Inflasi Makanan dan Implikasinya terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia | Pratikto | Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 1 PB
Inflasi Makanan dan Implikasinya terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia Food Inflation and Monetary Policy Implication in Indonesia
Rulyusa Pratikto a, ✝ , Mohamad Ikhsan b, ✝✝
a Departemen Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan b Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
[diterima: 1 Agustus 2016 — disetujui: 17 Maret 2017 — terbit daring: 10 Mei 2017]
Abstract
Controlling food inflation in Indonesia is essential mainly caused by its persistent and relatively significant impact on the poor’s purchasing power compare to other commodities. Thus, the main purpose of this study is to determine the effectiveness of monetary policy on food inflation stabilization in Indonesia. By utilizing Structural Vector Autoregression, the empirical results provided here show that monetary policy does effectively prevent the spillover effect of food to non-food inflation. In addition to that, the exchange rate may play some role in the longer period to affect the volatility of food inflation. Keywords: Monetary Policy; Food Inflation; Structural Vector Autoregression
Abstrak
Pengendalian inflasi makanan penting untuk dilakukan di Indonesia terutama karena dua hal, yaitu sifat inflasi makanan yang persisten dan dampaknya terhadap penurunan daya beli keluarga miskin yang relatif tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Dengan demikian, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi makanan di Indonesia. Dengan menggunakan metode Structural Vector Autoregression, hasil empiris menunjukkan bahwa kebijakan moneter secara efektif dapat mencegah dampak spillover inflasi makanan ke inflasi non-makanan. Selain itu, stabilitas nilai tukar dapat memiliki peran untuk mengurangi volatilitas inflasi makanan terutama pada jangka panjang. Kata kunci: Kebijakan Moneter; Inflasi Makanan; Structural Vector Autoregression
Kode Klasifikasi JEL: E3; E5; I3
Pendahuluan
makanan menyebabkan upaya untuk memproteksi pendapatan rumah tangga miskin semakin sulit.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa inflasi Hal ini dikarenakan komoditas pangan merupakan makanan di Indonesia penting untuk diperhati-
penyumbang terbesar konsumsi masyarakat mis- kan. Pertama, derajat persistensi inflasi di Indone-
kin dan juga pada bundel komoditas pembentuk sia relatif masih tinggi dibandingkan dengan di
garis kemiskinan. Peningkatan harga pangan akan kawasan Asia (Alamsyah, 2008; Harmanta, 2009)
meningkatkan garis kemiskinan yang relatif cukup dan Affandi (2011) menyatakan bahwa salah sa-
tinggi, yang kemudian berdampak kepada mening- tu penyebabnya adalah dari persistennya inflasi
katnya angka kemiskinan.
makanan. Karenanya, upaya pengendalian inflasi Fenomena ini sejalan dengan temuan dari Son makanan merupakan faktor penting untuk menu-
dan Kakwani (2009) di Brasil dan Son (2008) di runkan total inflasi. Kedua, relatif tingginya inflasi
Filipina yang menyatakan bahwa inflasi pada ke-
lompok barang makanan memiliki dampak yang
Alamat Korespondensi: Jln. Ciumbuleuit 94, Bandung 14041. E-mail: [email protected].
lebih merugikan masyarakat miskin. Hasil empiris
✝✝ Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Kampus
yang dilakukan oleh Pratikto et al. (2015) pun me-
Baru UI Depok 16424, Jawa Barat. E-mail: [email protected].
nunjukkan kesimpulan yang serupa. Pada kasus
59 Indonesia, perubahan harga kelompok komoditas
Pratikto, R. & Ikhsan, M.
kator inflasi yang menjadi target BI dikalkulasikan bahan makanan sangat berpengaruh besar terhadap
melalui Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin. Dampak-
(year on year/yoy) per periode. nya, inflasi makanan akan meningkatkan kemiskin-
Untuk mengetahui sejauh mana peranan dari ke- an relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok
bijakan moneter terhadap upaya penanggulangan komoditas lainnya. Selain itu, seperti halnya juga
kemiskinan, Ag´enor et al. (2007) secara tidak lang- kasus di Brasil yang diteliti oleh Son dan Kakwani
sung menyatakan bahwa perlu diidentifikasi secara (2009), Pratikto et al. (2015) pun menemukan bukti
spesifik mengenai pengaruh kebijakan moneter ter- empiris bahwa masyarakat miskin di Indonesia se-
hadap harga komoditas yang banyak dikonsumsi panjang periode tahun 2007–2012 telah mengalami
oleh masyarakat miskin. Dalam hal ini, jika arah tingkat inflasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dari kebijakan moneter mampu memengaruhi per- masyarakat non-miskin. Penyebabnya adalah infla-
gerakan inflasi makanan, maka secara tidak lang- si pada komoditas makanan pada periode tersebut
sung kebijakan moneter memiliki peranan penting meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia komoditas lainnya. Mengingat salah satu tujuan da-
melalui stabilitas inflasi makanan. Secara teknis, ri kebijakan pemerintah dalam pengendalian inflasi
penelitian ini akan mendisagregasikan inflasi men- yang tertuang dalam Strategi Nasional Penanggu-
jadi dua kelompok, yaitu komoditas makanan dan
non-makanan, untuk kemudian melihat bagaimana kesehateraan masyarakat miskin, maka pengendali-
langan Kemiskinan (SNPK) 1 adalah menjaga tingkat
respons dari inflasi pada masing-masing kelompok an inflasi makanan menjadi semakin penting untuk
tersebut terhadap perubahan kebijakan moneter. diperhatikan. Dengan demikian, penelitian ini me-
Gambar 1 menunjukkan pola pergerakan inflasi rupakan tindak lanjut atas temuan dari penelitian
tahunan untuk kelompok barang makanan dan non- Pratikto et al. (2015) tersebut dan bertujuan untuk
makanan di Indonesia pada kurun waktu tahun mengetahui apakah kebijakan pengendalian infla-
2003–2010 serta pergerakan dari BI rate. Kebijakan si memiliki keselarasan dengan tujuan dari SNPK
moneter yang diukur melalui BI rate nampaknya tersebut.
memiliki keterkaitan dengan tingkat inflasi. Saat Pengendalian inflasi di Indonesia sendiri meru-
terjadi tekanan terhadap inflasi, BI meningkatkan pakan domain dari Bank Indonesia (BI). Sejak Juli
suku bunga acuan seperti yang jelas terlihat pada 2005, BI memilih untuk mengadopsi kebijakan In-
akhir tahun 2005. Selain itu, peningkatan BI rate ter-
sebut kemudian diikuti pula oleh penurunan pada adalah kebijakan ITF ini secara teoritis mampu me-
flation Targeting Framework (ITF) 2 . Pertimbangannya
tingkat inflasi itu sendiri, baik kelompok makanan nurunkan inflasi pada jangka panjang, menciptakan
maupun non-makanan.
