gangguan pernapasan dalam dua sampai
lima tahun.
Kelemahan biasanya dimulai dari ekstremitas atas dan secara progresif
menyebar ke lengan atas dan bahu, serta kemudian otot-otor leher dan
tenggorokan. Batang tubuh dan ekstremitas bawah biasanya tidak terpengaruh
sampai tahap terakhir penyakit, jika otot-otot interkostal dan diafragma
terpengaruh, pernapasan menjadi dangkal dan batuk tidak efektif. Kognisi dan
sfingter usus dan kandung kemih tetap dalam kondisi yang baik, bahkan ketika
klien benar-benar lemah. Dalam beberapa kasus kelemahan dimulai dibatang otak
dan menyebabkan masalah berbicara dan menelan, hal ini disebut dengan ALS
bulbar.
Secara klinis, ALS dapat diketahui dari adanya gangguan LMN (lower motor
neuron) berupa: kelemahan, otot mengecil (wasting), kedutan (fasciculation) dan
gangguan UMN (upper motor neuron) berupa: refleks tendon hiperaktif, tanda
Hoff mann, tanda Babinski, atau klonus di anggota gerak yang sama. ALS
dimulai dengan fasikulasi, kelemahan ekstremitas, salah bicara (keseleo lidah).
Pada akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan untuk mengendalikan otot yang
diperlukan untuk bergerak, berbicara, makan, dan bernafas. (Jokelainen, 1997)
Kondisi sistem saraf penderita (neurological status) dapat dinilai dengan
kuesioner revised ALS Functional Rating Scale (ALSFRS-r). Disfungsi kognitif
dialami oleh 20–50% penderita ALS, dan 3–15% berkembang menjadi dementia
yang dikategorikan sebagai frontotemporal lobar degeneration (FTLD).
(Abrahams, dkk, 1996)
Gejala ALS biasanya belum tampak hingga penderita berusia 50 tahun, namun
bisa muncul perlahan di usia muda. Penderita ALS biasanya kehilangan kekuatan
dan koordinasi otot sehingga sulit melakukan aktivitas harian, seperti: naik
tangga, berdiri dari kursi, menelan, dsb. Otot-otot menelan dan pernafasan adalah
yang pertama kali diserang ALS. Makin memburuk, makin banyak kelompok otot
yang terkena. ALS tidak mempengaruhi panca indera (penglihatan, penghidu,
perasa/ pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarang menyerang fungsi kandung
kemih, organ perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala ALS antara lain:
sulit bernafas, sulit menelan, mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur,
tersumbat, kram otot, kepala lunglai (mudah terkulai) karena lemahnya otot leher,
kontraksi otot (fasciculation), kelemahan otot yang memburuk, umumnya
pertama kali terkait dengan satu anggota tubuh seperti lengan atau tangan;
menjadi paralisis, sulit mengangkat, menaiki anak tangga, berjalan.

8

Kesulitan berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau perlahan, perkataan
menyatu/kacau (slurring of words), perubahan suara, serak/parau (hoarseness).
Berat badan turun. Potret klinis gangguan pernafasan pada penderita ALS terdiri
dari beberapa tanda dan gejala seperti: bernafas cepat, penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, pergerakan abdomen yang berlawanan (paradox), berkurangnya
gerakan dada, batuk encer atau melemah, berkeringat, takikardi, penurunan berat
badan, bingung (confusion), halusinasi, pusing atau sensasi berputar (dizziness),
papilloedema (jarang), pingsan (syncope), mulut kering. Gejala lain, seperti: sesak
nafas saat beraktivitas atau berbicara, orthopnoea, sering terbangun di malam
hari, mengantuk berlebihan dan lelah di siang hari, sulit membersihkan sekresi,
nyeri kepala di pagi hari, nocturia, depresi, selera makan berkurang bahkan
hilang, konsentrasi dan/atau memori berkurang.(Leigh, dkk, 2003)
2.5 Kriteria Diagnostik Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Diagnosis ALS memerlukan adanya:
1. Tanda-tanda
LMN (termasuk gambaran EMG di otot yang tidak terpengaruh secara
klinis).
2. Tanda-tanda UMN.
3. Perkembangan gejala dan tanda klinis. Diagnosis ALS didukung oleh:
a. Fasikulasi pada satu bagian atau lebih.
b. Perubahan neurogenik pada EMG.
c. Konduksi nervus sensoris dan motoris normal.
d. Ketiadaan conduction block.
2.6 Pemeriksaan Penunjang Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk diperiksa
pada dugaan ALS, antara lain: (1) darah [laju endap darah, C-reactive protein,
screening hematologi, SGOT, SGPT, LDH, hormon TSH, FT4, FT3, vitamin B12
dan folat, serum protein elektroforesis, serum imunoelektroforesis, creatine
kinase, kreatinin, elektrolit (Na+, K+, Cl-, Ca2+, PO43-), glukosa], (2) neurofi
siologi (EMG, kecepatan konduksi saraf), (3) radiologi [MRI/CAT
(kepala/servikal, torakal, lumbal), rontgen dada].(Andersen, dkk, 2005)
Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan pada kasus ALS tertentu:
(1) darah: angiotensin converting enzyme (ACE), laktat, assay hexoaminidase A
dan B, antibodi ganglioside GM-1, anti-Hu, anti-MAG, RA, ANA, anti-DNA,
antibodi anti-AChR, anti-MUSK, serologi (Borrelia, virus termasuk HIV),
analisis DNA. (2) Pemeriksaan cairan serebrospinal, seperti: hitung sel, sitologi,
konsentrasi protein total, glukosa, laktat, elektroforesis protein termasuk indeks
9

