Chapter II FaktorFaktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku
1. Pengertian Perilaku
Skiner (1938 dalam Notoatmodjo, 2007) merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua. Pertama adalah perilaku tertutup (convert behaviour)
merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
Kedua adalah perilaku terbuka (overt behaviour) merupakan respon
seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang
lain. Oleh sebab itu disebut overt behaviour.


Universitas Sumatera Utara

2. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus
atau rangsangan dari luar organism (orang), namun dalam memberikan
respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor yang
membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan
perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan atas dua yaitu pertama adalah
determinan atau

faktor internal, merupakan karakteristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Kedua adalah determinan
atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan
faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Dari uraian di atas
dapat dirumuskan bahwa perilaku merupakan totalitas penghayatan dan
aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara berbagai faktor,
baik faktor internal maupun eksternal.

Benyamin Bloom (1908 dalam Notoatmodjo, 2007) membagi perilaku
manusia ke dalam tiga domain/ranah meliputi: a.Kognitif, b.Afektif,
c.Psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengukuran pendidikan kesehatan yakni:
Pertama adalah pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu,
dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif ini memiliki 6 tingkatan yaitu: a.Tahu (know)

Universitas Sumatera Utara

yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah, b.Memahami (comprehension) diartikan
sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar,

c.Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya),
d.Analisis (analysis) diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain, e.Sintesis
(synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru,
f.Evaluasi (evaluation) diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atu menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita
ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
Kedua adalah sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap
itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

Universitas Sumatera Utara


kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan seharihari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau
tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk berekasi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap
objek.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari empat
tingkatan yaitu: a.Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau
dan

memperhatikan

stimulus

yang


diberikan

(objek),

b.Merespon

(responding) diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau
salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut, c.Menghargai
(valuing) diartikan sebagai mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga,
d.Bertanggung jawab (responsible) diartikan sebagai bertanggung jawab atas
segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap
yang paling tinggi.
Notoatmodjo (2003, dalam Harahap 2004) menyatakan bahwa
penerimaan perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap

Universitas Sumatera Utara


yang positif. Artinya kekonsistenan hubungan sikap dan perilaku tersebut
sangat ditentukan oleh sesuai atau tidaknya pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap perilaku.
Faktor - faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar
(2009 dalam Kusumastuti, 2010) adalah pertama ialah pengalaman pribadi
dimana sesuatu yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan
menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Kedua ialah kebudayaan.
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang
mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin
kita akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan
pergaulan heteroseksual. Ketiga ialah orang lain yang dianggap penting.
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting,
sesorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak dan tingkah
dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau seseorang
yang berati khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap
kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi

individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman
sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri tau suami dan lain-lain. Keempat
ialah media massa. Media massa sebagai sarana komunikasi. Berbagai bentuk
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dll, mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya. Media massa membawa

Universitas Sumatera Utara

pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan
landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Kelima
ialah institusi/lembaga pendidikan dan lembaga agama. Lembaga pendidikan
serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam
pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik-dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Keenam ialah
faktor emosi dalam diri individu. Bentuk sikap tidak semuanya ditentukan
oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang,

suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang
sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat
pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
Ranah perilaku selanjutnya adalah praktik atau tindakan (practice).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan
(support) dari pihak lain, misalnya dari orang tua dan lain-lain. Praktik ini
memiliki beberapa tingkatan yaitu: a. persepsi (perception) diartikan sebagai
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil, ini merupkan praktik tingkat pertama. b. respon terpimpin

Universitas Sumatera Utara

(guided response) diartikan sebagai dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, ini merupakan indicator praktik
tingkat dua. c. mekanisme (mecanism) apabila sesorang telah dapat

melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. d. adopsi
(adoption) merupakan suatu parktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat
dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatankegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu
(recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan
mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

3. Teori Perilaku
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi
karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal (lingkungan). Ada beberapa teori yang mencoba untuk
mengungkap

determinan

perilaku

dari


analisis

faktor-faktor

yang

mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan, salah satunya adalah teori Lawrance Green (1980, dalam
Notoatmodjo, 2007) yang menyatakan bahwa perilaku itu ditentukan atau
terbentuk dari tiga faktor yaitu: a.Faktor-faktor predisposisi (predispocing
factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai-nilai, dan sebagainya. b.Faktor-faktor pendukung (enabling factors),
yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. c.Faktor-faktor pendorong

Universitas Sumatera Utara

(reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.

B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja yang dalam bahasa resminya disebut adolescence berasal dari
bahasa Latin (adolescere) yang berarti tumbuh mencapai kematangan dan
merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa mencapai
kematangan, dimana merupakan suatu tahapan psikologi perkembangan yang
rentan dengan berbagai macam perubahan, baik secara fisik, psikis atau
biologis (Prihatin, 2007 dalam Syah, 2011).
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan
manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa
kanak-kanak yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan
perubahan sosial. Sebagian besar

masyarakat dan budaya masa remaja

dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun.

