Dinamika Repurchase pada Online Shopper yang telah mengalami Post Purchase Dissonance

(1)

DINAMIKA REPURCHASE PADA ONLINE SHOPPER YANG

TELAH MENGALAMI POST PURCHASE DISSONANCE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

TERESIA

091301083

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012/2013


(2)

Dipersiapkan dan disusun oleh:

TERESIA 091301083

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 2 Juli 2013

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Eka Danta Ginting, M.A., Psikolog Penguji I/

NIP. 197308192001121001 Pembimbing ________________

2. Meutia Nauly, M.Si., Psikolog Penguji II

NIP. 196711272000032001 ________________

3. Ari Widiyanta, M.Si., Psikolog Penguji III


(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Dinamika Repurchase Pada Online Shopper Yang Telah Mengalami

Post Purchase Dissonance

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 19 Juni 2013

Teresia


(4)

ABSTRAK

Post purchase dissonance merupakan kondisi ketidaknyamanan psikologis yang dialami oleh seorang konsumen setelah terhadap keputusan pembelian yang dilakukannya. Hasil dari kondisi tersebut biasanya mengarahkan pada ketidakpuasan, pembuangan produk dan bahkan memberhentikan penggunaan. Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) menyatakan bahwa ternyata ada juga konsumen yang tetap melakukan pembelian sekalipun telah mengalami postpurchase dissonance. Pembelian kembali atau repurchase memiliki kaitan yang erat antara sikap konsumen terhadap objek tertentu dan sikap konsumen terhadap perilaku sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika repurchase setelah mengalami post purchase dissonance dengan menjelaskan fenomena tersebut, mendeskripsikan bagaimana perilaku membeli ulang atau repurchase dapat terjadi setelah mengalami post purchase dissonance, memahami orang seperti apa yang melakukan perilaku tersebut dan bagaimana kondisi psikologis yang dialaminya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus deskriptif kolektif (multi-case studies) dengan jumlah responden dua orang. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan Theory-based/Operational Construct Sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Penelitian ini dilakukan di kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan kedua responden melakukan pembelian kembali atau repurchase baik dengan toko online yang pernah mengecewakan ataupun tidak. Faktor yang menentukan kedua responden melakukan repurchase adalah kepribadian yang dimiliki masing-masing responden. Responden I memiliki sifat memaafkan dan menyalahkan diri sendiri terhadap disonansi yang terjadi setelah pembelian dilakukan. Sedangkan pada responden II menjadikan pembelian sebagai suatu kesenangan dan pribadi yang pemaaf terhadap toko online yang mengecewakannya. Adanya unsur kepercayaan atau trust yang turut mengambil peran dalam proses pembelian kembali terhadap toko online yang mengecewakan diri mereka. Harga juga menjadi pertimbangan kedua responden untuk melakukan pembelian kembali, yaitu dengan memperbandingkan harga yang ditawarkan oleh toko online langganan mereka. Responden I memiliki keraguan, ketakutan, dan kecemasan yang lebih kuat dibandingkan dengan responden II. Namun untuk pengambilan keputusan terhadap pembelian online, kedua responden memiliki kewenangan sendiri dan resiko yang ditanggung sendiri. Kegunaan dan manfaat barang yang dibeli tidak dipikirkan secara matang oleh kedua responden. Hasrat untuk memiliki terjauhkan oleh keunikan dan ketertarikan dari barang tersebut.


(5)

iv

Dynamics of Repurchase On Online Shopper That Has Experienced Post Purchase Dissonance

Teresia and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRACT

Post purchase dissonance is a condition of psychological discomfort experienced by a consumer after the purchase decision does. Results of these conditions usually leads to dissatisfaction, product disposal and even terminate use. Hawkins, Mothersbaugh and Best (2007) states that there are also consumers who still make purchases even after having postpurchase dissonance. Repurchase has a close connection between consumer attitudes towards a particular object and consumer attitudes toward previous behavior.

This study aims to look at the dynamics of repurchase after experiencing post purchase dissonance to explain the phenomenon, describing how repurchase can occur after experiencing post purchase dissonance, to understand what kind of people are doing this behavior, and how psychological conditions they experienced. Therefore, this research was conducted using descriptive qualitative method (multi-case studies) with total two respondents. Technique intake of respondents conducted by Theory-based/Operational Construct Sampling. Data were collected using interviews and observation. The research was conducted in the city of Medan.

The results showed that the second respondent repurchase either with an online store that never disappoints or not. Factors that determine the second respondent did the repurchase is the personality of each respondent. Respondents I have a forgiveness and blame herself for the dissonance that occurs after the purchase is made. While the respondents II made a purchase as a pleasure and personal forgiving of online stores that let her down. There is an element of trust who took part in the process of repurchase on the online store that disappoint them. Price is also a consideration of the second respondent to repurchase, by comparing the prices offered by the online store of their subscription. Respondents I have doubts, fears, and anxiety are more powerful than the respondents II. But for the decision to purchase online, the second respondent has authority to own and risk borne. Uses and benefits of items purchased thoughtless by the second respondent. The desire to have deprived by the uniqueness and attractiveness of the goods.


(6)

rahmat dan karunia yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, dengan judul “Dinamika Repurchase pada Online Shopper yang telah mengalami Post Purchase Dissonance” dengan baik guna untuk memenuhi persyaratan pencapaian gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis pun tidak henti-hentinya bersyukur kepada Buddha, Dhamma dan Sangha yang memberikan cahaya terang dalam segala proses dan pada kesempatan inilah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang tidak lelahnya memberikan bantuan bimbingan dan dukungan kepada penulis, yaitu:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, MA, selaku Dosen Pembimbing penulis. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau atas waktu, bimbingan, masukan, dukungan, dan semangat; tidak lupa juga segala referensi jurnal dan pedoman skripsi kualitatif yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih pak.

3. Ibu Meutia Nauly, M.Si, dan Bapak Ari Widiyanta, M.Si., psikolog, selaku Dosen Penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan tempat untuk menguji skripsi penulis.


(7)

vi

4. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si., psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah bersedia membimbing dan memberikan masukan mengenai bidang akademik selama perjalanan perkuliahan penulis. Terima kasih ya bu.

5. Seluruh dosen pengampuh mata kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang membagikan ilmu, wawasan dan pengalaman yang berharga bagi penulis mengenai kajian bidang Psikologi.

6. Seluruh staff tata usaha, administrasi dan perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu melancarkan segala urusan administrasi selama penulis berada di fakultas tercinta.

7. Kedua orangtuaku, Mommy and Daddy, atas doa dan dukungan yang tak henti-hentinya untukku selama ini. Segala usaha dan jasa-jasamu tak akan pernah terbalaskan sempurna olehku, pencapaian gelar Kesarjanaan Psikologi ini kupersembahkan hanya untukmu. Love you Mom, Dad.

8. Kedua responden penulis, Bunga dan Sandra. Thank you so much, girls, atas kesediaan waktu dan tempat yang diberikan kepada penulis untuk berbagi cerita seputar kegiatan belanja online dari senangnya sampai kekesalannya. Semoga Bunga dan Sandra dapat menjadi pebelanja yang lebih baik kemudian.

9. Teman terkasih sekaligus penyemangat hati, Steven, yang tidak hentinya memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Thank you for everything, dear. Love you so much and Good Luck for us.


(8)

11.My beloved friends, Verawaty, Dwiyana, Magdalena, Cecilia, Jessica, Ayik, Thanks ya buat dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. Sukses ya untuk kita semua. Fighting!

12.Teman-teman angkatan 2009 terutama buat teman seperjuangan penulis Reffoni, Jeremy, dan semua teman yang pernah menjadi bagian dari hidup penulis selama masa perkuliahan. Terima kasih untuk doa dan dukungannya ya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan yang sifatnya membangun dari semua pihak guna membantu penyempurnaan penelitian ini agar lebih baik kemudian. Akhir kata semoga hasil karya ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca umumnya.

