Dampak Proyek Palapa Ring terhadap Penur

Dampak Proyek Palapa Ring terhadap Penurunan Kadar Kesenjangan Digital di Indonesia
Probo Darono Yakti
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Airlangga
Abstract
As a country consists of more than 17.000 islands, Indonesia is a huge market of information and communication
technology (ICT) industry. On the other hands, this comparative advantage as a consumer of ICT creates a digital
divide, in a term of informational society. A divided phenomenon that could grew by the society as one society
monopolize the source of information on and the other society received lack of information. This phenomenon in
Indonesia mostly a response to the economical gap that technically means, “how peoples accessed and bought ICT
devices” as a globalization’s irony. " Western Indonesia " and "eastern Indonesia" has long become a common term in
dividing the country in the category of community economy. Consequently, there is unbalance reception and
dissemination of information between the two regions. Conversely community east region became victims of the gap
formed by the monopoly of information by the western region of Indonesia. Therefore, the Government through the
Ministry of Communication and Information (Kemenkominfo) develop the Palapa Ring project, which will be built
submarine cable network and also on land as the equitable distribution of infrastructure for information exchange. So
the impact on the digital divide in Indonesia can be significantly reduced. Then we get that the Palapa Ring project
initiated by the government have a positive impact on society, including facilitated access to data and information that
is fast, cheap, and easy.
Keywords: digital divide, Palapa Ring, Kemenkominfo, information, technology, fiber optic
Abstrak

Sebagai negara yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, Indonesia merupakan pasar dari produsen teknologi
informasi dan komunikasi (TIK). Di satu sisi, keunggulan komparatif sebagai konsumen TIK ini terdapat kesenjangan
yang mana dalam istilah kajian masyarakat informasi disebut sebagai digital divide, atau kesenjangan digital. Sebuah
kesenjangan yang timbul antar masyarakat informasi yang mana ada kelompok yang memonopoli dan sebaliknya ada
masyarakat yang justru kekurangan akses informasi. Fenomena kesenjangan digital berawal dari keterbatasan
kemampuan masyarakat untuk mengakses dan membeli perangkat TIK adalah sebuah ironi globalisasi. “Kawasan
Indonesia barat” dan “kawasan Indonesia timur” sudah lama menjadi istilah umum dalam membagi negara dalam
kategori perekonomian masyarakatnya. Akibatnya, terjadi tidak seimbangnya penerimaan dan penyebarluasan
informasi antara kedua kawasan. Sebaliknya masyarakat kawasan timur menjadi korban dari kesenjangan yang
terbentuk oleh monopoli informasi oleh kawasan barat Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah melalui Kementerian
Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mengembangkan Proyek Palapa Ring, yang mana nantinya akan
dibangun jaringan kabel bawah laut dan juga di darat sebagai pemerataan infrastruktur penunjang pertukaran
informasi. Sehingga dampak terhadap kesenjangan digital di Indonesia dapat dikurangi secara signifikan. Sehingga
didapatkan bahwa proyek Palapa Ring yang digagas oleh pemerintah memiliki dampak positif bagi masyarakat
melalui akses data dan informasi yang cepat, murah, dan mudah.

Kata kunci: kesenjangan digital, Palapa Ring, Kemenkominfo, informasi, teknologi, serat optik

Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia yang juga
pengguna aktif internet, tercatat sebagai enam terbesar di dunia dengan angka tahun 2016 mencapai 102,6

juta pengguna (Kemenkoninfo 2014). Artinya dan yang seharusnya dirasakan sebagai pasar telekomunikasi
yang besar tentu di dalam negara sudah ada infrastruktur yang memadai untuk mendukung penggunaan
internet, di samping edukasi masyarakat untuk penggunaannya yang bijak. Penggunaan internet di Indonesia
sejauh ini dipandang untuk hal-hal yang positif. Misalnya menggerakkan pasar telekomunikasi dunia yang
berasal dari produk-produk ternama seperti Apple, Asus, Samsung, Sony, dll. Indonesia menjadi konsumen
dari smartphone (ponsel cerdas) terbanyak di dunia. Sebagai catatan pelengkap misalnya, Indonesia
mengalami tingkat penetrasi terhadap pasar ponsel cerdas sebesar 23% yang menjadikan mengubah cara
masyarakat dalam mengakses internet (Nielsen 2013). Penggunaan ponsel cerdas ini juga menjadikan alat
tersebut sebagai peranti utama untuk mengakses internet. Aplikasi yang sering digunakan masyarakat yang
berkaitan dengan kepentingan untuk berkomunikasi adalah aplikasi perambah web, obrolan, surat elektronik,
dan peta. Belum lagi yang menggunakan internet sebagai salah satu cara untuk mendapatkan hiburan (CNN
Indonesia 2015).
Lebih lanjut Indonesia adalah konsumen besar peranti lunak dan keras teknologi, sebagaimana ketika
melihat beredarnya beragam jenis ponsel cerdas dan juga disertai peningkatan penggunaan internet yang
meningkat akan terus membuka pasar semakin lebar. Sebagai responsnya, masyarakat akan dihadapkan pada
pilihan-pilihan yang variatif termasuk jenis perangkat, fitur yang tersedia, dan keunggulan sebuah produk
daripada produk yang lainnya. Penggunaan ponsel cerdas di Indonesia dapat dinilai pula dari segi
fungsional, yang mana selain internet kemudian kebutuhan mendasar lainnya seperti telepon dan pesan
singkat menjadi opsional bagi keberadaan kebutuhan internet dan dengan beragam aplikasi saat ini dapat
mengakomodasi kebutuhan tersebut maka terjadi migrasi besar pada teknologi terbaru. Misalnya aplikasi

seperti Blackberry Messenger, Line, dan WhatsApp. Terbukti dengan peningkatan penggunaan salah satu
dari ketiga platform utama yang digunakan dalam berkomunikasi masyarakat Indonesia, Line. Managing
Director Line Indonesia mengklaim bahwa terjadi peningkatan pengguna sebesar 200 persen. Dengan
asumsi bahwa 90 juta adalah pengguna layanan chatting, dan 80 juta di antaranya adalah pengguna aktif
bulanan (Kompas.com 2016).
Namun di sisi lain, sebagian besar penggunaan internet tersebut didominasi oleh masyarakat di pulau
Jawa. Dari angka yang dihimpun oleh CNN Indonesia pada 2014, ada 52 juta pengguna internet berada di
pulau Jawa, sisanya disusul oleh Sumatera dengan 18,6 juta pengguna, Sulawesi dengan 7,3 juta,
Kalimantan dengan 4,2 juta pengguna, dan sisanya 5,9 juta pengguna (CNN Indonesia 2015; Liputan6.com
2016). Belum lagi melihat kesenjangan antara kecepatan internet, baik jika dibandingkan secara keseluruhan
negara dengan negara lain di dunia, maupun dibandingkan per kota di Indonesia. Katadata (2014)
menunjukkan bahwa kecepatan internet yang dimiliki Indonesia adalah 2,4 Mbps dan 19.4 Mbps pada saat
beban puncak. Kecepatan tersebut jauh berada di bawah kecepatan rata-rata akses internet dunia yang
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

