BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus - Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
2.1.1. Definisi Menurut American Diabetes Association (2010), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terkadi karena kelalaian sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011)
DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Suyono S, dkk, 2011)
2.1.2.Faktor Resiko DM PERKENI (2011) mengatakan bahwa faktor resiko dari DM adalah: a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi
1) Ras dan Etnik
Ras African American, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians dan beberapa Asian American memiliki resiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantungdikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik tersebut
13 2)
Jenis Kelamin Kemungkinan laki-laki menderita penyakit DM lebih beresiko dari pada perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensinya tidak setinggi laki-laki (Nabyl, 2012).
3) Riwayat Keluarga DM (anak penyandang diabetes)
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka kemungkinan anda untuk menyandang diabetes pun meningkat (Nabyl, 2012) 4)
Usia Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia
5) Riwayat Melahirkan Bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG)
6) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan Berat badan normal.
b.
Faktor resiko yang bisa dimodifikasi 1)
Obesitas Menurut Shai et.al (2006) dalam Yuanita (2013), orang yang mengalami obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi dari orang yang tidak obesitas.
Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan sensitivitas insulin
14 2)
Kurang aktivitas fisik Aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat diubah pada penyandang DMtipe 2, sebagian melalui kerjanya terhadap sensitivitas insulin.
Akumulasi aktivitas fisik sehari-hari merupakan faktor utama yang menentukan sensitivitas insulin. Sedangkan waktu yang dihabiskan untuk bermalas-malasan, waktu yang dihabiskan untuk aktivitas ringan, serta aktivitas sedang atau berat tidak mempengaruhi sensitivitas insulin jika disesuaikan dengan aktivitas total (Balkau et.al, 2008) 3)
Hipertensi Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia, meningkatnya albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan orang yang menderita DM 4)
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)
5) Diet yang Tidak sehat (Unhealthy diet).
Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa pada DM tipe 2 (PERKENI, 2011) c.
Faktor lain terkait dengan resiko diabetes 1)
Pasien polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS sering dikaitkan dengan adanya
2) Pasien Sindrom Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah terganggu (GDPT) sebelumnya, pasien dengan riwayat penyakit Kardiovaskuler, seperti stroke, PJK, atau PAD (peripheral
arterial diseases )
2.1.3. Klasifikasi PERKENI (2008) mengatakan bahwa DM terbagi dalam empat klasifikasi, yaitu: a.
DM Tipe 1 DM tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas atau kelenjar ludah perut karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita sangat memerlukan tambahan insulin dari luar.
b.
DM Tipe 2 DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin) c.
DM Tipe Lain DM tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat dan zat kimia,
16 infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM d.
DM Tipe Gestasional DM tipe gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kanaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah kembali normal
2.1.4. Diagnosis Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain dapat berupa keluhan lemas badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsu ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Yang pertama jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. yang kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga yaitu tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitive dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011).
Hasil pemerisaan diagnostik yang tidak memenuhi criteria normal atau DM tipe 2 dapat digolongkan kelompok toleransi glukosa tergangu (TGT) glukosa darah puasa terganggu (GDPT).kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) yang bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140
- – 199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100
- – 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl (PERKENI, 2011)
2.1.5. Manifestasi Klinis Menurut Tarwoto (2012) dan Smeltzer & Bare (2009), manifestasi klinis dari DM adalah: a. sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)
Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorbsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat b.
Meningkatnya rasa haus (polidipsia) Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c.
Peningkatan rasa lapar (polipagia) Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan energi berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar. d.
Penurunan berat badan Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan, glikogen dan cadangan trigleserida serta massa otot e.
Kelainan pada mata, penglihatan kabur Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.
f.
Gatal pada kulit Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang kulit.
g.
Ketonuria Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui ginjal h. Kelemahan/keletihan
Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potassium akan membuat pasien mudah lelah dan letih i.
Terkadang tanpa gejala Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan glukosa darah
2.1.7. Komplikasi
19 Komplikasi DM diklasifikasikan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis: a.
Komplikasi Akut Ada tiga komplikasi akut pada DMyang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka waktu pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK) (Smeltzer & Bare, 2009) b.
Komplikasi Kronis Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia (Bandero ,
Dayrit, Siswadi, 2009). Komplikasi jangka panjang atau komplikasi kronis semakin terlihat pada penderita DM yang berumur panjang, komplikasi ini dapat menyerang semua sistem organ ditubuh. Kategori komplikasi kronis adalah penyakit makrovaskuler, mikrovaskular dan neoropati (Smeltzer & Bare, 2009)
2.1.8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk meningkatkankualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe 2, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
20 Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2009; PERKENI, 2011).
Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Mansjoer dkk., 2005).
Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
a.
Edukasi Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan
DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis, budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap yang meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan selfcare (IDF, 2005; Funnell et.al., 2008).
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut. Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian DM, penyulit DM dan resikonya, terapi farmakologis dan
21 nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara pemantauan glukosa darah mandiri, pentingnya latihan jasmani, perawatan kaki dan cara mengatasi hipoglikemi. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi mengenal dan mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, rencana untuk kegiatan khusus dan hasil penelitian terkini dan teknologi mutakhir (PERKENI, 2011) b.
Terapi Nutrisi Medis Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2009).
Bagi pasien yang obesitas, penurunan berat badan merupakan kunci dalam penanganan DM. Secara umum penurunan berat badan bagi individu obesitas merupakan faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit DM. Obesitas akan disertai peningkatan terhadap insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi yang menyertai DM tipe 2.
Perhitungan kebutuhan kalori menggunakan rumus Brocca yaitu : Berat badan ideal (BBI) = (TB-100)-10%
22 Status gizi: BB kurang (BB < 90% BBI), BB normal (BB = 90-110% BBI), BB lebih (BB = 110-120% BBI), BB gemuk (BB >120% BBI)
Makanan dibagi atas 3 porsi besar: pagi (20%), siang (30%), sore (25%) dan sisa untuk snack diantara makan pagi-siang dan siang sore. Selanjutnya perubahan disesuaikan dengan pola makan pasien. Standar yang dianjurkan untuk komposisi makanan adalah: Karbohidrat (KH) 45-65%, Protein 10-20%, Lemak 20-25% total asupan energi, Natrium 6-7 gr (1 sendok teh), serat ± 25g/1000 kkal/hari dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (PERKENI, 2008).
c.
Latihan jasmani Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance training ). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar
dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani. Pasien DM tipe 2 yang relatif sehat
23 dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI, 2011.).
d.
Intervensi farmakologis Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2.
Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya
sulfonilurea dan glinid ), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya metformin dan tiazolidindion ), penghambat glukoneogenesis (misalnya
metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).
2.2. Edukasi
Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self
direction ), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru. Edukasi
merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat (Setiawati, 2008).
Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya menambah pengetahuan baru, sikap serta keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu (Potter & Perry, 2008). Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pendidikan (education) secara umum adalah sebagai upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga dapat melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Dalam konteks kesehatan, maka edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat untuk meningkatkan kesehatannya.
2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME)
2.3.1. Definisi DSME Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnel et.al, 2008), Menurut Jack et all (2004) DSME dilakukan dengan menggunakan metode pedoman, konseling dan intervensi prilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai DM dan meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam pengelolaan DM.
DSME dapat dilakukan di berbagai metode, bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok. Metode individu biasanya dilakukan dalam setting rumah sakit sedangkan dalam kelompok lebih bervariatif, dapat dilakukan di rumah sakit,
25 komunitas, group diabetes, klas atau organisasi diabetes (Rickheim P.L, Weaver T.W, Flader J, Kendall D.M, 2002).
2.3.2. Tujuan DSME Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup
2.3.3. Prinsip DSME Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis, dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan penetapan tujuan-perilaku adalah strategi efektif mendukung selfcare behaviour.
26
2.3.4. Komponen DSME Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2012) komponen dalam DSME yaitu: a.
Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar, alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes; b.
Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya.
Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum dan lainnya; c.
Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan, peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu pemeriksaan; d.
Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan makan dan lainnya; e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk; f.
Stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan terjadinya distres, dukungan keluarga dan lingkungan dalam kepatuhan pengobatan;
27 g.
Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien jadwal pemeriksaan berkala; h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di lingkungan pasien yang dapat membantu pasien
2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.
Survival/basic level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek.
b.
Intermediate level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.
c.
Advanced level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam
28 upaya mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.
2.3.6. Pelaksanaan DSME DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central Dupage Hospital, 2011), yaitu: a.
Sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan, pengobatan, komplikasi); b. Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat dilakukan; c.
Sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan d. Sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
2.4. Efikasi Diri
2.4.1. Definisi Efikasi diri Menurut Bandura (1977) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yangdiperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan hasil positif. Bandura
29 (Santrock, 2007) mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap perilaku.
Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan teori
kognitif sosial (social cognitif theory). Teori ini memandang pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang diterima.
Dimana sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif terhadap motivasi, sikap, perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan secara terus menerus mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Sedang proses kognitif setiap individu berbeda tergantung keunikan karakteristik personalnya (Chairulmuslimna, 2009)
2.4.2. Proses Pembentukan efikasi diri Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap faktor lain.
Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan mereka dan mengawali usaha mereka. Yang penting, langkah awal dari proses tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu, tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Menurut Bandura (1994) efikasi diri mengatur manusia melalui empat proses utama yaitu : a.
Proses Kognitif Efikasi diri mempengaruhi proses berpikir yang dapat meningkatkan atau mempengaruhi performance dan bisa muncul dalam berbagai bentuk, antara lain konstruksi kognitif dan inferential thinking.
Konstruksi Kognitif merupakan Sebagian besar tindakan yang pada awalnya dibentuk dalam pikiran konstruksi kognitif tersebut kemudian hadir sebagai penuntun tindakan. Keyakinaan orang akan efikasi diri nya akan mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkannya situasi dan tipe-tipe skenario pengantisipasi dan menvinsualisasikan masa depan yang mereka gagas. Orang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memandang situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang menghadirkan kesempatan yang dapat dicapai.
Inferential Thinking dimana sebagai fungsi utama berfikir adalah agar
orang mampu untuk memprediksi hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan untuk menciptakan kontrol terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, ketrampilan-ketrampilan dalam problem solving memerlukan pemrosesan kognitif dari berbagai informasi yang kompleks, ambigu dan tidak pasti, secara efektif fakta bahwa faktor-faktor prediktif yang sama mungkin memiliki predictor yang berbeda menciptakan suatu ketidakpastian efikasi diri yang tinggi diperlukan dalam menghadapi berbagai ketidak pastian. b.
Proses Motivasional Kemampuan untuk memotivasi diri dan melakukan tindakan yang memiliki tujuan berdasarkan pada aktivitas kognitif. Orang memotivasi dirinya dan membimbing tindakannya melalui pemikirannya. Mereka membentuk keyakinan bahwa diri mereka bisa dan mengantisipasi berbagai kemungkinan
outcome positif dan negatif, dan mereka menetapkan tujuan dan merencanakan
tindakan yang dibuat untuk merealisasikan nilai-nilai yang diraih dimasa depan dan menolak hal-hal yang tidak diinginkan.
c.
Proses Afektif Keyakinan seseorang mengenai kemampuannya dipengaruhi seberapa banyak tekanan yang dialami ketika menghadapi situasi-situasi yang mengancam.
Reaksi-reaksi emosional tersebut dapat mempengaruhi tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pengubahan jalan pikiran. Orang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi yang mengancam, menunjukkan kemampuan oleh karena itu tidak merasa cemas atau terganggu oleh ancaman- ancaman yang dihadapinya, sedangkan orang yang merasa bahwa dirinya tidak dapat mengontrol situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi.
d.
Proses Seleksi Dengan menyeleksi lingkungan, orang mempunyai kekuasaan akan menjadi apa mereka. Pilihan
- –pilihannya dipengaruhi oleh keyakinan kemampuan personalnya. Orang akan menolak aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang mereka yakini melebihi kemampuan mereka, tetapi siap untuk melakukan aktivitas dan
32 memilih lingkungan sosial yang mereka nilai dapat mereka atasi semakin tinggi penerimaan efikasi diri, semakin menantang aktivitas yang mereka pilih.
2.4.3. Sumber efikasi diri Efikasi diri seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu pengalaman pribadi/ pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal serta kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1994): a.
Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri yang kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan kegagalan diperlukan untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan manusia bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha, seseorang yang memiliki keyakinan akan sukses mendorongnya untuk bangkit dan berusaha untuk mewujudkan kesuksesan tersebut.
b.
Pengalaman orang lain Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang didapatkan oleh orang lain.
c.
Persuasi Verbal Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu mengatasi masalah
- –masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan keyakinan dengan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan
33 perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari orang lain dan lingkungannya.
d.
Kondisi fisik dan emosional Hambatan yang dapat mempengaruhi efikasi diri antara lain nyeri, kelemahan, dan ketidaknyamanan demikian juga dengan kondisi fisik dan emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait efikasi dirinya.