Medan, 2 Juli 2013 Teresia


(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

LEMBARPENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II . LANDASAN TEORI ... 12

A. Repurchase ... 12

A. 1. Definisi Repurchase ... 12

A. 2. Faktor yang membuat konsumen melakukan Repurchase ... 13

B. Post Purchase Dissonance ... 15


(10)

B.5. Proses Keputusan Pembelian ... 19

C. Online Shopping ... 20

C.1. Definisi Online Shopping ... 20

C.2. Alasan Belanja Online ... 21

C.3. Karakteristik Online Shopper ... 22

D. Dinamika Repurchase Online Shopper yang mengalami Post Purchase Dissonance ... 23

E. Kerangka Berpikir ... 28

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Pendekatan Kualitatif ... 29

B. Responden Penelitian ... 30

B.1. Karakteristik Responden ... 30

B.2. Jumlah Responden ... 30

B.3. Prosedur Pengambilan Responden ... 31

B.4. Lokasi Penelitian ... 31

C. Metode Pengambilan Data ... 32

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 33

E. Kredibilitas Penelitian ... 35

F. Prosedur Penelitian ... 36


(11)

x

F. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 39

F. 3. Tahap Pencatatan Data ... 40

F. 4. Prosedur Analisa Data ... 40

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ……….. 45

A. Gambaran Umum Responden ... 45

A. 1. Responden I ... 46

A. 2. Responden II ... 47

B. Hasil Analisa Data Responden ... 45

B.1. Faktor yang membuat responden melakukan repurchase ... 49

B.2. Kondisi Psikologis responden ketika mengalami Post Purchase Dissonance ... 55

C Pembahasan ... 63

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 72

B.1. Saran Praktis ... 72

B.2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN


(12)

Halaman

Tabel 1. Deskripsi Data Responden ... 45

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 46


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Five Stage Model of the Consumer Buying Process... 19

Gambar 2. Kerangka Berpikir ... 28

Gambar 3. Dinamika Repurchase Responden I ... 61


(14)

ABSTRAK

Post purchase dissonance merupakan kondisi ketidaknyamanan psikologis yang dialami oleh seorang konsumen setelah terhadap keputusan pembelian yang dilakukannya. Hasil dari kondisi tersebut biasanya mengarahkan pada ketidakpuasan, pembuangan produk dan bahkan memberhentikan penggunaan. Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) menyatakan bahwa ternyata ada juga konsumen yang tetap melakukan pembelian sekalipun telah mengalami postpurchase dissonance. Pembelian kembali atau repurchase memiliki kaitan yang erat antara sikap konsumen terhadap objek tertentu dan sikap konsumen terhadap perilaku sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika repurchase setelah mengalami post purchase dissonance dengan menjelaskan fenomena tersebut, mendeskripsikan bagaimana perilaku membeli ulang atau repurchase dapat terjadi setelah mengalami post purchase dissonance, memahami orang seperti apa yang melakukan perilaku tersebut dan bagaimana kondisi psikologis yang dialaminya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus deskriptif kolektif (multi-case studies) dengan jumlah responden dua orang. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan Theory-based/Operational Construct Sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Penelitian ini dilakukan di kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan kedua responden melakukan pembelian kembali atau repurchase baik dengan toko online yang pernah mengecewakan ataupun tidak. Faktor yang menentukan kedua responden melakukan repurchase adalah kepribadian yang dimiliki masing-masing responden. Responden I memiliki sifat memaafkan dan menyalahkan diri sendiri terhadap disonansi yang terjadi setelah pembelian dilakukan. Sedangkan pada responden II menjadikan pembelian sebagai suatu kesenangan dan pribadi yang pemaaf terhadap toko online yang mengecewakannya. Adanya unsur kepercayaan atau trust yang turut mengambil peran dalam proses pembelian kembali terhadap toko online yang mengecewakan diri mereka. Harga juga menjadi pertimbangan kedua responden untuk melakukan pembelian kembali, yaitu dengan memperbandingkan harga yang ditawarkan oleh toko online langganan mereka. Responden I memiliki keraguan, ketakutan, dan kecemasan yang lebih kuat dibandingkan dengan responden II. Namun untuk pengambilan keputusan terhadap pembelian online, kedua responden memiliki kewenangan sendiri dan resiko yang ditanggung sendiri. Kegunaan dan manfaat barang yang dibeli tidak dipikirkan secara matang oleh kedua responden. Hasrat untuk memiliki terjauhkan oleh keunikan dan ketertarikan dari barang tersebut.


(15)

iv

Dynamics of Repurchase On Online Shopper That Has Experienced Post Purchase Dissonance

Teresia and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRACT

Post purchase dissonance is a condition of psychological discomfort experienced by a consumer after the purchase decision does. Results of these conditions usually leads to dissatisfaction, product disposal and even terminate use. Hawkins, Mothersbaugh and Best (2007) states that there are also consumers who still make purchases even after having postpurchase dissonance. Repurchase has a close connection between consumer attitudes towards a particular object and consumer attitudes toward previous behavior.

This study aims to look at the dynamics of repurchase after experiencing post purchase dissonance to explain the phenomenon, describing how repurchase can occur after experiencing post purchase dissonance, to understand what kind of people are doing this behavior, and how psychological conditions they experienced. Therefore, this research was conducted using descriptive qualitative method (multi-case studies) with total two respondents. Technique intake of respondents conducted by Theory-based/Operational Construct Sampling. Data were collected using interviews and observation. The research was conducted in the city of Medan.

The results showed that the second respondent repurchase either with an online store that never disappoints or not. Factors that determine the second respondent did the repurchase is the personality of each respondent. Respondents I have a forgiveness and blame herself for the dissonance that occurs after the purchase is made. While the respondents II made a purchase as a pleasure and personal forgiving of online stores that let her down. There is an element of trust who took part in the process of repurchase on the online store that disappoint them. Price is also a consideration of the second respondent to repurchase, by comparing the prices offered by the online store of their subscription. Respondents I have doubts, fears, and anxiety are more powerful than the respondents II. But for the decision to purchase online, the second respondent has authority to own and risk borne. Uses and benefits of items purchased thoughtless by the second respondent. The desire to have deprived by the uniqueness and attractiveness of the goods.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Belanja adalah aktivitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Salah satu alternatif belanja yang sudah mengikuti gaya hidup sekarang adalah belanja online. Berdasarkan UCLA Center for Communication Policy, pembelian secara online (online shopping) sudah menjadi aktivitas yang populer hingga saat ini (dalam Tarigan, 2012). Lebih dari 85% pengguna internet melakukan pembelian secara online dimana hampir sebagian besarnya melakukan pembelian paling sedikit satu kali dalam sebulan dan sejak tahun 2006 hingga 2008 jumlah pengguna internet yang melakukan online shopping (belanja online) meningkat 40% dalam waktu 2 tahun berturut-turut (Mitchell, 2008). Belanja online kini memang telah menjadi pilihan sebagian besar konsumen, terutama bagi mereka yang sibuk dan tidak sempat pergi ke toko konvensional. Konsumen tidak perlu lagi keluar rumah untuk berbelanja di swalayan, supermarket, plaza, butik ataupun pasar, cukup dengan duduk di depan komputer atau sekarang bisa melalui ponsel, proses pembelian dapat dilakukan dengan mudah dan cepat (Ollie, 2008). Saat ini, berbagai website toko online sangat mudah ditemukan baik di jejaringan facebook, twitter atau website toko onlinenya sendiri. Online shopping juga dianggap sebagai solusi perubahan gaya hidup berbelanja masyarakat (Inilah.com, 2012). Ada beberapa alasan mengapa belanja online kini menjadi suatu trend di kalangan masyarakat antara lain kemudahan dalam mencari barang, pembelian yang tidak dibatasi ruang dimana dapat dilakukan baik dalam satu


(17)

2

negara maupun antar negara (Kotler dalam Hanif, 2011), produk yang ditawarkan sangat beragam, transaksi cepat (Rajamma, Paswan & Ganesh, 2007) dan pengambilan keputusan pun tidak serumit belanja offline (Li & Zhang, 2002). Sumardi (2009) juga mengatakan bahwa konsumen biasanya akan lebih mudah dipengaruhi ketika mendapatkan rekomendasi dari orang lain yang sudah merasakan pembelian produk daripada hanya mendengar promosi formal dari penjual.

