Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

(1)

TESIS

Oleh

RAHMAT PARLAUNGAN SIREGAR

107011105/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAHMAT PARLAUNGAN SIREGAR

107011105/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum


(5)

Nama : RAHMAT PARLAUNGAN SIREGAR

Nim : 107011105

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PROBLEMATIKA PENDAFTARAN TANAH WAKAF

(STUDI DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN,

KABUPATEN DELI SERDANG)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :RAHMAT PARLAUNGAN SIREGAR


(6)

untuk kepentingan umat Islam. Sedangkan wakaf berdasarkan hukum agraria adalah pengalihan hak yang bersifat kekal, abadi dan untuk selamanya. Akibatnya tanah tersebutterlembagakan untuk selamanya dan tidak dapat dialihkan haknya kepada pihak lain lagi, baik melalui cara jual-beli, tukar menukar, hibah dan lainnya kecuali ada alasan hukum yang membolehkannya.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara umum, menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti. Serta menggunakan pendekatan penelitian yuridis sosiologis dengan menggambarkan gejala dan fakta yang ada di masyarakat Kecamatan Percut Sei Tuan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemegang hak atas tanah yang tanahnya diwakafkan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan sendiri sampel mana yang dapat mewakili populasi.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa problematika pendaftaran tanah wakaf (Studi Di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), adalah 1) masih kurangmya pemahaman masyarakat di Kecamatan Percut Sei tuan khusunya mengenai pendaftaran tanah wakaf dan pensertifikatan tanah wakaf, menurut masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan bahwa setelah wakaf dilaporkan ke KUA/PPAIW, urusan sudah selesai sampai di KUA. 2). Wakif tidak dapat menunjukkan alas hak atas tanah yang diwakafkan, oleh karenanya pihak BPN tidak dapat menerbitkan sertifikat atas tanah yang diwakafkan, padahal tanah wakaf tersebut sudah di ikrar wakafkan di Kantor Urusan Agama (KUA) oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 3). Keadaan personil baik di KUA maupun di BPN sangat minim, sehingga masih banyak tanah wakaf yang belum ditangani baik pengikrarannya, maupun pendaftarannya di BPN. Adapun peranan BPN dalam pendaftaran tanah wakaf adalah sebagai pelayan, pengaduan dan informasi kasus pertanahan, pengkajian kasus pertanahan, penanganan kasus pertanahan, penyelesaian kasus pertanahan dan perbuatan hukum pelaksanaan putusan pengadilan. Sedangkan peran KUA dalam pendaftaran tanah wakaf adalah sebagai motivator, fasilitator, regulator, danpublic service.

Disarakan kepada pihak yang terkait agar lebih giat dalam menangani persoalan wakaf, mensosialisasikan pendaftaran tanah dan perwakafan tanah, sehingga timbul kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya pendaftaran tanah.


(7)

the Wakaf objects to someone or to a legal entity to be utilized for the benefit of Islamic Ummah. Based on Agrarian Law, wakaf is an eternal transfer of right. The consequence is that the land becomes institutionalized forever and the right to land can no longer be transfered to the other partie either by means of trading, exchanging, granting and so on unless there is a legal reason allowing it.

this analytical descriptive study with sociological juridical approach described the fact found in the community of Percut Sei Tuan subdistrict. The Population of thgi study was all of the holders of the right to the lands which have been donated for religious or public interest purposes. The Samples for this study were selected through purposive sampling technique.

The result of this study showed that the problematic of wakaf land registration in Percut Sei Tuan subdistrict, Deli Serdang District were 1) the community members living in Percut Sei Tuan Subdistrict did not understand much especially about wakaf land registration and certification. in their opinion, after their wakaf is registered to KUA (the Office of Religious /Islamic Affairs)/ PPAIW (the Official Issuing act of Donation Declaration), the matter finished up at KUA, 2) the wakif (the one donates the wakaf object) could not show the tittle of the land donated, therefore BPN (National Land Board) could not issue the certificate for the donated land, while the declaration of wakaf (donation) had been made at KUA by PPAIW, and 3) the personnel working of KUA or BPN was very minimal that many declarations of donated land at KUA or Registrations of the donated land at BPN have not been handled. In the process of donated land registration, the role of BPN is to serve the complaint and information related to the land cases such as to study, handle, and settle the land cases and legal action of the implementation of court decision. While the role of KUA, in the case of wakaf/ donated land registration, is as a motivator, facilitator, regulator and public service provider.

The related parties are suggested to handle the wakaf cases more maximally and to socialize the land registration and land donation that it can create a legal awareness in the community members and they understand the importance of land registration.


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan berkat dan rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan penulis tesis ini dengan judul

PROBLEMATIKA PENDAFTARAN TANAH WAKAF (STUDI DI

KECAMATAN PERCUT SEI TUAN, KABUPATEN DELI SERDANG). Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Baginda Rasulullah SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Penulis tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K). Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum.Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum. Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan


(9)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani perkuliahan. Dan selaku dosen pembimbing saya Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, MA. Dan Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn dan Dosen penguji Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.HumDanIbu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHumyang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Khusus kepada kedua orang tua penulis, Drs. H. Muddan Siregar dan Hj. Tiorlan Harahap, S.Ag, sebagai sumber kehidupan penulis, pembimbing utama hidup penulis, pendidik penulis, yang telah membesarkan dan mendidik penulis untuk bersikap terbuka, berani, bijaksana dan selalu menjaga harga diri, yang memiliki peran sangat penting dan tak terhingga. Kepada saudaraku Nurmaynides Siregar, SKm. Gemin Syahputra H. Siregar, SKm, M. Kes. Rosmaidar Siregar, S.PdI, M.Pd Dan Gusnita Sari Siregar, SE, S.Pd. Terima kasih atas pengertian dan dukungannya.

Motivator terbesar dalam hidup penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya yaitu Susi Damayanti Lubis, SE, selaku istri penulis, putra-putri penulis Haidar Ariib Ramadhan Siregar dan Rahmayanti Salsabiil Siregar.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih baik dan terarah.

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deli Serdang yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis untuk mengikuti pendidikan


(10)

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah Swt.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya.

Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Februari 2013 Penulis


(11)

Nama : RAHMAD PARLAUNGAN SIREGAR

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 14 Juli 1985

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jalan Selindit No. 390 P. Mandala

II. KELUARGA

Nama Ayah : H. Drs. Muddan Siregar

Nama Ibu : Hj. Tiorlan Harahap, SAg

Nama Istri : Susi Damayanti Lubis, SE

Nama Anak : - Haiidar Arib Ramadhan Siregar

- Rahmayanti Salsabil Siregar

III. PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 066665 Medan (1991-1997)

SMP : SLTP Negeri 12 Medan (1997-2000)

SMU : SMU Negeri 7 Medan (2000-2003)

Strata I : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Fakultas Hukum (2003-2008)

Strata II : Universitas Sumatera Utara Magister


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH... ix

DAFTAR SINGKATAN... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar BelakangMasalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14

G. Metode Penelitian... 17

BAB II WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERTURAN HUKUM AGRARIA... 23

A. Wakaf Berdasarkan Hukum Islam ... 23

B. Wakaf Berdasarkan Peraturan-Peraturan Hukum Agraria ... 35

BAB III PENDAFTARAN PERWAKAFAN TANAH DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN ... A. Gambaran Umum Kecamatan Percut Sei Tuan ... 74

B. Pembahasan Mengenai Pendaftaran Perwakafan Tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan ... 80


(13)

A. Problematika Yang Dihadapi KUA dan BPN Dalam

Pendaftaran Tanah Wakaf ... 93

B. Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dalam Menghadapi Kendala Pendaftaran Tanah Wakaf ... 96

C. Peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam Menghadapi Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 119


(14)

pengelolaannya.