stabilitas makro-ekonomi, dan mendorong pertum- Selain itu, hal yang menarik adalah terdapat peru- buhan ekonomi yang berkelanjutan (Bernanke et al.,
bahan struktur dinamika inflasi pada periode terse- 2005). Dengan kerangka kerja ini, BI secara eksplisit
but. Pada periode tahun 2003 hingga kuartal kedua mengumumkan kepada publik sasaran inflasi yang
tahun 2006, inflasi pada kelompok non-makanan ingin dicapai dan kebijakan moneter yang akan di-
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok terapkan untuk mencapai sasaran tersebut. Sesuai
makanan. Di sisi lain, mulai kuartal kedua tahun dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Repub-
2006 hingga 2010, inflasi pada kelompok makanan lik Indonesia Nomor 66/PMK.011/2012 Tentang Sa-
menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan saran Inflasi Tahun 2013, 2014, dan 2015, bahwa indi-
inflasi non-makanan. Dengan demikian, pada peri- ode ini kelompok masyarakat miskin mengalami
1 merupakan finalisasi hasil kerja Gugus tugas I, Gugus Tu-
dampak negatif yang lebih besar karena pola kon-
gas II, Gugus Tugas III dan Gugus Tugas IV Tim Koordina-
sumsi masyarakat miskin yang secara proporsional
si Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggu-
lebih besar pada komoditas makanan.
langan Kemiskinan (TKP3KPK) Kantor Kementrian Koordi- nator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kelompok Kerja I, II,
Lebih lanjut, hal menarik lainnya dari analisa
III, IV, V, VI, dan VII Komite Penanggulangan Kemiskinan.
deskriptif ini adalah pergerakan inflasi antara in-
Dapat diakses melalui http://data.kemenkopmk.go.id/content/
flasi makanan dan non-makanan. Pergerakannya
strategi-nasional-penanggulangan-kemiskinan (tanggal akses
yang serupa memberikan indikasi adanya keterka-
26 Juli 2014). 2 ”Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia”. Dapat diak-
itan antara keduanya. Seperti yang dinyatakan oleh
ses melalui http://www.bi.go.id/id/moneter/tujuan-kebijakan/
Bhattacharya et al. (2013), inflasi pada kelompok
Contents/Default.aspx (tanggal akses 26 Juli 2014).
makanan dapat memiliki dampak terhadap inflasi
60 Inflasi Makanan dan Implikasinya...
Gambar 1: Pergerakan Inflasi Bulanan (yoy) Kelompok Makanan dan Non-Makanan pada Tahun 2003–2010 Keterangan: Axis kiri adalah bilangan untuk inflasi makanan dan non-makanan; Axis kanan untuk BI Rate Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Juni 2014, diolah
non-makanan melalui pergeseran permintaan dari maka jawaban atas pertanyaan pertama akan ber- barang makanan ke non-makanan, dan begitu pula
pengaruh terhadap respons dari kebijakan moneter sebaliknya (efek substitusi). Peningkatan permin-
saat terjadinya tekanan terhadap inflasi makanan. taan barang non-makanan memberikan tekanan
Secara umum, penelitian terdahulu pada pereko- terhadap inflasi pada kelompok barang tersebut.
nomian Indonesia yang terkait dengan kebijakan Pada akhirnya, inflasi agregat akan mendapat te-
moneter masih terbatas pada bagaimana efektivitas kanan yang lebih dalam (second round effect) jika
kebijakan tersebut dalam menangani inflasi agregat terdapat peningkatan inflasi pada salah satu ke-
atau mendisagregasikannya secara parsial menjadi lompok barang. Peningkatan permintaan barang
inflasi inti (core) dan headline (Agung, 1998; Kusmiar- ini tentunya akan memberikan kompleksitas yang
so et al., 2002; Goeltom, 2008). Perhatian terhadap ba- lebih rumit dalam pengendalian inflasi agregat.
gaimana sebaiknya kebijakan moneter merespons Berdasarkan pemaparan singkat pada bagian ini,
tekanan pada inflasi makanan salah satunya menja- maka penelitian ini terdiri dari dua pertanyaan uta-
di motivasi utama dari penelitian yang dilakukan ma. Pertanyaan pertama menitikberatkan kepada
oleh Walsh (2011), Bhattacharya et al. (2013), dan bagaimana dinamika inflasi di Indonesia. Transmisi
Anand et al. (2014) yang juga menjadi latar belakang antara inflasi makanan, non-makanan, dan inflasi
mengapa penelitian ini dilakukan. Penulis kemudi- total akan ditelaah lebih mendalam, seperti halnya
an mengombinasikan pendekatan yang dilakukan yang dilakukan oleh Bhattacharya et al. (2013) pada
oleh ketiga penelitian tersebut dengan pendekatan perekonomian India. Fokus penulis pada bagian ini
transmisi kebijakan moneter yang diterapkan oleh adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan
Kim dan Roubini (2000) yang bertujuan untuk men- dari inflasi makanan terhadap komponen inflasi
dapatkan gambaran secara komprehensif mengenai lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Selanjutnya,
implikasi kebijakan moneter atas dinamika inflasi pertanyaan kedua berusaha untuk mengetahui ba-
makanan di Indonesia. Lebih lanjut, penulis pun gaimana efektivitas kebijakan moneter dalam hal
melakukan beberapa penyesuaian atas pendekatan pengendalian inflasi makanan. Jika perubahan pada
Kim dan Roubini (2000) tersebut berdasarkan be- stance kebijakan moneter melalui suku bunga acuan
berapa karakteristik perekonomian Indonesia yang BI mampu mengendalikan inflasi makanan, maka
akan dijelaskan lebih terperinci pada bagian meto- dapat dikatakan kebijakan moneter memiliki peran
de.
yang penting dalam pengendalian kemiskinan di Organisasi penulisan pada tulisan ini adalah seba- Indonesia. Jika hasil yang terjadi adalah sebaliknya,
gai berikut. Bagian pertama menjabarkan motivasi
61 utama penulis dalam memilih topik penelitian ini
Pratikto, R. & Ikhsan, M.
kuat dalam memengaruhi inflasi headline. Ketiga, dan menganalisa secara singkat dinamika inflasi
jalur suku bunga memiliki peranan yang cukup di Indonesia. Bagian kedua membahas mengenai
signifikan namun tidak sekuat kedua jalur yang se- penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum-
belumnya disebutkan dalam memengaruhi inflasi, nya yang terkait dengan topik penelitian ini. Bagian
baik itu inflasi inti maupun headline. ketiga kemudian membahas mengenai strategi em-
Meskipun demikian, penelitian-penelitian terse- piris untuk menjawab pertanyaan dari penelitian
but belum mengarah kepada pendekatan disagre- ini. Bagian keempat merupakan hasil dan anali-
gasi komoditas dalam inflasi agregat, dalam hal ini sa empiris, dan bagian terakhir akan memberikan
makanan dan non-makanan yang menjadi fokus kesimpulan beserta implikasi kebijakan.
