Kaum Samurai di Jepang.

(1)

KAUM SAMURAI DI JEPANG

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

LUKTRI ARSHEILA NIM : 082203043

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2011


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas anugerah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan kertas karya ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatra Utara. Adapun judul kertas karya ini adalah “Kaum Samurai di Jepang”.

Sebagai sifat manusia dengan segala kekurangan, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan baik dalam tata bahasa maupun isi pembahasan. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan kertas karya ini.

Dalam penyusunan kertas karya ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak baik berupa bimbingan maupun pengarahan, oleh karenanya penulis pada kesempatan ini menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan kertas karya ini, terutama kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis. MA, selaku Dekan di Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Zulnaidi, S.S., M.Hum, selaku ketua Jurusan Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Zulnaidi, S.S., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Wali yang dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang bermanfaat kepada penulis hingga dapat menyelesaikan kertas karya ini.

4. Ibu Hj. Siti Muharami M, S.S., M.Hum, selaku Dosen Pembaca yang dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk membaca dan memberi pembenaran pada kertas karya ini. 5. Bapak dan Ibu dosen Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

yang telah mendidik dan membimbing penulis selama ini.

6. Tomo Sensei dan Mayumi Sensei, selaku dosen magang dari Jepang yang telah menambah pengetahuan saya tentang topik yang akan dibahas.


(3)

7. Para Staf pengajar maupun pembantu yang ada di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Lukman Muliawan dan Ibunda Hj. Nurlaitati Arbaiyah serta abang saya Lucki Armanda dan kakak saya Lufti Arlini yang selalu memberikan doa dan dorongan baik material maupun spiritual.

9. Muhammad Reza Sitompul, yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya kepada saya.

10.Keluargaku di kampus, Cendana Kazoku, Nana, Ola, Tia, Tiwi, Evi, Alvi, Reby, semoga kekeluargaan kita berlanjut terus sampai kita tua nanti.

11.Untuk semua mahasiswa dan mahasiswi D3 Bahasa Jepang yang telah meramaikan dan mewarnai kelas saat belajar, semua kenangan yang takkan terlupakan.

Terima kasih banyak untuk semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan, semoga kertas karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Penulis,

LUKTRI ARSHEILA NIM. 082203043


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1 . 1 Alasan Pemilihan Judul 1 . 2 Tujuan Pemilihan Judul 1 . 3 Pembatasan Masalah 1 . 4 Metode Penelitian BAB II SEJARAH SAMURAI

2 . 1 Sengoku Jidai 2 . 2 Sejarah Samurai BAB III SAMURAI

3 . 1 Jenis-jenis Senjata

3 . 2 Pelindung

3 . 3 Bertempur

3 . 4 Pelatihan

BAB IV KESIMPULAN 4 . 1 Kesimpulan

4 . 2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

       


(5)

ABSTRAK

Kita mengenal bahwa Jepang adalah Negara yang dipimpin oleh kaisar. Kaisar adalah orang yang paling dihormati di Jepang. Pada masa dahulu, di Jepang pernah terjadi periode perang atau yang lebih dikenal dengan Sengoku Jidai. Pada periode inilah muncul kaum Samurai atau yang lebih dikenal dengan kaum Bushi. Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang.

Kaum samurai biasanya memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat. Samurai memiliki peranan dalam pertempuran. Untuk itu mereka harus sudah dilatih pada masa kanak – kanak. Mereka yang sudah memilih jalan untuk menjadi samurai memegang amanat besar dalam mempertahankan Negara atau golongannya. Meskipun begitu, samurai tidak selalu harus mengangkat senjata untuk berperang. Beberapa samurai menjadi cendekiawan termasyur. Ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman, dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka dalam keadaan perang.

Samurai memiliki pakaian dan perlengkapan sendiri pada saat perang. Mereka memiliki pelindung untuk masing – masing anggota tubuh. Hal itu untuk mengurangi luka akibat serangan dari lawan. Senjata samuraipun tak hanya pedang samurai, masing banyak lagi senjata samurai, seperti busur, tombak, atau senjata api.

Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada zaman Pertempuran, atau periode Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550 – 1600, berkisar antara runtuhnya keshogunan Tokugawa.


(6)

Sampai pertengahan zaman Sengoku, seseorang yang tak terlahir dalam golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap. Marga yang dimaksud di sini adalah keluarga. Pada zaman sengoku tidak semua keluarga menggunakan marga, hanya kaum samurai, bangsawan, pedagang, dan pekerja seni saja yang memiliki marga.

Tempat tinggal samurai berupa bangunan serupa barak, namun ada pula yang memiliki rumah pribadi. Penetapan tempat tinggal mereka ditentukan oleh beragam faktor, antara lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan besar seperti barak di dalam pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah mungkin memiliki rumah petak sendiri dikawasan khusus pasangan suami – istri, sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri – sendiri.


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Jepang adalah Negara maju. Jepang berkembang dengan sangat pesat seiring berjalannya waktu. Hal itu dapat dibuktikan dengan cepatnya Jepang bangkit setelah perang dunia II dimana 2 kota di Jepang terkena bom yang dahsyat oleh tentara Amerika. Dua kota itu adalah Hiroshima dan Nagasaki. Jepang yang pada saat itu hanya berpenduduk 127 juta jiwa mampu membangun kembali negaranya.

