IDENTIFIKASI PROSENTASE KADAR AIR DENGAN
IDENTIFIKASI PROSENTASE KADAR AIR DENGAN CEMARAN
AFLATOKSIN PADA JAGUNG
(Studi Kasus Di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung,
Jawa Barat)
Lia Dahliany Dachlan
PMHP Muda pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Jawa Barat
Jalan Surapati No. 71 Bandung 40113
ABSTRAK
Kadar air diduga seringkali menyebabkan munculnya aflatoksin pada
jagung, namun berdasarkan uji laboratorium dari 20 sampel jagung yang
diambil dari Kabupoaten Garut dan Bandung kandungan aflatoksinnya
rendah. Kemudian dari hasil uji Korelasi Pearson tidak terdapat hubungan
yang erat (> 0,5) dan bersifat nyata (α < 0,05) antara kadar air dengan
aflatoksin. Satu-satunya hubungan yang bersifat positif adalah antara
kadar air dengan Alfa G2 namun tidak erat dan nyata. Cemaran aflatoksin
dapat ditekan dengan melakukan proses budidaya dan penanganan
panen dan pasca panen yang baik dan benar.
Kata Kunci : Kadar Air, Aflatoksin, Budidaya dan Penanganan Pasca
Panen
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jawa Barat merupakan salah satu sentra produsen
jagung di
Indonesia. Total areal panen Jawa Barat pada tahun 2017 adalah seluas
126.828
ha, dengan produksi sebesar 959.933 Ton (BPS, 2017).
Tanaman jagung di Provinsi Jawa Barat paling banyak ditanam di lahan
kering (89%) dengan musim tanam pada awal musim hujan dan seluas
11% sisanya ditanam dilahan sawah, ditanam pada musim kemarau
setelah padi.
Jagung, biasanya ditanam secara monokultur di lahan
sawah, sedang di lahan kering, jagung sangat populer sebagai komponen
tumpangsari dengan ketela pohon, kacang tanah atau padi gogo (Subandi
et al., 1998).
1
Pada sentra produksi, petani menanam jagung dua kali setahun di
lahan kering: yaitu pada awal musim hujan (saat tanam Oktober) dan
musim tanam kedua dimulai pada bulan Februari. Sebaliknya pada lahan
sawah, jagung hanya ditanam sekali, antara bulan Mei/Juni hingga
Agustus/September (Subandi et al., 1998).
Salah satu potensi bahaya yang banyak dijumpai pada jagung
adalah cemaran aflatoksin yaitu toksin yang dihasilkan oleh jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang merupakan problem di seluruh
dunia khususnya daerah tropis (Lillehoj, 1987).
Kedua jamur ini
merupakan jamur tropis yang sering menyerang kacang-kacangan dan
biji-biji apabila kondisinya memungkinkan yaitu kadar air substrat dan
kelembaban udara yang tinggi.
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang
dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan
berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas
maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan
berat kering dapat lebih dari 100 persen. (Syarif dan Halid, 1993). Tabrani
(1997), menyatakan bahwa kadar air merupakan pemegang. peranan
penting, kecuali temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat
tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan
makanan pada umumnya merupakan proses mikrobiologis, kimiawi,
enzimatik atau kombinasi antara ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses
tersebut memerlukan air dimana kini telah diketahui bahwa hanya air
bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut.
Aflatoksin adalah senyawa bifuran, non polar, stabil terhadap
panas, dan tahan perlakuan fisik maupun kimia. Dengan sifat-sifat ini
aflatoksin yang sudah mencemari bahan makanan sulit untuk dihilangkan.
Bahkan aflatoksin B1yang terkonsumsi sapi perah melalui pakan juga
tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang
muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1.
2
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi toksin pada tubuh ini terhadap
kesehatan
manusia
ataupun
hewan
ternak
adalah
hepatotoksik
(kerusakan pada hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik,
teratogenik maupun immunosupresif (Watson, 1993; Janssen et al.,
1997).
1.2. Identifikasi
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat diidentifikasi
dua permasalahan:
1.
Adakah hubungan antara kadar air dengan kandungan aflatoksin
2. Bagaimana menekan kandungan aflatoksin pada jagung
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan antara kadar air dengan kandungan
aflatoksin
2. Faktor-faktor apa saja yang dominan menyebabkan tumbuhnya
aflatoksin pada jagung
1.4. Manfaat
1. Salah satu pegangan
bagi petugas PMHP dalam meningkatkan
kuantitas dan kualitas jagung
2. Salah satu bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan dalam
upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas jagung
II. METODOLOGI
2.1. Sampel
Jagung pipil diambil dari petani dan pengumpul yang berasal dari
Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Pengambilan contoh dilaksanakan pada Bulan Juni 2017.