2.4.4. Dimensi Efikasi Diri Bandura (1977) mengajukan tiga dimensi efikasi diri, yakni: 1) Magnitude, yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas mulai dari yang sederhana, yang agak sulit, hingga yang sangat sulit; 2) Generality, sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian tugas atau situasi yang bervariasi. 3) Strength, kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki.
2.4.5. Faktor yang mempengaruhi efikasi diri Perubahan perilaku didasari oleh adanya perubahan efikasi diri. Oleh karena itu, efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan maupun diturunkan, tergantung pada sumbernya. Apabila sumber efikasi diri berubah maka perubahan perilaku akan terjadi.
34 Berikut ini adalah sumber-sumber efikasi diri (Alwisol, 2006), antara lain : a. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)
Keberhasilan dan prestasi yang pernah dicapai dimasa lalu dapat meningkatkan efikasi diri seseorang, sebaliknya kegagalan menghadapi sesuatu mengakibatkan keraguan pada diri sendiri (self doubt). Sumber ini merupakan sumber efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya untuk mengubah perilaku.
Pencapaian keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya Proses pencapaiannya terdiri dari 6 yaitu: Keberhasilan mengatasi tugas yang sulit bahkan sangat sulit, akan meningkat efikasi diri individu. Bekerja sendiri, lebih meningkatkan self-efficacy dibandingkan bekerja kelompok atau dibantu orang lain. Kegagalan menurunkan efikasi diri, meskipun seorang individu merasa sudah bekerja sebaik mungkin. Kegagalan yang terjadi ketika kondisi emosi sedang tertekan dapat lebih banyak pengaruhnya menurunkan efikasi diri, dibandingkan bila kegagalan terjadi ketika individu sedang dalam kondisi optimal. Kegagalan sesudah individu memiliki efikasi diri yang kuat, dampaknya tidak akan seburuk ketika kegagalan tersebut terjadi pada individu yang efikasi diri-nya belum kuat. Individu yang biasanya berhasil, sesekali mengalami kegagalan, belum tentu akan mempengaruhi efikasi diri-nya.
b.
Pengalaman Vikarius (Vicarious Experiences) Efikasi diri dapat terbentuk melalui pengamatan individu terhadap kesuksesan yang dialami orang lain sebagai model sosial yang mewakili dirinya.
35 Pengalaman tidak langsung meningkatkan kepercayaan individu bahwa mereka juga memiliki kemampuan yang sama seperti model yang diamati saat dihadapkan pada persoalan yang setara. Intensitas efikasi diri dalam diri individu ditentukan oleh tingkat kesamaan dan kesesuaian kompetensi yang ada dalam model terhadap diri sendiri. semakin setara kompetensi yang dimaksud maka individu akan semakin mudah merefleksikan pengalaman model social sebagai takaran kemampuan yang ia miliki. Dalam proses atensi individu melakukan pengamatan terhadap model sosial yang dianggap merepresentasikan dirinya. Kegagalan dan kesuksesan yang dialami model sosial kemudi c.
Persuasi Sosial (Social Persuasion) Akan lebih mudah untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri, ketika seseorang didukung, dihibur oleh orang-orang terdekat yang ada disekitarnya.
Akibatnya tidak ada atau kurangnya dukungan dari lingkungan sosial juga dapat melemhkan efikasi diri. Bentuk persuasi sosial bisa bersifat verbal maupun non verbal, yaitu berupa pujian, dorongan dan sejenisnya. Efek dari sumber ini sifatnya terbatas, namun pada kondisi yang tepat persuasi dari orang sekitar akan memperkuat efikasi diri. Kondisi ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi dan dukungan realistis dari apa yang dipersuasikan.
d.
Keadaan Emosi (Emotional and Psychological) Keadaan emosi yang mengikuti suatu perilaku atau tindakan akan mempengaruhi efikasi diri pada situasi saat itu. Emosi takut, cemas, dan stress yang kuat dapat mempengaruhi efikasi diri namun, bisa juga terjadi peningkatan emosi (yang tidak berlebihan). Begitu juga dengan kondisi fisiologis, ketika
36 terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan stamina yang kuat, namun tubuh merasa mudah lelah, nyeri atau pegal dapat melemahkan efikasi diri karena merasa fisik tidak mendukung lagi. Sehingga peningkatan efikasi diri dapat dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan status kesehatan fisik.
