Pemutusan Hubungan Kerja docx 1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun
yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang
masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah,
kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak
pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.
Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu
dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari
pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu
keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan
peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada organisasi maka
tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih
payah dan usahanya tersebut.
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak
normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan.
Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah,

senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih
menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi
atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak
PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan
oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisiposisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi,
maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus
dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi
pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat
dihindarkan.

1

Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang
dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan
fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan
lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat (mantan karyawan).
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimana kasus pemutusan hubungan kerja di Indonesia?
 Bagaimana analisis kasus pemutusan hubungan kerja berdasarkan UU No.

13 Tahun 2003?
1.3 Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui kasus pemutusan hubungan kerja di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2

2.1 Pengertian PHK
Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (25) UndangUndang No. 13 Tahun 2003 adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
2.2 Cara Terjadinya PHK
Salah satu bidang di antara banyak bidang hukum perubahan yang sangat
penting jika dikaitkan dengan perlindungan buruh adalah bidang pemutusan
hubungan kerja, terutama pemutusan kerja oleh majikan. Persoalan pemutusan
hubungan kerja menjadi mengedepan jika majikan ingin memutuskan
(mengakhiri) hubungan kerja, padahal buruh masih ingin tetap bekerja.
Mengedepannya persoalan ini terletak pada: keinginan majikan yang lazimnya

serba kuat berhadapan dengan keinginan buruh yang lazimnya serba lemah.
Ketentuan-ketentuan mengenai berakhirnya hubungan kerja yang tercantum
dalam Bab VII-A Buku III KUH Perdata tidak cukup memberikan perlindungan
kepada buruh dari keinginan majikan untuk memutuskan hubungan kerja.
Padahal, hukum yang bersifat memaksa (dwingendrecht) yang dapat mengekang
keinginan majikan itu merupakan benteng perlindungan terakhir agar buruh tetap
mempunyai pekerjaan, yang berarti menjamin kelangsungan perolehan
nafkah.Oleh karena itu pada tanggal 23 september 1964 lahirlah Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1964, tentang pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan Swasta
Undang-undang ini mencabut(1) Regeling Ontslagrecht voor bepaalde nietEuropese Arbeidders, (2) pasal 1601 (lama) sampai dengan pasal 1603 (lama)
sepanjang yang mengatur masalah pemutusan hubungan kerja, (3) pasal 1601
sampai dengan pasal 1603 KUH Perdata sepanjang pasal-pasal itu bertentangan
dengan undang-undang ter sebut.
Subyek, isi dan keadaan yang melingkupi perjanjian kerja bermacam-macam.
Berdasarkan atas hal ini, maka dalam kepustakaan juga dikenal beberapa macam
pemutusan hubungan kerja yaitu, (1) pemutusan hubungan kerja oleh majikan,(2)
pemutusan hubungan kerja oleh buruh, (3) pemutusan hubungan kerja demi
hukum dan (4) pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan.
2.2.1 Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan


3

Seorang majikan yang akan mengakhiri (memutuskan ) hubungan kerja
dengan buruhnya terikat oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Keterikatan majikan terhadap
undang-undang ini salah satunya bertujuan agar buruh tidak kehilangan
pekerjaannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan undang-undang
tersebut .Garis besar pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam undangundang ini adaah sebagai berikut :
Pertama, hal terpenting dan harus dipegang teguh dalam menghadapi
masalah pemutusan hubungan kerja adalah pengerahan segala daya upaya agar
pemutusan hubungan kerja tidak terjadi, bahkan agar beberapa hal dilarang.
Seorang majikan harus sudah menampakkan usahanya untuk mencegah terjadinya
pemutusan hubungan kerja. Baru setelah usaha ini dilaksanakan dengan sungguhsungguh dan pemutusan hubungan kerja tetap tidak dapat dihindarkan, maka
pemutusan hubungan kerja (mungkin) dilaksanakan. Mengapa mungkin? Sebab
dalam keadaan yang demikian itu majikan masih berhadapan dengan syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang.
Kedua, setelah semua upaya dikerahkan untuk meniadakan pemutusan
hubungan kerja dilaksanakan tetap mendatangkan hasil, majikan harus
merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan serikat
buruh atau dengan buruhnya sendir. Undang-undang memandang bahwa hasil

perundingan antara pihak –pihak yang berselisih sering lebih baik daripada
penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah.
Ketiga, Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak
mendatangkan hasil yang dapat diterima oleh kedua belah pihakm, maka
pemerintah campur tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang akan dilakukan
oleh majikan. Bentuk campur tangan ini berupa pengawasan prefentif, yaitu untuk
tiap-tiap pemutusan hubungan kerja oleh majikan diperlukan izin dari instansi
pemerintah (Departemen Tenaga Kerja). Pengawasan prefentif ini pelaksanaannya
diserahkan kepada panitia penyelesaian perselisihan perburuhan
daerah(selanjutnya disngkat Panitia Daerah).
Keempat, dalam undang-undang diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat
formal tentang cara minta izin, banding terhadap penolakan permintaan izin dan
seterusnya.