Konsumen yang telah memutuskan untuk membeli, kemudian akan memiliki sejumlah pemikiran-pemikiran dalam diri konsumen. Aspek positif dari tidak membeli dan aspek negatif karena telah memutuskan untuk membeli akan membentuk suatu pola pikir yang menjadikan konsumen harus berpikir kembali terhadap keputusan membelinya (Kassarjian & Cohen, 1965). Ketika hasil keputusan membeli menghasilkan aspek positif maka konsumen tidak perlu memikirkan perasaan tidak puas yang akan muncul dan sebaliknya ketika konsumen merasa pembelian yang dilakukan tidak sesuai maka akan muncul perasaan tidak nyaman yang bergelut dalam diri konsumen. Perasaan tidak nyaman inilah yang disebut dengan disonansi (dissonance). Disonansi diartikan sebagai keadaan psikologis yang tidak nyaman akibat suatu kondisi yang secara tidak langsung memotivasi diri untuk mengurangi disonansi itu (Hasan & Nasreen, (2012). Situasinya adalah respon terhadap keputusan pembelian. Hal ini dapat ditemukan dalam komunikasi interpersonal dengan responden W, seorang remaja putri yang berprofesi sebagai dancer di kota Medan berikut ini:

“… saya suka belanja online, sering beli baju sih.. tapi sering kecewa juga.. ukuran, bahan, sama warna nya beda banget sama yang difoto….


(18)

pengirimannya juga telat banget, apa lagi pas pula barangnya mau saya pakai jadinya ya gimana gitu.. “

(Komunikasi Personal, 5 Oktober 2012) Disonansi juga ditemukan pada responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU, yang diungkapkan dalam kutipan wawancara berikut ini:

“…ya barangnya datang kan pasti dibuka buat dites. karena dah nunggu lama, ekspetansi pun tinggi. Rupanya pas begitu dibuka ada yang gak sesuai sama harapan. Rasanya pertama pasti kecewa dulu. Baru saya tes, gak cocok, kecewanya nambah….terus saya ingat2 balik lagi kenapa bisa mesan itu dan kenapa koq sampe bisa ya barangnya gak sama.

….saya minta penjelasan dari penjual, liat penjelasan dia bisa diterima gak, biasanya saya antar kembali barangnya minta refund. Atau kalo mau beli sama dia lagi jadi lebih hati-hati lo, tanya ini itu sebelum beli..”

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Kondisi inilah yang memungkinkan timbulnya ketakutan pada konsumen (Sharma & Ramesh, 2007). Berbagai respon yang mungkin muncul pada konsumen selain takut juga seperti kecewa, sedih, tidak nyaman, marah, dan bahkan merasa cemas. Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) menyebut kecemasan atas pembelian sebagai state anxiety atau kecemasan yang bersifat sementara. Biasanya konsumen berusaha untuk mengurangi tingkat disonansinya dengan melakukan segala cara yang dapat mereduksi tingkat disonansinya. Konsumen akan memberikan sejumlah informasi yang menguatkan pembeliannya, menghindari hal-hal yang bertentangan dengan keputusan mereka atau bahkan mengembalikan produk tersebut kepada penjualnya. Konsumen yang merasa tidak puas juga cenderung berbagi kisah-kasih seputar pengalaman pembelian mereka kepada teman ataupun keluarga untuk mengurangi disonansi (Lamb, Hair, McDaniel, Boshoff, & Terblanche, 2004). Seperti yang dipaparkan


(19)

4

oleh responden M, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU mengenai bentuk dissonance yang dialaminya:

“…bener-bener ngerasa nyesel, terus share ke teman-teman buat cari penghiburan sih biar nyesel dan sedihnya gak terasa banget.. terus yakinin diri sendiri buat apa beli sama olshop itu lagi, buat uang rugi aja.. terus barangnya saya masukin plastik, simpan dilemari dan gak keluarin lagi biar gakingatin lagi..”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2012) Kepuasan menjadi hal yang tidak terlepas dari dissonance. Ketika tingkat kepuasannya rendah maka kemungkinan dissonance akan lebih terjadi dan sebaliknya ketika tingkat kepuasan tinggi maka dissonance pun akan jarang terjadi (Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000). Namun kadang kala tingkat dissonance itu berbeda tiap orangnya. Berbagai faktor bisa menjadi landasan atas suatu keputusan untuk membeli seperti keterlibatan individu sendiri, produk, situasi atau bahkan komunikasi interpersonalnya. Seperti halnya yang disampaikan oleh responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU mengenai dirinya sendiri terhadap keputusan membeli:

“…Saya bukan tipe orang yang berlarut-larut dalam kekecewaan.. Saya beli barang cuma kalau saya suka saja, saya gak peduli tu udah gak ngetrend atau gak bagus di mata orang lain.. Kalau saya suka saya beli, kalau saya gak suka maupun kata orang lain cantik saya juga gak mau beli..

Saya lebih banyak beli aksesoris dan kosmetik kalau secara online.. (Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa individu sendiri sangat berperan penting dalam membuat keputusan membeli. Teori Reasoned Action yang dicetuskan oleh Fishbein dan Ajzen tahun 1980 menyatakan bahwa pada dasarnya perilaku seseorang sangat tergantung pada


(20)

intensi atau minatnya dimana intensi berperilaku sangat tergantung pada sikap dan norma subjektif (Jogiyanto, 2007). Jika dilihat dari pernyataan responden maka perilaku yang muncul atas pembelian kembali didasari pada keyakinan sikap responden sendiri dalam membuat keputusan pembelian.

Disonansi kognitif yang muncul setelah terjadinya pembelian tersebut dinamakan Post purchase Dissonance. Pada post purchase dissonance, konsumen memiliki perasaan yang tidak aman dan tidak nyaman, perasaan yang cenderung mengarah pada perubahan sikap agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman & Kanuk, 2007). Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kepuasan akan mempengaruhi dissonance, maka ketika konsumen yang puas terhadap hasil pembeliannya mereka cenderung akan kembali melakukan pembelian dan merekomendasikannya kepada rekannya dan sebaliknya konsumen yang tidak puas terhadap hasil pembeliannya mereka cenderung akan berhenti membeli, mengembalikan ataupun melakukan suatu tindakan (Strydom, Cant & Jooste, 2000). Hal ini dapat ditemukan pada wawancara dengan responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi mengenai post purchase dissonance yang dialaminya:

“…pas barang yang datang sama foto beda jauhhh, perkiraan ukuran, warna, bahan dan kualitas meleset semua. Baru2 ini aja terjadi pun. Saya beli sampel bb cream. Karena mau tes 1 produk, sampelnya saya beli 5 ml punya, sampelnya kan ada tipe yang Jar , jadi saya kira yang ini pake Jar juga karena 5 ml. Taunya benar2 datang pake Jar, tapi Jar isi ulang dimana penjualnya tuang bb cream itu ke Jar. Bukan Jar mereknya sendiri, tah higienis tah gak …..“

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Kepuasan merupakan kondisi emosional, reaksi setelah pembelian yang berupa ekpresi marah, tidak puas, jengkel, perasaan netral, gembira maupun


(21)

6

senang (Lovelock & Wright, 2007). Hasil dari proses kepuasan terhadap keputusan pembelian akan mengarahkan pada konsumen untuk membeli kembali (repurchase) atau bahkan menjadi loyal (Singh, 2008).

