BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Preeklampsia - Ekspresi Protein pada Kehamilan Preeklampsia Berat/Eklampsia dengan Kehamilan Normatens

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Preeklampsia Preeklampsia merupakan gangguan multisistem dalam kehamilan.

  Ditandai dengan kenaikan tekanan darah dan proteinuria diatas 20 minggu kehamilan pada wanita hamil yang sebelumnya

  4,5,20

  normotensi. Walaupun kebanyakan berakhir dengan baik, tetapi preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal.Preeklampsia sampai saat ini masih merupakan disease of theory karena belum dapat diterangkan dengan jelas penyebab pasti preeklampsia. Akibatnya sampai saat ini belum ada pengobatan definitif pada kelainan ini. Walaupun banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan namun tidak

  2,8,21,22 satupun yang dianggap mutlak benar.

  Ananth dan Basso (2010) menyebutkan insiden preeklampsia

  23 pada multipara bervariasi tapi lebih sedikit dari nulipara (3-10%).

  Berdasarkan penelitian Spencer J, dkk (2009), preeklampsia sering terjadi pada wanita muda, dimana wanita yang lebih tua beresiko lebih besar untuk menderita hipertensi kronik dengan superimposed

  26

  preeklampsia. Sedangkan Conde dkk (2000) dalam penelitiannya menyebutkan faktor resiko lain yang berhubungan dengan preeklampsia

  20 termasuk obesitas, kehamilan ganda, umur ibu > 35 tahun. Pada penelitian Sari dkk (2012) disebutkan bahwa pada umur ibu dan paritas tidak terdapat perbadaan bermakna secara statistik dengan

  25 ekspresi protein bax.

  Ada beberapa variasi yang diajukan oleh beberapa asosiasi dan organisasi yang berbeda (ACOG, Australian college) seperti early onset (<

  4 34 minggu) dan late onset (> 34 minggu).

  Beberapa perbedaan dasar di antara dua kelompok ini adalah:

  a. Tipe late onset preeklamsia terjadi pada lebih dari 80% dari seluruh kasus preeklamsia di seluruh dunia dan kebanyakan kasus ini berhubungan dengan:

  • Perkembangan janin normal tanpa tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat
  • Normal atau sedikit perubahan pada arteri spiralis pada uterus (tanpa perubahan gelombang Doppler atau terjadi sedikit peningkataan Pulsatility Index/PI) - Tanpa perubahan aliran darah arteri umbilikal.
  • Terjadi peningkatan resiko pada kehamilan dengan plasenta yang besar (diabetes, kehamilan ganda dan anemia)

  b. Tipe early onset preeklamsia terjadi pada beberapa kasus preeklamsia (5%-20%, tergantung statistik). Karakteristik tipe preeklamsia ini sebagai berikut:

  • Inadekuat atau invasi trofoblas yang inkomplit dari arteri spiralis maternal.
  • Perubahan peredaran darah pada placental bed arteri spiralis dan kemudian terjadi pada arteri uterina (terjadi perubahan pada gelombang Doppler seperti peningkatan PI).
  • Peningkatan resistensi perifer dari pembuluh darah plasenta kemungkinan disebabkan oleh aliran darah arteri umbilikalis yang abnormal (peningkatan rasio sistolik/diastolik (S/D)

  4 - Adanya tanda pertumbuhan janin terhambat.

  Pada preeklampsia, terjadi kegagalan invasi trofoblas, vaskulitis, trombosis dan iskemia dari plasenta. Menurut teori iskemia plasenta, disfungsi sel endotel terjadi akibat proses hipoksia. Trofoblas yang terpapar hipoksia secara invitro menyebabkan terjadinya proses apoptosis yang berlebihan, sehingga invasi sitotrofoblas ke dalam miometrium menjadi dangkal dan remodeling arteri spiralis pada uterus terjadi tidak

  3,30,31 lengkap Pada akhirnya akan menimbulkan iskemia uteroplasenter.

  Hipoksia pada plasenta ini juga menimbulkan apoptosis, terutama melalui jalur intrinsik. Hipoksia menyebabkan aktifitas antiapoptosis Bcl-2 family terhambat sehingga mengaktifkan peran dari protein Bax yang meningkatkan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C yang selanjutnya berikatan dengan apoptosis protease activating factor-1 (APAF-1) dan membentuk apoptosome yang akan mengaktifkan caspase

  9. Caspase 9 selanjutnya akan mengaktifkan caspase 3, caspase 6 dan

  3,13 caspase 7 sehingga terjadilah proses kematian sel.

