PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD DENGAN MAIMUNAH KRITIK HISTORIS HADIS

  

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD DENGAN MAIMUNAH

KRITIK HISTORIS HADIS

Fathur Rohim

  

Abstract: There is nothing wrong if the data and the facts of history become a tool

in tracking the validity of honor tradition, according to historical research steps

that have been agreed upon by historians. Given the history is a factor in search of

honor tradition, despite not getting a deal. However, in the realm of sanad of

hadith, the stages of research that has been standardized by muhaddisin seem

more accurate than the criteria historians. Therefore, in terms of research sanad

we must hold fast to the procedure muhaddisin.

  Keywords:sanad hadith, historical research

A. Pendahuluan

  Dari segi objek, penelitian atau kritik terhadap sanad dan matan hadis mempunyai kedudukan yang sama. Keduanya sama-sama penting diteliti untuk menentukan kualitas hadis.

  Sekalipun demikian, dalam urutan penelitian, ulama mendahulukan

  1

  kritik sanad dari matan. Hal ini tidaklah berarti bahwa kritik terhadap sanad lebih penting dibandingkan kritik matan. Bagi ulama, keduanya sama-sama penting. Hanya saja, penelitian terhadap matan akan berarti setelah sanad hadis yang bersangkutan dapat dikategorikan shahih.

  Pendapat semacam ini didasari oleh realitas hadis itu sendiri, di mana sanad merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari hadis. Tanpa sanad, suatu matan tidak dapat dikatakan dari Rasulullah SAW. Apabila ada suatu ungkapan yang oleh sekelompok orang dikatakan sebagai hadis, sedangkan

1 Ada standar tertentu yang mereka susun dan baku yang digunakan untuk

  

memverifikasi dan mengklasifikasi hadis-hadis shohih dan doif, Serta ada perangkat

khusus yang mereka pergunakan untuk menguji para perawi hadis, untuk mengetahui

ke-tsiqoh-an dan kelemahan para perawinya. Lihat Masfar `Asm Allah al-Damini, ungkapan itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka menurut ulama hadis,

  2 ungkapan tersebut dinyatakan sebagai hadis palsu.

  Dengan kata lain, ulama hadis menganggap penting kritik matan dilakukan setelah sanad bagi matan itu telah diketahui kualitasnya. Dalam catatan Syuhudi Ismail, kritik matan dilakukan terhadap sanad yang berkualitas shahih, atau minimal tidak termasuk “berat” ke-dhaif-annya. Bagi sanad yang berat ke-

  

dhaif -annya, maka matan yang shahih tidak akan menjadikan hadis yang

  bersangkutan berkualitas shahih. Tegasnya, matan yang sanadnya sangat dhaif tidak perlu diteliti, sebab hasilnya tidak akan memberi manfaat bagi kehujjahan

  3 hadis yang bersangkutan.

  Tampaknya, ada benang merah antara tahapan penelitian hadis tersebut dengan tahapan penelusuran sejarah yang dipraktekkan para sejarawan dalam ilmu sejarah. Dalam proses pengumpulan data sejarah, sejarawan juga melakukan hal yang sama sebagaimana kegiatan para muhadditsin. Mereka menghimpun data- data sejarah dari sumber yang sekiranya layak dijadikan sumber, dan melakukan pemilahan data dengan cara memilih dan memberikan kritik terhadap sumber sejarah. Jika diketahui bahwa tingkat akurasi validitas sumber sejarah tidak kuat maka data sejarah akan diabaikan dan tidak bisa dianggap sebagai data yang bisa

  4

  jadikan referensi. Selanjutnya, jika sumber sejarah dinyatakan lolos sensor, data sejarah tidak bisa langsung diakses untuk dijadikan referensi yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi, sebelum lebih dahulu dilakukan pengujian terhadap

  5 sumber sejarah dari sisi yang lain.

  Jika demikian keadaannya, sangat wajar jika fakta sejarah dipertimbangkan untuk menjadi salah satu acuan dalam penelitian sebuah hadis agar bisa terukur sejauh mana tingkat akurasi kebenaran data dan fakta yang terkandung dalam matan hadis. Bahkan, perlu dicoba dalam penelitian matan

  2 Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. hlm. 123.