Proses pembelian konsumen tersebut bisa disebut dengan pembelian percobaan dimana tahap ini merupakan tahap evaluasi produk dan jika percobaan ini kembali memuaskan maka konsumen akan cenderung berkeinginan untuk membeli ulang (Schiffman & Kanuk, 2007). Repurchase intention merupakan suatu keputusan konsumen untuk melakukan pembelian kembali atas produk atau jasa tertentu dengan mempertimbangkan kemungkinan hasil yang akan terjadi dan dipengaruhi oleh tingkat kesukaan terhadap produk tersebut (Hellier, Geursen, Carr & Rickard, 2003). Menurut Schiffman & Kanuk (2007), pembelian ulang biasanya menunjukkan bahwa konsumen akan bersedia membeli lagi dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan responden M mengenai perilaku membeli ulang (repurchase):

“ ada 1 olshop yang masih saya ikuti karena kemarin setelah kecewa, teman beli dari olshop itu juga, ternyata bajunya bagus jadi kalau ada baju yang saya suka mungkin saya mau beli lagi..”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2012) Seperti halnya dengan yang dipaparkan oleh Doods, Monroe & Grewal (dalam Akir & Othman, 2010) dimana jika konsumen tertarik terhadap suatu produk dan ingin memilikinya maka biasanya mereka akan berusaha untuk membelinya baik itu adanya rekomendasi teman atau tidak maka akan mempengaruhi terjadinya proses pembelian lagi. Konsumen akan mengalami kondisi ragu untuk membeli kembali, namun ketika ada suatu kondisi yang tertentu ataupun adanya kebutuhan yang harus dipenuhi maka konsumen akan


(22)

melakukan usaha ataupun cara bagaimana kondisi tersebut bisa terselesaikan. Terjadinya pembelian ulang (repurchase) setelah post purchase dissonance juga terbentuk dari adanya tiga kondisi dissonance yaitu (1) usaha konsumen dalam melakukan pembelian, (2) tanggung jawab terhadap pembelian dan (3) komitmen keputusan yang membentuk suatu perilaku (Festinger 1958). Pengulangan perilaku post purchase biasanya akan terjadi lagi ketika komitmen terbatas pada masa lalu dan konsumen tidak merasa terpaksa untuk melakukan pembelian lagi di masa depan. Seperti halnya yang disampaikan oleh responden W, seorang remaja putri yang berprofesi sebagai dancer di kota Medan mengenai pernyataannya melakukan repurchase setelah mengalami post purchase dissonance:

“… dah lama juga gak beli online sejak itu, tapi sekarang mulai tertarik lagi.. tapi kecewa lagi….. Beli lagi sih tapi sama olshop yang beda, gak

berani lagi beli sama olshop itu lagi…”

(Komunikasi Personal, 5 Oktober 2012) Pernyataan responden di atas menunjukkan adanya kecenderungan responden untuk tetap melakukan pembelian kembali namun dilakukan pada toko online yang berbeda yang disebabkan oleh disonansi yang telah dirasakan sebelumnya. Ada juga pernyataan yang disampaikan oleh responden C, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi mengenai repurchase yang dilakukannya:

“Saya pernah kecewa sama olshop ini… Sampai sekarang saya masih belanja sama olshopitu pun karena saya tahu kualitasnya itu bagus...”

(Komunikasi Personal, 29 Oktober 2012) Hasil wawancara dengan responden C diatas menunjukkan bahwa responden merasa kecewa setelah pembelian namun ada kecenderungan


(23)

8

responden terhadap aspek trust yang tinggi pada online shop tersebut terlihat dari bagaimana responden yakin terhadap kualitas barang yang dijual toko tersebut.

Post purchase dissonance biasanya terjadi ketika konsumen merasakan kondisi yang tidak nyaman terhadap hasil dari proses pembelian. Terlebih pembelian yang dilakukan secara online. Online shoppers di Indonesia termasuk jumlah yang besar di dunia dan merupakan calon-calon konsumen yang mungkin menjadi salah satu yang mengalami dissonance. Kondisi seperti inilah yang ingin dilihat oleh peneliti mengenai post purchase dissonance yang diarahkan pada adanya perilaku repurchase pada produk yang dijual secara online di dunia maya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana dinamika repurchase dapat terjadi pada konsumen online setelah mengalami post purchase dissonance, yang artinya konsumen yang telah mengalami ketidakpuasan, perasaan tidak nyaman, kecewa melakukan pembelian kembali (repurchase) pada online shop yang sama atau online shop yang berbeda dengan produk yang sama. Pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk menggali dinamika repurchase pada konsumen online (online shoppers) yang telah mengalami post purchase dissonance adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi seorang konsumen melakukan repurchase walaupun telah mengalami post purchase dissonance.

2. Bagaimana kondisi psikologis atau karakter pribadi seorang konsumen yang mengalami postpurchase dissonance dan kemudian melakukan repurchase.


(24)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana perilaku repurchase dapat terjadi pada seorang konsumen yang telah mengalami post purchase dissonance.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat menjadi masukan bagi bidang ilmu Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi dan ilmu Perilaku Konsumen. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian pada bidang Perilaku Konsumen sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian selanjutnya.

Manfaat praktis pada penelitian ini adalah diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada para konsumen terutama konsumen online bahwa perilaku repurchase juga dapat terjadi sekalipun telah mengalami dissonance. Penelitian ini juga dapat menjadi pemicu munculnya penelitian-penelitian yang lebih mendalam mengenai fenomena repurchase yang malah terjadi pada konsumen yang telah mengalami post purchase dissonance sehingga wawasan dan perkembangan teori mengenai Post Purchase Dissonance dapat lebih luas.

E. Sistematika Penulisan


(25)

10

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang fenomena post purchase yang mengarah pada repurchase, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini berisi penjelasan mengenai tinjauan teoritis. Penelitian ini menggunakan teori online shopping, post purchase dissonance, faktor-faktor post purchase dissonance, teori repurchase, faktor-faktor repurchase serta dinamika repurchase pada online shoppers yang telah mengalami post purchase dissonance dan diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan menggunakan metode penelitian kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan data, alat pengumpulan data, prosedur penelitian dan analisis data.

BAB IV : ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi.


(26)

Kesimpulan dan Saran berisi penjelasan singkat mengenai kesimpulan dari penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini dan penelitian selanjutnya.


(27)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Repurchase

A.1. Definisi Repurchase

Salah satu dari dampak membeli produk adalah repurchase atau pembelian kembali. Repurchase Intention adalah intensi untuk melakukan pembelian kembali akan suatu produk sebanyak dua kali atau lebih, baik terhadap produk yang sama maupun yang berbeda (Zeng, Zuahao, Rong, & Zhilin, 2009). Repurchase ini meliputi 2 karakteristik yaitu intention (Intensi) dan behavior (perilaku). Repurchase intention ini erat kaitannya dengan sikap konsumen terhadap objek dan sikap konsumen terhadap perilaku sebelumnya. Penelitan Akhter (2010) menemukan bahwa kepuasan tidak secara langsung berhubungan dengan repurchase (pembelian kembali), namun tidak salah bahwa kepuasan konsumen berpengaruh pada perilaku pembelian kembali jika dilihat dari riset psikologi dimana kepuasan mendorong intensi dan intensi mendorong perilaku. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri repurchase adalah salah satu indikator dari kepuasan dan juga efek dari pembelian.

Chang, Lee, Chien, Huang dan Chen (2010) mengatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara pengalaman konsumen akan suatu produk terhadap kecenderungan konsumen untuk kembali melakukan pembelian terhadap produk yang dievaluasi baik. Intensi konsumen dalam pembelian online adalah kegiatan diri konsumen untuk melakukan pembelian pada suatu toko online.


(28)

Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein pada tahun 1980 (dalam Jogiyanto, 2007) mengasumsikan bahwa konsumen secara sadar mempertimbangkan segala informasi pada alternatif-alternatif yang ada dan akhirnya akan memilih satu alternatif yang dapat memberikan konsekuensi yang paling diharapkan.

Hawkins & Mothersbaugh (2010) menambahkan konsumen bisa terus melakukan pembelian kembali walaupun tidak punya keterikatan emosional terhadap suatu produk atau barang. Hawkins & Mothersbaugh (2001) juga mengungkapkan bahwa konsumen yang tidak puas pada pembelian sebelumnya dapat melakukan pembelian kembali atau repurchase dengan beberapa faktor seperti tidak ada barang pengganti, kesusahan melakukan exit, belum ada barang pengganti dan berbagai kemudahan lain yang disediakan.