4

Kelima, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran sebagai
akibat tindakan pemerintah, akibat modernisasi, akibat efisiensi dan rasionalisasi
yang disetujui oleh pemerintah, maka pemerintah berusaha meringankan beban
buruh dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh ke perusahaan

lain atau ke tempat-tempat kerja lainnya.
Ternyata di dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964
terdapat pengecualian. Artinya ada pemutusan hubungan kerja oleh majikan
memerlukan izin, yakni terhadap buruh yang dalam masa percobaan(pasal 4).
1. Izin
Majikan yang oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 disebut pengusaha
harus mengusahakan agar jangan sampai pemutusan hubungan kerja terjadi.
Apabila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan
hubungan kerja dengan organisasi buruh (serikat buruh) yang bersangkutan atau
dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu
organisasi buruh.
Kalau perundingan tersebut tidak menghasilkan persesuaian paham
(maksudnya mendatangkan hasil yang meniadakan hubungan kerja), majikan
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh setelah memperoleh izin
dari panitia penyelesaian perselisihan perburuhan. Mengenai izin ini pasal 3
ayat(1) menentukan sebagai berikut:
a. Untuk pemutusan hubungan kerja perseorangan, pengusaha harus memperoleh
izin dari panitia daerah sebagaimana dimaksud pasal 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957;

b. Untuk pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, pengusaha harus
memperoleh izin dari panitia pusat sebagaimana dimaksud pasal 12 Undangundang Nomor 22 tahun 1957.
Pemutusan hubungan kerja besar-besaran dianggap terjadi jika dalam suatu
perusahaan selama satu bulan pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10
orang atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan hubungan kerja yang datap
menggambarkan suatau itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja
secara besar-besaran (pasal 3 ayat 2 ).
Meskipun tidak dengan tegas dinyatakan (berarti secara tersirat), berdasarkan
pasal 2 dan pasal 3 dapat disimpulkan bahwa jika serikat buruh atau buruh

5

menyetujui pemutusan hubungan kerja yang diinginkan oleh majikan, maka bagi
pemutusan hubungan kerja tersebut tidak diperlikan izin. Namun demikian,
instruksi Menteri Perburuhan Nomor 9/inst/1964 tanggal 29 september 1964, surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja tanggal 8 Februari 1967 Nomor 362, dan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986 tentang Tata Cara Pemutusan
Hubungan Kerja dan penetapan Uang Pesangon, Uang jasa dan Ganti Kerugian,
tanggal 22 April 1986 yang mengikuti kelahiran Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 menegaskan bahwa walaupun buruh menyetujuin keinginan majikan untuk

melaksanakan pemutusan hubungan kerja, tetapi tetap diperlukan izin. Pasal 12
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1986 berbunyi:
Apabila perundingan untuk melaksanakan pemutusan hubungan kerja
telah dicapai kesepakatan oleh pekerja dengan pengusaha, atas
permohonan izin pemutusan hubungan kerja tersebut panitia
penyelesaian perselisihan perburuhan daerah/pusat pada dasarnya
memberikan izin sesuai dengan hasil kesepakatan tersebut.
Pada dasarnya panitia daerah atau pusat tidak akan menolak permintaan izin
pemutusan hubungan kerja yang telah disetujui oleh buruh. Meskipun demikian,
izin itu harus tetap ada. Adanya ketentuan yang demikian itu mempunyai latar
belakangan tersendiri. Buruh yang kedudukannya dalam banyak hal lemah sulit
bisa diharapkan mengemukakann pendapatnya atau keinginannya dengan bebas.
Langsung atau tidak langsung, apabila ia berhadapan dengan majikan, tentu ada
rasa tertekan. Oleh karena itu, jika majikan menginginkan sesuatu, misalnya
pemutusan hubungan kerja, kalaupun pada dasarnya buruh menolak keinginan
majikan itu, ia akan sulit mempertahankan penolakan tersebut. Berdasarkan atas
keadaan seperti inilah untuk menjaga keobyektifan dan kebebasan buruh dalam
menentukan sikapnya menghadapi keinginan majikan untuk memutuskan
hubungan kerja, tetap diperlukan izin meskipun buruh telah menyetujuinnya.
Ketentuan yang pada dasarnya sama dengan pasal 12 Peraturan Menteri

Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1986 adalah Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja Nomor362 Tahun 1967, angka (4) yang berbunyi :
Bilamana hubungan kerja di putuskan pengusaha dengan persetujuan
pekerja, maka tetap diperlukan izin, tetapi jika persetujuan ini
ternyata dari perjanjian yang dibuat khusus untuk itu pada waktu

6

pemutusan dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka pada
dasarnya tidak ada alasan menolak permohonan izin.
Meskipun pada dasarnya undang-undang mengharuskan adanya izin bagi
pemutusan hubungan kerja oleh majikan, tetapi juga ada peluang bagi majikan
untuk memutuskan hubungan kerja tanpa adanya izin. Pasal 4 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1964 juncto pasal 5 peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER.04/MEN/1986 menegaskan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan
kerja tanpa izin dari panitia penyelesaian perselisihan perburuhan Daerah atau
Pusat apabila ;
a. Pekerja dalam masa percobaan.
b. Hubungan kerja yang atas kesepakatan kerja untuk waktu tertentu dan masa
berlakunya kesepakatan kerja tersebut telah habis.

