Dinamika Repurchase pada Online Shopper yang telah mengalami Post Purchase Dissonance

BAB II LANDASAN TEORI A. Repurchase A.1. Definisi Repurchase Salah satu dari dampak membeli produk adalah repurchase atau pembelian

  kembali. Repurchase Intention adalah intensi untuk melakukan pembelian kembali akan suatu produk sebanyak dua kali atau lebih, baik terhadap produk yang sama maupun yang berbeda (Zeng, Zuahao, Rong, & Zhilin, 2009).

  Repurchase ini meliputi 2 karakteristik yaitu intention (Intensi) dan behavior

  (perilaku). Repurchase intention ini erat kaitannya dengan sikap konsumen terhadap objek dan sikap konsumen terhadap perilaku sebelumnya. Penelitan Akhter (2010) menemukan bahwa kepuasan tidak secara langsung berhubungan dengan repurchase (pembelian kembali), namun tidak salah bahwa kepuasan konsumen berpengaruh pada perilaku pembelian kembali jika dilihat dari riset psikologi dimana kepuasan mendorong intensi dan intensi mendorong perilaku.

  Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri repurchase adalah salah satu indikator dari kepuasan dan juga efek dari pembelian.

  Chang, Lee, Chien, Huang dan Chen (2010) mengatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara pengalaman konsumen akan suatu produk terhadap kecenderungan konsumen untuk kembali melakukan pembelian terhadap produk yang dievaluasi baik. Intensi konsumen dalam pembelian online adalah kegiatan diri konsumen untuk melakukan pembelian pada suatu toko online.

  12 Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein pada tahun 1980 (dalam Jogiyanto, 2007) mengasumsikan bahwa konsumen secara sadar mempertimbangkan segala informasi pada alternatif-alternatif yang ada dan akhirnya akan memilih satu alternatif yang dapat memberikan konsekuensi yang paling diharapkan.

  Hawkins & Mothersbaugh (2010) menambahkan konsumen bisa terus melakukan pembelian kembali walaupun tidak punya keterikatan emosional terhadap suatu produk atau barang. Hawkins & Mothersbaugh (2001) juga mengungkapkan bahwa konsumen yang tidak puas pada pembelian sebelumnya dapat melakukan pembelian kembali atau repurchase dengan beberapa faktor seperti tidak ada barang pengganti, kesusahan melakukan exit, belum ada barang pengganti dan berbagai kemudahan lain yang disediakan.

  A.2. Faktor yang membuat konsumen melakukan Repurchase

1. Harga

  Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) mengungkapkan alasan yang menjadi faktor seorang individu melakukan pembelian kembali (repurchase) yaitu switching cost dimana harga menjadi prediktor utama dalam pembelian ulang. Sifat ekonomis dalam pembelian menjadi alasan individu dalam melakukan pembelian, seperti kebiasaan membeli barang yang tersedia pada toko-toko tertentu, karena harganya yang murah ataupun berbagai alasan praktis lainnya. Harga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk melakukan pembelian. Asumsinya setiap barang tentu mempunyai nilai dan nilai tersebut didasarkan dari harga yang menjadi tolak ukur dari barang tersebut (Puspitaningrum, 2006) Selain itu, committed customers yaitu individu yang pada dasarnya memiliki komitmen untuk melakukan pembelian pada suatu produk atau barang tertentu. Adanya keterikatan secara emosional artinya barang tersebut telah menjadi bagian dari hidup individu. Ungkapan- ungkapan seperti “Saya suka toko ini” atau “Saya suka merek ini” menunjukkan komitmen seorang individu dalam melakukan pembelian (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

2. Trust (Kepercayaan)

  Kepercayaan memegang peranan penting dalam proses pembelian ketika konsumen memastikan adanya bukti atas barang atau produk yang ditawarkan.

  Kepercayaan menjadi salah satu faktor psikologis yang mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian (Kotler & Keller, 2009).