utama penelitian ini. Ini juga menjadi perhatian pen- ting beberapa penelitian yang menekankan pada jenis dari target inflasi bank sentral, yang umum-
Tinjauan Literatur
nya tidak mengikutsertakan inflasi makanan. Walsh (2011) secara empiris mengkritisi hal tersebut. De-
Affandi (2011) menyatakan bahwa inflasi makanan ngan menggunakan metodologi Vector Autoregres- menjadi salah satu penyebab mengapa inflasi di
sion (VAR), Walsh menyatakan bahwa meskipun Indonesia bersifat persisten. Lebih lanjut, terdapat
inflasi makanan memiliki volatilitas dan rata-rata urgensi yang tinggi mengenai pengendalian inflasi
yang lebih tinggi dari inflasi non-makanan, kebijak- makanan, mengingat dampaknya terhadap penu-
an pengendalian inflasi sebaiknya tetap mengikut- runan kesejahteraan masyarakat miskin yang relatif
sertakan inflasi makanan. Pada penelitiannya di 91 tinggi dibandingkan dengan inflasi pada komodi-
negara, Walsh menemukan bukti yang kuat bahwa tas lainnya (Son dan Kakwani, 2009; Pratikto et al.,
inflasi makanan akan ditransmisikan kepada in- 2015). Hal ini kemudian menimbulkan tantangan
flasi non-makanan. Karena hal tersebut, kebijakan bagi kebijakan moneter dalam mengendalikan in-
pengendalian inflasi yang tidak mengikutsertakan flasi karena adanya dugaan kuat bahwa kebijakan
inflasi makanan dari sasarannya dapat berdampak moneter kurang efektif dalam mengendalikan infla-
kepada kredibilitas pembuat kebijakan (bias pada si makanan mengingat sumber dari inflasi makanan
perhitungan inflasi sasaran). Selain itu, karena ke- yang umumnya bersifat struktural. Karenanya, tim-
lompok barang makanan umumnya berkontribusi bul pertanyaan mengenai bagaimana sebaiknya
besar dalam pembentukan inflasi agregat, maka kebijakan moneter memberikan respons atas tekan-
ekspektasi inflasi akan lebih tinggi sehingga pada an inflasi makanan.
akhirnya akan membentuk inflasi aktual yang lebih Penelitian mengenai bagaimana efektivitas ke-
tinggi pula.
bijakan moneter BI bekerja memengaruhi tujuan Kesimpulan serupa dari penelitian Walsh terse- akhirnya, dalam hal ini adalah inflasi, telah banyak
but pun dipertegas oleh Bhattacharya et al. (2013) dilakukan. Pada umumnya, penelitian-penelitian
dan Anand et al. (2014) pada penelitian di India. tersebut menggunakan basis teori transmisi kebi-
Keduanya menegaskan bahwa mengingat adanya jakan moneter. Penelitian mengenai transmisi ke-
second round effects dari peningkatan inflasi makan- bijakan moneter di Indonesia secara komprehensif
an, maka inflasi aktual akan lebih tinggi dari perhi- dilakukan oleh Goeltom (2008). Penelitian ini juga
tungan dan sasaran inflasi dari bank sentral India. melakukan pendekatan disagregasi yang terlihat
Kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa kebi- dari beberapa kesimpulan akhirnya. Pada perio-
jakan moneter sebaiknya merespons tekanan pada
de sebelum krisis, kebijakan moneter tidak bekerja inflasi makanan dengan melakukan kebijakan mo- terlalu efektif dan signifikan dalam memengaruhi
neter yang ketat (peningkatan suku bunga). Hal ini inflasi, baik itu inflasi inti maupun headline. Pada
dilakukan semata untuk mencegah tekanan yang saat periode krisis berjalan, jalur harga aset dan
lebih tinggi terhadap inflasi non-makanan, yang kredit merupakan jalur yang terkuat dalam me-
pada akhirnya akan meningkatkan inflasi agregat mengaruhi inflasi. Kesimpulan berbeda diperoleh
yang lebih tinggi dari peningkatan inflasi makanan. pada saat periode setelah krisis. Pada periode ini,
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mo- terdapat tiga jalur transmisi yang bekerja. Pertama,
tivasi penulis untuk melakukan pendekatan ini jalur nilai tukar merupakan yang paling kuat dalam
terkait dengan pentingnya kelompok makanan ter- memengaruhi inflasi inti melalui direct pass-through.
hadap masyarakat miskin di Indonesia. Hal ini Kedua, jalur harga aset merupakan jalur yang paling
dikarenakan masyarakat miskin kurang memili-
62 Inflasi Makanan dan Implikasinya...
ki kemampuan dalam melindungi daya belinya adalah VAR. Di sisi lain, metode VAR seringkali dari inflasi dan komoditas makanan merupakan
mendapatkan kritikan karena sifatnya yang tidak kebutuhan yang paling dasar. Dengan demikian,
teoritis. Metode ini tidak menggunakan suatu persa- peningkatan harga pada kelompok barang ini seca-
maan struktural berdasarkan teori ekonomi, tetapi ra relatif akan lebih merugikan masyarakat miskin
hanya membiarkan data menghasilkan kesimpulan dibandingkan dengan masyarakat mampu.
dari pergerakannya dalam sistem VAR. Oleh karena Maka, untuk mengetahui apakah terdapat trans-
itu, penulis menggunakan pengembangan metode misi inflasi makanan terhadap non-makanan di
dari VAR, yaitu SVAR. Sesuai dengan namanya, Indonesia, penulis menggunakan metodologi dan
sistem SVAR menerapkan restriksi di dalam model model Structural Vector Autoregression (SVAR) dari
yang disesuaikan dengan teori ekonomi serta ka- Bhattacharya et al. (2013). Selanjutnya, untuk menge-
rakteristik perekonomian Indonesia yang menjadi tahui bagaimana peranan kebijakan moneter terha-
objek penelitian.
dap inflasi makanan, maka penulis menggunakan Pendekatan SVAR ini sendiri, seperti halnya dasar teori yang dikembangkan oleh Kim dan Rou-
metodologi-metodologi lainnya, tidak terlepas dari bini (2000). Kim dan Roubini mengembangkan mo-
keterbatasan terutama dari sisi robustness pada hasil del teoritis SVAR untuk menginvestigasi dampak
akhir SVAR. Meskipun penetapan restriksi pada dari perubahan kebijakan moneter terhadap harga
model SVAR didasarkan pada teori-teori ekono- sekaligus untuk melihat apakah terdapat exchange
mi, namun perubahan pada restriksi relatif sensitif rate puzzle pada perekonomian beberapa negara-
terhadap hasil akhir dari SVAR (Brischetto dan negara Eropa (Organisation for Economic Co-operation
Voss, 1999; Berkelmans, 2005). Meskipun sensitivi- and Development/OECD). Meskipun pada penelitian
tas dari perubahan restriksi tidak dapat dihindari, ini penulis tidak memiliki tujuan yang sama dengan
namun transparansi atas argumentasi dari penetap- Kim dan Roubini, penulis menggunakan model ter-
an restriksi tersebut yang berdasarkan penelitian- sebut dengan argumentasi bahwa dari beberapa
penelitian terdahulu yang telah terbukti dapat di- penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, jalur
pertanggungjawabkan, dan juga beberapa stylized nilai tukar bekerja sangat baik sehingga basis model
facts dapat meningkatkan robustness dari hasil akhir tersebut dapat diaplikasikan pada perekonomian
SVAR (Brischetto dan Voss, 1999; Berkelmans, 2005). Indonesia. Penulis melakukan beberapa perubahan
Pendekatan inilah yang kemudian diadopsi oleh pada model Kim dan Roubini ini yang disesuaikan
penulis untuk mengatasi keterbatasan dari SVAR. dengan tujuan penelitian penulis dan akan dibahas
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui dinami- lebih mendalam pada bagian metode.