2.4.6. Perkembangan efikasi diri selama masa kehidupan a.
Bersumber dari diri sendiri (origins of sense of personal agency) Bayi yang baru dilahirkan akan mengembangkan rasa keberhasilannya melalui eksplorasi bagaimana pengalaman yang memberikan efek terhadap lingkungan sekitarnya. Getaran pada box bayi atau tangisan akan membawa orang dewasa mendekatinya sehingga bayi belajar bahwa tindakan akan menghasilkan efek. Bayi yang berhasil mengendalikan peristiwa lingkungannya akan menjadi lebih perhatian terhadap prilakunya sendiri dan merasa berbeda dengan bayi yang lainnya (Bandura, 1994) b.
Efikasi diri yang bersumber dari keluarga (Familial sources of self-efficacy) Bayi dan anak-anaknya harus terus belajaruntuk mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan fisik untuk mengetahui dan mengelola berbagai situasi social. Perkembangkan kemampuan sensori motorik akan memperluas lingkungan kemampuan eksplorasi bayi dan anak-anak dalam bermain. Tersedianya peluang ini akan memperbesar keterampilan dasar dan rasa keberhasilan. Pengamalan akan kesuksesan dalam menjalankan control pribadi adalah pengembangan awal kompetensi social dan kognitif yang berpusat di dalam keluarga (Bandura, 2004)
37 c.
Memperluas efikasi diri melalui pengaruh kelompok (broading of self-
efficacy trough peer influences )
Seseorang yang masuk dalam sebuah kelompok akan memperluas kemampuan pengetahuannya. Sebahagian besar pembelajaran sosial akan terjadi di antara anggota kelompok memberikan pengaruh yang besar pada efikasi diri anggotanya. Anggota kelompok akaPerbedaan usia juga akan mempengaruhi efikasi diri seseorang. Pengaruh rasa efikasi diri rendah kepada anggota kelompok akan mempengaruhi efikasi diri anggota kelompok lainya, begitupun sebaliknya (Bandura, 1994) d.
Sekolah sebagai pembentukan kognitif efikasi diri (school of an agency
forndura, cultivating cognitive self-efficacy )
Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan kompetensi kognitif. Anak- anak menembangkan kompetensi kognitif dan pengetahuannya dalam memecahkan masalah dengan berpartisipasi aktif di masyarakat. Kemampuan kognitif dan pengetahuan yang dimiliki akan menjadi dasar bagi pembentukan keyakinan akan keberhasilan. Sehingga pengalaman keberhasilan dan kegagalan yang dialami akan membentuk efikasi diri bagi anak-anak (Banura, 1994).
e.
Pertumbuhan efikasi diri melalui pengalaman transisi masa remaja (Growth of
self-efficacy through transitional experience of adolescernce )
Remaja belajar memikul penuh tanggung jawab pribadi disemua dimensi kehidupan. Kompetensi baru dan keyakinan akan sebuah keberhasilan perlu terus dikembangkan. Remaja memperluas dan memperkuat rasa keberhasilannya dengan mencoba menghadapi berbagai peristiwa kehidupan. Keyakinan akan
38 efikasi diri dibangun melalui penguasaan pengalaman sebelumnya (Bandura, 1994) f.
Efikasi diri masa dewasa (self-efficacy concerns of adulthood) Dewasa muda adalah masa ketika orang harus belajar memenuhi kebutuhan baru yang timbul karena kemitraan, hubungan perkawinan, orang tua ataupun pekerjaan. Pemenuhan kebutuhan baru tersebut dapat terpenuhi dengan efikasi diri yang tinggi. Mereka yang memasuki usia dewasa muda dengan keterampilan yang kurang akan merasa tidak yakin dengan diri sendiri dalam menghadapi berbagai aspek kehidupan yang menimbulkan stress dan tekanan.
Pengalaman kemampuan dan keterampilan dalam mengelola motivasi, emosional dan proses berfikir akan meningkatkan pengaturan afikasi diri seseorang (Bandura, 1994) g.