Hibah : Pemberian/Pemindahan hak.

Populasi : Jumlah Keseluruhan.

Motivator : Pemberi dorongan.

Fasilitator : Pemberi fasilitas.

Regulator : Pengatur/Alat pengatur.

Public Service : Pelayan Masyarakat.

Globalisasi : Pengglobalan seluruh aspek kehidupan,

perwujudan (perombakan) secara menyeluruh disegala aspek kehidupan.

Koordinasi : Pengelompokan, Penyesuaian, Penyelarasan,

Penyusunan.

Nadzir : PengelolaWakaf.

Land Registration : Pendaftaran tanah.

Kadaster : Dokumen/Bundel gambar-gambar tanah yang

menjadi milik orang (dipegang oleh pembuat akte tanah) ; pencatatan tanah (hubungan pajak) pejabat pencatat tanah.

Administratif : yang berhubungan dengan ketata usahaan

(administrasi); sesuai dengan tata usaha.

Problematika : Masalah yang terkandung.

Mu’bah : Larangan Tuhan.

Fatwa : Anjuran, Advis; Nasehat; Keputusan/Ketetapan;


(15)

walaupun orang yang beramal telah meninggal dunia.

Dalil : Dasar; Ketentuan.

Maukuf : Harta yang diwakafkan.

MaukufAlaih : Tempat kemana harta itu diwakafkan.


(16)

KUA : Kantor Urusan Agama.

BPN : Badan Pertanahan Nasional.

PPAIW : Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.

RI : Republik Indonesia.

PP : Peraturan Pemerintah.

MUI : Majelis Ulama Indonesia.

Kakakemenag : Kepala Kantor Kementrian Agama.

KHI : Kompilas iHukum Islam.

WNI : Warga Negara Indonesia.

RUTR : Rencana Umum Tata Ruang.

Msjd : Mesjid.

Mslh : Musholah.

Mdrsh : Madrasah.

Kbrn : Kuburan.


(17)

(18)

untuk kepentingan umat Islam. Sedangkan wakaf berdasarkan hukum agraria adalah pengalihan hak yang bersifat kekal, abadi dan untuk selamanya. Akibatnya tanah tersebutterlembagakan untuk selamanya dan tidak dapat dialihkan haknya kepada pihak lain lagi, baik melalui cara jual-beli, tukar menukar, hibah dan lainnya kecuali ada alasan hukum yang membolehkannya.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis artinya hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara umum, menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti. Serta menggunakan pendekatan penelitian yuridis sosiologis dengan menggambarkan gejala dan fakta yang ada di masyarakat Kecamatan Percut Sei Tuan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemegang hak atas tanah yang tanahnya diwakafkan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan sendiri sampel mana yang dapat mewakili populasi.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa problematika pendaftaran tanah wakaf (Studi Di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang), adalah 1) masih kurangmya pemahaman masyarakat di Kecamatan Percut Sei tuan khusunya mengenai pendaftaran tanah wakaf dan pensertifikatan tanah wakaf, menurut masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan bahwa setelah wakaf dilaporkan ke KUA/PPAIW, urusan sudah selesai sampai di KUA. 2). Wakif tidak dapat menunjukkan alas hak atas tanah yang diwakafkan, oleh karenanya pihak BPN tidak dapat menerbitkan sertifikat atas tanah yang diwakafkan, padahal tanah wakaf tersebut sudah di ikrar wakafkan di Kantor Urusan Agama (KUA) oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). 3). Keadaan personil baik di KUA maupun di BPN sangat minim, sehingga masih banyak tanah wakaf yang belum ditangani baik pengikrarannya, maupun pendaftarannya di BPN. Adapun peranan BPN dalam pendaftaran tanah wakaf adalah sebagai pelayan, pengaduan dan informasi kasus pertanahan, pengkajian kasus pertanahan, penanganan kasus pertanahan, penyelesaian kasus pertanahan dan perbuatan hukum pelaksanaan putusan pengadilan. Sedangkan peran KUA dalam pendaftaran tanah wakaf adalah sebagai motivator, fasilitator, regulator, danpublic service.

Disarakan kepada pihak yang terkait agar lebih giat dalam menangani persoalan wakaf, mensosialisasikan pendaftaran tanah dan perwakafan tanah, sehingga timbul kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya pendaftaran tanah.


(19)

the Wakaf objects to someone or to a legal entity to be utilized for the benefit of Islamic Ummah. Based on Agrarian Law, wakaf is an eternal transfer of right. The consequence is that the land becomes institutionalized forever and the right to land can no longer be transfered to the other partie either by means of trading, exchanging, granting and so on unless there is a legal reason allowing it.

this analytical descriptive study with sociological juridical approach described the fact found in the community of Percut Sei Tuan subdistrict. The Population of thgi study was all of the holders of the right to the lands which have been donated for religious or public interest purposes. The Samples for this study were selected through purposive sampling technique.

The result of this study showed that the problematic of wakaf land registration in Percut Sei Tuan subdistrict, Deli Serdang District were 1) the community members living in Percut Sei Tuan Subdistrict did not understand much especially about wakaf land registration and certification. in their opinion, after their wakaf is registered to KUA (the Office of Religious /Islamic Affairs)/ PPAIW (the Official Issuing act of Donation Declaration), the matter finished up at KUA, 2) the wakif (the one donates the wakaf object) could not show the tittle of the land donated, therefore BPN (National Land Board) could not issue the certificate for the donated land, while the declaration of wakaf (donation) had been made at KUA by PPAIW, and 3) the personnel working of KUA or BPN was very minimal that many declarations of donated land at KUA or Registrations of the donated land at BPN have not been handled. In the process of donated land registration, the role of BPN is to serve the complaint and information related to the land cases such as to study, handle, and settle the land cases and legal action of the implementation of court decision. While the role of KUA, in the case of wakaf/ donated land registration, is as a motivator, facilitator, regulator and public service provider.

The related parties are suggested to handle the wakaf cases more maximally and to socialize the land registration and land donation that it can create a legal awareness in the community members and they understand the importance of land registration.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke

Indonesia, kemudian berkembang seiring dan sejalan perkembangan agama Islam di Indonesia. Perkembangan wakaf dari masa ke masa ini tidak didukung oleh peraturan formal yang mengaturnya, praktik perwakafan selama itu hanya berpedoman kepada

kitab-kitab fiqih tradisional yang disusun beberapa abad yang lalu, banyak hal sudah tidak memadai lagi. Pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur dan praktik perwakafan dalam bentuk peraturan masih relative baru, yakni sejak lahirnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.

Perkembangan wakaf di Indo nesia dimulai dari adanya wakaf yang telah ada pada masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 telah mengatur tentang perwakafan yang dibatasi hanya tanah hak milik

saja serta harus melalui prosedur dengan akta ikrar wakaf yang nantinya sertipikat hak milik diubah menjadi sertipikat wakaf.

Adanya ketentuan Peraturan PemerintahNomor 28 Tahun 1977 ternyata dirasa masih kurang setelah melihat kebutuhan masyarakat. Terlebih setelah dibentuknya Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.Salah satu kekuasaan Peradilan Agama berdasarkan


(21)

ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 disebutkan bahwa Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang wakaf.

