Kisah Manusia Terpilih dalam al Quran

KISAH ORANG TERPILIH DALAM AL QURAN
PENDEKATAN FILOSOFIS

Makalah
Disusun sebagai tugas akhir mata kuliah
Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, MA

oleh:
Ahmat Roes (1400018064)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

A. PENDAHULUAN
Al Quran banyak menyebutkan cerita-cerita atau kisah-kisah tentang
keadaan umat-umat masa silam, yang sengaja dikemukakan untuk memberikan
pelajaran dan menampilkan peran pendidikan bagi pembacanya atau orang yang

mendengarnya. Ciri khas cerita-cerita al Quran itu adalah ia selalu bersifat benar
adanya, kejadian yang sesungguhnya, begitu pula isi yang terkandung di
dalamnya serta pemusatan pada tujuan yang diinginkan dari cerita tersebut.
Cerita-cerita al Quran itu mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk
individu-individu atau masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik
manusia untuk semata-mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha
dan qadar-Nya. Ia juga menyediakan bagi orang-orang yang membaca dan
mendengarnya dengan sejumlah pengetahuan dan hakikat-hakikat yang
mengandung pelajaran dalam pelajaran hidup mereka dan dalam pergaulan
dengan orang lain. Dengan demikian setiap pribadi akan menjalankan perannya
secara baik dalam masyarakat yang baik.
Cerita Nabi-nabi dan umat-umat yang tercantum dalam al Quranul Karim
tidaklah dimaksudkan semata-mata untuk merangkaikan kejadian-kejadian secara
kronologis, melainkan yang dimaksudkan adalah untuk menjadi pelajaran dan
nasihat dengan menjelaskan nikmat-nikmat dan sebab-sebab yang berkaitan
dengannya, supaya orang mencarinya dan menjelaskan kutukan dan sebabsebabnya dan supaya manusia menjauhkan diri dari padanya. Apabila tujuan
penyajian cerita itu demikian, maka mudah dan pantaslah susunan kejadiankejadian dalam al Quran lebih cocok untuk mendidik dan lebih berkesan.
Al Quran merekam peristiwa-peristiwa terpenting yang pernah dialami oleh
umat manusia. Rekaman peristiwa tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan
manusia terhadap perilakunya dan dijadikan pelajaran dalam menjalani hidup.

Selain itu juga ayat-ayat tentang kisah dalam al Quran berfungsi untuk
memberikan pedoman atau tuntutan hidup bagi manusia. Hal ini sesuai dengan
fungsi al Quran itu sendiri, yaitu dalam al Quran surat al Jasiyah ayat 20 Allah
Swt menjelaskan:
٠٢ :‫الجاثية‬

1

Artinya : “Al Quran adalah pedoman bagi umat manusia, petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang meyakini (QS Al Jasiyah : 20)
Di antara ayat-ayat al Quran yang berisi kisah yaitu surat al Baqarah ayat
30-39, ayat ini menceritakan manusia yang telah diberi kedudukan yang mulia
dan diangkat derajatnya oleh Allah Swt serta diberi kekuasaan. Pada surat
Lukman ayat 12-19, ayat ini menceritakan kisah Lukman ketika memberikan
pelajaran kepada anaknya. Kemudian, surat Shad ayat 30-35, ayat ini
menceritakan Nabi Sulaiman dan Daud sebagai hamba terbaik serta memberikan
karunia kepada nabi Sulaiman berupa sebuah kerajaan yang megah.
Seluruh kisah yang disebutkan oleh ayat-ayat al Quran, boleh jadi memiliki
nilai filosofi atau makna filosofi yang memberikan pencerahan bagi siapa saja
yang membacanya. Namun, dalam realita, sering kali orang melupakan makna

filosofi dari sebuah kisah yang luar biasa. Boleh jadi karena terbuai oleh
keajaiban kisahnya atau sulit ditemukan makna filosofinya. Berdasarkan hal
tersebut, memaknai kisah-kisah yang disebutkan oleh al Quran dengan kaca mata
filosofi, memiliki urgensi, signifikansi, dan relevansi yang mengarahkan manusia
menuju pemahaman yang mendalam, dan penghayatan nilai agung yang
dikandung di dalam kisah tersebut. Maka, makalah ini secara teoritis berusaha
memahami kisah-kisah orang terpilih yang disebutkan dalam al Quran, dengan
menggunakan pendekatan filosofis, dalam rangka menemukan makna intrinsik,
hal inti, dan substantif dari kisah-kisah tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, hal-hal yang akan menjadi fokus
pembahasan perlu dirumuskan, agar tercipta sebuah karya ilmiah yang sistematis
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun fokus, dituangkan
dalam rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana definisi dan karakteristik pendekatan filosofis?
2. Bagaimana al Quran menyebutkan kisah-kisah orang terpilih?
3. Bagaimana kisah-kisah al Quran dipandang dengan pendekatan
filosofis?