2.2. Plasenta

  Perkembangan plasenta yang normal tergantungdari diferensiasi dan invasi dari trofoblas. Selama prosesdiferensiasi dan invasi, sel trofoblas secara cepatmembelah untuk membentuk hubungan antara ibu danembrio sedangkan sub populasi trofoblas yang lainmelakukan invasi pada desidua untuk melakukanremodeling arteri spiralis sehingga -

  1,13 meningkatkan alirandarah ke plasenta untuk perkembangan fetus.

  Untuk kesesuaian plasentasi dan perkembangan plasenta, trofoblas ekstravillus berasal dari villi sebagai dasar terbentuknya blastokista yang mendasari peran desidua yang paling penting. Konversi dari arteri spiralis ke pembuluh darah uteroplasenter menghasilkan aliran yang tinggi, tahanan yang rendah, yang memungkinkan untuk perfusi ke rongga intervillus. Pada permukaan villi plasenta sinsiotrofoblas dibentuk dari mitosis yang aktif sitotrofoblas mononukleus yang berdiferensiasi dan

  26 melakukan fusi.

  Sebagaiorgan yang berkembang, plasenta melakukan remodelingjaringan secara konstan yang dicirikan oleh prosesapoptosis yang fungsional. Setelah terjadi proliferasi dandiferensiasi menjadi sub tipe sel yang spesifik, sel trofoblasyang sudah mengalami penuaan secara selektifdisingkirkan dan diganti dengan sel trofoblas yang barutanpa

  13,30

  mempengaruhi sel yang ada di sekitarnya. Sel yangmengalami apoptosis didapatkan pada plasenta kehamilannormal baik pada sisi maternal maupun sisi fetal danproses apoptosis berperan pada terjadinya

  

attachment daninvasi trofoblas, proses transformasi arteri spiralis,diferensiasi trofoblas, dan proses toleransi imun pada antigen

  13 maternal yang diekspresikan oleh sel trofoblas.

2.3 Apoptosis

  Apoptosis diketahui meregulasi dinamik sel pada banyak jaringan reproduksi manusia termasuk epitel uterus, testis, ovarium, dan vilus

  27

  plasenta. Apoptosis melibatkan homeostasis plasenta, perkembangan, dan remodelling, dan apoptosis meningkat secara progresif selama kehamilan yang normal yang merupakan bagian dari perkembangan

  28,29 plasenta normal.

  Anatomi dari kematian sel apoptosis pertama kali dideskripsikan oleh Carl Vogt pada tahun 1842, termasuk hilangnya permukaan membran, kondensasi kromatin dengan fragmen nuklir dan kondensasi sitoplasma

  14 dengan penyusutan sel .

  Terminologi apoptosis (Sebuah bentuk “program” kematian sel) pertama kali dikemukakanpada 1972 oleh Kerr, Wyllie dan Currie untuk menggambarkan morfologi unik dari kematian sel tumor. Apoptosis digambarkan dari bahasa Yunani yaitu “menghilang” atau “berkurang”-nya petal atau kelopak dari bunga atau daun dari pohon. Apoptosis merupakan bentuk fisiologis dari kematian sel yang, bersama dengan mitosis, mengontrol jumlah sel dalam jaringan. Apoptosis diketahui

  3,14,31, sebagai sejumlah kejadian proses biologis, fisiologis dan patologis. 32,33,34 Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram dimana terjadi kematian sel dengan mengaktifkan program bunuh diri internal yang diatur dengan ketat. Kematian sel terprogram atau apoptosis berperan penting dalam homeostasis sel dan remodeling jaringan, terutama pertumbuhan plasenta. Degenerasi plasenta pada preeklampsia mungkin disebabkan apoptosis yang tidak terjadwal. Derajat apoptosis pada trofoblas biasanya

  13,14 lebih tinggi.

  Apoptosis berbeda dengan nekrotik sel-kematian dimanaselkehilangan integritas membran, pembengkakan dan disrupture sel. Selama nekrosis, isi seluler dilepaskan tidak terkendali ke lingkungan sel yang mengakibatkan kerusakan sel sekitarnya dan respon inflamasi

  35 yang kuat di jaringan yang sesuai.

  Gambar 1. Perbandingan proses kematian sel apoptosis dan nekrosis. 35 (Dikutip dari Gewis A, 2003) Apoptosis terjadi selama pembentukan sel normal dan penting untuk keseimbangan antara kehilangan sel yang tua, sel non-fungsional dan formasi sel baru pada organ dan jaringan yang berbeda. Apoptosis dipicu oleh sinyal spesifik tipe sel yang berbeda dengan keterlibatan beberapa jalur, seperti mitokondria dan reseptor-mediated pathways,

  36 menghasilkan aktivasi cascade caspase.