2. Batasan Remaja
Remaja merupakan tahapan seseorang dimana seseorang berada di
antara fase anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku,
kognitif, biologis, dan emosi. Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu ke
waktu memang berubah sesuai perkembangan zaman. Ditinjau dari segi
pubertas, 100 tahun terakhir usia remaja putri mendapatkan haid pertama
semakin berkurang dari 17,5 tahun menjadi 12 tahun, demikian pula remaja
pria. Kebanyakan orang menggolongkan remaja dari usia 12-24 tahun dan

Universitas Sumatera Utara

beberapa literatur yang menyebutkan 15-24 tahun. Hal yang terpenting adalah
seseorang mengalami perubahan pesat dalam hidupnya di berbagai aspek
(Makhfudli, 2009).
Berbeda dengan pendapat Makhfudli, menurut

Monks dan Knoers

(2002), suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan
dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara umur 12- 21
tahun, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15 -18 tahun untuk
masa remaja pertengahan dan 18 -21 tahun untuk remaja akhir.
Menurut Santrock (2003), remaja didefinisikan sebagai periode transisi
perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang mencakup
aspek biologik, kognitif dan perubahan sosial yang berlangsung antara 10-19
tahun. Masa remaja terdiri dari:
Masa remaja awal (Early Adolescence). Masa yang ditandai dengan
berbagai perubahan tubuh yang cepat dan sering mengakibatkan kesulitan
dalam menyesuaikan diri, pada saat ini remaja mulai mencari identitas diri.
Batasan usia untuk remaja awal adalah 10-14 tahun.
Masa remaja pertengahan (Middle Adolescence). Ditandai dengan
bentuk tubuh yang sudah menyerupai orang dewasa. Oleh karena itu remaja
seringkali diharapkan dapat berperilaku seperti orang dewasa, meskipun
belum siap secara psikis. Pada masa ini sering terjadi konflik, karena remaja
sudah mulai ingin bebas mengikuti teman sebaya, yang erat kaitannya dengan
pencarian identitas, di lain pihak mereka masih tergantung dengan orang tua.
Batasan untuk remaja pertengahan dimulai dari usia 15-16 tahun.
Masa

remaja

akhir

(Late

Adolescence).

Ditandai

dengan

pertumbuhan biologis sudah melambat, tetapi masih berlangsung di tempat-

Universitas Sumatera Utara

tempat lain. Emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir mulai stabil serta
kemampuan untuk menyelesaikan masalah sudah meningkat. Batasan usia
untuk remaja akhir dimulai dari usia 17-19 tahun.

3. Karakteristik Remaja
Karakteristik perkembangan normal yang terjadi pada remaja dalam
menjalankan tugas perkembangannya dalam mencapai identitas diri antara
lain menilai diri secara objektif dan merencanakan untuk mengaktualisasikan
kemampuannya. Menurut Hurlock (1980) mengemukakan berbagai ciri dari
remaja, diantaranya yang pertama adalah masa remaja sebagai periode yang
penting. Meskipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting,
namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih
penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung
terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat
jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat
jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik
dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya
sama-sama penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai
dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa
remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental
dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.
Karakteristik yang kedua adalah masa remaja adalah periode peralihan
dimana terjadi peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan
berikutnya secara berkesinambungan. Pada masa ini remaja bukan lagi
seorang anak dan juga bukan seorang dewasa dan merupakan masa yang
sangat strategis, karena memberi waktu kepada remaja untuk membentuk

Universitas Sumatera Utara

gaya hidup dan menentukan pola perilaku, nilai-nilai dan sifat-sifat yang
sesuai dengan yang diinginkannya.
Karakteristik ketiga adalah masa remaja sebagai periode perubahan.
Sejak awal remaja, perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku
dan sikap juga berkembang. Ada empat perubahan besar yang terjadi pada
remaja, yaitu perubahan emosi, perubahan peran dan minat, perubahan pola
perilaku dan perubahan sikap menjadi perasaan yang bertentangan.
Karakteristik keempat adalah masa remaja merupakan usia bermasalah.
Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini
terjadi karena tidak terbiasanya remaja menyelesaikan masalahnya sendiri
tanpa meminta bantuan orang lain sehingga kadang-kadang terjadi
penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Karakteristik keenam adalah masa remaja sebagai masa mencari
identitas. Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa
dirinya dan apa peran dirinya di masyarakat. Remaja tidak puas dirinya sama
dengan kebanyakan orang, ia ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu,
sementara pada saat yang sama ia ingin mempertahankan dirinya terhadap
kelompok sebaya.
Karakteristik ketujuh adalah masa remaja sebagai usia yang
menimbulkan ketakutan. Anggapan label yang diberikan budaya

bahwa

remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung
berperilaku

merusak

sehingga

menyebabkan

orang

dewasa

harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Dengan adanya stigma ini
akan membuat masa peralihan remaja ke dewasa menjadi sulit, karena peran
orang tua yang memiliki pandangan seperti ini akan mencurigai dan

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dan anak
terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk
mengatasi berbagai masalahnya.
Karakteristik kedelapan adalah masa remaja sebagai masa yang tidak
realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamatanya
sendiri, baik dalam melihat dirinya maupun melihat orang lain, mereka belum
melihat apa adanya, tetapi menginginkan sebagaimana yang ia harapkan.
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau
kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
Karakteristik kesembilan adalah masa remaja sebagai ambang masa
dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para
remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan label yang diberikan belasan
tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.
Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup.
Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang
dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras,
menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka
menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka
inginkan.

