Makalah ini masih dalam proses diskusi

Revisi Makalah
PENGARUH PERIPATETISME DALAM PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM

Makalah Ini Dipresentasikan Pada Mata Kuliah
SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

OLEH :
Imam Rinaldi dan Novi Sriyanti
PEDI A / Sem. III

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA.

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2018

1

Makalah ini masih dalam proses

diskusi

ABSTRACT

Peripatetism or hikmah masya'iyah is a philosophy that
glorifies the ratio. For the flow of the masya 'iyah is the
attainment of the form of something in the mind, whether
it is a form or intangible that can be in the senses. The
foothold of this flow lies in the meaning of essence or
wujudiyah (aniyah) and essence (mahiyah) and universal
and particular substance. According to paripatetic
essence it is universal and particular (ai-iati al 'amum wa
al khayah), the universal essence with respect to the
universal reality (al-haklkat al-kulliyah) called jenus. The
special essence is called differensia (al-fayl) and
correlates with something specific. Paripathetic
philosophy holds that the definitions are composed of
genera and differensia from different angles. In essence
this flow is almost the same as the flow of Western
rationalism in achieving the essence of truth. It is a form

or intangible that can be in the senses.
Keywords : Peripatetism, Thought, Theology.
ABSTRAK
Peripatetisme atau hikmah masya’iyah adalah filsafat
yang mengagungkan rasio. Bagi aliran masya ’iyah
adalah pencapaian bentuk sesuatu dalam pikiran, baik
sesuatu itu wujud atau tidak berwujud yang dapat di
inderawi. Pijakan aliran ini adalah terletak pada
pemaknaan esensi atau wujudiyah dan hakekat dan
substansi universal dan partikuler. Menurut paripatetik
esensi itu bersifat universal dan partikuler (ai-iati al
‘amum wa al khayah), esensi universal berkenaan dengan
realitas universal (al-haklkat al-kulliyah) yang disebut
jenus. Esensi khusus disebut differensia (al-fayl) dan
berkorelasi dengan sesuatu yang spesifik. Filsafat
paripatetik berpandangan bahwa definisi tersusun dari
genus dan differensia dari sudut pandang yang berbeda.
Pada hakekatnya aliran ini hampir sama dengan aliran
rasionalisme Barat dalam mencapai hakekat kebenaran.
Kata Kunci : Peripatetisme, Pemikiran, Teologi.


BAB I
2

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

PENDAHULUAN
Puji dan syukur yang selalu senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah swt.,
karena atas izin, hidayah dan Ridho-Nya akhirnya makalah ini dapat diselesaikan,
kendati pun masih terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan. Shalawat serta
salam dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia
dari kesalahan menuju kebenaran.
Makalah ini akan membahas Pengaruh Peripatetisme dalam Pemikiran
Pendidikan Islam, meliputi: Perkembangan peripatetisme dalam Khazanah
Pemikiran Islam, Tokoh dan Karya Monumental, dan Jejak peripatetisme dalam
Pemikiran Pendidikan Islam
Semoga penyajian makalah ini dapat lebih menambah wawasan kita dan
dapat dijadikan khazanah dan mengimplementasikannya dalam kehidupan
keseharian kita semua. Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

referensi bagi sejarawan atau pengajar di bidang sejarah, terutama sejarah Islam.

3

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Perkembangan Peripatetisme dalam Khazanah Pemikiran Islam
Kata peripatetisme berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan derivasi

kata peripatein (berkeliling) dan peripatos (beranda), dan isme yang berarti aliran.
Dalam khazanah Yunani, Menurut Amruni kata ini mengacu kepada suatu
serambi gedung olahraga di Athena yang digunakan untuk mengajarkan filsafat
dengan berjalan-jalan dan mengelilingi murid-murid. Kata sifat dari peripatetisme
adalah peripatetik. Dari kata tersebut, Mulyadi berpendapat bahwa berarti “ia
yang berjalan berputar atau mengelilingi”. Arti ini merujuk pada kebiasaan

Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya, ketika ia
mengajarkan filsafat. Dalam bahasa Arab, kata peripatetik dikenal dengan
istilah masysya’i, berjalan berputar. Sedangkan alirannya disebut masysya’iyah.
Dari pemaparan seputar pengertian peripatetisme di atas, maka dapat
dipahami bahwa peripatetisme merupakan sebuah aliran filsafat yang memakai
metode yang digunakan oleh Aristoteles untuk mengajarkan filsafat kepada
murid-muridnya dengan cara berjalan-jalan dan mengelilinginya. Metode ini
dilakukan Aristoteles tentu saja untuk lebih memudahkan baginya dalam
mengajarkan filsafat, dan para muridnya bisa secara langsung menerimanya. Itu
berarti cikal bakal penggunaan istilah peripatetisme pada mulanya mengacu
kepada metode yang dipakai oleh Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada
murid-muridnya.
Dalam filsafat Islam, aliran peripatetisme pertama kali diperkenalkan oleh
al-Farabi1, dan secara besar-besaran mencapai puncaknya secara sempurna di
tangan Ibn Sina. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran filsafat ini umumnya
dipakai oleh para filosof Islam, seperti Ibn Bajjah dan Ibn Thufail, yang dikenal
sebagai dua filosof Islam yang mengembangkan filsafat peripatetik dalam konteks
filsafat yang lebih luas setelah muncul kritikan dari al-Ghazali. Pada abad
pertengahan Islam, Mulla Shadra banyak bergantung pada filsafat peripatetik ibn
1


Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism
(Oxford: Oneworld Publications, 1997), 100.

4

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

Sina.2 Ia telah berhasil mempertemukan empat aliran besar dalam pemikiran
Islam; peripatetisme,

iluminasionisme

(isyraqiyyah), gnonisme (‘irfan) dan

kalam/teologi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran peripatetisme tidak saja
dianut oleh filosof Islam di zaman klasik, tapi juga sampai zaman pertengahan dan
bahkan zaman modern. Di tangan para filosof muslim, aliran peripatetisme

mengalami kemajuan di bidang obyek pembahasan, baik secara epistemologi
maupun ontologi. Hal ini menunjukkan keterbukaan dan penerimaan yang baik
dari para filosof muslim terhadap filsafat Yunani, yang dalam khazanah filsafat
Islam dikenal identik dengan istilah hikmah dalam ajaran Islam. Dalam melacak
epistemologi peripatetisme Islam, Kartanegara meninjaunya dalam beberapa
aspek metodologi berikut ini, yaitu;
1. Modus ekspresi atau penjelasan para filosof Muslim peripatetisme Islam
yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal
(rasio). Adapaun prosedur penalaran yang digunakannya adalah apa yang
dikenal dalam istilah filsafat sebagai “silogisme”, yaitu metode penarikan
kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui secara baik, yang
disebutnya dengan istilah premis (mayor dan minor), dan setelah
ditemukan term yang mengantarai dua premis di tersebut yang biasa
disebut “midle term” atau al-hadd al-wasath.
2. Bersifat diskursif, filsafat yang dikembangkan bersifat tidak langsung.
Dikatakan tidak langsung karena untuk menangkap obyeknya digunakan
simbol, baik berupa kata-kata atau konsep maupun representasi. Modus
pengetahuan

(epistemologi)


seperti

ini

bisa

disebut hushuli atau

perolehan; yakni diperoleh secara tidak langsung melalui perentara.
3. Penekanan

yang

kuat

pada

daya-daya


rasio

sehingga

kurang

memprioritaskan pengetahuan melalui pengenalan intuitif. Implikasinya,
bisa dikatakan sebagai tidak memperoleh pengetahuan yang otentik-yang
biasanya

diperoleh

berdasarkan

pengalaman

mistik,

tetapi


lebih

dipengaruhi oleh otoritas para filosof pendahulu. Bukan berarti filosof
2

Ibid., h. 145.