IgG, serologi (Borrelia, virus), antibodi gangliosida. (3)Pemeriksaan urin:
kadmium, timah (sekresi 24 jam), raksa, mangan, imunoelektroforesis urin. (4)
Pemeriksaan neurofi siologi, seperti: MEP. Pemeriksaan elektrodiagnostik
berkontribusi terhadap ketepatan diagnosis. (5) Pemeriksaan radiologi, seperti:
mammography. (6) Biopsi; otot, saraf, sumsum tulang, limfonodi. Tidak ada
abnormalitas laboratorium yang patognomonik untuk ALS. Diagnosis klinis
sebaiknya dikonfirmasikan dengan EMG yang menunjukkan bukti active
denervation pada sekurangnya tiga anggota gerak. Kecepatan konduksi saraf
normal atau hampir normal. Protein cairan serebrospinal meningkat di atas 50 mg/
dL pada 30% penderita dan di atas 75 mg/dL pada 10% penderita; angka yang
lebih tinggi dapat dijumpai pada kasus monoclonal gammopathy atau limfoma.
Gammopathy dijumpai pada 5-10% penderita dengan metode sensitif, seperti:
immunofi xation electrophoresis. Untuk kepentingan riset, dapat diperiksa IgG
antibodies against light (NFL) and medium (NFM) subunits dari neurofi lamen
menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dari contoh serum
dan cerebrospinal fluid (CSF) penderita ALS. Dijumpai peningkatan kadar serum
anti-NFL. OX40 (CD134) adalah sitokin anggota keluarga reseptor TNF (tumor
necrosis factor) dan diekspresikan secara selektif pada limfosit T yang teraktivasi.
Penurunan kadar serum soluble OX40 (sOX40) pada penderita ALS membuktikan
bahwa sitokin ini berperan pada perjalanan penyakit (pathomechanisms) ALS.
(Izecka, 2012).
2.7 Penatalaksanaan Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Riluzole (Rilutek), anti glutamat, adalah obat pertama yang dikembangkan
untuk mengobati ALS. Ini menghambat pelepasan presinaptik dari asam glutamat
dalam SSP dan melindungi neuron terhadap excitotoxicity asam glutamat. obat
oral ini diberikan tanpa makanan pada waktu yang sama setiap hari. Klien
dipantau secara teratur untuk fungsi hati, hitung darah, kimia darah, dan alkali
fosfatase. Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis glutamat) 50 mg dua kali
sehari, dengan pemantauan teratur. Pemberian 100 mg riluzole oral setiap hari
setelah 18 bulan memperpanjang harapan hidup penderita ALS sekitar tiga bulan.
Status nutrisi penderita ALS juga perlu dievaluasi, mengingat sering terjadi
disfagia, hipermetabolisme, serta beragam penyakit. Tatalaksanan nutrisi seperti
diet, strategi menelan, kemungkinan dipasang selang makanan langsung ke
lambung, dan suplementasi berupa vitamin dan mineral.
Medikasi sitomatis untuk mengatasi spastisitas yang mengganggu aktivitas
harian adalah pemberian baclofen atau diazepam. Untuk mengatasi produksi
saliva yang berlebihan dapat diberi trihexyphenidyl atau amitriptyline.