  3 Ibid.

  4 HasanUsman, Manhaj al-Bahtsi al-Tarikhi, Mesir: Dar al-Ma`arif, 1965. hlm. 82. hadis menggunakan langkah-langkah penelusuran sejarah yang dijalankan sejarawan.

  Kedudukan Sejarah Dalam Penelitian Matan Hadis

  Dalam meneliti kandungan matan, ada ragam acuan yang dikemukakan ulama. Dari patokan-patokan penelitian yang dikemukakan dapat dibedakan menjadi dua bagian: acuan yang disepakati dan acuan yang diperselisihkan. 1)

  Acuan Yang Disepakati

  a) Al-Qur`an

  Tidak ditemukan perbedaan pendapat di kalangan ulama untuk menjadikan al-Qur`an sebagai acuan dalam kegiatan kritik matan. Hal ini disebabkan karena al-Qur`an merupakan Kalam Allah yang sedikitpun tidak mengandung kebatilan. Allah menjamin keterpeliharaannya sampai hari kjiamat. Semua umat Islam sepakat untuk menjadikan al-Qur`an

  6 sebagai rujukan utama dari segala persoalan hidup yang dihadapi.

  Dalam hal al-Qur`an sebagai patokan dalam kritik matan, kandungan makna hadis juga diujikan dengan makna yang dikandung al- Qur`an. Apabila kedua makna itu sesuai, maka matan hadis itu dinyatakan

  maqbul atau dapat diterima. Namun, jika kesimpulan penelitian matan

  menyatakan bahwa kandungan matan bertentangan dengan al-Qur`an, beranti matan hadis itu tidak dapat diterima.

  Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul, Rasul SAW. bersabda, “jika disampaikan hadis kepadamu, maka ujilah hadis tersebut dengan kitab Allah ta‟ala. Terimalah hadis itu jika sesuai dengan al-Qur`an, dan

  7 tolaklah jika menyallahinya”.

  b) Al-Sunnah

  Membandingkan kandungan matan hadis dengan hadis (sunnah) 6 lainnya juga merupakan langkah kritik matan yang disepakati oleh ulama.

  Al-Damini, Ibid. hlm. 61 Tentunya hadis yang dijadikan patokan telah teruji kualitasnya. Dengan kata lain, hadis penguji telah jelas keshahihannya.

  Metode ini berangkat dari keyakinan bahwa tidak mungkin terjadi perbedaan atau pertentangan yang tidak dapat dikompromikan di antara hadis Nabi. Dengan membandingkan kandungan matan seperti ini akan dapat dibuktikan mana matan yang bisa diterima dan yang tidak. Makna- makna yang mengganjil, rancu, dan menyalahi “adat kerasulan” akan dapat diungkapkan.

  2) Acuan Yang Tidak Disepakati

  Acuan kritik matan yang tidak disepakati disini maksudnya, ada suatu acuan yang dikemukakan oleh seorang atau sekelompok ulama sementara kelompok ulama lainnya tidak mengemukakan acuan tersebut untuk kritik matan. Ulama yang tidak mengemukakan mungkin menganggap bahwa acuan tersebut telah tercakup kepada acuan-acuan yang telah dikemukakannya. Atau menurut mereka, acuan tersebut tidak diperlukan dalam kritik matan.

  Adapun acuan kritik matan yang tidak disepakati ulama tersebut adalah, diantaranya: a)

  Logika (akal sehat) Logika dijadikan acuan dalam kritik matan ini dikemukakan oleh

  8

  9

  sahabat dan jumhur muhaddisin Khatib al-Baghdadi dan Salah al-Din

  10 al-Adhabi juga mengemukakan logika sebagai acuan kritik matan.

