Modul Penguatan Kader Gampong untuk Mela
P P P ENGUATAN ENGUATAN ENGUATAN K K K ADER ADER ADER G G G AMPONG UNTUK AMPONG UNTUK AMPONG UNTUK MODUL MODUL MODUL M M M ELAKUKAN ELAKUKAN ELAKUKAN A A A DVOKASI DVOKASI DVOKASI H H H AK AK AK P P P EREMPUAN DAN EREMPUAN DAN EREMPUAN DAN PELATIHAN PELATIHAN PELATIHAN A A A NAK NAK NAK
Oleh: Oleh: Oleh:
Khairani Arifin, Rizki Afiat, Suraiya Kamaruzzaman Khairani Arifin, Rizki Afiat, Suraiya Kamaruzzaman Khairani Arifin, Rizki Afiat, Suraiya Kamaruzzaman
KATA PENGANTAR
Ada dua hal penting yang melatar belakangi Modul Pelatihan Penguatan Kader Desa dalam advokasi hak-hak komunitas dan pencapaian standar minimum pelayanan di unit pelayanan . Pertama keinginan untuk melakukan pendidikan dan keterampilan perempuan, khususnya kader desa, terkait dengan kepemimpinan dan advokasi hak-hak komunitas, sehingga mereka mampu terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik di tingkat gampong/kampong, kecamatan maupun kabupaten, dan mampu berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada stakeholder perempuan lain di tingkat desa. Kedua, keinginan untuk mendokumentasikan proses belajar bersama yang dilakukan 478 kader perempuan/perempuan pemimpin di tingkat gampong dari 6 Kabupaten, karena modul ini ditulis secara lengkap setelah proses training dilaksanakan dan pada saat persiapan serta pelaksanaan training mendapat masukan yang sangat kaya dari tim fasilitator (trainer), panitia pelaksana, narasumber dan peserta training.
Materi-materi yang tersaji dalam Modul Pelatihan ini merupakan rangkaian dari berbagai pelatihan yang dipersiapkan untuk memperkuat pengetahuan dan ketrampilan perempuan sebagai pemimpin serta dapat menjalankan peran-peran mereka secara maksimal. Adapun rangkaian pelatihannya adalah : 1) Gender dan inklusi sosial, 2) Hak ekonomi, sosial dan budaya perempuan, 3) Kepemimpinan perempuan,
4) Pelayanan publik, 5) Perencanaan dan penganggaran responsif gender, 6) Teknik berbicara di depan umum dan memfasilitasi dan advokasi. Training ini dapat dilaksanakan secara terpisah, akan sangat baik bila dapat dilaksanakan seluruh rangkaiannya, namun juga dapat dipilih berdasarkan kebutuhan masing- masing peserta training.
Kepada Unit Gender dan Inklusi Sosial LOGICA2 (Suraiya Kamaruzzaman dan Khairani Arifin) terimakasih banyak kami ucapkan yang telah menginisiasi pelaksanaan dan mengawal proses dan substansinya sampai modul pelatihan ini selesai. Juga kepada Rizki Afiat yang terlibat langsung dalam penulisan modul pelatihan. Penghargaan yang teramat tinggi kepada seluruh tim fasilitator (trainer) dan panitia dengan komitmennya yang sangat tinggi mulai dari mengembangkan alur training, membuat materi, melaksanakan training serta memberi masukan-masukan pada proses evaluasi. Mereka adalah : Abdullah Abdul Muthalib, Agus Arianto, Budi Arianto, Devi Mutiara, Elvida, Fatimahsyam, Irwan,Leila Juari,Muchlis Rama,Nawawi, Norma Manalu, Saiful Izki, Seri Rahayu, Siti Maisarah danWanti Maulidar.
Modul Pelatihan ini tentu saja belum sempurna, untuk itu masukan dan kritikan untuk menyempurnakannya sellau kami terima dengan senang hati.
Banda Aceh, 1 Juni 2013 Jeff Herbert Team Leader LOGICA2
Latar Belakang
Setelah hampir 30 tahun Pemerintah Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dengan UU No. 7 Tahun 1984 dan 13 tahun setelah adanya INPRES No. 9 Tahun 2000, belum terlihat perubahan yang cukup signifikan terhadap pemenuhan dan pemajuan hak-hak perempuan. Pemerintah Aceh dengan UU Pemerintahan Aceh yang selanjutnya diturunkan dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Hak Perempuan telah memperlihatkan komitmen awal untuk pemenuhan dan pemajuan hak perempuan di Aceh. Penandatanganan Piagam Hak Perempuan oleh seluruh pemangku kebijakan di Aceh juga memperlihatkan perhatian yang sangat serius terhadap berbagai persoalan perempuan di Aceh, dan komitmen untuk mencoba menjawab berbagai masalah tersebut dengan cara yang bermartabat.
Aturan-aturan yang disahkan diharapkan tidak menjadi dokumen mati yang tidak di implementasikan. Untuk itu diperlukan advokasi yang terus menerus terhadap berbagai kebijakan yang sudah ada, serta mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang konstruktif, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota dan gampong, sehingga memunculkan banyak inovasi yang dapat menciptakan kesetaraan, keadilan dan kedamaian di Aceh.
Salah satu tujuan Mainstreaming Gender dalam Program LOGICA 2 yang ingin dicapai adalah meningkatnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan terbangunnya jaringan yang kuat untuk mendukung kapasitas perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan banyaknya persoalan perempuan yang ada di Aceh yang membutuhkan perhatian dari berbagai lembaga yang konsern untuk isu ini. Peminggiran, penomorduaan, pemiskinan, mengalami berbagai bentuk kekerasan masih terus dialami perempuan, dan belum ada upaya yang signifikan dari pemerintah untuk menjawab masalah ini. Tujuan ini sangat sesuai dengan UN SCR 1325 yang memandatkan agar perempuan terlibat dalam menjaga perdamaian, berpartisipasi dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan menikmati hasil pembangunan paska konflik dan UN SCR 1820 yang mengakui kekerasan seksual pada masa perang (konflik), yang telah berlangsung di Aceh selama lebih 30 tahun.
Dalam struktur pemerintahan gampong, jumlah perempuan juga sangat minim, baik sebagai Tuha Peut, Tuha Lapan maupun jabatan pengambilan keputusan lainnya. Keterlibatan perempuan masih dilihat sebagai pelengkap, dan suara-suara mereka belum duperhitungkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Hal ini dikerenakan berbagai alasan, baik karena budaya yang menempatkan perempuan di lingkar domestik, sehingga perempuan tidak tebiasa mengeluarkan pendapatnya di ruang publik maupun karena perempuan tidak cukup punya kapasitas untuk mengadvoksi hak-hak mereka.