c. Pekerja mengundurkan diri secara tertulis.
d. Pekerja telah mencapai usia pensiun yang telah ditetapkan dalam kesepakatan
kerja, peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
Menurut undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 apabila perundingan antara
majikan dengan buruh mengenai pemutusan hubungan kerja gagal mendatangkan
hasil, maka majikan dapat langsung minta izin untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja kepada panitia daerah atau panitia pusat. Akan tetapi tidak
demikian yang ditentukan oleh peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER.04/MEN/1986. Menurut Peraturan Menteri ini sebelum majikan minta izin
masih ada satu upaya yang harus ditempuh untuk menyelesaikan masalah
pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakuakannya. Pasal 2 Peraturan Menteri
ini menegaskan sebagai berikut :
Apabila perundingan pemutusan hubungan kerja yang dilaksanakan
oleh kedua belah pihak ternyata ia tidak mendapatkan hasil
kesepakatan penyelesaiannya, maka sebelum pengusaha
mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja kepada
panitia penyelesaian perselisihan perburuhan Daerah atau Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat, kedua belah pihak
atau salah satu pihak mengajukan permintaan kepda kantor
Departemen Tenaga Kerja atau Kantor Wilayah Departemen

Tenaga Kerja atau Departemen Tenaga Kerja Pusat untuk
diperantarai oleh Pegawai Perantara.

7

Kewajiban untuk minta perantara kepada Departemen Tenaga Kerja tidak
diletakkan oleh undang-undang-undang, melainkan diletakkan oleh Peraturan
Menteri, yang kalau kita kaitkan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964,
Peraturan Menteri ini tidak memperoleh delegasian dari undang-undang tersebut.
Secara hukum hal seperti ini dapat dipersoalkan. Profesor iman soepomo
menyatakan bahwa menanggalkan hierarki perundang-undangan berarti anarki
hukum. Menurut hemat penulis untuk sampai pada kesimpulan ada atau tidaknya
penanggalan hierarki perundang-undangan , selain melihat segi formalnya, juga
harus melihat segi materialnya. Meskipun mungkin secara formal suatu peraturan
hierarkinya dapat dipersoalkan, tetapi jika materinya (isinya) tidak bertentangan
dengan peraturan diatasnya, maka peraturan yang demikian ini masih dapat
dibenarkan, setidak-tidaknya dimungkinkan.
Untuk memberikan perlindungan kepada buruh yang setepat-tepatnya dan
semaksimal mungkin ada baiknya kalau segala kemungkinan ditempuh . Oleh
karena itu kewajiban yang diletakkan kepada kedua belah pihak untuk minta
perantaraan dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1964. Pegawai perantara yang berasal dari Departemen Tenaga Kerja tentu
sangat memahami peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan.
Dengan demikian ia tentu sangat memahami pelik-pelik persoalan perburuhan.
Setiap peluang yang mungkinkan untuk menjembatani kepentingan majikan dan
buruh tentu ia ketahui.
Untuk tidak mengulur-ulur waktu, pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa
selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari sejak permintaan perantaran diterima,
Pegawai Perantara sudah melakukan perantaraan. Jika Pegawai Perantara tidak
berhasil, maka dengan disertai permohonan izin pemutusan hubungan kerja, ia
menyerahkan persoalan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja untuk
proses selanjutnya. Dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari terhitung
sejak diterimanya oleh Kantor Wilayah, sebagaimana dimaksud oleh pasal 2,
Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja mengajukan permintaan kepada
Menteri Tenaga Kerja mendapat petunjuk penyelesaian, sebelum disidangkan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat.
2. Bentuk Permohonan Izin
8

Bentuk permohonan izin pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh
majikan kepada panitia Daerah atau Panitia Pusat harus tertulis (pasal 5 ayat 1
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964). Kemudian di dalam pasal4 ayat(1)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1986 ditegaskan bahwa
selain harus tertulis, permohonan itu harus dibubuhi materai. Didalam ayat (2)
ditegaskan bahwa permohonan izin pemutusan hubungan kerja seperti dimaksud
ayat(1) memuat hal-hal :
a. Nama dan tempat kedudukan perusahaan/ pemohon;
b. Nama orang yang bertanggung jawab di perusahaan;
c. Nama dari pekerja yang diminta pemutusan hubungan kerja;
d. Umur dan jumlah keluarga dari pekerja;
e. Jumlah masa kerja dari setiap pekerja;
f. Penghasilan terakhir berupa uang dan catu dengan Cuma-Cuma sebulan;
g. Alasan-alasan dari pengusaha secara terinci untuk mengadakan pemutusan
hubungan kerja;
h. Bukti bahwa telah diadakan perundingan sebagaimana dimaksud pada pasal 2
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964.
Serangkaian syarat tersebut tidak sekedar memberikan beban kepada majikan
(bukan sekedar formalitas), melainkan mempunyai makna lebih dari pada itu.
Serangkaian syarat itu kalau kita perhatikan dengan seksama, akan terlihat bahwa
syarat-syarat itu akan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan apakah
permohonan izin itu layak atau tidak layak dikabulkan. Misalnya masa kerja
seorang buruh sudah cukup lama, jumlah keluarga yang ditanggungnya cukup
banyak,kesalahan yang dijadikan alasan memutuskan hubungan kerja bagi dirinya
relative ringan. Terhadap buruh yang demikian itu, meskipun mungkin untuk
diputuskan hubungan kerjanya, akan tetapi dengan memperhatikan hal-hal di atas,
mungkin saja Panitia Daerah atau Panitia Pusat menolak memberikan izin.
3. Alasan Pemberian Izin
Sesuai dengan titelnya, yaitu “permohonan” atau “mintaan”, permohonan izin
pemutusan hubungan kerja yang diajukan kepada Panitia Daerah atau Panitia
Pusat mungkin dikabulkan atau ditolak. Izin pemutusan hubungan kerja hanya
diberikan apabila (a) telah ditempuh prosedur yang diwajibkan, dan (b)
didasarkan pada alasan-alasan yang diperbolehkan. Mengenai prosedur yang
diwajibkan ini telah diuraikan dimuka, yaitu harus ada perundingan antara
majikan dan buruh atau serikat hubungan tentang pemutusan hubungan kerja yang