2


C. PEMBAHASAN
1. Definisi dan Karakteristik Pendekatan Filosofis
Pendekatan (approach) adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu (Abuddin Nata, 2004: 28). Pendekatan juga
berarti suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seseorang untuk menemukan
kebenaran ilmiah (Adeng Mukhtar Ghazali, 2000: 27). Pendekatan
mengandung pengertian suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian
sebuah studi atau penelitian (Jamali Sahrodi, 2008: 64). Pendekatan dalam
aplikasinya

lebih

mendekati

disiplin

ilmu

karena


tujuan utama

pendekatan ini untuk mengetahui sebuah kajian dan langkah-langkah
metodologis yang dipakai dalam pengkajian atau penelitian itu sendiri (Jamali
Sahrodi, 2008: 64-65).
Menurut Harun Nasution, sebagaimana dikutip Ramayulis, Perkataan
filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu: philein,
dan sophos. Philein berarti cinta dan sophos berarti hikmah (wisdom).
Perkataan philosophio merupakan perkataan bahasa Yunani yang dipindahkan
oleh orang-orang arab dan disesuaikan dengan kaidah sharaf: fa͛lala dan fi͛ la
yang kemudian menjadi kata kerja falsafa dan filsaf. Adapun sebutan filsafat
yang diucapkan dalam bahasa Indonesia kemungkinan besar merupakan
gabungan kata arab falsafah dan bahasa Inggris philosophi yang kemudian
menjadi filsafat (Ramayulis, 2009: 1).
Menurut pengertian umum, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat
adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat
menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala segala sesuatu.
Dengan cara ini maka jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang

hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya (Soetriono dan
SRDm Rita Hanafie, 2007: 20)
Sedangkan definisi filsafat menurut Sidi Gazalba, sebagaimana dikutip
Abuddin Nata, adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala
sesuatu yang ada (Abuddin Nata, 2004: 4).
Pendapat Sidi Gazalba di atas memperlihatkan adanya 3 ciri pokok
dalam filsafat. Pertama, adanya unsur berpikir yang dalam hal ini
3

menggunakan akal. Dengan demikian filsafat adalah kegiatan berpikir.
Kedua, adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan berpikir
tersebut, yaitu mencari hakikat atau inti mengenai segala sesuatu. Ketiga,
adanya unsur ciri yang terdapat dalam berpikir tersebut, yaitu mendalam.
Dengan ciri ini filsafat bukan hanya sekedar berpikir, melainkan berpikir
sungguh-sungguh, serius, dan tidak berhenti sebelum yang dipikirkan itu
dapat dipecahkan. Ciri lainnya adalah sistematik. Dalam hubungan ini filsafat
menggunakan aturan-aturan tertentu yang secara khusus dijelaskan dalam
ilmu mantiq (logika). Selanjutnya ciri berpikir tersebut adalah radikal, yakni
menukik sampai kepada inti atau akar permasalahan, atau sampai ujung batas

yang sesudahnya tidak ada lagi objek serta ruang gerak yang dipikirkan,
karena

memang

sudah

habis

digarapnya. Selain itu filsafat bersifat

universal, dalam arti pikiran tersebut tidak dikhususkan untuk suatu kelompok
atau teritorial tertentu. Dengan kata lain, pikiran tersebut menembus batasbatas etnis, geografis, kultural dan sebagainya.
Deskripsi lain tentang ciri-ciri berpikir filsafat adalah bahwa berpikir
filsafat mengandung beberapa ciri, yaitu: deskriptif, kritis atau analitis,
evaluatif atau normatif, spekulatif, sistematis, mendalam, mendasar dan
menyeluruh (Abuddin Nata, 2004: 19).
Menggunakan

pendekatan


filsafat

dalam

kajian

Islam

dapat

dideskripsikan dalam dua pola; pertama , upaya ilmiah yang dilakukan secara
sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara
mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam,
baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya dengan menggunakan
paradigma dan metodologi disiplin filsafat.
Kedua , upaya ilmiah yang dilakukan secara sistematis untuk

mengetahui dan memahami serta membahas nilai-nilai filosofis (hikmah)

yang terkandung dalam doktrin-doktrin ajaran Islam yang bersumber pada al
Quran dan Hadis yang selanjutnya terejawantah dalam praktek-praktek
keagamaan.
Pendekatan filsafat yang dimaksudkan dalam makalah ini termasuk
bentuk yang kedua, yakni memahami hikmah dari kisah al Quran. Pola
pendekatan tersebut diharapkan agar seseorang tidak akan terjebak pada
4

pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama
dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan
formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima,
dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual
yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini
tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang
bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik,
sedangkan bentuk formal memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Terkait dengan kajian terhadap al Quran, terdapat beberapa
kecenderungan


dalam

berkecenderungan

menafsirkan

filsafat,

hukum,

al
dan

Quran.
ilmiah.