Praktik wakaf yang dilaksanakan di Indonesia masih dilaksanakan secara konvensional yang memungkinkan rentan terhadap berbagai masalah dan tidak sedikit yang berakhir di pengadilan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penyimpangan terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dan juga sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf yang diperjual belikan, selain itu masih ada keluarga wakif yang menarik kembali benda-benda yang sudah diwakafkan karena wakaf belum terdaftar dan bersertifikat. Keadaan ini tidak hanya berdampak buruk terhadap perkembangan wakaf di Indonesia, tetapi merusak nilai-nilai luhur ajaran Islam yang semestinya harus dijaga kelestariannya sebab ia merupakan bagian dari Ibadah kepada Allah swt. Menyadari tentang keadaan ini, para pihak yang berwenang telah memberlakukan beberapa peraturan tentang wakaf untuk dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia.Namun peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan itu dianggap masih belum memadai dalam menghadapi arus globalisasi saat ini, diperlukan peraturan baru tentang wakaf yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.

Menurut data yang ada di Departemen Agama RI sampai bulan September 2002 menunjukkan bahwa tanah wakaf yang ada di Indonesia sebanyak 362.471 lokasi dengan luas 1.538.198.586 m2, 75 % di antaranya sudah bersertifikat.1Adapun jumlah aset yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, hal ini disebabkan aset wakaf di Indonesia belum terkoordinasi dengan baik.

1Prof. Dr. Abdul Manan, S.H., SIP., M.Hum.,Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama,dalam Suhrawardi K, Lubis,Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 145.


(22)

Pada hakikatnya penuangan perwakafan tanah milik dalam UUPA secara yuridis merupakan realisasi dari pengakuan terhadap unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.2 Hal yang demikian itu sesuai dengan Politik Hukum Agraria Nasional maupun Pancasila sebagai asas kerohanian negara yang meliputi seluruh tertib hukum Indonesia. Dengan demikian, dalam menafsirkan dan melaksanakan peraturan agraria (pertanahan)yang berlaku, harus berlandaskan dan bersumber pada Pancasila.3

Perwakafan tanah milik merupakan perbuatan suci, mulia dan terpuji yangdilakukan oleh seorang (umat Islam) atau badan hukum, dengan memisahkan sebagiandari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untukselama-lamanya menjadi tanah “wakaf-sosial”, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran HukumIslam.4

Mengingat perwakafan tanah milik secara nyata sarat dengan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama, maka sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 49 ayat 3UUPA, pada tanggal 17 Mei 1977 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang wakaf. Dalam konsiderans Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 itu disebutkan bahwa :5

a. “Bahwa wakaf adalah pembuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

2Boedi Harsono, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jilid 1, (Jakarta: Jambatan,2003), hal. 220.

3Notonagoro,Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia,(Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 69.

4Boedi Harsono,Op. Cit, hal. 348. 5

Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang,(Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2009), hal. 60-61.


(23)

selamanya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.

b. “Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur tentang perwakafan tanah milik selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-caraperwakafan juga membuka keinginan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan.”

Atas dasar peraturan perundang-undangan di atas, pada tanggal 12 Desember 1989, Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 15 Tahun 1989 yang berisi instruksi untuk membentuk tim koordinasi penertiban tanah wakaf di wilayah masing-masingpropinsi sampai dengan kabupaten/kota dan kecamatan yang terdiri dari unsur Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait serta Majelis Ulama Indonesia setempat. Tim tersebut bertugas mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan melaksanakan penertiban tanah wakaf diwilayah masing-masing, dengan upaya menyelesaikan akta ikrar wakaf dan pensertifikatan tanah wakaf berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.

Sejak dikeluarkannya instruksi tersebut hingga sekarang, upaya-upaya penertiban tanah wakaf belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini terlihat dengan adanya realita bahwa masih terdapat beberapa tanah wakaf khususnya di daerah pedesaan yang belum mempunyai kepastian hukum hak atas tanah wakaf (belum bersertifikat) karena belum dibuatkannya akta ikrar wakaf di hadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan belum dilakukan pendaftaran ke kantor pertanahan setempat. Adapun hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA serta hak lain dalam hukum adat setempat, yang


(24)

merupakan hak penguasa atas tanah yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai status bidang tanah tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya. Hak-hak atas tanah tersebut diatur dalam Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA.6 Dengan diberikan Hak atas tanah, maka akan terjalin hubungan hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum oleh pemegang hak atas tanah kepada pihak lain. Diantara perbuatan hukum tersebut, berupa jual-beli, tukar menukar dan lain-lain.7 Dalam penggunaannya menurut Boedi Harsono yang dikutip Sofyan Ibrahim meliputi tubuh bumi serta air serta ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan tanah tersebut.8

Hal tersebut disebabkan karena masyarakat pedesaan khususnyayang beragama Islam masih manggunakan prosedur pelaksanaan perwakafan

secarasederhana yakni dengan terpenuhinya unsur-unsur dan syarat-syarat tertentu saja, kemudian Waqif (yang mewakafkan) cukup mengikrarkan kehendaknya di hadapanNadzir(pengelola wakaf) dan para saksi maka terjadilah proses perwakafan

tersebut.

Proses perwakafan tersebut sangat sederhana dan mudah pelaksanaannya. Namun demikian, perwakafan tersebut juga dapat menimbulkan masalah karena tidak dilakukannya proses pencatatan atau pendaftaran pada instansi yang berwenang gunamendapatkan alat bukti yang kuat berupa Serifikat Hak atas Tanah Wakaf. Jika demikian, maka hal tersebut dapat menimbulkan suatu masalah atau sengketa di

6Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Tri Sakti, 2005), hal. 41.

7

K. Wantjik Saleh,Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h. 17.

8

Sofyan Ibrahim, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan dilihat dari aspek Yuridis Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152, hal. 153


(25)

kemudian hari ketikaWaqif (yang mewakafkan),Nadzir(yang mengelola) dan saksi-saksi telah meninggal dunia. Masalah ini terjadi karena tidak jelasnya status tanah yang diwakafkan, manfaat atau kegunaan tanah juga tidak jelas dan terlantar atau tidak terurusnya tanah wakaf serta tidak adanya tanda bukti atas keberadaan wakaf tersebut. Hal ini juga menyebabkan para pihak yang tidak bertanggungjawab dapat mengingkari keberadaan tanah wakaf tersebut. Sebagai contoh : Adanya sikap serakah dari para ahli waris yangtidak mengakui atau mengingkari adanya ikrar wakaf yang dilakukan oleh orang tuamereka, penggunaan tanah wakaf tidak sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan diadakannya wakaf atau disalahgunakan oleh Nadzir (pengelola wakaf) dan sebagainya.

Timbulnya permasalahan atau persengketaan tanah wakaf tersebut diatas padadasarnya disebabkan oleh sebagian masyarakat khususnya yang berhubungan dengan perwakafan telah mengabaikan unsur kepastian hukum atas objek yang diwakafkan (khususnya tanah). Agar kepastian hukum tersebut dapat terpenuhi maka tanah yang diwakafkan perlu didaftarkan ke kantor pertanahan setempat, yang sebelumnya ikrar wakaf tersebut telah dibuatkan aktanya pada pejabat yang berwenang. Dalam hal iniadalah Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di kecamatan setempat.

Guna menjamin kepastian hukum hak atas tanah, UUPA telah menentukan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi :

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanahdi seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.”


(26)

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 49 ayat 3 UUPA juga ditegaskan bahwa : “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”Peraturan Pemerintah (PP) tersebut adalah PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pendaftaran wakaf tanah milik juga diatur dalam Pasal 10 PP Nomor 28 Tahun 1977, yang lebih lanjut diatur dalam peraturan pelaksana lainnya, diantaranya yaitu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.