Untuk itu penting untuk melakukan upaya penguatan perempuan di tingkat komunitas terkait dengan hak-hak mereka dan pelayanan publik yang tersedia. Peran perempuan dalam melakukan advokasi hak- hak komunitas membutuhkan persiapan. Strategi untuk kampanye informasi publik dan rencana advokasi melalui media dapat difokuskan pada pengetahuan tentang aturan (qanun, peraturan bupati) dan regulasi tentang kesetaraan gender, promosi untuk kepemimpinan perempuan, dan pengarusutamaan gender dalam ranah pelayanan publik. Hal tersebut dikarenakan persoalan hak-hak komunitas menyangkut beragam dimensi yang menyentuh sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang melibatkan baik perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, kesetaraan gender merupakan bagian penting dalam perwujudan hak-hak komunitas.
Salah satu problem perempuan di Aceh serupa seperti di banyak tempat di dunia, yaitu tantangan budaya. Pada banyak kasus, budaya kerap memarjinalkan posisi dan peran perempuan. Karenanya, mengakui hak-hak budaya perempuan dapat menjadi peran kunci untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dihargai lebih luas. Hak-hak budaya mampu memberdayakan, karena akan memberi perempuan kendali atas hidup mereka, memfasilitasi atas pencapaian hak-hak lainnya. Aspek transformative dari hak kultural adalah memampukan karakteristik dan kemampuan baik laki-laki dan perempuan untuk menentukan cakupan aktivitas yang dapat mereka lakukan di masyarakat.
Perspektif dan kontribusi perempuan harus bergeser dari pinggir kehidupan budaya ke pusat yang mencipta, memaknai, dan membentuk budaya. Di tingkat komunitas, budaya berperan penting dalam dinamika kehidupan domestik dan sosial. Oleh karena itu, peran perempuan dalam pemenuhan hak-hak komunitasmerupakan kebutuhan masyarakat untuk berkembang.
Modul ini menekankan pelatihan pada materi konseptual dan praktis bagi para perempuan kader desa untuk melakukan advokasi hak-hak komunitas dan standar minimum pelayanan di unit pelayanan publik. Pembangunan Aceh pascarekonstruksi membawa berbagai manfaat bagi masyarakat baik di perkotaan dan perdesaan, tak hanya perkembangan inftrastruktur dan mobilisasi sosial, namun juga dampak kesenjangan sosial, korupsi, ancaman kerusakan alam, hingga kurangnya kualitas layanan publik. Di lain sisi, keterbukaan masyarakat pascakonflik juga menyibak persoalan seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan akibat kurangnya akses dan kendali kaum perempuan pada sektor- sektor publik khususnya di desa. Berbagai problema di tingkat komunitas harus ditangani dengan pendekatan lokal dan keterlibatan aktif para perempuan.
Tujuan
Modul ini diharapkan mampu menjadi bagian proses penguatan pengetahuan dan keterampilan perempuan, khususnya kader desa, terkait dengan kepemimpinan dan advokasi hak-hak komunitas, sehingga mereka mampu terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik di tingkat gampong/kampong, kecamatan maupun kabupaten, dan mampu berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada stakeholder perempuan lain di tingkat desa.
Metode
Pelatihan ini menggunakan metodologi partisipatif dengan pendekatan pendidikan orang dewasa (andragogi). Metodologi ini dipilih karena pada dasarnya peserta sudah memiliki berbagai kemampuan dalam bentuk pengalaman, sehingga mereka hanya tinggal didorong untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman mereka. Selain itu, dengan metodologi partisipatif ini memudahkan peserta untuk lebih cepat memahami berbagai hal yang dibahas selama pelatihan karena mereka terlibat secara aktif, bukan hanya sekedar mendengar dan melihat saja. Hal lainnya adalah, bahwa dengan metodologi partisipatif ini dapat meminimalkan kejenuhan peserta selama mengikuti pelatihan ini.
Secara teknis beberapa metode yang digunakan untuk lebih memaksimalkan proses pembelajaran ini seperti curah pendapat (brain storming), diskusi kelompok, diskusi pleno, bermain peran (role play), permainan (game), simulasi, sumbang saran, studi kasus, dan refleksi/review.
Modul ini disusun dengan memperkenalkan gagasan umum yang saling terkait antara gender, hak-hak Modul ini disusun dengan memperkenalkan gagasan umum yang saling terkait antara gender, hak-hak Modul ini disusun dengan memperkenalkan gagasan umum yang saling terkait antara gender, hak-hak komunitas dan pelayanan publik, lalu mengerucut kepada konsep dan teknik advokasi. Hal ini untuk komunitas dan pelayanan publik, lalu mengerucut kepada konsep dan teknik advokasi. Hal ini untuk komunitas dan pelayanan publik, lalu mengerucut kepada konsep dan teknik advokasi. Hal ini untuk membangun paradigma bahwa persoalan gender bukanlah isu yang asing melainkan dekat dengan membangun paradigma bahwa persoalan gender bukanlah isu yang asing melainkan dekat dengan membangun paradigma bahwa persoalan gender bukanlah isu yang asing melainkan dekat dengan kehidupan sehari-hari dan sistem sosial yang terkonstruksi yang saling berinteraksi. Setelah itu, peserta kehidupan sehari-hari dan sistem sosial yang terkonstruksi yang saling berinteraksi. Setelah itu, peserta kehidupan sehari-hari dan sistem sosial yang terkonstruksi yang saling berinteraksi. Setelah itu, peserta pelatihan dapat mengaitkan konsep dan pengetahuan tersebut ke dalam wawasan dan strategi advokasi pelatihan dapat mengaitkan konsep dan pengetahuan tersebut ke dalam wawasan dan strategi advokasi pelatihan dapat mengaitkan konsep dan pengetahuan tersebut ke dalam wawasan dan strategi advokasi yang aplikatif. yang aplikatif. yang aplikatif.
