ANALISIS KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL TERHAD

ANALISIS KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL
TERHADAP EVALUASI PENDIDIKAN
Oleh: Zulkifli Kamumu

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap
negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar
dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui
proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki
kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah
kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan serta metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk
evaluasi.
Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang
tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun tidak semua bentuk evaluasi dapat
dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi

tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang
digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat
mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah.
Ujian Nasional, yang dulu dikenal sebagai Ujian Negara dari tahun 1945 sampai dengan
1970, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dari 1984 sampai 2001, Ujian
Akhir Nasional (UAN) dari tahun 2001 sampai 2005, dan Ujian Nasional (UN) dari tahun
2005 hingga sekarang ini, sudah diselenggarakan sejak diberlakukannya Kurikulum 1968,
1984 dan 1994. Pelaksanaan Ujian Nasional dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah
yang cukup ramai dibicarakan dan menjadi kontroversi dalam banyak seminar atau
perdebatan. Beberapa kali sempat terlontar rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk
1

menghapus atau meniadakan Ujian Nasional tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud sendiri
pernah melontarkan pernyataan akan menghapus UN, dan pernyataan beberapa anggota
Dewan yang mengusulkan penghapusan UN tersebut.
Dalam tahun 2006, walaupun UN mengalami peningkatan dalam presentase
kelulusan, masih dipandang sebelah mata oleh anggota DPR. Hal ini terjadi karena
banyaknya laporan yang masuk ke DPR mengenai penyelewengan yang terjadi dalam UAN
tersebut. Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR, UN dinilai diskriminatif terhadap peserta

didik. Komisi X menilai UN ini sebaiknya hanya digunakan untuk pemetaan kemampuan
siswa yang nantinya digunakan untuk mendukung pembuatan kebijakan dan bukan untuk
penentu kelulusan. UN juga bertentangan dengan Sisdiknas, karena dalam Sisdiknas
dikatakan bahwa tenaga pengajar diberikan kewenangan untuk menilai siswanya dalam
masalah kelulusan.
Sedangkan pada tahun 2005, Komisi X DPR RI pernah menolak kebijakan
pemerintah khususnya Mendiknas Bambang Sudibyo yang bersikukuh tetap melaksanakan
UN di tahun 2005 yang lalu. Menurut Ketua Komisi X Heri Akhmadi, pelaksanaan UN
bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Dalam undangundang tersebut dinyatakan : Evaluasi Peserta Didik, satuan Pendidik, dan program
pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistematik, untuk menilai pencapaian standard nasional pendidikan. Dalam pasal 58 UU
Sisdiknas tersebut juga dinyatakan bahwa evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.
Dengan demikian UN dalam implementasinya mengalami krisis kebijakan dimana
faktor penyebab krisis dapat ditinjau dari berbagai dimensi sebagai contoh sederhana krisis
tersebut dapat terjadi karena kekurangan dalam proses perumusan kebijakan dan programnya,
kekeliruan dalam proses perencanaan, penyimpangan dalam pelaksanaan, kelemahan dalam
penentuan anggaran atau bahkan pada saat pengawasan dan dan pelaporan.
Oleh karena itu, pada makalah ini mencoba untuk mengupas analisis kebijakan

evaluasi dalam bentuk UN serta permasalahannya dan juga rekomendasi tentang pelaksanaan
evaluasi yang bertaraf nasional.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisa Kebijakan UN
Dalam pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UN yang bertentangan
dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada
anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap
bahwa UN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil
kebijakan untuk menerapkan UN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian
Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah
untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada
siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan
gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam UndangUndang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi
tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi pendidikan diharapkan dapat

memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap
demokratis peserta didik.
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat
diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi
bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa
dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat
nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UN sebagaimana yang
dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia,
apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi
bahwa soal-soal UN selalu berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar
maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan
sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya
memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan
sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran
3

dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan
kognitif saja. UN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan
anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UN tidak akan mampu

melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam
mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UN tidak akan
mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya
tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan
penyelenggaraan UN.
Selain itu pula UN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata
pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan
peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang
dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran
tentang perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat
memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak
dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di
ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya
dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak
selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang
ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar
tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah
untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan

pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah
ironis kalau UN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan
pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif,
afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk
manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang
semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UN. Dengan kata
lain, UN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UN juga tidak sejalan
dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu
diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan
4

situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota
besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan,
apalagi di daerah terpencil yang berada di bagian Indonesia Timur. Kondisi yang jauh
berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan
kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerahdaerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang
jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan
penerapan UN dengan standar yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah

melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang
tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah
menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UN hanya pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi
orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA
yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang
memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa
pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan
terkubur dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana
mereka bisa lulus dalam UN tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UN hanya pada
beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya
mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini
dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak
senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi
peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang
karena dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode
pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan
sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan

dengan metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan
bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UN bertentangan dengan
kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun
1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UN dilaksanakan bersamaan
dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama
5

juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah.
Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah,
tetapi pelaksanaan UN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena
sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UN yang diatur dari pusat. Selain itu UN
berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah
satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang
diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan
otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan
manajemen berbasis sekolah. UN telah dijadikan alat untuk “menghakim” siswa,
tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal.
Dengan kata lain, UN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat
rendah, telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi,

kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama
siswa di daerah pedesaan. Dengan kata lain, kecerdasan hanya diukur melalui UN.

B. Evaluasi Pendidikan Seharusnya Meluruskan Kebijakan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UN banyak bertentangan
dengan evaluasi pendidikan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit
dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UN
maka selama itu perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena
memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui
berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak,
artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak.
Memperlakukan semua anak dengan memberikan UN sama artinya menganggap
semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal
kenyataannya berbeda.
Sebaiknya,

evaluasi sepenuhnya

diserahkan kepada sekolah.


Sistem

penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk
oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan
menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas
akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan

6

ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak
bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat.
Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam
menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah
berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada
manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya
sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan
nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya,
maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima
di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke
sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan

evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam
melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku
secara umum.
Apabila UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus
dimodifikasi dimana UN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi
dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UN tidak perlu dikaitkan
dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada
umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UN haruslah minimal 6 atau 7
sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Bila
suatu evaluasi mengacu pada hal tersebut di atas maka UN bukanlah suatu kebijakan
yang patut dipertentangkan lagi.
Oleh karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang
sistem penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan
ulang kebijakan UN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan
melakukan pelurusan kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang
dapat ditempuh antara lain pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang
Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi
leading sectornya dan anggotanya bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat
pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan,
organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya.
Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua
7

kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya dengan
melakukan studi banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai dengan
Indonesia dan kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku serta melaporkan hasil kerjanya kepada Pemerintah. Hasil dari
kegiatan kajian tersebut akan menghasilkan butir-butir rekomendasi yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang penilaian pendidikan. Adapun kajiankajian yang dilakukan tersebut dapat berupa substansi seperti:
1. Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir
serta berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan
tinggi.
2. Pengembangan model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat sampai
dengan kemungkinan menggunakan ujian akhir online (online assessment)
perlu diantisipasi dalam era teknologi informasi.
3. Bentuk-bentuk laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat, sistem
pemberian skor atau nilai.
4. Apakah diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah ditetapkan
dalam PP tentang Standar Nasional Pendidikan?
5. Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang akan
menjadi pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP).
Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan Menteri
tentang sistem penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan dimana
PP ini secara komprehensif akan mengatur tentang hal-hal sampai yang terkecil.
Setelah PP dapat diterbitkan maka kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsekuen
dan konsisten.
C. Analisis Manajemen Ujian Akhir
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan melibatkan orang-orang yang mampu dan terlibat dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu perencanaan ujian nasional perlu melibatkan
8

berbagai pihak, seperti guru, kepala sekolah, MGMP, LPMP, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota,

Dinas

Pendidikan

Provinsi,

Dewan

Pendidikan

Kabupaten/Kota, lembaga pelaksana pengujian nasional, dan BSNP. Adapun
yang perlu diperhatikan dalam perencanaan ujian nasional meliputi hal-hal
sebagai berikut:


Prosedur Operasi Standar (POS). Untuk mempermudah
pelaksanaan ujian nasional yang perlu dirumuskan adalah
prosedur tetap pelaksanaan ujian nasional yang disebut sebagai
Prosedur Operasi Standar (POS). Pembuatan POS ini
ditekankan pada langkah-langkah yang harus ditempuh berupa
penyiapan perangkat tes yang akan digunakan yang meliputi
penulisan soal, telaah soal, revisi soal, uji coba soal, analisis
butir soal, kalibrasi soal, dan penyusunan perangkat tes.



Rekrutmen Pengawas. Pengawas ujian nasional harus
memiliki pengetahuan tentang ujian nasional, memiliki
integritas

yang

tinggi

dan

bertanggung

jawab

dalam

menjalankan tugas.