C. Perilaku Seksual Remaja
1. Pengertian Seksualitas
Istilah seks dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda. Istilah
seks digunakan untuk mengacu pada bagian fisik dari berhubungan, yaitu
aktivitas seksual genital. Seks juga digunakan untuk memberi label jender,
baik seseorang itu pria atau wanita (Zawid, 1994 dalam Ropei, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan seksualitas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan
individu dari jenis kelamin yang berbeda dan mencakup pikiran, pengalaman,
pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi. Seksualitas berhubungan dengan
bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka
mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan jenis melalui tindakan
yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama
seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh,
etiket, berpakaian (Denney & Quadagno, 1992; Zawid, 1994, dalam Ropei,
2010).
Adapun pendapat lain yang dikemukakan Stuart (2006, dalam Ropei,
2010) bahwa seksualitas adalah suatu keinginan untuk menjalin hubungan,
kehangatan atau cinta dan perasaan diri secara menyeluruh pada individu,
meliputi memandang dan bicara, berpegangan tangan, berciuman, atau
memuaskan diri sendiri, dan sama-sama menimbulkan orgasme.
Bila dilihat dari segi dimensi biologis, seksualitas berkaitan dengan
organ reproduksi, termasuk bagaimana menjaga kesehatan reproduksi,
menggunakan secara optimal sebagai alat untuk bereproduksi dan bisa
mengekspresikan dorongan seksual. Dari dimensi psikologis, seksualitas
berhubungan erat dengan identitas peran jenis, peran terhadap seksualitas
sendiri dan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual. Dimensi
sosial, berkaitan dengan bagaimana seksualitas itu muncul dalam relasi antar
manusia bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan
mengenai seksualitas dan perilaku seks. Dimensi kultural menunjukkan
bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat
(Sahaja, 1999 dalam Evlyn, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Menurut

Nurhidayah

dan

Setiawan (2008)

seks/seksual tidak

sepenuhnya berarti hubungan kelamin (masalah fungsi kelamin secara
fisik/reproduksi) namun juga

berkaitan dengan fungsi psikososial

(berperilaku) yang tidak saja menimbulkan kepuasan bagi diri sendiri tetapi
juga pada orang lain.
Menurut Hurlock (1999) dorongan seksual dipengaruhi oleh : a. Faktor
internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang berupa
bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan
seksual pada individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut untuk segera
dipuaskan, b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu
yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku
seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman
kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman
masturbasi, pengaruh orang dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan dan
tontonan porno.

2. Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual adalah manifestasi dari adanya dorongan seksual yang
dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahaptahap perilaku seksual dari tahap yang paling ringan hingga yang paling berat
(Purnomowardani dan Koentjoro, 2000).
Sedangkan menurut Rahayu (2005 dalam Retnaningtias, 2009) perilaku
seksual adalah beralihnya perhatian remaja ke lawan jenisnya kemudian
diikuti saling tertarik, saling mendekati dan berkeinginan untuk mengadakan
kontak fisik yang diwarnai nafsu seksual. Selain itu pula pengertian perilaku
seksual ini pula dikemukakan Sarwono (2005, dalam Retnaningtias, 2009)

Universitas Sumatera Utara

bahwa perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya ataupun dengan sesama jenis.
Menurut Kinsey (dalam Harahap, 2004) mengemukakan bahwa
perilaku seksual mencakup empat tahapan yaitu: a. Bersentuhan (touching),
mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan, b. Berciuman (kissing),
mulai dari ciuman pendek hingga ciuman dengan mempermainkan lidah
(deep kissing), c. Bercumbuan (petting), menyentuh bagian yang sensitif dari
tubuh pasangan dan mengarah pada pembangkitan gairah seksual, dan d.
Berhubungan kelamin.
Perilaku seksual ini sangat berkaitan erat dengan persoalan yang banyak
dihadapi oleh remaja terutama yang berkaitan dengan persoalan kesehatan
reproduksi. Menurut Makhfudli (2009) angka kejadian remaja melakukan
hubungan seksual sebelum menikah menunjukan gejala yang cukup
mengkhawatirkan.

3. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Soetjiningsih (2004, dalam Kurniawan, 2008) adanya perkembangan
fisik termasuk organ seksual serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau
hormon seks baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan akan
menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan.
Perkembangan seksual tersebut sesuai dengan beberapa fase mulai dari
praremaja, remaja awal, remaja menengah sampai pada remaja akhir. Fase
pertama adalah pra remaja. Masa remaja adalah suatu tahap untuk memasuki
tahap remaja yang sesungguhnya. Pada masa pra remaja ada beberapa
indikator yang telah dapat ditentukan untuk menentukan identitas gender lakilaki atau perempuan. Beberapa indikator biologis yang berdasarkan jenis

Universitas Sumatera Utara

kromosom, bentuk gonad dan kadar hormon. Ciri-ciri perkembangan seksual
pada masa ini antara lain ialah perkembangan fisik yang masih tidak banyak
beda dengan sebelumnya. Pada masa remaja ini mereka sudah mulai senang
mencari informasi tentang seks dan mitos seks baik dari teman sekolah,
keluarga atau dari sumber lainnya. Penampilan fisik dan mental secara
seksual tidak banyak memberikan kesan yang berarti.
Fase yang kedua adalah remaja awal, merupakan tahap awal atau
permulaan remaja sudah mulai tampak ada perubahan fisik yaitu fisik sudah
mulai matang dan berkembang. Pada masa ini remaja sudah mulai mencoba
melakukan karena telah seringkali terangsang secara seksual akibat
pematangan yang alami. Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal
yaitu meningkatnya kadar testosteron pada laki-laki dan estrogen pada remaja
perempuan. Sebagian dari mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan,
tetapi ternyata sebagian dari mereka justru selama atau sesudah merasakan
kenikmatan tersebut kemudian merasa kecewa dan berdosa. Perasaan berdosa
ini diakibatkan pemahaman agama yang mereka pahami dari tokoh agamanya
yaitu mereka akan berdosa bila melakukan onani. Hampir sebagai besar dari
laki-laki dari periode ini tidak bisa menahan untuk tidak melakukan onani
sebab pada masa ini mereka sering kali mengalami fantasi. Sebagian dari
mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan, tetapi ternyata sebagian
dari mereka justru selama atau sesudah merasakan kenikmatan tersebut
kemudian merasa kecewa dan merasa berdosa.
Fase ketiga adalah remaja menengah. Pada masa remaja menengah,
para remaja sudah mengalami pematangan fisik secara penuh yaitu anak lakilaki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah

Universitas Sumatera Utara

mengalami haid. Pada masa ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak
sehingga mereka mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan
untuk melakukan sentuhan fisik. Namun demikian, perilaku seksual mereka
masih secara alamiah, sebagian besar dari mereka mempunyai sikap yang
tidak mau bertanggung jawab terhadap perilaku seksual yang mereka
lakukan.
Fase keempat adalah remaja akhir. Pada masa remaja akhir, remaja
sudah mengalami perkembangan fisik secara penuh sudah seperti orang
dewasa. Mereka telah mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan
mereka sudah mulai mengembangkan aspek-aspek perkembangan pada masa
remaja.
Dari tahapan perkembangan seksual di atas maka terdapat tugas
perkembangan remaja yang berhubungan dengan seks, tugas perkembangan
pertama adalah pembentukan hubungan baru dan yang lebih matang dengan
lawan jenis. Tugas tersebut tidaklah mudah baik bagi remaja laki-laki
maupun perempuan, setelah melewati tahun-tahun terakhir masa kanak-kanak
yang bahkan keduanya memiliki kelompok dan minat masing-masing. Ketika
mereka secara seksual telah matang, laki-laki maupun perempuan mulai
mengembangkan minat terhadap lawan jenis, juga mengembangkan minat
pada berbagai kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang
baru ini mulai berkembang bila kematangan seksual telah tercapai, bersifat
romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperolah
dukungan dari lawan jenis.
Tugas perkembangan yang kedua adalah belajar memerankan peran
seks yang diakui. Tugas ini lebih sulit bagi banyak remaja, terutama bagi

Universitas Sumatera Utara

perempuan, dibandingkan penguasaan tugas perkembangan dalam masalah
seks yang pertama yaitu belajar bergaul dengan lawan jenis. Anak perempuan
seringkali memasuki masa remaja dengan emmbawa konsep peran wanita
yang kabur sekalipun konsep tentang pria lebih jelas dan terumus dengan
baik.

4. Penyebab Perilaku Seksual Remaja
Penyebab terjadinya perilaku seksual remaja menurut Makhfudli (2009)
salah satunya adalah remaja yang tidak memperoleh informasi yang cukup
dan benar tentang kesehatan reproduksi. Selain itu masih banyak remaja yang
belum menyentuh pelayanan kesehatan reproduksi (informasi, konseling,
pelayanan medis) karena terhambat oleh beberapa faktor seperti belum
tersedianya pelayanan seperti kondisi geografis, ekonomis, dan psikologis;
petugas yang tidak akrab dengan remaja dan kurangnya informasi di tempat
pelayanan.
Menurut Sarwono (2008 dalam Hastutik, 2011), terdapat 5 faktor
penyebab seks yang dilakukan oleh remaja yaitu: a. Meningkatnya libido
seksualitas dimana remaja mengalami perubahan-perubahan fisik dan peran
sosial yang terjadi pada dirinya. b.Penundaan usia perkawinan dimana
penundaan usia perkawinan ini terjadi karena banyak hal, salah satunya
adalah karena kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan taraf
pendidikan. c.Tabu-larangan dimana seks dianggap bersumber pada
dorongan-dorongan naluri yang bertentangan dengan dorongan “moral”
sehingga menyebabkan remaja pada umumnya tidak mau mengakui aktivitas
seksualnya dan sangat sulit diajak berdiskusi tentang seks, d.Kurangnya
informasi tentang seks. Pada umumnya remaja tanpa pengetahuan yang