Di

antaranya


Makalah

ini

tafsir
akan

menggunakan kecenderungan filsafat dalam memahami ayat-ayat al Quran.
Menurut adz Dzahabi, tafsir yang menggunakan kecenderungan filsafat
disebut dengan tafsir falsafi. Dengan demikian, makalah ini akan mengkaji
kisah-kisah orang terpilih dalam al Quran dengan mengacu pada cara berpikir
falsafi.

2. Al Quran dan Kisah Orang Terpilih
Mengawali pembahasan tentang kisah orang terpilih dalam al Quran,
perlu ditentukan dahulu definisi kisah. Kata kisah berasal dari bahasa Arab
Qisṣah. Menurut Ibnu Zakaria setiap kata yang terdiri dari qaf, ṣad yang bertasydid menunjukkan pada sesuatu yang berulang. Sedangkan al qisṣah

adalah sesuatu yang diulang penyebutannya (Ahmad bin Faris bin Zakariya,
1979: 11). Senada dengan pendapat tersebut, menurut al Asfahani al Qasṣu
berarti mengikuti jejak. Sedangkan qa ṣah adalah pemberitaan yang berulangulang (Raghib al Asfahani, t.th: 243). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
dirumuskan definisi kisah, yaitu pengungkapan ulang terhadap suatu
peristiwa di masa lampau.
Beberapa ayat yang menunjukkan pemaknaan al qasṣu dan al qa ṣa ṣ
adalah sebagai berikut:

٤٦ :‫الكݑف‬
5

Artinya: Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula.

٣ :‫يݒسف‬
Artinya: Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu
sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang
belum mengetahui.

Kisah dalam al Quran ditinjau dari segi waktu dapat dibagi menjadi
tiga; kisah tentang masa lalu, kisah tentang masa kini, dan kisah tentang masa
yang akan datang. Kisah tentang masa lalu dapat dicontohkan semisal kisah
tentang Adam, Nuh, Daud, Sulaiman, dan seterusnya. Adapun kisah masa
kini artinya kisah tentang peristiwa yang terjadi pada masa kenabian. Kisah
tersebut dapat dicontohkan kisah tentang Jin, yang mana ia dipercayai oleh
manusia, namun eksistensinya masih menjadi misteri sampai sekarang.
Kemudian, kisah tentang masa depan, artinya kisah tentang peristiwa yang
belum terjadi saat masa kenabian. Kisah ini dapat dicontohkan semisal
tentang hari kiamat.
Kisah dalam al Quran jika ditinjau dari pelakunya dapat terbagi
menjadi tiga; kisah tentang para rasul yang memuat dakwah mereka kepada
kaumnya, mukjizat-mukjizat yang ada pada mereka, sikap para penentang,
perkembangan dakwah dan akibat-akibat yang diterima orang-orang yang
mendustakan para Nabi. Lalu, kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian
umat-umat terdahulu dan tentang orang-orang yang tidak dapat dipastikan
kenabiannya, seperti kisah Thalut, Jalut, dua putra Adam, Ashahab al-Kahfi,
Zulqarnain, Ashabul Ukhdud, dan sebagainya. Kemudian, kisah yang
berkaitan dengan nabi Muhammad dan sahabatnya terkait peristiwa yang
terjadi di zaman Rasulullah seperti perang badar, uhud, tabuk dan lain
sebagainya.
Ditinjau dari segi materi, dalam kisah al Quran terdapat hal-hal
berikut (Fajrul Munawir dkk., 2005: 108-109):
6

a. Pelaku (al Askhash), dalam kisah al Quran, pelaku dari kisah tidak
hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin dan bahkan hewan seperti
semut dan burung hud-hud.
b. Peristiwa (al Haditsah), unsur peristiwa merupakan unsur pokok
dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa
ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, dapat dibagi menjadi tiga;

pertama, peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan
dan campur tangan qadla-qadar Allah dalam suatu kisah. Kedua,
peristiwa yang dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat
sebagai tanda bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah,
namun mereka tetap mendustakannya lalu turunlah adzab. Ketiga,
peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal
sebagai tokoh yang baik atau buruk, baik merupakan rasul maupun
manusia biasa.
c. Percakapan (Hiwar). Biasanya percakapan ini terdapat pada kisah
yang banyak pelakunya, seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Musa dan
sebagainya. Isi percakapan dalam Al Quran pada umumnya adalah
soal-soal agama, misalnya masalah kebangkitan manusia, keesaan
Allah, pendidikan dan sebagainya. Dalam hal ini Al Quran
menempuh model percakapan langsung.