Sebutan pendaftaran tanah atau land registration: menimbulkan kesan, seakan-akan objek pertama pendaftaran atau satu-satunya objek pendaftaran adalah tanah. Memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah yang merupakan objek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam daftar tanah. Katakadaster

yang menunjukkan pada kegiatan bidang fisik tersebut berasal dari istilah latin

capistratumyang merupakan daftar yang berisikan data mengenai tanah.9

Pemahaman masyarakat luas tentang pengertian “pendaftaran tanah”banyak yang rancu. Jika atas sebidang tanah telah dilakukannya pencatatannya secara administratif oleh instansi pemerintah banyak yang beranggapan bahwa tanahnya sudah terdaftar. Sementara ketentuan hukum agraria (pertanahan) tidak demikian.

Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yg dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

9

Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya.(Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 74.


(27)

pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hak nya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.10

Kegiatan pendaftaran yang akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat, merupakan realisasi salah satu tujuan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Kewajiban untuk melakukan pendaftaran itu, pada prinsipnya dibebankan kepada pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, daerah demi daerah berdasarkan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaran.11

Pendaftaran berasal dari katacadastre(bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) menunjuk kepada luas, nilai dan kemilikan misalnya atas sebidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin “capitastrum” yang berarti suaturegister ataucapitaatau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terreus). Dalam artian yang tegas cadastre adalah record (rekaman daripada lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan).12

Pendaftaran tanah sebagaimana ketentuan pasal 19 ayat 2 UUPA adalah meliputi kegiatan mulai dari pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

10

Urip Santoso,Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 13.

11

Maria S.W. Sumardjono,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi,(Jakarta: Kompas, 2001), hal. 181-182

12


(28)

Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1961 dan peraturan pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa buku tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur.13

Yang meliputi kegiatan-kegiatan :14

1. Pengukuran, perpetaan (lebih tepat pemetaan,) dan pembukuan tanah; 2. Pendaftaran hak-hak tersebut;

3. Pemberian surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

R. Hermanses, S. H, dalam bukunya yang berjudul, Pendaftaran Tanah di Indonesia, selanjutnya dikutip Harun Al-Rasyid dalam bukunya Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, bahwa kadaster dalam arti yang modern dapat dirumuskan sebagai pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang seksama dari bidang-bidang tanah itu.15

Terdapat adanya suatu indikasi bahwa proses perwakafan tanah milik di wilayah Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara belum semuanya mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf beserta peraturan pelaksana lainnya tentang Perwakafan Tanah Milik.

13

Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 81

14

Hasan Wargakusumah SH, dkk,Hukum Agraria I,(Jakarta: PT. Prenhallindo, 2001), hal. 80

15Harun Al-Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya), (Jakarta: Balai Aksara, 1987), hal. 84


(29)

Hal ini dapat diketahui dari adanya beberapa tanah wakaf yang proses pensertifikatan tanah wakafnya tidak dapat diterbitkan pihak Badan Pertanahan Nasional, selain itu persoalan tanah yang sudah diwakafkan oleh orang tua tetapi diambil kembali oleh keturunan atau keluarga karena tanah yang diwakafkan tidak ada sertifikatnya, kemudian kurangnya kepedulian pemerintah setempat untuk mengurus dan mengelola tanah wakaf, artinya pemerintah setempat hanya menerima orang yang datang untuk mewakafkan, tetapi sebelumnya pemerintah setempat tidak ada memberikan arahan-arahan yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat sehingga termotivasi untuk mewakafkan tanahnya, selain itu kurangnya pemahaman pengelola wakaf (nazir) dalam mengelola tanah wakaf, hal ini dapat dilihat dari hasil yang di dapat dari tanah wakaf tersebut, khususnya di percut sei tuan tanah wakaf umumnya digunakan untuk mesjid, musholah, sekolah, makam, dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya kaum fakir miskin. Ada pula beberapa kasus yang masalahnya masih menggantung tanpa adanya penyelesaian dengan alasan bahwa Allah SWT yang akan menghukum, mengadili dan mengadzab orang atau pihak yang mengambil sebagian atau seluruh tanah wakaf tersebut.

Hal tersebut diatas dapat terjadi karena sebagian masyarakat belum mengetahui, memahami dan mentaati secara benar ketentuan peraturan perwakafan yang ada.

Ketidaktahuan masyarakat mengenai suatu peraturan perundang-undangan khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, mungkin disebabkan oleh kurangnya sosialisasi atas peraturan tersebut kepada masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yang letak


(30)

wilayahnya jauh daripusat pemerintahan daerah dan jauh dari pihak-pihak atau instansi yang berkompeten untuk melakukan sosialisasi tersebut. Untuk itu diperlukan suatu peran yang dilakukan oleh Kepala Desa sebagai bagian dari aparat pemerintah daerah yang paling bawah dan memiliki akses secara langsung terhadap warga masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti dan menulis tesis yang berkaitan dengan Hukum Wakaf dengan judul:

PROBLEMATIKA PENDAFTARAN TANAH WAKAF (STUDI DI

KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG). B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah wakaf menurut perspektif hukum Islam dan hukum Agraria? 2. Bagaimanakah pendaftaran perwakafan tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan

Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimanakah Problematika serta Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pendaftaran tanah wakaf di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui wakaf menurut perspektif hukum Islam dan hukum Agraria. 2. Mengetahui pendaftaran perwakafan tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan


(31)

3. Mengetahui Problematika serta Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pendaftaran tanah wakaf di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis, dalam hal ini pemerintah selaku penentu kebijakan dan pelaksana aturan

hukum.

1. Kegunaaan secara teoritis dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan Ilmu Hukum Agraria Indonesia dan Ilmu Hukum Islam

khususnya tentang Perwakafan Tanah Milik.

2. Kegunaan secara praktis dari hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan dijadikan bahan acuan bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah

Kabupaten Deli Serdang dalam meningkatkan perolehan sertifikat hak atas tanah wakaf sebagai tanda bukti hak yang kuat dan guna menjamin kepastian hukum hak atas tanah wakaf.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiyah Magister Hukum maupun di

Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa penelitian mengenai pendaftaran tanah wakaf, tetapi dibahas secara terpisah. Tesis saudara Abdul Rahim, NIM: 037011003/MKn, dengan judul Pelaksanaan


(32)

Pendaftaran Tanah Wakaf Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 di Kota Padang, dengan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang

pendaftaran tanah wakaf di Kota Padang.

2. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 di Kota Padang.

3. Upaya apa saja yang telah dan akan ditempuh oleh pihak terkait dalam mewujudkan terlaksananya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 di Kota Padang.

Dari hasil pembahasanan dapat disimpulkan bahwa tanah wakaf yang sudah keluar sertifikatnya didukung oleh upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, baik dari pihak yang mengurus maupun dari pihak Badan Pertahanan Nasional yang

berwenang mengeluarkan sertifikat, sedangkan tanah wakaf yang masih dalam proses penerbitan sertifikatnya, memerlukan kegigihan dalam melakukan pengurusan tersebut, menyelesaikan secepat mungkin perselisihan yang ada dalam kelompok kaum, serta usaha yang maksimal dari berbagai pihak dalam mencari penyelesaian

yang terjadi penghalang penerbitan sertifikat tanah wakaf tersebut.

Hasil yang didapat dalam tesis tersebut adalah bahwa dalam pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 di Kota Padang, terdapat hal-hal yang

mendukung peraturan tersebut antara lain adanya dukungan dari berbagai pihak seperti tokoh adat dan tokoh agama, tingginya keinginan masyarakat untuk mewakafkan tanahnya demi kepentingan sosial dan agama serta pemahaman


(33)

kepastian hukum terhadap tanah wakaf, adanya proyek departemen agama yang membebaskan pensertifikasian tanah wakaf disamping itu adapula faktor-faktor yang menjadi penghambat antara lain: masih adanya masyarakat yang yang tidak

memahami pentingnya pensertifikatan tanah wakaf, adanya perselisihan antara wakif dengan nadzir, wakif dengan anggota kaum, serta kurangnya tanaga yang menangani urusan perwakafan tanah dan kurangnya koordinasi antara Departemen Agama

dengan badan pertahanan nasional untuk menyelesaikan pensertifikatan tanah wakaf yang telah menjadi program nasional ini. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan

kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini.