5

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

peripatetik tidak mengakui adanya intuisi suci, tapi bagi mereka
nampaknya itu hanya dimiliki oleh para Nabi atau wali. Adapun bagi
mereka sendiri lebih menggantungkan filsafat mereka pada daya-daya atau
kekuatan akal semata. Karena itu aliran peripatetik pantas disebut sebagai
kaum rasionalis Islam.3
Berdasarkan elaborasi di atas dapat dipahami, bahwa epistemologi
peripatetisme Islam secara prinsip umum sangat mengandalkan potensi akal
dalam memperoleh pengetahuan. Tingginya kedudukan akal bagi aliran

peripatetik, maka tidaklah berlebihan jika mereka disebut sebagai kaum
rasionalis Islam, dan dapat juga dikatakan sebagai kaum “deduksionis”,
karena ciri khas metode ini adalah penyandarannya yang eksklusif (kuat) pada
deduksi dan demontrasi rasional. Hal ini terjadi disebabkan oleh tinggi atau
banyaknya

pengaruh pemikiran filsafat Yunani, khususnya Aristoteles

terhadap para filosof Islam pada awal sentuhan peradaban Yunani ke dunia
Islam. Bahkan tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak unsur-unsur Yunani
(hellenisme) dalam filsafat Islam, khususnya secara metodologi atau
epistemologi.
Secara ontologis, standar aliran peripatetisme Islam dapat dilihat
dalam dua kategori;pertama, materi dan bentuk. Aliran peripatetisme Islam
menganut pemikiran bahwa segala yang ada (wujud) di alam ini terdiri atas
dua unsur utama yaitu materi/ al-hayula, dan bentuk /shurah. Materi dan
bentuk menjadi penentu bagi sesuatu berwujud atau tidak. Tegasnya, standar
sesuatu dikatakan wujud, bila sestau itu mengandung untsur materi dan
bentuk. Dengan demikian, aliran peripatetisme Islam lebih menekankan
keutamaan wujud (ashalah al-wujud), sehingga bisa disebut sebagai penganut
aliran eksistensialisme Islam atau hylomorfis.
Para ilmuan Arab sudah mengadakan usaha yang berarti untuk
menyelaraskan, bukan hanya filsafat Yunani dengan ajaran Islam, akan tetapi
juga dengan unsur-unsur campuran yang terdapat di dalam filsafat Yunani
sendiri. Walaupun tidak secara langsung semangat patriskisme berperan untuk
3

Kartanegara, 2006, h. 27-28.

6

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

mendamaikan pertentangan yang terjadi antara ilmuwan dengan agama, pada
sisi lain terjadi peralihan besar-besaran dari dunia filsafat Yunani ke dalam
dunia Islam dalam semangat keilmuwan murni. Hal ini ditandai dengan
penterjemahan buku-buku Yunani, yang berpusat di bait al hikmah khususnya,
ke dalam bahasa Timur, terutama bahasa Arab. Upaya penerjemahan ini
membawa pengaruh yang sangat besar dengan di tandai lahirnya banyak tokoh
filsuf di dunia Islam.
Ibnu Sina melengkapi teori al-Farabi. Teori emanasinya hampir sama
dengan teori al-Farabi. Beberapa hal yang perlu dicatat adalah; pertama, Dia
menjelaskan wujud berdasarkan tiga kelompok, wajibul wujud, Mumtani alWujud, dan Mumkinul Wujud. Tuhan tentu saja adalah wajibul wujud yang
senantiasa aktual. Mumtani al-Wujud tidak merujuk apapun karena
kemustahilannya. Sementara Mumkinul wujud adalah wujud potensial.
Mumkinul wujud merujuk pada alam semesta ketika masih berpotensi. Ketika
sudah pada tahap maujud, maka dia disebut sebagai wajibul wujud lighairihi
(wujud wajib yang bergantung). Kedua, karena akal pertama dan akal
selanjutnya dapat berpikir tentang tiga macam, maka akibatnya juga tiga
macam. Pengecualian terdapat pada akal kesepuluh karena tidak dapat lagi
melahirkan akal ke sebelas karena memberikan bentuk pada materi,
menimbulkan alam fisik yang fana berupa dunia kejadian (generasi) dan
kehancuran (korupsi) berupa dunia bawah bulan (sub lunar world) yang kita
tempati saat ini tempat munculnya hewan, tumbuhan, batuan dan manusia.4
Peran para Filsuf Peripatetik Muslim dalam pemikiran filsafat, telah
melanjutkan dengan baik tradisi filsafat Yunani melalui pemikiran baru yang
merupakan kritik mendalam dan juga apresiasi terhadap jejak pemikiran
filsafat para filsuf sebelumnya.
Keberadaan filsafat peripatetik memperoleh serangan hebat dari para
teologi Asy’ariyah, seperti serangan dari Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111),
yang di dunia Latin dikenal sebagai Algazel.5 Beliau mengkritik filsafat
4