Hak ekosob
Gender dan isu Gender dan isu Gender dan isu
perempuan
sosial sosial sosial
perencanaan
dan penganggar- an responsif
gender
HAK-HAK KOMUNITAS DAN PELAYANAN PUBLIK
public speaking
Basis Basis Basis
fasilitasi fasilitasi
penguatan penguatan penguatan
pertemu pertemu
kader desa kader desa kader desa
an an
ADVOKASI
1. PENGANTAR
I. Orientasi pelatihan
2. GENDER DAN ISU SOSIAL
I. Pengantar gender
II. Analisis gender
3. HAK EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA PEREMPUAN
I. Pengenalan hak ekosob perempuan
II. Hak pendidikan
III. Hak atas lingkungan
IV. Kesehatan reproduksi
V. Kekerasan terhadap perempuan
VI. Hak perempuan dalam pernikahan
4. KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
I. Kepemimpinan di tingkat komunitas
II. Partisipasi perempuan dalam pembangunan
III. Perempuan dan politik
5. PELAYANAN PUBLIK
I. Konsep dan kebijakan pelayanan publik
II. Penyusunan standar pelayanan publik
III. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam pelayanan publik
IV. Monitoring dan evaluasi pelayanan publik
6. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER
I. Perencanaan gampong yang partisipatif dan berkeadilan
II. Konsep Anggaran Responsif Gender (ARG) dan penerapannya dalam pembangunan gampong
7. PUBLIC SPEAKING DAN FASILITASI PERTEMUAN
I. Teknik public speaking
II. Mempersiapkan dan memfasilitasi pertemuan
III. Mempersiapkan dan memfasilitasi lokakarya
IV. Mempersiapkan dan memfasilitasi pelatihan
8. ADVOKASI
I. Pemahaman dan strategi advokasi
II. Penyelesaikan masalah non-litigasi dan litigasi
III. Strategi advokasi pelayanan publik
IV. Advokasi kekerasan dalam rumah tangga
V. Pendampingan korban
ORIENTASI PELATIHAN
Tujuan
- Mencairkan suasana antar peserta, fasilitator dan panitia - Menyampaikan tujuan pelatihan - Menyampaikan alur pelatihan - Membangun kesepakatan belajar - Melakukan pre tes
- Review pelatihan Materi
- Orientasi Training - Alur pelatihan
Metode
Permainan, presentasi, diskusi, kerja mandiri
Waktu
90 menit
Alat dan
- Plano, flip chart
Bahan
- Spidol, lakban, meta card, krayon - Alat presentasi (LCD/Infocus, Laptop)
Langkah
1. Buka training dengan mengajak peserta melakukan perkenalan dengan cara
Pelaksanaan
bermain: Minta peserta membentuk 3 kelompok, dan persilahkan peserta berbaris
memanjang kebelakang Minta peserta mengikuti instruksi yang disampaikan oleh fasilitator
Sampaikan instruksi kepada peserta untuk berbaris sesuai dengan pertanyaan Ajukan pertanyaan yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan
untuk perkenalan seperti nama, tempat tinggal dan informasi lainnya Cek hasil pelaksanaan instruksi yang diberikan, pada setiap kelompok Beri penghargaan bagi kelompok yang bisa melaksanakan instruksi dengan
baik
2. Sampaikan tawaran aturan yang sudah dipersiapkan dan sepakati bersama dengan peserta
3. Sampaikan alur pelatihan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Buka sesi tanya jawab untuk mengakomodir kebutuhan peserta
I. PENGANTAR GENDER
Tujuan Mengajak peserta memahami realitas di sekitar mereka dan menggali kesadaran kritis tentang identitas mereka sebagai perempuan. Peserta dapat memahami bahwa identitas mereka tersebut juga dikonstruksi secara sosial sebagai gender yang menentukan posisi dan peran mereka di masyarakat berikut segala problematikanya.
Materi
1. Konsep tentang gender
2. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
3. Gender dalam Islam
4. Pengarusutamaan Gender (PUG)
Metode
Menonton film, penyampaian materi tertulis, curah pendapat, diskusi
Waktu
255 menit
Alat dan
- Film pendek/esai visual (30 menit)
Bahan
- Presentasi materi dan bahan - Kertas warna-warni, spidol, selotip - Papan tulis dan flip chart
Langkah
1. Konsep tentang gender + film (60 menit + 30 menit = 90 menit)
Pelaksanaan
• Materi dibuka dengan diskusi mengenai film yang ditonton bersama. Bagaimana tanggapan peserta mengenai perempuan yang dikisahkan? Situasi sosial apa yang dihadapi oleh mereka dan bagaimana mereka menyikapi dinamika hidup mereka? apa kaitan pengalaman mereka dengan gender ? kata-kata kunci ditulis di papan.
• Fasilitator memaparkan pengertian konsep gender, konstruksi sosial, dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. • Konsep gender dikaitkan dengan kata-kata kunci yang sudah ada. Peserta lalu
mengidentifikasi isu-isu sosial dan problematika gender.
2. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender (45 menit)
• Materi dibuka dengan menggali lebih jauh hasil diskusi pada sesi pertama. Perkenalan konsep diskriminasi gender dan pembedaan peran gender yang
menyebabkannya serta faktor-faktor sosial apa yang menopang itu. • Peserta diminta menceritakan pengalaman pribadi atau kisah yang pernah mereka dengar tentang diskriminasi gender di desa mereka. Fasilitator lalu membuat kluster dari pengalaman mereka lalu diskusi
3. Gender dalam Islam (60 menit)
• Ada anggapan yang mempertentangkan gender dengan Islam. Sesi ini mencoba meluruskan kesalahpahaman tersebut dengan memaparkan beberapa kisah perempuan pada Rasulullah yang emansipatif dan dalil-dalil yang mengutamakan keadilan dan ramah perempuan. Curah pikiran bisa dimulai dengan memancing peserta tentang kegelisahan mereka begitu mendengar gender dan kaitannya dengan Islam lalu diskusi.
4. Pengarusutamaan Gender (PUG) (60 menit)
♦ Fasilitator membuka dengan penjelasan tentang PUG: kenapa PUG penting, dasar hukum pelaksanaan, dan siapa saja yang terlibat
♦ Mendorong komitmen peserta untuk terlibat dalam menerapakan PUG dalam perencanaan dan pelaksanaan program masing-masing
Ringkasan Materi
Seks vs Gender
SEKS (jenis kelamin)
GENDER
- Tidak bisa berubah
- Bisa berubah
- Berlaku sepanjang masa
- Bisa dipertukarkan
- Berlaku dimana saja
- Tergantung musim
- Berlaku bagi kelas dan warna - Tergantung budaya masing-masing kulit apa saja
- Berbeda antara satu kelas dengan kelas lainnya - Ditentukan oleh Tuhan
- Bukan kodrat tapi buatan manusia (konstruksi (kodrat)
sosial)
Permasalahan Gender
Peran Gender
(dapat dipertukarkan dan merupakan bentukan manusia/bukan kodrat)
Laki-laki
Perempuan
Produktif: kerja yang dibayar Reproduktif:kerja rumah tangga, asuh anak Politik Komunitas: berkaitan dengan
yang umumnya tidak dibayar kekuasaan
Pengelolaan Komunitas:kerja sosial yang sifatnya sukarela
Dalam sejarah perkembangan hubungan laki-laki dan perempuan, perbedaan gender ini
menciptakan hubungan tidak adil, menindas serta mendominasi salah satu diantara antara kedua jenis kelamin.