F. KerangkaTeori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat, atau teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problematika) yang menjadi

bahan perbandingan, pegangan teoritis.16

Menurut Burhan, kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.17

16M. Solly Lubis,Filsafat dan Penelitian,(Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80 17Burhan Ashofa,Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 19


(34)

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses itu terjadi,18 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya dengan

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.19 Sedangkan Fajar berpendapat bahwa teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena, teori juga merupakan

simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya

umum.20 Adapun fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.

Oleh sebab itu teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit

mencakup hal-hal sebagai berikut:21

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajaam atau lebih mangkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan system klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada suatu prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan lagi timbul di masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangn-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Kerangka teori yang digunakan adalah teori keadilan pemikiran Roscue Pound yang menganut teori Sociological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum

18M. Hisyam,Peneliitian ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: FE UI, 1996) hal 203 19

Ibid,.

20Mukti Fajar et al., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010), hal. 134


(35)

yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di Masyarakat.22Teori Roscoe Pound dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya berjudul Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, dimana hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering). Disamping itu juga dikembangkan bahwa hukum dapat pula dipakai sebagai sarana dalam proses pembangunan. Demikian pula halnya bahwa hukum secara potensial dapat digunakan sebagai sarana pembangunan dalam berbagai sektor atau bidang kehidupan.23

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa latin,conceptusyang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan

konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.24Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau

penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.25

Dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional sebaga berikut:

22Roscoe Pound dalam Dayat Limbong,Penataan Lahan Usaha PK-5 Ketertiban Kelangsungan Hidup, (Pustaka Bangsa Press, 2006), hal.15-16.

23Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hal.20-21.

24

Samadi Suryabrata,Metodelogi Penelitian,(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998), hal. 3 25Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia; Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPS-USU, 2002), hal. 35


(36)

Problematika adalah: masalah yang terkandung.26

Pendaftaran tanah adalah: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus menerus dan berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk angka dan data mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Wakaf adalah: menyerahkan tanah atau benda-benda lain yang dapat

dimanfaatkan oleh umat tanpa merusak atau menghabiskan pokoknya kepada seseorang atau badan hukum agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalampenelitian ini problematika

pendaftaran tanah wakaf adalah: permasalahan-permasalahan yang terkandung di dalam pendaftaran ataupun pencatatan data tanah wakaf.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas maka penelitian yang akan dilakukan termasuk penelitian deskriptif. Penelitian ini bersifat

deskriptif analitis artinya hasil penelitian ini berusahamemberikan gambaran secara

26W. J. S. Poerwardaminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal. 769


(37)

menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan ataugejala yang diteliti.27 Sehingga penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran secara rinci, sistematis, dan

menyeluruh mengenai segala hal yang berkaitan dengan perwakafan tanah, prosedur pendaftaran wakaf tanah serta kendalanya di Kabupaten Deli Serdang.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yang merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab

(independence variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai kehidupan sosial.

Pada penelitian ini yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian

dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.28Dapat

dikatakan pendekatan yuridis sosiologis adalah penelitian yang berusaha menghubungkan antaranorma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat danpenelitian berupa studi empiris berusaha menemukan teori mengenai prosesterjadinya dan proses bekerjanya hukum.

Pendekatan yuridis yang dimaksudkan di sini adalah ditinjau dari sudut peraturan/norma-norma hukum yang merupakan data sekunder dan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Peraturan-peraturan/norma-norma hukum yang

berkaitan dengan penelitian ini adalah peraturan-peraturan/norma-norma hukum yang berkaitan dengan perwakafan tanah serta prosedur pendaftaran wakaf tanah.

27Soerjono,Op. Cit,hal. 10 28Ibid, hal. 1


(38)

Sedangkan pendekatan sosiologis dipergunakan untuk menyelidiki dan mempelajari gejala-gejala sosial mengenai pendaftaran perwakafan tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan, serta sebagai perilaku masyarakat yangmenggejala dan

mempola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan serta politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai temuan dilapangan yang bersifat individual dan dijadikan bahan utama dalam

mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada ketentuan yang

normatif.29

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

penyebaran kuisioner serta studi terhadap bahan-bahan dokumen lainnya.

a. Kuisioner dengan menggunakan pedoman daftar kuisioner dan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Langkah pertama dilakukan daftar

kuisioner bersifat tertutup dan terbuka terhadap para pewakif dan nadzir yang sertifikat tanah wakafnya belum terbit, sebagai responden dan informan untuk memperoleh informasi data primer. Wawancara dilakukan bagi nara sumber dan

informan untuk melengkapi data dan untuk menjawab permasalahan yang ada. Responden dan Informan dimaksud yaitu :

- 4 pewakif yang mewakafkan tanahnya di kecamatan Percut Sei Tuan,

Kabupaten Deli Serdang.

29Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 9.


(39)

- 4 nadzir yang mengelola tanah wakaf di kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

- Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten

Deli Serdang.

- Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deli Serdang. b. Bahan-bahan dokumen atau bahan pustaka.

Bahan-bahan dokumentasi diperoleh dari berita koran, mempelajari dan menganalisis literatur atau buku-buku, dan peraturan perundang-undangan. Studi kepustakaan sebagai bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan pelepasan hak atas tanah. Demikian pula dikaji bahan hukum sekunder berupa karya hasil penelitian. Untuk melengkapi bahan hukum tersebut didukung oleh bahan tersier seperti kamus,

ensiklopedia, media massa dan lain sebagainya. 3. Sumber Data

Bahan Penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder yaitu berupa:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan dengan melakukan interview kepada nara sumber dan informan, yakni pegawai yang menangani permasalahan wakaf di KUA dan di BPN sebagai nara sumber dan

beberapa wakif sebagai informan.


(40)

1. Bahan Hukum Primer yang merupakan peraturan perundang-undangan, yuridis sprudensi, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanahan khususnya pelaksanaan wakaf tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan

Kaupaten Deli Serdang.

2. Bahan Hukum Sekunder yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum di bidang

pertanahan mengenai asas-asas berlakunya hukum pertanahan terutama dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan perwakafan tanah untuk kepentingan umum.

3. Bahan hukum tersier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan berbagai majalah yang berkaitan dengan

pelaksanaan perwakafan tanah. 4. Teknik Pengumpulan Data

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemegang hak atas tanah yang tanahnya diwakafkan, dimana antara satu populasi dengan populasi lain mempunyai

karakteristik sama yang menyebabkan sampel identik dengan populasi. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan

menentukan sendiri sampel mana yang dapat mewakili populasi.30 Tahapan

penentuan terlebih dahulu ditetapkan cirri atau karakteristik dari sampel, menurut jenis dan status tanah yang dikuasai responden, letak geografis, tahapan pelepasan


(41)

hak, kemudian cirri-ciri tersebut diterapkan pada sampel, kemudian dipilih mana

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.31Untuk memperoleh data

yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dilaksanakan dua tahap penelitian yaitu penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Penelitian Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik berupa bahan hukum primer dan sekunder

maupun bahan hukum tersier. Setelah di inventarisasi dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang berhubungan dengan perwakafan tanah.Selanjutnya dilakukan studi lapangan terhadap responden yaitu beberapa wakif dalam rangka memperoleh data primer melalui alat pengumpulan data yang

merupakan bahan utama dalam penelitian ini.

