Laporan Pengaruh pengolahan terhadap pro

LAPORAN PRAKTIKUM EVALUASI GIZI
ACARA II
PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP PROTEIN

ROMBONGAN 1
KELOMPOK 3

Oleh :
Fika Puspita

A1M012001

Halim Zulfakar

A1M012018

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014


I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,
karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam
amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh
lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan
ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Protein
digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan enegi dalam tubuh tidak
terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut pula mengatur berbagai proses
tubuh, baik langsung maupun tidak langsung dengan membentuk zat-zat pengatur
proses dalam tubuh. Protein mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan
pembuluh darah. Sifat amfoter protein yang dapat bereaksi dengan asam dan basa
dapat mengatur keseimbangan asam-basa dalam tubuh (Winarno, 1990).
Penetapan protein secara akurat merupakan pekerjaan yang sulit
dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah protein

membentuk grup yang sangat beragam dan luar biasa kompleksnya baik dalam
komposisi maupun dalam sifat sehingga sulit untuk memisahkan, memurnikan
atau mengekstrak, sifat amfoterik dari protein, kemampuan mengabsorbsi yang
tinggi, dan sensitifitas terhadap elektrolit, panas, pH, dan pelarut. Oleh karena itu
analisa protein dalam makanan pada umumnya lebih kepada kadar total protein
dan bukan pada kadar protein tertentu (Anwar & Sulaeman 1992).
Kadar protein yang terkandung dalam setiap bahan berbeda-beda. Karena
itu, pengukuran kadar protein suatu bahan sangat diperlukan. Secara umum
analisa protein dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode Kjeldahl,
metode Biuret, dan metode Lowry. Penentuan konsentrasi protein merupakan
suatu proses yang rutin dilakukan dalamanalisis biokimia. Pilihan metode yang
baik dan tepat untuk suatu pengukuran tergantung pada beberapa faktor yaitu
benyaknya material atau sampel yang tersedia, waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan

pengukuran,

serta

alat


spektrofotometer

yang

tersedia

(spektrofotometer Vis atau UV) (Tika,2007). Pada praktikum kali ini analisa
protein dilakukan dengan metode Lowry.
B. Tujuan
Mengetahui pengaruh cara pengolahan terhadap perubahan kadar protein terlarut
bahan pangan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Protein
Kata protein berasal dari kata protos atau proteos yang berarti pertama
atau utama. Protein merupakan komponen penting sel hewan atau manusia

sehingga fungsi utama protein yaitu sebagai zat pembentukan dan pertumbuhan
tubuh. Protein adalah komponen yang terdiri atas atom karbon, hydrogen,
oksigen, nitrogen, dan beberapa ada yang mengandung sulfur dan fosfor.
Tersusun dari serangkaian asam amino dengan berat molekul yang relatif sangat
besar, yaitu berkisar 8.000 sampai 10.000. Protein yang tersusun dari hanya asam
amino disebut protein sederhana. Adapun protein yang mengandung bahan selain
asam amino, seperti turunan vitamin, lemak, dan karbohidrat, disebut protein
kompleks. Secara biokimiawi, 20% dari susunan tubuh orang dewasa terdiri dari
protein. Kualitas protein ditentukan oleh jumlah den jenis asam aminonya (Devi,
2010).
Protein sangat berperan penting dalam proses tubuh. Proses kimia tubuh
dapat berlangsung dengan baik karena adanya enzim, suatu protein yang berfungsi
sebagai biokatalis. Di samping itu, hemoglobin dalam butir-butir darah merah
(eritrosit) yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
bagian tubuh adalah suatu jenis protein. Demikian juga zat-zat yang berperan
untuk melawan bakteri atau yang biasa disebut antigen juga suatu protein. Protein
merupakan jenis zat gizi yang diperlukan tubuh untuk menggantikan sel-sel yang
rusak dan juga untuk pertumbuhan. Kita memperoleh protein dari makanan yang
berasal dari hewan ataupun tumbuhan. Protein yang berasal dari hewan disebut
protein hewani, sedangkan yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati.

