BAB I PENDAHULUAN - Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Berbasis Lokal di Nagari Limo Kaum Kecamatan Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

  Nagari merupakan pemerintahan terendah setingkat desa di Propinsi Sumatera Barat, terdiri dari himpunan beberapa suku, mempunyai Kerapatan Adat Nagari, mempunyai batas-batas wilayah tertentu, serta berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Daerah Sumatra Barat No. 9 tahun 2000, pasal 2 dan 3 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Pengambilan keputusan perencanaan publik di nagari dilakukan secara terdesentralisasi mengikuti proses bottom-up

  

planning , yang dimulai dari pemerintahan terendah yang paling dekat dengan

rakyat.

  Istilah pemerintahan nagari dahulunya sudah ada, namun hilang selama Pemerintahan Orde Baru dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan landasan pengaturan pemerintahan desa dan telah menyeragamkan sistem pemerintahan terendah diseluruh Indonesia. Desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah lansung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara kesatuan Republik Indonesia.

  Perubahan Nagari menjadi desa sebagai pemerintahan terendah di Indonesia, menimbulkan perbedaan karakter serta kultur sosial-budaya masyarakat Minangkabau yang menonjol. Berdasarkan data dari LKAAM tahun 2002, Nagari di Sumatera Barat yang pada saat itu berjumlah sekitar 543 diubah menjadi 3.138 desa. Hal ini dilakukan agar desa mendapatkan Dana Bantuan Pembangunan Desa (bangdes) dari pemerintah pusat. Berdasarkan data LKAAM tahun 2002 dijelaskan beberapa dampak dari hilangnya Pemerintahan Nagari dari Sumatera Barat, antara lain: a.

  Menghilangkan jati diri masyarakat Minangkabau dalam rangka pemahaman dan penghayatan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

  b.

  Hubungan antara pemerintah dengan anak nagari dan masyarakat sekitar menjadi semakin berkurang dan semakin hilang c.

  Hilangnya batas-batas nagari sehingga wilayah nagari terpecah.

  Pembentukan dan pemekaran desa menyebabkan hilangnya syarat wilayah nagari.

  d.

  Hilangnya tokoh Wali Nagari. Tugas dan fungsi wali Nagari tidak dapat digantikan oleh Kepala Desa atau Lurah. Wali Nagari merupakan sosok tokoh yang tidak hanya memhami adat istiadat, juga memhami seluk beluk pemerintahan nagari serta taat beragama.

  Sedangkan kepala desa atau lurah merupakan orang-orang muda yang kurang memahami adat istiadat setempat bahkan bukan putra daerah setempat. e.

  Aspirasi anak nagari dalam pembangunan kehilangan wadah aslinya dan tidak ada kontor sosial dari masyarakat terhadap keputusan yang ditetapkan Kepala Desa.

  f.

  Sistem sentralistik selama masa pemerintahan orde baru mengurangi nilai-nilai luhur yang diwarisi sejak lama g.

  Sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami tentang nagari terutama generasi muda yang berdomisili di kota.

  h.

  Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin terpinggirkan dan kehilangan fungsinya.

  Pada masa Revormasi Indonesia, pemerintah memberlakukan Otonomi daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang otonomi Daerah. Wilayah Sumatera Barat merespon undang-undang tersebut dengan penerapan sistem pemerintahan nagari dan menggunakan istilah “babaliak ka Nagari” atau kembali ke nagari. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatra Barat No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Peraturan Daerah ini menjelaskan bahwa pemerintahan terendah di Sumatera Barat adalah nagari, kemudian direvisi dengan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari yang menyatakan bahwa nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi

  Kitabullah ).

  Nagari diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan filosofi adat, sehingga nilai nilai adat dalam tata kehidupan masyarakat nagari melekat dengan kuat. Nagari berwenang untuk mengurus urusan pemerintahan, urusan adat, urusan perekonomian, serta urusan kerentraman dan ketertiban. Nagari juga berwenang untuk mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada Nagari serta tugas pembantuan lainnya.

  Masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Propinsi Sumatera Barat sangat kental dengan nilai dan norma adat istiadatnya. Dengan kembali kenagari, memberikan peluang kembali kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang sesuai dengan bentuk dan susunan pemerintahan desa berdasarkan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Masyarakat Sumatera Barat dikenal demokratis dan aspiratif melalui tradisi musyawarah mufakatnya yang ttuang dalam kelembagaan adat.

  Mengembalikan fungsi nagari atau kesatuan masyarakat lokal dalam masyarakat Minangkabau merupakan salah satu program pembangunan daerah yang sangat strategis untuk membangun masyarakat. Pada pemerintahan Orde Baru, pelaksanaan pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pendekatan pembangunan berbasis masyarakat mulai ditinggalkan. Pada akhirnya, mulai dirasakan kembali adanya kecenderungan untuk menuju pembangunan aspek manusia dan masyarakat.

  Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa yang mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, huta/nagori di Sumatera Utara, Gampong di Aceh, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di lampung, desa prakaman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, Banua dan wanua di Kalimantan dan negeri di Maluku. Keberadaan daerah-daerah itu wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

  Melalui perubahan Undang-undang Negara Republik Indonesia kepada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka dalam pasal 18 B ayat (2) dikatakan bahwa negara mengakui dan menghormat kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanga masyarakatnya dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya penggabungan fungsi

  

self-governing community dengan local self goverment, diharapkan kesatuan

masyarakat hukum adat ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat.

  Dalam pelaksanaan tugasnya desa adat melaksanakan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan aslinya. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Nagari (desa adat) memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa, pembangunan desa, serta mendapatkan fasilitas dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/kota.

  Pembangunan Nagari bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Nagari dan kualitas hidup manusia melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Nagari menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangnnya mengacu pada perencanaan pembangunan pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota sebagai acuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari.

  Pendekatan proses dalam pelaksanaan pembangunan yang memanusiakan manusia, akan dapat menunjukkan proses yang menggambarkan kapasitas masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus melibatkan semua pihak (stakeholders) yang bukan hanya sebagai objek tetapi sebagai subjek dalam pelaksanaan pembangunan. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan bukan karena mobilisasi, melainkan sebagai bentuk partisipasi yang dilandasi oleh determinasi dan kesadaran.

  Salah satu bentuk pelibatan dalam partisipasi yang bukan mobilisasi masyarakat yaitu dalam keseluruhan proses pembangunan yang dimulai dari tahap identifikasi masalah, perumusan program, pengelolaan dan pelaksanaan program, evaluasi serta menikmati hasil program. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar percepatan pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, dan pengentasan kemiskinan.

  Paradigma pembangunan yang ada saat ini menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Artinya, pemerintah tidak lagi sebagai penyedia dan pelaksana, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator dan katalisator dari dinamika pembangunan, sehingga dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan, masyarakat mempunyai hak untuk terlibat dan memberikan masukan dan mengambil keputusan dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya. Kontribusi masyarakat dalam proses pembuatan perencanaan pembangunan daerah merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program yang telah ditentukan (Mustopadidjaja, Prisma 1996).

  Arah pembangunan yang terencana dengan baik dan dinamis sangat dipengaruhi adanya peran serta masyarakat maupun unsur-unsur dalam masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini jelas di atur dalam UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjelaskan bahwa tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintah/perangkat daerah dipusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.

  Konsep perencanaan pembangunan yang berasal dari bawah (bottom-up

  

planning ) yang telah diterapkan dalam kegiatan Musrenbang (Musyawarah

  Pembangunan Desa), rapat LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) tingkat Kecamatan, Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) tingkat Kabupaten dan Propinsi serta Rakornas (Rapat Koordinasi Nasional) tingkat pusat, hingga kini belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini terbukti dengan masih adanya beberapa usulan dari desa (dalam Musrenbang) yang hanya dirumuskan oleh beberapa orang saja, dan bahkan masih terkadang ditemukan usulan yang dirumuskan hanya oleh Kepala Desa LKMD atau seringkali pula dilakukan intervensi dari pemerintah tingkat kecamatan (Adisasmita, 2006)

  Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang dilaksanakan mulai dari tingkat Nagari/kelurahan hingga kabupaten/kota guna menampung aspirasi masyarakat yang lazim ditunggangi unsur politik dan tarik menarik kepentingan. Sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

  Rangkaian/tahapan pengusulan anggaran pembangunan yang kadang tidak sesuai dengan plavon anggaran APBD. Akibatnya banyak usulan yang tidak tertampung dan akhirnya rancangan tersebut menjadi sia-sia (Harian Rakyat Sumbar, Kamis 27 Februari 2014).

  Perencanaan merupakan tahap yang paling awal dan paling vital dalam pembangunan. Perencanaan pembangunan sebagai penentu utama dalam keberhasilan pembangunan yang akan dilaksanakan. Perencanaan mutlak diperlukan dalam setiap kegiatan, tanpa adanya perencanaan akan terjadi kesimpangsiuran dalam menjalankan suatu kegiatan. Perencanaan yang baik dan matang akan melahirkan hasil yang baik pula. Pembangunan diartikan sebagai upaya untuk memajukan kehidupan masyarakat dan negaranya. Seringkali kemajuan yang dimaksud terutama adalah pada kemajuan material, maka pembangunan sering diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat dibidang ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembangunan adalah sumber daya negara yang dimiliki, kebijaksanaan dan sasaran yang dijalankan pemerintah, tersedianya modal dan teknologi, dan suasana perdagangan internasional.