Universitas Sumatera Utara

memadai tentang seks akan salah mengartikan tentang seks. Hal ini
disebabkan karena kurangnya informasi tentang seks dari orang tua sehingga
mereka berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat. e. Pergaulan yang
makin bebas dimana terjadi kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada
remaja, khususnya remaja di kota-kota besar yang sangat mengkhawatirkan
apalagi jika kurangnya pemantauan dari orang tua.
Berdasarkan

penelitian

sebelumnya

tentang

faktor-faktor

yang

mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah implikasinya
terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang
menunjukkan bahwa responden mahasiswa yang mempunyai tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang “sangat rendah” cenderung
untuk tidak melakukan hubungan seksual pra-nikah.
Seperti yang dikatakan oleh Bandura (1990) bahwa perilaku seksual
tersebut tidak merupakan hasil langsung dari pengetahuan atau keterampilan,
melainkan suatu proses penilaian yang dilakukan seseorang dengan
menyatukan ilmu pengetahuan, harapan, status emosi, pengaruh sosial dan
pengalaman yang didapat sebelumnya untuk menghasilkan suatu penilaian
atas kemampuan mereka dalam menguasai situasi yang sulit. Sehingga,
temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dengan hanya meningkatkan
pengetahuan tentang seksual dan kesehatan reproduksi remaja, PMS & HIV/
AIDS saja, walaupun penting namun belum tentu cukup untuk dapat
mencapai perubahan perilaku yang dikehendaki (Suryoputro, 2006).
Penelitian Nursal (2007) tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku seksual murid SMU Negeri di Kota Padang menunjukkan
bahwa remaja dengan pengetahuan relatif rendah mempunyai peluang 11,90

Universitas Sumatera Utara

kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan pengetahuan relatif
tinggi. Pengetahuan remaja tentang kesehatan seksual masih rendah,
umumnya yang menjawab benar di bawah 50%, hanya mengenai PMS, HIVAIDS di atas 50%. Menurut Surono (1997 dalam Nursal 2007) pengetahuan
yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama
sekali, tetapi ketidaktahuan juga membahayakan. Pengetahuan seksual yang
hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencobacoba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi.

5. Resiko Perilaku Seks Remaja
Menurut Notoatmojdo (2007 dalam Hastutik, 2011) begitu banyak
remaja yang tidak tahu dari akibat perilaku seksual mereka terhadap
kesehatan reproduksi baik dalam keadaan waktu yang cepat ataupun dalam
waktu yang lebih panjang. Beberapa resiko perilaku seksual remaja terhadap
kesehatan reproduksi, yaitu : a.Hamil yang tidak dikehendaki (unwanted
pregnancy). Merupakan salah satu akibat dari perilaku seksual remaja.
Anggapan-anggapan yang keliru seperti melakukan hubungan seks pertama
kali, atau hubungan seks jarang dilakukan, atau perempuan masih muda
usianya, atau bila hubungan seks dilakukan sebelum dan sesudah menstruasi,
atau bila mengunakan tehnik coitus interuptus (senggama terputus),
kehamilan tidak akan terjadi merupakan pencetus semakin banyaknya kasus
unwanted pregnancy (hamil yang tidak dikehendaki), b.Penyakit Menular
Seksual (PMS)-HIV/AIDS. Dampak lain dari perilaku seksual remaja
terhadap kesehatan reproduksi adalah terhadap PMS termasuk HIV/AIDS.
Sering kali remaja melakukan hubungan seks yang tidak aman. Adanya
kebiasaan berganti-ganti pasangan dan melakukan anal seks menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

remaja semakin rentan untuk tertular HIV/PMS seperti sifilis, gonore, herpes,
klamidia, dan AIDS, c.Psikologis dimana dampak lain dari perilaku seksual
remaja yang sangat berhubungan dengan kesehatan reproduksi adalah
konsensi psikologis. Setelah kehamilan terjadi, pihak perempuan atau
tepatnya korban utama dalam masalah ini. Perasaan bingung, cemas, malu,
dan bersalah yang dialami remaja setelah mengetahui kehamilannya
bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa depan, dan
kadang disertai rasa benci marah baik kepada diri sendiri maupun kepada
pasangan, dan kepada nasib membuat kondisi sehat secara fisik, sosial, dan
mental yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi
remaja tidak terpenuhi.