3
2.2. Uji
Sampel diuji di laboratorium PT. Angler Bio Chem Lab, Surabaya.
Kadar air diuji dengan oven, sedangkan mikotoksin diuji dengan metode
HPLC with Triple Quadrupole Tandem Mass Spectrometry Detector (LCMS/MS).
2.3. Analisa Korelasi
Untuk melihat hubungan antara kadar air dengan kandungan
aflatoksin digunakan uji Korelasi Pearson
III. TINJAUAN PUSTAKA
Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin
yang cukup tinggi termasuk di Jawa Barat. Dari berbagai hasil penelitian di
Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin utama pencemar jagung dan
bahan pakan ternak (Widiastuti et al., 1988; Bahri et al., 1995;2005 dalam
Widiastuti, 2006). Cemaran Aspergillus flavus pada jagung umumnya
terjadi sejak tanaman masih berada di kebun, karena kapang ini
merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah.
Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar
air dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus
mampu tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30oC
dan RH ≥ 95%.
Penelitian di Jawa Timur menunjukkan hasil uji infeksi jamur terjadi
pada hampir 100 % biji jagung biji yang diambil dan terinfeksi oleh jamur
bermiselia putih dan hitam (tidak dilakukan identifikasi lanjut), Aspergilus
dan Penicillium (Rahayu, et al., 2003). Keadaan ini menunjukkan sangat
tingginya persentase kerusakan biji jagung di Indonesia, mengingat Jawa
Timur merupakan Propinsi penghasil jagung terbesar di Indonesia yaitu
sebesar 35,8 % dari luas areal panen jagung di Indonesia (www.bps.go.id,
2004). Penggunaan
biji jagung selain untuk konsumsi manusia juga
4
digunakan sebagai bahan baku dengan proporsi terbesar sebagai
campuran bahan pakan ternak, terutama pakan ternak unggas.
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan
bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan Aw yaitu
jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai Aw minimum
agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri Aw : 0,90 ; khamir Aw :
0,80-0,90 ; kapang Aw : 0,60-0,70. Untuk memperpanjang daya tahan
suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan
beberapa cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan
pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan
(Winarno,1992).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) (Badan Standarisasi
Nasional, 1995) persyaratan jagung pipil mutu I dan II adalah
mempunyai kadar air maksimum 14%. Menurut Food and Agriculture
Organization(2001) jagung pipil kuning dengan kadar air 17 % yang terdapat pada 12 sampel mutu.
Cemaran
Aflatoksin B1dan B2 yang melebihi batas maksimum yang dikeluarkan
BPOM adalah pada pengumpul kecil dengan kadar air 17.9 % terdapat
cemaran Aflatoksin B1 = 36.5 µg/Kg, cemaran Aflatoksin B2 = 35.7
µg/Kg.
Hal ini dimungkinkan pengumpul kecil tidak mempunyai gudang
penyimpanan dan alat pengeringan yang belum memadai.
Untuk
Aflatoksin G1 nilai diatas batas maksimum ada pada petani dengan
cemaran 26.1 µg/Kg pada kadar air 16.2 % dan pengumpul besar
10
dengan cemaran 113 µg/Kg pada kadar air 13.9 % . Sedangkan dari
cemaran Aflatoksin G2, masih relatif aman dan di bawah standar.
Untuk cemaran okratoksin yang melebihi batas maksimum terdapat di
tingkat petani. Pada hasil pengujian di atas tingkat cemaran Aflatoksin
tidak selalu tergantung pada kadar air, cemaran dapat juga meningkat
dapat dikarenakan bakteri sudah ada pada saat budidaya dengan
sistem penanganan pasca panen yang kurang sempurna.
Tabel 2. Hasil Perhitungan dengan Uji Pearson
Kadar_Air
Kadar_Air
Pearson Correlation
Alfa_B1
1
-.172
-.170
-.253
.230
-.145
.520
.526
.283
.250
.536
20
20
20
20
20
20
-.153
1
**
.168
-.197
.129
.000
.478
.405
.588
20
20
20
20
20
**
1
.158
-.188
.128
.505
.426
.590
20
20
**
.154
.000
.517
20
20
20
**
1
-.520
Sig. (2-tailed)
N
Alfa_B1
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Alfa_B2
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
-.151
1.000
20
20
20
20
-.252
.168
.158
1
.283
.478
.505
20
20
20
Pearson Correlation
.270
-.197
-.188
Sig. (2-tailed)
.250
.405
.426
.000
20
20
20
20
20
20
-.147
.129
.128
.154
-.520
*
1
.536
.588
.590
.517
.019
20
20
20
20
20
Pearson Correlation
N
N
Okra_toksi Pearson Correlation
n
20
.000
Sig. (2-tailed)
Alfa_G2
.520
1.000
.526
N
Alfa_G1
Alfa_B2 Alfa_G1 Alfa_G2 Okra_toksin
Sig. (2-tailed)
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
11
-.924
-.924
*
.019
20
Dari Tabel 2., terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang erat (>
0,5) dan bersifat nyata (α < 0,05) antara kadar air dengan aflatoksin.