Ketidakadilan yang terjadi bukan bersifat kasuistik atau masalah individu, tetapi masalah sosial yang bersifat terlembaga (sistematik). Ditandai oleh beberapa faktor: Rendahnya partisipasi, akses dan kontrol serta manfaat yang dinikmati perempuan dalam pembangunan Rendahnya peluang perempuan untuk bekerja & berusaha Rendahnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender: subordinasi, kekerasan, pelabelan (stigma), marginalisasi, beban ganda Faktor-faktor yang melestarikan ketidakadilan gender: (1) Budaya Patriarki, (2) Tafsir yang keliru
terhadap aturan agama, (3) Kebijakan dan prilaku aparat penegak hukum yang bias gender Diskriminasi Gender: setiap pembatasan,pembedaan, penekanan,penyingkiran yang dilakukan oleh seseorang karena alasan gender Bentuk-bentuk diskriminasi gender:
Secara langsung
Secara tidak langsung
Diskriminasi sistemik
Terjadi sebagai hasil dari diperlakukan dengan
Jika seseorang
Jika suatu peraturan atau
ketidakadilan yang berakar dalam berbeda secara terbuka
kebijakan sama tetapi
sejarah,adat,norma atau struktur dan langsung
berakibat hanya pada
kelompok atau jenis kelamin
masyarakat yang mewariskan
tertentu yang disenangi
keadaan diskriminatif.
Diskriminasi dalam bentuk ini mungkin tidak sengaja dan tanpa di sadari tetapi berakibat buruk pada korban
Contoh: perempuan lebih
Contoh: perempuan tidak cocok di rumah tangga
Contoh: qanun busana
muslim. Aturannya untuk
diprioritaskan untuk bersekolah
semua muslim namun pada
tinggi karena dianggap perannya
prakteknya perempuan yang
kelak hanya mengurus sumur,
hampir selalu menjadi target
dapur, kasur
Tiga peran gender
PERAN
Perempuan Produktif
Laki-laki
Sering diasumsikan peran (pekerjaan) yang menghasilkan
Pencari nafkah
tidak mempunyai peran barang dan jasa, dan apabila pekerjaan ini
keluarga, pekerja yang
produktif, Pendukung dipertukarkan di pasar akan mendapatkan
dibayar
pendapatan keluarga. pendapatan
Sosial
Berada di posisi peran-peran yang berkaitan dengan
Sebagai pemimpin,
banyak berada di dunia manajemen, jasa, kegiatan sosial dalam masyarakat.
politik, manajemen
pekerjaan yang berhubungan dengan peran reproduktif
Sebagai isteri dan berhubungan dengan peran pendukung
Reproduktif
Sebagai bapak dan
pengelola (manajer) dan pemberian jasa; misalnya mereka yang keluarga
sebagai kepala
tumah tangga sedang bekerja atau yang akan bekerja pada pekerjaan yang sifatnya produktif. Pekerjaan ini meliputi memelihara anak dan pengasuhan,akan tetapi tidak terbatas hanya pada tugas-tugas tersebut
Pengarusutamaan Gender (PUG): strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dilakukan pada sejumlah aspek kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan
dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan & pembangunan.
Tujuan PUG:
Membentuk mekanisme informasi kebijakan dan program yang responsif gender Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi,
sebagai dampak dari bias gender Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender dibidang masing- masing
II. ANALISIS GENDER
Tujuan Peserta dapat mengidentifikasi dan menganalisis kesenjangan gender, faktor- faktor penyebab serta berbagai opsi solusinya
Materi
1. Pemahaman mengenai akses dan kontrol tehadap pengambilan keputusan
2. Identifikasi dan analisa persoalan di masyarakat tentang ketidaksetaraan
gender
3. Analisis gender untuk pemberdayaan perempuan
Metode
Diskusi, presentasi
Waktu
120 menit
Alat dan
- Materi presentasi
Bahan
- Flipchart - Kertas, spidol, lakban
Langkah
1. Pemahaman mengenai akses dan kontrol tehadap pengambilan keputusan Pelaksanaan
(30 menit)
Fasilitator meminta peserta menyebutkan bentuk-bentuk proses pengambilan keputusan, seperti rapat gampong, musrenbang, mediasi adat, dsb. Minta peserta menyebutkan siapa saja yang terlibat serta akses dan kontrol yang dimiliki warga. Fasilitator lalu menjelaskan perbedaan kesempatan mendapatkan akses dan melakukan kontrol bagi perempuan dan laki-laki serta bagaimana perbedaan tersebut dapat menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin.
2. Identifikasi dan analisa persoalan di masyarakat (45 menit)
Fasilitator membagi peserta ke dalam 3 kelompok dengan 3 tema: masa konflik, masa rekonstruksi pascatsunami, dan masa damai (saat ini). Mereka diminta mengidentifikasi persoalan-ketidakadilan yang dihadapi perempuan dan laki- laki dalam kehidupan masyarakat pada masa tersebut. Setelah itu fasilitator membuka diskusi tentang permasalahan ketidakadilan spesifik yang dialami perempuan dan kekerasan berbasis gender dalam masa itu menggunakan materi yang ada.
3. Analisis gender untuk pemberdayaan perempuan (30 menit) Fasilitator menjelaskan kerangka analisis gender untuk membantu identifikasi dan analisis persoalan, lalu tingkatkan kepada cara melakukan pemberdayaan perempuan. Diskusi terbuka.
4. Kesimpulan (15 menit) Fasilitator melakukan review terhadap materi gender dan analisis gender, lalu mengelaborasi hasil dan poin-poin penting dalam diskusi.
Ringkasan Materi
Analisis Gender: Mengintegrasikan aspirasi, kepentingan dan peranan perempuan dan laki-laki kedalam strategi pembangunan di berbaga bidang dan tingkatan (dengan cara mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya)
Menganalisis tentang ASPIRASI, AKSES, KONTROL, MANFAAT DAN DAMPAK dalam konteks pembangunan. Analisis gender dengan kerangka Longwe. Kerangka Longwe menggunakan lima tingkat
persamaan sebagai landasan bagi kriteria untuk menilai tingkat pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan ekonomi yaitu:
Kesejahteraan: mencakup kebutuhan dasar hidup manusia. Tingkat kesejahteraan perempuan relatif terhadap laki-laki misalnya dalam pangan, pendapatan dan perawatan medis.
Akses: persamaan akses terhadap faktor produksi dengan landasan yang sama dengan laki-laki dengan memastikan prinsip persamaan kesempatan dan nondiskriminasi. Kesadaran (kritis): pemahaman mengenai perbedaan antara peran jenis kelamin dan peran gender yang dapat diubah. Penyadaran juga mencakup keyakinan bahwa pembagian kerja secara seksual haruslah adil dan disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak mencakup dominasi ekonomi atau politik. Intinya adalah partisipasi kolektif dalam proses pembangunan.