6. Upaya-Upaya Penanggulangan Penyimpangan Perilaku Seksual Remaja
Terdapat beberapa cara untuk menghindari pergaulan seks remaja yaitu:
a.Mencari kegiatan-kegiatan atau alternatif baru sehingga dapat menemukan
kepuasan yang mendalam dari interaksi yang terjalin (bukan kepuasan
seksual), b.Membuat komitmen bersama dengan pacar dan berusaha keras
untuk mematuhi komitmen itu. Komitmen dalam hal ini adalah kesepakatan
dalam batasan-batasan seksual yang dipilih dalam hubungan pacaran,
c.Menghindari situasi atau tempat yang kondusif menimbulkan fantasi atau
rangsangan seksual seperti berduaan dirumah yang tidak berpenghuni, di
pantai malam hari, tempat yang sepi dan gelap, d.Menghindari frekuensi
pertemuan yang terlalu sering karena jika sering bertemu tanpa adanya
aktifitas pasti dan tetap, maka keinginan untuk mencoba aktifitas seksual
biasanya semakin menguat, e.Melibatkan banyak teman atau saudara untuk
berinteraksi sehingga kesempatan untuk selalu berduaan makin berkurang,

Universitas Sumatera Utara

f.Mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah seksualitas dari
sumber yang dapat dipercaya bukan dari blue film, buku stensilan dan lainlain, g.Mempertimbangakan resiko dari tiap-tiap perilaku seksual yang
dipilih. h.Mendekatkan diri pada Tuhan dan berusaha keras menghayati
norma atau nilai yang berlaku (Nitya, 2009 dalam Hastutik, 2011).
Selain hal-hal di atas ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk
mengatasi penyimpangan-penyimpangan seksual yang terjadi pada remaja
salah satunya adalah dengan melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi
remaja di setiap jenjang sekolah lanjutan di mulai pada tingkat pertama
(SMP) sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA) (Prihatin, 2007 dalam
Syah, 2011) dan jika perlu dilakukan pula pada jenjang pendidikan tinggi
atau diploma, baik sekolah negeri atau swasta melalui metode peer education
yang bersifat youth friendly (ramah terhadap remaja) artinya tidak hanya
memberi materi melalui proses belajar

mengajar di kelas, tetapi

dikembangkan dengan metode lain seperti pemasangan mading, poster
tentang kesehatan reproduksi, pembentukan kegiatan ekstrakurikuler dengan
memasukan materi-materi kesehatan reproduksi didalamnya (Dewi, 2009
dalam Syah, 2011) seperti acara kesenian sekolah atau drama teater yang
memuat materi dasar kesehatan reproduksi yang proporsional seperti fungsi
organ sistem reproduksi manusia yang mencakup pemahaman remaja tentang
perubahan fisik anak laki-laki dan perempuan saat menjadi remaja, mengenal
masa subur, terjadinya proses kehamilan, pencegahan penyakit menular
seksual, perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab, akibat dari
kehamilan tidak dikehendaki, Prihatin (2007 dalam Syah 2011).

Universitas Sumatera Utara

Petugas kesehatan sebaiknya dapat melakukan kunjungan ke sekolahsekolah untuk memberikan informasi dasar kesehatan reproduksi dan
seksualitas yang proporsional sesuai dengan pemahan dan tingkat pendidikan
remaja serta tidak menganggap tabu untuk membicarakan permasalahan
kesehatan reproduksi dan seksualitas serta penerapan program reproduksi
secara benar dan berkelanjutan ( Prihatin 2007, dalam Syah 2011).
Taufik dan Anganthi (2007, dalam Syah 2011) menambahkan beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk menanggapi sikap dan perilaku reproduksi
remaja antara lain perlunya informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja
buat orang tua agar orang tua bisa mengikuti perkembangan seksualitas
anaknya. Pentingnya meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai sumber
informasi tentang kesehatan reproduksi bagi remaja dengan cara membekali
dengan pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi. Selain itu
peningkatan peranan orang tua dan guru penting dilakukan dengan membuat
pertemuan rutin

(semacam parenting class) bagi remaja atau dengan

menjalin kerja sama dengan stasiun radio atau televisi untuk membuat paket
acara yang berisi informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Hal ini
mengingat radio dan televisi adalah media yang paling diminati oleh remaja
sementara informasi kesehatan remaja di radio dan televisi sangat minim.
Acara-acara yang patut dipertimbangkan adalah acara-acara seperti talk show
dan curhat remaja yang bersifat interaktif. Hal lain yang dapat dilakukan
adalah lebih mengoptimalkan peran tempat-tempat ibadah seperti masjid dan
musholla serta tempat-tempat ibadah agama lain sebagai pusat kegiatan
siswa, agar siswa lebih dekat dengan kegiatan ibadah dan aktivitas-aktivitas

Universitas Sumatera Utara

lainnya yang lebih terkontrol misalnya dengan membentuk kelompok
pengajian, dll.