Satu-satunya hubungan yang bersifat positif adalah antara kadar air
dengan Alfa G2 namun tidak erat ( 0,230 > 0,05) dan bersifat tidak nyata
(0,250 > 0,05).
Dengan demikian, secara keseluruhan tidak ada
hubungan yang erat antara kadar air dengan kandungan aflatoksin.
Pertumbuhan kapang banyak dipengaruhi faktor substrat, suhu, pH,
kelembaban relatif atau aktivitas air (aw) dan adanya kompetisi dengan
mikroorganisme lain (Gourama,1998). Kadar air atau aktivitas air (aw),
suhu dan waktu simpan merupakan 3 faktor utama yang saling
berinteraksi dalam menentukan pertumbuhan kapang pada biji-bijian yang
disimpan (Sauer DB, et.al,1992). Gibson et al.(1994) juga menyebutkan
bahwa kelembaban relatif lingkungan merupakan faktor yang terpenting
yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus, dibandingkan kondisi
lingkungan lainnya. Dengan demikian, meskipun suhu di kabupaten
Garut dan Bandung cocok untuk perkembangbiakan aflatoksin namun
dari sisi kelembaban kurang memenuhi, sehingga aflatoksin tidak
berkembangbiak dengan sempurna.
Beberapa jenis kapang sudah mulai menginfeksi ketika tanaman
sedang dalam masa pertumbuhan sehingga higiene kebun sangat
diperlukan.
Pemberian pupuk yang optimal juga dapat meningkatkan
resistensi tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, termasuk
Aspergilus Flavus penghasil aflatoksin.
12
Gambar 1. Regresi Kadar air dan tingkat cemaran aflatoksin
4.2. Menekan Kandungan Aflatoksin Pada Jagung
Upaya budidaya dan penangan pasca panen yang baik dapat
menekan pertumbuhan dan perkembangan cemaran aflatoksin. Budidaya
yang baik melalui pemupukan berimbang, pengendalian hama dan
penyakit terpadu serta benih yang baik dapat menekan pertumbuhan
cemaran aflatoksin. Kemudian Penanganan panen dan
pascapanen
melalui penentuan waktu panen yang tepat, pengumpulan, pengangkutan,
sortasi dan penyimpanan yang baik dapat menekan pertumbuhan
cemaran aflatoksin karena kapang sebagai media tumbuhnya aflatoksin
tidak dapat berkembang.
Proses dari mulai budidaya dan penanfganan panen dan pasca
panen merupakan
tahapan penting terjadinya kontaminan mikotoksin.
Petani diharapkan melakukan panen pada saat kadar air biji sekitar
13
20 %, sehingga setelah dijemur kadar air turun dan mencapai nilai aman
13 %.
Pada tingkat petani kegiatan penanganan pascapanen meliputi
pengeringan dan sortasi. Cara mengeringkan bahan pangan hendaknya
dilakukan secepatnya sampai kadar air yang sesuai, sehingga kapang sulit
tumbuh. Sedangkan sortasi dilakukan untuk memisahkan antara jagung
yang sudah terserang oleh kapang.
Payne dalam Haliza et al,(21005) menyatakan pengeringan setelah
panen akan menghindari biji jagung dari kontaminasi kapang seperti A.
flavus. Karena infeksi kapang ini dapat terjadi bersamaan dengan
perkembangan biji atau jamur menempel pada permukaan luar biji setelah
biji mulai masak. Hal ini memungkinkan terjadinya kontaminasi aflatoksin
pada saat panen, bahkan hingga 14 pbb. Penundaan pengeringan selama
dua hari telah meningkatkan kontaminasi afatoksin dari 14 menjadi 94 ppb
(Subandi, 1998) . Oleh karena itu pengeringan untuk menurunkan kadar
air hingga ke leval aman dan merupakan tindakan yang sangat penting.
(Haliza, et al, 2005).
Menurut Purwadaria (1987), kegiatan pascapanen jagung meliputi
pemanenan, pengangkutan, pengeringan, perontokan dan penyimpanan.
Pada kegiatan pasca panen, para petani masih melaksanakan
proses pengeringan di lapangan yang dilakukan seadanya, tidak atau
belum menggunakan lantai jemur yang terjaga kebersihannya.