Partisipasi (pengambilan keputusan): persamaan partisipasi perempuan dalam proses keputusan,pembuatan kebijakan, perencanaan dan administrasi. Partisipasi berarti keterlibatan dalam penilaian kebutuhan, formulasi program, implementasi dan evaluasi.
Kontrol: pemanfaatan partisipasi perempuan dalam proses keputusan melalui penyadaran dan mobilisasi, untuk mencapai persamaan kontrol atas faktor-faktor produksi dan distribusi keuntungan. Persamaan kontrol berarti keseimbangan kontrol antara perempuan dan laki-laki, sehingga tidak ada satu pihak pun yang berada dalam posisi dominan.
Kerangka ini mendefinisikan tiga tingkatan pengakuan isu perempuan di dalam program yaitu: Tingkat negatif: sasaran program tidak menyebutkan isu perempuan. Pengalaman menunjukkan bahwa perempuan sangat mungkin ditinggalkan begitu saja oleh program semacam ini, yang pengaruhnya bersifat negatif terhadap pembangunan perempuan.
Tingkat netral: dimana sasaran program mengakui isu perempuan, tetapi prihatin tetap pada tingkat yang netral dan konservatif untuk memastikan bahwa intervensi program tidak meninggalkan perempuan begitu saja.
Tingkat positif: dimana sasaran program secara positif berkenaan dengan isu perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki. Kapan analisis gender diperlukan?
Pada penyusunan
Apakah program akan melanggengkan atau bahkan memperparah
program
ketimpangan gender saat ini? Apakah program akan dapat menghilangkan ketimpangan gender
saat ini? Apa pilihan-pilihan yang harus dipertimbangkan untuk
memperkuat perspektif gender?
Pada monitoring
Apakah pelaksanaan program sudah berkeadilan gender?
program
Adakah kemajuan ke arah tujuan kesetaraan gender seperti yang
ditunjukkan dalam penyusunan program? Adakah isu-isu gender, yang tidak terindentifikasi pada tahap penyusunan, berhasil dimunculkan? Bagaimana solusinya?
Pada evaluasi
Pada cakupan apa tujuan kesetaraan gender telah terpenuhi?
program
Adakah dampak-dampak gender yang tidak terduga dari program
yang ada?
Cara mengaplikasikan:
(1) Himpun masalah-masalah kesenjangan gender dan faktor-faktor penyebab; kelompokkan
sesuai katagori bidang pembangunan. (2) Ketahui latar belakang terjadinya kesenjangan gender. Umumnya karena adanya
diskriminasi gender. Kadangkala didukung dengan peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang berlaku dalam kehidupan birokrasi dan organisasi kemasyarakatan (bidang pendidikan, kesehatan, KB, ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, hukum dan Hak Asasi Manusia, kesejahteraan) dll.
(3) Identifikasi kesenjangan gender dari berbagai aspek: peran, akses, kontrol, dan manfaat,
guna menentukan isu gender secara menyeluruh. Lima tingkat pemberdayaan perempuan
Tindakan untuk
- Perwakilan setara - Peran aktif dalam
Bagaimana kegiatan
yangada dapat Tingkat tertinggi dari
pembangunan
dipertahankan dan keadilan dan
- Diakuinya sumbangan
Kontrol
dikembangkan ke pemberdayaan gender
masing-masing
- Mempertahankan &
tingkat yang lebih
mencari tujuan
tinggi?
yang lebih luhur
Perempuan telah mencapai
Mengorganisir diri dan bekerja
tingkatdimana mereka Cara-cara apa yang
dalam kelompok makin
Partisipasi mengambil keputusan di harus digunakan?
banyakperwakilan
samping laki-laki
Kesadaran bahwapermasalahan-
Kesadaran tentang peran
permasalahan bersifat
merekadalam menguatkan atau
Apa yang harus
Kesadaran
struktural dan berasal dari
mengubahkeadaan mereka yang
Kesadaran bahwa tidak adanya
Menyangkut Mengapa kita
aksesmerupakan penghalang
kesetaraanakses terhadap mempunyai
Akses
terjadinya peningkatan dan
sumberdaya dan manfaat permasalahan?
kesejahteraan
Hanya menangani kebutuhan dasar
Pemberdayaan mencakup
tanpamencoba
kehendak untukmemahami
permasalahan yangdihadapi dan
permasalahan kita?
raan
struktural yangmenjadi
kebutuhan
akar masalah
I. PENGENALAN HAK EKOSOB PEREMPUAN
Tujuan Meningkatkan pemahaman peserta terhadap hak ekosob, hak-hak perempuan sebagai warga negara dan korban dari berbagai ketidakadilan dalam pembangunan, secara umum di Aceh maupun khusus di tingkat gampong
Materi
1. Pengantar hak ekosob perempuan dalam pembangunan
2. Hak-hak perempuan dalam instrumen CEDAW
3. Telaah: kondisi Aceh saat ini
Metode
- Presentasi - Tanyajawab
Waktu
120 menit
Alat dan
- Plano, flip chart
Bahan
- Kertas, spidol, lakban - Koran - Alat presentasi (LCD/Infocus, Laptop)
Langkah
1. Pengantar hak ekosob dalam pembangunan (30 menit) Pelaksanaan
Faslitator memaparkan konsep gender dan prakteknya dalam konteks ekonomi, sosial, dan budaya yang mengiringi pentingnya hak perempuan. Selain itu, penjelasan singkat mengenai konsep dan praktek pembangunan direlasikan dengan dampaknya kepada perempuan khususnya.
2. Hak-hak perempuan dalam instrumen CEDAW (30 menit) Faslitator memaparkan instrument CEDAW dan poin-poin penting di dalamnya. Ajak peserta untuk mengungkapkan pendapatnya tentang CEDAW dan bagaimana mereka merelasikannya dengan pengalaman mereka di Aceh.
3. Telaah: kondisi Aceh saat ini (50 menit)
Peserta diajak untuk merenungkan dan membagi pandangan mereka tentang situasi pascakonflik. Apa yang mereka rasakan? Bagaimana mereka melihat kehidupan mereka dan lingkungan mereka berubah oleh tsunami dan perjanjian damai MoU? Fasilitator membagi peserta ke dalam 3 kelompok. Tiap kelompok diberi satu artikel dari koran dengan tema ekonomi, sosial, dan budaya. Peserta diminta untuk melakukan analisis gender lalu membahasnya bersama.
4. Kesimpulan (10 menit)
Fasilitator menyimpulkan hasil diskusi dengan mengelaborasi jawaban, gagasan, dan kritisisme peserta.