Menilai kembali efikasi diri melalui bertambahnya usia (Reappraisals of self-
efficacy with advancing age )
Dimensi generalisasi berfokus pada kekuatan atau keyakinan dalam melakukan sebuah usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan oleh pengalaman yang buruh. Tetapi bila seseorang mempunyai harapan yang kuat mereka akan tetap berusaha walaupun mengalami sebuah kegagalan (Bandura, 1994)
2.4.7. Cara Meningkatkan Efikasi Diri Strategi untuk meningkatkan motivasi dan efikasi diri pada pasien dengan penyakit kronis terutama diabetes adalah dengan pendidikan/edukasi
39 kesehatan melalui pendekatan diabetes self management education (DSME),
empowerment, dan motivational interviewin ( Lakhanpal, 2007)
Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya menggunakan metode ceramah, penyuluhan baik langsung atau tidak langsung namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama pasien dan keluarganya. Pada DSME tidak hanya memberikan informasi tentang penyakit dan ketrampilan teknikal saja, metode ini juga berisi tentang ketrampilan menyelesaikan masalah (problem solving), koping, dan manejemen diri diabetes.
Tujuan DSME selain meningkatkan pengetahuan tentang diabetes, yang paling utama adalah meningkatkan efikasi diri dan motivasi pasien untuk menjalankan perawatan DM. DSME dapat diberikan oleh dokter, perawat, kader kesehatan yangterlatih atau orang yang hidup dengan penyakit kronis (Bodenheimer, Lorig, Holmadan Grumbach, 2002 dalam Lakhanpal, 2007).
Pasien yang diberi edukasi dan pedoman dalam perawatan diri dengan terstruktur dan bertahap akan mengubah pola hidupnya, sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan baik. Intervensi DSME yang diberikan kepada pasien dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi pasien DM dan keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peninfkatan prilaku sehat pasien. Prilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar glukosa darah secara mendiri, perencanaan diet, latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat glikemik yang benar dan mneghindari rokok (Rondhianto, 2012)
40 Atak (2007) mengatakan bahwa Peningkatan efikasi diri sebagai hasil dari intervensi jangka pendek berupa edukasi karena pasien berpikir mereka bisa dengan mudah melakukan kegiatan yang diharapkan dari mereka karena pengetahuan yang didapat dari edukasi tentang mengelola penyakit mereka dapat mengubah perilaku manajemen diri.
Teaching (pendidikan kesehatan) merupakan intervensi untuk
meningkatkan pengetahuan pasien tentang DM dan perawatannya, yang dapat meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien. Perawat perlu melakukan pendidikan kesehatan terstruktur dan berkala dalam waktu tertentu untuk meningkatkan pengetahuan pasien. Selain itu bisa juga dengan membuat suatu kelas untuk pendidikan kesehatan yang dapat dievaluasi baik melalui penelitian atau hasil diagnostik seperti hasil laboratorium (Ariani, 2011)
Hasil penelitian Temple (2003) tentang pengaruh diabetes self-care
management education terhadap efikasi diri, perawatan diri dan penilaian
psikologis pada pasien diabetes menunjukkan hasil bahwa diabetes self-care
management education yang dilakukan memfasilitasi peningkatan prilaku
perawatan diri pasien pada masalah diet, olah raga dan pemeriksaan glukosa darah, namun tidak terhadap pengobatan
2.5. Landasan Teori
2.5.1. Sejarah Dorothea Orem Orem mengembangkan konsep keperawatan tentang perawatan diri sendiri dan dipulikasikan dalam keperawatan. Tahun 1980 mempublikasikan buku kedua
41
41 yang berisi tentang edisi pertama diperluas pada keluarga, kelompok dan masyarakat. Tahun 1985 mempublikasikan buku kedua yang berisi tentang tiga teori, yaitu: Theory self care, theory self care deficit, theory system keperawatan.. Dalam bidang keperawatan dapat dikatakan bahwa ahli Keperawatan dari Amerika, adalah Dorothea E. Orem, termasuk salah seorang yang terpenting diantara orang yang mengembangkan pandangan dalam bidang Keperawatan.
2.5.2. Self-Care Ceficit Theory of Nursing
Self-Care Deficit Theory of Nursing yang dikembangkan oleh Dorothea Orem
terdiri dari tiga teori umum yang saling berkaitan, yaitu : a.
The Theory of Self-Care Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic
conditioning factors ), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care ). demand
Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Jika perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu dalam mengembangkan potensi dirinya. (Orem, 1991)
Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan diri.
42 Faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factor) yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic
self-care demand ), yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bantuan untuk
memenuhi syarat perawatan diri.b.
The Theory of Self-Care Deficit Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem. Teori ini mengambarkan kapan keperawatan dibutuhkan. Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan diri yang efektif. Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan deficit dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau keduanya.
Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa, kebutuhan melebihi kemampuan perawatan, kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya; bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi
43 support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi pendidikan pada orang lain.