Cara panen yang masih umum dilakukan oleh petani adalah dengan
mengeringkan tongkol berklobot yang masih menempel pada batang
tanaman di lahan, setelah kering baru dipotong.
Sedangkan untuk
pengeringan tongkol jagung yang telah dipanen, umumnya dijemur
menggunakan sinar matahari yang hanya dijemur dengan dihamparkan
langsung di tanah dengan alas karung plastik. kondisi ini juga dapat
meningkatkan potensi kontaminasi jamur pada biji jagung.
14
Sortasi
perlu
dilakukan
dengan
memisahkan
bahan
yang
berkapang, langkah ini sangat penting dilakukan untuk mengurangi
kontaminasi afatoksin pada produk akhir. Mesin sortasi dan peralatan
yang sesuai dibutuhkan untuk memperoleh proses sortasi yang maksimal.
Peralatan seperti
Near
Infra
Red
(NIR)
dapat
digunakan
untuk
memisahkan biji berkapang yang hanya membutuhkan beberapa menit
saja untuk beberapa kilogram biji (Haliza, et al, 2005) . Kegiatan
penyimpanan,
pengangkutan,
dan pemasaran terjadi pada tingkat
pengumpul dan pedagang besar.
Jagung
dengan
kadar air 15 – 15,5% dapat disimpan aman
selama 1 tahun pada suhu 15o C, namun pada suhu 30o C hanya 6 bulan
sudah mengalami kerusakan kapang dari sedang sampai berat. Blaha et
al, 1986, mengatakan bahwa suhu dan kelembaban relatif memainkan
peranan penting tidak hanya terhadap pertumbuhan kapang, tetapi juga
terhadap produksi aflatoksin. Faktor-faktor tersebut secara umum dapat
dikelompokkan dalam 3 komponen utama yaitu, kondisi bahan yang
disimpan (nutirisi, pH, kadar air, kerusakan fsik), kondisi lingkungan tempat
penyimpanan
(terutama suhu dan kelembaban relatif) dan kapang
perusak.
Hasil uji di laboratorium menunjukkan bahwa jagung pipilan dari
petani masih ada produk yang kadar airnya cukup tinggi yaitu 31.6%.
Kontaminan Aspergillus spp awal sangat besar pengaruhnya dalam
produksi aflatoksin, namun tidak semua Aspergillus flavus mampu
menghasilkan aflatoksin. Kapang toksigenik mempunyai minimum aktivitas
air untuk pertumbuhan dan produksi mikotoksin, kandungan air yang aman
akan
menjadi
batas kritis untuk mengkontrol dalam pengendalian
kontaminan kapang. Kandungan air pada level yang tidak aman, dalam
waktu 48 jam kapang dapat tumbuh dan mikotoksin dapat dihasilkan. Hal
tersebut menjelaskan
bahwa
penanganan
jagung
yang memadai
secepat mungkin melalui pengeringan sangat menentukan terjadinya
15
kontaminan kapang.
Selanjutnya, penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point
(HACCP) pada setiap tahap proses produksi sampai dengan pascapanen
untuk mengendalikan kontaminan mikotoksin pada jagung Menurut
Anonymous (2001), pendekatan HACCP merupakan salah satu cara
untuk mengendalikan kontaminansi kapang
khususnya kapang yang
menghasilkan afatoksin.
HACCP merupakan suatu pendekatan untuk mencegah dan
mengontrol penyakit karena keracunan makanan (Bryan, 1992) . Sistem ini
dirancang untuk mengidentifkasi
bahaya
yang
berhubungan dengan
beberapa tahapan produksi, prosesing atau penyiapan makanan, serta
memperkirakan resiko yang akan terjadi dan menentukan prosedur
operasi untuk prosedur kontrol yang efektif. Dijelaskan pula bahwa sistem
tersebut tepat untuk menetapkan sistem pengendalian karena lebih
berfokus pada pencegahan dari pada pengujian produk akhir.
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk
primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipandu oleh
bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Tahapan
pascapanen merupakan tahapan kritis pada
perkembangan kapang
penghasil mikotoksin. Sehingga dengan memperhatikan setiap tahapan
yang menjadi titik kritis (Critical points
/CP) pada pascapanen jagung
dapat mengendalikan kontaminan mikotoksin pada jagung.
Miskiyah
et al
Menurut
,2008, jika proses pemanenan sampai dengan
pengeringan dilakukan secara baik dan terkontrol maka kandungan awal
cemaran
kapang
cukup
kecil,
yaitu
Pennicillium
sp
(100
CFU/gr),Aspergillus niger (20 CFU/gr), dan Aspergillus flavus(10 CFU/gr).