Ringkasan Materi
Kenapa hak ekosob perempuan penting dalam pembangunan? Pembangunan telah mengubah drastis tatanan ekonomi dan bermasyarakat penduduk dunia. Diantara begitu banyak manfaatnya, ada pula dampak negatifnya. Prestasi Indonesia bisa dilihat dari munculnya kebijakan revolusi hijau, privatisasi perusahaan negara, deregulasi atau penyerahan pada mekanisme pasar, liberalisasi investasi asing dan seterusnya. Perlahan namun pasti, kebijakan tersebut tak pelak memberi konsekuensi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satunya adalah paham pembangunan telah mencabut domain kerja para perempuan miskin digantikan dengan mesin, digantikan dengan modal besar, dsb. Tak pelak para perempuanlah yang menjadi korban bertubi dalam praktik penyingkiran ekonomi ini.
Contoh perspektif gender terhadap hak-hak ekosob perempuan: Hak untuk - Pengakuan atas kerja produktif perempuan
bekerja - Memampukan perempuan bekerja di rumah dengan upah hak dalam - Hak untuk tetap bekerja setelah cuti menikah dan melahirkan dengan jam kerja bekerja
yang disesuaikan - Perlindungan dari pelecehan seksual di tempat kerja - Hak untuk gabung dengan serikat pekerja atau organisasi buruh
Hak atas -Hak mendapat warisan yang adil tanah
- Hak mendapat bagian adil dalam harta perkawinan hak
atas - Hak diakui sebagai pemilik sah atas tanah dan properti kepemilikan Hak
-Pemeriksaan terhadap kebutuhan kesehatan yang berbeda antara laki-laki dan terhadap
perempuan (misalnya: fungsi reproduksi perempuan) kesehatan
- Mempertimbangkan perbedaan faktor resiko dan kondisi antara laki-laki dan perempuan, termasuk daya tahan terhadap sakit, persepsi mengenai sakit, akses dan penggunaan layanan kesehatan - Faktor yang turut berpengaruh: tingkat ekonomi, melek huruf, dan akses informasi
Hak perempuan adalah HAM. (1) Dalam pemisahan antara ruang privat (pribadi/domestik) dan publik (umum), perempuan mengalami diskriminasi. Penting bagi perempuan mendapat hak untuk diperlakukan setara dengan laki-laki dalam ranah domestik dan keluarga karena hal itu turut mempengaruhi kebebasan sosial dan ekonomi bagi perempuan. (2) Hak perempuan adalah universal: artinya HAM dimiliki oleh semua manusia secara setara, begitupun dengan perempuan. Karenanya, kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM. Praktek budaya dan sosial yang kerap meminggirkan perempuan perlu diupayakan untuk menjadi lebih adil.
Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)adalah piagam hak perempuan internasional. CEDAW mengartikan diskriminasi sebagai setiap bentuk pemisahan, pengucilan atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk melemahkan atau menghilangkan pengakuan, penerimaan atau praktik untuk
Strategi mempromosikan dan melindungi hak ekosob perempuan:
Membangun kerjasama antara kelompok perempuan dengan kelompok HAM. Mendukung jaringan antara kelompok perempuan dan gerakan sosial lainnya dalam
bidang ekonomi dan keadilan sosial (serikat pekerja, organisasi petani, grup untuk kebebasan media dan bdaya, kelompok lingkungan hidup, kelompok hak-hak minoritas dan masyarakat adat)
Tantangan: menjembatani pendekatan sensitif gender untuk bekerja dengan berbagai kelompok. Solusi: membangun jembatan pemahaman antara berbagai bentuk diskriminasi berdasarkan gender dengan diskriminasi berdasarkan suku, etnis, bahasa, agama, dsbnya. Ini adalah strategi penting untuk menjalin tak hanya pemahaman mengenai isu tapi juga aktivisme lintas sektor dan lintas batas daerah ataupun nasional.
Kondisi Aceh:
KONFLIK TSUNAMI
Rehab/Rekon •
• MoU
Dimana posisi
Development •
UU PA
Prog Reintegrasi
GA ( ARF, Aceh
& Green,Alternative Dev) •
Pembangunan
Perdamaian
Bagaimana kondisi
• Trauma
Keberlanjutan Trauma
• Kemiskinan
Ekonomi ketergantungan pada •
Kesehatan buruk
bantuan internasional
• Partisipasi masyarakat rendah
Lapangan kerja terbatas •
Kualitas Kesehatan rendah: (Dampak melemahkan dari
Terpolarisasinya hub.sosial
anemia, Kematian Ibu dan konflik)
anak, kurang gizi
Referensi:
Economic, Social and Cultural Rights of Women dalam Circle of Rights: Economic, Social and Cultural Rights
Resource. http://www1.umn.edu/humanrts/edumat/IHRIP/circle/modules/module4.htm#_edn1
Activism:
A Training
II. HAK PENDIDIKAN
Tujuan Memberikan latar belakang informasi dan ilustrasi yang akan menelisik hal- hal yang menghambat perempuan dalam mengakses dan menikmati hak mereka untuk mendapat pendidikan. Pemahaman terhadap mekanisme faktor-faktor sosial dan diskriminasi gender serta kaitannya dengan kebijakan menjadi bagian penting untuk membangun strategi mempromosikan hak pendidikan bagi perempuan di komunitas.
Materi
- Faktor-faktor sosial yang menghambat perempuan dalam mengakses
pendidikan - Kondisi pendidikan di Aceh dan persoalan gender
- Peran perempuan dalam meningkatkan pendidikan khususnya pada diri
sendiri dan komunitasnya
Metode
- Presentasi - Diskusi kelompok - Brainstorming
- Lembar kasus (3 contoh kasus yang berbeda) - Plano, flip chart - Spidol, lakban, meta card, krayon - Alat presentasi (LCD/Infocus, Laptop)
LangkahPelaksanaan
1. Faktor-faktor sosial penghambat perempuan dalam mengakses
pendidikan (30 menit)
Fasilitator memamparkan mengenai aturan/hukum yang mengatur tentang pendidikan, mengapa penting perempuan mendapatkan pendidikan, dan beberapa alasan kecenderungan perempuan lebih rendah tingkat pendidikannya daripada laki-laki.
2. Kondisi pendidikan di Aceh dan persoalan gender (45 menit)
Untuk lebih mempertajam pemahaman kondisi pendidikan perempuan saat ini, fasilitator mengajak peserta mendiskusikan tugas kelompok mengenai lembar kasus yang telah disediakan. Tugas kelompoknya adalah (1) pilihlah salah pandangan yang sangat mempengarui kondisi pendidikan perempuan, khususnya di Aceh (2) apa dampak dari kondisi tersebut (3) kontribusi apa yang bisa diberikan perempuan untuk mengubah keadaan tersebut. Setiap kelompok mempresentasikannya di depan kelas dan didiskusikan bersama.