3. Kisah Orang Terpilih dalam Al Quran Perspektif Filosofis
Kisah dalam al Quran yang menyebutkan tentang manusia,
berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi dua; orang shalih dan orang
yang durhaka. Sedangkan kisah manusia shalih dapat dibagi menjadi dua;
manusia yang disepakati oleh ulama sebagai Nabi, dan manusia yang berada
dalam tingkatan hamba Allah yang sangat taat. Kisah al Quran tentang
manusia yang setingkat Nabi, ada yang ceritanya disebutkan secara lengkap,
dan ada yang tidak disebutkan secara lengkap. Adapun contoh kisah nabi
yang disebutkan oleh al Quran, sebagai berikut:
a. Kisah Nabi Hud dan Kaum `Ad
Sebelum

datangnya

Islam,

orang-orang

Arab

telah

mempunyai

pengetahuan tentang kerasulan (profetologi) walaupun proses kejadiannya
7

dan periode pembentukannya tidak diketahui, yang memuat kronologi
nabi-nabi yang berbeda dari tradisi Perjanjian Lama. Kecuali Nabi Nuh, ia
menempatkan Nabi Saleh dari suku Tsamud dan nabi Hud dari suku 'Ad
lebih tua dari semua nabi di dalam tradisi Perjanjian Lama, dan bahkan
kedua suku tersebut dinamakan "al Arab al Ariba " (orang-orang Arab
yang paling sedia kala) sehingga sangat wajar jika kedua nama nabi
tersebut sering muncul dalam puisi Arab pra Islam.
Kaum 'Ad adalah suku zaman lampau yang mana orangnya mempunyai
struktur badan tinggi besar dan kuat (Q.S al A'raf 69), membangun
gedung di tempat yang tinggi-tinggi, membuat benteng pertahanan dan
apabila menyiksa sebagai orang yang kejam lagi bengis (Q.S. As Syuara
128-130).
Nabi Hud diutus oleh Allah kepada kaum 'Ad, tapi mereka
mengingkarinya dan bahkan mereka mengatakan bahwa agama tidak lain
adalah kebiasaan orang terdahulu sehingga tak mungkin kaum Ad di
adzab (Q.S. Asy Syu'ara 137-138) maka sangat wajar jika mereka
dimusnahkan oleh angin badai selama tujuh malam dan menyapu bersih
segala yang ada kecuali bangunan-bangunan.
b. Kisah Nabi Saleh dan Kaum Tsamud
Tsamud adalah satu bangsa di Arabia Kuno, mereka disebut dalam
prasasti Sargon, di Ptolemy, di Pliny dan tulisan klasik lainnya seperti
dalam puisi Arab Pra Islam. la telah mengadakan hubungan dengan
Arabia Timur Laut terutama dengan al Hijr (Madyan). la telah mengebor
batu karang di dalam wadi/lembah (Q.S. al Fajr 9), mereka telah
membangun istana di tanah yang datar, memahat gunung untuk dijadikan
rumah (Q.S. al A'raf 74). Nabi Saleh, salah seorang dari mereka diutus
kepadanya, namun mereka mengingkari dan bahkan meminta bukti
kejelasan bahwa Nabi Saleh sebagai utusan Tuhan, sebagai bukti
kebenaran pesannya tiba-tiba muncul seekor unta betina beserta anak unta
namun malah dibunuh oleh kaum Tsamud (Q.S. Huud 64-65, al A'raf 77)
oleh karena itu Allah hancurkan kaum itu dengan gempa bumi yang
dahsyat (Q.S. al A'raf 78), dengan sambaran petir (Q.S. Fushilat 17, ad
Dzariyat 44) dengan suara keras yang mengguntur (Q.S al Qamar 31).

8

c. Kisah Nabi Sulaiman dan Kaum Saba'
Kaum Saba' diinformasikan oleh al Quran sebagai kaum yang diberikan
Allah dua kebun yang sangat subur (Q.S. Saba' 15) dan diberikan negeri
yang berdekatan agar dapat melakukan perjalanan siang dan malam,
sekarang

adalah

negeri

Syam

dan

Yaman

(Q.S.

Saba'

18).