Beberapa makanan sumber protein adalah daging, telur, susu, ikan, beras, kacang,
kedelai, gandum, jagung, dan buah-buahan.
Protein murni tidak berwarna dan tidak berbau. Jika protein tersebut
dipanaskan, warnanya berubah menjadi coklat dan baunya seperti bau bulu atau
bau rambut terbakar. Keratin misalnya, yaitu protein yang monomernya banyak
mengandung asam amino sistein. Jika keratin dibakar, timbul bau yang tidak enak.
Protein alam yang murni juga tidak memiliki rasa, tetapi hasil hidrolisis protein,

yaitu proteosa, pepton, dan peptida, mempunyai rasa pahit. Pada umumnya,
protein terdapat dalam bentuk amorf dan hanya sedikit sekali yang terdapat dalam
bentuk Kristal. Protein nabati umumnya lebih mudah membentuk Kristal
dibandingkan dengan protein hewani. Protein hewani seperti hemoglobin mudah
membentuk suatu Kristal, sedangkan albumin sukar. Kandungan protein pada
setiap bahan berbeda-beda. Beberapa protein enzim, seperti tripsin, pepsin, urease,
dan katalase juga dapat membentuk Kristal (Sumardjo, 2008).
Tempe
Tempe adalah salah satu produk pangan di Indonesia yang proses
pembuatannya dengan cara memfermentasi kacang kedelai atau kacang-kacangan
lainnya oleh kapang Rhizopus oligosporus. Tempe merupakan sumber protein
nabati yang mempunyai nilai gizi yang tinggi daripada bahan dasarnya. Tempe

dibuat dengan cara fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus
oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Inkubasi / fermentasi
dilakukan pada suhu 25˚-37˚C selama 36-48 jam. Selama inkubasi terjadi proses
fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji
kedelai. Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah
kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur
(Hidayat, dkk. 2006).
Tempe mempunyai nilai gizi yang tinggi. Tempe dapat diperhitungkan
sebagai sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki kandungan protein,
karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Gizi utama yang hendak
diambil dari tempe adalah proteinnya karena besarnya kandungan asam amino.
Kadar protein dalam tempe 18,3 gram per 100 gram. Tempe juga mengandung
beberapa asam amino yang dibutuhkan tubuh manusia.

Secara umum komposisi zat gizi kedelai kuning kering dan tempe dapat
dilihat pada tabel berikut:

Sumber : Santoso, 1993
Daging Ayam
Daging ayam merupakan salah satu bahan makanan utama mayoritas

masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena harga daging ayam dapat
dijangkau oleh masyarakat luas. Daging ayam mengandung protein yang tinggi
serta berlemak rendah. Murtidjo (2003) memaparkan bahwa daging ayam juga
memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih lunak jika dibandingkan dengan
daging sapi dan ternak lain sehingga lebih mudah dicerna.Namun, sebelum
mendapatkan mutu daging ayam yang baik dan layak untuk dimakan oleh
masyarakat, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu daging
ayam tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam budidaya ayam pedaging
komersil diantaranya pengelolaan pemeliharaan, pemberian pakan, pencegahan
dan penanggulangan terhadap penyakit, pengangkutan, pemotongan, dan faktorfaktor lain. Nilai gizi serta komposisi asam amino pada daging ayam dapat dilihat
pada tabel berikut:

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1972).

Ikan
Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai
macam zat, selain harga yang umumnya lebih murah, absorpsi protein ikan lebih
tinggi dibandingkan dengan produk hewani lain seperti daging sapi dan ayam,
karena daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih pendek dari pada seratserat protein daging sapi atau ayam. Jenisnya pun sangat beragam dan mempunyai
beberapa kelebihan, diantaranya adalah mengandung omega 3 dan omega 6, dan

kelengkapan komposisi asam amino.
Ikan merupakan bahan pangan yang sangat baik mutu gizinya, karena
mengandung kurang lebih 18 gram protein untuk setiap 100 gram ikan segar.
Sedangkan ikan yang telah dikeringkan dapat mencapai kadar protein 40 gram
dalam 100 gram ikan kering. Didukung dengan Astawan (2004), dibandingkan
dengan bahan makanan lainnya, ikan mengandung asam amino essensial yang
lengkap dan sangat diperlukan oleh tubuh manusia, oleh karena itu mutu protein
ikan sebanding dengan mutu protein daging.
Ikan adalah bahan pangan yang mengandung protein tinggi, yang sangat
dibutuhkan oleh manusia karena selain mudah dicerna, juga mengandung asam
amino dengan pola yang hampir sama dengan asam amino yang terdapat dalam
tubuh manusia (Suhartini dan Hidayat, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian, daging ikan memiliki komposisi kimia, yaitu :

Sumber : (Suhartini dan Hidayat, 2005).
Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam
metode ini terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk
sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi
menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu,


kompleks

phosphomolibdat-phosphotungstat,

menghasilkan heteropoly-

molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam
amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi
secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan
residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih
sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein
yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL.
Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya
(Lowry, dkk, 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar protein dengan
metode Lowry ini, diantaranya buffer, asam nuklet, gula atau karbohidrat,
deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris, senyawa-senyawa kalium, sulfhidril,
disulfida, fenolat, asam urat, guanin, xanthine, magnesium, dan kalsium.
Interferensi agen-agen ini dapat diminimalkan dengan menghilangkan interferensi

tersebut. Oleh karena itu dianjurkan untuk menggunakan blanko untuk
mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan oleh deterjen, sukrosa dan
EDTA dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau melakukan preparasi
sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan
tidak dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry
adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan
sistein yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan
fosfomolibdat (reagen Lowry E) membentuk warna biru, sehingga dapat
menyerap cahaya (Lowry dkk 1951).