Kini kita sudah dapat melihat bangunan – bangunan mewah dan gedung – gedung bertingkat yang ada di sepanjang jalan raya Jepang. Namun demikian, Jepang tidak pernah melupakan sejarahnya. Semua yang dicapai Jepang pada saat ini tidak terlepas dari sejarah.

Kita mengenal bahwa Jepang adalah Negara yang dipimpin oleh kaisar. Kaisar adalah orang yang paling dihormati di Jepang. Pada masa dahulu, di Jepang pernah terjadi periode perang atau yang lebih dikenal dengan Sengoku Jidai. Pada periode inilah muncul kaum samurai atau yang lebih dikenal dengan kaum Bushi. Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang.

Jadi dalam makalah ini yang akan penulis bahas bukan mengenai pedang samurai yang terkenal dari Jepang, melainkan zaman perang dimana samurai adalah sebutan untuk kaum elit yang tugasnya bekerja sebagai pelayan untuk majikannya. Pasti banyak yang mengira kalau samurai hanya dipakai untuk nama pedang di Jepang.


(8)

Samurai harus sopan dan terpelajar, dan semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang masa kini, sebagaimana aspek cara hidup mereka yang lain.

Kaum samurai biasanya memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat. Samurai memiliki peranan dalam pertempuran. Untuk itu mereka harus sudah dilatih pada masa kanak – kanak. Mereka yang sudah memilih jalan untuk menjadi samurai memegang amanat besar dalam mempertahankan Negara atau golongannya. Meskipun begitu, samurai tidak selalu harus mengangkat senjata untuk berperang. Beberapa samurai menjadi cendekiawan termasyur. Ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman, dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka dalam keadaan perang.

Samurai memiliki pakaian dan perlengkapan sendiri pada saat perang. Mereka memiliki pelindung untuk masing – masing anggota tubuh. Hal itu untuk mengurangi luka akibat serangan dari lawan. Senjata samuraipun tak hanya pedang samurai, masih banyak lagi senjata samurai, seperti busur, tombak, atau senjata api.

Jadi, untuk mengetahui tentang samurai lebih lanjut dan lebih mendalam, ada baiknya untuk anda membaca makalah yang telah dibuat oleh penulis ini. Supaya kita lebih mengetahui tentang samurai dan menambah ilmu bahwa samurai bukan hanya jenis pedang di Jepang, melainkan juga merupakan golongan kaum elit pada masa perang ( sengoku jidai ).


(9)

1.2 Tujuan Pemilihan Judul

Tujuan penulisan kertas karya ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang samurai di Jepang.

2. Memperkenalkan kepada pembaca terutama generasi muda bahwa samurai bukan hanya jenis pedang di Jepang melainkan juga merupakan sebutan untuk kaum elit di Jepang pada masa perang.

3. Untuk memberikan penjelasan tentang samurai dengan lebih mendalam agar mudah untuk dipahami.

4. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang budaya Jepang khususnya tentang samurai.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis hanya menceritakan tentang samurai pada zaman sengoku atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sengoku Jidai. Di sini penulis tidak membahas tentang samurai yang merupakan pedang khas Jepang. Karena keterbatasan bahan, penulis hanya memfokuskan pembahasan pada masa perang. Walaupun data mengenai tulisan tentang samurai yang dimiliki penulis sedikit, penulis berusaha mencoba menguraikannya.


(10)

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan kertas karya ini adalah studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data atau informasi dengan cara membaca buku yang berkaitan dengan objek pembahasan kertas karya ini.


(11)

BAB II

SEJARAH SAMURAI

2.1 Sengoku Jidai

Sengoku jidai atau yang disebut juga zaman sengoku dalam sejarah Jepang adalah masa pergolakan sosial, intrik politik, dan konflik militer hampir konstan yang berlangsung sekitar dari pertengahan abad ke-15 ke awal abad ke-17. Zaman ini disebut juga zaman Azuchi-Momoyama atau zaman Shokuho.

Istilah zaman Azuchi-Momoyama berasal dari nama istana (kastil) yang menjadi markas kedua pemimpin besar, Nobunaga di Istana Azuchi dan Hideyoshi di Istana Momoyama. Zaman ini dimulai sejak Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi menjadi penguasa Jepang dan berakhir ketika Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan pasukan pendukung Toyotomi Hideyori dalam Pertempuran Sekigahara tahun 1600.

Dahulu istana – istana di Jepang terbagi – bagi. Ada 2 istana di Jepang yang menjadi pokok terjadinya Zaman Azuchi-Momoyama, yaitu istana Azuchi dan istana Momoyama. Istana Azuchi dipimpin oleh Nobunaga dan istana Momoyama dipimpin oleh Hideyoshi. Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi dibantu Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Jepang. Tahun 1568 M Nobunaga berhasil merampas Kyoto dan mengangkat Ashikaga Yoshiaki sebagai Shogun boneka (Shogun adalah orang yang kekuasaannya ada di tangan majikannya). Jadi kekuasaannya ada di tangan Nobunaga.