10

Terapi Recombinant human insulin-like growth factor (rhIGF-I) – protein
manusia yang dimodifikasi secara genetik diharapkan dapat meningkatkan dan
memperkuat kelangsungan hidup neuron motorik pada ALS. Diberikan setiap hari
melalui injeksi subkutan.
Tindakan nonfarmakologi seperti terapi fisik, massage, perubahan posisi, dan
aktivitas pengalihan dapat membantu mengontrol rasa sakit. Perawatan kulit
meminimalkan kejadian tekanan ulkus. Terapi rehabilitasi, termasuk fisik,
pekerjaan, dan terapi bicara, memungkinkan pasien untuk memaksimalkan fungsi
dan kontrol selama mungkin. Terapi juga dapat menurunkan kejadian komplikasi
seperti aspirasi, jatuh, dan kontraktur. (Linda, 2007)
2.8 Prognosis Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Penyakit ini cepat progresif dan saat ini belum ada obat dikenal. Otot
melemah dan atrofi, kelumpuhan juga berkembang. Seiring dengan waktu, otototot pernafasan menjadi terlibat. Pada awalnya menghasilkan pertukaran udara
yang buruk, meningkatkan risiko untuk infeksi pernapasan, seperti pneumonia.
Akhirnya, kompromi pernafasan dapat menyebabkan kematian akibat gagal
pernafasan. (Mary, 2007)
2.9 Komplikasi Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
a. Sistem muskuloskeletal :
1. Paralysis
2. Hilangnya kemampuan untuk melakukan ADL
3. Total imobilitas
4. Aspirasi
5. Hilangnya komunikasi verbal
b. Sistem respirasi :
1. Pneumonia
2. Gagal napas
3. Emboli pulmonal
4. Atelektasis
c. efek nutrisi : malnutrisi
Saat otot – otot yang berperan dalam proses menelan terpengaruh, maka akan
terjadi kelemahan pada otot – otot tersebut sehingga pasien akan sulit untuk
menelan yang kemudian dapat menderita kurang gizi (malnutrisi) dan kurang
cairan (dehidrasi)

11

12

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Data subjektif :
a. Pasien menyatakan bahwa ia mempunyak kesulitan berbicara
b. Pasien mengeluh susah tidur pada malam hari akibat kecemasan
c. Pasien menjelaskan kesulitan berjalan Selma 3 bulan yang lalu
Data Objektif
a. Tanda Vital
Pola napas,pengkajian pernapasan lengkap, oksimetri nadi, gas darah
arteri (GDA)
b. Radiografi dada
c. Nilai lab (kadar CPK)
d. Uji hasil saraf (CT scan, elektromiogram(EMG), pemeriksaan
konduksi saraf
e. Hasil uji cairan serebrospinal (kadar protein)
f. Cara berjalan
g. Reflek dan kekuatan ektremitas
h. Perilaku, mood
i. Kemampan untuk ADL
j. Bicara menelan
3.2 Analisa data
No.
Data
1.
DS:
1. Klien mengatakan 3
hari ini sulit untuk
bernapa
2. Pasien
juga
mengatakan bahwa
klien
seorang
perokok
DO:
1. RR 24x/menit
2. Merokok 1 bungkus
perhari

Etiologi
Rokok

Stres oksidatif + disfungsi
mitokondria

Apoptis sel

degenerasi neuron motorik

ALS sporadik

Otot pernapasan melemah

Ketidakmampuan ekspansi
dada

Sesak napas
13

Masalah keperawatan
Ketidakefektifan pola
napas

2.

DS:
1. Klien
mengatakan
sulit menelan
2. Nafsu
makan
menurun
3. Terlihat kurus
DO:
1. BB saat ini : 60
kg, BB sebelum :
71 kg

3.

DS: pasien mengeleuh
selain sulit menelan juga
sulit untuk berbicara
DO: suara serak parau


Ketidakefektifan pola napas
Diet tinggi lemak dan
glutamat

Stres oksidatif + disfungsi
mitokondria

Apoptis sel

degenerasi neuron motorik

ALS sporadik

Gangguan otot pada wajah

Terganggunya neuron
motorik pada lidah

Sulit menelan

Nafsu makan menurun

Intake makanan tidak
adukuat

Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuahan
tubuh
Diet tinggi lemak dan
glutamat

Stres oksidatif + disfungsi
mitokondria

Apoptis sel

degenerasi neuron motorik

ALS sporadik

Gangguan otot pada wajah

Terganggunya neuron
motorik pada lidah

Sulit bicara
14

Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuahan tubuh

Gangguan komunikasi
verbal

4.