  Sesuai dengan amanat yang diemban dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perencanaan pembangunan dan pelaksanannya harus berorientasi ke bawah dan melibatkan masyarakat luas.

  Melalui pemberian wewenang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ditingkat daerah. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi masyarakat banyak, sehingga pembangunan yang dilaksananakan mampu memberdayakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan, masyarakat perlu dibina dan disiapkan untuk dapat merumuskan sendiri permasalahan yang dihadapi, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah diprogramkan, menikmati produk yang dihasilkan dan melestarikan program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan.

  Dari berbagai kajian yang ada, dapat diasumsikan bahwa perencanaan itu merupakan sesuatu yang dinamis sesuai dengan kondisi dan arah yang akan dicapai. Menurut Arifin (2008) kedinamisan tersebut dalam proses pembangunan dapat dilihat dari faktor sifat, ruang lingkup dan pelaku perencanaan pembangunan itu sendiri yang dapat berubah sesuai dengan dinamika pembangunan yang ada maupun yang diciptakan.

  Pelaksanaan Pembangunan berikut dengan strategi-strategi yang telah ada, hingga saat ini belum menemui titik jenuh dan masih kerap terjadi perkembangan mode teori pembangunan. Menurut Mahbub Ul Haq, ada 7 dosa Perencana Pembangunan yang telah mengantisipasi dan memilih startegi pembangunan yang akan diterapkan pada wilayahnya, antara lain a.

  Permainan angka, b. Pengendalian yang berlebihan c. Penghitungan tingkat penanaman modal d. Perkembangan mode-mode pembangunan e. Sering membedakan antara perencanaan dan pelaksanaan f. Kecendrungan mengabaikan sumber daya Manusia g.

  Pertumbuhan tanpa keadilan Penyelenggaraan pemerintahan Nagari di Kabupaten Tanah Datar telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008

  Tentang Nagari. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari serta ikut serta Kerapatan Adat Nagari sebagai Lembaga tertinggi dalam penyelenggaraan adat di nagari. Wali Nagari mempunyai tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, urusan pembangunan dan kemasyarakatan.

  Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Nagari disusun perencanaan pembangunan Nagari sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan Nagari. Perencanaan pembangunan nagari disusun secara partisipatif dan melibatkan lembaga kemasyarakatan Nagari. Perencanaan pembangunan dilakukan secara berjangka meliputi, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) per 5 tahunan serta Rencana Kerja Pembangunan Nagari (RKP-Nagari) yang merupakan penjabaran dari RPJMN untuk jangka waktu 1 tahun.

  Limo kaum merupakan salah satu nagari yang termasuk kedalam wilayah kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Propinsi Sumatra Barat.

  Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 17 tahun 2001 tentang Sistem Pemerintahan Nagari yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 tahun 2008 tentang Nagari, maka sebanyak delapan pemerintahan kelurahan dan desa yang ada dalam kenagarian Limo kaum digabung menjadi satu wilayah administrasi pemerintahan nagari sebagaimana diberlakukannya undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa dengan delapan jorong yaitu Jorong Dusun Tuo, Jorong Koto Gadih, Jorong Balai Batu, Jorong Tigo Tumpuak, Jorong Balai Labuah Ateh, Jorong Balai Labuah Bawah, Jorong Kubu Rajo dan Jorong Piliang.

  Nagari limo Kaum disebut sebagai Nagari yang berdiri lebih awal. Hal ini dikarenakan menurut tambo, jauh sebelumnya Jorong Dusun Tuo merupakan tempat kedudukan pusat pemerintahan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sebagai pimpinan Kelarasan Bodi Chaniago. Ditempat ini terdapat saksi bisu peninggalan sejarah berupa batu berlubang atau disebut “Batu Batikam” yang diyakini merupakan wujud ikrar kesepakatan pembagian wilayah antara Datuak Parpatiah Nan Sabatang dengan Datuak Katumangguangan sebagai pimpinan Kelarasan Koto Piliang.

  Pemikiran tentang penelitian ini berangkat dari realitas bahwa kelembagaan lokal yang mempunyai keterikan tinggi dengan kearifan lingkungan lokal masyarakat Nagari Limo Kaum yang menjadi dasar pemikiran konsep perencanaan pembangunan berbasis lokal melalui kelembagaan adat dan kearifan lokal masyarakat. Namun masih sedikit ditemukan bukti empiris yang dapat menjelaskan kinerja kelembagaan adat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan publik yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, khususnya dalam perencanaan pembangunan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Berbasis Lokal di

  Nagari Limo Kaum Kecamatan Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar? 2. Bagaimana Peran Kelembagaan Adat dalam pelaksanaan Perencanaan

  Pembangunan di Nagari Limo Kaum?