9

dimaksudkan dan pernah ada Pegawai Perantara dari Kantor Departemen Tenaga
Kerja yang melakukan perantara dalam persoalan pemutusan hubungan kerja.
Mengenai alasan yang boleh dijadikan dasar pemberian izin pemutusan hubungan
kerja, pasal9 ayat(1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986
menegaskan bahwa permohonan izinpemutusan hubungan kerja dapat diberikan
karena kesalahan berat sebagai berikut:
a. Pada saat perjanjian kerja diadakan memberikan keterangan palsu atau yang
dipalsukan;
b. Mabuk, madat, pemakai obat bius atau narkotika di tempat kerja;
c. Melakukan perbuatan asusila di tempat kerja;
d. Melakukan tindakan kejahatan misalnya: mencuri, menggelapkan, menipu,
memperdagangkan barang terlarang baik dalam lingkungan perusahaan
maupun di luar lingkungan perusahaan;
e. Penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancam pengusaha atau teman
sekerja;
f. Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan hukum atau kesusilaan;
g. Dengan sengaja atau ceroboh merusak, merugikan atau membiarkan dalam
keadaan bahaya milik perusahaan;
h. Dengan sengaja atau kecerobohan merusak atau membiarkan diri atau teman
sekerjanya dalam keadaan bahaya;
i. Membongkar rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik pimpinan
perusahaan dan keluarganya yang seharusnya dirahasiakan, kecuali untuk
kepentingan Negara.
Alasan-alasan yang tercantum dalam ayat tersebut tidak disertai klausula lain.
Artinya jika buruh melakukan salah satu atau beberapa perbuatan sebagaimana
tercantum dalam ayat diatas dan majikan sudah menempuh prosedur yang
diwajibkan, maka majikan dapat langsung menjadikan perbuatan si buruh sebagai
alasan permohonan izin pemutusan hubungan kerja. Ketentuan yang demikian ini
berlainan dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 10 ayat (1). Meskipun
hal-hal yang tercantum dalam ayat ini dapat dijadikan alasan permintaan izin hub
ungan kerja, tetapi ada klausula tambahan, yaitu harus ada peringatan. Ayat ini
menegaskan bahwa pengusaha dapat memberikan peringatan pertama dan terakhir
kepada pekerjaan apabila:

10

a. Setelah diperingatkan tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk
menaati perintah atau penugasan yang layak sebagaimana tercantum dalam
perjanjian kerja, kesepakatan kerja bersama, peraturan perusahaan;
b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan
demikian sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang diberikan
kepadanya;
c. Tidak cakap melakukan pekerjaan walaupun sudah di coba di bidang tugas
yang ada;
d. Melanggar ketentuan yang di tetapkan dalam kesepakatan kerja bersama,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja.
Setelah mendapatkan peringatan terakhir buruh masih tetap menunjukan
perbaikan ataupun melakukan pelanggaran lagi, majikan dapat mengajukan
pemutusan hubungan kerja kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Ilustrasinya berikut ini akan memperjelas perbedaan ketentuan-ketentuan yang
terdapat pasal 9 ayat (1) dan pasal 10 (1) sebagai alasan yangboleh dijadikan dasar
permintaan izin pemutusan hubungan kerja. Seorang buruh yang terbukti mencuri,
majikannya dapat langsung minta izin kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat
untuk memutuskan hubungan kerja (tentu saja setelah prosedur yang diwajibkan
ditempuh). Sementara itu, kepada seorang buruh yang tidak cakap melakukan
pekerjaan walaupun sudah dicoba disemua bidang tugas yang ada harus diberi
peringatan setidak-tidaknya sekali agar permintaan izin kepada Panitia Daerah
atau Panitia Pusat dapat dilakukan. Bahkan pada huruf (a) yang berkaitan dengan
penolakan perintah atau penugasan yang layak peringatan itu harus diberikan
sekurang-kurangnya tiga kali. Hal-hal yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1)
merupakan kesalahan berat, sedangkan hal-hal yang tercantum dalam pasal 10
ayat (1) adalah kesalahan ringan.
4. Larangan Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam dua hal pemutusan hubungan kerja oleh majikan dilarang, yaitu:
a. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui dua belas bulan
terus- menerus;
b. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh undang-undang atau
pemerintah, atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
dan yang disetujui pemerintah.
11