III.
A. Alat dan Bahan
Alat

:

-

Erlenmeyer


-

Shaker

-

Spektrofotometer

-

Sentrifuse

-

Labu ukur

-

Tabung reaksi

-

Tissue

-

Aluminium foil

-

Pipet ukur

-

Filler

Bahan

:

-

Ayam

-

Tempe

-

Ikan

-

BSA

-

Lowry A

-

Lowry B

-

Akuades

METODE PRAKTIKUM

B. Prosedur Kerja
Pembuatan Kurva Standar

Penyiapan Sampel

IV. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Pengamatan
1. Kurva Standar
Konsentrasi
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0

Absorbansi
0
0,245
0,451
0,593
0,868
0,998

Kurva Standar

Y = 0,998x +
0,026

Absorbansi

1.2
1
0.8
0.6

Absorbansi

0.4
0.2
0

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Konsentrasi
2. Sampel
Perlakuan
Digoreng

Sampel
Ayam
Ikan
Tempe

Dioven(dipanggang) Ayam
Ikan

Penambaha

Berat

Absorbansi

n
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula

awal(gram)
5,31
5,48
5,58
5,23
5,76
5,10
5,30
5,61
5,32

0,075
0,412
0,071
0,407
0,077
0,405
0,070
0,334
0,072

Tanpa gula
Gula
Tanpa gula

Tempe

5,30
5,63
5,55

0,331
0,075
0,664

3. Konsentrasi dan Kandungan protein sampel
Perlakuan
Digoreng

Sampel
Ayam
Ikan
Tempe

Dioven(dipangg Ayam
ang)

Ikan
Tempe

Penambahan

Konsentrasi

Kandungan

Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula

protein(%)
0,05
0,386
0,045
0,35
0,049
0,64
0,044
0,308
0,046
0,305
0,051
0,38

protein(% bb)
0,94
0,070
0,808
0,073
0,87
0,115
0,83
0,054
0,86
0,057
0,887
0,0745

4. Perhitungan
Y = 0,998x + 0,026
Kandungan protein =

x . fp
x 100%
mg(sampel )

Fp dengan gula

= 1000 x

Fp tanpa gula

= 10 x

A. Ayam goreng dengan penambahan gula
1. Konsentrasi protein ayam

0,075 = 0,998x + 0,026
0,075−0,026
x=
0,998
x = 0,05
2. Kamdungan protein
0,05 x 1000
=
x 100%
5310
= 0,94%
B. Ayam goreng tanpa penambahan gula
1. Konsentrasi protein ayam
0,412 = 0,998x + 0,026
0,412−0,026
x=
0,998
x = 0,386
2. Kamdungan protein
0,386 x 10
= 5480 x 100%
= 0,070%
C. Ikan goreng dengan penambahan gula
1. Konsentrasi protein ikan
0,071 = 0,998x + 0,026
0,071−0,026
x=
0,998
x = 0,045
2. Kandungan protein ikan
0,045 x 1000
=
x 100%
5580
= 0,808%
D. Ikan goreng tanpa penambahan gula
1. Konsentrasi protein ikan
0,407= 0,998x + 0,026
0,407−0,026
x=
0,998
x = 0,35

2. Kandungan protein ikan
0,38 x 10
= 5230 x 100%
= 0,073%
E. Tempe goreng dengan penambahan gula
1. Konsentrasi protein tempe
0,077 = 0,998x + 0,026
0,077−0,026
x=
0,998
x = 0,051
2. Kandungan protein tempe
0,051 x 1000
=
x 100%
5760
= 0,887%
F. Tempe goreng tanpa penambahan gula
1. Konsentrasi protein ikan
0,405 = 0,998x + 0,026
0,405−0,026
x=
0,998
x = 0,38
2. Kandungan protein ikan
0,045 x 1000
=
x 100%
5100
= 0,0745%
G. Ayam dioven dengan penambahan gula
1. Konsentrasi protein ayam
0,070= 0,998x + 0,026
0,070−0,026
x=
0,998
x = 0,044
2. Kandungan protein ayam
0,044 x 1000
=
x 100%
5300
= 0,83%
H. Ayam dioven tanpa penambahan gula