ka dari inflasi agregat, penulis mengadopsi sistem SVAR yang digunakan oleh Bhattacharya et al. (2013) dengan model yang dinyatakan sebagai berikut :
Metode
1 1 1 u fi Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini
e fi
✕ e nfi ✢✏ ✕ g 21 1 0 ✢ ✕ u nfi ✢ (1) adalah SVAR, yang merupakan pengembangan dari
g g31 g 32 1 u π VAR. Argumentasi utama penggunaan metode ini adalah karena VAR memiliki kemampuan untuk
Persamaan (1) menunjukkan bahwa model ter- menangkap dinamika dari perekonomian sebagai
sebut menempatkan restriksi bahwa kejutan pada akibat adanya perubahan dan/atau kejutan (shock)
inflasi makanan (e fi ) memiliki dampak instan (con- pada kebijakan pemerintah, dalam hal ini dari sisi
temporaneous) terhadap inflasi non-makanan (e nfi ) moneter. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa
dan agregat (e π ), namun tidak sebaliknya. Perubah- kebijakan moneter yang dilakukan pada periode (t)
an pada inflasi non-makanan sendiri diasumsikan baru mencapai sasarannya pada periode t n.
berdampak instan kepada inflasi agregat, namun Seperti juga yang dijelaskan oleh Bernanke dan
tidak sebaliknya. Penerapan restriksi tersebut ber- Mihov (1998), perekonomian berjalan dinamis dan
dasarkan fakta bahwa bundel konsumsi makanan perubahan pada salah satu variabel ekonomi biasa-
di India memiliki porsi terbesar hingga mencapai se- nya membutuhkan waktu (lags) untuk berpengaruh
kitar 45% (Anand et al., 2014). Restriksi tersebut juga terhadap variabel lainnya. Karenanya, Bernanke
diterapkan pada penelitian ini. Hal ini didasarkan dan Mihov menegaskan bahwa salah satu metodo-
pula oleh fakta bahwa pola konsumsi makanan logi yang mampu menangkap dinamika tersebut
masyarakat Indonesia tidak berbeda jauh dengan
63 India. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi
Pratikto, R. & Ikhsan, M.
an sehingga mampu berperan secara tidak langsung Nasional (Susenas) Triwulan III 2012, proporsi kon-
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia. sumsi komoditas makanan mencapai sekitar 47,71%
Dengan perubahan asumsi tersebut, maka model (Badan Pusat Statistik/BPS, 2013).
SVAR yang diaplikasikan pada penelitian ini adalah Selanjutnya, untuk menginvestigasi mengenai
sebagai berikut:
dampak dari kebijakan moneter terhadap inflasi, penulis menggunakan dasar teoritis kerangka SVAR
✜ ✔ ✜ dari Kim dan Roubini (2000). Penulis melakukan
1 0 0 0 0 0 0 0 u oil beberapa modifikasi pada model Kim dan Roubini
e oil
✖ g 21 1 0 0 0 0 0 0 ✣ ✖ ✣ ✖ u ffr ✣ tersebut yang disesuaikan dengan tujuan penelitian
✖ e ffr ✣
✣ ✖ g g31 g 32 1 g 34 g 35 0 0 0 ✣ ✣ ✖ ✖ u ms ✣ ✖ ✣ dan karakter dari perekonomian Indonesia. Perta-
✖ ✖ g 51 g 52 g 53 g 54 1 g 56 g 57 g 58 ✣ ✣ ✖ ✖ u ex ✣ ✣ ma, penulis mempertimbangkan bahwa kebijakan
✖ ✖ e ex ✣ ✣
✖ g 61 0 0 0 0 1 0 0 ✣ ✖ u ip ✣ moneter memiliki respons yang instan terhadap
✖ e ip ✣
g 71 0 0 0 0 g 76 1 0 ✢ ✕ ue fi ✢ perubahan pada variabel federal funds rate. Pertim-
e fi
g 81 0 0 0 0 g 86 g 87 1 u nfi bangannya bahwa salah satu tujuan dari BI sebagai
e nfi
(2) otoritas moneter adalah kestabilan nilai tukar ru-
dengan:
piah. Perubahan pada federal funds rate yang tidak oil : harga minyak mentah dunia (USD); diiringi oleh penyesuaian suku bunga BI akan ber- ffr : federal funds fate (persentase); dampak kepada capital outflow maupun inflow yang ms : suku bunga BI rate (persentase); kemudian membuat nilai tukar rupiah berfluktuasi. md : jumlah uang beredar M2 (Rupiah); Selain itu, asumsi pada model Kim dan Roubini fi : inflasi makanan (yoy) (persentase); yang tidak mempertimbangkan pergerakan dari ke- bijakan moneter negara-negara G7 3 (selain Amerika nfi : inflasi non-makanan (yoy) (persentase); ip : indeks produksi industri/manufaktur (indeks); Serikat/AS) dipengaruhi oleh pergerakan kebijakan
ex : nilai tukar (IDR/USD).
moneter AS dikarenakan relatif besarnya ukuran makro-ekonomi dari negara-negara G7 tersebut. Di sisi lain, penulis mengasumsikan bahwa skala
Inflasi makanan dan non-makanan (yoy) memili- makro-ekonomi Indonesia adalah relatif kecil diban-
ki reaksi instan dan bersamaan terhadap perubahan dingkan dengan negara AS dan negara-negara G7
pada variabel produksi. Asumsi ini bertujuan untuk tersebut, sehingga perubahan kebijakan moneter
menangkap asumsi adanya peningkatan pendapat- di AS menjadi salah satu kejutan luar negeri yang
an (yang tercermin dari peningkatan output) akan patut untuk dipertimbangkan dalam perumusan
memberikan tekanan secara instan terhadap infla- kebijakan moneter.
si. Lebih lanjut, penulis memodifikasi model pada Kedua, variabel tingkat harga konsumen tidak
restriksi inflasi non-makanan yang memiliki reaksi lagi digunakan dan diganti dengan tingkat inflasi,
secara bersamaan terhadap perubahan pada inflasi yang didisagregasikan menjadi inflasi kelompok
makanan, sesuai dengan asumsi pada model Bhat- makanan dan non-makanan. Penyebabnya adalah
tacharya et al. (2013).
tujuan dari kebijakan moneter BI sendiri sebagai Data yang digunakan pada penelitian ini meli- otoritas moneter bukanlah stabilitas harga tetapi
puti periode Januari 2003 hingga Juli 2010. Periode inflasi 4 . Dengan demikian, diasumsikan bahwa BI
penelitian ini dirasa sudah mencukupi dan menga- hanya merespons perubahan pada indikator harga
komodasi kebutuhan observasi pada metode SVAR. jika terjadi perubahan pada tingkat inflasi. Selain
Di dalam sistem SVAR tersebut, variabel harga mi- itu, disagregasi inflasi menjadi kelompok makan-
nyak mentah dunia, M2, Indeks Produksi, dan nilai an dan non-makanan disesuaikan dengan tujuan
tukar rupiah terhadap dolar AS dirubah ke dalam utama dari penelitian ini, yaitu apakah kebijakan
bentuk logaritma. Harga minyak mentah dunia, moneter memiliki dampak terhadap inflasi makan-
federal funds rate, BI rate, M2, indeks produksi ma- nufaktur, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS bersumber dari International Financial Statisti-
sebuah grup yang terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman,
cs (IFS) yang dikelola oleh International Monetary
Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat. 4 ”Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia”. Dapat diak-
Fund (IMF). Data mengenai inflasi makanan dan
ses melalui http://www.bi.go.id/id/moneter/tujuan-kebijakan/
non-makanan diperoleh dari Statistik Ekonomi dan
Contents/Default.aspx (tanggal akses 2 Maret 2015).