A.2. Faktor yang membuat konsumen melakukan Repurchase

1. Harga

Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) mengungkapkan alasan yang menjadi faktor seorang individu melakukan pembelian kembali (repurchase) yaitu switching cost dimana harga menjadi prediktor utama dalam pembelian ulang. Sifat ekonomis dalam pembelian menjadi alasan individu dalam melakukan pembelian, seperti kebiasaan membeli barang yang tersedia pada toko-toko tertentu, karena harganya yang murah ataupun berbagai alasan praktis lainnya. Harga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk melakukan pembelian. Asumsinya setiap barang tentu


(29)

14

mempunyai nilai dan nilai tersebut didasarkan dari harga yang menjadi tolak ukur dari barang tersebut (Puspitaningrum, 2006)

Selain itu, committed customers yaitu individu yang pada dasarnya memiliki komitmen untuk melakukan pembelian pada suatu produk atau barang tertentu. Adanya keterikatan secara emosional artinya barang tersebut telah menjadi bagian dari hidup individu. Ungkapan-ungkapan seperti “Saya suka toko ini” atau “Saya suka merek ini” menunjukkan komitmen seorang individu dalam melakukan pembelian (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

2. Trust (Kepercayaan)

Kepercayaan memegang peranan penting dalam proses pembelian ketika konsumen memastikan adanya bukti atas barang atau produk yang ditawarkan. Kepercayaan menjadi salah satu faktor psikologis yang mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian (Kotler & Keller, 2009).

Kepercayaan sebenarnya merupakan kunci utama yang menghubungkan agen penjual dengan para konsumen dimana dengan adanya kepercayaan akan menghubungkan keahlian, kebenaran dan kebaikan dalam proses pembelian (Chiu, Chang, Cheng & Fang, 2009). Keahlian artinya kemampuan agen penjual untuk memberikan suatu kepercayaan yang semestinya kepada konsumen sebagaimana tanggung jawabnya. Kebaikan artinya konsumen tidak akan bertindak sebaliknya terhadap agen penjual yang telah memberikan kepercayaan dan kebenaran sebagai suatu realita yang harus dijalani kedua belah pihak dalam melakukan transaksi pembelian. Ketidakhadiran suatu kepercayaan akan mengurangi kemungkinan konsumen melakukan transaksi secara online karena


(30)

pada dasarnya konsumen tidak akan melakukan pembelian dengan toko online yang tidak mereka percayai.

3. Kepribadian

Kepribadian sebagai hal utama yang mencerminkan perbedaan konsumen sebagai individu karena setiap individu tidak mungkin memiliki ciri kepribadian atau karakter yang sama (Prasetijo & Ihalauw, 2005). Kepribadian sebagai suatu sistem psikologis individu yang dinamis dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan tertentu (Setiadi, 2008). Adapun yang termasuk faktor kepribadian seperti usia dan tahapan siklus hidup, pekerjaan, status ekonomi, konsep diri, nilai dan gaya hidup konsumen. Keputusan pembelian kembali juga dipengaruhi oleh faktor psikologis konsumen (Blackwell, Miniard & Engel, 2001).

B. Post Purchase Dissonance

B. 1. Definisi Dissonance

Disonansi merupakan sebuah konsep yang terjadi dimana manusia mencoba untuk menyeimbangkan konsistensi dan keharmonisan diri terhadap pendapat, perilaku maupun nilai-nilai yang muncul karena adanya ketidaknyamanan psikologis sebagai hasil dari situasi tersebut (Festinger, 1958). Festinger dalam Ginting (2009) mengatakan bahwa “Kemunculan disonansi akan menimbulkan tekanan tersendiri untuk mengurangi atau menghilangkannya. Kekuatan dari tekanan untuk mengurangi disonansi tersebut sebenarnya adalah fungsi dari besarnya sebuah disonansi”, yang artinya munculnya disonansi akan mengarah dan memotivasi individu untuk menurunkan tingkat disonansi itu


(31)

16

sendiri. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara mengubah perilaku ataupun mengubah pandangan atau kognitif mengenai disonansi tersebut.

B. 2. Definisi Post Purchase Dissonance

Disonansi kognitif yang timbul setelah pembelian disebut Post Purchase Dissonance (disonansi setelah pembelian), yaitu adanya perasaan tidak nyaman mengenai belief mereka atau perasaan yang cenderung mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman & Kanuk, 2007). Post purchase dissonance terjadi ketika konsumen ragu terhadap keputusan membeli yang telah dilakukannya. Biasanya konsumen yang telah mengalami disonansi ini akan menyimpan atau membuang produk tersebut. Namun ada juga konsumen yang tetap melakukan pembelian sekalipun telah mengalami post purchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Semua hasil dari proses pembelian berakhir pada tingkat kepuasaan yang dialami konsumen, dimana akan ada konsumen yang menjadi loyal terhadap suatu barang/produk, konsumen yang kembali melakukan pembelian, ataupun konsumen yang berganti produk/barang. Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan adanya keraguan ataupun kecemasan merupakan reaksi umum dari post purchase dissonance. Hawkins (1972) mengatakan bahwa kecemasan ini disebut state anxiety atau kecemasan yang bersifat sementara. State anxiety adalah kondisi emosional yang mengalami perubahan karena adanya situasi yang mengancam baik itu secara fisik maupun psikologis(Cattell & Scheier, 1961).

Berdasarkan sejumlah uraian di atas maka dapat disimpulkan postpurchase dissonance merupakan kondisi keraguan yang terjadi setelah pembelian yang


(32)

kemudian konsumen akan melakukan sejumlah perilaku untuk mengubah atau menyesuaikan diri dengan disonansi yang terjadi.

B. 3. Indikator Pengukuran Post Purchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) menyatakan ada 3 (tiga) dimensi dalam pengukuran Postpurchase Dissonance, yaitu:

1. Emotional (Kondisi Emosi)

Munculnya ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi dari keputusan pembelian. Perasaan tidak nyaman secara psikologis yang dialami seseorang setelah membeli suatu produk menunjukkan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance.

2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan Pembelian)

Pembelian yang dilakukan merupakan pilihan diri sendiri yang menunjukkan bahwa barang atau produk yang dibeli memiliki fungsi dan daya guna yang dibutuhkan. Jika barang atau produk yang dibelanjakan benar dan tepat dalam penggunaan maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan)

Kesadaran individu setelah melakukan pembelian, dimana yang menjadi alasan dilakukan pembelian tersebut merupakan hasil pengaruh dari lingkungan atau agen penjual atau atas dasar pertimbangan diri sendiri (kebebasan dalam memutuskan untuk melakukan pembelian). Jika pembelian dilakukan karena pengaruh sejumlah informasi dari luar diri


(33)

18

individu maka individu tersebut akan cenderung mengalami postpurchase dissonance.

B. 4. Faktor-faktor Post Purchase Dissonance

Holloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) juga mengemukakan sejumlah faktor-faktor yang menyebabkan terjadi postpurchase dissonance yaitu: (1). Alternatif produk yang ditolak memiliki sejumlah hal yang menarik; (2). Produk yang dipilih memunculkan sejumlah faktor negatif; (3). Banyaknya variasi alternatif produk yang muncul; (4). Terjadinya kekacauan kognitif pada individu ketika melakukan pemillihan; (5). Peran kognitif dalam pemilihan produk; (6). Adanya pujian dan bujukan; (7). Munculnya perilaku yang tidak sesuai atau yang dipandang negatif pada saat melakukan pembelian; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan (10). Pengetahuan mengenai produk.

Berdasarkan sejumlah faktor yang dikemukakan di atas (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007; Holloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada dua faktor dasar yang menyebabkan postpurchase dissonance yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari diri individu sendiri yaitu kepribadian yang menyebabkan seseorang merasa cemas, khawatir dan sulit untuk mengambil keputusan, memiliki komitmen penuh ketika melakukan pembelian serta jumlah informasi dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai produk. Faktor eksternal adalah berbagai kondisi di luar individu yang tidak dapat dikontrol


(34)

seperti adanya bujukan dari orang sekitar dan banyaknya alternatif produk menarik yang tersedia (Kotler & Keller, 2009).