3. Peran perempuan dalam meningkatkan pendidikan khususnya pada
diri dan komunitasnya (15 menit)
Fasilitator membuat kesimpulan dari diskusi dengan memaparkan kontribusi perempuan dalam pendidikan untuk lebih mempertajam materi.
Ringkasan Materi
Mengapa penting perempuan mendapat pendidikan yang layak? Meningkatkan kesejahteraan perempuan keluar dari kemiskinan Dapat berpartisipasi secara maksimal dalam bidang politik Dapat menempati posisi strategis (perencanaan dan pengambilan keputusan) Menjadi motivator perempuan lain untuk meningkatkan kapasitas Untuk bisa menggunakan hak memilih dan dipilih Melahirkan generasi penerus yang cerdas
5 pandangan mengapa perempuan cenderung tidak melanjutkan pendidikan: • Teologis: Bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Dia adalah tulang rusuk lelaki, sehingga posisinya dalam relasi antara lelaki dan perempuan adalah relasi yang tidak seimbang. Lelaki lebih superior (utama) sementara perempuan lebih inferior (rendah)
• Sosiologis: Bahwa perempuan dalam banyak hal diposisikan berada didalam rumah. Lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik • Psikologis: Bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan karena posisinya lebih banyak menjadi isteri. Di dalam tradisi kita, masih banyak anggapan
bahwa perempuan harus cepat dikawinkan. Kawin muda jauh lebih baik ketimbang menjadi perawan tua
• Budaya: Adanya anggapan bahwa perempuan merupakan sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Di dalam hal ini, maka perempuan hanya menjadi pelengkap saja
• Ekonomi: Banyak perempuan tidak melanjutkan pendidikannya karena ketidakmampuan ekonomi. Jika misalnya ada dua anak: lelaki dan perempuan, maka
yang diminta untuk melanjutkan adalah yang lelaki, sementara yang perempuan sesegera mungkin dikawinkan agar terlepas dari beban ekonomi keluarga
Beberapa pertanyaan untuk menandai diskriminasi gender dalam pendidikan: Apakah pendidikan tersedia untuk anak gadis dan perempuan dalam keseluruhan proses, dan tak hanya pada penerimaan masuk tingkat awal? Apakah pendidikan dapat diakses ketika ada hambatan keuangan, fisik, kondisi geografis, dll? Apakah pendidikan dapat diakses secara setara oleh perempuan sebagaimana laki-laki dalam hal isi, bentuk, struktur
baik yang diajari maupun dipelajari, dan proses pengajarannya? Apakah pendidikan mampu beradaptasi dengan tanggap pada perbedaan kebutuhan dan kehidupan antara perempuan dan lak-laki? Terutama karena kondisi khusus perempuan seperti melahirkan, pernikahan dini, dan kehamilan?
Peran yang bisa diberikan perempuan: (1) Memberi motivasi sesama perempuan untuk terus menuntut ilmu, baik yang masih muda ataupun sudah tua, (2) Memberi motivasi kepada anak
Beberapa solusi: Memulai pengasuhan dan pendidikan anak usia dini Meningkatkan pendidikan non-formal untuk perempuan dewasa Menghilangkan penghalang untuk memasuki pendidikan lanjutan Menyediakan fasilitas memadai untuk perempuan di sekolah (jarak dari rumah ke
sekolah yang aman, tersedianya air dan kamar kecil yang layak) Meningkatkan jumlah dan kualitas guru perempuan membuat pendidikan lebih ramah perempuan Membuat kurikulum serta budaya sekolah dan pengajaran di kelas memiliki kualitas tinggi, menjunjung hak dan mencipta rasa aman (adanya pencitraan dan perwakilan yang positif terhadap perempuan dalam kurikulum, pengetahuan tentang reproduksi yang layak, dsbnya)
Sistem pendidikan harus responsif terhadap perbedaan konteks dan kondisi, misalnya untuk anak perempuan ada perhatian terhadap isu melahirkan, pekerjaan domestik, pernikahan dini, dan kehamilan dini
Sistem pendidikan harus tanggap pada berbagai diskriminasi berlapis atau diskriminasi berbasis gender yang berkaitan dengan bentuk diskriminasi lainnya Strategi nasonal dibutuhkan untuk fokus pada pemerintahan dan penganggaran untuk merespon ketidaksetaraan gender dan sosial yang lebar Pendidikan perempuan juga berarti membangun jembatan perbedaan dan tumpang tindih agenda antara kelompok aktivis perempuan dengan kelompok perempuan berbasis komunitas. Kelompok perempuan di komunitas harus diberi kesempatan untuk memiliki koneksi dengan kelompok perempuan tingkat nasional dan internasional serta gerakan dan kampanye pendidikan.
Program pendidikan perempuan di tingkat komunitas memberi peran transformatif dalam membuat kehidupan perempuan lebih baik, namun hal itu akan efektif jika dibingkai dalam agenda politik yang jelas. Agenda ini akan meluaskan akses perempuan terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan, serta memampukan mereka untuk memperjuangkan hak pendidikan yang luas.
Tantangan bagi kelompok perempuan di tingkat lokal adalah sulitnya kondisi seperti dana yang terbatas, kurangnya staf dan sukarelawan, dan kerap menghadapi penolakan atau ketidaksukaan dari beberapa pihak di komunitas, khususnya jika isu yang diperjuangkan cenderung kontroversial, sensitif atau melawan anggapan umum. Karenanya, penting bagi kelompok perempuan untuk membuat prioritas isu. Isu bersama yang bisa diangkat untuk menjembatani aktivis perempuan dengan aktivis pendidikan adalah kekerasan atau diskriminasi terhadap perempuan yang kadang terjadi di sekolah atau kurikulum dan cara pengajaran yang responsif gender dengan melibatkan para pendidik.
Referensi
Gender Discrimination in Education: The Violation of Rights of Women and Girls, Global Campaign for Education . February 2012. A report submitted to the Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW)
Women s Rights Movements and Education for All: Connections and Disconnections . Equals, Issue 23. February 2009. Oxfam & Institute of Education University of London.
Lembar Contoh Kasus
KASUS I
Yulinar adalah anak perempuan berusia 17 tahun. Tahun lalu dia mengalami pemerkosaan yang berdampak sangat besar bagi dirinya. Dia merasa malu untuk bersekolah, padahal dia ingin sekali menjadi guru. Banyak sekolah yang tidak dapat menerima dia. Pernah ada satu sekolah menerima, tetapi banyak kawannya yang mengejek Dan dia sering disindir oleh gurunya. Akhirnya dia keluar dari sekolah.