D. Pengaruh Orang Tua dalam Perilaku Seksual Remaja
Manurut Hurlock (1980) karena meningkatnya minat seks pada remaja,
maka remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks.
Hanya sedikit remaja yang berhrap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat
dipelajari dari orang tuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber
informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya karena hygiene seks di
sekolah, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, atau
mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama.
Pada akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah
mempunyai cukup informasi tentang seks guna memuaskan keingintahuan
mereka. Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja
dalam masalah seksual, dapat memperkuat munculnya penyimpangan perilaku
seksual. Komunikasi orang tua dengan anak memegang peran yang sangat
penting dalam membina hubungan keduanya. Orang tua yang kurang bisa
berkomunikasi dengan anaknya akan menimbulkan konflik hubungan sehingga
dapat berdampak pada perilaku seksual remaja.
Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa sebagian orang tua dan
lingkungan masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks karena
adanya anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal
yang memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat sehingga remaja yang
haus akan informasi berusaha sendiri mencari informasi. Informasi yang
didapatkan remaja menjadi setengah-setengah yang justru membahayakan remaja

Universitas Sumatera Utara

karena akan mendorong remaja untuk mencoba-coba disamping menimbulkan
salah persepsi (Syah, 2011).
Menurut Prihatin (2007, dalam Syah, 2011) hubungan komunikasi yang
lancar dan terbuka sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja
harus tetap dijaga. Orang tua harus dapat menyediakan waktu yang cukup untuk
berinteraksi dengan anak remaja di rumah.
Sehubungan dengan itu menurut BKKBN (2002, dalam Kurniawan, 2008)
bahwa orang tua

perlu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan

pengetahuan kesehatan reproduksi baik pengetahuan untuk diri sendiri maupun
pengetahuan untuk anak remajanya. Orang tua perlu memahami kondisi anak
remajanya yang sedang mengalami perubahan-perubahan pada dirinya, yang
menyangkut proses reproduksi. Orang tua harus mempunyai kemampuan
memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak remajanya, agar
memilki informasi proses reproduksi yang benar.

E. Pengaruh Guru dalam Perilaku Seksual Remaja
Menurut Syaodih (2004 dalam Vitaloka, 2012) menyatakan bahwa sekolah
merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi konsep diri
dimana sekolah sebagai tempat kedua setelah lingkungan keluarga yang dapat
memberi pengalaman baru sebab dengan bersekolah anak dapat mengembangkan
lingkungan fisik dan sosialnya. Apabila sekolah mempunyai fungsi sebagai
wadah untuk mewujudkan seluruh kemampuan siswa dan merupakan lingkungan
yang dapat memberi pengalaman baru kepada siswa, maka sekolah mempunyai
peranan penting dalam mengembangkan konsep diri siswa. Dengan demikian,
sekolah dituntut untuk dapat menciptakan lingkungan belajar yang menantang
dan memenuhi kebutuhan siswa, serta memberi pengalaman baru yang dapat

Universitas Sumatera Utara

mengubah sikap atau pandangan siswa menjadi lebih positif, yang berarti
tumbuhnya perasaan dihargai, dimiliki dan dianggap mempunyai kemampuan.
Dalam proses pendidikan di sekolah terjadi interaksi pendidikan dan pengajaran
antara pendidik (kepala sekolah, guru, konselor dan tenaga pendidik lain) dengan
peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan berfungsi
membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan dan karakteristik peserta
didik. Peranan pendidik lebih besar karena kedudukannya sebagai orang yang
lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih banyak menguasai nilai-nilai,
pengetahuan dan keterampilan.
Peranan guru artinya keseluruhan perilaku yang harus dilakukan guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang luas baik
di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat. Di sekolah ia berperan sebagai
perancang pengajaran, pengelola pengajaran,penilai hasil pembelajaran murid,
pengarah pembelajaran dan sebagai pembimbing murid. Di dalam keluarga guru
berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), pendorong masyarakat
(social motivator), penentu masyarakat (social agent). Guru yang baik dan efektif
ialah guru yang dapat memainkan semua perananan-peranan itu secara baik.
Dilihat dari sudut pandang psikologis, guru adalah sebagai pakar psikologis
pendidikan, artinya seseorang yang memahami psikologis pendidikan dan
mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik,
seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru
adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar
manusia khususnya dengan siswa-siswa sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan, pembentuk kelompok, yaitu mampu membentuk, menciptakan
kelompok dan aktivitas, aktivitas sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan,

Universitas Sumatera Utara

catalytic agent atau inovator, yaitu orang yang mampu menciptakan suatu
pembaharuan bagi pembuat suatu hal yang lebih baik, petugas kesehatan mental
(mental hygiene worker) artinya, guru bertanggung jawab bagi terciptanya
kesehatan mental para siswa.
Penelitian yang dilakukan Abidah Muflihati tentang pelaksanaan program
pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) berbasis sekolah melalui studi
kasus program penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi remaja di SMA
Muhammadiyah 2 Yogyakarta tahun 2005

menunjukan bahwa proses

pelaksanaan program pendidikan KRR mengisyaratkan adanya berbagai tahapan
mulai dari program kerja sama dengan BKKBN sampai dengan memasukkan
program tersebut dalam layanan Bimbingan Konseling (BK) di kelas, dan dalam
pelajaran Biologi, Penjaskes, serta Agama. Dalam proses pengajaran, materi
KRR disampaikan oleh guru BK, Biologi, Penjaskes, dan Agama pada waktu dan
kelas yang berbeda-beda. Guru BK menggunakan kelas terpisah pada saat
menjelaskan tentang alat reproduksi, sedangkan tiga guru lainnya menggunakan
kelas campur. Materi yang disampaikan para guru mencakup aspek pengetahuan
fisik, aspek psikologis, dan aspek sosial/nilai. Program penyuluhan dan
Konseling KRR yang dilakukan oleh guru BK bersama dengan guru Biologi,
Penjaskes, dan Agama merupakan upaya pelembagaan program pendidikan
KRR. Penyampaian materi KRR oleh keempat guru dalam pelajaran masingmasing membuat siswa dapat menjaga perilaku seksualnya agar tidak melakukan
seks pranikah dalam pacaran, meskipun sebenarnya para guru telah menekankan
agar tidak berpacaran (Muflihati, 2005).