  Setiap sel memiliki mekanisme bertahan hidup atau sinyal kematian. Apoptosis dihasilkan dari ketidakseimbangan antara kedua sinyal tersebut. Mekanisme dasar apoptosis; gen dan protein yang mengendalikan proses dan urutan alur apoptosis terdapat dalam semua

  37 organisme multiseluler.

  Sel yang mengalami apoptosis didapatkan pada plasenta kehamilan normal baik pada sisi maternal maupun sisi fetal. Proses apoptosis berperan pada terjadinya attachment dan invasi trophoblas, proses transformasi arteri spiralis, diferensiasi trofoblas, dan proses toleransi imun pada antigen paternal yang diekspresikan oleh sel

  13 trofoblas.

  Mekanisme kematian sel terprogram atau apoptosis terdiri dari fase inisiasi (pengaktifan caspase) dan fase eksekusi. Inisiasi apoptosis terjadi melalui dua jalur yang berbeda yaitu jalur ekstrinsik (death reseptor-

  mediated pathway) dan jalur intrinsik(mitokondria pathway). Pada jalur

  ekstrinsik, apoptosis diperantarai oleh anggota TNF death receptor family yang merupakan bagian dari TNF-receptor (TNF-R) superfamily dan mempunyai bagaian terminal C yang terdiri dari 80 asam amino yang diketahui berperan dalam proses kematian. Tidak seperti jalur ekstrinsik dimana tergantung dari sinyal death receptor, pada jalur intrinsik sinyal apoptosis diperantarai langsung dari mitokondria sebagai respon terhadap stres seperti kerusakan DNA atau kehilangan faktor pertumbuhan.

  7,36,38,39,40

  Proses apoptosis dapat dibagi menjadi tahap inisiasi, dimana terdapat beberapa caspase yang menjadi katalis aktif, serta tahap eksekusi atau pelaksanaan, dimana caspase lainnya memicu degradasi

  41,42,43,44

  komponen seluler. Inisiasi apoptosis terjadi oleh karena sinyal dari dua jalur yang berbeda. Jalur intrinsik atau mitokondria dan ekstrinsik atau kematian reseptor. Jalur ini diinduksi oleh stimulus yang berbeda dan melibatkan set protein yang berbeda, walaupun terdapat beberapa persilangan jalur diantaranya. Kedua jalur bertemu untuk mengaktifkan

  42,43,44,45,46 caspase, yang merupakan mediator sebenarnya kematian sel.

  Gambar 2. Skema representasi dari beberapa jalur apoptosis 35 (Sumber: Gewies, 2003)

2.3.1. Inisiasi apoptosis jalur intrinsik (mitokondria)

  Jalur apoptosis intrinsik menghasilkan peningkatan permeabilitas mitokondria dan pelepasan dari molekul pro-apoptosis (death inducers) ke dalam sitoplasma. Mitokondria mengandung protein seperti sitokrom c yang penting bagi kehidupan, tetapi bila beberapa protein yang serupa terlepas ke dalam sitoplasma (merupakan indikasi bahwa sel tersebut tidak sehat), akan menginisiasi program “bunuh diri” dari apoptosis.

  Pelepasan protein mitokondria ini dikontrol secara seimbang melalui lebih dari 20 anggota keluarga protein Bcl antara pro dan antiapoptosis. Faktor pertumbuhan dan sinyal – sinyal bertahan hidup/survival menstimulasi produksi dari protein antiapoptosis, diantaranya yaituBcl-2, Bcl-x dan Mcl-

  12,13,14,46,47 1.

  Protein-protein ini terdapat pada sitoplasma dan membran mitokondria, dimana fungsinya mengontrol permeabilitas mitokondria dan mencegah kebocoran proteinmitokondria yang nantinya memiliki kemampuan untuk mencetuskan kematian. Bila sel kehilangan sinyal bertahan/survival, terjadi kerusakan DNA, atau kesalahan sintesis protein maka akan merangsang stres retikulum endoplasma (RE), sensor dari kerusakan atau stres akan diaktifkan. Sensor tersebut juga merupakan anggota dari keluarga Bcl, dan termasuk juga protein yang dinamakan Bim, Bid dan Bad yang mengandung “Bcl-2 homology domain” tunggal (tiga dari empat domain tersebut ada pada Bcl-