1. Konsentrasi protein ayam
0,334= 0,998x + 0,026
0,334−0,026
x=
0,998
x = 0,308
2. Kandungan protein ayam
0,308 x 10
= 5610 x 100%
= 0,054%
I. Ikan dioven dengan penambahan gula
1. Konsentrasi protein ayam
0,072= 0,998x + 0,026
0,072−0,026
x=
0,998
x = 0,046
2. Kandungan protein ayam
0,046 x 1000
=
x 100%
5320
= 0,86%

J. Ikan dioven tanpa penambahan gula
1. Konsentrasi protein ikan
0,331= 0,998x + 0,026
0,331−0,026
x=
0,998
x = 0,305
2. Kandungan protein ikan
0,305 x 10
= 5300 x 100%
= 0,057%
K. Tempe dioven dengan penambahan gula
1. Konsentrasi protein tempe
0,075= 0,998x + 0,026
0,075−0,026
x=
0,998
x = 0,409
2. Kandungan protein tempe
0,409 x 1000
=
x 100%
5630
= 0,87%
L. Tempe dioven tanpa penambahan gula
1. Konsentrasi protein tempe
0,664= 0,998x + 0,026
0,664−0,026
x=
0,998
x = 0,64
2. Kandungan protein tempe
0,64 x 10
= 5550 x 100%
= 0,115%

B. Pembahasan
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak terkontrol dengan baik
dapat menurunkan nilai gizi proteinnya. Pengolahan yang sering dilakukan adalah
pengolahan dengan menggunakan pemanasan seperti pemasakan. Sedangkan kita
ketahui bahwa protein tersebut merupakan senyawa reaktif dimana sisi aktif
beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain
misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan
kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida, atau hidrogen peroksida. Selain itu
perlakuan dengan alkali menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino dan juga
reaksi antar asam amino yaitu terbentuknya lisinolalanin dari lisin dan alanin.
Kesemuanya ini dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein dan
menurunnyan ketersediaan asam-asam amino esensial (Muchtadi 1989a).
Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan yang menggunakan
suhu tinggi. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat
menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Pada suhu 100oC, protein akan
terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar. Keluarnya cairan dari daging ikan
disebabkan karena protein kehilangan daya ikat terhadap air sewaktu terjadi
gumpalan. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan terdenaturasi,
terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia dan
hidrogen sulfida dalam daging (Zaitsev et al 1969, diacu dalam Suwandi 1990).
Protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh-pengaruh panas, reaksi
kimia dengan asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab lainnya. Sebagai
contoh misalnya protein di dalam larutan pada pH tertentu dapat mengalami
denaturasi dan mengendap. Perubahan-perubahan tersebut di dalam makanan
mudah dikenal dengan terjadinya penggumpalan atau pengerutan. Protein juga
dapat mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul
yang lebih sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim. Hasil-hasil degradasi
protein dapat berbentuk sebagai berikut yaitu proteosa, pepton, polipeptida,
peptida, asam amino, NH3 dan unsur N (Winarno et al. 1980).

Reaksi antara protein dengan gula pereduksi (reaksi maillard) merupakan
sumber utama kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan misalnya
pemanasan daging (terutama bila kontak dengan bahan nabati misalnya minyak
goreng). Reaksi maillard terjadi dalam dua tahap reaksi yaitu reaksi awal dan
reaksi lanjutan. Pada reaksi awal makanan masih berwarna seperti aslinya atau
belum terjadi pencoklatan padahal lisin dalam protein makanan tersebut tidak
tersedia lagi secara biologis. Reaksi maillard lanjutan berakhir dengan
pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut melanoidin (Muchtadi
1989a).
Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi maillard dapat diuraikan sebagai
berikut: lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan
aldehid padahal lisin merupakan salah satu asam amino esensial, penurunan
ketersediaan semua asam amino termasuk leusin karena terbentuknya ikatan
silang antar asam-asam amino melalui produk reaksi maillard, dan penurunan
mutu cerna protein karena tercegahnya penetrasi enzim ke dalam substrat protein
atau karena tertutupnya sisi protein yang dapat diserang enzim dalam ikatan silang
tersebut (Muchtadi 1989a).
Hal ini diduga penambahan asam dan garam menyebabkan terjadinya
denaturasi protein sehingga protein lebih mudah dicerna. Menurut Winarno et al.
(1980) menyatakan bahwa penambahan asam, basa atau enzim dapat
menyebabkan penguraian atau pemecahan molekul kompleks menjadi molekul
lebih sederhana sehingga dapat lebih mudah dicerna dan hasilnya dapat berbentuk
diantaranya unsur nitrogen dan asam amino.
1. Perbandingan perlakuan penambahan dan tanpa penambahan gula
Perlakuan