B. 5. Proses Keputusan Pembelian

Ada sejumlah tahapan yang akan dilewati oleh konsumen ketika melakukan pembelian dan tahapan inilah yang dijadikan dasar pengetahuan oleh para pemasar untuk memahami perilaku konsumen (Kotler & Keller, 2009; Hawkins & Mothersbaugh, 2010; Lovelock & Wirtz, 2011).

Kotler & Keller (2009) dan Hawkins & Mothersbaugh (2010) mengungkapkan serupa bahwa ada 5 tahapan ketika konsumen mengambil keputusan yaitu: Problem Recognition, Information search, Evaluation of alternatives, Purchase decision, dan Postpurchase Behavior.

Gambar 1. Five stage Model of the Consumer Buying Process Sumber: Kotler & Keller, 2009

Lebih lanjut Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membagi 3 tipe pengambilan keputusan:

1. Nominal Decision Making, dimana keputusan untuk membeli hanya didasarkan pada pengetahuan yang terbatas pada satu produk yang disukai dan evaluasi setelah pembelian juga terbatas.

2. Limited Decision Making, melibatkan pencarian informasi baik secara internal maupun eksternal sehingga berbagai alternatif muncul dan evaluasi terhadap pembelian juga terbatas. Limited Decision Making Problem

Recognition

Information search

Evaluation of alternative

Purchase decision

Postpurchase behavior


(35)

20

hampir sama dengan Nominal Decision Making, yang berbeda adalah adanya variasi alternatif dan terjadi ketika munculnya kebutuhan secara emosional.

3. Extended Decision Making, melibatkan pemikiran dan pencarian infomasi yang panjang (baik internal maupun eksternal) yang diikuti oleh sejumlah alternatif yang kompleks dan cenderung mengalami postpurchase dissonance.

Proses di atas menjelaskan adanya tahapan yang akan dilalui oleh konsumen ketika mengambil keputusan namun sebenarnya tahapan-tahapan tersebut tidak dilalui oleh konsumen secara keseluruhan artinya semakin penting sebuah produk untuk dipertimbangkan maka semakin pula tahapan tersebut akan kita ikuti (Kotler & Keller, 2009).

C. Online shopping

C.1. Definisi Online Shopping

Online shopping adalah proses pembelian produk ataupun jasa oleh konsumen melalui media internet (Li & Zhang, 2002). Awareness terhadap informasi produk menjadi proses awal terjadinya pembelian melalui media internet (Bauer, Barnes & Reichardt, 2005; Roberts & Mary, 2003). Proses terbentuknya awareness konsumen dimulai dari aktivitas online brading yaitu dengan links dan iklan banner pada website yang menjadi sumber infomasi tentang produk atau jasa yang dikehendaki dan akhirnya konsumen pun akan secara otomatis mengingat brand yang diiklankan tersebut.


(36)

C.2. Alasan Belanja Online

Adapun beberapa alasan mengapa konsumen lebih memilih belanja online daripada belanja offline yaitu:

1. Waktu

Belanja online menjadi pilihan konsumen dikarenakan waktu yang dipakai relatif sedikit daripada belanja secara offline yang membutuhkan waktu yang relatif lama, dan barang yang dijual secara online biasanya menyediakan spesifikasi barang yang sangat lengkap. Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), waktu berpengaruh terhadap preferensi belanja online dimana konsumen yang sibuk memandang internet sebagai area transaksional yaitu sebagai tempat untuk mengumpulkan informasi atau membeli produk.

2. Ketersedian barang di pasar

Konsumen terkadang kesulitan mencari barang yang diinginkan secara langsung, misalnya jika konsumen ingin membeli produk Z dan ternyata produk Z tidak ada di Medan tetapi ada toko online yang berdomisili di Jakarta. Hal itulah yang membuat konsumen memilih untuk berbelanja online untuk mendapatkan barang yang diinginkan.

3. Harga

Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), harga berpengaruh terhadap preferensi belanja online. Internet memungkinkan konsumen memiliki pengetahuan dan informasi yang baik mengenai harga. Mereka cenderung memilih dan mencari penjual yang menawarkan harga yang terbaik (best


(37)

22

price), bahkan mereka mampu bernegosiasi dengan penjual karena ada beberapa barang yang dijual lebih mahal dua kali lipat dibandingkan di toko online.

4. Alternatif produk

Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), internet mampu memberikan sejumlah alternatif produk yang sangat beragam. Para retailer di internet dapat memberikan pilihan yang hampir tak terbatas, misalnya Amazon.com merupakan contoh web merchants yang membuktikan hal ini.

C.3. Karakteristik Online Shopper

Satu hal yang terlihat jelas pada online shopper bahwa mereka adalah pengguna internet. Menurut Bellman, Lohse, & Johnson (1999); Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007), pengguna internet cenderung merupakan orang-orang yang lebih muda, terpelajar, dan merupakan masyarakat menengah ke atas. Wanita juga menjadi salah satu pembeli online yang lebih sering dijumpai di masyarakat. Pengetahuan akan internet, jumlah pendapatan, dan tingkat pendidikan juga menjadi prediktor yang menentukan pembelian online pada mahasiswa (Case, Burns & Dick, 2001). Li, Kuo, & Russel (dalam Li & Zhang, 2002) mengemukakan bahwa kenyamanan dalam berbelanja merupakan faktor yang paling penting dalam keputusan membeli. Konsumen tidak keberatan jika harus membeli produk tanpa melihat atau menyentuhnya asalkan konsumen mendapatkan kenyamanan dan menghemat waktu dalam berbelanja.


(38)

D. Dinamika RepurchaseOnline Shopper yang Mengalami Post Purchase Dissonance

Penelitian Wolfinbarger & Gilly dalam Broekhuizen (2006) mengenai Understanding Channel Purchase Intentions: Measuring Online and Offline Shopping Value Perceptions menyatakan bahwa setiap konsumen akan berbelanja sesuai dengan motivasinya masing-masing baik itu mengutamakan pengalaman (experiential) ataupun tujuan (goal-oriented). Namun Wolfinbarger & Gilly berpendapat bahwa berbelanja secara online lebih menekankan pada tujuan ( goal-oriented) daripada pengalaman (experiential) yaitu sekitar 66 hingga 80% pembelian online lebih berpusat pada tujuan (goal-oriented). Persentase yang cukup tinggi itu dikarenakan setiap pebelanja online cenderung ingin menghemat waktu dan efisien dalam berbelanja. Bahkan bagi seorang pebelanja online sejati, ia akan memiliki kepribadian internal locus of control yang cukup kuat dan berpusat pada goal-oriented. Konsumen yang memiliki kepribadian goal-oriented memiliki kebebasan yang besar untuk mengontrol lingkungannya, artinya mereka tidak memiliki banyak tekanan untuk melakukan suatu pembelian online, mereka juga kurang berkomitmen karena keterbatasan akses terhadap penjualnya sendiri dan mereka juga tidak merasa tertekan atas kehadiran agen pemasaran seperti berbelanja di toko offline.

Penentuan keputusan untuk melakukan pembelian secara online melibatkan pencarian infomasi, perbandingan sejumlah alternatif dan penetapan keputusan. Hasil dari tahap tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku pembelian konsumen dan kepuasan konsumen tersendiri (Li & Zhang,


(39)

24

2002). Setelah konsumen yakin terhadap keputusan yang diambilnya, maka transaksi pembayaran pun akan dilakukan. Namun, ada suatu tahap dari perilaku setelah pembelian yang akan dialami oleh setiap konsumen yaitu postpurchase dissonance atau disonansi setelah pembelian (Ginting, 2009). Penelitian mengenai perbedaan tingkat postpurchase dissonance antara pembelian secara offline dan online menunjukkan hasil bahwa konsumen yang melakukan pembelian secara online memiliki tingkat postpurchase dissonance lebih tinggi daripada konsumen yang berbelanja secara offline (Tarigan, 2012). Pemikirannya adalah konsumen mendapatkan infomasi dan produk secara langsung sehingga kemungkinan konsumen akan mengalami post purchase dissonance menjadi lebih rendah (Loundon & Bitta, 1993). Berbeda halnya dengan konsumen yang berbelanja secara online, mereka mempunyai keterbatasan bertatap langsung dengan produk dan penjual (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Salah satu indikator yang turut menentukan seseorang mengalami post purchase dissonance adalah karakteristik kepribadian yaitu keberanian menghadapi resiko dalam melakukan pembelian secara online (Tarigan, 2012).