  Pengajuan metode ini berangkat dari pendapat bahwa hadis-hadis Nabi saw. tidak mungkin bertentangan dengan logika yang benar atau akal yang sehat. Pengguanaan akal sebagai acuan kritik matan tentu saja terbatas pada matan-matan yang berisi persoalan yang berada dalam ruang lingkup yang rasional. Kemudian, logika pikir yang digunakan mestilah 8 masih berada dalam ruang lingkup hidayah. Jadi, akal yang digunakan 9 Ibid . hlm. 95

  Ismail, Ibid. hlm. 127 ; Lihat juga Ahmad `Am Hasyim, Manhaj al-Difa` `an al- Hadits al-Nabawi, Kairo:1989. hlm. 129 untuk menganalisa kandungan matan bukanlah akal yang bebas, tetapi tetap berada dalam tuntunan wahyu.

  b) Fakta sejarah

  11 Acuan ini dikemukakan oleh ulama hadis dan Salah al-Din bin

  12 ahmad al-Adhabi.

  Jika ada sesuatu hadis yang menunjukkan masa dan kejadian masa lalu, ternyata informasi hadis tersebut tidak sesuai dengan kenyataan sejarah, maka hadis yang demikian tidak diterima. Ini berarti bahwa kajian sejarah amat dibutuhkan dalam meneliti kandungan matan hadis yang menukilkan sejarah.

  Acuan ini berangkat dari keyakinan bahwa rasul tidak mungkin mengungkapkan sesuatu yang tidak faktual. Dan juga sahabat Nabi tidak mungkin keliru dalam mengungkap sejarah. Bila kesalahan data ini terjadi, akan segera diketahui atau dikoreksi oleh ulama hadis yang masanya berdekatan dengan mereka. Jelasnya, kesalahan data sejarah dalam hadis merupakan indikasi kelemahan yang terdapat pada hadis tersebut.

  c) Pokok-pokok ajaran islam

  Menurut muhaddisin dan fuqaha, hadis-hadis yang bertentangan

  13

  dengan pokok-pokok ajaran Islam tidak dapat diterima Karena sesuatu yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam tidak bisa dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.

  Menurut fuqaha, hakekat dari kaidah ini sama dengan menguji hadis dengan menghadapkan kepada al-Qur`an atau hadis lain yang lebih kuat. Namun dalam hal ini juga mencakup kaidah-kaidah umum yang sesuai dengan inti atau roh agama.

  d) Telaah konteks

  Acuan ini relatif lebih baru dibandingkan dengan acuan-acuan lain 11 yang dipakai dalam kritik matan suatu hadis. Pendekatan kontekstual di 12 al-Damini, Ibid. hlm. 183 ; Ismail, Ibid. hlm. 127 Ismail, Ibid. hlm. 128 ; Hasyim, Ibid. hlm. 130 sini berarti memahami hadis Nabi berdasarkan kaitannya dengan peristiwa dan situasi ketika hadis itu muncl, dan kepada siapa hadis tersebut ditujukan. Artinya, hadis Nabi saw. hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriyahnya, tanpa mengaitkannya

  14 dengan aspek kontekstualnya.

15 Yusuf Qardhawi menyatakan di antara pemahaman sunnah yang

  baik adalah melihatnya berdasarkan sebab-sebab khusus (latar belakang), atau berkaitan den gan „illat tertentu yang disebutkan dalam nash hadis atau yang disimpulkan darinya, atau berkaitan dengan suatu „illat tertentu yang merupakan pemahaman dari realita yang disebutkanoleh hadis. Orang yang menyelidikinya secara cermat, akan mendapatkan bahwa diantara hadis ada yang didasarkan kepada pemeliharaan kondisi tertentu demi suatu kemashlahatan atau mencegah suatu mudharat, atau untuk mengatasi suatu masalah yang terjadi ketika itu.

  Menurut Mahmud Syaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Nabi saw. dengan mengaitkan pada fungsi beliau ketika melakukan hal-hal

  16

  tersebut, sangat besar manfaatnya . Artinya, dalam realitas kehidupan, Muhammad bisa berfungsi sebagai Rasul, panglima perang, suami, ayah, teman, dan lain-lain. Dengan demikian, aktifitas Nabi akan terkait erat dengan peran yang beliau mainkan ketika itu.

