Hubungan Cedera Maksilofasial dengan Cedera Kepala Di RSUP H. Adam Malik Medan

HUBUNGAN CEDERA MAKSILOFASIAL DENGAN CEDERA KEPALA DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS
Oleh dr. RONI MARZUKI NASUTION
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014

PERNYATAAN HUBUNGAN CEDERA MAKSILOFASIAL DENGAN CEDERA KEPALA
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2014
dr. Roni Marzuki Nasution

ABSTRAK

Latar belakang Insiden dan penyebab epidemiologi maksilofasial trauma dan patah tulang wajah bervariasi di berbagai daerah di dunia. Pasien dengan fraktur maksilofasial beresiko tinggi disertai dengan cedera kepala. Resiko mengalami trauma kepala bervariasi antara 2,04% dan 14%. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan cedera maksilofasial dengan cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptis analitik dengan desain retrospektif. Sampel yang diperoleh sebanyak 276 kasus. Data dikumpulkan melalui data rekam medis di RSUP H. Adam Malik Medan selama kurun waktu September 2014 sampai November 2014. Data kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan Pearson Chi Square. Hasil Penelitian Dari 276 kasus trauma maksilofasial yang tekumpul selama penelitian dijumpai 64 kasusu disertai dengan trauma kepala. Usia rerata pada penelitain ini adalah 34.35 ± 15.654 tahun, dengan jumlah kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 227 (82.2%). Trauma maksilofasial terbanyak yang disertai dengan trauma kepala adalah fraktur mandibula sebanyak 32 kasus, dan 106 kasus tanpa trauma kepala. Berdasarkan uji Chi-Square dijumpai nilai p 0.834 yang menandakan bahwa tidak ada hubungan jenis trauma maksilofasial dengan kejadian trauma kepala. Kesimpulan Tidak ada hubungan jenis trauma maksilofasial dengan kejadian trauma kepala.

Kata Kunci

: trauma; kepala; maksilofasial

ABSTRACT

Background The incidence and causes of epidemiology maxillofacial trauma and facial fractures varies in different regions of the world. Patients with high-risk maxillofacial fractures accompanied with a head injury. The risk of head trauma varies between 2.04% and 14%. The purpose of this study was to determine the relationship of maxillofacial injuries with head injuries at Adam Malik Hospital. Methods This research is descriptive analytic retrospective design. Samples were obtained as much as 276 cases. Data were collected through medical records at Adam Malik Hospital during the period September 2014 to November 2014. Data were analyzed using Pearson Chi Square. Results Of the 276 cases of maxillofacial trauma that collected during the study found 64 retrospective case series, accompanied by head trauma. The average age of the research was 34.35 ± 15 654 years, with the highest number of sex is as much as 227 men (82.2%). Most maxillofacial trauma accompanied by head trauma is mandibular fractures were 32 cases, and 106 cases without head trauma. Based on Chi-square test p-value found 0.834 which indicates that there is no relationship types maxillofacial trauma with head trauma. Conclusion There is no relationship types maxillofacial trauma with head trauma.
Keywords: trauma; the head; maxillofacial

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis Magister ini yang berjudul ” Hubungan Cedera Maksilofasial dengan Cedera Kepala Di RSUP H. Adam Malik Medan”. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2. Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)Onk dan Sekretaris Departemen, dr. Erjan Fikri, SpB,SpBA. Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Marshal SpB,SpBTKV dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah dr. Asrul S, SpBKBD, yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan. 3. Prof. dr. Bachtiar Surya, SpB-KBD; Guru Besar di Departemen Ilmu Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing penulis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah membimbing dan mendidik penulis selama menjalani pendidikan spesialis bedah. 4. Dr. Frank Bietra Buchari SpBP-KRE, dr. Utama Abdi Tarigan, SpBP-RE, dan Prof. dr. Abd Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K) sebagai pembimbing

penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 5. Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya : Prof. dr. Abd Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K), Prof. Iskandar Japardi, SpBS(K), Prof. Adril A Hakim, SpS,SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB,SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, Alm.Prof Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof Buchari Kasim, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB,SpBA, dr. Syahbuddin Harahap, SpB, DR. dr. Humala Hutagalung, SpB(K)ONK, dr. Gerhard Panjaitan, SpB(K)ONK, dr. Harry Soejatmiko, SpB,SpBTKV, dr. Chairiandi Siregar, SpOT, dr. Bungaran Sihombing, SpU, dr. Syah M Warli, SpU dan seluruh guru bedah saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program pendidikan ini. 6. Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini. 7. Para Senior, dan sejawat peserta program studi Bedah yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan. 8. Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat bersama penulis selama penulis menimba ilmu. 9. Kedua orang tua, ayahanda Drs. H. Asroi Nasution dan ibunda Hj. Enni Derlina . Mertua, ayahanda H. Hamzah Ichsanuddin dan ibunda Hj. Wisdar, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian, dengan

diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani kehidupan. 10. Kepada abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. 11. Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta dr. Ria Hartaty dan anakku Raisya Muntazzia Nasution dan Raihan Muhafiz Azrai Nasution atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.
Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan. Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan Magister spesialisasi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Medan, Desember 2014 Penulis
Roni Marzuki Nasution

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... i ABSTRAK .................................................................................................... vi ABSTRACT .................................................................................................. vii KATA PENGANTAR.................................................................................. viii DAFTAR ISI................................................................................................. xi DAFTAR TABEL......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xv

BAB 1 PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1.2. Rumusan Masalah..................................................................... 1.3. Hipotesa .................................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................
1.4.1 Tujuan Umum.................................................................. 1.4.2 Tujuan Khusus................................................................. 1.5. Manfaat Penelitian ....................................................................

1 2 2 3 3 3 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Maksilofasial.............................................................. 4 2.2. Etiologi...................................................................................... 5 2.3. Epidemiologi............................................................................. 5 2.4. Definisi Trauma Maksilofasial ................................................. 6 2.5. Klasifikasi ................................................................................. 6 2.6. Penatalaksanaan ........................................................................ 23 2.7. Fraktur Panfasial ....................................................................... 25 2.8. Definisi Cedera Kepala ............................................................. 26 2.9. Anatomi Kepala ........................................................................ 26 2.10. Aspek Fisiologis Cedera Kepala............................................... 29 2.11. Patofisiologi Cedera Kepala ..................................................... 30 2.12. Klasifikasi Cedera Kepala ........................................................ 30 2.13. Hubungan antara Trauma Maksilofasial dengan Cedera Kepala 35

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian.......................................................................... 3.2. Waktu dan Penelitian ................................................................ 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................
3.3.1 Populasi Penelitian........................................................... 3.3.2 Sampel Penelitian............................................................. 3.4. Besar Sampel............................................................................. 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi..................................................... 3.6. Pertimbangan Etik..................................................................... 3.7. Cara Kerja ................................................................................. 3.8. Analisa Data .............................................................................. 3.9. Definisi Operasional.................................................................. 3.10. Kerangka Konsep ......................................................................

37 37 37 37 37 37 38 38 39 39 39 42

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Karakteristik Penderita Maksilofasial Trauma ......... 43 4.2. Hubungan Jenis Trauma Maksilofasial dengan kejadian Trauma

Kepala ....................................................................................... 44

BAB 5 PEMBAHASAN ............................................................................... 46

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ................................................................................... 48 6.2 Saran ......................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 49 LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.

Judul Demografi Maksilofasial Trauma Pada 276 Pasien,
Analisis Univariat Hubungan Jenis Trauma Maksilofasial dengan Kejadian Trauma Kepala Hubungan Jenis Trauma Berdasarkan Zona Wajah Terhadap Kejadian Trauma Kepala

Halaman 43
44
45


DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar 2.1. Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambat 2.11.