Ibid., h. 38-42.
Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York : Mentor Books,
1970), h. 30.
5

7

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

dengan terlebih dahulu merumuskan ajaran-ajaran peripaetatisme seperti
dalam Maqasid al-Falsafiah, lalu dikritik secara tajam dalam Tahaful alFalasifah. Al-Ghazali mengklaim bahwa para filsuf muslim telah membuat
kekeliruan total tentang metafisika, bahkan gagasan mereka tentang metafisika
sesat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Al-Ghazali sebagai seorang teolog besar pendukung aliran Asy’ariyah,
secara sistematis membongkar cara berfikir filosofis para filsuf muslim. Hal
ini dilakukan karena al-Ghazali mencoba mempertahankan pokok-pokok
pikiran Asy’ari (w. 935) sebab pemikiran-pemikiran para filsuf bertolak
belakang dengan teologi Asy’aiyah yang diyakininya. Sedikitnya dua puluh
persoalan metafisika menjadi sasaran kritik mantan rektor Universitas
Nizhamiyah Baghdad ini.6
Dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali
menyerang pendapat-pendapat filsafat Yunani dan filsafat Ibnu Sina yang
meliputi dua puluh masalah, antara lain :
a. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam
dan dunia. Di sini al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari
tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
b. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya
keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah
kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa
akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi bukanlah suatu
kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di
luar irodat Tuhan.
c. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya
mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal
yang kecil-kecil (juz’iyat).
d. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi
dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata. mustahil ada
6

Dja’far Siddik dan Ja’far, Jejak Langkah Intelektual Islam (Medan : IAIN Press, 2010),

h.41.

8

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

penyelewengan dari hukum itu, bagi al-Ghazali segala peristiwa yang
serupa dengan hukum sebab akiibat itu hanyalah kebiasaan (adat) sematamata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas al-Ghazali
menyokong pendapat ijrau’ul adat dari Al-Asy’ari.7
Al-Ghazali menyatakan bahwa tiga pandangan filsuf membuat mereka bisa
dicap sebagai sesat. Tiga pandangan sesat para filsuf tentang metafisika, sehingga
keyakinan mereka itu menjadikan mereka sebagai kafir, yakni :8
1. Pandangan mereka tentang kekadiman alam
2. Pandangan mereka bahwa Allah swt tidak mengetahui soal-soal peristiwa
kecil.
3. Pandangan mereka tentang pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Awalnya peripatetisme ini berkembang di Timur karena disebarkan oleh
para filsuf-filsuf muslim di wilayah Timur, seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi,
dan Ibnu Sina. Kemudian akhirnya filsafat ini menyebarluas di wilayah Barat
(Eropa) dengan disebarkannya oleh Ibnu Bajjah (1100-1138 M) dikenal dengan
Avempace, Ibnu Thufail (1185 M) dikenal dengan Abubacer, dan Ibnu Rusyd
(1126-1198 M) dikenal dengan Averroce.9
Sampai pertengahan abad ke-12 orang-orang Barat belum mengenal filsafat
Aristoteles

(peripatetisme)

secara

keseluruhan.

Skolastik

Islamlah

yang

membawakan perkembangan filsafat di Barat. Berkat tulisan ahli pikir Islam,
terutama Ibnu Rusyd, orang-orang Barat itu mengenal Aristoteles. Peran para
filsuf muslim besar sekali, tidak hanya dalam pemikiran filsafat saja tetapi juga
memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi Eropa dalam bidang llmu
pengetahuan.10
Sejarah mencatat bahwa nasib filsafat peripatetik di Barat tidak mendapat
usia panjang. Sejak abad ke-13 M, filsafat mulai mengalami kebangkitan kembali
di dunia Timur, dan Persia menjadi ladang subur bagi budidaya filsafat
peripatetik. Akan tetapi seperti yang dikatakan Rahman, peripatetik mulai

7

Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h. 71.
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h. 71.
9
Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Klasik Hingga Postmodernisme (Yogyakarta :
AR-Ruzz Media, 2016), h. 86.
10
Ibid., h. 87.
8

9

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

mengalami persentuhan dengan tasawuf dan kalam.11 Pada periode ini banyak
ditemukan sejumlah tokoh yang mengomentari karya-karya peripatetisme.
B.