Digoreng

Sampel

Ayam
Ikan
Tempe

Penambahan

Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula

Konsentrasi

Kandungan

protein(%)

protein(%

0,05
0,386
0,045
0,35
0,049
0,64

bb)
0,94
0,070
0,808
0,073
0,87
0,115

Dioven(dipangg
ang)

Ayam
Ikan
Tempe

Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula

0,044
0,308
0,046
0,305
0,051
0,38

0,83
0,054
0,86
0,057
0,887
0,0745

Daging ayam yang digoreng dengan penambahan gula memilki kandungan
protein 0,94 % sedangkan tanpa penambahan gula sebesar 0,070 % terhadap berat
bahan. ikan yang digoreng dengan penambahan gula memilki kandungan protein
sebesar 0,808% sedangkan ikan yang digoreng tanpa penambahan gula memilkin
kandungan protein sebesar 0,073%, tempe yang digoreng dengan penambahan
gula memilki kandungan protein sebesar 0,87% dan tanpa penambahan gula
memilki kandungan protein sebesar 0,115%.
Daging ayam yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan
protein sebesar 0,83%, sedangkan yang tanpa penambahan gula memiliki
kandungan protein sebesar 0,054% dari total berat bahan, ikan yang dioven
dengan penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,86% dari berat
bahan, sedangkan yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan
protein 0,057%, tempe yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan
protein sebesar 0,887%, sedangkan tempe yang dioven tanpa penambahan gula
memiliki kandungan protein sebesar 0,0745%.
Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami perubahan struktur
kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul
sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim
pencernaan. Langkah awal pencernaan protein di dalam tubuh adalah denaturasi
protein oleh enzim proteolitik yaitu yang terjadi di dalam lambung oleh enzim
pepsin dan asam khlorida (HCl). Dengan demikian denaturasi merupakan faktor
yang menguntungkan dalam sistem pencernaan protein meskipun hal ini tidak
selalu berlaku secara umum.
Antidenaturan adalah bahan yang dapat menghambat perubahan struktur
molekul protein yang menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik, kimiawi, dan
biologi. Denaturasi terjadi dengan perlakuan panas, perlakuan dingin, alkohol,

aseton, asam, dan radiasi ultraviolet. Denaturasi tidak termasuk hidrolisis ikatan
peptida. Nilai gizi tidak akan berubah meskipun protein kehilangan sifat
biologisnya (Tranggono, dkk. 2002). Gula yang digunakan dalam praktikum ini
adalah gula sukrosa yang meruapakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan
fruktosa.
Kadar protein bahan dengan penambahan gula(sukrosa) lebih tinggi
dibandingkan kadar protein bahan tanpa penambahan gula, hal tersebut sesuai
dengan literatur yang ada, karena gula mampu mengurangi denaturasi karena
pemanasan, denaturasi dalam keadaan normal akan menyebabkan kecernakan
protein lebih tinggi. Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami
perubahan struktur kimia akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan
dalam molekul sehingga molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh
enzim pencernaan, namun denaturasi akan mengurangi kadar protein dalam
bahan.
Gula berfungsi untuk mencegah denaturasi protein dan mempertahankan
sifat gel (Grantham, 1981). Sukrosa adalah salah satu jenis karbohidrat yang
termasuk dalam kelompok disakarida dengan dua molekul monosakarida yaitu
molekul glukosa dan fruktosa yang terikat oleh ikatan glikosidik. Keberadaan
sukrosa dalam suatu produk akan menambah kekentalannya, meningkatkan suhu
terjadinya gelatinisasi. Sorbitol adalah jenis gula alkohol yang tidak memiliki
gugus karbonil bebas sehingga tidak mengalami reaksi maillard dan lebih stabil
terhadap panas dari pada mono dan disakarida yang sama(Nicol.1982).
Proses pemanasan tanpa penambahan gula akan merusak protein yang
terkadung dalam bahan, karena terjadinya reaksi Maillard antara senyawa amino
dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna
coklat yang menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi
karena reaksi antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil dekomposisi
lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan
nilai cerna dan ketersediaan asam amino, terutama lisin (Anonymous 2008a).
Menurut Suryaningsih(2006), Pada perlakuan komposisi antidenaturan yang
digunakan makin tinggi persentase antidenaturan yang digunakan, kehilangan

protein makin sedikit sehingga kadar protein pada nikumi makin tinggi dengan
adanya penambahan antidenaturan, hal ini disebabkan komposisi tersebut
memberikan

pengaruh

perlindungan

terhadap

denaturasi

protein

akibat

pembekuan yang lebih efektif dibandingkan dengan komposisi yang lain.
Stabilitas protein nikumi selama pembekuan dilindungi oleh antidenaturan. Suhu
yang rendah selama pembekuan mengakibatkan denaturasi protein (Fennema
1996).
2. Perbandingan