  2) dan dinamakan “BH3-

  12,13,14 only proteins”. Sensor kemudian akan mengaktifkan dua kritikal (proapoptosis) efektor, Bax dan Bak, yang membentuk oligomers yang kemudian masuk ke dalam membran mitokondria dan membuat saluran/channel yang memperbolehkan protein dari membran dalam mitokondria untuk bocor ke dalam sitoplasma. BH3 juga mengikat dan memblok fungsi dari Bcl-2 dan Bcl-x, diwaktu yang sama sintesis dari Bcl-2 dan Bcl-x menurun. Hasil dari aktivasi dari Bax-Bak disertai dengan hilangnya fungsi perlindungan dari anggota keluarga Bcl antiapoptosis, maka terjadi pelepasan beberapa protein mitokondria ke dalam sitoplasma yang akan mengaktifkan alur caspase. Salah satu protein tersebut adalah sitokrom c, yang diketahui fungsinya pada respirasi mitokondria. Sekali terlepas ke dalam sitosol, sitokrom c mengikat protein yang dinamakan Apaf-1 (apoptosis-activating factor-1, homolog dari Ced-4 pada C elegans), yang kemudian akan membentuk hexamer berbentuk seperti roda yang disebut

  12,13,14

  apoptosom. Komplek ini dapat mengikat caspase-9, inisiator caspase yang penting dari alur mitokondria, yang merupakan protease yang akan mengaktifkan caspase lain. Selanjutnya aktifitas proteolisis akan meningkat dan mencerna protein struktur dalam siplasma serta

  13 mengurangi DNA kromosom dan terjadilah kematian sel.

  Gambar 3. Apoptosis jalur Intrinsik (mitokondria) 47 Dikutip dari Robin (2010)

2.3.2. Inisiasi apoptosis jalur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian)

  Jalur ini diawali melalui keterlibatan reseptor kematian membran plasma pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan anggota dari keluarga reseptor TNF yang mengandung domain sitoplasma yang ikut dalam interaksi protein, disebut domain kematian karena pentingnya untuk mengantarkan sinyal apoptosis (beberapa anggota keluarga reseptor TNF tidak mengandung domain kematian, fungsi mereka untuk mengaktivasi alur inflamasi, dan perannya dalam mencetuskan apoptosis sangat

  12,13 sedikit).

  Reseptor TNF tipe 1 (TNFR1) dan protein yang terkait yang dinamakan Fas (CD95) merupakanreseptor kematian yang paling banyak diketahui. Mekanisme apoptosis yang di induksi oleh reseptor kematian digambarkan dengan baik pada Fas. Reseptor kematian diekspresikan pada berbagai tipe sel. Ikatan terhadap Fas dinamakan Fas ligand (FasL). FasL di ekspresikan pada sel T untuk mengenali self antigen (berfungsi untuk mengeliminasi self-reactive limfosit), dan pada beberapa limfosit T sitotoksik (yang membunuh sel yang terinfeksi virus atau tumor). Ketika

  • – FasL mengikat Fas, tiga atau lebih molekul dari Fas dibawa bersama sama dengan domain kematian sitoplasma yang kemudian membentuk tempat pengikatan untuk protein yang juga mengandung domain kematian dan dinamakan FADD (Fas-associated death domain). FADD yang melekat pada reseptor kematian kemudian berubah bentuk menjadi caspase-8 inaktif (pada manusia, caspase-10), juga melalui domain kematian. Molekul pro-caspase-8 multipel dibawa ke dalam jarak tertentu

  13,14 sehingga mereka bersatu membentuk caspase-8 aktif.

  Enzim kemudian mencetuskan aktifasi caspase dengan memecahdan dengan demikian mengaktifkan procaspase yang lain, dan enzim yang aktif memediasi fase eksekusi apoptosis. Alur apoptosis ini dapat dihambat oleh protein yang dinamakan FLIP, yang dapat mengikat pro-caspase-8 tetapi tidak dapat membelah dan mengaktifkan caspase karena sedikit mengandung domain protease. Beberapa virus dan sel normal memproduksi FLIP dan menggunakan inhibitor ini untuk

  14 melindungi dirinya dari apoptosis yang dimediasi oleh Fas.

  Gambar 4. Apoptosis jalur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian) 37 Dikutip dari Taylor Rc (2007)

  Jalur ekstrinsik dan intrinsik menginisiasi apoptosis secara berbeda karena melibatkan molekul yang berbeda untuk melakukan inisiasi. Tetapi interkoneksi antara jalur tersebut dapat terjadi bila sinyal fas mengaktiasi protein BH3 yang dinamakan Bid yang kemudian akan mengkatifkan jalur

  13,14 mitondria.Contoh pada hepatosit dan beberapa tipe lain.