  Dengan lain kalimat, memahami konteks suatu hadis akan lebih membantu menilai matan hadis tersebut. Sehingga seorang peneliti matan tidak dengan mudah menetapkan maqbul mandud-nya, padahal konteks hadis tersebut berbeda dari yang dia pahami. Mengkaji konteks suatu hadis tidak dapat dilepaskan dari telaah sirah Nabi serata lingkup sosialnya serta, 14 tentu saja, asbab wurud al-hadits.

  Afif Muhammad, Kritik Matan menuju Pendekatan Kontektual atas Hadis Nabi saw. Dalam Al Hikmah, Bandung, V. 6., 1992. hlm. 23 – 35. 15 Yusuf Qordhowi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan

  

Kontekstual, Terjemahan oleh A. Najiyuallah dari: al-Madkhal li Dirasati al-Sunnah al-

Nabawiyah, Jakarta: Islamuna Press. 1991, Cet. II, hlm. 180

  Dari sini, diketahui bahwa ulama muhaddisin menaruh perhatian terhadap fakta sejarah. Mereka memposisikan fakta sejarah sebagai bagian dari salah satu acuan dalam tahapan penelitian matan hadis. Meskipun sambutan mereka tidak seratus porsen, namun cukup bagi orang yang meragukan keberadaan fakta sejarah sebagai salah satu alat pisau analisis matan hadis sebagai pegangan dan pencerahan dalam pandangannya.

  Untuk mengenal lebih lanjut, berikut uraian tentang langkah-langkah penelitian sejarah yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk mengkaji matan hadis yang bermasalah dari sisi matan dan ada relevansinya dengan fakta sejarah.

  Langkah-langkah Kritik Sejarah

  Selintas tentang tahapan penelitian sejarah telah diurai pada pendahuluan, bahwa dalam proses pengumpulan data sejarah, sejarawan melakukan hal yang sama seperti para muhadditsin. Mereka menghimpun data-data sejarah dari sumber yang sekiranya layak dijadikan sumber, dan melakukan pemilahan data

  17

  diketahui bahwa tingkat akurasi validitas sumber sejarah tidak kuat maka data sejarah akan diabaikan dan tidak bisa dianggap sebagai data yang bisa jadikan referensi. Selanjutnya, jika sumber sejarah tergolong akurat, data sejarah masih membutuhkan proses pengujian lebih lanjut dari sisi yang lain, dan belum

  18 dikatakan mempunyai nilai sejarah sebelum proses pengujian selsesai.

  Menurut Hasan Usman: setelah diketahui bahwa sumber sejarah itu valid, maka langkah selanjutnya adalah mengujinya dari sisi lain, 1) sejarawan harus mengetahui secara pasti tentang waktu dikodifikasikannya data sejarah tersebut. Sebab, semakin jauh waktu antara kejadian sejarah dan kodifikasinya, semakin pudar nilai sejarah yang terkandung. Ingatan seseorang terkadang tidak bisa diandalkan, maka semakin lama rentan waktu antara penulis dan waktu kejadian peristiwa itu terjadi, semakin berkurang kejelasan sejarahnya, meskipun penulis berusaha untuk mengerahkan kemampuannya untuk merefiwu ingatannya. 2) 17 penulis harus tahu tentang tempat dimana sejarah dibukukan. Apakah penulis adalah saksi sejarah yang menyaksikan peristiwa langsung di tempat kejadian perkara, tidak jauh dari tempat peristiwa atau dari jarak jauh yang kemudian mengandalkan ingatan dan khayalan belaka. Hal itu cukup berpengaruh terhadap kebenaran berita.

  Setelah sumber data dinyatakan benar-benar valid dan semua fakta telah diteliti pembukuannya dari sisi waktu dan tempat, barulah seorang peneliti sejarah memulai pekerjaan analisisnya.