Kandungan aflatoskin B1, B2, G1 danG2 selama 8 minggu penyimpanan
yaitu
AFLATOKSIN PADA JAGUNG
(Studi Kasus Di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung,
Jawa Barat)
Lia Dahliany Dachlan
PMHP Muda pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Jawa Barat
Jalan Surapati No. 71 Bandung 40113
ABSTRAK
Kadar air diduga seringkali menyebabkan munculnya aflatoksin pada
jagung, namun berdasarkan uji laboratorium dari 20 sampel jagung yang
diambil dari Kabupoaten Garut dan Bandung kandungan aflatoksinnya
rendah. Kemudian dari hasil uji Korelasi Pearson tidak terdapat hubungan
yang erat (> 0,5) dan bersifat nyata (α < 0,05) antara kadar air dengan
aflatoksin. Satu-satunya hubungan yang bersifat positif adalah antara
kadar air dengan Alfa G2 namun tidak erat dan nyata. Cemaran aflatoksin
dapat ditekan dengan melakukan proses budidaya dan penanganan
panen dan pasca panen yang baik dan benar.
Kata Kunci : Kadar Air, Aflatoksin, Budidaya dan Penanganan Pasca
Panen
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jawa Barat merupakan salah satu sentra produsen
jagung di
Indonesia. Total areal panen Jawa Barat pada tahun 2017 adalah seluas
126.828
ha, dengan produksi sebesar 959.933 Ton (BPS, 2017).
Tanaman jagung di Provinsi Jawa Barat paling banyak ditanam di lahan
kering (89%) dengan musim tanam pada awal musim hujan dan seluas
11% sisanya ditanam dilahan sawah, ditanam pada musim kemarau
setelah padi.
Jagung, biasanya ditanam secara monokultur di lahan
sawah, sedang di lahan kering, jagung sangat populer sebagai komponen
tumpangsari dengan ketela pohon, kacang tanah atau padi gogo (Subandi
et al., 1998).
1
Pada sentra produksi, petani menanam jagung dua kali setahun di
lahan kering: yaitu pada awal musim hujan (saat tanam Oktober) dan
musim tanam kedua dimulai pada bulan Februari. Sebaliknya pada lahan
sawah, jagung hanya ditanam sekali, antara bulan Mei/Juni hingga
Agustus/September (Subandi et al., 1998).
Salah satu potensi bahaya yang banyak dijumpai pada jagung
adalah cemaran aflatoksin yaitu toksin yang dihasilkan oleh jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang merupakan problem di seluruh
dunia khususnya daerah tropis (Lillehoj, 1987).
Kedua jamur ini
merupakan jamur tropis yang sering menyerang kacang-kacangan dan
biji-biji apabila kondisinya memungkinkan yaitu kadar air substrat dan
kelembaban udara yang tinggi.
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang
dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan
berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas
maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan
berat kering dapat lebih dari 100 persen. (Syarif dan Halid, 1993). Tabrani
(1997), menyatakan bahwa kadar air merupakan pemegang. peranan
penting, kecuali temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat
tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan
makanan pada umumnya merupakan proses mikrobiologis, kimiawi,
enzimatik atau kombinasi antara ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses
tersebut memerlukan air dimana kini telah diketahui bahwa hanya air
bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut.
Aflatoksin adalah senyawa bifuran, non polar, stabil terhadap
panas, dan tahan perlakuan fisik maupun kimia. Dengan sifat-sifat ini
aflatoksin yang sudah mencemari bahan makanan sulit untuk dihilangkan.
Bahkan aflatoksin B1yang terkonsumsi sapi perah melalui pakan juga
tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang
muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1.
2
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi toksin pada tubuh ini terhadap
kesehatan
manusia
ataupun
hewan
ternak
adalah
hepatotoksik
(kerusakan pada hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik,
teratogenik maupun immunosupresif (Watson, 1993; Janssen et al.,
1997).
1.2. Identifikasi
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat diidentifikasi
dua permasalahan:
1.
Adakah hubungan antara kadar air dengan kandungan aflatoksin
2. Bagaimana menekan kandungan aflatoksin pada jagung
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan antara kadar air dengan kandungan
aflatoksin
2. Faktor-faktor apa saja yang dominan menyebabkan tumbuhnya
aflatoksin pada jagung
1.4. Manfaat
1. Salah satu pegangan
bagi petugas PMHP dalam meningkatkan
kuantitas dan kualitas jagung
2. Salah satu bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan dalam
upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas jagung
II. METODOLOGI
2.1. Sampel
Jagung pipil diambil dari petani dan pengumpul yang berasal dari
Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Pengambilan contoh dilaksanakan pada Bulan Juni 2017.