2

mencapai 3.9 Mbps dan 21.2 Mbps. Di sisi lain penggunaan internet pada kota-kota di Indonesia kurang
tersebar merata dengan asumsi bahwa hanya ‘kota-kota itu saja’ yang dapat menggunakan akses internet
melebihi rata-rata Indonesia daripada yang pelosok seperti misalnya membandingkan koneksi internet di

kota Jayapura dengan koneksi internet di kota Surabaya. Selain itu infrastruktur yang kurang memadai
menyebabkan permasalahan lain seperti kabel bawah air yang putus, yang tidak mungkin dialami di kotakota besar yang ada di Pulau Jawa yang menjadi 65% dari populasi pengguna internet di Indonesia
(Liputan6.com 2016). Sebagai perbandingan, Jayapura dan Sorong mengalami gangguan akses internet pada
21 April 2015 akibat kabel serat optik yang menghubungkan Jayapura dan Biak. Telkom kemudian
menangani masalah ini dengan mengarahkan sementara satelit untuk mentransmisikan sinyal dan paket data
(Kompas.com 2015; Tribunnews.com 2015).
Gambar 1: Demografi Pengguna Internet di Indonesia pada 2014.

Sumber: http://images.cnnindonesia.com/visual/2015/03/27/47125b45-aeb5-46d1-9824-bece00722871.jpg?w=960&q=75
(Diakses pada 26 Desember 2016).
Gambar 3: Perilaku pengguna internet Indonesia 2016.

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

3

Sumber: https://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/1383158/big/083088800_1477296304-apjii.jpg (Diakses pada 26
Desember 2016).

Peristiwa yang terjadi di Indonesia terkait dengan penggunaan internet akhir-akhir ini dapat

dijelaskan menggunakan fenomena digital divide. Digital divide atau kesenjangan digital adalah
kesenjangan sosial yang terbentuk di antara masyarakat yang berkaitan dengan akses, penggunaan, dan
dampak dari TIK. Permasalahan ini dapat bermula ketika adanya individu, rumah tangga, bisnis, area
geografis, dan karakter sosio-ekonomi masyarakat yang berbeda-beda. Kesenjangan terbentuk atas
terjadinya perbedaan pendapatan per kapita, konsumsi energi, disparitas modal manusia, perbedaan regional,
dan keterbukaan pada perdagangan bebas sebagaimana yang diungkapkan oleh Chinn & Fairlie (2004, 1920). Wolff & MacKinnon (2002) menambahkan disparitas informasi

Secara umum, karakteristik tadi

menjadi salah satu penentu bagaimana negara dengan negara dibandingkan secara satu persatu. Yang
menjadi persoalan adalah ketika sebuah negara di dalamnya memiliki kesenjangan pula di dalam persoalan
TIK ini. Di lingkup yang lebih sempit, Sparks (2013, 28) berhasil menjelaskan bahwa kesenjangan digital
bermuara dengan perbedaan penggunaan teknologi berupa komputer personal dan juga akses internet yang
terbatas. Sparks (2013, 30) melanjutkan bahwa seputar urusan kesenjangan digital adalah semata-mata yang
berhubungan dengan akses fisik pada komputer dan jasa telekomunikasi sebagaimana isu ini akan terus
menjadi perbincangan di era kontemporer. Hal ini kemudian dapat membantu melengkapi pertanyaan besar
mengapa dalam sebuah negara terdiri atas karakteristik masyarakat yang berbeda-beda dari segi penggunaan
informasinya. Dalam memahami argumen Sparks, tidak bisa dibantah bahwa masyarakat informasi adalah
sebagai pengguna atau konsumen dari teknologi informasi yang tersedia. Digital divide kemudian secara
politik menjadi faktor penting karena menjadi tolok ukur baru dalam melihat kesenjangan sosial pada

masyarakat (Zillien dan Hargittai 2009).
Berbicara mengenai faktor, ada penulis yang kemudian melakukan kategorisasi terhadap
ketersediaan sumber daya terhadap rendahnya pemahaman masyarakat terhadap teknologi yang semakin
memicu adanya gap antara masyarakat yang memahami teknologi dan dengan yang tidak. Faktor-faktor
tersebut seperti yang disebutkan Rahman & Quaddus (2012) antara lain: (1) kesenjangan ekonomi, lebih
lengkapnya sosial-ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, faktor kunci dari
tidak terselenggaranya infrastruktur ekonomi dalam masyarakat adalah ketika ekonomi menjadi penentu
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

4

bagaimana masyarakat dapat mengakses informasi dengan tepat, cepat, mudah, dan murah (Dewan et al.
2005; Quibra et al. 2003); (2) kesenjangan akses, sebagaimana disparitas distribusi menjadi persoalan.
Negara dalam hal ini memiliki peran yang komprehensif dalam melakukan penyamarataan antara wilayahwilayah yang dimilikinya untuk menerima akses yang sama; (3) kesenjangan kapabilitas, yang diwakilkan
dengan parameter self-efficacy. Kepercayaan individu meskipun tidak merefleksikan kemampuan aktualnya
namun menjadi pendorong seseorang untuk melakukan tugas tertentu; (4) kesenjangan tingkat inovasi,
kemauan untuk berubah dan mencoba teknologi yang lebih baru; (5) penggunaan e-Government yang
berbeda dalam setiap negara. Dalam kasus ini, pada kisaran 2005 sampai dengan 2010, Indonesia
menempati urutan yang berada di bawah Singapura, Malaysia, dan juga Vietnam. Selebihnya, akan
dijelaskan dalam tabel 1 terkait dengan posisi Indonesia dibanding negara-negara tersebut.


UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

5

Tabel 1: Indeks Kesiapan e-Government milik beberapa negara Asia (PBB 2005).