Judul Anatomi Tulang Maksilofasial Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. (B) Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks, 1990) A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen, 2007) Tekanan yang menyebabkan fraktur dinding inferior orbita Atap dari orbita Dinding Medial Orbita Dinding Inferior dari Orbita Dinding Lateral Orbita 10A Fraktur Blow Out, 10B Fraktur Blow In
Fraktur Le Fort I, 10B. Fraktur Le Fort II, 10C

Fraktur Le Fort III

Gambar 2.12. .(A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan

anterior) (B).Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III

(proyeksi sagital)


Gambar 3.1. Cara Kerja

Gambar 3.2. Kerangka Konsep Gambar 4.1. Deskripsi Karakteristik Sampel

Halaman 4 7
9
9
11 12 12 13 13 14 17
18
39 42 43

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5

DAFTAR LAMPIRAN
Susunan Penelitian Rencana Lampiran Anggaran Penelitian Jadwal Penelitian Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian Formulir Data Penelitian

ABSTRAK

Latar belakang Insiden dan penyebab epidemiologi maksilofasial trauma dan patah tulang wajah bervariasi di berbagai daerah di dunia. Pasien dengan fraktur maksilofasial beresiko tinggi disertai dengan cedera kepala. Resiko mengalami trauma kepala bervariasi antara 2,04% dan 14%. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan cedera maksilofasial dengan cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptis analitik dengan desain retrospektif. Sampel yang diperoleh sebanyak 276 kasus. Data dikumpulkan melalui data rekam medis di RSUP H. Adam Malik Medan selama kurun waktu September 2014 sampai November 2014. Data kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan Pearson Chi Square. Hasil Penelitian Dari 276 kasus trauma maksilofasial yang tekumpul selama penelitian dijumpai 64 kasusu disertai dengan trauma kepala. Usia rerata pada penelitain ini adalah 34.35 ± 15.654 tahun, dengan jumlah kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 227 (82.2%). Trauma maksilofasial terbanyak yang disertai dengan trauma kepala adalah fraktur mandibula sebanyak 32 kasus, dan 106 kasus tanpa trauma kepala. Berdasarkan uji Chi-Square dijumpai nilai p 0.834 yang menandakan bahwa tidak ada hubungan jenis trauma maksilofasial dengan kejadian trauma kepala. Kesimpulan Tidak ada hubungan jenis trauma maksilofasial dengan kejadian trauma kepala.


Kata Kunci

: trauma; kepala; maksilofasial

ABSTRACT
Background The incidence and causes of epidemiology maxillofacial trauma and facial fractures varies in different regions of the world. Patients with high-risk maxillofacial fractures accompanied with a head injury. The risk of head trauma varies between 2.04% and 14%. The purpose of this study was to determine the relationship of maxillofacial injuries with head injuries at Adam Malik Hospital. Methods This research is descriptive analytic retrospective design. Samples were obtained as much as 276 cases. Data were collected through medical records at Adam Malik Hospital during the period September 2014 to November 2014. Data were analyzed using Pearson Chi Square. Results Of the 276 cases of maxillofacial trauma that collected during the study found 64 retrospective case series, accompanied by head trauma. The average age of the research was 34.35 ± 15 654 years, with the highest number of sex is as much as 227 men (82.2%). Most maxillofacial trauma accompanied by head trauma is mandibular fractures were 32 cases, and 106 cases without head trauma. Based on Chi-square test p-value found 0.834 which indicates that there is no relationship types maxillofacial trauma with head trauma. Conclusion There is no relationship types maxillofacial trauma with head trauma.
Keywords: trauma; the head; maxillofacial