Tokoh dan Karya Monumental
Sejumlah penulis sejarah filsafat Islam menyebut Abu al-‘Abbas

Iransyahri sebagai filsuf muslim pertama aliran ini, kendati hal ini masih
memerlukan bukti-bukti sejarah. Lain halnya dengan Sayyid Muhammad Husain
Thabathaba’i, seorang filsuf Hikmah Muta’aliyah, yang menyatakan bahwa Ali
bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang membahas masalah-masalah filsafat
diskursif di dunia Islam, seperti termuat dalam kitab Nahj al-Balaghah karya
Sayyid Syarif al-Radhi. Akan tetapi, para penulis sejarah filsafat Islam sepakat
bahwa tradisi filsafat peripatetik Islam dimulai sejak al-Kindi (801-865 M), alFarabi (850-950 M) dan mencapai puncaknya pada masa Ibn Sina (980-1037 M)
di dunia Timur dan Ibn Rusyd (1126-1198 M) di dunia Barat. Peripatetisme Islam
masih memiliki serentetan filsuf pendukung ajarannya.12
1. Al-Kindi (w. 866 M)
Al-Kindi merupakan orang pertama yang merintis jalan upaya penyesuaian
filsuf yunani dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (ortodoksi), sementara filsuf
Arab atau Islam selanjutnya bisa disebut hanya meneruskan apa yang telah di
lakukan al -Kindi. Jalan pertama yang di rintis al-Kindi ini merupakan titik
awal lahirnya filsafat Islam, sekalipun filsafat islam masih dalam tanda petik.
Mengingat al -Kindi sendiri kurang jelas dan tegas memilih, ketika
menghadapi lebih-lebih saat mengimplementasikan aliran filsafat Aristoteles
(masyaiyah / peripatetik) dan aliran filsafat neoplatinus (aliran platinus).
Kerancuan ini terjadi akibat beredarnya revisi yang dilakukan Proclus
terhadap karya tulis Platinus, yang terkenal dengan nama Enneade (tasu’at)
atau Rububiyah (ketuhanan). Sebagaimana yang di jelaskan oleh al-Ahwani,
ketika al-Kindi mengulas masalah-masalah tentang kecakapan jiwa, banyak
pengamat menilai bahwa ia sedikit menyimpang dari tradisi Aristoteles
sendiri. Karena ia membedakan antara kecakapan-kecakapan vegetatif,
11
12

Fazlur Rahman, Islam,Terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Pustaka, 1984), h. 173.
Dja’far Siddik dan Ja’far, Jejak Langkah Intelektual Islam (Medan : IAIN Press, 2010),

h.37.

10

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

sensitif, rasional dan motif. Dengan demikian, konsep tiga bagian platonik
tentang jiwa sering kali disatukan tanpa pemilihan sebagaimana mestinya.13
Nama al-Kindi dalam bahasa Latin dikenal sebagai Alkindus. Selain
dikenal sebagai seorang pemikir ensiklopedis, karena menguasai semua
cabang ilmu filsafat, kimia dan kedokteran. Al-Kindi dipandang oleh para
sejarawan sebagai filsuf muslim pertama. Al-Kindi telah menulis 270 karya,
adapun di antara karya-karya adalah:14
1. Kitab Fi falsafat al-Ula
2. Kitab al-Bahs ‘ala Ta’lim al-Falsafah
3. Tartib Kitab Arituthilis
4. Risalah fi Hudud al-Asyya’
5. Fi Radd’ala al-Mananiyah
6. Naql al-Masa’il Mulhidin
7. Al-Hilah li Daf’i al-‘ilm al-Insani
2. Al-Farabi (w. 950 M)
Nama Latin al-Farabi adalah Alpharibus. Ia adalah seorang murid dari
Yuhanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus. Ia digelari sebagai Mu’allim
al-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles, sebagai Mu’allim al-Awal (guru
pertama). Selain dikenal sebagai dokter, logikawan, musisi, ilmuwan, dan
filosof. Kendati dikenal sebagai salah seorang filsuf rasionalis, al-Farabi lebih
memilih pola hidup sepertipola hidup sufi. Ia sangat produktif menulis
sejumlah karya filsafat, di antara karya-karyanya adalah :15
1. Kitab Huruf
2. Kitab al-Faz al al-Musta’malah fi al-Mantiq
3. Kitab al-Jadal
4. Risalah fi al-‘Aqal
5. Risalah fi al-Mantiq
6. Ihsa’ al-Ulum
7. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
13