  1.3 TUJUAN PENELITIAN

  Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti mempunyai jalan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraannya. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui pelaksanaan perencanaan berbasis lokal di Nagari Limo Kaum 2. Untuk mengetahui peranan Kelembagaan Adat dan kearifan lokal masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan di Nagari Limo

  Kaum

  1.4 MANFAAT PENELITIAN

  Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1.

  Manfaat secara subjektif

  Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiah, sistematis, dan membuatnya menjadi karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori maupun aplikasi yang diperoleh dari ilmu Administrasi Negara.

  2. Manfaat secara akademis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah kepustakaan sehingga dapat menambah bahan kajian perbandingan bagi yang memanfaatkannya.

  3. Manfaat secara praktis Diharapkan dapat menjadi manfaat kepada masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam menyusun perencanaan pembangunan di wilayahnya, agar perencanaan yang dibuat menjadi berguna dan tepat sasaran.

1.5 Kerangka Teori

  Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep dan kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir untuk menunjukkan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi objek penelitian (Singarimbun, 2008).

  Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Singarimbun, 2008).

  Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam kerangka teori ini penulis akan mengemukakan teori, gagasan dan pendapat yang akan dijadikan titik tolak landasan berpikir dalam penelitian ini. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.5.2 Perencanaan Pembangunan

1.5.1.1 Perencanaan

  Perencanaan menurut Sondang P. Siagian (1980) mendefinisikannya sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Menurut George R. Terry dalam Arifin Nasution (2008), perencanaan adalah upaya untuk menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan termasuk kedalam kelompok ilmu terapan atau applied sciences dari ilmu-ilmu sosial, sebab prinsip-prinsip dan rumusan-rumusannya bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan manusia.

  Menurut Robinson Tarigan (2005) mengatakan bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dengan mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor tidak terkontrol yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut.

  Jadi perencanaan dapat diartikan sebagai suatu usaha memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta membuat dan menggunakan dugaan- dugaan mengenai masa yang akan datang dalam hal menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang dianggap perlu untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan.

  Adapun fungsi-fungsi perencanaan antara lain: 1.

  Fungsi pengorganisasian, apa yang telah direncanakan harus diorganisisr dengan baik. Mengatur distribusi tugas, wewenang dan sumberdaya dalam aktivitas pencapaian tujuan.

  2. Fungsi kepemimpinan, diperlukan seseorang yang memimpin untuk mengarahkan pelaksanaan tugasnya masing-masing dalam suatu organisasi perencanaan pembangunan 3. Fungsi control, diperlukan untuk mengukur kesesuaian perencanaan sebelumnya dengan pelaksanaanya.

  Alasan dilakukannya perencanaan dilihat dari segi perencanaan sebagai suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan menurut Saul M. Kantz dalam Bintoro (1985) adalah: 1.

  Dengan adanya perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan.

2. Dengan adanya rencana maka akan ada suatu alat pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan/evaluasi.

  3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara yang terbaik atau kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik.

  4. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas.

  Memilih urutan-urutan dari pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya.

  5. Pada perencanaan akan dilakukan suatu perkiraan (forecasting) terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui.

  Jenis-jenis perencanaan di Indonesia menurut Arifin Nasution, antara lain:

  1. Jenis Top Down dan Bottom Up Planning

Top Down Planning merupakan salah satu jenis perencanaan

  yang menitikberatkan pada tipe perencanaan yang terpusat. Artinya kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih tinggi dan digunakan sebagai bagian rencana dari institusi yang lebih rendah. Sedangkan bottom up

  

planning adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan

  itu berada pada institusi yang lebih rendah, dimana institusi perencana pada level yang lebih tinggi harus menerima usulan- usulan yang diajukan oleh institusi perencana pada tingkat yang lebih rendah. Proses Top Down dan Bottom Up lebih mencerminkan proses perencanaan dalam pemerintahan, yaitu dari lembaga/departemen dan daerah ke pemerintah pusat.

  Umumnya terjadi adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan tetapi dari rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah top-

  

down maka perencanaan itu disebut sentralistik, sedangkan

  apabila yang dominan adalah bottom-up maka perencanaan itu disebut desentralistik.

  2. Jenis Vertical dan Horizontal Planning Vertical Planning adalah perencanaan yang lebih

  mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi menekankan pada pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi yang sama (sektor yang sama).