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Insiden dan penyebab epidemiologi maksilofasial (MF) trauma dan patah
tulang wajah bervariasi di berbagai daerah di dunia karena sosial, ekonomi, budaya konsekuensi, kesadaran peraturan lalu lintas, dan konsumsi alkohol (Arslan et al 2014). Lebih dari 3 juta cedera wajah terjadi di Amerika Serikat setiap tahun (Adamo, 2013). Insidens kasus trauma maksilofasial pada tahun 1991-1995 di RSUD Soetomo Surabaya mencapai jumlah 102 orang dan sejak tahun 2010-2011, tampak adanya kecenderungan meningkatnya insidens dibandingkan yang lalu tercatat sebanyak 180 orang pada tahun 2010 dan 160 orang pada tahun 2011 di Departemen Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik RSUD dr. Soetomo Surabaya (Susilawaty, 2014).
Trauma maksilofasial adalah trauma umum yang dihadapi di ruang gawat darurat, dan didominasi laki-laki. Laki-laki : perempuan rasio sekitar 3:1 dalam literatur. Namun demikian, usia rata-rata pasien pada trauma maksilofasial di atas 30 tahun.
Pasien dengan fraktur maksilofasial beresiko tinggi disertai dengan cedera kepala. Identifikasi dari cedera kepala pada pasien dengan cedera maksilofasial sangatlah penting untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien dan pemulihan. Cedera mengakibatkan 9% dari kematian di dunia dan 12% dari beban dunia dari penyakit, pada tahun 2000 lebih dari 90% kematian di dunia akibat cedera terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Data Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang tahun lalu jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 31.234 jiwa. Ada hubungan yang erat antara cedera kepala pada pasien dengan fraktur maksilofasial. Resiko mengalami trauma kepala bervariasi antara 2,04% dan 14%. Pasien dengan trauma kepala dapat dibagi menjadi dengan perdarahan intrakranial, memar otak dan patah tulang tengkorak dievaluasi hanya pasien dengan perdarahan intrakranial antara mereka dengan trauma maksilofasial, dan menemukan tingkat

perdarahan intrakranial sebanyak masing-masing 9,7% dan 9,0%. Namun, patah tulang tengkorak dan memar dapat sebagai perdarahan intrakranial sebagai yang mengancam jiwa. Oleh karena itu, penilaian dari semua trauma kepala yang menyertai trauma maksilofasial sangat penting dalam hal memahami mekanisme cedera yang mengakibatkan cedera kepala dan cedera maksilofasial.
Penyebab trauma maksilofasial dapat bervariasi antar negara. Sementara kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab terkemuka disebagian besar studi dalam literatur, ada juga studi yang melaporkan bahwa cedera olahraga atau perkelahian adalah penyebab umum dalam trauma maksilofasial. Dalam banyak penelitian, sementara risiko trauma kepala fraktur wajah yang menyertainya telah dilaporkan meningkat secara signifikan. Cedera wajah harus selalu menjadi perhatian klinis dengan terkait kerusakan otak, karena dapat menjadi penanda untuk transfer besar energi ke otak. Skala Koma Glasgow (SKG) merupakan penanda yang baik untuk menentukan cedera otak, kondisi klinis potensial, dan prognosis dari pasien akibat trauma.
Dari data - data di atas menunjukkan bahwa adanya hubungan antara trauma maksilofasial dengan cedera kepala. Di RSUP H. Adam Malik belum ada penelitian mengenai hubungan antara trauma maksilofasial dengan cedera kepala. Oleh karena itu, peneliti perlu meneliti hubungan antara trauma maksilofasial dengan cedera kepala pada pasien dengan trauma maksilofasial di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara cedera maksilofasial dengan cedera kepala di
RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3. Hipotesa Ada hubungan cedera maksilofasial dengan cedera kepala di RSUP H.

Adam Malik Medan.

1.4. Tujuan 1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan cedera maksilofasial dengan cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui angka pasien dengan cedera maksilofasial disertai cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan. 2. Mengetahui jenis cedera maksilofasial di RSUP HAM 3. Mengetahui penyebab cedera maksilofasial dan cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.5. Manfaat 1.5.1. Bidang Akademik/Ilmiah
Meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang bedah plastik, khususnya Mengetahui hubungan antara cedera maksilofasial dengan cedera kepala di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat Meningkatkan keberhasilan penanganan cedera maksilofasial dan cedera
kepala, khususnya pelayanan di bidang bedah plastik.
1.5.3. Bidang Pengembangan Penelitian Memberikan data awal terhadap departemen bedah plastik tentang
hubungan antara cedera maksilofasial dan cedera kepala di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Maksilofasial Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan
kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia (Mansjoer, 2000).
Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: (Mansjoer, 2000) a. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak (Boeis, 2002).