Menurut Internasional Telecommunication Union atau Uni Telekomunikasi Internasional (ITU
2007), ada dua parameter dalam mengukur seberapa jauh negara mengalami kesenjangan digital. Yakni
konektivitas dan jangkauan. Konektivitas dilihat dari seberapa besar negara mampu menyediakan sarana dan
prasarana komunikasi dengan harga yang dapat dijangkau seluruh warga masyarakatnya. Hal ini dapat
dilihat dari harga bulanan dan juga PNB per kapita yang menunjukkan seberapa besar daya beli masyarakat
dalam menunjang kebutuhannya dalam berkomunikasi (ITU 2007, 25-9). Sedangkan jangkauan bisa ditinjau
dari bagaimana masyarakat menggunakan fasilitas tersebut secara bijak dengan akses terhadap pendidikan
dan juga koneksi yang sudah mengusung teknologi broadband. Selain dua faktor di atas, ada dua faktor lain
yang tak kalah penting yakni reformasi sektoral yang terdiri atas: (1) liberalisasi pasar dan pengenalan
terhadap kompetisi, misalnya dengan melakukan lisensi terhadap operator seluler baru; (2) keterlibatan
sektor privat, yakni dengan privatisasi operator seluler atau mendirikan baru pasar teknologi; (3) regulasi
sektor telekomunikasi dan informasi yang efektif, melalui pembentukan badan independen dan operator
yang telah dilakukan lisensi (ITU 2007, 30-1).

Tabel 2: Suplai bandwith Internasional memengaruhi harga grosir dan cakupan nasional sebagai variabel interoperabilitas dan
interkonektivitas. (Chomprang 2015, 10).

Tabel 3: Kemampuan masyarakat ditinjau dari biaya pengadaan layanan pita-lebar. (Chomprang 2015, 12).

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

6

Keterangan: Komisi broadband menggunakan takaran di bawah 5% dari GDP per kapita (PPP).

Mengacu pada faktor-faktor di atas, Indonesia telah mengalami kelima faktor yang disebut oleh
Puspitasari & Ishii (2015, 472-4) sebagai kesenjangan digital berlipat. Sebagai determinannya, faktor
pertama kemudian memicu faktor lainnya bak domino. Suatu keniscayaan ketika sumber daya manusia
ditinjau lagi dalam wadah berupa kemampuan ekonomi, yang tidak selalu setiap negara berkembang dan
emerging markets seperti Indonesia mampu menjangkau hal tersebut. Titik perbedaannya kemudian
Puspitasari & Ishii (2015, 473) secara detail menjelaskan keterkaitan dengan penggunaan internet dan juga
kepemilikan rumah tangga terhadap peranti dan dawai khusus untuk mengakses internet antara lain
komputer personal, laptop, smartphone, dan komputer tablet. Dalam pemakaian internet, akses terhadap
Facebook, Twitter, serta urusan bisnis dan juga hiburan menjadi variabel interoperabilitas tentang bagaimana

sebuah teknologi komputer dan internet digunakan dalam mengakses situs spesifik yang menunjukkan
tentang kegunaannya. Tabel 2 di atas juga menunjukkan kekurangan yang masih diderita Indonesia dari segi
koneksi dan pengaruhnya terhadap penekanan harga barang. Dengan posisi 4 dari bawah juga menandai
bahwa koneksi internet Indonesia masih jauh dari kata memadai dalam jangkauan baik yang bersifat fixed
atau melalui kabel dan wireless

Kebanyakan dari internet diakses melalui perangkat seluler daripada

melalui komputer personal mengingat kepraktisannya dalam dibawa ke mana pun. Dalam hal ini Indonesia
sama dengan Jepang, yakni dalam penggunaan telepon genggam (Puspitasari & Ishii 2015, 474). Perangkat
seperti telepon seluler merupakan kelanjutan dari telepon yang dibahas oleh Chinn & Fairlie (2004, 2).
Tabel 3 juga mendukung adanya tabel 2, yang menyatakan bahwa Indonesia masih berada pada
posisi pertengahan antara negara-negara ASEAN lainnya yang tampak mendominasi seperti Singapura yang
berhasil mewujudkan internet cepat dengan tarif yang relatif lebih murah dan juga Myanmar yang gagal
mewujudkan akses internet, dilihat dari biaya pengadaannya 138,2% dari GDP per kapita. Ini artinya
masyarakat Myanmar, sangat jarang menggunakan internet kecuali dalam kriteria ekonomi tinggi.
Sedangkan Indonesia berada pada 2,2 persen dari GDP per kapita yang mana artinya setiap rumah tangga
hanya perlu mengeluarkan hanya dua persen dari keseluruhan pendapatannya (Chomprang 2015, 12).
Namun tentu data ini hanya rata-rata akumulatif dari seluruh provinsi, sedangkan yang akan dicari dalam
penelitian ini adalah kesenjangan antara daerah di Indonesia. Tentunya menjadi otokritik pada pemerintah

karena perlunya pemerataan kesejahteraan sebagai bagian dari negara dunia ketiga yang masih berjuang
untuk mewujudkan keadilan sosial.
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

7

Disparitas teknologi di Indonesia terlihat salah satunya melalui Network Readiness Index yang
dibuat oleh World Economic Forum (2016). Indonesia pada indeks tersebut berada di peringkat ke-73. Jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lain misalnya, tetangga terdekat Malaysia berada pada urutan ke-31,
sedangkan Thailand berada di posisi 62 dari keseluruhan tabel. Hal ini menunjukkan masih kurangnya
sarana dan prasarana penunjang teknologi informasi di Indonesia. Peringkat ini diambil dari performa
negara-negara dunia tentang kebijakan dan peraturan, pengambilan teknologi, dan dampak terhadap
teknologi (Sparks, 2013:28). Hal ini merupakan keniscayaan yang terbentuk atas dasar ekonomi, dan
dibuktikan bahwa negara yang menempati urutan pertama seperti Singapura dalam catatan penulis
merupakan negara yang memiliki kriteria dan fitur ekonomi yang tidak dimiliki negara lainnya di kawasan
Asia Tenggara. Setiap individu di dalam masyarakat informasi merupakan warga dan pengguna, serta
bekerja dalam suatu tatanan yang terbentuk sebagai konstruksi sosial (Sparks 2013, 29).
Berdasarkan pemahaman penulis, kesenjangan digital juga dapat terbentuk antara generasi pengguna
teknologi informasi. Sebelumnya ada 3 generasi, yakni: (1) Generasi X; (2) Generasi Y; dan (3) Generasi Z.
Ketiganya dirunut berdasarkan teknologi yang tercipta dan digunakan bersamaan dengan masa generasi