Nobunaga memerintahkan Hideyoshi untuk menundukkan kerajaan di sebelah barat, dan memerintahkan Ieyasu untuk menundukkan kerajaan di sebelah timur dan utara. Sementara


(12)

dirinya sendiri membereskan bagian pusat. Nobunaga mendapat perlawanan dari kaum padri yang menjadikan biara-biara Buddha sebagai benteng pertahanan. Serangan Nobunaga yang sangat keras terhadap Buddhisme akhirnya dapat menghancurkan biara-biara tersebut. Dia dibantu orang-orang Kristen dari Portugis dengan senjata apinya. Nobunaga mengijinkan pelaksanaan perdagangan bebas, terutama dengan bangsa Portugis dan Spanyol, serta melindungi agama Kristen. Hal itu dilakukan untuk menekan agama Buddha dan mendapatkan senjata api.

Tahun 1573 Masehi Nobunaga mendirikan istana Azuchi. Saat Nobunaga melanjutkan masalah penyatuan negeri, dia meninggal karena dibunuh pengikutnya yang bernama Akechi Mitsuhide pada tahun 1582 Masehi.

Kekuasaan Nobunaga berpindah ke Toyotomi Hideyoshi. Hideyoshi kemudian membangun istana Momoyama (Fushimi) sebagai tempat tinggalnya, tetapi tempat pemerintahannya ada di istana Osaka (Himeji). Hideyoshi berhasil menyatukan Jepang pada tahun 1590 M setelah menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu.

Saat berkuasa Hideyoshi mengontrol kekuasaan para daimyo (orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah) dan menetapkan cara menarik pajak yang disebut Taikokenchi serta mengatur para petani untuk mencegah timbulnya pemberontakan petani. Dengan demikian pembagian antara daimyo dan petani semakin maju. Hideyoshi pun berniat meluaskan kekuasaannya sampai ke Korea pada tahun 1592 M dan 1597 M tetapi gagal. Zaman Azuchi-Momoyama berakhir setelah Toyotomi meninggal dalam pertempuran Sekigahara melawan Tokugawa Ieyasu.

Pertempuran Sekigahara adalah pertempuran yang terjadi tanggal 15 September 1600 menurut kalender lunar (21 Oktober 1600 menurut kalender Gregorian) di Sekigahara, distrik


(13)

Fuwa, Provinsi Mino, Jepang. Pertempuran melibatkan pihak yang dipimpin Tokugawa Ieyasu melawan pihak Ishida Mitsunari sehubungan perebutan kekuasaan sesudah wafatnya Toyotomi Hideyoshi. Pertempuran dimenangkan oleh pihak Tokugawa Ieyasu yang memuluskan jalan menuju terbentuknya Keshogunan Tokugawa.

Pihak yang bertikai dalam pertempuran ini terbagi menjadi kubu Tokugawa (Pasukan utara) dan kubu pendukung klan Toyotomi (Pasukan Barat). Klan Toyotomi sendiri tidak memihak salah satu pihak yang bertikai dan tidak ambil bagian dalam pertempuran.

Setelah pertempuran selesai, kekuasaan militer berhasil dikuasai pihak Tokugawa sehingga Pertempuran Sekigahara juga terkenal dengan sebutan Tenka wakeme no tatakai (pertempuran yang menentukan pemimpin Jepang).

Pada saat terjadinya pertempuran belum digunakan istilah Pasukan Barat dan Pasukan Timur. Kedua istilah tersebut baru digunakan para sejarawan di kemudian hari untuk menyebut kedua belah pihak yang bertikai.

Pada tanggal 15 September 1600, kedua belah pihak Pasukan Barat dan Pasukan Timur saling berhadapan di Sekigahara. Menurut buku "Sejarah Jepang" yang disusun oleh markas besar Angkatan Darat Jepang, kubu Pasukan Timur tediri dari 74.000 prajurit dan kubu Pasukan Barat terdiri dari 82.000 prajurit. Di lembah sempit Sekigahara berkumpul pasukan dengan total lebih dari 150.000 prajurit.

Pertempuran ini dimenangkan oleh pihak Tokugawa Ieyasu dan berhasil memulai kekuasaan baru di Jepang yaitu Keshogunan Tokugawa yang akan bertahan hingga 250 tahun. Zaman Sengoku dilanjutkan dengan Zaman Edo.


(14)

2.2 Sejarah Samurai

Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada zaman Pertempuran, atau periode Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550 – 1600, berkisar antara runtuhnya keshogunan Tokugawa.

Sampai pertengahan zaman Sengoku, seseorang yang tak terlahir dalam golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap. Marga yang dimaksud di sini adalah keluarga. Pada zaman sengoku tidak semua keluarga menggunakan marga, hanya kaum samurai, bangsawan, pedagang, dan pekerja seni saja yang memiliki marga.

Namun bagi kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun samurai berstatus sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan paling bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang – orang yang berhasrat menjadi samurai yaitu kaum ashigaru berikut keluarga.

Kaum ashigaru adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, barisan orang – orang tanpa nama yang menjadi bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak terlahir sebagai samurai, mereka berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh orang – orang yang lebih


(15)

tinggi kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain pada zaman Pertempuran berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat kabur sehingga para pakar berselisih paham apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai.

Namun, bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagai prajurit rendahan memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, setelah Toyotomi Hideyoshi, anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi penguasa Jepang mengeluarkan titah yang membatasi status samurai hanya kepada mereka yang terlahir sebagai samurai, membuat impian golongan ashigaru menjadi sulit terwujud.

Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri atas anggota marga dan pengikut yang telah turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka, semuanya, lebih menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar, dan itu membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik adalah Akechi Mitsuhide, seorang jenderal dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang calon penakluk

Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis pekerjaan. Semua bushi, baik laki – laki maupun perempuan dengan sendirinya termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.

Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer samata –mata. Beberapa samurai menjadi cendekiawan termahsyur. Ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer,


(16)

seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka dalam keadaan perang.

Orang – orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika menjadi tak bertuan atau ronin, seorang petarung kehilangan dukungan atau perlindungan marga. Jika seorang pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya berkelahi atau melanggar peraturan.

Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan sering kali berpaling dalam dunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan bersumpah setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka.

Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapat ini mereka harus membiayai rumah tangga (bagi yang memiliki) dan membeli segala perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran kekayaan yang lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi seseorang untuk makan selama satu tahun. Semua tanah kekuasaan dijabarkan berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku setara 120 liter. Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku (dengan asumsi jatah makannya ditanggung junjungannya).


(17)

Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya, menyediakan perbekalan, membeli pakan kuda, mengupah para pelayan, dan lain – lain. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras.

Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil padi yang mereka tanam untuk para samurai, mereka terpaksa beralih ke biji – bijian lain yang lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk dihitung, lalu disimpan atau dibagikan.

Urusan keuangan diserahkan kepada kaum istri karena dipandang rendah oleh para laki – laki samurai. Kaum laki – laki yang mengurus uang hanyalah mereka yang memang dituntut oleh tugas, pengawas dapur benteng misalnya. Pada masa itupun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian.

Tempat tinggal samurai berupa bangunan serupa barak, namun ada pula yang memiliki rumah pribadi. Penetapan tempat tinggal mereka ditentukan oleh beragam faktor, antara lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan besar seperti barak di dalam pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah mungkin memiliki rumah petak sendiri dikawasan khusus pasangan suami – istri, sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri – sendiri.

Bagi anak – anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir. Apabila ada tanda – tanda bahwa bayi itu nantinya kidal, lengan kiri akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, segala


(18)

sesuatu akan dilakukan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut. Di Jepang, tidak boleh ada orang yang kidal. Kekidalan adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.

Terutama antara usia tujuh dan delapan tahun, anak – anak samurai didorong agar bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan – rekan bermain mereka, dan diajarkan agar menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu memntingkan diri sendiri. Pada usia Sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian kepada subjek – subjek akademis seperti membaca dan menulis, meskipun sejak usia tujuh tahun mereka mungkin sudah belajar secara berkala di sekolah kuil. Ketika seorang anak laki – laki serusia tiga belas tahun, ia siap bertempur.

Pada kisaran usia belasan awal, seorang calon samurai menjalani upacara yang disebut genpuku atau genbuku. Bagi para putra keluarga bangsawan, upacara ini sering kali mendahului pertempurannya yang pertama.

Genpuku adalah upacara akil-balig. Perayaan tersebut diadakan pada ulang tahun ketigabelas atau kelimabelas. Dalam genpuku, untuk anak laki – laki rambutnya untuk pertama kalinya dipotong dengan gaya orang dewasa, yaitu rambut batok kepalanya dicukur habis dan sisa rambutnya dikuncir di atas kepala seperti orang dewasa. Ia juga diberi topi orang dewasa. Dalam beberapa kasus, khususnya jika marganya sedang berperang, topi itu diganti dengan baju tempur.

Bagi kaum perempuan keluarga samurai, setidaknya yang berkedudukan senior, genpuku menandai kali pertama alis mereka dicukur dan gigi merek dihitamkan. Yang terakhir itu, dilakukan dengan mengoleskan oksida besi, merupakan tradisi kraton kuno bagi kaum


(19)

perempuan kelas atas. Itu juga berarti mereka siap menikah, sering kali demi merekatkan persekutuan antar keluarga.

“Jalan samurai dapat ditentukan dalam kematian”, demikian ditulis oleh Yamamoto Tsunemoto, mantan pengikut marga Nabeshima. Pepatah sederhana ini yang sering dikutip atau diungkapkan dalam karya – karya mengenai Jepang, menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Pada pertarung kadang – kadang terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan.

Ada sejumlah hal yang lebih buruk dibandingkan kematian, misalnya gagal melayani tuannya dengan baik, atau membawa aib kepada diri sendiri. Jika terluka, seorang petarung pada umumnya akan memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan atau dikalahkan oleh rasa sakit sehingga harus mendapat malu. Samurai yang melakukan bunuh diri setelah kalah perang tidak perlu mengalami rasa malu karena ditawan. Mereka beranggapan bahwa mereka pastinya akan mati, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri, dengan kehormatan yang tetap utuh.

Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku (切腹). Ini adalah pelafalah 2 aksara yang, jika dibalik, dibaca hara-kiri (腹切). Kanji seppuku terdiri dari kanji kiru (切) dan hara (腹), dan kanji hara-kiri sebaliknya. Bagi sementara orang Jepang, istilah seppuku lebih halus jika dibandingkan dengan hara-kiri.