  

Horizontal Planning lebih menekankan pada keterkaitan antar

  berbagai sektor sehingga berbagai sektor itu dapat berkembang secara sinergi. Pada horizontal planning kegiatan masing- masing sektor dibuat saling terkait dan menjadi sinkron sehingga sasaran umum pembangunan wilayah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Antara kedua model perencanaan itu harus terdapat arus bolak-balik sehingga menghasilkan rencana yang baik.

3. Jenis Partisipatif Planning

  Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif ini, istilah “stakeholder” menjadi sangat meluas.

  Perencanaan partisipatif merupakan perencanaan yang melibatkan pastisipasi seluruh stakeholder dalam pengambilan keputusan perencanaan di semua tahapan perencanaan. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara halus atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah, perencanaan dan pembuatan kebijakan sudah dijamin dalam konstitusi negara maupun dalam peraturan perundang-undangan. Namun, dalam prakteknya, kualitas partisipasi masyarakat masih jauh dari ideal.

  Beberapa masalah tentang pastisipasi, misalnya: a.

  Masih rendahnya akses terhadap informasi publik b. Rendahnya komitmen pemimpin dan partai politik di tingkat lokal c.

  Blocking dari kelompok elit lokal d. Kemandirian organisasi warga e. Proses partisipasi tanpa substansi f. Apatisme masyarakat Sesuai dengan Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka sistem Perencanaan Pembangunan nasional mencakup pada lima pendekatan yaitu, 1.

  Politik 2. Teknokratik 3. Partisipatif 4. Atas-bawah (top-down) 5. Bawah-atas (bottom-up)

  Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan (, :

1. Perencanaan Teknokrat

  Perencanaan teknokrat adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang terdidik yang meski tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat ini bisa berasal dari pejabat pemerintah, non pemerintah atau perguruan tinggi. Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 tahun 2004, tentang sistem perencanaan pembangunan Nasional, perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.

  Tujuannya adalah untuk membangun perencanaan strategis dan perencanaan kontigensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi.

  Prinsip-prinsip perencanaan teknokratik menurut Prinsip-Prinsip penyusunan Renstra Satuan kerja perangkat Daerah (SKPD) tahun 2011 adalah, a.

  Ada rumusan isu dan permasalahn pembangunan yang jelas b.

  Ada rumusan prioritas isu sesuai dengan urgensi, kepentingan dan dampak isu terhadap kesejahteraan masyarakat c. Ada rumusan tujuan pembangunan yang memenuhi kriteria d.

  Ada rumusan alternatif strategi untuk pencapaian tujuan e.

  Ada rumusan kebijakan untuk masing-masing strategi f. Ada pertimbangan atas kendala ketersediaan sumberdaya dan dana g.

  Ada prioritas program h. Ada tolak ukur dan target kinerja capaian program i. Ada indikator program j.

  Ada kejelasan penanggungjawab program k.

  Ada evaluasi terhadap proses perencanaan yang dilakukan l.

  Ada komunikasi dan konsultasi berkelanjutan m.

  Ada instrumen, metodologi, pendekatan yang tepat digunakan untuk mendukung proses perencanaan

2. Perencanaan Partisipatif

  Perencanaan partisipatif merupakan proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholder). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, pengusaha, kelompok professional, serta organisasi-organisasi non-pemerintah. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan untuk mengamodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.

  Tujuannya adalah agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.

  Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif menurut Prinsip-Prinsip penyusunan Renstra Satuan kerja perangkat Daerah (SKPD) adalah, a.

  Ada identifikasi stakeholder yang relevan untuk dilibatkan dalam proses perumusan visi, misi dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan keputusan penyusunan renstra SKPD b.

  Ada kesetaraan antara government dan non-government

  

stakeholder dalam pengambilan keputusan

c.

  Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan d.

  Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat terutama kaum perempuan dan kelompok marginal e. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra

  SKPS f. Ada pelibatan media g.

  Ada kesepatan bersama pada semua tahapan penting dalam pengambilan keputusan

3. Perencanaan Top-Down

  Perencanaan top-down adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah, menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya. Tujuannya adalah untuk menyeragamkan perencanaan pembangunan daerah yang mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis). Prinsip-prinsip perencanaan Top-Down menurut Prinsip-Prinsip penyusunan Renstra Satuan kerja perangkat Daerah (SKPD) adalah, a.

  Ada sinergi dengan RPJM Nasional dan Renstra Kementrian/lembaga b. Ada sinergi dan konsistensi dengan RPJPD dan

  RPJMD c. Ada sinergi dan konsistensi dengan RTRW daerah d.