tersebut dilahirkan. Generasi X, lahir pada 1966 hingga 1976 yang disebut lost generation yang mana pada
dasarnya memiliki pemikiran skeptis, dan bahkan cenderung kolot. Dalam urusan teknologi, Generasi X
akan mengalami gagap teknologi mengingat perkembangan kehidupan sosial dan juga teknologi pada masa
itu berkembang dengan sangat lamban. Namun, generasi X yang kemudian melahirkan generasi-generasi
selanjutnya seperti Y & Z. Ketika mengalami pendewasaan dari tahun 1988 hingga 1994, generasi X masih
memiliki pendirian yang teguh atas sikap kehati-hatian dan pragmatis (WJ Schroer t.t). Generasi selanjutnya
adalah Generasi Y yang disebut echo boomer atau milenium. Dengan kehadiran mereka sebagai peralihan
antara Generasi X dan Generasi Z, generasi ini telah mengenal beragam teknologi baru yang dikenal melalui
internet, radio, televisi kabel, dan majalah elektronik. Secara gaya hidup lebih fleksibel dengan menghindari
gaya pemasaran tradisional dan segera mengenal metode yang kontemporer. Generasi Y yang dimaksud
adalah yang lahir pada tahun 1977 sampai dengan 2006 (WJ Schroer t.t). Sedangkan generasi Z, yang lahir
pada kisaran 1995 sampai dengan 2020 merupakan generasi yang supel akan kehadiran teknologi sebagai
salah satu elemen dalam kehidupan. Generasi ini adalah yang paling menerima kehadiran dari teknologi
komputer yang kemudian memiliki dampak signifikan pada kehidupan manusia. Bahkan generasi ini dengan
mudahnya mampu mengajari dua generasi sebelumnya, yakni X dan Y pada penguasaan teknologi (WJ
Schroer t.t).
Maka kesenjangan dapat diukur ketika masyarakat yang telah terkotak menjadi 3 kelompok ini tidak
saling beradaptasi satu sama lain. Generasi Z yang merupakan ‘penduduk asli’ di era keterbukaan informasi
dan globalisasi ini seharusnya menggunakan peran penuhnya untuk mendorong generasi lain dalam
menggunakan perangkat teknologi termutakhir yang lahir pada zamannya. Parameternya adalah disparitas
kesenjangan umur yang dapat menengarai perbedaan budaya yang diusung antara ketiga-tiganya.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Gambar 1, maka dapat dilihat bahwa pengguna internet di Indonesia
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

8

kebanyakan adalah 18-25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa angka generasi Z memenuhi separuh dari
populasi Indonesia yang menggunakan internet. Sisanya generasi Y 33,8 persen dan Z sebanyak 17 persen.
Sehingga yang perlu dicermati adalah usia generasi X, Y, Z antara CNN Indonesia (2015) berbeda dengan
data yang digunakan WJ Schroer (t.t). Hal ini bergantung pada penetrasi TIK pada Indonesia yang tentunya
jauh lebih lambat daripada negara produsen teknologi seperti Amerika Serikat.
Disparitas yang terjadi di Indonesia lebih detail dijelaskan oleh Presiden Jokowi (2016), yang
menegaskan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia adalah yang berkaitan dengan pola hidup digital yang
saat ini masih bisa dinikmati oleh warga kota besar. Budaya instan, yang mana bisa dijangkau melalui
hadirnya internet memungkinkan setiap orang untuk memesan produk barang, makanan, dan juga jasa secara
cepat dan tanpa ada halangan waktu dan tempat yang berarti. Sedangkan jika diarahkan ke konteks hasil
pertanian, perkebunan dan peternakan di desa, misalnya, Indonesia masih tertinggal jauh untuk menutup
celah adanya kesenjangan tersebut (PresidenRI.go.id 2016). Pemerintah dalam hal ini sebagai stakeholder
kunci dalam persoalan kesenjangan digital di negara bertindak melalui Kemenkominfo. Sasaran utama yang
menjadi fokus dari program yang hendak dirumuskan ini adalah masyarakat kecil dan pinggiran dan juga
UMKM yang sedang mengembangkan startup bisnisnya. Sejalan dengan itu infrastruktur raksasa teknologi
harus dibangun untuk menunjang kebutuhan besar yang diperlukan untuk kehidupan bangsa Indonesia
sehari-hari yang menopang lebih dari 237 juta penduduk. Hal ini hanya dapat dituntaskan dengan
pembangunan megaproyek infrastruktur kabel serat optik yang disebut sebagai Palapa Ring.
Sebagai negara di ASEAN yang menyumbang GDP terbesar dan tantangan alamiah berupa jumlah
penduduk yang paling padat di kawasan Asia Tenggara, akan menjadi kontradiktif ketika Indonesia belum
mampu mewujudkan infrastruktur yang dapat mengurangi kesenjangan digital. Untuk itu pemerintah melalui
Kementerian Komunikasi dan Informasi menggagas pengembangan proyek Palapa Ring yang berakar dari
proyek sebelumnya yakni Nusantara 12 yang digagas dari tahun 1990 (CNN Indonesia 2016). Rudiantara
sendiri mengibaratkan bahwa Palapa Ring adalah bentuk Tol Informasi, sebagaimana proyek lain yang
digagas pemerintah yakni Tol Laut yang menghubungkan arus logistik barang dan jasa (OkezoneTechno
2016). Proyek ini akan menghubungkan 514 kabupaten/kota dalam broadband yang difasilitasi kabel serat
optik. Target yang akan dicapai adalah menyamakan kecepatan internet pada kawasan barat dengan kawasan
timur yang saat ini masih terjadi kesenjangan kecepatan antar keduanya pada tahun 2019. Kecepatan di
Jakarta 7 megabit per detik, sementara di area timur hanya 300 kilobit per detik atau 20 kali lipat lebih lelet,
serta harganya yang 1,65 kali lebih mahal (CNN Indonesia 2016; OkezoneTechno 2016). Tujuan lain yang
akan dicapai, menurut Rudiantara (dalam CNN Indonesia 2016c) adalah: (1) Cakupan internet, nantinya
akan menghilangkan kesenjangan antara timur dengan barat atau daerah Jawa dengan di luar Jawa; dan (2)
Daya beli masyarakat relatif meningkat. Karena sebagai penyedia broadband dan nanti aplikasinya akan
bermunculan variasinya.
Hal ini juga merupakan respons dari pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono, yang mana
Menteri Telekomunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring melalui akun Twitternya pada 30
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