Keuangan Indonesia (SEKI) yang dirilis oleh BI.
64 Inflasi Makanan dan Implikasinya...
Hasil dan Analisis
makanan memiliki porsi terbesar hingga mencapai kurang lebih 58% dan diikuti oleh non-makanan
Pada umumnya, data makroekonomi runtun waktu sebesar kurang lebih 40%. Dengan demikian, maka bersifat non-stasioner sehingga memiliki properti
dapat dikatakan bahwa inflasi makanan memiliki akar unit (unit root). Dalam hal ini, penggunaan
sifat eksogen dalam memengaruhi komponen in- data runtun waktu dalam analisis ekonometri di-
flasi lainnya. Hasil perhitungan penulis pun seja- khawatirkan akan menghasilkan regresi yang ber-
lan dengan apa yang ditemukan oleh Walsh (2011) sifat spurious sehingga kesimpulan yang diperoleh
pada penelitiannya di 91 negara serta penelitian tidak akan tepat (Granger dan Newbold, 1974).
Bhattacharya et al. (2013) dan Anand et al. (2014) di Meskipun demikian, Sims et al. (1990) berargumen
India. Pada perekonomian negara-negara tersebut, bahwa, meskipun data yang digunakan memiliki
khususnya pada negara-negara berkembang, inflasi akar unit tetapi terkointegrasi pada jangka pan-
makanan memiliki porsi yang relatif besar dalam jang, maka analisis VAR tidak memerlukan data
pembentukan inflasi non-makanan maupun inflasi stasioner. Informasi mengenai true data generating
agregat.
process akan hilang jika data pada tingkat level ter- Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana dam- sebut dirubah ke dalam bentuk stasioner (difference).
pak dari perubahan masing-masing variabel ter- Selanjutnya, Sims et al. (1990) juga memberikan pen-
hadap variabel lainnya, maka diperlukan analisis dapat bahwa tujuan dari analisis VAR adalah untuk
impulse response dari sistem SVAR. Gambar 2 me- menentukan hubungan di antara seluruh variabel
nunjukkan bagaimana perubahan tersebut, apakah di dalam sistem VAR, bukan untuk mengestimasi
berdampak positif atau negatif. nilai dari parameter sehingga permasalahan sta-
Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa pe- sioneritas dari data menjadi kurang relevan. Sims
ningkatan inflasi makanan akan direspons secara et al. (1990) juga menambahkan bahwa, meskipun
positif (meningkat) oleh inflasi non-makanan ma- analisis SVAR menggunakan variabel non-stasioner,
upun inflasi agregat. Begitu pula dengan dampak koefisien yang diestimasi pada SVAR tetap konsis-
dari peningkatan inflasi non-makanan terhadap ten. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tidak
inflasi agregat. Lebih lanjut, hasil Impulse Respon- menganalisis dan mengkaji permasalahan stasioner-
se Functions (IRF) pun menunjukkan bahwa shock itas data pada model SVAR yang penulis gunakan.
inflasi makanan terhadap inflasi agregat memiliki dampak yang relatif lebih lama dibandingkan shock
Dinamika Inflasi
inflasi non-makanan. Hasil ini mengimplikasikan bahwa persistensi inflasi agregat lebih bersumber
Untuk menentukan bagaimana sebuah perubahan dari inflasi makanan. Dengan demikian, kombina- instan (shocks) pada sebuah variabel dan pengaruh-
si hasil FEVD dan IRF ini semakin mempertegas nya terhadap pergerakan variabel lainnya, sistem
pentingnya pengendalian inflasi makanan sebagai VAR menggunakan Forecast Error Variance Decompo-
berikut. Pertama, seperti yang telah disebutkan dan sitions (FEVD). Enders (2003) menyatakan bahwa
diperkirakan sebelumnya pada bagian pertama, in- jika FEVD dari sebuah variabel tidak dipengaruh-
flasi makanan memiliki dampak negatif yang lebih
i oleh kejutan selain dari perubahan variabel itu buruk bagi masyarakat miskin. Kedua, peningkatan sendiri, maka dapat dikatakan bahwa variabel ter-
inflasi makanan akan ditransmisikan kepada infla- sebut bersifat eksogen. Tabel 1 menunjukkan hasil
si non-makanan yang berefek negatif lebih besar perhitungan FEVD model Bhattacharya et al. (2013)
kepada masyarakat non-miskin. Hal ini kemudian dengan menggunakan data inflasi Indonesia.
juga akan diteruskan kepada peningkatan inflasi Hasil perhitungan pada Tabel 1 menunjukkan
agregat (second round effect). Menurut Bhattacharya bahwa pergerakan dari inflasi makanan hanya di-
et al. (2013), penyebab dari transmisi inflasi makan- tentukan oleh kejutan dari variabel itu sendiri tan-
an ke non-makanan ini karena adanya efek sub- pa terpengaruh oleh pergerakan dari inflasi non-
stitusi antara barang makanan dan non-makanan. makanan maupun inflasi agregat. Di sisi lain, peru-
Peningkatan harga makanan akan menurunkan bahan pada inflasi makanan berpengaruh cukup sig-
permintaan terhadap makanan itu sendiri, yang ke- nifikan terhadap varian dari inflasi non-makanan,
mudian disubstitusikan kepada konsumsi barang mencapai kurang lebih 29%. Perubahan pada infla-
non-makanan sehingga memberikan tekanan ke- si agregat secara signifikan dipengaruhi oleh, baik
pada peningkatan inflasi pada kelompok barang itu inflasi makanan maupun non-makanan. Inflasi
tersebut.
Pratikto, R. & Ikhsan, M.