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi
yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot (Boeis, 2002).

2.2 Etiologi Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Ghazali 2007).
2.3 Epidemiologi Dari data penelitian itu menunjukkan bahwa kejadian trauma maksilofasial
sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66% (Ghazali, 2007).
Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat lain dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat sekitar 56%. Penyebab

terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor (Malara, 2006). 2.4 Definisi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008).
Trauma Jaringan lunak 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato. 2. Cedera saraf, cabang saraf fasial. 3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen. 4. Cedera kelopak mata. 5. Cedera telinga. 6. Cedera hidung. Trauma Jaringan keras 1. Fraktur sepertiga atas muka. 2. Fraktur sepertiga tengah muka.
a) Fraktur hidung (os nasale). b) Fraktur maksila (os maxilla). c) Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus). d) Fraktur orbital (os orbita). 3. Fraktur sepertiga bawah muka. a) Fraktur mandibula (os mandibula). b) Gigi (dens). c) Tulang alveolus (os alveolaris).
2.5 Klasifikasi Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan

lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (Ghazali, 2007).
a. Trauma Jaringan Lunak Wajah Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Wim de Jong, 2000):
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab a. Ekskoriasi b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk (vulnus punctum) c. Luka bakar (combustio) d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.(Gambar 1)

Gambar 2. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. (B) Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Padersen,2007)
4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi a. Luka Bersih.

Luka sayat elektif. Steril potensial terinfeksi. Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius, dan traktur genitourinarius. b. Luka Bersih Tercemar. Luka sayat elektif. Potensial terinfeksi: Spillage minimal, Flora normal. Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktus elementarius, dan traktur digestifus. Proses penyembuhan lebih lama. c. Luka Tercemar. Potensi terinfeksi Spillage traktus elementarius. Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan luka penetrasi. d. Luka Kotor. Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Perforasi viscera, abses dan trauma lama. 5. Klasifikasi Lain. a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door). b. Luka Tusukan (puncture). c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.
a. Trauma Jaringan Keras Wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang
yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Padersen, 2007):
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik.

a. Bersifat single : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibula, gigi dan alveolus.
b. Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula.
Gambar 3. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks, 1990)
Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen, 2007) 2. Dibedakan berdasarkan kekhususan (Padersen, 2007)
a. Fraktur Dinding Orbita Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-
jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa keterlibatan tulang-tulang

di daerah sekitarnya. Faktor penyebab bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan faktor etiologi yang dominan yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya fraktur dinding inferior orbita. Faktor lain fraktur dinding inferior orbita adalah akibat perkelahian. Selain itu, bisa juga diakibatkan karena senjata yang tumpul atau tajam. Faktor etiologi lain yang mengakibatkan fraktur dinding inferior orbital adalah kecelakaan pekerjaan, contohnya jatuh dari tempat yang tinggi atau alat yang jatuh ke kepala atau kecelakaan ketika berolahraga terutamanya olahraga seperti tinju, kriket, hoki serta sepak bola, tembakan serta gigitan hewan.
Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan terjadinya fraktur dinding inferior orbita, atau fraktur blow-out. Teori yang predominan mengatakan bahwa fraktur ini disebabkan kenaikan tekanan intraorbita yang terjadi secara mendadak apabila suatu objek yang lebih besar dari diameter orbita rim memukul. Teori yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras akan mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat peningkatan tekanan orbital kemudiannya yang menentukan jaringan orbital didorong ke dalam orbita atau ke sinus maksila.
Fraktur pureblow-out biasanya terjadi apabila suatu objek tumpul yang lebih besar dari diameter orbital rim seperti tinju, siku, bola baseball, bola tenis, atau bola hoki. Isi orbita akan terkompresi ke posterior, mengarah ke arah apeks orbita. Oleh karena bagian posterior orbita tidak bisa mengakomodasi peningkatan volume jaringan ini, tulang orbita akan patah di titik yang paling lemah yaitu pada dinding inferiornya. Jika daya terjadi dari objek yang lebih kecil dari diameter orbital rim, bola mata akan ruptur atau isi orbital mengalami kerusakan tanpa terjadinya fraktur.