9

Januari 2014 pernah mengatakan: "Tweeps Budiman, memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat
apa?...:D *MauTauBanget*" (Kompas.com 2014). Proyek ini juga menjawab keraguan pemerintahan
sebelumnya bahwa dengan APBN yang terbatas pemerintah tidak mampu memfasilitasi pembangunan
koneksi broadband yang menelan triliunan rupiah. Konsorsium antara pemerintah dan swasta dibentuk
untuk mendanai penuh proyek yang akan memperlancar arus informasi dan menyeimbangkan kesenjangan
digital yang terbentuk antara kawasan Indonesia di bagian barat dengan Indonesia timur. Hal ini juga disertai
dengan kecenderungan pemerintah saat ini yang memberikan kabar secara transparan pada masyarakat
terkait dengan progres perkembangan Palapa Ring yang selalu terbarukan dengan cakupan media.
Selain itu proyek Palapa Ring juga menjadi kontradiksi dari proyek pemerintah di era SBY terkait
dengan BP3TI Kemenkominfo yang bermasalah. Ada 9 proyek yang kemudian mengandung dugaan tindak
pidana korupsi, antara lain: (1) Proyek NIX (Nusantara Internet Exchange); (2) Proyek PLIK (Penyedia
Layanan Internet Kecamatan); (3) Proyek MPLIK (Mobil Penyedia Layanan Internet Kecamatan); (4)
Proyek SIMMLIK (Sistem Informasi Monitoring dan Manajemen Layanan Internet Kecamatan); (5) Proyek
Penyediaan Jasa Akses Telekomunikasi Dan Informatika Perdesaan (Up grading Desa Pintar); (6) Proyek
Penyediaan International Internet Exchange (IIX); (7) Proyek Penyediaan Jasa Akses Telekomunikasi dan
Informatika Di Daerah Perbatasan dan Pulau Terluar (TELINFO-TUNTAS) (Inilahcom 2016). Dengan
suksesnya pembangunan jaringan serat optik bawah laut dalam tiga paket berupa barat, tengah dan timur ini
maka infrastruktur untuk menunjang aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia dapat segera dibuat dan
ditunjang melalui Palapa Ring. Dengan demikian kesenjangan digital dapat dijembatani.
Gambar 3: Kecepatan internet Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia (2014).

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

10

Sumber: https://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/1383158/big/083088800_1477296304-apjii.jpg (Diakses pada 26
Desember 2016).

Mulanya operator seluler milik swasta telah ditawarkan oleh pemerintah untuk menjadi bagian dalam
proyek pembangunan kabel serat optik yang membentang dan menghubungkan pulau-pulau besar di
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Namun pada kenyataannya operator-operator tersebut di luar
ekspektasi, karena pada dasarnya telah menyetujui dalam membangun seluruh daerah dan kenyataannya
ketika proposal tersebut berhasil direvisi, hanya bagian wilayah tertentu yang hendak dijadikan target bagi
operator-operator ini. Pihak operator seluler menyatakan bahwa kurang menguntungkan untuk pembangunan
yang merata, mengingat dalam hitungan bisnis angka-angka yang didapatkan dari pembangunan
infrastruktur merata tanpa melihat prospek kawasan ke depannya adalah spekulatif dan riskan (Kompas.com
2016). Sehingga pemerintah kemudian memilih untuk mengambil jalan tengah dengan menjadikan proyek
yang digagas swasta disinergikan dengan proyek nasional penyelenggaraan infrastruktur telekomunikasi.
Jaringan Palapa Ring bersinergi dengan 457 jaringan serat optik yang dibangun oleh operator
telekomunikasi untuk mempercepat proses transfer data dan internet dalam kecepatan tinggi atau pita lebar
(Kemenkominfo 2016). Begitu pula untuk menutupi keadaan yang hanya memungkinkan Indonesia hanya
memiliki 400 kabupaten/kota yang terhubung dengan serat optik, 57 kabupaten/kota juga diinisiasi
pembangunannya oleh pemerintah diluar dari konsorsium pemerintah dan swasta. Menkominfo Rudiantara

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

11

menegaskan bahwa dengan beralihnya proyek ini ke tangan pemerintah maka ada jaminan jaringan
telekomunikasi itu dinikmati semua kalangan hingga pinggiran (Kompas.com 2016).
Palapa Ring terdiri atas tiga segmen utama pembangunan, yang meliputi: (1) Palapa Ring Barat, (2)
Palapa Ring Tengah, dan (3) Palapa Ring Timur. Palapa Ring Paket Barat yang dimulai pembangunannya
pada September 2016 meliputi wilayah Sumatera, Jawa Barat, dan Pontianak yang kemudian digaris bawahi
karena menghubungkan Riau dan Kepulauan Riau sampai Pulau Natuna sepanjang 2.000 kilometer. Pada 29
Februari 2016, perjanjian Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan Konsorsium PT
Moratelematika Indonesia dan PT Ketrosden Triasmitra sebagai pemenang tender paket barat yang
membentuk PT Palapa Ring Barat untuk proyek Palapa Ring Paket Barat. Secara rinci, proyek ini dikerjakan
dengan komposisi PT Moratelematika Indonesia sebesar 90 persen dan PT Ketrosden Triasmitra 10 persen.
Total pengeluaran pemerintah untuk paket barat senilai Rp 1,28 triliun Yang mana Rp875 miliarnya
merupakan pinjaman dari Bank Mandiri (Tempo.co, 2016a; CNN Indonesia 2016b).
Sedangkan dengan nilai proyek yang sama, yakni 1,28 triliun Palapa Ring Tengah didanai oleh
Kementerian Keuangan sebesar Rp975 miliar dan dimulai pembangunannya pada bulan November 2016
(Kompas.com, 2016). Palapa Ring Paket Tengah menggelar kabel serat optik sepanjang 2.647 kilometer
yang menjangkau Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara sampai dengan Kepulauan Sangihe-Talaud
(CNN Indonesia, 2016b; Tempo.co, 2016b). Proyek ini dipegang oleh Konsorsium Pandawa Lima yang
dipimpin LT LEN Telekomunikasi Indonesia sebesar 51 persen saham di badan usaha pelaksana, dan
anggota lain adalah PT Teknologi Riset Global Investama (TRG) yang mengusai 34 persen, PT Sufia
Technologies 5 persen, PT Bina Nusantara Perkasa (BNP) 5 persen, dan PT Multi Kontrol Nusantara sebesar
5 persen (CNN Indonesia, 2016a). Sedangkan PT LEN Telekomunikasi Indonesia menunjuk PT Indonesia
Infrastruktur Finance (IIF) sebagai pihak yang mengatur dan mencarikan pendanaan sindikasi (mandated
lead arranger) untuk pembangunan proyek Paket Tengah. Dari sekitar Rp1 triliun total dana yang
dibutuhkan untuk merampungkan proyek Paket Tengah, 80 persennya (Rp790 miliar) akan dicarikan oleh
IIF (CNN Indonesia 2016a).
Sementara di Paket Timur dimenangkan oleh konsorsium yang terdiri dari Moratelindo, IBS, dan
Smart Telecom, yang dinyatakan lulus dari sisi penawaran administrasi, teknis, dan finansial dengan total
pengajuan Rp14 triliun pada bulan Juli (CNN Indonesia 2016a). Pembangunan kabel serat optik sepanjang
6.300 km akan mencakup wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan pedalaman Papua.
Target dari proyek ini adalah pada 2019 semua kabupaten/kota di Indonesia terhubung dengan kabel serat
optik dan kesenjangan digital berupa kecepatan koneksi dan biaya bisa terpangkas, sebagaimana
perekonomian akan dikembangkan pada digital atau e-commerce dan distribusi barang dan jasa akan makin
cepat dengan konektivitas yang terbantu atas hadirnya Palapa Ring (OkezoneTechno 2016). Dengan adanya
tiga pembagian wilayah, proyek Palapa Ring dapat dijalankan dengan efektif dan efisien serta dapat
mengundang lebih banyak lagi perusahaan swasta yang terlibat dalam pengerjaan bersamaan dengan
pemerintah. Selain itu, pengerjaannya juga dapat dievaluasi secara berkala untuk menunjukkan sejauh mana
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