Belum ditemukan oleh penulis bahwa nabi Sulaiman diutus oleh Allah
kepada kaum Saba' tapi hanya ditemukan proses komunikasi antara nabi
Sulaiman dengan Ratu Saba' ( yang dalam beberapa tafsir diidentifikasi
sebagai ratu Balqis) melalui Surat yang isinya agar meninggalkan
menyembah matahari dan menuju berserah diri kepada Allah (Q.S. an
Naml 27-44). Karena berpalingnya kaum Saba' kepada anugerah Allah
yang telah diberikan kepadanya maka di datangkan kepadanya banjir dan
runtuhnya bendungan Ma'arib yang merusak kesuburan kebun. mereka
(Q.S. Saba' 16).
d. Kisah Nabi Nuh
Dalam al Quran, kaum Nuh sering dirujuk sebagai suatu kisah yang
berkembang, kisah ini diulang-ulang yaitu kisah di mana Nuh diutus
untuk kaumnya agar tidak menyembah selain Allah ( Q.S. Huud 25- 35),
dan mereka yang berpaling kepada pesan dari nabi Nuh ditenggelamkan
dalam banjir besar sedangkan mereka yang beriman diselamatkan dalam
kapal (Q.S. Huud 40-48). Di negeri Arabia Pra Islam cerita tersebut telah
diketahui meskipun dalam puisi Arab awalnya diragukan dan cerita itu
pula diperluas untuk mencakup rincian cerita Perjanjian Lama dan unsurunsur tradisi Yahudi luar al Kitab.
e. Kisah Nabi Ibrahim
Ibrahim sebagai seorang yang hanif, seorang Nabi dan peletak dasar
agama monoteis. Ia sangat anti pati terhadap penyembahan kepada berhala
yang dilakukan masyarakat dan Bapaknya dan menyeru hanya
menyembah kepada pencipta manusia (Q.S.Maryam 41-5o, al Anbiya5256, as Syuara 69-81, as Saffat 83-92) sehingga nabi Ibrahim menyerang
berhala sesembahan itu (Q.S. as Saffat 93). Pesan dan ajakan Ibrahim
tidak dihiraukan bahkan diejeknya maka hukuman Allah kepadanya
adalah tidak dihancurkan. seperti kisah nabi- nabi dahulu tetapi dijadikan
orang yang menderita kekalahan paling buruk / merugi (Q.S.al Anbiya'
9

70) atau dijadikan orang yang kurang berharga / hina (Q.S. as Sahaffat
98).
f. Kisah Nabi Luth
Kisah Nabi Luth ini terjadi di kota Sadom yang terletak di dekat pantai
Laut Tengah (Q. S. al Hijr 76, al Furqan 40 dan as Shaffat 13, Nabi Luth
berusaha mengingatkan kaumnya untuk tidak melakukan. perbuatan yang
tidak senonoh dan tidak melakukan hubungan seksual yang tidak wajar,
mereka dan istri Luth berpaling dan bahkan mengusirnya, namun Luth
dan seluruh keluarganya enggan pergi. Atas perbuatannya, kota dan
masyarakatnya dilanda hujan dahsyat dan badai kerikil, dan. hanya Luth
sekeluarga kecuali istrinya yang selamat (Q.S.al qamar 33-34).

4. Analisis Terhadap Kisah Orang Terpilih dalam Al Quran
Terdapat dua bentuk pengungkapan kisah-kisah yang terdapat dalam al
Quran yaitu Kisah yang tidak runtun secara zamani dan pengulangan kisah
(tikrar).
a. Kisah Yang Tidak Runtun Secara Zamani
Tidak ada ungkapan sejarah yang runtun dalam menerangkan
keberadaan

umat,

tempatnya,

perkembangannya,

pergerakannya,

kebangkitannya dan keruntuhannya secara utuh. Demikian juga halnya
dengan al Quran, mengungkapkan kisah-kisah sesuai dengan tujuan
sebuah surah,sehingga tidak jarang al Quran menjelaskan perkembangan
suatu umat tetapi tidak menjelaskan keruntuhannya demikian juga
sebaliknya.
Terkadang al Quran juga menjelaskan umat berikutnya dan setelah itu
menjelaskan kondisi umat sebelumnya. Terkadang juga menjelaskan
secara ringkas keadaannya sehingga sampai kepada masa keruntuhannya
yang berkaitan dengan kekufuran mereka terhadap nikmat Allah atau
mereka melakukan permusuhan dan perusakan di bumi. Sebagai contoh
dari kisah pengungkapan ini dapat dilihat dari kaum 'Ad yang hidup di
sebelah selatan jazirah Arabia, di mana Allah memberikan potensi dan
nikmat kepada mereka sehingga mereka menjadi kaum yang kuat secara
ekonomi dan politik, namun setelah. itu. Allah mengambilnya kembali
dikarenakan keingkaran mereka. Hal ini dapat diketahui dalam Al Quran
10

Surah al Fajr ayat 6-8, Fajr 11-14 dan al Qamar 18-20. Demikian juga
halnya tentang pengungkapan kisah pribadi yang kebanyakan mengikuti
sejarah umat yang juga tidak tersusun sesuai dengan susunan zamani,
yang tidak diketahui kapan lahir, siapa tokoh dan di mana tempat dari
pelaku peristiwa tersebut. Misalnya Pengungkapan kisah Musa dalam
surah Thaha ayat 9, 24, 38-39.
b. Pengulangan (Tikrar)
Bentuk pengulangan merupakan ushlub Al Quran dalam seluruh obyek
lapangan deskriptif al Quran yang tidak terbatas hanya pada qashash
semata. Lapangan itu menunjukkan betapa besar kuasa dan bijaksananya
sang pencipta menyampaikan dan menetapkan pesan-pesan di samping
qashash tersebut, yakni sebagai peringatan dan peneguh iman manusia.