5. Analisa Data

Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh

melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan kemudian disusun secara sistematis, dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Data tersebut kemudian dianalisa secara interpretatif

menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan kemudian secara

deduktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.32

31Soerjono Soekanto,Op. Cit, hal. 31. 32Ronny Hanitijo, Op. Cit,hal.119


(42)

BAB II

WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERTURAN HUKUM AGRARIA

A. Wakaf Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dariwaqf,yang berarti menahan atau berhenti atau diam di

tempat. Secara peristilahan, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mu’bah (tidak

dilarang Tuhan), serta dimaksudkan untuk mendapat keridhaan Allah SWT.33

Menurut Moh. Anwar, wakaf ialah menahan suatu barang dari dijual belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan tertentu yang diperbolehkan olehsyara’serta tetap bentuknya, dan boleh

dipergunakan, diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (orang yang menerima

wakaf ), atau umum.34

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai arti wakaf secara istilah

(hukum), hal ini sesuai dengan perbedaan mazhab yang telah dianutnya. Adapun

pendapat masing-masing mazhab adalah sebagai berikut:35

1. Menurut Mazhab Syafi’i, antara lain:

a). Wakaf menurut Imam Nawawi, “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada

33

Azhar Basyir, MA.,Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijaroh dan Syirkah.(Bandung : PP. Al-Ma’arif, 1977), hal. 5

34Sudarsono,Pokok-Pokok Hukum Islam,Cetakan Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 494 35

Elsi Kartika Sari, S.H, M.H,Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf,(Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hal. 54-55.


(43)

padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.

b). Wakaf menurut Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah, “Menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dengan pemiliknya untuk hal yang dibolehkan”.

2. Menurut Mazhab Hanafi,

a). Wakaf menurut A. Imam Syarkhasi, menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain (habsul mamluk’an al-tamlik min al-ghair)”. b). Al-Murghiny mendefenisikan wakaf ialah menahan harta di bawah tangan

pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (habsul’aini ala maliki al-wakif wa tashaduk bi al-manfa’ab).

3. Menurut Mazhab Malikiyah

Ibnu Arafah mendefenisikan wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian).

Dalam pasal 215 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), wakaf adalah

perbuatan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Islam.

sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, Wakaf ialah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum

menurut syariah.36

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang

Wakaf, Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

36


(44)

melembagakannya untuk selama lamanya untuk kepentingan peribadatan atau

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.37

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum yang suci dan mulia, sebagai shodaqah zariah atau amalan yang pahalanya selalu mengalir walaupun orang yang mewakafkan telah meninggal dunia.

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa mewakafkan sesuatu adalah jauh lebih mulia dari pada sedekah.

Menurut Imam Syafi’i, berlaku sah apabila orang yang mewakafkan telah menyatakan dengan perkataan “saya telah wakafkan” sekalipun tanpa diputus hakim.

Bila harta tersebut telah diwakafkan maka orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas

harta itu walaupun harta tetap di tangannya.38

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan unsur-unsur pengertian wakaf tersebut antara lain;

1) Harta benda milik seseorang atau badan hukum.

2) Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis bila dipakai.

3) Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya

4) Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau diperjual belikan.

5) Digunakan untuk kepentingan umum dan ibadah.

37Departemen Agama.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,hal. 60-61 38Abdurrahman,Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita.(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 133


(45)

Keberadaan wakaf telah mendapatkan pengakuan dalam UUPA, yakni pasal

49 yang menegaskan:39

1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Dari ketentuan tersebut terkandung makna, bahwa perihal pertanahan erat hubungannya dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya, yang salah satunya

adalah perwakafan tanah, yang dalam hukum agraria nasional mendapat perhatian. 2. Ikrar Wakaf

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebiasaan masyarakat kita sebelum

adanya UU No. 5 tahun 1960 dan PP No. 28 tahun 1977 hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas (sharih ) menurut pandangan As-Syafi’i termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah. Akan tetapi dalam kasus masjid,

bila seseorang memiliki mesjid dan mengijinkan orang atau pihak lain melakukan ibadah di masjid tersebut, maka tidaklah otomatis masjid tersebut berstatus wakaf. Pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu, habastu

atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas.

39

Adrian Sutedi, S. H., M. H., Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 105.


(46)

Dari pandangan Imam Asy-Syafi’i tersebut kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja.

Namun demikian ketika ada orang yang mewakafkan harta bendanya dengan

tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkan bukan berarti wakafnya tidak sah. Pernyataan tulisan mewakafkan sesuatu justru bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif telah melakukannya, lebih-lebih

itu dinyatakan di hadapan hakim dan nazhir wakaf yang ditunjuk. 3. Harta yang boleh di wakafkan.

Benda yang di wakafkan di pandang sah apabila memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda,

seperti : hak irtifaq, hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurutsyara’, yakni benda yang tidak boleh di ambil manfaatnya, seperti: benda memabukkan dan benda-benda haram lainnya. Karena maksud wakaf adalah mengambil

manfaat benda yang di wakafkan serta mengharapkan pahala atau keridhaan Allah atas perbuatan tersebut.

b. Benda tetap atau bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan

masyarakat Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada umumnya mewakafkan harta berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan untuk masjid, madrasah, pesantren, kuburan, rumah sakit, panti


(47)

asuhan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan juga telah disepakati oleh semua mazhab empat. Garis umum yang dijadikan sandaran golongan Syafi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan

fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama). Namun demikian, walaupun golongan Syafi’iyyah membolehkan harta bergerak seperti uang,

saham dan surat berharga lainnya, umat Islam Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya karena dikhawatirkan wujud barangnya bisa habis.

c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.

Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlahnya, seperti seratus juta rupiah, atau bisa juga dengan menyebut nisbahnya terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki, dan lain sebagainya. Wakaf

yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan, maka tidak sah hukumnya, seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku dan sebagainya.

d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk) si

wakil (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Oleh karenanya, jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya, maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan benda atau sejumlah uang

yang masih belum di undi dalan arisan, mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya.


(48)

4. Kedudukan harta setelah di wakafkan.

Di lingkungan umat Islam Indonesia bahwa semangat pelaksanaan wakaf lebih bisa dilihat dari adanya kekekalan fungsi atau manfaat untuk kesejahteraan umat

atau untuk kemaslahatan agama, baik terhadap diri maupun lembaga yang telah ditunjuk oleh wakif. Karena tujuan dan kekekalan manfaat benda dari yang di wakafkan, maka menurut golongan Syafi’iyyah yang dianut pula oleh mayoritas

masyarakat muslim Indonesia berubah kepemilikannya menjadi milik Allah atau milik umum. Wakif sudah tidak memiliki hak terhadap benda itu. Menurut wakif, wakaf itu sesuatu yang mengikat, si wakif tidak dapat menarik kembali, membatalkan

dan membelanjakannya yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik, dan wakif juga tidak dapat mengikrarkan bahwa benda wakaf itu menjadi hak milik orang lain dan lain sebagainya.Wakif tidak dapat menjual, menggadaikan, menghibahkan serta

mewariskan.40

5. Harta wakaf ditujukan kepada siapa

Dalam realitas masyarakat kita, wakaf yang ada selama ini ditujukan kepada

dua pihak : a) keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif. Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, maka wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah

mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

40Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya,(Bandung: Yayasan Piara, 1995), hal. 37.