  Kepercayaan sebenarnya merupakan kunci utama yang menghubungkan agen penjual dengan para konsumen dimana dengan adanya kepercayaan akan menghubungkan keahlian, kebenaran dan kebaikan dalam proses pembelian (Chiu, Chang, Cheng & Fang, 2009). Keahlian artinya kemampuan agen penjual untuk memberikan suatu kepercayaan yang semestinya kepada konsumen sebagaimana tanggung jawabnya. Kebaikan artinya konsumen tidak akan bertindak sebaliknya terhadap agen penjual yang telah memberikan kepercayaan dan kebenaran sebagai suatu realita yang harus dijalani kedua belah pihak dalam melakukan transaksi pembelian. Ketidakhadiran suatu kepercayaan akan mengurangi kemungkinan konsumen melakukan transaksi secara online karena pada dasarnya konsumen tidak akan melakukan pembelian dengan toko online yang tidak mereka percayai.

3. Kepribadian

  Kepribadian sebagai hal utama yang mencerminkan perbedaan konsumen sebagai individu karena setiap individu tidak mungkin memiliki ciri kepribadian atau karakter yang sama (Prasetijo & Ihalauw, 2005). Kepribadian sebagai suatu sistem psikologis individu yang dinamis dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan tertentu (Setiadi, 2008). Adapun yang termasuk faktor kepribadian seperti usia dan tahapan siklus hidup, pekerjaan, status ekonomi, konsep diri, nilai dan gaya hidup konsumen. Keputusan pembelian kembali juga dipengaruhi oleh faktor psikologis konsumen (Blackwell, Miniard & Engel, 2001).

  B. Post Purchase Dissonance

  B. 1. Definisi Dissonance

  Disonansi merupakan sebuah konsep yang terjadi dimana manusia mencoba untuk menyeimbangkan konsistensi dan keharmonisan diri terhadap pendapat, perilaku maupun nilai-nilai yang muncul karena adanya ketidaknyamanan psikologis sebagai hasil dari situasi tersebut (Festinger, 1958).

  Festinger dalam Ginting (2009) mengatakan bahwa “Kemunculan disonansi akan menimbulkan tekanan tersendiri untuk mengurangi atau menghilangkannya.

  Kekuatan dari tekanan untuk mengurangi disonansi tersebut sebenarnya adalah fungsi dari besarnya sebuah dison ansi”, yang artinya munculnya disonansi akan

  mengarah dan memotivasi individu untuk menurunkan tingkat disonansi itu sendiri. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara mengubah perilaku ataupun mengubah pandangan atau kognitif mengenai disonansi tersebut.

B. 2. Definisi Post Purchase Dissonance

  Disonansi kognitif yang timbul setelah pembelian disebut Post Purchase

  Dissonance (disonansi setelah pembelian), yaitu adanya perasaan tidak nyaman

  mengenai belief mereka atau perasaan yang cenderung mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman & Kanuk, 2007). Post purchase

  dissonance terjadi ketika konsumen ragu terhadap keputusan membeli yang telah

  dilakukannya. Biasanya konsumen yang telah mengalami disonansi ini akan menyimpan atau membuang produk tersebut. Namun ada juga konsumen yang tetap melakukan pembelian sekalipun telah mengalami post purchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Semua hasil dari proses pembelian berakhir pada tingkat kepuasaan yang dialami konsumen, dimana akan ada konsumen yang menjadi loyal terhadap suatu barang/produk, konsumen yang kembali melakukan pembelian, ataupun konsumen yang berganti produk/barang.

  Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan adanya keraguan ataupun kecemasan merupakan reaksi umum dari post purchase dissonance. Hawkins (1972) mengatakan bahwa kecemasan ini disebut state anxiety atau kecemasan yang bersifat sementara. State anxiety adalah kondisi emosional yang mengalami perubahan karena adanya situasi yang mengancam baik itu secara fisik maupun psikologis (Cattell & Scheier, 1961).

  Berdasarkan sejumlah uraian di atas maka dapat disimpulkan postpurchase

  dissonance merupakan kondisi keraguan yang terjadi setelah pembelian yang kemudian konsumen akan melakukan sejumlah perilaku untuk mengubah atau menyesuaikan diri dengan disonansi yang terjadi.

B. 3. Indikator Pengukuran Post Purchase Dissonance

  Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) menyatakan ada 3 (tiga) dimensi dalam pengukuran Postpurchase Dissonance, yaitu:

  1. Emotional (Kondisi Emosi) Munculnya ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi dari keputusan pembelian. Perasaan tidak nyaman secara psikologis yang dialami seseorang setelah membeli suatu produk menunjukkan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance.