Pengamanan Tahap Perencanaan. Dalam tahap ini dimulai
dari pengamanan pengembangan soal untuk mengantisipasi
kebocoran soal oleh penulis sampai pada pengamanan
pengiriman perangkat soal.



Informasi Ujian Nasional dan Penyebarannya. Informasi
ujian nasional dikemas oleh orang yang professional dan
penyebarannya direncanakan secara professional pula.



Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan

2. Pengorganisasian (Organizing)
Agar pelaksanaan ujian nasional dapat berjalan dengan tertib dan
lancer serta mencapai sasarannya, maka pengorganisasian pelaksanaan ujian
nasional di seluruh daerah dari mulai tingkat sekolah, kabupaten/kota,
provinsi, dan pusat perlu ada satu kesatuan sistem dan menggunakan struktur
organisasi Diknas.
3. Pelaksanaan (Actuating)

9

a. Ujian secara on-line. Untuk penyelenggaraan ujian nasional perlu
diinformasikan sejak awal bahwa kisi-kisi soal ujian itu dibuat oleh
Pusat, sedangkan soalnya berasal dari bank soal yang terkalibrasi.
b. Pengamanan Pelaksanaan Ujian Nasional. Pengamanan pada tahap
pelaksanaan ujian nasional merupakan suatu hal yang sangat penting.
Pengamanan mulai dari identitas peserta ujian nasional sampai pada
pengamanan pengiriman lembar jawaban dan pengamanan laporan
hasil ujian nasional agar hasil yang dilaporkan benar-benar
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya seperti yang tertera pada
SKH ujian nasional.
c. Komitmen Kepala Daerah. Kepala daerah diharapkan memiliki
komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kemampuan guru dan
kepala sekolah di wilayahnya agar hasil ujian nasional menjadi baik.
Tindakan berupa kebijakan menekan sekolah untuk memperoleh
peringkat kelulusan yang tinggi tanpa menyediakan sumber dukungan
yang memadai tidak akan menghasilkan peningkatan pendidikan di
daerah tersebut, bahkan dapat memicu untuk menghalalkan segala cara
agar hasil ujian nasional siswanya dapat lulus seratus persen.
d. Aturan

Pelaksanaan

Ujian

Nasional.

Secara

komprehensif,

substantif maupun administratif aturan pelaksanaan penyelenggaraan
ujian nasional dibuat oleh Pusat. Aturan pelaksanaan ujian nasional
yang termuat dalam POS dibuat untuk mengantisipasi pelanggaran
yang dilakukan baik oleh peserta ujian, pengawas ujian, guru maupun
aparat pemerintah lainnya.
e. Sanksi terhadap Pelanggaran Ujian Nasional. Jenis sanksi yang
diberikan harus berbeda sesuai dengan siapa, apa, dan bagaimana
pelanggaran itu dilakukan. Secara garis besar sanksi terdiri atas tiga
jenis, yaitu: (1) Teguran lisan untuk pelanggaran ringan, (2) Teguran
tertulis untuk pelanggaran sedang, dan (3) Dikeluarkan atau tidak lulus
untuk pelanggaran berat.
f. Penghargaan. Penghargaan perlu diberikan untuk meningkatkan
kinerja penyelenggaraan ujian. Bentuk penghargaan diserahkan pada
kebijakan pimpinan.
4. Pengawasan (Controlling)
10

Jenis pengawasan yang dilakukan dalam penyelenggaraan ujian
nasional meliputi pengawasan nasional (wasnal), pengawasan melekat
(waskat), dan pengawasan masyarakat (wasmas). Ketika pelaksanaan ujian
nasional berlangsung, pengendalian juga perlu dilakukan untuk mengoreksi
terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan.

BAB III
PENUTUP
Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UN dengan model evaluasi pendidikan
yang seharusnya, tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UN itu sendiri. Dimana
kebijakan UN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang ingin dicapai
menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan sistematik tidak
hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi juga berdampak
buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung karena perhatian dan porsi
pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan
sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri serta dapat
mengatasi segala persoalan yang dihadapi.
Dalam perencanaan pelaksanaan ujian nasional sudah sesuai dengan prinsip-prinsip
perumusan kebijakan meskipun masih terdapat kekurangan dan kelemahan yang harus
diperbaiki. Dan dalam tahap pengawasan dan evaluasi pada dasarnya sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip evaluasi meskipun untuk proses evaluasi kebijakan sebagai bagian untuk
merencanakan kegiatan berikutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan
mereka menganggap hanya sebagai pelaksana saja.
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UN ini atau
memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal.
Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai
dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan
bangsa dan Negara di masa mendatang.

11

12