12

progres yang telah dijalankan oleh kedua pihak sehingga harus menepati kontrak perjanjian yang telah
dibuat oleh Konsorsium Pemerintah dengan swasta di bawah Menkominfo Rudiantara. Peta lengkap yang
diberikan Kemenkominfo berupa persebaran kabel serat optik dan jangkauannya dapat disimak pada
Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4: Peta Proyek Palapa Ring dengan Panjang Jaringan Total Mencapai 6926 km dari Sabang sampai Merauke.

Sumber: https://beritabangka.com/wp-content/uploads/2016/06/Peta-baru-Palapa-ring-rev-12.jpg (Diakses pada 30 Desember
2016).

Untuk menjembatani kesenjangan digital, Peters (2002) mengatakan bahwa ada variabel-variabel
yang harus dipenuhi pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut. Yang pertama adalah infrastruktur TIK
yang terdiri atas kebijakan yang berdampak mendasar pada perkembangan hajat hidup masyarakat. Yang
kedua adalah kepercayaan yang nantinya akan didapatkan oleh pihak bisnis, pemerintah, dan konsumen
melalui TIK dan transaksi daring yang menjunjung tinggi nilai-nilai intelektual, keamanan, dan privasi. Yang
ketiga adalah Capacity Building, yakni kebijakan untuk kapasitas niscaya untuk penggunaan TIK melalui
pendidikan formal. Yang keempat adalah kebijakan perpajakan dan dagang termasuk perpotongan negara.
Yang kelima adalah kebijakan yang berpihak pada lapangan pekerjaan dan juga buruh. Yang keenam adalah
difusi teknologi, yakni distribusi jasa informasi elektronik seperti e-government, telemedicine, e-learning,
dan e-commerce. Dan yang terakhir adalah peran utama otoritas pemerintah sebagai penyelenggara
demokrasi, transparansi, independensi peradilan dan peraturan pemerintah (Peters 2002).
Jembatan dari kesenjangan digital dari Peters (2002) tadi, disingkat oleh Sharma & Mokthar (2006)
menjadi tiga aspek yakni: (1) infrastruktur, yang mana dalam hal ini membicarakan prasarana; (2) akses
informasi dan pengetahuan yang diwakili oleh sarana berupa perangkat yang digunakan untuk koneksi
internet; dan (3) Pembangunan kapabilitas dan kepercayaan diri, yang berkaitan dengan manusia sebagai
subjek pengguna TIK (Sharma & Mokthar 2006, 20). Dalam hal ini Indonesia telah mencapai titik kulminasi
dalam hal teknologi serat optik yang setidaknya akan mendukung masyarakat dalam bertransaksi di dalam
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

13

ranah e-commerce. Dan tentunya infrastruktur yang memadai akan didukung ketersediaan perangkat melalui
penetrasi pasar perangkat telekomunikasi yang telah disebutkan pada awal tulisan ini. Dan yang terakhir,
menjadi evaluasi dan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat dalam mewujudkan
internet yang ramah pada anak dan kontennya dapat dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari
mempromosikan penggunaan TIK untuk tujuan yang lebih produktif. Pemblokiran situs dan penyaringan
konten menjadi pilihan utama, di samping mengedukasi masyarakat untuk berdisiplin dalam menggunakan
internet. Hal ini juga erat kaitannya dengan variabel interoperabilitas dan interkonektivitas, yang merupakan
ada dua aspek utama yang disebutkan oleh Chomprang (2015, 16). Yakni dengan hadirnya Palapa Ring ini
tentu akan memperkuat dari aspek infrastruktur atau prasarana sebagai pendukung interkonektivitas
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa proyek Palapa Ring ini masih berjalan. Sedangkan
interoperabilitas didukung melalui kompatibilitas antar perangkat atau sarana (Chomprang 2015, 18). Dari
aspek sarana, masyarakat telah selangkah lebih maju dengan bervariasinya produk-produk teknologi di
Indonesia. Penetrasi pasar yang besar akan produk-produk seperti komputer pribadi, laptop, ponsel pintar,
dan alat lainnya merupakan tanda bahwa hampir di setiap daerah sudah dapat dijangkau.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesenjangan digital di Indonesia dapat terselesaikan dengan
adanya proyek Palapa Ring. Proyek yang diselesaikan pada 2019 ini berdampak pada pembentukan
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat ekonomi digital sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Chomprang (2015, 16) dalam presentasinya. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia menjadi semakin
kompetitif di era globalisasi, keterbukaan informasi, sekaligus perdagangan bebas ini. Dengan
dicanangkannya proyek ini, maka pemerintah dapat menekan angka kesenjangan digital secara merata
melalui Palapa Ring Barat, Tengah, dan Timur. Hal ini dibuktikan dengan data yang menyebutkan bahwa
kemudian efektivitas penggunaan internet berdampak pada pasar dan kegiatan ekonomi masyarakat dari
kawasan metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Palembang, Makassar, dan
lain-lainnya hingga ke pinggiran seperti Kupang, Wamena, Motaain, Entikong, Tarakan, dan Natuna. Dari
variabel yang diberikan WJ Schroer (t.t) berupa generasi X-Y-Z, Indonesia dalam porsi yang seimbang
antara generasi Z:X+Y. Hal ini menjadikan Indonesia semakin khas dengan semakin menutupnya
kesenjangan antara generasi Z yang dilahirkan dan generasi X+Y yang masih hidup. Dengan asumsi bahwa
generasi Z yang saat ini berumur 18-25 tahun mampu secara proaktif mengajarkan pada generasi yang lebih
tua untuk beradaptasi dengan keunggulan teknologi di era kontemporer.
Upaya yang dilakukan Indonesia juga di satu sisi membenarkan pendapat dari Sharma & Mokthar
(2006, 16) bahwa tren saat ini Asia memasuki era konvergensi informasi, yang mana telekomunikasi
mencapai level saat penggunaan media yang kaya akan suara, gambar bergerak, dan data baik melalui
jaringan seluler dan juga kabel. Melalui pembangunan serat optik ini pula, Indonesia dapat mampu
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya untuk mengimbangi tiga aspek utama dalam TIK, yakni
infrastruktur, kegunaan, dan pasar yang tersedia. Tingkat penggunaan internet Indonesia pada dasarnya
merupakan salah satu dari yang tertinggi di dunia, jika dikaitkan dengan jumlah penduduk yang merupakan
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