  Gambar 5. Hubungan antara inisiasi apoptosis jalur ekstrinsik dengan jalur

intrinsik

33 Dikutip dari Robin (2010)

2.4.Protein Bax

  Bax pertama kali diidentifikasi sebagai protein proapotosis dari keluarga protein Bcl-2. Anggota keluarga Bcl-2 terdiri dari 4 domain homologi yang khas, dinamakan Bcl-2 homologi domain (BH1,BH2,BH3,BH4) dan dapat membentuk hetero maupun homodimer.

  Bcl-2 berfungsi sebagai regulator anti atau proapotosis yang terlibat dalam

  15,48 aktivitas seluler yang beragam. Bax adalah protein Bcl-2 proapotosis yang mengandung domain BH1,BH2 dan BH3. Pada sel mamalia sehat Bax lebih sering ditemukan dalam sitosol. Saat terinisiasi oleh sinyal apoptosis bax mengalami perubahan konfirmasi dan masuk ke dalam membran organel terutama pada membran luar mitokondria. Bax diduga berinteraksi dengan menginduksi kanal anion yang voltage dependent dari mitokondria (Voltage Dependent Anion Channel, VDAC). Bukti lain menyatakan bahwa, Bax yang teraktivasi membentuk suatu poligomeric pore dengan

  15 MAC (Mitochondrial Apoptosis Induced Channel) di membran luarnya.

  Kemudian menyebabkan pelepasan sitokrom c dan faktor proapotosis lain dari mitokondria. Hal ini sering dikatakan sebagai permeabilisasi membran luar mitokondria, yang mengarah kepada aktivasi

  caspase. Selain itu menjelaskan peran langsung Bax dalam

  permeabilisasi membran luar mitokondria, suatu peran yang umum dari

  15 protein Bcl-2 yang mengandung domain BH,BH2,BH3.

  Ekspresi Bax ditingkatkan oleh supresor protein p53. Bax telah dibuktikan terlihat dalam apoptosis yang dimediasi oleh p53. Protein p53 adalah faktor transkripsi yang bila diaktivasi sebagai bagian respon sel terhadap stress meregulasi banyak target gen downstreamtermasuk

  15,48,49,50 Bax.

  Menurut Levi and Nelson (2000), ekspresi protein bax meningkat

  14

  secara signifikan seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Insiden apoptosis lebih besar pada kehamilan dengan komplikasi preeklampsia

  14

  dan IUGR. Peningkatan apoptosis pada preeklampsia berhubugan dengan patogenesanya, dimana apoptosis distimulasi dengan

  3 berkurangnya oksigenasi plasenta.

  Penelitian Sari dkk menunjukkan rerata ekspresi protein bax pada plasenta kelompok preeklampsia berat (1,7±0,2) lebih tinggi dibandingkan

  25 kelompok normotensi (1,4±0,3) dan bermakna secara statistik (p=0,00).

2.4. Kerangka Teori

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Kurangnya growth factor Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kurangnya growth factor Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kurangnya growth factor APOPTOSIS

  Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Kurangnya growth factor Peningkatan apoptosis endotelial sistem

  APOPTOSIS Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kurangnya growth factor Peningkatan apoptosis endotelial sistem

  APOPTOSIS Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

  Aktivasi Protein Bax Kerusakan DNA

  Obat sitotoksik,Radiasi Steroid, Hipoksia

  Radikal bebas Kurangnya growth factor

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

   CASPASE

  Obat sitotoksik,Radiasi Steroid, Hipoksia

  Obat sitotoksik,Radiasi Steroid, Hipoksia

  Radikal bebas Kurangnya growth factor

  Kerusakan DNA Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

  APOPTOSIS Peningkatan apoptosis endotelial sistem Gejala klinis preeklampsia

  Obat sitotoksik,Radiasi Steroid, Hipoksia

  Radikal bebas Kurangnya growth factor

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kurangnya growth factor Kerusakan DNA

  Radikal bebas Kurangnya growth factor

  Radikal bebas Kurangnya growth factor

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kurangnya growth factor Kerusakan DNA

  Obat sitotoksik,Radiasi Steroid, Hipoksia

  Radikal bebas Kurangnya growth factor

  Kerusakan DNA Obat sitotoksik,Radiasi

  Steroid, Hipoksia Radikal bebas

  Kurangnya growth factor Kerusakan DNA

  Obat sitotoksik,Radiasi Steroid, Hipoksia

  Peningkatan permeabilitas membran mitokondria terhadap sitokrom C

2.6. Kerangka Konsep

  Variabel independen Variabel dependen Ekspresi protein bax

  Kehamilan preeklampsia berat/eklampsia