3
2.2. Uji
Sampel diuji di laboratorium PT. Angler Bio Chem Lab, Surabaya.
Kadar air diuji dengan oven, sedangkan mikotoksin diuji dengan metode
HPLC with Triple Quadrupole Tandem Mass Spectrometry Detector (LCMS/MS).
2.3. Analisa Korelasi
Untuk melihat hubungan antara kadar air dengan kandungan
aflatoksin digunakan uji Korelasi Pearson
III. TINJAUAN PUSTAKA
Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin
yang cukup tinggi termasuk di Jawa Barat. Dari berbagai hasil penelitian di
Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin utama pencemar jagung dan
bahan pakan ternak (Widiastuti et al., 1988; Bahri et al., 1995;2005 dalam
Widiastuti, 2006). Cemaran Aspergillus flavus pada jagung umumnya
terjadi sejak tanaman masih berada di kebun, karena kapang ini
merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah.
Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar
air dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus
mampu tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30oC
dan RH ≥ 95%.
Penelitian di Jawa Timur menunjukkan hasil uji infeksi jamur terjadi
pada hampir 100 % biji jagung biji yang diambil dan terinfeksi oleh jamur
bermiselia putih dan hitam (tidak dilakukan identifikasi lanjut), Aspergilus
dan Penicillium (Rahayu, et al., 2003). Keadaan ini menunjukkan sangat
tingginya persentase kerusakan biji jagung di Indonesia, mengingat Jawa
Timur merupakan Propinsi penghasil jagung terbesar di Indonesia yaitu
sebesar 35,8 % dari luas areal panen jagung di Indonesia (www.bps.go.id,
2004). Penggunaan
biji jagung selain untuk konsumsi manusia juga
4
digunakan sebagai bahan baku dengan proporsi terbesar sebagai
campuran bahan pakan ternak, terutama pakan ternak unggas.
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan
bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan Aw yaitu
jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai Aw minimum
agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri Aw : 0,90 ; khamir Aw :
0,80-0,90 ; kapang Aw : 0,60-0,70. Untuk memperpanjang daya tahan
suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan
beberapa cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan
pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan
(Winarno,1992).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) (Badan Standarisasi
Nasional, 1995) persyaratan jagung pipil mutu I dan II adalah
mempunyai kadar air maksimum 14%. Menurut Food and Agriculture
Organization(2001) jagung pipil kuning dengan kadar air 17 % yang terdapat pada 12 sampel mutu.
Cemaran
Aflatoksin B1dan B2 yang melebihi batas maksimum yang dikeluarkan
BPOM adalah pada pengumpul kecil dengan kadar air 17.9 % terdapat
cemaran Aflatoksin B1 = 36.5 µg/Kg, cemaran Aflatoksin B2 = 35.7
µg/Kg.
Hal ini dimungkinkan pengumpul kecil tidak mempunyai gudang
penyimpanan dan alat pengeringan yang belum memadai.
Untuk
Aflatoksin G1 nilai diatas batas maksimum ada pada petani dengan
cemaran 26.1 µg/Kg pada kadar air 16.2 % dan pengumpul besar
10
dengan cemaran 113 µg/Kg pada kadar air 13.9 % . Sedangkan dari
cemaran Aflatoksin G2, masih relatif aman dan di bawah standar.
Untuk cemaran okratoksin yang melebihi batas maksimum terdapat di
tingkat petani. Pada hasil pengujian di atas tingkat cemaran Aflatoksin
tidak selalu tergantung pada kadar air, cemaran dapat juga meningkat
dapat dikarenakan bakteri sudah ada pada saat budidaya dengan
sistem penanganan pasca panen yang kurang sempurna.
Tabel 2. Hasil Perhitungan dengan Uji Pearson
Kadar_Air
Kadar_Air
Pearson Correlation
Alfa_B1
1
-.172
-.170
-.253
.230
-.145
.520
.526
.283
.250
.536
20
20
20
20
20
20
-.153
1
**
.168
-.197
.129
.000
.478
.405
.588
20
20
20
20
20
**
1
.158
-.188
.128
.505
.426
.590
20
20
**
.154
.000
.517
20
20
20
**
1
-.520
Sig. (2-tailed)
N
Alfa_B1
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Alfa_B2
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
-.151
1.000
20
20
20
20
-.252
.168
.158
1
.283
.478
.505
20
20
20
Pearson Correlation
.270
-.197
-.188
Sig. (2-tailed)
.250
.405
.426
.000
20
20
20
20
20
20
-.147
.129
.128
.154
-.520
*
1
.536
.588
.590
.517
.019
20
20
20
20
20
Pearson Correlation
N
N
Okra_toksi Pearson Correlation
n
20
.000
Sig. (2-tailed)
Alfa_G2
.520
1.000
.526
N
Alfa_G1
Alfa_B2 Alfa_G1 Alfa_G2 Okra_toksin
Sig. (2-tailed)
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
11
-.924
-.924
*
.019
20
Dari Tabel 2., terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang erat (>
0,5) dan bersifat nyata (α < 0,05) antara kadar air dengan aflatoksin.