14

pengguna dari internet. Namun belum sepadan dengan cakupan pasar yang seharusnya mendapatkan
cakupan jauh lebih luas lagi (2006, 18). Di akhir, Menkominfo Rudiantara memberikan kesimpulan bahwa
target yang akan dicapai setelah disparitas antara kawasan barat dan timur dapat ditekan adalah selisih harga
dengan perbandingan 1:1,1. Sehingga 10% adalah selisih harga yang masuk akal setelah melihat
perkembangan pesat kecepatan dan jangkauan internet di balik pembangunan Palapa Ring ini (DetikInet
2015; Merdeka.com 2015). Sehingga tarif yang semulanya rata-rata perbandingannya 65% lebih mahal di
kawasan Timur dibandingkan Barat dapat sirna berkat proyek Palapa Ring.
Opini penulis mengatakan bahwa Kesenjangan Digital di Asia Tenggara dapat diimbangi dengan
proyek Palapa Ring Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dari segi akses masyarakat pada internet dan
ketersediaan TIK sebagai penunjang ekonomi masyarakat. Program negara tetangga Singapura dan Malaysia
yang mampu memberikan akses internet cepat hingga level pedesaan seharusnya semakin menumbuhkan
rasa kompetisi Indonesia terhadap dua negara tersebut untuk membuat program yang jauh lebih merata dan
menyeluruh melalui proyek jaringan kabel serat optik ini. Seyogianya juga seharusnya menjadi dorongan
kuat bagi Indonesia untuk selangkah terdepan dalam menumbuhkan industri IT untuk melengkapi variabel
interoperabilitas yang disokong dengan hadirnya sarana komunikasi dalam negeri. Tentu disertai dengan
inisiatif pemerintah untuk berpihak pada usaha mikro, kecil, dan menengah untuk selalu mengembangkan
usaha melalui beragam aplikasi daring untuk mempermudah transaksi sebagaimana daya kompetitif
masyarakat semakin meningkat di tengah-tengah hadirnya pelbagai free trade area pada Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Maka ke depannya masyarakat Indonesia mampu secara mandiri untuk mengembangkan
ekonomi digital, dengan menginisiasi bisnis start-up yang berbasis kewirausahaan dan TIK yang didukung
melalui platform Palapa Ring. Persaingan negara semakin terbuka, tidak hanya antar negara namun juga
melibatkan individu di dalam negara.
(4400 kata)

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

15

Daftar Pustaka:
Chinn, Menzie D. & Robert W. Fairlie. 2004. The Determinants of The Global Digital Divide: A CrossCountry Analysis of Computer And Internet Penetration. Center Discussion Paper No. 881 Yale
University.
Chomprang, Duangthip. 2015. Unleashing the Potential of the Internet for ASEAN Economies. Presentasi
dalam GSMA-ITU Digital Society. Bangkok, 25 Juni 2015. Internet Society Asia‐Pacific. [PDF].
CNN Indonesia. 27 Maret 2015. “Demografi Pengguna Internet Indonesia” dalam Infografis. [Online].
Tersedia dalam: https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enamdunia/0/sorotan_media [Diakses pada 30 Desember 2016].
CNN Indonesia. 25 Juli 2016. “Palapa Ring Barat Dapat Kredit Rp875 Miliar dari Bank Mandiri”, dalam
Berita

Telekomunikasi.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160725163236-213-146914/palapa-ring-barat-dapatkredit-rp875-miliar-dari-bank-mandiri/ [Diakses pada 26 Desember 2016].
CNN Indonesia. 29 September 2016. “Proyek Palapa Ring Mulai Beroperasi Awal 2019”, dalam Berita
Telekomunikasi.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160928113318-213-161739/proyek-palapa-ring-mulaiberoperasi-awal-2019/ [Diakses pada 30 Desember 2016].
CNN Indonesia. 29 September 2016. “Menkominfo: 2019, Palapa Ring Bisa Beroperasi”, dalam Berita
Telekomunikasi.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160229145846-213-114290/menkominfo-2019-palaparing-bisa-beroperasi/ [Diakses pada 30 Desember 2016].
DetikInet. 18 September 2015. “Palapa Ring Bisa Bikin Tarif Internet Turun Drastis”, dalam
Telecommunication.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://inet.detik.com/telecommunication/d-

3022522/palapa-ring-bisa-bikin-tarif-internet-turun-drastis [Diakses pada 1 Januari 2017].
Dewan, S., Ganley, D., and Kraemer, K.L. 2005. "Across the Digital Divide: A Cross-Country MultiTechnology Analysis of the Determinants of It Penetration," Journal of the Association for
Information Systems (6:12), pp 409-432.
Inilahcom. 29 April 2016. “Rudi Akui Ada Proyek Bermasalah di Kementeriannya”, dalam Nasional.
[Online].

Tersedia

dalam:

http://nasional.inilah.com/read/detail/2291973/rudi-akui-ada-proyek-

bermasalah-di-kementeriannya [Diakses pada 30 Desember 2016].
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 2014. “Pengguna Internet Indonesia Nomor
Enam

Dunia”,

dalam

Sorotan

Media.

[Online].

Tersedia

dalam:

https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enamdunia/0/sorotan_media [Diakses pada 26 Desember 2016].
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 2014. “Satu Indonesia Lewat Palapa Ring”,
dalam

Rilisan

Media

GPR.

[Online].