Dua hal yang cukup jelas tersebut tercantum dalam pasal 1 ayat (2) undangundang Nomor 12 Tahun 1964. Artinya selain dua hal tersebut pemutusan
hubungan kerja dapat dilakukan. Termasuk juga, berdasarkan penafsiran a
contrario terhadap huruf (a) tersebut, jika buruh sakit, tetapi sakitnya lebih dari
dua belas bulan secara terus menerus. Meskipun kesimpulan dari hasil penafsiran
yang demikian itu dapat dibenarkan, tetapi pelaksanaannya harus melihat hal-hal
yang melingkupinya. Suatu contoh: pada saat melakukan pekerjaannya, buruh
mengalami kecelakaan yang berakibat cukup fatal, yakni patah tulang kaki. Untuk
penyembuhan perlu waktu lebih dari satu tahun ( dua belas bulan). Artinya buruh
tersebut berhalangan menjalankan pekerjaannya lebih dari dua belas bulan terus
menerus. Jika terhadap buruh tersebut di putuskan hubungan kerjanya, tentu akan
terasa tidak hadil. Oleh karena itulah tidak secara otomatis buruh yang
berhalangan menjalankan pekerjaannya lebih dari dua belas bulan terus-menuerus,
jika majikan ingin memutuskan hubungan kerja, Panitia Daerah atau Panitia Pusat
mengizinkannya.
Disamping dua hal tersebut di dalam pasal 8 Peraturan Menteri Tebaga Kerja
Nomor PER. 04/MEN/1986 ditegaskan bahwa permohonan izin pemutusan
hubungan kerja tidak dapat diberikan apabila pemutusan hubungan kerja
didasarkan atas:
a. Hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat pekerja atau dalam
rangka pembentukan serikat pekerja dan melaksanakan tugas-tugas atau fungsi
serikat pekerja di luar jam kerja;
b. Pengaduan pekerja kepada yang berwajib mengenai tingkah laku pengusaha
yang terbukti melanggar peraturan Negara;
c. Paham, Agama,Aliran, Suku, atau Jenis Kelamin.
Menurut struktur kebahasaan makna kata “dilarang” berbeda dengan frasa
“tidak dapat diberikan”. Yang disebutkan pertama terdapat dalam pasal 1 ayat (2)
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964, sedangkan yang disebutkan terakhir
terdapat dalam pasal 8 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER
04/MEN/1986. Jika kedua peraturan perundang-undangan tersebut kita kaji secara
sistematis, akan diperoleh kesimpulan bahwa kata “dilaran” dan frasa “tidak dapat
diberikan” menunjukan pada pengertian yang sma, yaitu dilarang. Kesimpulan
yang demikian itu juga akan kita peroleh apabila kita cermati sejarah pasal 8
tersebut. Pasal ini semula terdapat dalam Intruksi Menteri Perburuhan Nomor

12

9/Inst/1964 yang ditunjukan kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
dan juga terdapat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 362/1967.
Intruksi ini mengikat Panitia Daerah maupun Pusat. Oleh karena itu , Panitia
Daerah maupun Pusat tidak akan mengizinkan pemutusan hubungan kerja oleh
majikan yang didasarkan atas alasan-alasan yang terdapat dalam pasal 8 tersebut.
Persoalannya adalah dapatkah ketentuan dalam undang-undang ditambahi
oleh Peraturan Menteri? Menurut Profesor Iman Soepomo, penambahan larangan
pemutusan hubungan kerja yang terdapat dalam Intruksi Menteri Perburuhan
Nomor 9/Inst/1964 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 362/1967 (saat
ini dioper menjadi MEN/1986), meskipun sesungguhnya tepat, tetapi merupakan
suatu anarki hukum. Menurut hemat penulis, penyimpulan seperti itu tidak
selamanya tepat dan terlalu formalis. Jadi, menurut hemat penulis, penambahan
seperti alasan yang mendukung pendapat ini.
Pertama, pasal 13 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 menegaskan bahwa
ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur di dalam undang-undang ini
akan ditetapkan oleh Menteri Perburuhan. Frasa “ketentuan-ketentuan
pelaksanaan yang belum diatur di dalam undang-undang”harus ditafsirkan
sebagai”ketentuan-ketentuan yang belum diatur di dalam undang-undang”.
Sebabnya adalah tidak mungkinsuatu undang-undang sekaligus mengatur
ketentuan pelaksanannya. Ini berarti pembentuk undang-undang sangat menyadari
bahwa perkembangan perubahan tentu akan sangat pesat, yang sangat sulit diikuti
oleh undang-undang yang prosedur pembentukannya sangat rumit. Oleh karena
itu sepanjang masih berpegang pada pokok pikiran yang terdapat dalam undangundang tersebut dan hakikat hukum perburuhan, delegasian sebgaimana terdapat
dalam pasal 13 tersebut tetap dapat dibenarkan.
Kedua, ketentuan penambahan larangan pemutusan hubungan kerja tersebut
tetap sesuai dengan pokok pikiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 dan
hakikat hukum perburuhan, yakni untuk melindungi buruh. Analisisnya sebagai
berikut:
Yang berkaitan dengan pasal 8 huruf (a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER. 04/MEN/1986. Salah satu fungsi serikat buruh (dalam Peraturan
Menteritersebut digunakan istilah Serikat Pekerja) adalah memperjuangkan
kepentingan buruh. Dalam menjalankan fungsinya itu sering serikat buruh
berhadapan dengan kepentingan majikan. Tidak jarang pula serikat buruh harus
13