  2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan Pembelian) Pembelian yang dilakukan merupakan pilihan diri sendiri yang menunjukkan bahwa barang atau produk yang dibeli memiliki fungsi dan daya guna yang dibutuhkan. Jika barang atau produk yang dibelanjakan benar dan tepat dalam penggunaan maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

  3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan) Kesadaran individu setelah melakukan pembelian, dimana yang menjadi alasan dilakukan pembelian tersebut merupakan hasil pengaruh dari lingkungan atau agen penjual atau atas dasar pertimbangan diri sendiri (kebebasan dalam memutuskan untuk melakukan pembelian). Jika pembelian dilakukan karena pengaruh sejumlah informasi dari luar diri individu maka individu tersebut akan cenderung mengalami postpurchase dissonance .

B. 4. Faktor-faktor Post Purchase Dissonance

  Holloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) juga mengemukakan sejumlah faktor-faktor yang menyebabkan terjadi postpurchase dissonance yaitu: (1).

  Alternatif produk yang ditolak memiliki sejumlah hal yang menarik; (2). Produk yang dipilih memunculkan sejumlah faktor negatif; (3). Banyaknya variasi alternatif produk yang muncul; (4). Terjadinya kekacauan kognitif pada individu ketika melakukan pemillihan; (5). Peran kognitif dalam pemilihan produk; (6).

  Adanya pujian dan bujukan; (7). Munculnya perilaku yang tidak sesuai atau yang dipandang negatif pada saat melakukan pembelian; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan (10). Pengetahuan mengenai produk.

  Berdasarkan sejumlah faktor yang dikemukakan di atas (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007; Holloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada dua faktor dasar yang menyebabkan

  postpurchase dissonance yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

  adalah faktor-faktor yang berasal dari diri individu sendiri yaitu kepribadian yang menyebabkan seseorang merasa cemas, khawatir dan sulit untuk mengambil keputusan, memiliki komitmen penuh ketika melakukan pembelian serta jumlah informasi dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai produk. Faktor eksternal adalah berbagai kondisi di luar individu yang tidak dapat dikontrol seperti adanya bujukan dari orang sekitar dan banyaknya alternatif produk menarik yang tersedia (Kotler & Keller, 2009).

B. 5. Proses Keputusan Pembelian

  Ada sejumlah tahapan yang akan dilewati oleh konsumen ketika melakukan pembelian dan tahapan inilah yang dijadikan dasar pengetahuan oleh para pemasar untuk memahami perilaku konsumen (Kotler & Keller, 2009; Hawkins & Mothersbaugh, 2010; Lovelock & Wirtz, 2011).

  Kotler & Keller (2009) dan Hawkins & Mothersbaugh (2010) mengungkapkan serupa bahwa ada 5 tahapan ketika konsumen mengambil keputusan yaitu: Problem Recognition, Information search, Evaluation of alternatives, Purchase decision , dan Postpurchase Behavior.

  Problem Information Evaluation of Purchase Postpurchase

Recognition search alternative decision behavior

Gambar 1. Five stage Model of the Consumer Buying Process Sumber: Kotler & Keller, 2009

  Lebih lanjut Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membagi 3 tipe pengambilan keputusan:

  1. Nominal Decision Making, dimana keputusan untuk membeli hanya didasarkan pada pengetahuan yang terbatas pada satu produk yang disukai dan evaluasi setelah pembelian juga terbatas.

  2. Limited Decision Making, melibatkan pencarian informasi baik secara internal maupun eksternal sehingga berbagai alternatif muncul dan evaluasi terhadap pembelian juga terbatas. Limited Decision Making hampir sama dengan Nominal Decision Making, yang berbeda adalah adanya variasi alternatif dan terjadi ketika munculnya kebutuhan secara emosional.

  3. Extended Decision Making, melibatkan pemikiran dan pencarian infomasi yang panjang (baik internal maupun eksternal) yang diikuti oleh sejumlah alternatif yang kompleks dan cenderung mengalami postpurchase dissonance .