Tabel 1: FEVD Dinamika Inflasi
Inflasi Agregat Inflasi Makanan
Horison (bulan)
Inflasi Makanan
Inflasi Non-Makanan
5,32 Inflasi Non-Makanan
1,84 Inflasi Agregat
4,47 Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
Gambar 2: Impulse Response Inflasi
Keterangan: INF: inflasi IHK (agregat/headline); FI dan NFI lihat keterangan Persamaan (1)
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
66 Inflasi Makanan dan Implikasinya...
Meskipun demikian, penulis berpendapat bah- misi inflasi makanan ke non-makanan seperti yang wa hal ini cenderung tidak terjadi pada perekono-
dinyatakan oleh Anand et al. (2014) bahwa inflasi mian negara-negara berkembang. Menurut United
makanan dapat berperan untuk menentukan ting- Nation Development Programme (UNDP), perekono-
kat upah (food as wage setting). Pendapat tersebut mian negara-negara ini termasuk Indonesia, pada
kemudian didukung oleh hasil penelitian yang di- umumnya memiliki karakteristik kesenjangan pen-
lakukan oleh Cheung et al. (2008) pada beberapa dapatan yang tinggi, dalam hal ini proporsi ma-
negara Asia. Peningkatan inflasi makanan dapat syarakat dengan pendapatan menengah ke bawah
menyebabkan permintaan peningkatan upah yang lebih tinggi dibandingkan golongan pendapatan
lebih tinggi oleh pekerja, karena porsi konsumsi tinggi (UNDP, 2004). Argumentasi dari Bhattachar-
komoditas makanan yang relatif tinggi terutama ya et al. (2013) tersebut dapat terjadi jika mayoritas
pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. dari masyarakat perekonomian tertentu memiliki
Hal ini dilakukan untuk mengompensasi daya be- konsumsi makanan yang relatif tinggi dan mele-
li pekerja yang menurun atas konsumsi makanan bihi apa yang dibutuhkan (tidak hanya makanan
tersebut dan menyebabkan adanya tekanan infla- untuk kebutuhan dasar) sehingga masyarakat ter-
si dari sisi penawaran (cost-push). Inflasi makanan sebut mampu dan bersedia untuk merubah pola
yang lebih tinggi menyebabkan tingkat upah yang konsumsi. Situasi ini merupakan karakteristik dari
harus diberikan pun lebih tinggi. Dengan demikian, individu yang memiliki pendapatan relatif tinggi.
inflasi aktual pun akan melebihi ekspektasi inflasi Pemenuhan konsumsi makanan untuk kebutuhan
dari masyarakat karena adanya tekanan putaran dasar yang dilakukan oleh golongan masyarakat
kedua pada inflasi agregat tersebut. menengah ke bawah tidak akan mengubah po- la konsumsi makanan, sehingga inflasi makanan tidak akan menimbulkan efek substitusi kepada
Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap
kelompok barang non-makanan. Dengan kata lain,
Inflasi Makanan
elastisitas harga terhadap kelompok barang makan- an adalah rendah (inelastis) terutama bagi mereka
Pergerakan inflasi agregat serta komponen makan- yang berpendapatan rendah.
an dan non-makanan menunjukkan pentingnya pe- Penulis berpendapat, transmisi inflasi makanan
ngendalian inflasi makanan. Jika kebijakan moneter kepada inflasi non-makanan salah satunya lebih
mampu untuk mengendalikan inflasi makanan, ma- dikarenakan adanya spill-over effect dari peningkat-
ka tidak hanya masyarakat golongan miskin yang an harga makanan terhadap harga non-makanan.
diuntungkan tetapi juga seluruh golongan masya- Karena kelompok barang makanan memiliki porsi
rakat. Sebaliknya, jika inflasi makanan tidak dapat
dikendalikan, maka masyarakat miskin akan jauh si makanan dapat dipersepsikan oleh produsen,
terbesar dalam pembentukan harga 5 , maka infla-
lebih dirugikan.
baik itu kelompok barang makanan maupun non- Tabel 2 memperlihatkan FEVD dari hasil SVAR makanan, sebagai peningkatan ekspektasi inflasi
dengan menggunakan kerangka Persamaan (2). Ha- secara agregat. Dengan demikian, kebijakan pene-
sil tersebut menunjukkan bahwa pergerakan dari tapan harga dari produsen non-makanan mengi-
inflasi makanan pada jangka waktu pendek (2 bu- kuti ekspektasi inflasi yang pada akhirnya akan
lan) mayoritas hanya dipengaruhi oleh variabel itu meningkatkan inflasi aktual pada kelompok ba-
sendiri. Meskipun demikian, pada jangka panjang rang non-makanan. Penyebab lainnya dari trans-
(1 tahun), kejutan pada variabel harga minyak men- tah dan nilai tukar secara signifikan berdampak
5 Menurut Survei Biaya Hidup 2012 yang dilakukan oleh BPS,
kepada varian dari inflasi makanan. Variabel mone-
proporsi biaya hidup untuk kelompok pengeluaran makanan
ter yaitu suku bunga dan jumlah uang beredar tidak
pada tahun 2007 dan 2012 masing-masing adalah sebesar 36%
memiliki peranan langsung yang cukup penting
dan 35%. Namun, survei ini dilakukan pada kota-kota besar di Indonesia (masing-masing 66 dan 82 kota pada tahun 2007
dalam memengaruhi perubahan inflasi makanan.
dan 2012), sehingga tidak mencerminkan pola pengeluaran ma-
Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pergerak-
syarakat pedesaan yang notabene memiliki pola yang berbeda.
an inflasi makanan lebih besar dipengaruhi oleh
Berdasarkan data Susenas modul pengeluaran konsumsi tahun
faktor non-domestik (imported inflation). Oleh sebab
2008 dan 2013 serta memperhitungkan pengeluaran masyarakat desa dan kota, rata-rata pengeluaran kelompok makanan pada
itu, tidak mengherankan jika perubahan kebijakan
tahun 2007 dan 2012 masing-masing adalah sebesar 61% dan
moneter yang lebih mengendalikan faktor domestik
tidak berperan besar terhadap variasi dari inflasi
Pratikto, R. & Ikhsan, M.
Tabel 2: FEVD Model Transmisi Kebijakan Moneter
FI NFI Inflasi Makanan
26,44 5,70 Inflasi Non-Makanan
8,03 12,73 Nilai Tukar
20,56 1,17 Keterangan: Masing-masing variabel dijelaskan pada Persamaan (2) Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
makanan. Kajian internal yang dilakukan oleh be- Di sisi lain, varian dari inflasi non-makanan me- berapa bank sentral negara-negara berkembang
miliki struktur yang cukup berbeda. Kejutan dari seperti India dan Filipina menunjukkan konklusi
harga minyak mentah memengaruhi pergerakan in- yang serupa, yakni kebijakan moneter hanya sedikit
flasi non-makanan, baik pada jangka waktu pendek, atau bahkan tidak sama sekali memengaruhi inflasi
menengah, maupun panjang. Hal ini disebabkan makanan 6 .
karena industrial linkage dari komoditas makanan Meskipun demikian, terdapat implikasi bahwa
relatif lebih panjang dibandingkan dengan komo- kebijakan moneter melalui suku bunga acuan BI
ditas makanan. Artinya, proses produksi makanan, rate dapat memengaruhi inflasi makanan melalui
terutama bahan makanan, membutuhkan kompo- transmisi jalur nilai tukar. Dalam hal ini, perubah-
nen bahan bakar minyak yang relatif lebih rendah an stance kebijakan moneter dapat memengaruhi
dibandingkan dengan proses produksi komoditas pergerakan nilai tukar untuk kemudian selanjutnya
non-makanan, contohnya barang manufaktur. berdampak kepada pergerakan inflasi makanan.