Gangguan komunikasi verbal
DS:
Rokok
Gangguan

1. Pasien mengatakan
fisik
Stres oksidatif + disfungsi
sulit saat menaiki
mitokondria
anak tangga

2. Sulit
mengangkat
Apoptis sel
tangan

DO: degenerasi neuron motorik

ALS sporadik

otot volunter

Kelemahan otot rangka

Gangguan mobilitas fisik

mobilitas

3.3 Intervensi Keperawatan
1. Dx : ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot pernapasan
Intervensi
Kriteria Hasil
Kaji kemampuan ventilasi
1. Irama, frekuensi dan kedalaman
pernapasan dalam batas normal
Kaji kualitas frekuensi dan kedalaman
pernapasan, laporkan setiap perubahan yang 2. Bunyi nafas terdengar jelas
3. Respirator terpasang dengan optimal.
terjadi
Baringkan klien dalam posisi yang nyaman
(duduk)
Observasi tanda – tanda vital
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan b.d disfagia
akibat gangguan saraf kranial

Intervensi
Kriteria Hasil
Jelaskan
tentang
perlunya
konsumsi 1. Peningkatan BB
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, 2. Klien dan/ atau keluarga dapat
mineral, dan cairan yang adekuat
memenuhi kebutuhan nutrisi klien
secara mandiri
Konsultasikan dengan ahli gizi untuk
menetapkan kebutuhan kalori harian dan
jenis makanan yang sesuai bagi klien
Anjurkan klien untuk istirahat sebelum
makan
Memotivasi klien untuk diet makanan yang
lembut / bubur bagi klien
15

Rencanakan makanan yang lembut atau
bubur bagi klien
Dorong dan bantu klien untuk menjaga
kebersihan mulut yang baik
3. Gangguan komunikasi verbal b.d disatria, sekunder akibat ataksia
otot bicara

Intervensi
Identifikasi metode untuk
kebutuhan dasar
Kurangi kebisingan

penyampaian

Janganlah mengubah pembicaraan dan pesan
anda karena pemahaman klien tidak
terganggu; bicara pada tingkat dewasa
Dorong klien untuk membuat upaya nyata
untuk
melambatkan
bicaranya
dan
mengeraskan suaranya
Minta klien untuk mengulang kata yang tidak
jelas; observasi isyarat nonverbal untuk
membantu pemahaman.
Jika klien mengalami kelelahan, tanyakan
pertanyaan yang memerlukan jawaban
pendek
Jika pembicaraan tidak dapat dipahami,
ajarkan klien untuk menggunakan gerak
tubuh, menulis pesan dan melakukan
komunikasi dengan menggunakan kartu
Tingkatkan kontinuitas perawatan untuk
mengurangi frustasi
Observasi tanda frustasi atau menarik diri
Tulis metode komunikasi yang digunakan
Catat tindakan tertentu yang mengganggu
komunikasi
Lakukan pendidikan kesehatan dan rujukan,
sesuai indikasi.
Ajarkan teknik komunikasi dan pendekatan
repetetif pada orang terdekat klien
Dorong keluarga untuk mengungkapkan
perasaan mengenai masalah komunikasi.
Lakukan konsultasi dengan ahli patologis
wicara di awal program pengobatan

16

Kriteria Hasil
1. Klien
mengungkapkan
berkurangnya frustasi dalam
berkomunikasi
2. Klien menggunakan
metode
alternative sesuai indikasi

4. Perubahan mobilitas fsik b.d kelemahan dan kerusakan muskuler
sekunder terhadap kerusakan neuromuscular

Intervensi
Kriteria Hasil
Kaji dan catat tingkat fungsi motoric
1. Klien dapat memepertahankan semua
rentang gerak pada anggota gerak yang
Konsulkan pada ahli fisioterapi untuk
sakit
menetapkan program latihan yang sesuai
Lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif 2. Fungsi motorik dapat dipertahankan
3. Klien
dapat
memperagakan
setiap 4 jam pada semua ekstremitas
penggunaan bantuan alat
Balikan setiap 2 jam sampai 4 jam bila
pasien menjalani tirah baring
Berikan dorongan untuk ambulasi sesuai
toleransi
Hindari latihan yang menegangkan
Berikan atau lakukan terapi fisik sesuai
pesan : latihan masase dan peregangan
Pertahankan waktu istirahat yang telah
direncanakan
Tes kekuatan muskuler dari semua
ekstremitas setiap 4 jam dan jika perlu
3.4 Evaluasi
1. Pola nafas klien dapat kembali seperti normal
2. Pasien tidak mengalami kesulitan saat bernapas
3. Kebutuhan pasien dapat terpenuhi, tidak mengalami kesulitan dalam menelan
makanan, BB klien tidak mengalami penurunan
4. Klien dapat berkomunikasi dengan baik
5. Tidak terjadi kaku otot pada klien, mobilitas fisik tidak terganggu