  Proses di atas menjelaskan adanya tahapan yang akan dilalui oleh konsumen ketika mengambil keputusan namun sebenarnya tahapan-tahapan tersebut tidak dilalui oleh konsumen secara keseluruhan artinya semakin penting sebuah produk untuk dipertimbangkan maka semakin pula tahapan tersebut akan kita ikuti (Kotler & Keller, 2009).

C. Online shopping C.1. Definisi Online Shopping

  Online shopping adalah proses pembelian produk ataupun jasa oleh

  konsumen melalui media internet (Li & Zhang, 2002). Awareness terhadap informasi produk menjadi proses awal terjadinya pembelian melalui media internet (Bauer, Barnes & Reichardt, 2005; Roberts & Mary, 2003). Proses terbentuknya awareness konsumen dimulai dari aktivitas online brading yaitu dengan links dan iklan banner pada website yang menjadi sumber infomasi tentang produk atau jasa yang dikehendaki dan akhirnya konsumen pun akan secara otomatis mengingat brand yang diiklankan tersebut.

  C.2. Alasan Belanja Online

  Adapun beberapa alasan mengapa konsumen lebih memilih belanja online daripada belanja offline yaitu:

  1. Waktu Belanja online menjadi pilihan konsumen dikarenakan waktu yang dipakai relatif sedikit daripada belanja secara offline yang membutuhkan waktu yang relatif lama, dan barang yang dijual secara online biasanya menyediakan spesifikasi barang yang sangat lengkap. Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), waktu berpengaruh terhadap preferensi belanja

  online dimana konsumen yang sibuk memandang internet sebagai area

  transaksional yaitu sebagai tempat untuk mengumpulkan informasi atau membeli produk.

  2. Ketersedian barang di pasar Konsumen terkadang kesulitan mencari barang yang diinginkan secara langsung, misalnya jika konsumen ingin membeli produk Z dan ternyata produk Z tidak ada di Medan tetapi ada toko online yang berdomisili di Jakarta. Hal itulah yang membuat konsumen memilih untuk berbelanja online untuk mendapatkan barang yang diinginkan.

  3. Harga Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), harga berpengaruh terhadap preferensi belanja online. Internet memungkinkan konsumen memiliki pengetahuan dan informasi yang baik mengenai harga. Mereka cenderung memilih dan mencari penjual yang menawarkan harga yang terbaik (best

  price ), bahkan mereka mampu bernegosiasi dengan penjual karena ada

  beberapa barang yang dijual lebih mahal dua kali lipat dibandingkan di toko online.

4. Alternatif produk

  Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), internet mampu memberikan sejumlah alternatif produk yang sangat beragam. Para retailer di internet dapat memberikan pilihan yang hampir tak terbatas, misalnya Amazon.com merupakan contoh web merchants yang membuktikan hal ini.

  C.3. Karakteristik Online Shopper

  Satu hal yang terlihat jelas pada online shopper bahwa mereka adalah pengguna internet. Menurut Bellman, Lohse, & Johnson (1999); Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007), pengguna internet cenderung merupakan orang- orang yang lebih muda, terpelajar, dan merupakan masyarakat menengah ke atas.

  Wanita juga menjadi salah satu pembeli online yang lebih sering dijumpai di masyarakat. Pengetahuan akan internet, jumlah pendapatan, dan tingkat pendidikan juga menjadi prediktor yang menentukan pembelian online pada mahasiswa (Case, Burns & Dick, 2001). Li, Kuo, & Russel (dalam Li & Zhang, 2002) mengemukakan bahwa kenyamanan dalam berbelanja merupakan faktor yang paling penting dalam keputusan membeli. Konsumen tidak keberatan jika harus membeli produk tanpa melihat atau menyentuhnya asalkan konsumen mendapatkan kenyamanan dan menghemat waktu dalam berbelanja.