Ada bentuk bunuh diri lain, yang dikecam banyak kalangan sebagai kematian sia – sia, adalah jushi. Apabila seorang junjungan meninggal atau tewas di medan tempur, beberapa pengikutnya mungkin memilih bunuh diri daripada harus mengabdi kepada orang lain.


(20)

Latarbelakang pemikiran mereka adalah bahwa mereka tidak mungkin melayani orang lain sebaik mereka melayani almarhum junjungan mereka, dan bunuh diri dipandang sebagai wujud pengabdian tertinggi.

Tetapi dengan bunuh diri, para pewaris menjadi kehilangan sejumlah pengikut berharga yang terpercaya. Sehingga sejak Tokugawa Ieyasu mengeluarkan undang – undang yang melarang para pengikut untuk bunuh diri, jumlah pelaku bunuh diri mulai berkurang. Karena apabila dia sudah berkeluarga dan dia mengikuti junjungannya untuk bunuh diri, maka ancaman aib dan kematian bagi seluruh keluarga.

Kaum perempuan melakukan bunuh diri dengan cara sendiri, yang dinamakan ojigi. Mereka harus mengambil belati dan menusukkan ke dalam tergorokan, meskipun ada pula catatan mengenai perempuan yang menghujamkan belati ke dada sendiri.

Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang fanatik seperti ini lazim bagi samurai yang lahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun – temurun menjadi pengikut marga tersebut.


(21)

BAB III

KAUM SAMURAI DI JEPANG

3.1 Jenis – Jenis Senjata

Para samurai Jepang pada zaman feudal dapat memilih beragam senjata. Meskipun demikian terdapat empat senjata yang nampaknya paling disukai oleh para samurai, yaitu pedang, busur, tombak, dan senapan.

 Pedang

Sejak zaman dahulu, ketika memakai baju tempur, seorang petarung membawa pedang panjang (tachi) yang tergantung dari pinggang dengan posisi mata menghadap ke bawah. Ia juga membawa pedang pendek (uchigatana) yang diselipkan ke kain ikat pinggang dengan posisi mata menghadap ke atas.

Pedang Jepang terkenal di seluruh dunia karena kualitasnya. Bilahnya, satu lapisan baja kuat dan keras diantara lapisan – lapisan yang lebih fleksibel, mungkin merupakan alat potong non-bedah terbaik yang ada. Bilah pedang dibuat oleh pembuat pedang kawakan yang dibantu oleh sejumlah pemagang. Pembuatan bilah pedang merupakan proses panjang, dimana satu batang logam panas dilipat berukang – ulang. Bilah pedang yang setengah jadi lalu diserahkan kepada tukang asah dan tukang poles, sebelum dikembalikan kepada pembuat pedang untuk diberi rincian – rincian terakhir beserta tandatangannya.


(22)

 Busur

Meskipun pedang menjadi simbol samurai, pada zaman kuno busurlah senjata utama samurai. Itu merupakan pembalikan menarik konsep zaman pertengahan bahwa busur merupakan senjata yang tidak pantas bagi golongan atas. Salah satu ciri busur Jepang (yumi) yang panjangnya 2 meter lebih itu adalah pegangannya yang bukan terletak ditengah – tengah. Busur Jepang terbuat dari inti kayu yang dilapisi potongan bambu, dan selanjutnya diberi lapisan pernis dan lilitan rotan.

Tempat panah (utsubo) disandang dipinggang sebelah kanan dalam posisi miring, sehingga batang panah menunjuk ke atas dibelakang si pemakai. Rancangan tempat panah membuat pemanah harus memegang batang panah tepat di belakang mata panah, panah ditarik ke atas sampai keluar dari tempat panah, lalu ke bawah dan keluar.

 Tombak

Tombak (yari) digunakan sebagai senjata utama pasukan infanteri, dan bahkan dipakai oleh petarung berkuda. Panjang yari bervariasi, meskipun ada banyak yang melebihi dua setengah meter. Beberapa marga lebih menyukai tombak dengan ukuran dan jenis tertentu.

Bentuk ujung tombak berbeda – beda, namun yang paling umum adalah ujung baja yang berat dan panjang berpenampang segitiga. Selain itu terdapat ujung tombak berbentuk salib, huruf L, garpu, dan lain – lain.


(23)

Yari tidak pernah dilontarkan, tombak digunakan murni sebagai senjata tangan. Seorang anggota pasukan tombak hanya akan melepaskan senjatanya dan mencabut pedang jika gagang tombaknya patah, tombaknya hilang, atau tidak tersedia ruang gerak yang cukup.

 Senapan

Senapan lantak yang diperkenalkan orang Portugis pada tahun 1542 menjadi terkenal dengan nama tanegashima (mengambil nama pulau tempat orang Portugis mendarat dan pertama kali memamerkan senjata itu) atau teppo.

Senjata ini dengan cepat dipelajari oleh para pandai besi pembuat pedang, yang melakukan beberapa modifikasi dan selanjutnya dengan amat cepat mampu memproduksi senapan.

Meskipun senapan jelas – jelas punya potensi, banyak keluarga lama menganggap senjata ini tidak patut bagi samurai.