Abu Ridla, Rasail al kindi al falsafiyah (Cairo : 1953), h. 294-295.
Dja’far Siddik dan Ja’far, Jejak, h. 39.
15
Ibid.
14

11

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

8. Kitab Siyasah Madaniyah
9. Kitab al-Tanbih ‘ala al-Sabil al-Sa’adah
10. Tahsil al-Sa’adah
11. Fushush al-Hikmah
12. Al-Musyiq al-Kabir
3. Ibn Sina (w. 1073 M)
Ajaran peripatetik mencapai kematangan berkat usaha Ibn Sina.
Seorang filsuf Persia bergelar Syaikh al-Rais. Dalam bahasa Latin, dia kenal
sebagai Avicenna. Ibn Sina tidak saja dikenal sebagai filsuf, tetapi juga
ilmuwan. Doker terbaik zaman kememasan Islam ini banyak menulis berbagai
kitab. Di antara karyanya adalah :16
1. Kitab al-Syifa
2. Al-Isyarat wa al-Tanbihat
3. Al-Najat
4. Al-Falsafah al-Msyiriqiyyah
5. Mabda’ wa al-Ma’ad
6. Qanun fi al-Thibb
7. Risalah fi Quwwah al-Nafs
8. Danisyanamayi ‘ala’i
9. Al-Muzdawiyah
10. Al-Qashidah al-‘ainiyyah
11. Risalah al-Thayr
12. Risalah fi Sirr al-Qadar
13. Risalah fi al-Isyq
14. Tahsil al-Sa’adah
15. Al-Urjuzah fi al-Thibb
16. Al-Qashidah
17. Mantiq Masyriqiyyin
18. Al-Hikmah al-Masriqiyyah

16

Dja’far, h. 39.

12

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

4. Muhammad bin Zakariya al-Razi
Beliau merupakan seorang dokter terkemuka pada zaman keemasan,
namun beliau juga memiliki banyak kontribusi bagi sejumlah pemikir filsafat
peripatetik. Ia menulis tidak kurang dari 232 buku, di antaranya adalah :17
1. Kitab al-Sirah falsafiyah
2. Al-Thibb al-Ruhani
3. AL-Manshuri
4. Muluki
5. Jami’ fi al-Thibb
6. Syukuk al-Razi ‘ala Kalam Galenos
7. Rasail al-Razi falsafiyah
5. Al-Biruni (w. 1047)
Di antara karyanya adalah :18
1. Al-Din wa al-falsafah
2. Al-Atsar al-Baqiyah
3. Al-adab
4. Al-Tarikh
5. Al-Qanun al-Mas’udi
6. Al-Syahadah fi al-Thinn
7. Tahiq ma li al-Hind min Maqulah
8. ‘Ilm al-Falaq
6. Abu Hasan ‘Amiri (w.922 M)
karya-karyanya :
1. Al-‘ilam bi Manaqib al-Islam
2. Fushul Ma’alim al-Ilahiyah
3. Al-Qaul al-Ibshar wa al-Mubshar
4. Indaq al-Basyar min al-Jabr wa al-Qadr
5. Al-Taqrir li Aujuh al-Taqdir
6. Al-Qaul fi al-Ibshar wa al-Mubshar
7. Fushul fi al-Ma’alim al-Ilahiyah
17
18

Ibid., h. 40.
Ibid.