  Ada sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan- tujuan pembanguann

4. Perencanaan Bottom-up

  Perencanaan Bottom-up adalah pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling rendah menuju ke atas.

  Tujuannya adalah untuk menghimpun masukan dari bawah. Prinsip-prinsip perencanaan bottom-up menurut Prinsip-Prinsip penyusunan Renstra Satuan kerja perangkat Daerah (SKPD) adalah, a.

  Ada penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarkat untuk melihat konsistensi dengan visi, misi dan program kepala daerah terpilih b. Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan daerah c. Mempertimbangkan hasil forum multi stakeholder

  SKPD d. Memperhatikan hasil proses Penyusunan Renstra SKPD.

1.5.1.2 Pembangunan

  Pembangunan berasal dari kata “development”. Kata “development” ini diartikan sebagai pembangunan atau perkembangan dan perubahan sosial. Pembangunan merupakan konsep normatif yang mengisyaratkan pilihan-pilihan tujuan untuk mencapai apa yang disebut sebagai realisasi potensi manusia. Pembangunan tidak sama maknanya dengan modernisasi, jika memahami secara jelas mengenai makna sesungguhnya dari hakikat pembangunan itu sendiri.

  Pembangunan adalah sebuah proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Disamping itu pembangunan itu sendiri adalah sebagai usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan, perubahan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian,

  1980). Pengertian tersebut memiliki arti bahwa pembangunan merupakan suatu proses perbaikan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa secara terencana.

  Pembangunan menurut pengertian umum adalah suatu upaya terencana untuk merubah wilayah dan masyarakat menuju keadaan lebih baik. Dari tinjauan Ilmu sosial, pembangunan diartikan sebagai perubahan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara optimal. Strategi pembangunan berkembang dari masa ke masa secara dinamis sesuai dengan konteks peradaban. Paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi mulai ditinggalkan karena tidak dapat menjawab masalah sosial seperti kemiskinan, kenakalan, kesenjangan, dan keterbelakangan. Paradigma pembangunan kemudian bergeser ke arah pendekatan masyarakat yang sebelumnya sebagai objek menjadi subjek pembangunan. Paradigma baru ini berbasis komunitas dengan memberikan tempat utama bagi prakarsa, keanekaragaman lokal, dan kearifan lokal.

  Menurut Todaro dalam buku Arifin Nasution (2008), mengatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses multidimensial yang meliputi perubahan-perubahan struktur sosial, struktur masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan. Kemiskinan bukan hanya fenomena semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak, yang melibatkan masalah pengorganisasian dan peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi jamak dalam hal ini artinya membahas komponen-komponen ekonomi maupun non-ekonomi.

  Sedangkan pembangunan yang dilakukan Negara-Negara berkembang secara umum merupakan suatu proses kegiatan yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan. Jadi, pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok- kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik secara material maupun spiritual.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembangunan adalah sumber daya negara yang dimiliki, kebijaksanaan dan sasaran yang dijalankan pemerintah, tersedianya modal dan teknologi dan suasana perdagangan internasional. Beberapa pendekatan dalam pembangunan antara lain: 1.

  Pendekatan pembangunan bangsa (sociocultiral development

  approach )

  Pendekatan pembangunan ini tidak hanya menekankan pada pembangunan fisik saja, juga pada pembangunan mental dan kultur masyarakatnya. Ada dua permasalahan yang ditemukan dari segi ruang lingkup pendekatan ini, yaitu: a.

  Pembangunan politik (political development) Pembangunan politik sebagai suatu proses pembinaan bangsa (nation building) yang ditujukan untuk melakukan perubahan-perubahan institusional dalam sistem pemerintahan dan politik dan dalam sistem kelembagaan sosial ekonomi suatu bangsa yang tidak dapat dipisahkan.

  b.

  Pembangunan sosial budaya (socio cultural development) Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan perubahan- perubahan dan pembaharuan-pembaharuan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh serta dilakukan secara sinergis dan simultan dalam suatu proses pembangunan.

2. Pendekatan pembangunan ekonomi

  Pendekatan pembangunan ekonomi dibagi atas 3 aliran: a.

  Aliran klasik Tokoh sentral dalam aliran klasik yaitu Adam Smith. Adam Smith sangat percaya bahwa campur tangan pemerintah akan membentuk keseimbangan dalam perekonomian masyarakat. Ajaran Adam Smith ini dalam prakteknya banyak menimbulkan kepincangan social, yang memunculkan jurang pemisah yang sangat dalam diantara pelaku ekonomi dan masyarakat secara umum. b.