19 Dalam hal analisis ini mereka menggunakan dua

  cara:

  20

  a. Kritik Positip Internal, yaitu menganalisis kata demi kata yang tersusun dalam bahasa sumber untuk menemukan kebenaran makna kata dan maksud dari penulisnya. Untuk tujuan ini, penulis sejarah harus memperhatikan beberapa hal yang terkait, sebagai berikut :

  1. Bahasa mengalami perkembangan dari masa ke masa, oleh karenanya sejarawan harus memahami makna kata yang dipakai pada masa penulis. sejarawan harus paham tentang dialek lokal di mana data sejarah dibukukan.

  3. Uslub kitab tertentu berbeda dari penulis yang satu dengan yang lain maka penguasaan terhadap bahasa penulis menjadi suatu keniscayaan. 4. penafsiran terhadap kata harus memperhatikan kontek umum bagi teks sejarah.

  b. Kritik Negatip Internal, yaitu menganalisis sumber data dan fakta agar dapat dipilah antara yang cacat dan dipercaya. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, sejarawan sebaiknya melakukan serangkaian pengujian sebagai berikut:

  21

  1. Ada kemungkinan penulis sejarah berdusta karena sebab-sebab tertentu, maka sejarawan harus mengetahui : 1). Apa tujuan penulis membukukan

  19 Muhammad Mustafa Azami, Manhaj al-Naqd `Inda al-Muhadditsin Nasy`atuhu wa Tarikhuhu, Riyadl, al-Imariyah, 1982, hlm. 93; 20 Ibid.; lihat juga Hasan Usman, Ibid. hlm. 100. tulisan sejarahnya secara umum maupun khusus, 2). Adakah kemaslahatan didalamnya?. 2. harus diketahui, apakah ada kemungkinan penulis sejarah menulisnya dalam keterpaksaan di luar kemampuannya sehingga ia harus berbohong dan mengingkari kenyataan.

  3. Kadangkala penulis mempunyai kecenderungan dan memihak pada keluarga, kelompok, strata sosial, etnis dan lain-lain. Apakah keberpihakannya berpeluang untuk membohongi fakta. 4. apakah ia menulis hanya untuk memenuhi permintaan sponsor (dalam hal ini pemerintah) agar tidak menghebohkan masyarakat umum.

  Jawaban atas semua pertanyaan tersebut akan menghantarkan sejarawan untuk bisa menilai apakah penulis sumber sejarah tergolong orang yang dapat dipercaya atau sebaliknya, dan apakah data dan fakta yang ditulisnya berdasarkan

  22 realitas nyata atau penuh dengan kebohongan.

  Penelitian Matan Hadis dengan Metode Historis

  Penelitian matan hadis ini mencoba mengangkat hadis nabi yang berbicara persoalan akad nikah antara Nabi Muhammad saw. dengan istri beliau yang bernama Maimunah. Dipilihnya hadis tersebut, mengingat hadis ini banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan muhadditsin. Munculnya pro dan kontra yang ada disebabkan oleh banyak faktor yang terkait dengan matan hadis itu sendiri. Di antaranya :

  1. Ada perbedaan matan yang sangat mencolok antara periwayatan yang transmisi sanadnya melalui sahabat Ibn Abbas dengan jalur periwayatan yang transmisi sanadnya melalui sahabat Abi Rafi` dan Maimunah sendiri. Perbedaan itu dapat dilihat dalam penggunaan kalimat :

  ىُتو وزحي ىهو

  , yakni, ibarat tersebut ditulis Ibn Abbas dalam riwayatnya,

  للاح ىهو اهت

  yang berarti, Rasulullah menikahi Maimunah dalam kondisi berihram dan beliau tinggal bersama Maimunah dalam kondisi sudah halal (sudah selesai 22 Ibid.; hlm. 94. lihat juga Hasan Usman, Ibid. hlm. 102. ihram). Sedangkan matan hadis sahabat Abi Rafi` menggunakan ibarat :

  ىهو

  dan Maimunah menggunakan ibarat :

  

للاح ىهو اهت ىُتو للاح اهجوشت

Dua ibarat terakhir, dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. للاح ىهو.

  menikahi Maimunah dalam keadaan nabi sudah selesai ihram atau sebelum ihram dan beliau tinggal bersama istrinya (Maimunah) dalam keadaan sudah halal (selesai ihram).