bersitegang dengsn msjiksn. Dengan demikian wajar jika kemudian majikan tidak
senang kepada serikat buruh. Apabila terhada keadaan yang demikian itu buruh
(karena kegiatannya yang berkaitan dengan serikat buruh) diputuskan hubungan
kerjanya, maka serikat buruh akan takut menjalankan fungsinya. Artinya
menumpulkan fungsi serikat buruh. Hal ini bertentangan dengan hakikat hukum
perburuhan.
Yang berkaitan dengan pasal 8 huruf (b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER. 04/MEN/1986. Seseorang yang menetahui adanya kejahatan dan
mengetahui pelakunya wajib melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Termasuk juga apabila seorang buruh mengetahui majikannya melakukan
kejahatan. Buruh wajib melaporkan majikannya kepada pihak yang berwajib. Jika
orang yang menjalankan kewajiban yang diletakkan oleh undang-undang,
kemudian ia menerima akibat yang merugikannya, maka ada kekkhawatiran
undang-undang tersebut diputuskan hubungan kerjanya karena melaporkan
kejahatan yang dilakukan oleh majikannya bertentangan dengan kewajiban yang
diletakkan undang-undang. Oleh harus ditiadakan.
Yang berkaitan dengan pasal 8 huruf (c) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER. 04/MEN/1986. Indonesia adalah Negara yang ber-bhineka Tunggal
Ika. Negara mengakui adanya berbagai paham, agama, aliran, suku, golongan dan
sebaginya. Oleh karena itu tentu tidak dibenarkan (misalnya) seorang majikan
yang beragama islam memutuskan hubungan kerja dengan buruh yang beragama
Kristen, semata-mata karena buruh beragama keristen. Jika ini terjadi jelas
bertentangan dengan Pancasila.
Disamping hal-hal yang diutarakan di muka masih terdapat larangan
pemutusan hubungan kerja sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER. 04/MEN/1989 tentang larangan Pemutusan hubungan kerja
bagi pekerja wanita kareana Menikah, Hamil dan Melahirkan. Pasal 2 Peraturan
Menteri ini menegaskan bahwa pengusaha dilarang mengadakan pemutusan
hubungan kerja bagi pekerja wanita karena menika, hanil, atau melahirkan, baik
dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu.
5. Ancaman Pidana
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tidak memuat ancaman pidana bagi
majikan yang melanggar ketentuan-ketentuan tentang pemutusan hubungan
14

kerja.Sanksi maksimal adalah kebatalan. Pasal 10 menegaskan bahwa pemutusan
hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena
hukum. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986 juga tidak
memuat ancaman pidana.
Berbeda dengan dua peraturan perundang-undangan di atas adalah ketentuan
yang dimuat dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986.
Peraturan Menteri ini memuat ancaman pidana bagi majikan . Pasal 6 menegaskan
bahwa pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 1, pasal 2, pasal 3 dan pasal 4
diancam dengan hubungan kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dengan
setinggi-tingginya Rp 100.000,00.
Apakah yang istimewa dalam pelarangan pemutusan hubungan kerja bagi
buruh wanita yang menikah, hamil, atau melahirkan, sehingga tidak cukup dikenai
sanksi kebatalan, melainkan sanksi pidana? Menurut hemat penulis sesungguhnya
tidak ada yang istimewa dalam pelarangan tersebut. Artinya kita tidak dapat
mengatakan bahwa buruh wanita yang menikah, hamil atau melahirkan harus
lebih dilindungi dari pemutusan hubungan kerja daripada buruh sebagaimana
tercantum dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 maupun
pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986.
Yang menjadikan istimewa sehingga pPeraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER. 04/MEN/1986 perlu menyertakan ancaman pidana(mungkin) adanya
kenyataan bahwa buruh yang diputuskan hubungan kerjanya tanpa prosedur yang
diwajibkan dan tanpa izin dan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, padahal izin ini
diharuskan. Dalam banyak hal buruh yang diputuskan hubungan kerjanya ini tidak
dapat berbuat apa-apa. Meskipun secara hukum pemutusan hubungan kerja yang
demikian itu batal, tetapi buruh menghadapidilema yang sulit. Menerima
pemutusan hubungan kerja berati kerja ia kehilangan mata pencarian, menolak
berati ia butuh perjuangan panjang yang memerlukan tenaga, pikiran, waktu dan
uang. Katakanlah misalnya buruh berhasil membatalkan pemutusan hubungan
kerja tersebut, ia masih berhadapan dengan situasi dan kondisi yang sulit, sebab
pada dasarnya ia sudah tidak dikehendaki oleh majikan. Pengembangan karier
mustahil dapat diraih dalam keadan demikian.
Oleh karena itu ancaman pidana perlu disertakan untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan di atas. Dengan ancaman pidana diharapkan majikan