Satu-satunya hubungan yang bersifat positif adalah antara kadar air
dengan Alfa G2 namun tidak erat ( 0,230 > 0,05) dan bersifat tidak nyata
(0,250 > 0,05).
Dengan demikian, secara keseluruhan tidak ada
hubungan yang erat antara kadar air dengan kandungan aflatoksin.
Pertumbuhan kapang banyak dipengaruhi faktor substrat, suhu, pH,
kelembaban relatif atau aktivitas air (aw) dan adanya kompetisi dengan
mikroorganisme lain (Gourama,1998). Kadar air atau aktivitas air (aw),
suhu dan waktu simpan merupakan 3 faktor utama yang saling
berinteraksi dalam menentukan pertumbuhan kapang pada biji-bijian yang
disimpan (Sauer DB, et.al,1992). Gibson et al.(1994) juga menyebutkan
bahwa kelembaban relatif lingkungan merupakan faktor yang terpenting
yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus, dibandingkan kondisi
lingkungan lainnya. Dengan demikian, meskipun suhu di kabupaten
Garut dan Bandung cocok untuk perkembangbiakan aflatoksin namun
dari sisi kelembaban kurang memenuhi, sehingga aflatoksin tidak
berkembangbiak dengan sempurna.
Beberapa jenis kapang sudah mulai menginfeksi ketika tanaman
sedang dalam masa pertumbuhan sehingga higiene kebun sangat
diperlukan.
Pemberian pupuk yang optimal juga dapat meningkatkan
resistensi tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, termasuk
Aspergilus Flavus penghasil aflatoksin.
12
Gambar 1. Regresi Kadar air dan tingkat cemaran aflatoksin
4.2. Menekan Kandungan Aflatoksin Pada Jagung
Upaya budidaya dan penangan pasca panen yang baik dapat
menekan pertumbuhan dan perkembangan cemaran aflatoksin. Budidaya
yang baik melalui pemupukan berimbang, pengendalian hama dan
penyakit terpadu serta benih yang baik dapat menekan pertumbuhan
cemaran aflatoksin. Kemudian Penanganan panen dan
pascapanen
melalui penentuan waktu panen yang tepat, pengumpulan, pengangkutan,
sortasi dan penyimpanan yang baik dapat menekan pertumbuhan
cemaran aflatoksin karena kapang sebagai media tumbuhnya aflatoksin
tidak dapat berkembang.
Proses dari mulai budidaya dan penanfganan panen dan pasca
panen merupakan
tahapan penting terjadinya kontaminan mikotoksin.
Petani diharapkan melakukan panen pada saat kadar air biji sekitar
13
20 %, sehingga setelah dijemur kadar air turun dan mencapai nilai aman
13 %.
Pada tingkat petani kegiatan penanganan pascapanen meliputi
pengeringan dan sortasi. Cara mengeringkan bahan pangan hendaknya
dilakukan secepatnya sampai kadar air yang sesuai, sehingga kapang sulit
tumbuh. Sedangkan sortasi dilakukan untuk memisahkan antara jagung
yang sudah terserang oleh kapang.
Payne dalam Haliza et al,(21005) menyatakan pengeringan setelah
panen akan menghindari biji jagung dari kontaminasi kapang seperti A.
flavus. Karena infeksi kapang ini dapat terjadi bersamaan dengan
perkembangan biji atau jamur menempel pada permukaan luar biji setelah
biji mulai masak. Hal ini memungkinkan terjadinya kontaminasi aflatoksin
pada saat panen, bahkan hingga 14 pbb. Penundaan pengeringan selama
dua hari telah meningkatkan kontaminasi afatoksin dari 14 menjadi 94 ppb
(Subandi, 1998) . Oleh karena itu pengeringan untuk menurunkan kadar
air hingga ke leval aman dan merupakan tindakan yang sangat penting.
(Haliza, et al, 2005).
Menurut Purwadaria (1987), kegiatan pascapanen jagung meliputi
pemanenan, pengangkutan, pengeringan, perontokan dan penyimpanan.
Pada kegiatan pasca panen, para petani masih melaksanakan
proses pengeringan di lapangan yang dilakukan seadanya, tidak atau
belum menggunakan lantai jemur yang terjaga kebersihannya.