perlakuan

penggorengan

dengan

pemanggangan(dioven)
Perlakuan

Digoreng

Sampel

Ayam
Ikan
Tempe

Dioven(dipanggang) Ayam
Ikan
Tempe

Penambahan

Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula
Gula
Tanpa gula

Konsentrasi

Kandungan

protein(%)

protein(%

0,05
0,386
0,045
0,35
0,049
0,64
0,044
0,308
0,046
0,305
0,051
0,38

bb)
0,94
0,070
0,808
0,073
0,87
0,115
0,83
0,054
0,86
0,057
0,887
0,0745

Pada perlakuan penggorengan ayam dengan penambahan gula memilki
kandungan protein dari berat bahan sebesar 0,94% dari berat awal 5,31 gram,
sedangkan perlakuan penggorengan tanpa gula memilki kandungan protein
0,070% dari berat bahan 5,48 gram, ikan yang digoreng dengan penambahan gula
memiliki kandungan protein 0,808% dari berat bahan 5,58 gram, sedangkan ikan
yang digoreng tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar
0,073% dari berat bahan 5,23 gram, untuk tempe dengan penambahan gula yang
dengan perlakuan penggorengan memiliki kandungan protein 0,87% dari 5,76

gram , sedangkan yang tidak mendapat penambahan gula kandungan proteinnya
sebesar 0,115% 5,10 gram.
Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1972),
daging ayam memiliki kandungan protein sebesar 18 gram per 100 gram bahan,
sedangkan berat daging ayam goreng yang digunakan dalam praktikum ini adalah
5,31 gram untuk ayam dengan penambahan gula, dan 5,48 gram untuk ayam tanpa
penambahan gula, kandungan protein ayam yang digoreng dengan atau tanpa
penambahan gula lebih sedikit dibandingkan dengan literatur yang ada, menurut
Sumiati(2008) Pada penggorengan, kadar protein yang didapat adalah kadar
protein yang terendah dari semua pengolahan yang ada baik itu tanpa penambahan
bumbu maupun dengan penambahan bumbu. Hal ini dikarenakan suhu yang
digunakan dalam penggorengan sangat tinggi dan protein akan rusak dengan
panas yang sangat tinggi, begitu juga kadar protein ayam yang dioven baik
dengan penambahan gula maupun tidak, kadar proteinnya lebih rendah dari
literatur.
Pada tempe dan ikan yang digoreng baik dengan atau tanpa penambahan
gula kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan tempe dan ikan yang dioven
dengan atau tanpa penambahan gula, hal ini dikarenakan pada proses
penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam
dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren 1986).
Pada suhu 100oC, protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar.
Keluarnya cairan dari daging ikan disebabkan karena protein kehilangan daya ikat
terhadap air sewaktu terjadi gumpalan. Semakin tinggi suhu, protein akan
terhidrolisa dan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak
bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam daging (Zaitsev et al 1969, diacu
dalam Suwandi 1990), pengolahan dengan pemanggangan suhunya lebih rendah
dibandingkan dengan pengolahan dengan penggorengan, hal ini bisa dilihat dari
tabel dibawah yang menunjukkan pengurangan kadar air akibat penggorengan
lebih besar dibandingkan pemanggangan(Sumiati, 2008)

Berdasarkan literatur yang ada tempe memiliki kandungan protein sebesar
18,30 untuk 100 gram bahan(Santoso, 1993), berat ikan yang digoreng dengan
penambahan gula adalah 5,58 gram, sedangkan ikan tanpa penambahan gula
beratnya 5,23 %, kadar protein tempe goreng dengan dan tanpa penambahan gula
lebih sedikit dibandingkan literatur, hal ini disebabkan adanya pemanasan yang
tinggi pada penggorengan menyebabkan rusaknya protein yang terkandung dalam
tempe, sedangkan berdasarkan literatur yang lainkandungan protein ikan 18-30%
dari berat bahan(Suhartini et al, 2005).
Daging ayam yang dioven dengan penambahan gula memilki kandungan
protein sebesar 0,83% dari 5,30 gram berat awal, sedangkan yang tanpa
penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar 0,054% dari berat bahan
sebesar 5,61 gram, ikan yang dioven dengan penambahan gula memiliki
kandungan protein sebesar 0,86% dari berat bahan sebesar 5,32 gram, sedangkan
yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein 0,057% dari
5,30 gram berat awal, tempe yang dioven dengan penambahan gula memilki
kandungan protein sebesar 0,887% dari 5,63 gram berat awal, sedangkan tempe
yang dioven tanpa penambahan gula memiliki kandungan protein sebesar
0,0745% dari 5,55 gram berat awal.
Kadar protein ikan dan tempe yang diberi tambahan gula maupun tidak
dengan perlakuan penggorengan kadar proteinnya lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan pemanggangan, namun kadar protein ayam dengan penambahan
gula maupun tidak yang digoreng lebih tinggi dibandingkan ayam yang dioven,
menurut Sumiati(2008) pada penggorengan, kadar protein yang didapat adalah
kadar protein yang terendah dari semua pengolahan yang ada baik itu tanpa