D. Dinamika Repurchase Online Shopper yang Mengalami Post Purchase

  Dissonance

  Penelitian Wolfinbarger & Gilly dalam Broekhuizen (2006) mengenai

  Understanding Channel Purchase Intentions: Measuring Online and Offline

Shopping Value Perceptions menyatakan bahwa setiap konsumen akan berbelanja

  sesuai dengan motivasinya masing-masing baik itu mengutamakan pengalaman (experiential) ataupun tujuan (goal-oriented). Namun Wolfinbarger & Gilly berpendapat bahwa berbelanja secara online lebih menekankan pada tujuan (goal-

  oriented ) daripada pengalaman (experiential) yaitu sekitar 66 hingga 80%

  pembelian online lebih berpusat pada tujuan (goal-oriented). Persentase yang cukup tinggi itu dikarenakan setiap pebelanja online cenderung ingin menghemat waktu dan efisien dalam berbelanja. Bahkan bagi seorang pebelanja online sejati, ia akan memiliki kepribadian internal locus of control yang cukup kuat dan berpusat pada goal-oriented. Konsumen yang memiliki kepribadian goal-oriented memiliki kebebasan yang besar untuk mengontrol lingkungannya, artinya mereka tidak memiliki banyak tekanan untuk melakukan suatu pembelian online, mereka juga kurang berkomitmen karena keterbatasan akses terhadap penjualnya sendiri dan mereka juga tidak merasa tertekan atas kehadiran agen pemasaran seperti berbelanja di toko offline.

  Penentuan keputusan untuk melakukan pembelian secara online melibatkan pencarian infomasi, perbandingan sejumlah alternatif dan penetapan keputusan. Hasil dari tahap tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku pembelian konsumen dan kepuasan konsumen tersendiri (Li & Zhang,

  2002). Setelah konsumen yakin terhadap keputusan yang diambilnya, maka transaksi pembayaran pun akan dilakukan. Namun, ada suatu tahap dari perilaku setelah pembelian yang akan dialami oleh setiap konsumen yaitu postpurchase

  

dissonance atau disonansi setelah pembelian (Ginting, 2009). Penelitian mengenai

  perbedaan tingkat postpurchase dissonance antara pembelian secara offline dan

  online menunjukkan hasil bahwa konsumen yang melakukan pembelian secara online memiliki tingkat postpurchase dissonance lebih tinggi daripada konsumen

  yang berbelanja secara offline (Tarigan, 2012). Pemikirannya adalah konsumen mendapatkan infomasi dan produk secara langsung sehingga kemungkinan konsumen akan mengalami post purchase dissonance menjadi lebih rendah (Loundon & Bitta, 1993). Berbeda halnya dengan konsumen yang berbelanja secara online, mereka mempunyai keterbatasan bertatap langsung dengan produk dan penjual (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Salah satu indikator yang turut menentukan seseorang mengalami post purchase dissonance adalah karakteristik kepribadian yaitu keberanian menghadapi resiko dalam melakukan pembelian secara online (Tarigan, 2012).

  Postpurchase dissonance yang terjadi ketika melakukan pembelian secara online akan memunculkan berbagai emosi atau perasaan seperti ragu, kecewa,

  marah, kesal, complain dan biasanya perilaku-perilaku tersebut bertujuan untuk menyesuaikan dan meyakinkan diri bahwa pilihan yang telah dilakukannya adalah yang terbaik. Tingkat disonansi yang terjadi bisa berbeda-beda tiap individu. Indikasi tinggi rendahnya post purchase dissonance (disonansi setelah pembelian) ini dilihat dari seberapa lama konsumen mengalami dissonance tersebut, artinya dikatakan tinggi atau sedang ketika post purchase dissonance yang dialami menetap hingga pengambilan data berlangsung dan dikatakan rendah ketika post

  purchase dissonance yang dialami kurang dari waktu satu bulan (Ginting, 2009).

  Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) mengungkapkan adanya tiga dimensi besar yang dapat dijadikan landasan untuk melihat sejauh mana seorang konsumen mengalami postpurchase dissonance. Pertama adalah emotional atau kondisi emosi yaitu ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan pembelian yang dilakukan. Kondisi ini dapat melibatkan seluruh aspek psikologis seseorang dari perasaan sedih, kecewa hingga marah. Sebagai wujud dari hasil pembelian yang dilakukan sebelumnya, setiap konsumen mempunyai pandangan dan cara tersendiri dalam mengungkapkan kepuasan maupun ketidakpuasan mereka. Kedua yaitu wisdom of purchase atau kebijaksanaan dalam pembelian dimana adanya fungsi dan nilai guna dari setiap pembelian yang dilakukan. Pemilihan terhadap barang atau produk yang dibeli dan perhatian terhadap setiap transaksi yang dilakukan tidak memberikan penyesalan kemudian. Terakhir yaitu concern over deal atau kesadaran atas pembelian yang dilakukan dimana pembelian yang dilakukan memang atas dasar keputusan sendiri dan bukan karena pengaruh dari agen penjual atau pemasarannya. Resiko pun menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan. Segala faktor yang turut mempengaruhi pembelian akan menjadi ultimatum sendiri jika pembelian tersebut ternyata akan bermasalah.