Cara panen yang masih umum dilakukan oleh petani adalah dengan
mengeringkan tongkol berklobot yang masih menempel pada batang
tanaman di lahan, setelah kering baru dipotong.
Sedangkan untuk
pengeringan tongkol jagung yang telah dipanen, umumnya dijemur
menggunakan sinar matahari yang hanya dijemur dengan dihamparkan
langsung di tanah dengan alas karung plastik. kondisi ini juga dapat
meningkatkan potensi kontaminasi jamur pada biji jagung.
14
Sortasi
perlu
dilakukan
dengan
memisahkan
bahan
yang
berkapang, langkah ini sangat penting dilakukan untuk mengurangi
kontaminasi afatoksin pada produk akhir. Mesin sortasi dan peralatan
yang sesuai dibutuhkan untuk memperoleh proses sortasi yang maksimal.
Peralatan seperti
Near
Infra
Red
(NIR)
dapat
digunakan
untuk
memisahkan biji berkapang yang hanya membutuhkan beberapa menit
saja untuk beberapa kilogram biji (Haliza, et al, 2005) . Kegiatan
penyimpanan,
pengangkutan,
dan pemasaran terjadi pada tingkat
pengumpul dan pedagang besar.
Jagung
dengan
kadar air 15 – 15,5% dapat disimpan aman
selama 1 tahun pada suhu 15o C, namun pada suhu 30o C hanya 6 bulan
sudah mengalami kerusakan kapang dari sedang sampai berat. Blaha et
al, 1986, mengatakan bahwa suhu dan kelembaban relatif memainkan
peranan penting tidak hanya terhadap pertumbuhan kapang, tetapi juga
terhadap produksi aflatoksin. Faktor-faktor tersebut secara umum dapat
dikelompokkan dalam 3 komponen utama yaitu, kondisi bahan yang
disimpan (nutirisi, pH, kadar air, kerusakan fsik), kondisi lingkungan tempat
penyimpanan
(terutama suhu dan kelembaban relatif) dan kapang
perusak.
Hasil uji di laboratorium menunjukkan bahwa jagung pipilan dari
petani masih ada produk yang kadar airnya cukup tinggi yaitu 31.6%.
Kontaminan Aspergillus spp awal sangat besar pengaruhnya dalam
produksi aflatoksin, namun tidak semua Aspergillus flavus mampu
menghasilkan aflatoksin. Kapang toksigenik mempunyai minimum aktivitas
air untuk pertumbuhan dan produksi mikotoksin, kandungan air yang aman
akan
menjadi
batas kritis untuk mengkontrol dalam pengendalian
kontaminan kapang. Kandungan air pada level yang tidak aman, dalam
waktu 48 jam kapang dapat tumbuh dan mikotoksin dapat dihasilkan. Hal
tersebut menjelaskan
bahwa
penanganan
jagung
yang memadai
secepat mungkin melalui pengeringan sangat menentukan terjadinya
15
kontaminan kapang.
Selanjutnya, penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point
(HACCP) pada setiap tahap proses produksi sampai dengan pascapanen
untuk mengendalikan kontaminan mikotoksin pada jagung Menurut
Anonymous (2001), pendekatan HACCP merupakan salah satu cara
untuk mengendalikan kontaminansi kapang
khususnya kapang yang
menghasilkan afatoksin.
HACCP merupakan suatu pendekatan untuk mencegah dan
mengontrol penyakit karena keracunan makanan (Bryan, 1992) . Sistem ini
dirancang untuk mengidentifkasi
bahaya
yang
berhubungan dengan
beberapa tahapan produksi, prosesing atau penyiapan makanan, serta
memperkirakan resiko yang akan terjadi dan menentukan prosedur
operasi untuk prosedur kontrol yang efektif. Dijelaskan pula bahwa sistem
tersebut tepat untuk menetapkan sistem pengendalian karena lebih
berfokus pada pencegahan dari pada pengujian produk akhir.
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk
primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipandu oleh
bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Tahapan
pascapanen merupakan tahapan kritis pada
perkembangan kapang
penghasil mikotoksin. Sehingga dengan memperhatikan setiap tahapan
yang menjadi titik kritis (Critical points
/CP) pada pascapanen jagung
dapat mengendalikan kontaminan mikotoksin pada jagung.
Miskiyah
et al
Menurut
,2008, jika proses pemanenan sampai dengan
pengeringan dilakukan secara baik dan terkontrol maka kandungan awal
cemaran
kapang
cukup
kecil,
yaitu
Pennicillium
sp
(100
CFU/gr),Aspergillus niger (20 CFU/gr), dan Aspergillus flavus(10 CFU/gr).
Kandungan aflatoskin B1, B2, G1 danG2 selama 8 minggu penyimpanan
yaitu