3.2 Pelindung

 Helm

Kabuto (helm) adalah salah satu bagian baju tempur samurai yang paling mudah dikenali. Para petarung ingin menonjol di tengah keramaian, dan penambahan hiasan pada helm yang pada dasarnya berbentuk seragam atau standard merupakan cara termudah untuk melakukan itu.


(24)

 Pelindung Tubuh

Baju tempur model lama bergantung di pundak, dan seluruh bobotnya ditanggung oleh lempeng pelindung bahu. Sekitar tahun 1450, pelindung batang tubuh mulai dibuat menyempit dibagian pinggang, tempat tali pengikatnya dapat dikencangkan. Meskipun kehilangan sebagian keleluwesan, baju tempur model baru ini lebih nyaman dikenakan. Model yang lebih merapat ke tubuh itu bertumpu pada pinggul, dan dengan demikian menjadi dikenal dengan sebutan tachi do, atau pelindung batang tubuh yang berdiri.

 Pelindung Lain

Ada berbagai jenis kote atau pelindung lengan. Tipe yang paling umum adalah kote dengan belat. Jumlah belat berkisar antara tiga (lebar dan kadang – kadang tapi tidak selalu tumpang-tindih) dan duapuluh lebih (sempit dan tumpang-tindih). Bentuk belat mungkin rata (hirashino) atau agak cekung (kamisorishino).

3.3 Bertempur

Mengingat beratnya kondisi medan di Jepang yang bergunung – gunung serta tiadanya alat bantu seperti kereta barang, bertempur dan memasok perbekalan ke kancah pertempuran disana agaknya lebih sulit dibandingkan di tempat – tempat lain.

Makanan pokok bagi prajurit yang sedang berada di medan perang adalah beras, sama seperti di rumah. Meskipun ransumnya sederhana, ia berusaha melengkapinya dengan apapun yang tersedia. Apabila ada sungai yang berdekatan, ia akan berusaha menangkap ikan, atau


(25)

mungkin ia akan membuat sup dari kaldu ikan ditambah dengan lalapan dan sayur apapun yang dapat dikumpulkan. Selain itu juga selalu ada persediaan acar sayur – sayuran yang dibawa oleh para pengangkut barang. Para prajurit menganggap daging babi, daging babi hutan, dan daging kelinci sebagai makanan stamina yang membantu mereka menambah tenaga.

Para samurai harus puas dengan naungan apapun yang dapat mereka temukan. Para jenderal dan bangsawan menggunakan kuil –kuil sebagai tempat menginap bagi diri mereka beserta staf, sementara para pengawal, pelayan, dan prajurit biasa tidur di banguna sekitar, di kandang, di bawah pohon, di rumah penduduk, atau di udara terbuka.

Demi mengurangi barang bawaan, baju tempur hampir selalu dikenakan. Operasi yang panjang pada musim panas dengan cepat menjadi tidak nyaman, dan baju tempurpun menjadi tempat bersarangnya kutu dan binatang pengganggu lainnya. Untuk mengatasi masalah itu, baju tempur kadang – kadang digantung di atas api pembakaran kayu basah dan diasapi.

Mengingat kondisi medan kepulauan Jepang yang bergunung – gunung, kereta barang, gerobak, bahkan kendaraan beroda jenis apapun nyaris tidak ditemui di luar daerah perkotaan. Akibatnya, pengangkutan perbekalan dan perlengkapan menjadi tugas sejumlah besar kuda beban, dan para samurai sendiri.

Pertarungan yang maju ke medan laga tidak hanya membawa senjata. Pada umumnya dia membawa persediaan makanan, pakaian, perlengkapan, dan obat – obatan untuk dirinya sendiri, di samping menjadi tenaga pengangkut perbekalan pasukan.

Orang – orang yang mengalami cedera terpaksa dirawat di medan laga, tidak ada cara mengevaluasi mereka ke belakang garis pertahanan. Seusai pertempuran, setelah mendapatkan


(26)

sedikit perawatan medis, harapan terbaik seseorang yang mengalami luka serius adalah ditarik mundur dari pertempuran dan dibiarjan beristirahat di kuil atau rumah sampai membaik. Mereka yang hanya terluka ringan harus menjalani pemulihan di medan laga bersama rekan – rekan mereka.

Nyaris tidak ada perawatan medis professional, kecuali bagi kalangan atas. Akibatnya muncul banyak cara pengobatan sederhana untuk mengatasi keluhan – keluhan yang umum terjadi. Contohnya dengan menggunakan air seni sendiri. Air seni dipanaskan dan dioleskan secara langsung kepada luka untuk mengurangi nyeri. Air seni juga berkhasiat sebagai penawar racun tertentu jika diminum.

Selain itu, pasukan yang sedang bergerak sedapat mungkin di sumber – sumber air panas, terutama sehabis bertempur, untuk memanfaatkan air panas yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai keluhan.

3.4 Pelatihan

Sebagian besar orang yang ikut dalam pertempuran berusia sekitar duapuluhan tahun. Di samping para jenderal dan para pembesar, pasukan samurai rata – rata berusia muda. Jarang ada prajurit bawahan yang mencapai usia cukup lanjut.

Latihan keprajuritan konvensional tidak mengikuti struktur baku yang dapat ditemui di seluruh Jepang. Setiap marga memiliki metodologi dan falsafah tersendiri. Banyak marga menugaskan prajurit tertentu sebagai guru kelompok, untuk mengajari pasukan baru yang lebih muda.