  Ketiga hal tersebut diatas akan dialami oleh setiap konsumen dengan taraf yang berbeda-beda tergantung pada kondisi dan situasi pembelian yang mereka lakukan. Jika ternyata konsumen merasakan adanya ketidaknyamanan psikologis, fungsi dan daya guna barang ternyata tidak memberikan kepuasan yang efektif dan ternyata pembelian yang dilakukan bukan atas dasar diri sendiri maka kemungkinan besar konsumen mengalami postpurchase dissonance.

  Pembelian tentu saja tidak hanya berlangsung sekali tetapi akan berulang. Pembelian ulang atau kembali biasanya tergantung pada pengalaman pembelian sebelumnya (Wen, Prybutok, & Xu, 2011). Pembelian kembali (repurchase) bisa saja terjadi pada toko online yang berbeda ataupun sama dengan pembelian barang yang sama ataupun berbeda. Ketersediaan toko online yang banyak dan penawaran produk atau barang yang semakin beragam membuat konsumen tidak akan pernah terlepas dari proses pembelian. Beranjak dari proses itulah akan terlahir konsumen-konsumen yang menjadi online shopper atau pebelanja online sejati (commited customers) dan konsumen yang selalu berpindah-pindah untuk mencari keekonomisan dalam belanja.

  Fokus utama dalam penelitian ini adalah melihat proses dinamika yang terjadi pada konsumen yang berbelanja secara online mengalami postpurchase

  dissonance dan melakukan repurchase (pembelian kembali) dimana secara teori

  dijelaskan bahwa tidak mungkin konsumen yang telah mengalami disonansi setelah pembelian akan melakukan pembelian ulang. Penelitian Keng & Liao (2009) mengenai konsekuensi dari post purchase dissonance juga menguatkan bahwa ternyata post purchase dissonance memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan setelah pembelian dan intensi repurchase intention (intensi pembelian kembali) namun bersifat positif terhadap perilaku komplain.

  Adanya anomali-anomali yang muncul sebagai satu fenomena unik seolah-olah tidak sejalan dengan penelitian dan teori sebelumnya yang didukung dengan data-data yang ditemukan di lapangan dimana beberapa responden yang menunjukkan dinamika yang berbeda satu sama lain yaitu ada responden yang telah mengalami postpurchase dissonance pada satu toko online namun kemudian kembali berbelanja (repurchase) pada toko online tersebut dan ada yang bahkan sampai beberapa toko online secara berturut-turut dengan toko online yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa fenomena ini ada dan muncul diluar dari teori atau penelitian-penelitian sebelumnya mengenai post purchase dissonance. Berbagai alasan pun muncul untuk memperkuat perilaku repurchase mereka. Alasan-alasan yang diungkap oleh konsumen dan bagaimana proses tersebut dapat terjadi sehingga akan didapati suatu dinamika atas fenomena tersebut dan kondisi psikologis yang dialami oleh konsumen ketika post purchase dissonance muncul sehingga mengarahkan konsumen untuk melakukan repurchase (pembelian kembali).

E. Kerangka Pemikiran

  

Online Shop

Decision Making

Emotional

Purchase

  Wisdom of

PPD

Purchase

  Alasan

  • - +

  melakukan Concern Over

  Repurchase: Deal

   Switching Cost Commited

  

Evaluation

Customer

   Harga Trust

  

Repurchase

   Kepribadian Sumber: Penulis (2012) Keterangan: * + : besarnya intensitas PPD

  • - : rendahnya intensitas PPD PPD: Postpurchase dissonance