Tersedia

dalam:

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

16

https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/8084/satu-indonesia-lewat-palaparing/0/rilis_media_gpr [Diakses pada 30 Desember 2016].
Kompas.com. 20 April, 2015. “Kabel Bawah Laut Putus, Koneksi Internet di Papua Terganggu”, dalam
Regional.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://regional.kompas.com/read/2015/04/21/00154881/Kabel.Bawah.Laut.Putus.Koneksi.Internet.di.
Papua.Terganggu [Diakses pada 26 Desember 2016].
Kompas.com. 29 Agustus 2016. “Dapat Pendanaan Rp 975 Miliar, Palapa Ring Tengah Mulai Digarap
November

2016”,

dalam

Tekno.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://tekno.kompas.com/read/2016/08/29/18190817/dapat.pendanaan.rp.975.miliar.palapa.ring.tenga
h.mulai.digarap.november.2016 [Diakses pada 6 Desember 2016].
Kompas.com. 30 Agustus 2016. “Ini Alasan Pemerintah Bangun Palapa Ring”, dalam Tekno. [Online].
Tersedia

dalam:

http://tekno.kompas.com/read/2016/08/30/11410017/Ini.Alasan.Pemerintah.Bangun.Palapa.Ring
[Diakses pada 23 Desember 2016].
Kompas.com. 3 September, 2016. “Di Indonesia, Jumlah Pengguna Line Pepet Facebook” dalam Business.
[Online].

Tersedia

dalam:

http://tekno.kompas.com/read/2016/09/03/09490637/di.indonesia.jumlah.pengguna.line.pepet.facebo
ok [Diakses pada 6 Desember 2016].
Kompas.com. 30 Januari 2014. “Menkominfo: Kalau Internetnya Cepat Mau Dipakai buat Apa?”, dalam
Internet.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://tekno.kompas.com/read/2014/01/30/1512510/Menkominfo.Kalau.Internetnya.Cepat.Mau.Dipa
kai.buat.Apa [Diakses pada 30 Desember 2016].
Liputan6.com. 24 Oktober 2016. Apa yang Dilakukan Orang Indonesia Saat Akses Internet?”, dalam
Internet. [Online]. Tersedia dalam: http://tekno.liputan6.com/read/2634034/apa-yang-dilakukanorang-indonesia-saat-akses-internet [Diakses pada 26 Desember 2016].
Merdeka.com. 18 September 2015. “Ini dampak jika Palapa Ring selesai dibangun”, dalam Teknologi.
[Online]. Tersedia dalam: https://www.merdeka.com/teknologi/ini-dampak-jika-palapa-ring-selesaidibangun.html [Diakses pada 1 Januari 2017].
OkezoneTechno. 29 September 2016. “Palapa Ring Timur Siap Sapa Internet 'Lelet' di Papua”, dalam Telco.
[Online]. Tersedia dalam: http://techno.okezone.com/read/2016/09/29/54/1502299/palapa-ring-timursiap-sapa-internet-lelet-di-papua [Diakses pada 30 Desember 2016].
PresidenRI.go.id. 30 September, 2016. Pemerintah Berkomitmen Hapus Kesenjangan Digital di Indonesia
[Online]. Tersedia dalam: http://presidenri.go.id/kabar-presiden/kegiatan-kepresidenan/pemerintahberkomitmen-hapus-kesenjangan-digital-di-indonesia.html [Diakses pada 23 Desember 2016].
Puspitasari, Lia & Kenichi Ishii. 2015. Digital divides and mobile Internet in Indonesia: Impact of
smartphones. Telematics and Informatics 33 (2016). Hal. 472–483
UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

17

Rahman, Arief & Mohammed Quaddus. 2012. Qualitative Investigation of Digital Divide in Indonesia:
Toward a Comprehensive Framework. Curtin Graduate School of Business.
Sparks, Colin, 2013. “What is Digital Divide and Why is it Important?,” Journal of the European Institute
for Communication and Culture, 20 (2): 27-46.
Sharma, Ravi & Intan Azura Mokhtar. 2006. Bridging the Digital Divide in Asia: Challenges and Solutions.
International Journal of Technology, Knowledge and Society, Volume 1, Number 3, 2005/2006.
Tempo.co. 8 Agustus 2016. “Palapa Ring Barat Ditargetkan Mulai Dibangun September”, dalam Bisnis.
[Online]. Tersedia dalam: https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/08/08/090794065/palapa-ringbarat-ditargetkan-mulai-dibangun-september [Diakses pada 23 Desember 2016].
Tempo.co. 22 November 2016. “Di Morotai, Pembangunan Palapa Ring Paket Tengah Dimulai”, dalam
Bisnis. [Online]. Tersedia dalam: https://m.tempo.co/read/news/2016/11/22/090822317/di-morotaipembangunan-palapa-ring-paket-tengah-dimulai [Diakses pada 1 Januari 2017].
Tribunnews.com. 4 Mei, 2015. “Koneksi Internet di Jayapura dan Beberapa Kabupaten Normal Kembali”,
dalam

Indonesia

Timur.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://www.tribunnews.com/regional/2015/05/04/koneksi-internet-di-jayapura-dan-beberapakabupaten-normal-kembali [Diakses pada 23 Desember 2016].
Peters, T. (ed.). 2002. Spanning the Digital Divide – understanding and tackling the issues, a report by
bridges.org, [Online]. Tersedia dalam: http://www.bridges.org [Diakses pada 1 Januari 2017].
Quibra, M., Ahmed, S.N., Tschang, T., and Reyes-Macasaquit, M.-L. 2003. "Digital Divide: Determinants
and Policies with Special Reference to Asia," Journal of Asian Economics (13), pp 811-825.
UN. 2005. "Global E-Government Readiness Report 2005: From E-Government to E-Inclusion," United
Nations, New York.
WJ Schroer. t.t. “Generations X,Y, Z and the Others” dalam Archives. [Online]. Tersedia dalam:
http://socialmarketing.org/archives/generations-xy-z-and-the-others/ [Diakses pada 31 Desember
2016].
Wolff, Laurence & Soledad MacKinnon. 2002. “What is The Digital Divide?”, dalam Frontline.
TechKnowLogia, July - September 2002. Knowledge Enterprise, Inc. h. 7-9.
World Economic Forum. 2016. Networked Readiness Index, dalam Global Information Technology Report
2016. [Online]. Tersedia dalam: http://reports.weforum.org/global-information-technology-report2016/networked-readiness-index/ [Diakses pada 23 Desember 2016].
Zillien, N., Hargittai, E. 2009. Digital distinctions: status-specific types of Internet usage. Soc. Sci. Q. 90
(2), 274–291.

UAS GLOBIN 2016 - PROBO DARONO YAKTI, 071311233087

18