penambahan bumbu maupun dengan penambahan bumbu. Hal ini dikarenakan
suhu yang digunakan dalam penggorengan sangat tinggi dan protein akan rusak
dengan panas yang sangat tinggi.
Protein ikan mudah rusak selama penanganan dan pengolahan seperti
degradasi, denaturasi, dan koagulasi. Penyebab utama ketidakstabilan protein ikan
adalah miosinnya, namun tidak semua miosin ikan bersifat tidak stabil. Kestabilan
protein ini berhubungan dengan suhu tubuh dari mana miosin diperoleh. Miosin
dari hewan berdarah hangat relatif stabil, sedangkan dari ikan yang hidup di
daerah dingin bersifat sangat tidak stabil (Muchtadi, 1989).
Interaksi antara protein dan lemak yang teroksidasi juga dapat menyebabkan
penurunan nilai gizi protein, dan hal ini sering kali tidak diperhatikan. Oksidasi
lipid yang mengandung asam lemak tidak jenuh berlangsung dalam tiga tahap
yaitu pembentukan produk primer, yaitu lipid hidroperoksida; degradasi
hidroperoksida melalui radikal bebas dan membentuk produk-produk sekunder
yaitu aldehid, hidrokarbon, dan lain-lain; dan polimerisasi produk primer dan
sekunder membentuk produk akhir yang stabil. Produk-produk yang terbentuk
tersebut dapat bereaksi dengan protein (terutama lisin atau asam amino lain),
membentuk protein modifikasi yang tidak dapat diserang oleh enzim proteolitik.
Selain itu, asam amino triptofan dan asam-asam amino yang mengandung
belerang dapat rusak teroksidasi oleh radikal bebas dan hidroperoksida (Muchtadi
1989a).
Menurut Tarwotjo (1998), ada dua jenis masakan ikan yaitu masakan kering
dan masakan basah. Masakan kering (dry heat) merupakan hidangan yang
dimasak tanpa air, sebagai contoh adalah penggorengan dan pempanggangan.
Masakan basah (moist heat) merupakan hidangan yang dimasak menggunakan air,
contohnya adalah perebusan dan pengukusan.
Penggorengan merupakan salah satu proses pemasakan yang popular karena
masakan hasil penggorengan menjadi lebih gurih, berwarna lebih menarik, nilai
gizi meningkat dan waktu pemasakan yang lebih cepat (Damayanthi 1994). Pada
umumnya sistem menggoreng bahan pangan ada dua macam yaitu sistem gangsa
(pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Ciri khas dari proses gangsa

adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam minyak serta suhu
pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying.
Pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang
digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200 0C 2050C (Ketaren 1986).
Pada saat penggorengan terjadi perubahan kimiawi baik pada bahan
makanannya maupun pada minyak gorengnya (Damayanthi 1994). Permukaan
lapisan luar akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya
warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi
maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng
dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis
minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil (Ketaren 1986).
Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan
pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Penyerapan
minyak oleh ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10% - 12%. Penyerapan
minyak ini berfungsi untuk mengempukkan kerak (bagian luar bahan pangan) dan
untuk membasahi bahan pangan yang digoreng sehingga menambah rasa lezat dan
gurih (Ketaren 1986).Mudjajanto (1991) menyatakan bahwa penggunaan suhu
180oC – 300oC contohnya penggorengan ikan mujair akan menyebabkan
kerusakan yang cukup besar atau bisa menurunkan nilai gizi protein.
Pemanggangan dapat dilakukan dengan cara dibakar langsung diatas api
dengan menggunakan suatu alat juga bisa dilakukan dalam oven. Ada beberapa
cara yang perlu diperhatikan dalam memanggang yakni jangan memanggang
diatas api yang baru menyala dan berasap; gunakan panggangan listrik,
panggangan gas atau briket arang dengan tempat apinya disamping, supaya tidak
ada lemak yang menetes pada bara api atau api yang tengah berpijar. Bila lemak
menetes diatas bara, akan terbentuklah PAC (Polisiklik Aromatis Carbon), dengan
asap selanjutnya akan terbawa pada bahan-bahan yang tengah dipanggang;
gunakan alas pemanggangan jika memanggang langsung pada api, sehingga tidak
ada tetesan lemak yang jatuh pada bara atau api; jika memanggang menggunakan