Hasil FEVD juga menunjukkan bahwa transmi- Namun, hasil empiris menunjukkan bahwa hal ter-
si dari nilai tukar terhadap inflasi non-makanan sebut tidak terjadi. Meskipun inflasi makanan pada
relatif lebih cepat dibandingkan dengan transmisi jangka panjang dipengaruhi oleh pergerakan nilai
nilai tukar terhadap inflasi makanan, yang pada tukar, namun perubahan kebijakan moneter BI ra-
jangka waktu 4 bulan mencapai sekitar 14%. Pada te bukan merupakan sumber utama dari fluktuasi
jangka waktu yang sama, varian dari inflasi ma- nilai tukar. Pergerakan nilai tukar rupiah lebih ba-
kanan dipengaruhi oleh kejutan dari nilai tukar nyak bersumber dari perubahan pada kebijakan
hanya sekitar 2%, meskipun pada horison 12 bulan moneter AS dan jumlah uang beredar. Dengan de-
mencapai sekitar 21%. Hal ini dapat disebabkan mikian, kejutan pada suku bunga fed rate memang
karena proporsi impor dari produksi komoditas sebaiknya direspons oleh BI dengan mengeluarkan
makanan relatif lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan yang lebih berpengaruh terhadap jumlah
komoditas non-makanan.
uang beredar, sehingga salah satu fokus utama BI Hasil dari FEVD tersebut juga menunjukkan bah- yaitu stabilitas nilai tukar dapat tercapai.
wa BI rate memiliki peranan yang penting terhadap varian inflasi non-makanan, terutama pada jang-
6 ”Monetary policy has small impact on food, fuel inflation: Chi-
ka waktu menengah, hingga mencapai sekitar 22%.
dambaram”. NDTV Profit – New Delhi Television (NDTV).
Meskipun demikian, hal ini tidak berlaku sama bagi
Dapat diakses melalui http://profit.ndtv.com/news/economy/
inflasi makanan. Perubahan BI rate tidak memiliki
article-monetary-policy-has-small-impact-on-food-fuel -inflation-chidambaram-373604, dan ”Tuano-Amador, M. A.
peranan signifikan terhadap varian inflasi makanan,
C. N. (2013). Supply Shocks, Inflation and Monetary Policy:
baik itu secara langsung maupun tidak langsung
Philippine Experience. Slides presentation on Bank Negara
(melalui jalur suku bunga dan nilai tukar).
Malaysia’s Conference on ”Monetary Policy in the New Normal”, Sasana Kijang, 10–11 June 2013.” Dapat diakses
Merujuk dari hasil dari FEVD tersebut, Gambar
melalui http://w2.bnm.gov.my/documents/2013/mp/Session4
3 menunjukkan respons dari inflasi non-makanan
MariaAlmasaraCyd Slide.pdf (tanggal akses 24 April 2015).
terhadap variabel yang secara signifikan meme-
68 Inflasi Makanan dan Implikasinya...
Gambar 3: Impulse Response Inflasi Non-Makanan Keterangan: Lihat kembali Persamaan (2) untuk keterangan masing-masing variabel Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
Gambar 4: Impulse Response Inflasi Makanan Keterangan: Lihat kembali Persamaan (2) untuk keterangan masing-masing variabel Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
69 ngaruhi pergerakannya. Secara umum, inflasi non-
Pratikto, R. & Ikhsan, M.
memiliki peranan yang lebih penting dalam meme- makanan akan meningkat jika terjadi peningkatan
ngaruhi pergerakan dari inflasi makanan. Hal ini pada harga minyak mentah, jumlah uang beredar,
akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab berikutnya. nilai tukar (depresiasi), dan inflasi makanan. Kebi-
Hasil dari analisis model dinamika inflasi dan jakan moneter (suku bunga) memiliki hubungan
transmisi kebijakan moneter ini menunjukkan bah- yang negatif dengan inflasi non-makanan sehingga
wa inflasi makanan berperan penting dan signifi- kebijakan disinflasi akan mencapai tujuan akhirnya
kan bagi pengendalian inflasi agregat di Indonesia. untuk kategori inflasi non-makanan. Seperti hasil
Selain merupakan sumber terbesar bagi inflasi agre- pada model Bhattacharya et al. (2013), perubah-
gat, peningkatan inflasi makanan ditransmisikan an tidak terduga dari inflasi makanan berdampak
ke inflasi non-makanan dapat memberikan tekanan kepada peningkatan inflasi non-makanan. Hasil
inflasi total yang lebih dalam. Dengan demikian, ini sekaligus mempertegas adanya transmisi dari
kebijakan pengendalian inflasi yang dilakukan oleh inflasi makanan ke non-makanan.
BI melalui kerangka ITF ternyata tidak cukup un- Gambar 4 menunjukkan respons dari inflasi ma-
tuk mengendalikan inflasi makanan secara efektif kanan terhadap perubahan positif dari variabel-
karena lebih memiliki pengaruh yang signifikan variabel yang secara signifikan memengaruhinya
terhadap inflasi non-makanan. berdasarkan hasil FEVD. Peningkatan harga mi-
Melihat hasil tersebut, maka pertanyaan selanjut- nyak mentah dunia akan mendorong peningkatan
nya adalah apakah kebijakan moneter perlu untuk inflasi makanan, serupa dengan apa yang terjadi
merespons adanya tekanan inflasi makanan? Son pada inflasi non-makanan. Peranan depresiasi nilai
(2008) pada penelitiannya di Filipina berpendapat tukar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi
bahwa pengendalian inflasi makanan sebaiknya makanan pada jangka waktu 5 bulan ke atas, yang
tidak dilakukan dengan kebijakan moneter. Meres- pada periode sebelum bulan ke-5 memiliki penga-
pons peningkatan inflasi makanan dengan kebijak- ruh yang negatif. Hubungan yang ambigu antara
an moneter dapat merugikan masyarakat miskin nilai tukar dan inflasi makanan ini dapat dijelas-
di negara Filipina. Hal ini dikarenakan inflasi pada kan melalui pengaruhnya terhadap impor makanan
komoditas makanan merupakan beban inflasi terbe- yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ma-
sar yang harus dipikul oleh masyarakat miskin di kanan. Depresiasi akan menurunkan permintaan
negara tersebut. Respons kebijakan moneter diduga terhadap impor makanan sehingga memberikan
tidak berdampak kepada inflasi makanan, namun penurunan inflasi makanan dari sisi permintaan.