Gambar 5. Tekanan yang menyebabkan fraktur dinding inferior orbita (Padersen, 2007)

Teori yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras akan mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat peningkatan tekanan orbita kemudiannya yang menentukan jaringan orbita didorong ke dalam orbita atau ke sinus maksila. Basis orbita atau orbita rim pada bagian atas terdiri dari lengkung supraorbita dari tulang frontal, zigoma dan maksila dibawahnya; zigoma pada bagian lateral, dan prosesus frontal maksila pada bagian medial. Dinding orbita ini merupakan tulang yang relatif tipis.
Orbita kemudian terbagi lagi dalam empat bagian: atap, dinding medial, dinding lateral dan lantai (dinding inferior). Atap orbita hampir seluruhnya terdiri dari dataran orbital dari tulang frontal, dan pada posteriornya terdiri dari greater wing of sphenoid. Dinding medial, yaitu dinding yang paling tipis terbentuk dari prosesus frontal maksila dan tulang lakrimal yang sama -sama membentuk lekuk lakrimal. Di belakang crest lakrimal posterior adalah lamina papyracea tulang

ethmoid yang sangat tipis dan lesser wing of sphenoid dan foramen optik. Dinding inferior yang berbentuk segitiga terdiri dari tulang zigomatik, prosesus orbita dari tulang palatinal dan sebagian besar dari dataran orbita maksila yang terletak di anterior pada fisur orbita inferior. Bagian dari maksila ini merupakan bagian yang paling sering terlibat di fraktur blow-out pada dinding inferior orbita. Dinding lateral orbita pula terdiri dari prosesus frontal dari zigoma dan tulang frontal pada anterior, serta greater wing of sphenoid pada posterior.
Gambar 6. Atap dari orbita (Robert,1984)
Gambar 7. Dinding Medial Orbita (Robert, 1984)

Gambar 8. Dinding Inferior dari Orbita (Robert, 1984)
Gambar 9. Dinding Lateral Orbita (Robert, 1984) Bola mata biasanya sedikit keluar dari orbita rim dan bola mata terikat oleh ligamen Lockwood dari tuberkulum Whitnall yang terletak dibawah sutura zigomatikofrontal pada dinding dalam orbita rim. Bola mata adalah relatif kuat

dan terisi dengan humor vitreous yang tahan terhadap tekanan. Kavitas orbital selebihnya terisi dengan lemak. (Thomas, 2007)
Secara umum, fraktur orbita dibagi kepada dua kategori yang luas. Yang pertama merupakan fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan orbita rim serta tulang-tulang yang berdekatan, sebagai contoh fraktur pada nasoethmoid (nasoorbital) dan fraktur malar. Yang kedua adalah fraktur yang melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbita. Fraktur ini terjadi tanpa (atau sedikit) penglibatan orbita rim. Fraktur seperti ini biasanya disebut fraktur blow-out atau blow-in. Istilah blow-out ini digunakan oleh Converse dan Smith (1950) untuk menggambarkan fraktur pada dinding inferior orbita yang mengarah ke bawah dan memasuki sinus maksilaris mengarah ke atas, memasuki orbita. Sebaliknya blowin merupakan fraktur yang tanpa melibatkan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure blow-out. Jika orbita rim terlibat, maka orbita rim dikenali sebagai impure blowout. Dalam kasus ini, lemak orbita dan otot masuk ke dalam sinus maksilaris, menghasilkan enophthalmus. Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga terlibat dalam hal ini, pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal sebagai diplopia (Thomas, 2007).
Gambar 10A Fraktur Blow Out, 10B Fraktur Blow In (Robert 1984)