  Aliran Keynesian Aliran Keynesian membantah ajaran Smith, karena menurutnya campur tangan pemerintah secara tidak lansung dalam sistem perekonomian masyarakat sangat diperlukan. Aliran ini lebih memfokuskan pada analisa ekonomi jangka pendek. Dampak yang ditimbulkan dari pandangan ini yaitu berkembangnya model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod dan Domart yang intinya bahwa pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang melalui tabungan atau investasi dan produktivitas capital.

  c.

  Aliran neo-klasik Laju pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh pertambahan dalam penawaran faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi. Dalam perkembangannya, ada suatu pemikiran yang menyatakan peran perdagangan sebagai faktor penting diluar modal dan tenaga kerja.

3. Pendekatan-pendekatan lain

  Menurut Rostow (1960) transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat terjadi setelah melalui urutan tahapan pembangunan. Lima tahapan pembangunan yang harus dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunan adalah: a.

  Masyarakat tradisional (traditional society) b. Masa menjelang pertumbuhan (pre-condition of growth) c.

  Tinggal landas (take-off) d. Pengendalian kelahiran (the drive of maturity) e. Era masyarakat komsumtif (the age of high mass-

  comsumption)

1.5.1.3 Perencanaan Pembangunan

  Perencanaan dapat dikaitkan dengan konteks pembangunan dimana dalam pembangunan terdapat suatu perencanaan agar sasaran pembangunan tercapai sehingga dikenal istilah perencanaan pembangunan. Perencanaan menurut Nugroho (2003) adalah kegiatan dari pembangunan yang paling prioritas, karena perencanaan dalam pembangunan menentukan arah, prioritas dan strategi pembangunan.

  Menurut Kuncoro dalam Kuncoro (2004) “perencanaan pembangunan merupakan upaya yang bertujuan untuk memperbaiki sumber daya publik yang tersedia untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dan publik dalam menciptakan nilai sumber daya swasta dan publik yang bertanggung jawab demi kepentingan pembangunan masyarakat yang menyeluruh”. Pendapat lain yang mendefenisikan perencanaan pembangunan dalam tulisan Kuncoro dikemukakan oleh Soedjono Adipraja “Perencanaan pembangunan adalah suatu tekhnik atau cara yang akan dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan dari sasaran pembangunan yang telah dirumuskan melalui Badan Perencanaan Pembangunan tingkat pusat dan daerah”.

  Untuk lebih mengenal dimensi-dimensi dalam konsep perencanaan pembangunan yang memiliki pedoman secara umum dapat dilihat dari dimensi ciri perencanaan pembangunan. Menurut Tjokroamidjojo (1985) ada 8 poin yang menjadi ciri-ciri atau indikator sebuah perencanaan pembangunan secara umum yaitu: 1.

  Merupakan suatu usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang tetap. Hal ini dicerminkan dalam usaha peningkatan produksi nasional, berupa tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang positif,

  2. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Ciri ini adalah kelanjutan dari ciri yang pertama. Laju pertumbuhan ekonomi yang positif, yaitu setelah dikurangi dengan laju pertumbuhan penduduk menunjukkan pula kenaikan pendapatan perkapita.

  3. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya negara-negara baru berkembang struktur ekonominya lebih cenderung kearah agraris,dan hal ini menyebabkan terdapatnya kelemahan-kelemahan konjungtural. Oleh karena itu diusahakan lebih adanya keseimbangan dalam struktur ekonomi.

  4. Usaha perluasan kesempatan kerja. Selain untuk mengurangi adanya pengangguran, hal ini juga bertujuan untuk menampung masuknya golongan usia kerja baru dalam kehidupan ekonomi.

  5. Usaha pemerataan pembangunan (distributive justice). Pemerataan ini ditujukan kepada pemerataan pendapatan antara golongan- golongan dalam masyarakat dan pemerataan pembangunan antara daerah-daerah dalam negara.

  6. Usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang lebih menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan.

  7. Usaha untuk mengupayakan kemampuan membangun secara bertahap lebih didasarkan kepada kemampuan nasional (dalam artian tidak terlalu menggantungkan terhadap pinjaman luar negeri).

  8. Usaha secara berkelanjutan dalam menjaga stabilitas ekonomi.

  Perencanaan itu merupakan sesuatu yang dinamis sesuai dengan kondisi dan arah yang akan dicapai. Kedinamisan tersebut dalam proses pembangunan dapat dilihat dari faktor sifat, ruang lingkup dan pelaku perencanaan pembangunan itu sendiri yang dapat berubah sesuai dengan dinamika pembangunan yang ada maupun yang diciptakan (Arifin Nasution, 2008).