(27)

Beberapa marga bahkan mengambil langkah lebih lanjut dengan secara resmi mendirikan dojo, atau sekolah seni bela diri untuk melatih orang – orang mereka. Para veteran yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran dan memiliki ketrampilan menonjol bertindak sebagai pelatih. Mereka lebih menyerupai instruktur keprajuritan daripada guru seni bela diri modern. Para sensei mengajarkan cara membunuh dan bertahan hidup kepada murid mereka, bukan bagaimana mencetak angka dengan penuh gaya. Karena tujuan pelatihan adalah trik dan strategi untuk digunakan dalam rangka mengalahkan musuh, bukan untuk ketentraman hati dan pengendalian diri.

Seni pelatihan samurai pada masa sekarang ini, banyak yang dijadikan sebagai seni olahraga. Salah satu contohnya adalah gulat. Gulat dengan menggunakan baju tempur lengkap sangat berbeda dengan gulat biasa, dan perlu dilatih. Teknik – teknik terkait meliputi menyergap dan menarik penunggang kuda sampai terjatuh ketika berpapasan dengannya.

Suatu ciri menarik pada pelatihan di Jepang adalah bahwa meskipun terdapat penekanan yang kuat pada aspek latihan formal, perhatian besar juga diberikan pada hal – hal abstrak. Beberapa marga menganggap penting pelatihan akal-budi, sehingga merekomendasikan permainan menyerupai catur semacam go dan shogi untuk melatih akal-budi dalam hal taktik dan strategi.

Bagi samurai kelas bawah dan para ashiguri, pelatihan taktik dan strategi dipandang sia – sia, jadi mereka tidak mempelajari permainan – permainan itu secara formal. Orang – orang dari kalangan berpangkat yang mendalami kedua permainan ini sering kali melakukannya karena alasan yang lebih membumi, yaitu mereka melihat go dan shogi sebagai pengisi waktu luang


(28)

yang mengasyikkan, dan kadang – kadang sebagai sumber penghasilan tambahan jika mereka dapat menemukan orang yang mau bertaruh atas hasil akhir pertandingan.


(29)

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

1. Samurai adalah prajurit dari Jepang yang memiliki kebanggaan tinggi di mata masyarakat, namun ada juga samurai yang menjadi bawahan atau disebut dengan ashigaru.

2. Samurai memiliki pakaian dan perlengkapan sendiri pada saat perang. Mereka memiliki pelindung untuk masing – masing anggota tubuh. Hal ini untuk mengurangi luka akibat serangan dari lawan.

3. Samurai memiliki tugas penting untuk turun dalam perang dan mempertahankan harga diri marganya, untuk mempertahankan harga diri marganya mereka rela untuk bunuh diri daripada harus ditaklukkan oleh marga lain.

4.2 Saran

1. Sebaiknya mahasiswa Bahasa Jepang juga mengetahui mengenai kaum samurai di Jepang.

2. Dengan kita mempelajari sejarah pemerintahan Jepang, kita bisa mengetahui sistem pemerintahan yang pernah digunakan kekaisaran untuk memerintah Jepang selama berabad – abad termasuk kaum samurai.


(30)

DAFTAR PUSTAKA

Bryant, Anthony J. 1994. SAMURAI 1550-1600. Jakarta ; PT Gramedia.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1 Edisi Revisi. Medan ; USU Press.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi Zaman Edo. Medan ; USU Press.

Elmatera, Tim. 2010. Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta ; Elmatera Publishing.

                               


(1)

mungkin ia akan membuat sup dari kaldu ikan ditambah dengan lalapan dan sayur apapun yang dapat dikumpulkan. Selain itu juga selalu ada persediaan acar sayur – sayuran yang dibawa oleh para pengangkut barang. Para prajurit menganggap daging babi, daging babi hutan, dan daging kelinci sebagai makanan stamina yang membantu mereka menambah tenaga.

Para samurai harus puas dengan naungan apapun yang dapat mereka temukan. Para jenderal dan bangsawan menggunakan kuil –kuil sebagai tempat menginap bagi diri mereka beserta staf, sementara para pengawal, pelayan, dan prajurit biasa tidur di banguna sekitar, di kandang, di bawah pohon, di rumah penduduk, atau di udara terbuka.

Demi mengurangi barang bawaan, baju tempur hampir selalu dikenakan. Operasi yang panjang pada musim panas dengan cepat menjadi tidak nyaman, dan baju tempurpun menjadi tempat bersarangnya kutu dan binatang pengganggu lainnya. Untuk mengatasi masalah itu, baju tempur kadang – kadang digantung di atas api pembakaran kayu basah dan diasapi.

Mengingat kondisi medan kepulauan Jepang yang bergunung – gunung, kereta barang, gerobak, bahkan kendaraan beroda jenis apapun nyaris tidak ditemui di luar daerah perkotaan. Akibatnya, pengangkutan perbekalan dan perlengkapan menjadi tugas sejumlah besar kuda beban, dan para samurai sendiri.

Pertarungan yang maju ke medan laga tidak hanya membawa senjata. Pada umumnya dia membawa persediaan makanan, pakaian, perlengkapan, dan obat – obatan untuk dirinya sendiri, di samping menjadi tenaga pengangkut perbekalan pasukan.