Postpurchase dissonance yang terjadi ketika melakukan pembelian secara online akan memunculkan berbagai emosi atau perasaan seperti ragu, kecewa, marah, kesal, complain dan biasanya perilaku-perilaku tersebut bertujuan untuk menyesuaikan dan meyakinkan diri bahwa pilihan yang telah dilakukannya adalah yang terbaik. Tingkat disonansi yang terjadi bisa berbeda-beda tiap individu. Indikasi tinggi rendahnya post purchase dissonance (disonansi setelah pembelian) ini dilihat dari seberapa lama konsumen mengalami dissonance tersebut, artinya


(40)

dikatakan tinggi atau sedang ketika post purchase dissonance yang dialami menetap hingga pengambilan data berlangsung dan dikatakan rendah ketika post purchase dissonance yang dialami kurang dari waktu satu bulan (Ginting, 2009).

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) mengungkapkan adanya tiga dimensi besar yang dapat dijadikan landasan untuk melihat sejauh mana seorang konsumen mengalami postpurchase dissonance. Pertama adalah emotional atau kondisi emosi yaitu ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan pembelian yang dilakukan. Kondisi ini dapat melibatkan seluruh aspek psikologis seseorang dari perasaan sedih, kecewa hingga marah. Sebagai wujud dari hasil pembelian yang dilakukan sebelumnya, setiap konsumen mempunyai pandangan dan cara tersendiri dalam mengungkapkan kepuasan maupun ketidakpuasan mereka. Kedua yaitu wisdom of purchase atau kebijaksanaan dalam pembelian dimana adanya fungsi dan nilai guna dari setiap pembelian yang dilakukan. Pemilihan terhadap barang atau produk yang dibeli dan perhatian terhadap setiap transaksi yang dilakukan tidak memberikan penyesalan kemudian. Terakhir yaitu concern over deal atau kesadaran atas pembelian yang dilakukan dimana pembelian yang dilakukan memang atas dasar keputusan sendiri dan bukan karena pengaruh dari agen penjual atau pemasarannya. Resiko pun menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan. Segala faktor yang turut mempengaruhi pembelian akan menjadi ultimatum sendiri jika pembelian tersebut ternyata akan bermasalah.

Ketiga hal tersebut diatas akan dialami oleh setiap konsumen dengan taraf yang berbeda-beda tergantung pada kondisi dan situasi pembelian yang mereka


(41)

26

lakukan. Jika ternyata konsumen merasakan adanya ketidaknyamanan psikologis, fungsi dan daya guna barang ternyata tidak memberikan kepuasan yang efektif dan ternyata pembelian yang dilakukan bukan atas dasar diri sendiri maka kemungkinan besar konsumen mengalami postpurchase dissonance.

Pembelian tentu saja tidak hanya berlangsung sekali tetapi akan berulang. Pembelian ulang atau kembali biasanya tergantung pada pengalaman pembelian sebelumnya (Wen, Prybutok, & Xu, 2011). Pembelian kembali (repurchase) bisa saja terjadi pada toko online yang berbeda ataupun sama dengan pembelian barang yang sama ataupun berbeda. Ketersediaan toko online yang banyak dan penawaran produk atau barang yang semakin beragam membuat konsumen tidak akan pernah terlepas dari proses pembelian. Beranjak dari proses itulah akan terlahir konsumen-konsumen yang menjadi online shopper atau pebelanja online sejati (commited customers) dan konsumen yang selalu berpindah-pindah untuk mencari keekonomisan dalam belanja.

Fokus utama dalam penelitian ini adalah melihat proses dinamika yang terjadi pada konsumen yang berbelanja secara online mengalami postpurchase dissonance dan melakukan repurchase (pembelian kembali) dimana secara teori dijelaskan bahwa tidak mungkin konsumen yang telah mengalami disonansi setelah pembelian akan melakukan pembelian ulang. Penelitian Keng & Liao (2009) mengenai konsekuensi dari post purchase dissonance juga menguatkan bahwa ternyata post purchase dissonance memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan setelah pembelian dan intensi repurchase intention (intensi pembelian kembali) namun bersifat positif terhadap perilaku komplain.


(42)

Adanya anomali-anomali yang muncul sebagai satu fenomena unik seolah-olah tidak sejalan dengan penelitian dan teori sebelumnya yang didukung dengan data-data yang ditemukan di lapangan dimana beberapa responden yang menunjukkan dinamika yang berbeda satu sama lain yaitu ada responden yang telah mengalami postpurchase dissonance pada satu toko online namun kemudian kembali berbelanja (repurchase) pada toko online tersebut dan ada yang bahkan sampai beberapa toko online secara berturut-turut dengan toko online yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa fenomena ini ada dan muncul diluar dari teori atau penelitian-penelitian sebelumnya mengenai post purchase dissonance. Berbagai alasan pun muncul untuk memperkuat perilaku repurchase mereka. Alasan-alasan yang diungkap oleh konsumen dan bagaimana proses tersebut dapat terjadi sehingga akan didapati suatu dinamika atas fenomena tersebut dan kondisi psikologis yang dialami oleh konsumen ketika post purchase dissonance muncul sehingga mengarahkan konsumen untuk melakukan repurchase (pembelian kembali).


(43)

28

E. Kerangka Pemikiran

Sumber: Penulis (2012)

Keterangan: * + : besarnya intensitas PPD

- : rendahnya intensitas PPD

PPD: Postpurchase dissonance Alasan

melakukan

Repurchase: Switching Cost Commited

Customer Harga Trust

Kepribadian

Online Shop

Decision Making

Purchase

PPD

+ -

Evaluation

Repurchase

Emotional

Wisdom of Purchase

Concern Over Deal


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam melaksanakan penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan jawaban yang mendalam dan lebih luas dalam kaitannya mengenai dinamika pembelian ulang (repurchase) pada konsumen online yang telah mengalami postpurchase dissonance. Adanya fenomena yang cukup menarik untuk diteliti mengenai alasan konsumen dalam melakukan repurchase serta kondisi psikologis yang dialami sekalipun telah mengalami postpurchase dissonance dan terbatasnya jumlah subjek yang juga mengalami hal demikian untuk dijadikan responden menjadi alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk penelitian ini.

Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007), dimana melalui penelitian kualitatif peneliti diharapkan mampu memperoleh pemahaman secara menyeluruh mengenai fenomena yang akan diteliti sehingga dapat melihat permasalahan secara mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi responden penelitian.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) juga mengatakan bahwa salah satu kekuatan dari penelitian kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana responden mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri responden dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.


(45)

30

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus deskriptif yang bersifat tunggal (single-case studies) yaitu studi kasus yang menggunakan lebih dari 1 kasus dalam satu penelitian. Penggunaan deskriptif kualitatif berupaya untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena karena penelitian ini melihat dinamika repurchase pada beberapa responden dengan begitu akan didapati hasil yang dapat mengungkap alasan bagaimana perilaku repurchase bisa terjadi dan kondisi psikologis yang dialami ketika terjadi postpurchase dissonance dan kemudian melakukan repurchase.

B. Responden Penelitian B. 1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden untuk penelitian ini didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah para online shopper yang mengalami disonansi menetap setelah pembelian namun melakukan repurchase, rentang usia remaja ke atas (usia 17 tahun ke atas), wanita atau pria, telah berbelanja secara online lebih dari 6 bulan dengan alasan sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman seputar berbelanja online.

B. 2. Jumlah Responden

Menurut Bungin (2003), penelitian kualitatif menggunakan responden yang dipilih secara sengaja dan apabila dalam proses pengambilan data peneliti tidak menemukan adanya variasi informasi lagi maka peneliti tidak perlu lagi mencari informan baru dan proses pengumpulan data dianggap selesai.