Hal ini mengandung nilai filosofis mukjizat al Quran. Allah mengulang
sejarah suatu umat atau sejarah seorang tokoh tidak terlepas dari hikmah
yang terkandung dalam pesan kisah tersebut. Dapat dilihat sebagai contoh
pengulangan kisah biografi Daud yang diulang-ulang berkali-kali dalam
surah an Naml dan surah Shad, kisah Ibrahim dalam surah al

Anbiya'

dan al Ankabut. Juga sebagaimna biografi Musa pada surah al Baqarah, al
Imran, Maryam dan Thalia. Seperti kisah Qarun dan harta kekayaannya
yang harus menjadi pelajaran bagi umat manusia.
Al

Quran

dalam

mengisahkan

suatu

peristiwa

tidak

jarang

menyebutkan nama pelakunya, misalnya nama. Pelakunya, misalnya
nama Nabi, nama Malaikat, nama Sahabat nabi Muhammad seperti Zaid
bin Harits (Q.S. al Ahzab 37), nama tokoh terdahulu non-Nabi dan nonRasul seperti Imran (Q.S.al Imran 33,35 dan. lain-lain), Uzair (Q.S.
Yunus 30) dan Tuba' (Q.S. ad Dukhan 37) dan nama wanita seperti
Maryam (Q.S.al Imran 36, 37, 42, 34 dan 45).
Di samping nama pelaku, Al Quran juga menuturkan gelar pelaku
kisah, seperti Abu Lahab pada hal namanya sendiri adalah Abu al
Uza(Q.S. al Lahab). Berkaitan dengan penuturan nama dan gelar dalam
kisah-kisah di dalam Al Quran, ada sebuah persoalan penting yang harus
diberikan jawabannya, yaitu suatu kisah di dalam al Quran yang
menyebutkan nama-nama pelaku khusus, apakah hanya berlaku bagi para

11

pelaku kisah tersebut atau berlaku secara umum bagi siapa saja ? dengan
kata lain apakah ayat itu berlaku khusus atau umum ?
Untuk menjawab persoalan di atas, mayoritas ulama berpendapat
bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangannya adalah keumuman
redaksinya bukannya kekhususan sebab (al Ibrah. bil Umum al Lafdzi la
bil. Khusus as Sabab). As Suyuthi memberikan alasan bahwa

pertimbangan itulah yang dilakukan oleh para. sahabat dan golongan lain,
hal ini dapat dibuktikan antara lain pada ayat Dzihar dalam. kisah Salman
bin Shakhar, ayat Li'an dalam kisah Hilal bin Umayyah dan ayat Qadzaf
dalam kisah tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus
tersebut

diterapkan

terhadap

peristiwa

lain

yang

serupa.

Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan
berkenaan dengan kisah tertentu bahkan menunjuk pribadi seseorang,
namun berlaku untuk umum. Misalnya dalam surah al Maidah 49 tentang
perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengadili secara adil berkenaan
dengan kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir, namun tidak benar jika
dikatakan bahwa perintah berlaku adil hanya berlaku kepada Nabi dan
hanya berlaku kepada Nabi dan hanya ditujukan terhadap dua kabilah
tersebut.
Penjelasan di atas sejalan dengan firman Allah dalam al Quran surah
Yusuf ayat 111 yang menjelaskan bahwa di dalam kisah-kisah al Quran
terdapat pelajaran bagi setiap orang yang berakal. Oleh karena itu. Asy
Syarabashi menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam al Quran tidak
dimaksudkan tidak hanya sebagai uraian sejarah lengkap tentang
kehidupan bangsa atau pribadi tertentu melainkan sebagai bahan pelajaran
bagi umat manusia. Berdasarkan pendapat tersebut, jelaslah bahwa kisah
Fir'aun merupakan pelajaran bagi setiap orang perihal penguasa yang
korup, penindas yang ingin menang sendiri dan. Tonggak system
kedzaliman dan kemusyrikan. Kisah Hamman merupakan pelajaran
perihal teknokrat dan ilmuan yang memfasilitasi tirani dengan melacurkan
ilmunya. Kisah Qarun merupakan cerminan kaum kapitalis dan pemilik
sumber kekayaan yang rakus dan mengisap seluruh kekayaan rakyat.
Kisah Bal'am melambangkan kaum rohaniawan atau tokoh agama yang