15

akan berpikir secara mendalam untuk memutuskan hubungan kerja dengan
buruhnya. Akhir-akhir ini banyak ketentuan dalam bidang perburuhan yang
menyertakan ancaman pidana atas pelanggarannya, misalnya ketentuan tentang
Upah minimum dan tentang jaminan sosial Tenaga Kerja. Di masamasa yang akan
datang ancaman pidana dapat dijadikan salah satu alternatif untuk lebih
memberikan perlindungan kepada buruh. Meskipun harus kita akui, bahwa
penegak sanksi pidana yang berkaitan dengan masalah perburuhan masih sangat
perlu ditingkatkan.
6. Uang Pesangon Uang dan Ganti Kerugian
Apabila Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin pemutusan
hubungan kerja, maka dapat ditetapkan pula kewajiban majikan untuk
memberikan kepada buruh yang diputuskan hubungan kerjanya uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian (pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 12
Tahun1964). Penetapan besarnya uang pesangon,uang jasa dan ganti kerugian
diatur dalam peraturan Menteri Perburuhan (ayat 3).
Sebagai peraturan pelaksanaan ayat (3) tersebut semula dalam Peraturan
Menteri Nomor 9 Tahun 1964 tentang penetapan besarnya uang pesangon, uang
jasa dan ganti kerugian lainnya serta pengertian upah untuk keperluan pemberian
uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya, dan saat ini telah diganti
dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986 tentang tata
cara pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon,uang jasa dan ganti
kerugian. Dari kedua peraturan menteri ini diperoleh kesimpulan bahwa
sesungguhnya tidak ada perbedaanyang prinsip antara uang pesangon dengan
uang jasa, hanya saja diberikan kepada buruh (tepatnya mantan buruh ) yang masa
kerjanya lima tahun atau lebih. Jadi pemberian uang jasa lazim juga disebut
seniority bonus. Jadi pemberian uang jasa tidak dikaitkan dengan jasa buruh
kepada perusahaan (dilihat dari segi kualitasnya ) si buru sangat berjasa kepada
perusahaan, tetapi jika masa kerjanya kurang dari lima tahun, ia tidak mungkin
menerima uang jasa. Sebaliknya meskipun seorang buruh prestasinya “biasa-biasa
saja” atau mungkin malah buruk, jika masa kerjanya lebih dari lima tahun, buruh
tersebut berhak mendapatkan uang jasa.
Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya jika dikaitkan dengan uang
pesangon, uang jasa dan ganti kerugian dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

16

a. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya tanpauang pesangon maupun uang
jasa;
b. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
saja;
c. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
dan uang jasa.
Buruh diputuskan hubungan kerjanya tanpa uang pesangon maupun jasa
apabila ia melakukan kesalahan berat. Yang dimaksud kesalahan berat disini
adalah kesalahan-kesalahan yang dilakukan buruh yang terdapat dalam pasal 9
ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1986. Pasal 9 ayat
(2) menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dimaksud ayat (1) adalah
tanpa pesangon dan uang jasa.
Buruh diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon saja
apabila ia melakukan kesalahan ringan. Yang dimaksud kesalahan ringan di sini
adalah kesalahan-kesalahan dalam pasal 10 ayat (3) menegaskan bahwa buruh
yang pemutusan hubungan kerja kerjanya disebabkan karena kesalahan ringan
berhak mendapatkan pesangon.
Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
dan jasa apabila pemutusan hubungan kerja tersebut bukan karena kesalahannya.
Pasal 10 ayat (4) menegaskan bahwa buruh yang diputuskan hubungankerjanya
disebabkan bukan karena kesalahannya diberikan uang pesangon dan uang jasa.
Kalau pasal ini tidak dihubungkan dengan pasal 15 seolah-olah setiapburuh yang
diputuskan hubungan kerjanya bukan disebabkan karena kesalahannya selalu
diberikan uang pesangon dan uang jasa. Padahal tidak demikian halnya. Supaya
buruh yang diputuskan hubungan kerjanya memperoleh uang pesangon dan uang
jasa diperlukan dua syarat kumulatif, yaitu:
a. Pemutusan hubungan kerja tersebut dilakukan oleh majikan bukan karena
kesalahan buruh, baik kesalahan berat maupun kesalahan ringan;
b. Masa kerja buruh tersebut harus sudah lima tahun atau lebih.
Kesimpulan itu diperoleh karena uang jasa hanya diberikan kepada buruh yang
diputuskan hubungan kerjanya sedangkan masa kerjanya sudah lima tahunatau
lebih.
Selain kesimpulan tersebut,berdasarkan pasal 10 ayat (4) dapat pula
disimpulkan bahwa seorang buruh dapat diputuskan hubungan kerjanya oleh
majikan meskipun buruh tersebut sama sekali tidak melakukan kesalahan.