  2. Matan hadis yang transmisi sanadnya melalui Ibn Abbas, dari sisi pemahaman maknanya berbenturan dengan hadis lain yang menjadi bagian dari ajaran Islam yang berlaku. Di mana syari`at mengatakan bahwa dalam kondisi ihram seorang muslim tidak diizinkan menikah, menikahkan, dan bahkan melamar sekalipun. Pemahaman ini dapat dijumapai dalam kitab-kitab fiqih, karena memang sudah merupakan paham jamhur ulama`. Pendapat ini nampaknya berpegangan pada hadis nabi yang berbunyi :

  حكُي لاو حكُي لا وزحًنا

  23 .

  3. Kandungan matan hadis ini, di satu sisi bertentangan dengan data sejarah dan di lain pihak ada kesamaan. Hal ini, disebabkan oleh adanya keberpihakan penulis sejarah terhadap isi matan hadis yang memang sudah tampak

  24

  25

  berbenturan dan bertolak belakang. Misalnya Ibn Katsir dan al-Thabari , mereka berpendapat bahwa pernikahan Rasul dengan Maimunah terlaksana dalam perjalana Rasul menuju Makkah dan dalam keadaan ihram. Sedangkan

  26

  penulis sejarah yan lain, seperti Shofiyurrohman al-Mubarokfuri,

  27

  28 Muhammad al-Ghazali, dan Imam Ghazali Sa`id tidak menyebutkan secara 23 Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwaini, Sunan Ibn Majah, bab al-Nikah, 1956. CD-al-Kutub al-Tis`ah. 24 Abu al-Fida` al-Hafid Ibn Katsir al-Dimisyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, J. 4. hlm. 233. 25 Abi Ja`far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988, J. 2. hlm. 143. 26 Shofiyurrohman al-Mubarokfuri, al-Rohiq al-Makhtum, Beirut: al-Risalah Nasyirun, 1999, hlm. 385. detail kecuali hanya menuturkan bahwa pada saat umrotul qodlo` , nabi Muhammad melangsungkan pernikahan dengan seorang janda yang bernama Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah dan mereka tinggal di Makkah selama tiga hari, kemudian pulang ke Madinah setelah permohonan Nabi untuk memperpanjang izin tinggal di Makkah ternyata ditolak orang Quraisy.

  Secara lengkap hadis tentang pernikahan Nabi Muhammad dan Maimunah adalah sebagai berikut:

  ٍع حيزكع ٍع بىيأ اُثذح ةيهو اُثذح ميعاًسإ ٍت ىسىي اُثذح .

  1 وزحي ىهو حَىًيي ىهسو هيهع الله ىهص يثُنا جوشت لاق صاثع ٍتا ىُثذح قاحسإ ٍتا داسو لاق . فزست تتايو للاح ىهو ا هت ىُتو لاق صاثع ٍتا ٍع ذهاجيو ءاطع ٍع حناص ٍت ٌاتأو حيجَ ىتأ ٍتا

  29 .ءاضقنا جزًع ىف حَىًيي ىهسو هيهع الله ىهص يثُنا جوشت وساح ٍت زيزج اُثذح ودآ ٍت ىيحي اُثذح حثيش ىتأ ٍت زكت ىتأ اُثذح .

  2 ٌأ ثراحنا تُت حَىًيي ىُتثذح ىصلأا ٍت ذيشي ٍع جراشف ىتأ اُثذح ىتناخ تَاكو للاح ىهو اهجوشت لاق ىهسو هيهع الله ىهص الله لىسر

  30 .صاثع ٍتا حناخو ىتأ ٍت حعيتر ٍع قارىنا زطي ٍع ذيس ٍت داًح اَزثخأ حثيتق اُثذح .