12

menggunakan term-term agama untuk meligitimasi kekuasaan yang korup
dan menina-bobohkan rakyat.
Mainstrem yang dapat ditangkap dari pendapat dan paparan kisah di
atas adalah hal terpenting dari kisah-kisah yang terdapat dalam al Quran
bukanlah wacana pelakunya tetapi drama kehidupan yang mereka
mainkan. Atas dasar ini, Muhammad Abduh mengkritik kebiasaan ulama
tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai
penafsir al Quran terutama ketika menjelaskan para pelaku kisah.
Al Quran banyak mengandung berbagai kisah yang diungkapkan
berulang-ulang di berbagai tempat dan dalam berbagai bentuk yang
berbeda. Di suatu tempat ada bagian-bagian yang di dahulukan sedang di
tempat yang lain di akhirkan dan ada yang di kemukakan secara ringkas
dan ada pula yang secara panjang lebar.
Pengulangan

tersebut

merupakan

suatu

kenyataan

yang

tak

terbantahkan, karena hal itu memang dijumpai dalam Mushhaf, bahkan
ada yang diulang sangat sering, seperti kisah Nabi Musa. Namun jika kita
amati secara cermat, pengulangan tersebut hanyalah nama pelaku
utamanya sedangkan isi atau materi yang diungkapkan dalam setiap
pengulangan tidak sama, sehingga dengan demikian sekali pun pada
lahirnya tampak suatu kisah berulang namun pada hakikatnya bukanlah
berulang,

melainkan

semacam

cerita

bersambung.

Oleh

karena

diungkapkan suatu kisah dalam berbagai tempat maka lengkalaj informasi
tentang kisah tersebut. Misalnya kisah Nabi Musa, pertama di
informasikan tentang shuhuf Musa dan Ibrahim (Q.S. al A’la 18-19, an
Najm 36-37), kemudian diulang dengan ungkapan fragmentatif tentang
kisah Musa dan Fir'aun dan fir'aun tanpa menyebut Musa tapi bersamaan
dengan menyebut kaum ‘Ad dan Tsamud (Q.S. al Fajr 1-13), dan
selanjutnya kisah tentang bani Israil dan misil Nabi Musa dan Harun serta
mukjizat Nabi Musa berupa tongkat yang kemudian Fir'aun beserta kaum
ditimpa azab dan seterusnya Bani Israil keluar dari negeri Mesir (Q.S.al
A'raf 103 – 171).
Pengulangan kisah-kisah dalam Al Quran ada beberapa hikmahnya
antara lain adalah menjelaskan ke-balaghah-an Al Quran dalam tingkat
paling tinggi, menunjukkan kehebatan mukjizat Al Quran, bukti perhatian
13

terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat
dalam jiwa dan karena bedanya

tujuan kisah itu diungkapkan.18

Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan pengulangan kisah-kisah
dalam Al Quran, menurut Nashruddin Baidan adalah agar umat makin
tertarik kepada Islam karena kisah-kisah yang disampaikannya itu selalu
terasa segar serta cocok dengan kondisi mereka, selain Nabi beserta
sahabat pun merasa sangat terayomi melalui kisah-kisah itu sehingga
memberikan kesegaran jiwa, dan sampai hari ini Al Quran terasa
senantiasa hidup dan memberikan bimbingan abadi dalam mengajak umat
ke jalan yang benar. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan
pengulangan kisah-kisah dalam, Al Quran tidak hanya dapat membuat
umat tidak bosan terhadap bimbingan dan petunjuknya tapi malah
menjadikan mereka mencintai Al Quran sedalam-dalamnya.
Berdasarkan kisah yang disebutkan di atas, Penulis memahami bahwa
manusia dan alam merupakan sebuah sistem yang didesign oleh Allah.
Manusia yang baik seperti para Nabi adalah manusia yang berusaha
menjaga dan mengikuti sistem agar tercipta kebahagiaan. Sedangkan
manusia yang membangkang bahkan melawan kebenaran adalah manusia
yang merusak sistem. Sehingga konsekuensinya, ia menerima azab atas
perbuatan yang merusak sistem.
Sistem yang diciptakan oleh Allah, adalah sistem yang membawa
manusia yang mengikuti sistem tersebut menuju kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Sistem tersebut adalah agama fitrah artinya suatu aturan yang
mengakui adanya penguasa tunggal yang maha kuasa sebagaimana diakui
oleh setiap manusia. Manusia tidak dapat melawan fitrah pengakuan
terhadap Tuhan, meskipun ia berusaha melawannya, tetap saja, dalam
keadaan terpojok, dan tak dapat melakukan apa-apa, ia akan mengharap
kepada seorang dzat yang menciptakan alam semesta.