Universitas Sumatera Utara

F. Pengaruh Teman Sebaya dalam Perilaku Seksual Remaja
Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia
atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2003). Kelompok sebaya menjadi
begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Kelompok
sebaya juga merupakan tempat untuk belajar, karena melalui kelompok remaja
dapat mengambil berbagai peran, di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi
sangat bergantung kepada teman dan kedekatannya dengan teman sebaya begitu
kuat.
Menurut Zimmer-Gembeck (2002, dalam Kurniawan, 2008) teman sebaya
amat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial dan perkembangan diri remaja.
Pendapat dan pandangan teman biasanya lebih diterima daripada pendapat orang
tua. Konflik atau perbedaan yang terjadi dalam keluarga), remaja cenderung lebih
terbuka dalam menyelesaikan masalah dengan kelompoknya. Dengan demikian
peranan kelompok atau peer sangat besar dalam mempengaruhi informasi
mengenai segala problematika seksual di kalangan remaja. Sehingga dengan hal
tersebut

menjadikan remaja dan teman sebayanya sangat

menghargai

pertemanan, jalinan komunikasi dengan teman sebaya justru lebih baik jika
dibanding dengan orang tua. hal ini karena remaja menganggap teman cenderung
dapat menyimpan rahasia, lebih terbuka dalam membicarakan teman lawan jenis
serta dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan orang tua/keluarga.
Menurut Prihatin (2007 dalam Syah, 2011) teman sebaya dalam pergaulan
kadang kala menjadi salah satu sumber informasi yang cukup signifikan dalam
membentuk pengetahuan seksual di kalangan remaja, bahkan informasi teman
sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi yang mereka peroleh
hanya melalui tayangan media massa seperti: film, VCD, televisi maupun

Universitas Sumatera Utara

pengalaman diri sendiri. Disamping itu menurut Collins dan Loursen (dalam
Prihatin, 2007 dalam Syah, 2011) remaja cenderung lebih terbuka dalam
menyelesaikan masalah dengan kelompoknya, hal ini karena adanya konflik atau
perbedaan nilai yang dianut remaja dengan keluarga sehingga peran teman
sebaya sangatlah berarti bagi kalangan remaja.
Sejalan dengan pendapat di atas menunjukan bahwa pola komunikasi
dalam lingkungan teman sebaya di sekolah maupun di luar sekolah seperti
berbagi pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan
reproduksi remaja dapat menentukan atau mendorong pembentukan perilaku
remaja dalam kehidupannya sehari-hari dalam hal kesehatan reproduksi
(Harahap, 2004).

G. Pengaruh Akses Informasi terhadap Perilaku Seksual Remaja
Croteau & Hones (2003

dalam Suryanto & Kuwatono, 2010)

mengibaratkan media sebagai udara yang kita hirup setiap saat. Media, menurut
Arthur A. Berger (2003 dalam Suryanto & Kuwantono, 2010) terdiri dari tiga
jenis: Media elektronik (telepon, televisi, radio, rekaman), media cetak (buku,
majalah, surat kabar, billboard) dan media fotografis (fotografi, film, video).
Remaja perlu mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan
reproduksi sehingga remaja mengetahui hal-hal yang seharusnya dilakukan dan
hal-hal yang seharusnya dihindari. Remaja mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi dan informasi tersebut harus
berasal dari sumber yang terpercaya.
Menurut Indarsita (2006) media cetak dan media elektronik berperan
dalam meningkatkan perilaku kesehatan reproduksi beresiko pada remaja. Saat
ini perilaku kesehatan reproduksi yang beresiko pada remaja banyak disebabkan

Universitas Sumatera Utara

karena informasi tentang kesehatan reproduksi terutama seks lebih mudah
diperoleh karena aksesnya banyak antara lain melalui media cetak (buku,
majalah, stensilan) dan elektronik (radio, televisi, dan internet). Dengan demikian
remaja akan semakin besar peluangnya untuk berperilaku kesehatan reproduksi
yang beresiko karena terpapar oleh hal-hal tersebut. Selain itu mudahnya remaja
mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari berbagai media tanpa adanya
batasan atau sensor, apalai saat mendapatkan informasi tersebut remaja tidak
didampingi oleh keluarga sehingga remaja tersebut menerima sesuai dengan alur
pikirnya sendiri, mengakibatkan tidak jarang terjadinya penyimpangan seksual
akibat media massa.

Universitas Sumatera Utara