b. Fraktur Zygoma (Thomas, 2007) Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Fraktur Le FortI, Le Fort II, dan Le Fort III (Thomas, 2007) a. Fraktur Le Fort I Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.
b. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007) Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip
dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatikomaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan

sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
c. Fraktur Le Fort III (Thomas, 2007) Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction, merupakan cedera yang
parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

Gambar 11A. Fraktur Le Fort I, 10B. Fraktur Le Fort II, 10C Fraktur Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.Perawatan Fraktur Maksila (Thomas, 2007)
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masingmasing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.
Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat dilakukan.

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.
d. Fraktur segmental mandibula.
Gambar 12.(A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B).Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (proyeksi sagital) (London, 1991)

a. Berdasarkan Tipe fraktur.(Thomas, 2007, Grabb and Smith 2007) a. Fraktur simpel. Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi. b. Fraktur Compound Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. c. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompound meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit. d. Fraktur kominutif. Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak. e. Fraktur patologis. Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
b. Perluasan tulang yang terlibat. a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi (lekuk).
c. Konfigurasi (garis fraktur).

a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. b. Oblique (miring). c. Spiral (berputar). d. Comunitif (remuk). d. Hubungan antar Fragmen.
Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat. Undisplacement, bisa terjadi berupa : o Angulasi / bersudut. o Distraksi. o Kontraksi. o Rotasi / berputar. o Impaksi / tertanam. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. b. luka tembus. c. Asimetris atau tidak. d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. e. Otorrhea / Rhinorrhea f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. g. Cedera kelopak mata. h. Ecchymosis, epistaksis i. Defisit pendengaran. j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau endophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. 7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti
hyphema. 8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal. 9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak. 10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.

13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak. Secara bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, ginggiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII (Boeis, 2002) 1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya. 2.N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek
motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis. 3.N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia. 4. N. Trigeminal (V)
a) Tes sensorik, sentuh di dahi, bibir atas dan dagu di garis tengah. Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit sensorik.

b) Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral. 5. N. Facial (VII)
a) Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan. b) Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat. c) Area buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi. d) Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir. e) Area cervical, menarik leher (saraf otot platysma, namun fungsi ini
tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari). 6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari
atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.
2.6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial
yaitu meliputi : 1. Periksa kesadaran pasien. 2. Perhatikan secara cermat wajah pasien : Apakah asimetris atau tidak. Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih. 3. Apakah ada hematoma : a. Fraktur zigomatikus Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam. Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus. b. Fraktur nasal Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial. c. Fraktur Orbita Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah

Apakah sejajar atau bergeser Apakah pasien bisa melihat Apakah dijumpai diplopia Hal ini karena :
o Pergeseran orbita o Pergeseran bola mata o Paralisis saraf ke VI o Edema d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala. Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, iregularitas, dan krepitasi. Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur. e. Cedera saraf Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas). f. Cedera gigi Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.
3 Manifestasi klinis Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa (Grabb
and Smith 2007; Thomas, 2007) 1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula. 2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. 3. Rasa nyeri pada sisi fraktur. 4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.

5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan 9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di
bawah nervus alveolaris. 10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.
4 Pemeriksaan fisik Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut : a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya. b. Adanya Krepitasi. c. Fraktur. Tanda pasti fraktur adalah pemendekan, rotasi, angulasi, dan false movement d. Deformitas, kelainan bentuk. e. Trismus (tonik kontraksi rahang) f. Edema. g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.
2.7 Fraktur Panfasial Di definisikan sebagai fraktur yang melibatkan bagian atas, tengah dan bawah
dari wajah, penanganannya berdasarkan insisi yang meng