  3 الله لىسر جوشت لاق عفار ىتأ ٍع راسي ٍت ٌاًيهس ٍع ًٍحزنا ذثع تُكو للاح ىهو اهت ىُتو للاح ىهو حَىًيي ىهسو هيهع الله ىهص

  31 .اًهُيت اًيف لىسزنا اَأ

  Dengan adanya masalah-masalah yang telah diurai diatas, dapat disimpulkan bahwa memang matan hadis tersebut perlu diteliti kembali dan perlu 28 Imam Ghazali Sa`id, Rekonstruksi Perjalanan Haji Rasulullah SAW, Surabaya: Diantama, 2003. hlm. 58-59. 29 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab al-Maghazi, 3926.CD.

  Kutub al-Tis`ah 30 Abi al-Husein Muslim bin al-Hujjaj al-Nisaburi, Shohih Muslim, bab al-Nikah, 2529.CD- al- Kutub al-Tis`ah. 31 Muhammad bin Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, bab al-Haj, 770, CD- al- dicermati, sehingga akar persoalaan yang menimbulkan pro dan kontra dapat dicairkan dan bisa dicarikan solusi.

  Jika kembali pada metode penelitian sejarah yang digambarkan sebelumnya, maka yang perlu diperhatikan terlebih dahulu di sini adalah waktu dan tempat serta penutur hadis.

  Dilihat dari sisi waktu penulisan hadis, memang tidak ditemukan referensi yang menunjuk pada tanggal maupun hari kapan ditulisnya kedua hadis tersebut. Tetapi terkait dengan waktu, dijelaskan bahwa Ibn Abbas sebagai salah seorang perawi hadis tersebut, pada saat peristiwa itu terjadi, ia masih berusia 10 tahun, karena dalam sejarah, disebutkan bahwa ia lahir 3 tahun sebelum hijrah. Sedangkan peristiwa pernikahan Rasul dengan Maimunah berlangsung pada saat Nabi melaksanakan Umrah al-Qadlo` pada tahun ke 7 hijriyah, sehingga diragukan ia menulis hadis tersebut pada usianya yang masih belum baligh.

  Dilihat dari sisi tempat dan penutur hadis, Maimunah sebagai pelaku peristiwa, tentu ia hadir pada saat peristiwa berlangsung, menyaksikan dari jarak yang sangat dekat, dan ia menuturkan sendiri hadis tersebut tentu nilai sejarahnya lebih tinggi daripada yang menulis dari jarak jauh dan penulisnya bukan pelaku peristiwa. Di sisi lain, ada indikasi bahwa Ibn Abbas pada saat kejadian tidak ada dalam rombongan Nabi, karena menurut sebagian pendapat ia hijrah ke Madinah pada tahun ke 9 hijriyah dan ia bertemu nabi pada usia 13 tahun.

  Di Pihak lain, hadis Abi Rafik juga dianggap lebih akurat dari hadis Ibn Abbas. Abi Rafik sebagai seorang yang menyaksikan peristiwa dan bahkan hadir ditengah-tengah Rasul pada saat peristiwa pernikahan berlangsung, Tentu nilai sejarah penuturannya lebih tinngi. Abi Rafik, dalam catatan sejarah, bahkan diminta oleh Nabi untuk mengantar Maimunah ke desa Sarif di mana Maimunah tinggal bersama Rasul.

  Berdasarkan data dan fakta sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis riwayat Maimunah dan Abi Rafik yang mengatakan bahwa nabi menikahi Maimunah dalam keadaan halal, dinyatakan lebih unggul dari hadis Ibn Abbas.

  Mengenai kritik internal, semua ahli hadis telah sepakat bahwa semua para sahabat Nabi Adil dan penulisan hadisnya lepas dari tendensi apapun. Kita harus berhusnuddzan bahwa para sahabat nabi menuliskan hadis karena niatan mencari ridla Allah semata dan untuk menyebarkan ilmu Allah. Sehingga tidak perlu lagi ada kritik internal negatif. Sedangkan kritik internal positif, tetap perlu dijalankan, terkait dengan kebahasan, uslub dan pemahaman makna yang sesuai dengan pemaknaan pada saat itu. Dalam hal ini, agar tidak terkesan ada pro dan kontra antara hadis Ibn Abbas dengan hadis Maimunah dan Abi Rafik, maka solusi yang mungkin bisa diambil adalah memberikan makna yang memang memungkinkan untuk dipahami sedemikian. Adapun makna yang dianggap sesuai dari ibarat : adalah, Rasul menikahi Maimunah sedang