Orang – orang yang mengalami cedera terpaksa dirawat di medan laga, tidak ada cara mengevaluasi mereka ke belakang garis pertahanan. Seusai pertempuran, setelah mendapatkan


(2)

sedikit perawatan medis, harapan terbaik seseorang yang mengalami luka serius adalah ditarik mundur dari pertempuran dan dibiarjan beristirahat di kuil atau rumah sampai membaik. Mereka yang hanya terluka ringan harus menjalani pemulihan di medan laga bersama rekan – rekan mereka.

Nyaris tidak ada perawatan medis professional, kecuali bagi kalangan atas. Akibatnya muncul banyak cara pengobatan sederhana untuk mengatasi keluhan – keluhan yang umum terjadi. Contohnya dengan menggunakan air seni sendiri. Air seni dipanaskan dan dioleskan secara langsung kepada luka untuk mengurangi nyeri. Air seni juga berkhasiat sebagai penawar racun tertentu jika diminum.

Selain itu, pasukan yang sedang bergerak sedapat mungkin di sumber – sumber air panas, terutama sehabis bertempur, untuk memanfaatkan air panas yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai keluhan.

3.4 Pelatihan

Sebagian besar orang yang ikut dalam pertempuran berusia sekitar duapuluhan tahun. Di samping para jenderal dan para pembesar, pasukan samurai rata – rata berusia muda. Jarang ada prajurit bawahan yang mencapai usia cukup lanjut.

Latihan keprajuritan konvensional tidak mengikuti struktur baku yang dapat ditemui di seluruh Jepang. Setiap marga memiliki metodologi dan falsafah tersendiri. Banyak marga menugaskan prajurit tertentu sebagai guru kelompok, untuk mengajari pasukan baru yang lebih muda.


(3)

Beberapa marga bahkan mengambil langkah lebih lanjut dengan secara resmi mendirikan dojo, atau sekolah seni bela diri untuk melatih orang – orang mereka. Para veteran yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran dan memiliki ketrampilan menonjol bertindak sebagai pelatih. Mereka lebih menyerupai instruktur keprajuritan daripada guru seni bela diri modern. Para sensei mengajarkan cara membunuh dan bertahan hidup kepada murid mereka, bukan bagaimana mencetak angka dengan penuh gaya. Karena tujuan pelatihan adalah trik dan strategi untuk digunakan dalam rangka mengalahkan musuh, bukan untuk ketentraman hati dan pengendalian diri.

Seni pelatihan samurai pada masa sekarang ini, banyak yang dijadikan sebagai seni olahraga. Salah satu contohnya adalah gulat. Gulat dengan menggunakan baju tempur lengkap sangat berbeda dengan gulat biasa, dan perlu dilatih. Teknik – teknik terkait meliputi menyergap dan menarik penunggang kuda sampai terjatuh ketika berpapasan dengannya.

Suatu ciri menarik pada pelatihan di Jepang adalah bahwa meskipun terdapat penekanan yang kuat pada aspek latihan formal, perhatian besar juga diberikan pada hal – hal abstrak. Beberapa marga menganggap penting pelatihan akal-budi, sehingga merekomendasikan permainan menyerupai catur semacam go dan shogi untuk melatih akal-budi dalam hal taktik dan strategi.

Bagi samurai kelas bawah dan para ashiguri, pelatihan taktik dan strategi dipandang sia – sia, jadi mereka tidak mempelajari permainan – permainan itu secara formal. Orang – orang dari kalangan berpangkat yang mendalami kedua permainan ini sering kali melakukannya karena alasan yang lebih membumi, yaitu mereka melihat go dan shogi sebagai pengisi waktu luang


(4)

yang mengasyikkan, dan kadang – kadang sebagai sumber penghasilan tambahan jika mereka dapat menemukan orang yang mau bertaruh atas hasil akhir pertandingan.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

1. Samurai adalah prajurit dari Jepang yang memiliki kebanggaan tinggi di mata masyarakat, namun ada juga samurai yang menjadi bawahan atau disebut dengan ashigaru.

2. Samurai memiliki pakaian dan perlengkapan sendiri pada saat perang. Mereka memiliki pelindung untuk masing – masing anggota tubuh. Hal ini untuk mengurangi luka akibat serangan dari lawan.

3. Samurai memiliki tugas penting untuk turun dalam perang dan mempertahankan harga diri marganya, untuk mempertahankan harga diri marganya mereka rela untuk bunuh diri daripada harus ditaklukkan oleh marga lain.

4.2 Saran

1. Sebaiknya mahasiswa Bahasa Jepang juga mengetahui mengenai kaum samurai di Jepang.

2. Dengan kita mempelajari sejarah pemerintahan Jepang, kita bisa mengetahui sistem pemerintahan yang pernah digunakan kekaisaran untuk memerintah Jepang selama berabad – abad termasuk kaum samurai.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bryant, Anthony J. 1994. SAMURAI 1550-1600. Jakarta ; PT Gramedia.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1 Edisi Revisi. Medan ; USU Press.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi Zaman Edo. Medan ; USU Press.

Elmatera, Tim. 2010. Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta ; Elmatera Publishing.