(49)

Dalam satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, juga kebaikan dari silaturahminya dengan orang yang diberi amanah wakaf. Akan tetapi di sisi yang lain, wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah seperti :

bagaimana kalau anak yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah), siapa yang berhak mengambil manfaat dari harta wakaf itu? Lebih-lebih pada saat akad wakafnya tidak disertai dengan bukti tertulis yang di catatkan kepada negara. Atau sebaliknya,

bagaimana kalau anak cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian hasil harta wakaf. Dan ini banyak bukti, dilingkungan masyarakat kitasering terjadi persengketaan antar

keluarga yang memperebutkan harta yang sesungguhnya sudah diwakafkan kepada orang yang ditunjuk. Dalam masalah ini, Ahmad Azhar Basyir, MA dalam bukunya “Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah” menulis : menghadapi kenyataan

semacam itu di beberapa negara yang dalamperwakafan telah mempunyai sejarah lama, lembaga wakaf ahliitu sebaiknya diadakan peninjauan kembali untuk di hapuskan. b) Wakaf yang ditujukan untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (wakaf khairi). Wakaf seperti ini sangat mudah kita temukan

disekitar kehidupan masyarakat kita, yaitu wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, kuburan, panti asuhan anak yatim dan lain-lain.Wakaf dalam bentuk seperti ini jelas lebih banyak manfaatnya

daripada jenis yang pertama, karena tidak terbatasnya orang atau kelompok yang bisa mengambil manfaat.Dan inilah yang sesungguhnya semangat yang diajarkan oleh wakaf itu sendiri.


(50)

6. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.

Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta

wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara muthlak, sekalipun masjid itu roboh.Dan ini mudah ditemukan seperti bangunan-bangunan

masjid tua yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjidtersebut hanya karena para nazhir wakaf mempertahankan pendapatnya Imam Syafi’i.

Sebagai perbandingan, kalau menurut pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal

justru membolehkan menjual harta wakaf dengan harta wakaf yang lain. Dalam kasus masjid di atas, menurutnya, masjid tersebut (yang sudah roboh) boleh dijual apabila masjid itu sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan pokok perwakafan sebagaimana

tujuan atau niat wakif ketika akad wakaf dilangsungkan. Namun demikian hasil dari penjualannya harus dipergunakan untuk membangun masjid lain yang lebih bisa

dimanfaatkan peruntukannya secara maksimal.41Jadi pada dasarnya, perubahan

peruntukan dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan, baik

peruntukannya maupun statusnya.

41 A. Faishal Haq & Ahmad Syaiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan: PT. GBI), 1994. Cet.ke-4), hal. 8


(51)

Persyaratan ketat atas penukaran harta wakaf karena diketahui, tidak semua orang di dunia ini baik akhlaknya, demikian juga dengan nazhir (pengelola harta wakaf). Sering kita temukan orang atau lembaga yang diberi amanah wakaf ( nazhir )

yang dengan sengaja menghianati kepercayaan wakif dengan merubah peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini tentu menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya bagi mereka yang

berkepentingan dalam perwakafan tanah.Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, keadaan perwakafan tanah tidak atau belum diketahui jumlahnya, bentuknya, penggunaan, dan pengelolaannya disebabkan tidak

adanya ketentuan administratif yang mengatur.Itulah urgensi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 yang disebut dalam konsiderannya. Dan jelas sekali kondisi di atas sangat mengganggu nilai-nilai yang terkandung dalam

ajaran wakaf itu sendiri tentang sosialisme harta (kekayaan dunia) untuk menciptakan keseimbangan sosial ditengah-tengah masyarakat.

7. Dasar Hukum Wakaf

Ada beberapa dalil atau ketentuan yang menjadi dasar dari pada amalan wakaf

ini, yakni ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar semua manusia selalu berbuat kebaikan, sebab amalan zakatpun juga termasuk salah satu macam perbuatan yang baik dan terpuji.

Adapun ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan di antaranya adalah :


(52)





Yang artinya: perbuatlah oleh kamu kebaikan semoga kamu mendapat kemenangan.

2) Al-Qur’an surat Al- Imran ayat 92 yang berbunyi:









Yang artinya: tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan,sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian dari harta yang kamu senangi.

3) Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:







Yang artinya: belanjakanlah sebagian harta yang kamu peroleh dengan sebaik-baiknya.

Dalam Undang-Undang Islam yang berkaitan dengan harta, terdapat tiga jenis

peguasaan tanah yaitu:42

a. Penguasaan tanah hak milik pribadi yang didasarkan dan ditentukan oleh ketentuan syariah.

b. Penguasaan tanah wakaf, di mana ketentuannya juga diatur oleh syari’ah. c. Tanah milik Negara, yang banyak diatur oleh pemerintah setempat. 8. Rukun Wakaf

1. Ada orang yang berwakaf(wakif)

2. Ada sesuatu benda atau harta yang diwakafkan(maukuf)

42

Ridzuan Awang,Undang-Undang Tanah Islam, Pendekatan Pebandingan,(Kualalumpur: Deawan Bahasa dan Kementerian Pendidikan, 1994), hal. 2,


(53)

3. Ada tujuan atau tempat ke mana harta itu diwakafkan(maukuf ‘alaih)

4. Ada pernyataan(sighat), sebagai pernyataan kehendak dari wakif.43

Keempat rukun wakaf di atas masing-masing harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tabarru’, wakif harus mampu melepaskan hak miliknya tanpa adanya suatu

imbalan material. Seseorang dikatakan tabarru’ apabila ia telah baligh, dapat berfikir normal dan tidak ada paksaan.

2. Harta yang diwakafkan mempunyai nilai dan dapat tahan lama dalam penggunaannya.

3. Tujuan wakaf tidak bertentangan dengan agama.

4. Adanya sighat atau ikrar (pernyataan) mewakafkan sesuatu, boleh secara lisan, tulisan maupun isyarat.

9). PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)

Bahwa yang dapat bertindak sebagai PPAIW ialah Kepala KUA Kecamatan kecuali tidak ada maka Kepala Kantor Kementrian Agama menunjuk kepala KUA

Kecamatan lain yang terdekat, atau jika di daerah Tingkat II itu belum ada KUA Kecamatan menunjuk Kepala Seksi Agama pada Kemenag Kota/Kabupaten sebagai PPAIW di daerah tersebut. Pengangkatan dan pemberhentian PPAIW oleh Menteri

Agama.

43


(54)

B. Wakaf Berdasarkan Peraturan-Peraturan Hukum Agraria

1. Filosofis Dan Prinsip UUPA No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Hukum Agraria).

a. Filosofis UUPA Nomor 5 Tahun 1960.

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya

sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagikelangsungan hidup umat manusia.

Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarangmaupun untuk masa yang akan datang.

Menurut Abdurrahman, tanah dapat dinilai sebagai harta yang bersifat permanen karena tanah dapat dicadangkan untuk kehidupan mendatang, dan

tanahpula sebagai tempat persemayaman terakhir bagi seseorang meninggal dunia.44

Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilaiekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum.

Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah denganmendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.

44Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 1


(55)

Secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjualtanah berarti menjual miliknya, yang benar dia

hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu dikuasainya.45

Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalambahwa tanah di samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah

tidak mutlak.Namun demikian negara harus menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang-undang.