justru dapat menimbulkan resesi kecil (penurun- Di sisi lain, penurunan impor berdampak kepada
an pada pertumbuhan ekonomi). Pada akhirnya, sisi penawaran dari komoditas makanan. Karena
masyarakat miskin justru dirugikan dengan ada- penurunan impor, maka terjadi tekanan inflasi ma-
nya resesi kecil tersebut. Pendapat Son (2008) juga kanan dari sisi penawaran karena berkurangnya
didukung oleh Rosengren (2011) dalam konteks suplai barang. Hubungan yang tidak stabil antara
kebijakan moneter AS. Rosengren berpendapat bah- nilai tukar dengan inflasi makanan ini memberikan
wa merespons inflasi makanan yang bersumber implikasi bahwa salah satu fokus kebijakan BI yaitu
dari supply shocks (seperti yang terjadi pada tahun menjaga stabilitas nilai tukar sudah tepat. Dalam
2007–2008) dengan kebijakan disinflasi cenderung hal ini, pengendalian atas stabilitas nilai tukar di-
akan memiliki dampak yang lebih buruk bagi du- butuhkan agar inflasi makanan tidak berfluktuasi
nia bisnis dan rumah tangga. Alasannya, pertama, seperti yang diimplikasikan oleh hasil IRF tersebut.
kebijakan moneter cenderung tidak akan berpenga- Impulse Response pada Gambar 4 juga menunjuk-
ruh terhadap inflasi makanan karena sumbernya kan bahwa inflasi makanan tidak bereaksi secara
yang berasal dari perekonomian luar negeri. Ke- kuat terhadap perubahan pergerakan suku bunga.
dua, berdasarkan pengalaman dari perekonomian Selain dari pergerakannya yang tidak berfluktuasi,
AS, kejutan pada harga makanan cenderung ha- standar deviasi dari respons inflasi makanan terha-
nya bersifat sementara (jangka pendek) sehingga dap suku bunga pun relatif besar. Hasil ini semakin
tidak berdampak kepada peningkatan ekspektasi mempertegas konklusi yang diperoleh dari varian-
inflasi maupun kepada inflasi inti (core/non-food).
ce decomposition. Dengan demikian, semakin kuat Karena tidak adanya transmisi tersebut, maka ke- bukti empiris mengenai pergerakan dari inflasi ma-
bijakan disinflasi hanya menimbulkan resesi tanpa kanan di Indonesia bukan merupakan fenomena
adanya efek signifikan terhadap inflasi itu sendiri. moneter. Oleh karena itu, faktor struktural diduga
Peningkatan suku bunga karena kebijakan moneter
70 Inflasi Makanan dan Implikasinya...
disinflasi tentunya akan membuat cost of money me- hasil penelitian Pratikto et al. (2015), terdapat dua ningkat yang menyebabkan cost of operating business
komoditas non-makanan yang berperan cukup pen- ikut meningkat.
ting terhadap kesejahteraan masyarakat miskin di Di sisi lain, terdapat pendapat yang berbeda atas
Indonesia. Pertama adalah kelompok komoditas pertanyaan mengenai haruskah otoritas moneter
kebutuhan perumahan. Meskipun inflasi pada ke- merespons tekanan pada inflasi makanan. Seperti
lompok ini memiliki dampak distribusi yang lebih yang dinyatakan oleh Walsh (2011), jika pembuat
merugikan masyarakat non-miskin, namun dari sisi kebijakan berusaha untuk menjaga stabilitas harga
elastisitasnya terhadap peningkatan kemiskinan cu- agregat, maka menghiraukan adanya perubahan
kup tinggi (tertinggi kedua setelah bahan makanan). pada inflasi makanan tidak akan tepat. Dengan
Dengan demikian, peningkatan inflasi pada kebu- adanya transmisi dari inflasi makanan ke inflasi
tuhan perumahan akan meningkatkan kemiskinan non-makanan dan pada akhirnya ke inflasi total,
yang relatif tinggi pula. Kedua adalah kelompok ko- kebijakan disinflasi dari bank sentral tetap dibu-
moditas sandang. Inflasi pada kelompok komoditas tuhkan untuk menjaga inflasi non-makanan tetap
ini selain meningkatkan jumlah masyarakat miskin terjaga sehingga tidak menekan inflasi headline yang
juga memiliki dampak distribusi yang lebih meru- notabene menjadi sasaran inflasi bank sentral ter-
gikan masyarakat non-miskin. Karenanya, menjaga sebut. Jika bank sentral tidak merespons tekanan
tingkat inflasi non-makanan dari dampak spillover pada inflasi makanan, maka akan berdampak kepa-
inflasi makanan pun tetap diperlukan untuk tetap
da meningkatnya inflasi non-makanan yang pada menjaga tingkat daya beli dari masyarakat miskin. akhirnya akan memberikan tekanan berikutnya
Argumentasi tersebut mengimplikasikan tetap kepada inflasi agregat.
diperlukan adanya respons kebijakan moneter atas Dari kedua argumentasi yang saling bertolak be-
terjadinya tekanan pada inflasi makanan. Respons lakang tersebut, penulis berpendapat bahwa seba-
kebijakan moneter dari BI atas kejutan pada inflasi iknya BI tetap memberikan respons atas terjadinya
makanan tersebut hanya bertujuan untuk menjaga inflasi makanan seperti pendapat yang dikemuka-
stabilitas inflasi non-makanan sehingga tidak terja- kan oleh Walsh (2011). Setidaknya ada dua alasan
di tekanan kedua kepada inflasi agregat, yang pada utama mengapa penulis lebih mendukung pen-
akhirnya tetap memiliki dampak merugikan bagi dapat Walsh tersebut. Pertama, argumentasi Son
masyarakat miskin. Dengan demikian, maka dibu- (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan moneter
tuhkan kebijakan komplementer dari pengendalian sebaiknya tidak merespons inflasi makanan karena
inflasi makanan agar dapat memiliki peran yang adanya argumentasi bahwa kebijakan moneter ti-
penting terhadap kesejahteraan masyarakat mis- dak berdampak kepada inflasi makanan itu sendiri.
kin. Hasil empiris ini kemudian juga memberikan Meski demikian, penulis berpendapat bahwa argu-
implikasi bahwa determinan dari inflasi makanan mentasi tersebut belum lengkap. Karena temuan
tidak bersumber dari sisi permintaan. Karenanya, dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
penelitian ini kemudian juga melangkah lebih ja- transmisi dari inflasi makanan ke non-makanan,
uh dengan berusaha untuk mengidentifikasikan maka tidak adanya respons dari kebijakan mone-
determinan dari inflasi makanan. ter akan meningkatkan inflasi non-makanan. Pada akhirnya, inflasi agregat akan meningkat lebih ting-
Determinan Inflasi Makanan
gi dari peningkatan awal pada inflasi makanan. Argumentasi penulis sejalan dengan pendapat dari
Pentingnya pengendalian inflasi makanan sebenar- Rosengren (2011) yang menyatakan bahwa kebijak-
nya terkait dengan persistensi dari inflasi makan- an moneter AS sebaiknya tidak merespons inflasi
an itu sendiri. Sbordone (2007) serta Moreno dan makanan. Pendapat tersebut muncul karena ka-
Villar (2010) menyatakan bahwa suatu perekono- rakter dari inflasi di AS berbeda dengan apa yang
mian dengan karakteristik inflasi yang persisten terjadi di Indonesia, bahwa pada perekonomian
menyebabkan kebijakan disinflasi yang dapat me- AS tidak terdapat spillover dari inflasi makanan ke
nimbulkan biaya yang tinggi, relatif terhadap biaya inflasi inti maupun ekspektasi inflasi.