17

BAB IV
STUDY CASE
4.1 Study case ALS
Seorang laki-laki, usia 50 tahun, datang ke RS dengan keluhan mengalami
kelemahan pada tangan. Hasil anamnesa didapatkan: kelemahan dialami sejak
1 bulan yang lalu, tangan kanan tidak kuat mengangkat benda, sering
terbangun saat malam hari. Hasil pemeriksaan fisik: RR: 23 x/ mnt, N: 130 x/
mnt, TD: 125/80 mmHg, BB saat ini: 65 kg, BB sebelum sakit 70 kg, TB: 170
cm, sulit menelan, napsu makan turun, tangan kanan atropi, kekuatan otot
2

4

4

4

Pertanyaan:
1. Sebutkan dan jelaskan etiologi dari kasus di atas!
2. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan dari kasus diatas!
3. Jelaskan penatalaksanaan dari kasus di atas!
4. Bagaimana asuhan keperawatan dari kasus di atas?
4.2 Etiologi
Ditinjau dari kasus diatas, Tn.Y mengalami ALS yang disebabkan oleh
degenerasi neuron yang penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti,
apoptosis, strees oksidatif atau penyebab lain yang memicu terjadinya
neurodegeneratif sehingga menyebakan kelemahan pada ekstremitas kanan
Tn.Y
4.3 Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk diperiksa
pada dugaan ALS, antara lain:
(1) darah [laju endap darah, C-reactive protein, screening hematologi, SGOT,
SGPT, LDH, hormon TSH, FT4, FT3, vitamin B12 dan folat, serum protein
elektroforesis, serum imunoelektroforesis, creatine kinase, kreatinin, elektrolit
(Na+, K+, Cl-, Ca2+, PO43-), glukosa],
(2) neurofi siologi (EMG, kecepatan konduksi saraf),
(3) radiologi [MRI/CAT (kepala/servikal, torakal, lumbal), rontgen dada]
4.4 Penatalaksanaan
18

1. Pemberian Riluzole (Rilutek), anti glutamat, merupakan obat pertama
yang dikembangkan untuk mengobati ALS
2. Tatalaksanan nutrisi seperti diet, strategi menelan, kemungkinan dipasang
selang makanan langsung ke lambung, dan suplementasi berupa vitamin
dan mineral.
3. Medikasi sitomatis untuk mengatasi spastisitas yang mengganggu
aktivitas harian yaitu pemberian baclofen atau diazepam.
4. Terapi Recombinant human insulin-like growth factor (rhIGF-I) – protein
manusia yang dimodifikasi secara genetik diharapkan dapat meningkatkan
dan memperkuat kelangsungan hidup neuron motorik pada ALS
5. Tindakan nonfarmakologi seperti terapi fisik, massage, perubahan posisi,
dan aktivitas pengalihan dapat membantu mengontrol rasa sakit.
4.5 Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Nama
: Tn.Y
b. Umur
: 50 tahun
c. Jenis kelamin : Laki- laki
d. Pekerjaan
: pensiunan
e. alamat
: Surabaya
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama :
keluhan mengalami kelemahan pada tangan
b. Riwayat penyakit sekarang
Kelemahan dialami sejak 1 bulan yang lalu, tangan kanan tidak
kuat mengangkat benda, sering terbangun saat malam hari ,
pasaien mengalami kesulitan menelan , napsu makan menurun ,
tangan kanan menjadi atropi dan tidak ada kekuatan otot
c. Riwayat Penyakit Dahulu: 4.6 Pemeriksaan fisik
Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tanda Vital

: Tampak sakit sedang, kesan status gizi kurang dari
kebutuahan
: Compos mentis, GCS: E4V5M6
: RR: 23 x/ mnt, HR: 130 x/mnt, TD: 125/80 mmHg,
BB sekarang: 65 kg, BB sebelum sakit 70 kg, TB:
170 cm
19

Otot Kulit
Kepala

: Turgor kulit baik
: Normocephal, rambut hitam, distribusi merata,
tidak mudah dicabut
Mata
: Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter 3/3 mm,
reflek cahaya Normal, reflek kornea Normal
Telinga
: Bentuk normal, simetris, serumen -/Hidung
: Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/Mulut
: Bibir kering, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1
tenang
Leher
: Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar
tiroid, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening, kaku kuduk (-)
meningeal sign (-)
Dada
:
I
:
Normochest, dinding dada simetris
P
:
Fremitus taktil kanan=kiri, ekspansi dinding dada simetris
P
:
Sonor di kedua lapang paru
A
:
Vesikuler (Normal/Normal), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Ekstremitas
: Edema (-), sianosis (-), atrofi otot (+) ekstermitas
dextra sinistra superior inferior, capillary refill