(46)

Penelitian ini mengambil responden sebanyak 2 orang. Alasan pengambilan jumlah responden tersebut karena dalam penelitian kualitatif umumnya responden menampilkan karakteristik (a). tidak pada jumlah responden yang besar, melainkan pada kasus yang tipikal sesuai masalah penelitian, (b). tidak ditentukan kaku sejak awal tetapi dapat berubah baik jumlah maupun karakteristiknya sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (c). tidak diarahkan pada keterwakilan jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (Saratakos dalam Poerwandari, 2007).

B. 3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden pada penelitian ini menggunakan pengambilan responden berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (Theory-based/Operational construct sampling) yang berarti pengambilan responden yang didasarkan pada karakteristik tertentu berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Alasan pemilihan prosedur ini agar responden yang dipilih sungguh-sungguh mewakili fenomena yang diteliti. Responden akan dipilih secara acak namun tetap mengikuti kriteria tertentu. Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengungkapkan bahwa peneliti bebas memilih prosedur yang dianggap paling sesuai dengan masalah dari tujuan penelitian.

B. 4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di daerah Kota Medan. Pemilihan kota Medan dikarenakan merupakan lokasi dimana peneliti berdomisili sehingga pengambilan data dan proses penelitian dapat mudah dijangkau.


(47)

32

C. Metode Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara. Poerwandari (2007) menyatakan bahwa wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif kemudian dilakukan untuk dapat memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti dan untuk melakukan eksplorasi terhadap isu yang dimaksud (Banister, dalam Poerwandari, 2007).

Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan tiga variasi dalam wawancara kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Adapun penelitian ini menggunakan variasi wawancara kualitatif yang kedua yaitu wawancara dengan pedoman umum, wawancara mendalam (in depth interview) dan berbentuk open-ended question.

Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus digali tanpa menentukan urutan pertanyaan. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai repurchase yang responden lakukan setelah mengalami postpurchase dissonance. Jika peneliti menganggap data wawancara belum begitu jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya maka peneliti akan mencoba melakukan probing pada responden. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk open-ended


(48)

question dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih lanjut mengenai topik yang dibahas tanpa membuat responden merasa diarahkan.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah kegiatan keseharian dari responden, sikap responden selama wawancara, hal-hal yang menganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara. Menurut Poerwandari (2007) observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


(49)

34

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan responden.

b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara, memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara digunakan tidak secara kaku sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.

c. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.


(50)

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibiltas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan mengenai gambaran dinamika repurchase pada online shopper yang telah mengalami postpurchase dissonance. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

a. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

b. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.

c. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisanya.

d. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya dengan mempelajari dan membandingkan langkah-langkah penelitian baik penelitian di Fakultas Psikologi USU maupun


(51)

penelitian-36

penelitian lain di luar Psikologi USU serta melihat efektifitas dari langkah-langkah tersebut tanpa mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis. Langkah ini diharapkan dapat menjamin pengumpulan data yang berkualitas.

e. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (devil’s advocate) yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti. Partner yang terlibat antara lain dosen pembimbing sebagai professional judgment terhadap alat pengumpulan data dan strategi analisa serta interpretasi data. Selain itu peneliti menyertakan beberapa orang mahasiswa psikologi USU untuk menilai efektifitas pedoman wawancara dan rangkaian cerita pada analisa data. f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and

rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

g. Melakukan analisis data penelitian berdasarkan ”validitas argumentatif” yang dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

F. Prosedur Penelitian

F. 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :


(52)

Peneliti melakukan peninjauan di lapangan untuk melihat fenomena post purchase dissonance yang terjadi pada konsumen online yang melakukan tindakan repurchase kemudiannya.

b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing serta mencoba pertanyaan ke beberapa orang mahasiswa psikologi untuk menilai efektifitas pedoman wawancara sekaligus memeriksa kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. c. Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin oleh responden)

Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari siapapun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.


(53)

38

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

e. Mengurus izin pengambilan data

Pengurusan izin dilakukan dengan meminta Surat Permohonan Izin Penelitian pada Administrasi Fakultas Psikologi USU.

f. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

g. Membangun Rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh responden (informed consent), peneliti kemudian bertemu dengan responden untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

F. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.


(54)

Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan hanya untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).


(55)

40

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam faktor-faktor dan proses dalam pemilihan pasangan.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

F. 3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.


(56)

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

1. Memperoleh data yang baik,

2. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

3. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah


(57)

42

diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan “pola” yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses pengkodean informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu: pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self-understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek penelitian, dilihat


(1)

melakukan pembelian

528/h.132 yang sesuai menimbulkan keinginan untuk membeli lagi. terhadap pembelian kembali R.2/W.1/b.346-352/h.122 Responden memperhatikan harga produk terlebih dahulu. Pengambilan keputusan R.2/W.1/b.379-382/h.124 Responden menyesuaikan harga dengan model produk. Pengambilan keputusan R.2/W.2/b.687-692/h.140 Responden menyesuaikan model dengan harga yang ditawarkan. Pengambilan keputusan R.2/W.3/b.845-848/h.148 Kegunaan barang baru terpikir ketika responden telah menerima barangnya. Pengambilan keputusan 3x Ketersediaan informasi terhadap barang yang dibeli R.2/W.1/b.57-58/h.108

Barang yang dibeli responden tidak sesuai dengan informasi. Disonansi setelah pembelian R.2/W.1/b.89-92/h.110

Warna dan bahan yang tidak sesuai dengan informasi

Disonansi setelah pembelian


(2)

66/h.108-109 melakukan usaha banyak untuk memastikan produk yang akan dibeli.


(3)

Langkah 4

Dinamika Responden I dan Responden II

1. Faktor yang membuat responden melakukan repurchase a. Responden I (Bunga)

Ketagihan belanja online

Hasrat yang kuat untuk membeli

Penjual hanya sebagai penyalur

Adanya kepercayaan pada toko online yang bersangkutan

Model barang-barang baru Pertimbangan

utama Mudah dalam

melakukan pembelian

Penyesuaian

Faktor yang

melatarbelakangi repurchase

Intensi pembelian Kemudahan pembelian

Harga Kepribadian Kepercayaan Ketersediaan Barang


(4)

b. Responden II (Sandra)

Faktor yang

melatarbelakangi repurchase

Intensi pembelian Kemudahan pembelian

Harga Kepribadian Kepercayaan Ketersediaan Barang

Olshop langganan Niat beli

karena suka

Sulit mengatur keuangan

Consumptive buyer

Hobi mengoleksi

Percaya dengan olshop

langganan

Niat penjual minta maaf Harga

murah sehingga

jumlah belanjaan

banyak

Pengaruh utama repurchase Munculnya barang baru

Keinginan membeli


(5)

2. Kondisi Psikologis responden ketika mengalami Post Purchase Dissonance a. Responden I (Bunga)

(-): tidak ditemukan Kondisi psikologis/karakter

pribadi

Emosional Kebijaksanaan Pembelian

Kesadaran Pembelian

Faktor PPD (Holloway) Faktor PPD

(Hawkins, dkk)

Adanya bujukan

(-)

Ketersediaan Informasi

8 Faktor yang lainnya (-) Takut,

ragu, &cemas sebelum pembelian

Kecewa & puas silih

berganti setelah

Resiko ditanggung

sendiri

Keputusan sendiri, tidak ada pengaruh orang lain

Buru-buru sehingga informasi tidak

diperhatikan Sekedar hasrat


(6)

b. Responden II (Sandra)

(-): tidak ditemukan

Ketersediaan Informasi

Faktor Internal

8 Faktor yang lainnya (-)

Warna dan bahan tidak

sesuai informasi Kondisi psikologis/karakter

pribadi

Emosional Kebijaksanaan Pembelian

Kesadaran Pembelian

Faktor PPD (Holloway) Faktor PPD

(Hawkins, dkk)

Adanya bujukan

(-) Ragu dan

khawatir barang yang

dibeli tidak sesuai

Takut kecewa

lagi

Resiko belanja ditanggung

sendiri

Keputusan sendiri, tidak ada pengaruh orang lain Kegunaan

barang tidak terpikirkan

sewaktu pembelian

Tidak ada usaha lebih untuk mencari informasi;

hanya memastikan testimonial