Bahan Diskusi:Bagaimana Anda melihat kasus ini? (hak apa yang dilanggar, dampaknya terhadap korban?Apa yang akan anda lakukan untuk membatu Yulinar?
Tugas:Presentasikan hasil Diskusi dengan irama dan gaya.
KASUS II
Hani dan Hadi adalah pasangan suami istri, yang sama-sama berprofesi sebagai dosen dan mempunyai 2 orang anak balita. Tahun ini mereka berdua mendapat kesempatan untuk mengambil S2 ke luar negeri (ke negara yang berbeda). Karena ada kesulitan dalam hal menjaga anak, maka akhirnya Hadi meminta Hani untuk menunda keberangkatan, sampai anak mereka besar, dan Hadi sendiri berangkat untuk mengambil S2nya. Hani sangat keberatan dengan keputusan tersebut, tetapi tidak tahu harus melakukan apa, karena bea siswa yang akan diperoleh, tidak akan diperoleh lagi pada tahun berikutnya.
Bahan Diskusi:Bagaimana Anda melihat kasus ini? (hak apa yang dilanggar, dampaknya terhadap korban?Apa yang akan anda lakukan untuk membatu Hani?
Tugas:Presentasikan hasil Diskusi dengan irama dan gaya.
KASUS III
Anak-anak SD di desa Lam Pageu, hanya memiliki 4 orang guru yang secara rutin mengajar mereka secara bergantian. 4 guru lainnya jarang datang, karena lokasi desa yang sangat jauh. Dengan kekurangan Guru, banyak bahan belajar yang tidak tersampaikan pada tahun ajaran. Padahal anak-anak harus mengikuti UAN dengan soal yang sama dengan anak-anak lain di daerah lain yang guru dan fasilitas yang lengkap. Pada akhir tahun tidak 1 orangpun anak dari sekolah ini yang lulus.
Bahan Diskusi:Bagaimana Anda melihat kasus ini? (hak apa yang dilanggar, dampaknya terhadap korban?Apa yang akan anda lakukan untuk membatu Hani?
Tugas:Presentasikan hasil Diskusi dengan irama dan gaya
III. HAK ATAS LINGKUNGAN
Tujuan - Peserta memahami hak-hak perempuan atas lingkungan dan alam yang sehat - Peserta mengetahui fakta tentang kondisi lingkungan dan alam kekinian - Peserta mengetahui akar masalah, penyebab dan dampak dari kerusakan
lingkungan dan alam - Peserta memahami cara mengelola sumber daya dan limbah secara ekoefisien
dan berkelanjutan Materi
1. Relasi masyarakat dan lingkungan
2. Krisis lingkungan dan dampaknya bagi perempuan
2. Gender dan pembangunan berkelanjutan
Metode
- Curah pendapat - Diskusi - Game - Tanya jawab - Diskusi kelompok - Nonton Film
Waktu
90 menit
Alat dan
- Kertas Plano
Bahan
- Spidol - Proyektor - Papan flipchart - Film
Langkah
1. Relasi masyarakat dan lingkungan (30 menit) Pelaksanaan
Fasilitator memberikan pertanyaan kunci kepada peserta yang berhubungan alam dan lingkungan dan mencatat pendapat peserta pada kertas plano. Ajak peserta untuk menyebutkan hal-hal mengenai lingkungan di sekitar desa mereka. Bagaimana mereka memanfaatkan air sungai, hutan, sumur, atau ternak. Kaitkan jawaban mereka dengan pemahaman tentang ekosistem dan hubungan ekologi dengan kehidupan manusia sehari-hari, termasuk perbedaan dampak dan perilaku antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapinya.
2. Krisis lingkungan dan dampaknya bagi perempuan (30 menit)
Fasilitator memberikan presentasi mengenai materi hak perempuan atas lingkungan disertai pemaparan tentang berbagai krisis lingkungan yang marak terjadi, khususnya di Aceh. Minta pendapat peserta tentang dampak banjir, tanah longsor, kekeringan, dsb pada penduduk dan perempuan khususnya. Kaitkan itu dengan konteks gender.
3. Gender dan pembangunan berkelanjutan (30 menit)
Fasilitator mengajak peserta menonton film singkat yang terkait dengan dampak rusaknya lingkungan terhadap perempuan. Ajak peserta untuk mendiskusikan tentang film yang ditonton dan kaitkan dengan pentingnya peran perempuan dalam melestarikan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.
Ringkasan Materi
Konferensi Perempuan PBB ketiga di Nairobi tahun 1985 adalah salah satu dari forum-forum internasional yang secara jelas mengaitkan hubungan antara pembangunan berkelanjutan dengan keterlibatan perempuan, termasuk kesetaraan gender.
Konferensi Tingkat Tinggi Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (2002) menyepakati Implementasi Rencana Johannesburg yang diantaranya adalah: manfaat pembangunan berkelanjutan untuk perempuan, penghapusan kekerasan dan diskriminasi, akses untuk kesehatan, akses terhadap tanah dan sumber-sumber lainnya, peningkatan peran perempuan dalam manajemen sumber daya, pendidikan untuk semua orang, partisipasi perempuan, pengarusutamaan gender, dan informasi serta data spesifik mengenai perempuan.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: "Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat"
Pasal 33 ayat 4 UUD 1945: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan kesatuan ekonomi nasional .
Hubungan antara masyarakat dan lingkungan sepertinya netral-gender, yaitu memberi dampak dengan cara yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Namun setelah ditelisik lebih jauh, kita akan menyadari bahwa hubungan tersebut tidak sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut adalah konstruksi sosial-budaya yang berbeda mengenai peran laki-laki dan perempuan. Misalnya perbedaan peran dalam keluarga, komunitas, dan tempat kerja. Hal itu mempengaruhi perbedaan cara laki-laki dan perempuan memiliki sikap pribadi, prioritas dan penguasaan sumber dalam hal perlindungan lingkungan.
Beberapa problem terkait gender dan lingkungan: • Di banyak rumah tangga, perempuan mengurus masalah air. Namun, karena akses mereka ke posisi publik dan partisipasi politik terbatas, keputusan tentang pengelolaan air dan sampah di masyrakat sering dilakukan oleh laki-laki yang tidak mempertimbangkan pandangan dan kebutuhan perempuan rumah tangga.
• Kerusakan lingkungan dapat meningkatkan konflik dan persaingan atas sumber daya alam, ketegangan sosial, dan menimbulkan kekerasan. Laki-laki dan perempuan
memiliki tanggung jawab dan pengalaman berbeda yang mempengaruhi perbedaan dalam pengetahuan dan penggunaan mereka atas sumber daya alam.