13

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

8. Al-Amad a’la al-Abad
7. Ikhwan al-Shafa
Karyanya adalah Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khillan al-Wafa’.
8. Yahya bin ‘Adi (w. 974 M)
Karyanya adalah :
1. Tahdzib al-Akhlaq
2. Maqala fi al-Tawhid li Syaikh Yahya bin ‘Adi
9. Ibn Haytsam (w. 1039 M)
Beliau adalah seorang dokter, astronom, matematikawan, musisi, dan
filosof, yang telah menulis 180 karya, di antaranya adalah :
1. Kitab Manazhir
2. Al-Mutawassitat
10. Ibn Khaldun (w. 1406 M)
Filsuf ini berasal dari Tunisia. Selain dikenal sebagai fukaha madzhab
Maliki, ia juga dikenal sebagai filsuf sejarah. Buah fikirnya dikenal lewat
sejumlah karyanya, seperti :
1. Al-Muqaddimah
2. Al-‘Ibar wa diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa
al-A’jam wa Barbar wa Man ‘Asarahum min Dzawi al-Sulthan alAkbar
3. Al-Ta’rif Ibn Khaldun wa Rihlahtuh Gharban wa Syarqan
4. Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din
5. Syifa al-Sa’ili Tahzib al-Masa’il
11. Ibnu Bajjah (w. 1138 M)
Ibnu Bajjah menjadi pelopor kebangkitan filsafat peripatetik
Andalusia, dan dia mempopulerkan ajaran Aristoteles, Plato, al-Farabi, dan alGhazali di Barat. Selain banyak mengulas karya-karya filosof Yunani seperti
Plato, Aristoteles, Phytagoras, ia juga menulis sejumlah kitab seperti :19
1. Tadbir al-Mutawahhid
2. Kitab an-Nafs
3. Risalat al-Ittishal
19

Ibid., h. 43.

14

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

4. Risalat al-Wada’
12. ibnu Tufail (w. 1185 M)
Ia tidak saja dikenal sebagai filsuf Andalusia, tetapi juga dokter
terkemuka. Karya monumentalnya adalah Hayy bin Yaqzan.
C.

Jejak Teologi dalam Pemikiran Pendidikan Islam
Tokoh filsafat Islam yang identik dengan peripatetisme adalah Al-Kindi,

Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain dan mereka menghasilkan pemikiran yang
berbeda-beda contohnya Ibnu Sina dengan konsep emanasinya yang menjadi basis
kosmologi yang Tuhan yang tunggal di identikan sebagai Intelek yang
memancarkan atau beremanasi menjadi intelek dua, begitu seterusnya
sehingga terciptakanya berbagai materi yang ada di alam semesta ini.
Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam yang paling jelas adalah melalui
penerjemahan buku-buku filsafat. Kegiatan tersebut membuat beberapa filsuf
Islam dikenal oleh dunia. Dapat diketahui bahwasanya nama Abu Ishak al-Kindi,
Abu Nasr al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, al-Abhari
dan sebagainya. Auguste Comte pernah menerangkan, bahwa tiap-tiap pribadi
bangsa tumbuh dalam tiga tingkat kemajuannya : Pertama, tingkat agama atau
dogma, di mana manusia menerima keyakinan dari mulut ke mulut dan
menjalankannya. Kedua, tingkat filsafat, di mana manusia menggunakan
pikirannya untuk memikirkan apakah yang menjadi hakikat kebenaran. Ketiga,
tingkat ilmu pengetahuan, di mana manusia menggunakan pikirannya itu sudah
sampai pada tingkat yakin dan kebenaran yang diyakaini itu adalah kebenaran
yang mutlak.20
Sebagaimana telah diketahui bahwa filsafat pendidikan merupakan terapan
ilmu filsafat terhadap problema terhadap pendidikan atau filsafat yang dietrapkan
dalam suatu usaha pemikiran (analisis filosofis) mengenai masalah pendidikan.
Hampir semua pakar pendidikan sepakat untuk mengatakan bahwa filsafat
pendidikan mengandung makna berpikir kritis, sistematis, dan radikal tentang
berbagai problem kependidikan guna pencarian konsep-konsep dan gagasan–
gagasan yang dapat mengarahkan manusia dalam rancangan yang integral agar
20

Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam (Solo: Ramadhani, 1982), h. 11.