  Pada dasarnya perencanaan pembangunan menjadi kunci keberhasilan suatu pembangunan karena sesungguhnya ini adalah pekerjaan yang sangat rumit dan membutuhkan analisis kedepan yang cukup baik. Disinilah pembangunan akan menjadi sebuah praktek yang bergulir dari sebuah konsep, teori dan paradigma. Oleh karena itu pembangunan harus dimanajemeni dengan baik melalui proses perencanaan yang matang.

  Setiap perencanaan pembangunan pada dasarnya harus mengandung unsur-unsur pokok tertentu yang dijadikan acuan pembangunan, dengan adanya unsur-unsur pokok tersebut akan lebih memfokuskan arah, tujuan, dan keefektifan dalam pencapaian hasil akhir sebuah perencanaan pembangunan. Ada beberapa unsur pokok yang menjadi komponen dari perencanaan pembangunan menurut Tjokroamidjojo (1985) yaitu: 1.

  Kebijaksanaan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan, yang sering pula disebut tujuan, arah, dan prioritas pembangunan.

  2. Adanya kerangka rencana yang menunjukkan hubungan variabel- variabel pembangunan dan implikasinya.

  3. Perkiraan sumber-sumber pembangunan terutama pembiayaan.

  4. Adanya kebijaksanaan yang konsisten dan serasi, seperti kebijaksanaan fiskal, moneter, anggaran, harga, sektoral, dan pembangunan daerah.

  5. Adanya program investasi yang dilakukan secara sektoral.

  6. Adanya administrasi pembangunan yang mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

  Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, ada 4 (empat) tahapan dalam perencanaan pembangunan, yaitu:

  1. Tahap penyusunan rencana.

  Tahap ini dilaksanakan untuk dapat menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang sudah siap untuk ditetapkan, terdiri dari 4 langkah: a.

  Penyiapan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik menyeluruh dan terukur.

  b.

  Masing-masing instansi menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rencana pembangunan yang telah disiapkan.

  c.

  Melibatkan masyarakat dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing pemerintah melalui musyawarah perencanaan pembangunan.

  d.

  Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

  2. Tahap penetapan rencana.

  Tahap ini berfungsi sebagai penetapan rencana pembangunan tersebut menjadi suatu produk hukum yang mengikat semua pihak yang melaksanakan.

  3. Tahap pengendalian pelaksana rencana.

  Tahap ini dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang pada rencana kegiatan- kegiatan, serta koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan kementrian/ lembaga/satuan perangkat daerah.

  4. Evaluasi pelaksanaan.

  Evaluasi pelaksanaan adalah bagian dari perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian tujuan sasaran dan kinerja pembangunan.

  Perencanaan pembangunan yang efektif mengandung arti suatu perencanaan yang bisa membedakan apa yang seyogianya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan, dengan menggunakan berbagai sumber daya pembangunan sebaik mungkin yang benar-benar dapat dicapai dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan pada perencananya dengan objek perencanaannya. Seringkali terdapat kesalah pahaman dalam pengertian perencaan tersebut. Perencaan merupakan suatu proses terus menerus dan menyeluruh dari penyusunan suatu rencana, penyusunan program kegiatan, pelaksanaan serta pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.

  Beberapa tahapan proses perencaan menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1985) yaitu: 1.

  Penyusunan Rencana Terdiri atas unsur-unsur: a.

  Tinjauan keadaan b. Perkiraan keadaan masa yang akan dilalui rencana c. Penetapan tujuan rencana (plan objectives) dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana d.

  Identifikasi kebijaksanaan dan/atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan dalam rencana. e.

  Tahap persetujuan rencana 2. Penyusunan Program Rencana 3. Pelaksanaan Rencana 4. Pengawasan atas Pelaksanaan Rencana

  Tujuan dilakukan pengawasan yaitu: a.

  Agar pelaksanaan rencana sesuai dengan yang diinginkan.

  b.

  Apabila terdapat penyimpangan maka perlu diketahui seberapa jauh penyimpangan tersebut dan apa penyebabnya.

  c.

  Dapat dilakukan tindakan korektif terhadap penyimpangan- penyimpangan yang terjadi.

5. Evaluasi

1.5.1.4 Perencanaan Pembangunan Daerah

  Perencanaan pembangunan daerah menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) yaitu suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju kearah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh , lengkap tetapi tetap berpegang pada asas prioritas.

  Daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan berwenang mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakatnya.

  Ciri-ciri perencanaan pembangunan daerah, meliputi: 1.

  Menghasilkan program-program yang bersifat umum 2. Analisis perencanaan yang bersifat makro atau luas 3. Lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan jangka mengengah dan jangka panjang

  4. Memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas 5. Fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan perencanaan pembangunan jangka pendek.