Undang-undang yang mengatur masalah pertanahan telah disusun, yaitu UU

Nomor 5 Tahun 1960.Menurut Pasal 16 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasadisebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA)diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan

kepadawarga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, HakMembuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-haklain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53UUPA.46

Hukum agraria (Belanda = agrarisch recht, Inggris = agrarian law) adalah ketentuan-ketentuan keseluruhan dari hukum perdata, hukum tata Negara dan hukum administrasi (Hukum Tata Usaha Negara) yang mengatur hubungan-hubungan antara

45

Soedharyo Soimin,Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hal. 82 46Ibid, hal. 90


(56)

orang (termasuk badan hukum) dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenangnya.47

Hukum agraria nasional pada hakekatnya lahir sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) diberlakukan di Indonesia. Tanggal 24 September 1960 ditetapkan dan diberlakukanlah di seluruh wilayah Indonesia Undang-Undang No. 5

Tahun 1960 yaitu Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Nama Undang No. 5 tahun 1960 itu lebih popular dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang kemudian istilah itu dipakai di dalam peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Menteri Agraria Tahun 1960 tentang pelaksanaan

beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Kandungan pengertian kata “pokok” pada UUPA itu sangat dalam.

Adapun filosofi dibentuknya UUPA yaitu :

1. UUPA dalam Negara Republik Indonesia (RI) yang kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya masih bercorak agraria (bumi, air, ruang angkasa) sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.

2. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional dan pembangunan semesta.

3. Hukum agraria yang mempunyai sifat dualism yaitu masih berlakunya ketentuan-ketentuan hukum adat di samping ketentuan-ketentuan KUH Perdata.

4. Bagi rakyat asli hukum agraria pada zaman penjajahan tidak menjamin adanya suatu kepatian hukum.48

47Tampil Anshari Siregar,Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan,(Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2001), hal. 1-2.


(57)

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu ada Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan pada hukum adat yang dapat memberikan adanya suatu kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang

bersandarkan pada sendi hukum agraria.

Pernyataan ini memperjelas dengan dikembalikannya marwah hukum adat dan hak ulyat Indonesia dan penyesuaisan pada perkembangan kemajuan

perekonomian dan lalu lintas perdagangan.Hukum adat harus dapat menjawab tantangan hukum modern dengan dikembangkannya ketentuan pasal 3 UUPA (tentang hak ulyat) dan pasal 5 UUPA (tentang pengertian hukum adat nasional versi

UUPA).49

Beberapa pendapat menyebutkan bahwa:50

a. Berhubungan dengan apa yang tersebut di atas perlu adanya hukum Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

b. Hukum Agraria Nasional harus memberikan kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.

c. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan keadilan sosial sebagai dasar kerohanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

d. Hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ketentuan dalam pasal 33 UUD 1945 dan manifesto politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.

49Prof. Dr. A. P. Parlindungan, SH, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan Gagasan, (Medan: USU Press, 1998), hal. 63.


(1)

pendaftaran tanah wakaf, dengan menggalakkan sosialisasi pendaftaran tanah wakaf tanah diharapkan akan timbul kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya pendaftaran tanah wakaf di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

3. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diharapkan kepada semua pihak/ masyarakat agar dapat mengembangkan wakaf dalam berbagai aspek, tidak hanya dalam aspek pemikiran, tetapi juga berusaha membuat inovasi dan langkah terobosan dalam mengelola harta wakaf agar wakaf dapat dirasakan manfaatnya secara luas bagi masyarakat.

Disarankan Kepada Kepala Kantor Urusan Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional agar menempatkan pegawai yang benar-benar mampu dan mengerti tentang perwakafan, sehingga wakaf dapat diurus dengan baik dan benar.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994.

Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia, Bandung: Alumni, 1978.

Ashofa Burhan,Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Al-Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-Peraturannya), Jakarta: Balai Aksara, 1987.

Awang Ridzuan, Undang-Undang Tanah Islam, Pendekatan Pebandingan, Kualalumpur: Deawan Bahasa dan Kementerian Pendidikan, 1994.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka 2012.

Bandar Mahya Syariful dalam Suhrawardi K. Lubis, dkk,Wakaf dan Pemberdayaan Umat,Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Basyir Azhar, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijaroh dan Syirkah.Bandung : PP. Al-Ma’arif, 1977.

Chandra, S., Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan,Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005. ---,Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah,

(Studi Kasus : Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar yang Berpotensi Hapus di Kota Medan),Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006.

C. S. T. Kansil, Christine S. T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Fajar Mukti et al., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta :PT. Pustaka Pelajar, 2010.

Haq, A. Faishal & Anam, A. Syaiful, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan:PT. GBI), 1994, Cet. Ke-4.


(3)

Hadi Soetrisno,Metodologi Reseacth Jilid II, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1985.

Hamami Taufiq,Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: Tata Nusa, 2003.

Harsono Boedi,Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jilid 1. Jakarta: Jambatan,2003.

---, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya.Jakarta: Djambatan, 2003.

---,Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Universitas Tri Sakti, 2005.

Hisyam. M,Peneliitian ilmu-ilmu Sosial,Jakarta: FE UI, 1996.

Hutagalung Arie, S, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.

Ibrahim Sofyan, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan dilihat dari aspek Yuridis Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152.

Isnaini.Moch.,Benda Terdaftar Dalam Konstelasi Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, Nomor 13 Volume 7 April 2000.

Kamelo Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia; Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPS-USU, 2002.

Kusumaatmadja Mochtar, Konsep-knsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Lubis, Solly, M,Filsafat dan Penelitian,Bandung: Mandar Maju, 1994.

Lubis Yamin MHd. Dan Lubis Rahim Abd., Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria,Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

---, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Bandung: Mandar Maju, 2010.


(4)

Manan Abdul, Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama, dalam Suhrawardi K, Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mertokusumo Soedikno, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1988.

Mukti Affan,Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria,Medan: USU Press, 2006. Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta: Bina

Aksara, 1984.

Parlindungan, A. P.,Pendaftaran Tanah di Indonesia,Bandung: Mandar Maju, 1990. ---, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan Gagasan, Medan:

USU Press, 1998.

---, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, 1991.

Poerwardaminta, W. J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Pound Roscoe dalam Dayat Limbong, Penataan Lahan Usaha PK-5 Ketertiban Kelangsungan Hidup, Pustaka Bangsa Press, 2006, h.15-16.

Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia.Jakarta, 2004.

Qahaf Munzir,Manajemen Wakaf Produktif,Jakarta Timur: Khalifa, 2005.

Ruchiyat Eddy, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung: Alumni, 1999.

R. Roestandi Ardiwilaga,Hukum Agraria Indonesia,Bandung : Masa Baru, 1962. Saleh Wantjik, K,Hak Anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.

Santoso Urip,Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah,Jakarta: Kencana, 2011. Sari Kartika Elsi,Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf,Jakarta: PT. Grasindo, 2006.


(5)

Siregar Anshari Tampil, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan.Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2001.

Soekamto Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press, 1998.

Soemitro Hanitijo Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.

Soimin Soedharyo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta : Sinar Grafika, 1993.

Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Sumarjono, S. W. Maria, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Jakarta: Kompas, 2001.

Suryabrata Samadi,Metodelogi Penelitian,Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998. Supriadi,Hukum Agraria,Jakarta:Sinar Grafika, 2007.

Sutedi Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

S. Praja, Juhaya, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya,Bandung: Yayasan Piara, 1995.

Wargakusumah Hasan,Hukum Agraria I,Jakarta: PT. Prenhallindo, 2001. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang, Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2009.

UU Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 32 UUPA, Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6 PP No 28 Tahun 1977, Pasal 5 ayat (1)


(6)

PerMenAg Nomor 1 Tahun 1978, Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 28 Tahun 1977, Pasal 9 ayat (1) PP No 28 Tahun 1977, Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 28 Tahun 1977, Pasal 9 ayat (1)

Hasil wawancara dengan Bapak Ismail Hasyim, SH, MA, di Kantor Urusan Agama (KUA) pada Tanggal 19 Juli 2012 Pukul 10.21

Hasil wawancara dengan bapak Edi Rabuddin, SIP di Kantor Badan Pertanahan Nasional, Tanggal 31 Juli 2012, Pukul: 10.07