14

D. SIMPULAN DAN PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut:
1. Pendekatan Filosofis adalah sebuah sudut pandang yang memiliki ciri
berpikir radikal untuk menemukan inti dari sesuatu. Karakteristik pendekatan
filsafat; deskriptif, kritis atau analitis, evaluatif atau normatif, spekulatif,
sistematis, mendalam, mendasar dan menyeluruh.
2. Kisah al Quran berdasarkan waktunya dapat terbagi menjadi tiga; kisah
tentang peristiwa yang terjadi pada masa sebelum al Quran turun, kisah
tentang peristiwa yang terjadi pada saat al Quran turun, dan kisah tentang
peristiwa yang terjadi setelah al Quran turun. Berdasarkan pelakunya, dapat
dibagi menjadi; kisah orang shalih, dan kisah orang durhaka.
3. Al Quran menjelaskan kisah Nabi, umat terdahulu, dan orang-orang yang
menjadi panutan di masanya. Tidak hanya itu, al Quran juga menyebutkan
kisah orang zalim yang mendapatkan balasan atas perbuatannya. Makna
filosofi yang dipahami dari kisah-kisah tersebut adalah segala perbuatan
manusia, baik maupun buruk dapat dijadikan sebagai pelajaran, bagi dirinya,
lingkungan, dan manusia yang akan datang. Tidak hanya itu, konsekuensi dari
perbuatan, disamping akan menimpa diri pelaku, juga akan menimpa orang
yang bukan pelaku. Dengan demikian, manusia dan sekitarnya merupakan
sebuah sistem, jika sistem baik, maka akan tercipta kedamaian, namun jika
sistem error maka akan tercipta kesengsaraan.

15

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Yunus al Khatib, at Tafsir al Quran lil Quran , Dar al Fikr al ‘Arabi,
Kairo, t.th.,
Abu al Fida’ Ismai’l bin ‘Umar bin Kasir, Tafsir al Quran al ‘Aẓim, Dar at Thayyibah,
t.tp., 1999,
Abu al Qasim Husain bin Muhammad bin al Mufaddhal, Raghib al Asfahani,
Mufradat alfa ẓ al Quran, Dar al Qalam, Damaskus, t.th.,

Abu al Qasim Mahmud Az Zamakhsyari, Al Kassyaf ‘an Haqaiqi Ghawamiḍ at
Tanzil, Dar al Kutub al ‘Arabi: Beirut, 1407,

Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin al Munẑir, Kitab Tafsir al Quran, Dar al
Ma’aṡir, Madinah, 2002,
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004
Adeng Mukhtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama , Bandung: Pustaka Setia, 2000
Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al Lughah, Dar el Fikr, Beirut, 1979,
Ahmad bin Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Musthafa Albab al Halabi,
Mesir, 1946,
Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al Quran, Dar al Kutub al Mishriyyah, Kairo, 1964,
Fajrul Munawir dkk., Al-Quran, Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2005
Ibnu Abi Hatim ar Razi, Tafsir al Quran al ‘Aẓim, Maktabah Nizzar Mushtafa al Baz:
Mekah, 1419,
Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Jamaluddin Ibnu Manẓur al Anshari, Lisan al ‘Arab, Dar as Shadir, Beirut, 1414,
Manna’ bin Khalil al Qatthan, Mabahis di ‘Ulum al Quran, Maktabah al Ma’arif, t.tp.,
2000,
Muhammad Ali Al Shabuni, Shafwatu al Tafasir, Dar al Shabuni, Kairo, 1997,
Muhammad bin Ali as Syaukani, Fath al Qadir , Dar Ibnu Kasir, Damaskus, 1414,
Muhammad bin Jarir at Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Muassisah ar
Risalah, t.tp, 2000,
Muhammad bin Umar Nawawi al Bantani, Marâh Labîd li Kasyfi ma’na al Quran al
Majid, Dar al Kutub al ‘ilmiyyah, Beirut, 1417,

16

Muhammad Sayyid Thanthawi, at Tafsir al Wasith li al Quran al Karim, Dar Nahḍatu
Mishr, Kairo, 1998,
Muhammd Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam,
IAIN Jakarta: Jakarta, 1985
Naṣruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000,
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para
Tokohnya , Jakarta: Kalam Mulia, 2009

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian ,
Yogyakarta: Andi Offset, 2007
Tim Penyusun Tafsir, Tafsir al Muyassar , Yayasan Penerbitan Mushaf Raja Fahd,
Saudi Arabia, 2009,
Wahbah bin Musthafa az Zuhaili, at Tafsir al Munir , Dar el Fikr al Ma’ashir,
Damaskus, 1418,
Wahbah bin Musthafa az Zuhaili, at Tafsir al Wasith, Dar al Fikr, Damaskus, 1422,
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al-Quran, al-Quran dan Terjemahnya ,
Departemen Agama, Jakarta, 1971

17