  للاح ىهو اهت ىُتو وزحي ىهو

  beliau berada pada bulan Haram (Dzul Kaidah) dan dalam kondisi halal. Makna tersebut sesuai dengan makna syair :

  لاوذخي ههثي رأ ىهف اعذف ايزحي حفيهخنا ٌافع ٍتا اىهتق Kata dalam syair tersebut diartikan "dalam bulan haram".

  ايزحي

  Dengan mengartikan "dalam bulan haram" maka antara tiga hadis

  وزحي

  yang sama-sama bercerita tentang pernikahan Rasul, tidak lagi berbenturan satu sama lain. Sehingga pelaksanaan nikah Rasul berlansung di tanah haram Makkah di bulan Haram dan beliau dalam keadaan halal. Dengan demikian pula, antara hadis tersebut dengan hadis yang melarang kawin, mengawinkan, dan melamar sekaligus tidak berbenturan.

  Penutup

  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada salahnya jika data dan fakta sejarah dijadikan alat Bantu dalam penelusuran kesahihan matan hadis, sesuai dengan langkah-langkah penelitian sejarah yang telah disepakati oleh sejarawan. Mengingat sejarah merupakan salah satu acuan dalam penelusuran matan hadis, meskipun tidak mendapatkan kesepakatan. Akan tetapi dalam ranah sanad hadis, tahapan penelitian yang telah dibakukan oleh muhaddisin tampak lebih akurat dari pada kriteria sejarawan. Oleh karenanya, dalam hal penelitian sanad kita harus berpegang teguh pada prosedur muhaddisin.

  

DAFTAR PUSTAKA

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, bab al-Maghazi, 3926.CD.

  Kutub al-Tis`ah al-Damini, Masfar `Asm Allah, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah. 1984. al-Dimisyqi, Abu al-Fida` al-Hafid Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut:

  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, al-Ghazali, Muhammad, Fiqh al-Sirah, Dar al-Kutub al-Haditsah, al-Mubarokfuri, Shofiyurrohman, al-Rohiq al-Makhtum, Beirut: al-Risalah

  Nasyirun, 1999, al-Nisaburi, Abi al-Husein Muslim bin al-Hujjaj, Shohih Muslim, bab al-Nikah, 2529.CD- al- Kutub al-Tis`ah. al-Quzwaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah, Sunan Ibn Majah, bab al- Nikah, 1956. CD-al-Kutub al-Tis`ah. al-Thabari, Abi Ja`far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,

  Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988, al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa Abu Isa, Sunan al-Tirmidzi, bab al-Haj, 770, CD- al-Kutub al-Tis`ah

  Azami, Muhammad Mustafa, Manhaj al-Naqd `Inda al-Muhadditsin Nasy`atuhu

  wa Tarikhuhu, Riyadl, al-Imariyah, 1982, Hasyim, Ahmad `Am, Manhaj al-Difa` `an al-Hadits al-Nabawi, Kairo:1989.

  Ismail, Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan

  Muhammad, Afif, Kritik Matan menuju Pendekatan Kontektual atas Hadis Nabi saw. Dalam Al Hikmah, Bandung, V. 6., 1992. Qordhowi, Yusuf, Kajian Kritis Pemahaman Hadis Antara Pemahaman Tekstual

  dan Kontekstual, Terjemahan oleh A. Najiyuallah dari: al-Madkhal li Dirasati al-Sunnah al-Nabawiyah, Jakarta: Islamuna Press. 1991,

  Cet. II, Sa`id, Imam Ghazali, Rekonstruksi Perjalanan Haji Rasulullah SAW, Surabaya: Diantama, 2003.

  Usman, Hasan, Manhaj al-Bahtsi al-Tarikhi, Mesir: Dar al-Ma`arif, 1965.