arang atau briket, maka letakkan bahan yang hendak dipanggang jika arang sudah
membara dengan baik. Biasanya proses pembaraan berlangsung 30 – 60 menit, ia
akan menunjukkan bara yang sudah menyala merah dengan beberapa bagian telah
menjadi abu putih; hindari makanan yang dibakar/ dipanggang berlebihan,
misalnya hingga menimbulkan kegosongan yang berlebihan. Lebih baik buanglah
bagian yang sudah sangat gosong tersebut (sangat hitam); jangan memangggang
produk-produk daging yang telah mengalami "curing" (pemberian garam
pokel/sendawa) (Anonymous 2008b).

V.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada penambahan gula(sukrosa) kadar protein yang terkandung dalam bahan
yang digunakan lebih tinggi baik itu pada perlakuan penggorengan, maupun
pemanggangan (oven), hal tersebut karena sukrosa merupakan antidenaturan yang
mampu mencegah terjadinya denaturasi pada protein, denaturasi protein dapat
meningkatkan nilai kecernakan protein, namun menurunkan kadar protein.
Menurut Damayanthi (1994), protein akan mengalami perubahan struktur kimia
akibat pemanasan atau denaturasi yaitu putusnya ikatan dalam molekul sehingga
molekul protein ini akan cenderung mudah diserang oleh enzim pencernaan,
namun denaturasi akan mengurangi kadar protein dalam bahan.
Pada ikan dan tempe yang digoreng, kadar proteinnya lebih rendah
dibandingkan dengan yang dipanggang(dioven), hal tersebut dikarenakan pada
perlakuan penggorengan suhu minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren
1986), sedangkan suhu pemanggangan di bawahnya. Menurut Sumiati(2008) pada
penggorengan, kadar protein yang didapat adalah kadar protein yang terendah dari
semua pengolahan yang ada, hal tersebut dikarenakan protein akan semakin
mengalami denaturasi yang dikarenakan suhu yang tinggi.

B. Saran
Pengolahan makanan dengan kandungan protein tinggi harus diperhatikan
suhunya akan protein yang terkandung di dalamnya tidak banyak mengalami
kerusakan, penambahan sukrosa(gula) sebagai antidenaturan dapat digunakan
untuk mencegah denaturasi protein pada bahan makanan berprotein tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, F dan A. Sulaeman. 1992. Penetapan Zat Gizi Dalam Makanan. PAU
Pangan dan Gizi IPB.
Astawan M, 2004. Manfaat Ikan Bagi Jantung Dan Wajah, http://www.dkp.go.id,
diakses tanggal 27 Desember 2014.
Damayanthi, E. 1994. Pengaruh Pengolahan terhadap Zat Gizi Bahan Pangan.
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 1972. Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Bharat. Jakarta. 57pp.
Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry 3th edition. Marcel Dekker, Inc. New York
Hidayat, Nur dkk. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Lowry , Rosenbrough , Farr, Randall. 1951. Protein Measurement with the Folin
Phenol Reagent. New York: Kluwer Academic Publishers.
Muchtadi, D. 1989a. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Muchtadi, D. 1989b. Protein: Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mudjajanto, E.S. 1991. Pengaruh Pengolahan Pangan terhadap Zat Gizi. Jurusan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso, H.B., 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai. Kanisius, Yogyakarta
.
Suhartini dan Hidayat, 2005. Olahan Ikan Segar, Penerbit Trubus Agri Sarana,
Surabaya.

Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sumiati, Titin. 2008. Pengaruh Pengolahan Terhadap Mutu Cerna Protein Ikan
Mujair(Tilapia mossambica). Bogor : IPB
Suwandi, R. 1990. Pengaruh Proses Penggorengan dan Pengukusan terhadap Sifat
Fisiko Kimia Protein Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Skripsi Fakultas
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tarwotjo, C.S. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Penerbit Grasindo. Jakarta.
Tika, I Nyoman. 2007.Penuntun Praktikum Biokimia. Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha.
Tranggono.et al. 2002. Kamus Istilah Pangan danNutrisi. Kanisius. Yogyakarta.
Winarno, F.G., S. Fardiaz. dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Penerbit Gramedia. Jakarta.
Winarno F.G. 1990. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Terimakasih kunjungannya, selamat berproses, selamat belajar
tidak semua dari laporan ini benar, sudah pasti banyak kesalahan dan
kekurangan.
Fika Puspita / fikapuspita.blogspot.com / fika_puspita

Lampiran