15

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

pendidikan benar-benar dapat menjawab kebutuhan masyarakat dalam rangka
kemajuan-kemajuan.
Kegiatan ilmu pengetahuan (terutama filsafat) merupakan prestasi besar
dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Hal ini merupakan
sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berfikir untuk
mendorong perkembangan intelektual para ilmuan.

BAB III
KESIMPULAN
Peripatetisme adalah aliran filsafat yang bersifat Aristotelian dengan
diskursif-demonstrasional sebagai ciri utamanya. Pada perkembangan teologinya
16

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

dalam khazanah pemikiran Islam, Filsafat peripatetisme ini pernah dikritisi oleh
al-Ghazali yang kemudian kritikan tersebut beliau tulis dalam bukunya yang
berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan filsafat). Sedikitnya dua puluh
persoalan metafisika menjadi sasaran kritik al-Ghazali. Beliau menyatakan bahwa
tiga pandangan filsuf membuat mereka menjadi kafir, sementara tiga pandangan
filsuf membuat mereka bisa dicap sebagai pelaku bid’ah. Tiga pandangan sesat
para filsuf tentang metafisika, sehingga keyakinan mereka itu menjadikan mereka
sebagai kafir, yakni :
1. Pandangan mereka tentang kekadiman alam
2. Pandangan mereka bahwa Allah swt tidak mengetahui soal-soal peristiwa
kecil.
3. Pandangan mereka tentang pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Adapun tokoh-tokoh aliran peripatetisme di antaranya :
1. Al-Kindi (w. 866 M)
2. Al-Farabi (w. 950 M)
3. Ibn Sina (w. 1073 M)
4. Muhammad bin Zakariya al-Razi
5. Al-Biruni (w. 1047)
6. Abu Hasan ‘Amiri (w.922 M)
7. Ikhwan al-Shafa
8. Yahya bin ‘Adi (w. 974 M)
9. Ibn Haytsam (w. 1039 M)
10. Ibn Khaldun (w. 1406 M)
11. Ibnu Bajjaj
12. Ibnu Tufail
Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam yang paling jelas adalah
melalui penerjemahan buku-buku filsafat. Kegiatan tersebut membuat beberapa
filsuf Islam dikenal oleh dunia. Dapat diketahui bahwasanya nama Abu Ishak alKindi, Abu Nasr al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, dan
sebagainya
Kegiatan ilmu pengetahuan (terutama filsafat) merupakan prestasi besar
dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Hal ini merupakan
17

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berfikir untuk
mendorong perkembangan intelektual para ilmuan.21 Inilah yang menjadi Jejak
teologi dalam pemikiran pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Bakar Aceh, Abu, 1982, Sejarah Filsafat Islam, Solo : Ramadhani.
Fakhry, Majid, 1997, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and
Mysticism , Oxford: Oneworld Publications.
21

Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia
Grup, 2014), h. 67.

18

Makalah ini masih dalam proses
diskusi

Hossein Nasr, Sayyed, 1970, Science and Civilization in Islam (New York :
Mentor Books.
Labib, Muhsin, 2002,

Mengenal Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, Jakarta :

Lentera.
Latif, Mukhtar, 2014, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta:
Prenadamedia Grup.
Maksum, Ali, 2016, Pengantar Filsafat : Dari Klasik Hingga Postmodernisme,
Yogyakarta : AR-Ruzz Media.
Muhmidayeli, 2011, Filsafat Pendidikan, Bandung : Refika Aditama.
Prasetya, 1997, Filsafat Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia.
Ridla, Abu, 1953, Rasail al kindi al falsafiyah, Cairo.
Siddik, Dja’far dan Ja’far, 2010, Jejak Langkah Intelektual Islam, Medan : IAIN
Press.
Sudarsono, 2010, Filsafat Islam, Jakarta : Rineka Cipta.

19

Makalah ini masih dalam proses
diskusi