17

Kenyataannya memang demikian, dan pembukaan peluang tersebut harus
dilakukan. Sebab, jika tidak juga akan memperburuk keadaan. Misalnya: seorang
majikan dihadapkan pada pilihan, antara memutuskan hubungan dengan sebagian
buruhnya, atau perusahaannya terancam bangkrut. Jika perusahaan bangkrut tentu
saja seluruh buruh. Sementara itu, jika sebagian saja buruh yang diputuskan
hubungan kerjanya, sebagian yang lainnya masih tetap dapat bekerja. Dalam
keadaan yang demikian, meskipun tidak melakukan kesalahan, pemutusan
hubungan kerja dapat dilakukan.
Mengenai besarnya uang pesangon pasal 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER. 04/MEN/1989 menetapkan sebagai berikut.
“Besarnya uang jasa ditetapkan sekurang-kurangnya sebagai berikut:
- Masa kerja kurang dari 1 tahun............................ 1 bulan upah;
- Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 tahun.............................................. 2 bulan upah;
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 tahun.............................................. 3 bulan upah;
- Masa kerja 3 tahun atau lebih.............................. 4 bulan upah;
Sedangkan mengenai uang jasa pasal 15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER. 04/MEN/1989 menetapkan sebagai berikut:
“Besarnya uang jasa ditetapkan sekurang-kurangnya sebagai berikut:
-

Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi
kurang dari 10 tahun............................................ 1 bulan upah;
- Masa kerja 10 tahuntahun atau lebih tetapi
kurang dari 15 tahun............................................ 2 bulan upah;
- Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi
kurang dari 20 tahun............................................ 3 bulan upah;
- Masa kerja 20 tahun atau lebih tapi
kurang dari 25 tahun............................................ 4 bulan upah;
- Masa kerja 25 tahun atau lebih............................ 5 bulan upah.
Pada dasarnya penulis sependapat dengan pernyataan profesor iman soepomo
yang menegaskan bahwa istilah yang tepat dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 1964 maupun Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 9 Tahun 1964
bukannya “ganti kerugian”, melainkan cukup “penggantian” saja. Sebab
kenyataannya, baik dalam kedua peraturan tersebut maupun di dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 04/MEN/1989, tidak ada persoalan
penggantian kerugian dari majikan kepada buruh sebagai akibat kerugian yang
diderita oleh buruh, melainkan pembayaran sebagai penggantian hak-hak buruh
18

sebagaimana ditegaskan dalam pasal 16 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER. 04/MEN/1989. Pasal ini menegaskan sebagai berikut:
Ganti kerugian meliputi :
a. Ganti kerugian untuk istirahat tahunan yang belum diambil dan belum
gugur menurut perhitungan seperti tersebut dalam pasal 2 ayat (2) dan
pasal 7 Peraturan Nomor 12 Tahun 1954 tentang istirahat tahunan bagi
buruh;
b. Ganti kerugian untuk istirahat panjang bilamana perusahaan yang
bersangkutan ada peraturan istirahat panjang dan pekerja belum
mengambil istirahat itu menurut perbandingan antara masa kerja pekerja
dengan masa kerja yang ditentukan untuk dapat mengambil istilah
panjang;
c. Biaya atau ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat mana
pekerjaan itu diterima bekerja;
d. Hal lain yang ditetapkan Panitia

Penyelesaiaan Perselisihan

Perburuhan Pusat atau Panitia penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah.
Timbulnya hal yang memeperoleh ganti kerugian oleh buruh tidak dikaitkan
dengan kesalahan yang ia perbuat kesalahan berat maupun kesalahan ringan.
Meskipun buruh berbuat kesalahan, asalkan hal-hal yang tercantum dalam pasal
16 tersebut terpenuhi, ia tetap berhak atas ganti kerugian.hal ini berbeda dengan
hak terhadap uang pesangon dan uang jasa yang selalu dikaitkan dengan
kesalahan buruh.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Seorang buruh yang diputuskan kerjanya dapat memperoleh uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian secara bersama-sama;
b. Seorang buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dapat memperoleh uang
pesangon dan ganti kerugian secara bersama-sama;
c. Seorang buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dapat memperoleh unag
pesangon saja;
d. Seorang buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dapat memperoleh ganti
kerugian saja;
e. Seorang buruh yang diputuskan hubungan kerjanyaTidak dapat memperoleh
uang jasa saja.
Uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian jumlahnya selalu dikaitkan
dengan upah. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
19

PER.04/MEN/1989 menegaskan bahwa upah sebagai dasar pemberian uang
pesangon, uang jasa dan ganti kerugian terdiri atas:
a. Upah pokok;
b. Segala macam tunjangan yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya
secara berkala dan teratur;
c. Harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja dengan Cuma-Cuma
apabila harus dibayar oleh pekerja dengan subsidi, maka sebagai upah
dianggap silisih antar harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh
pekerja;
d. Penggantian perumahan yang diberikan secara Cuma-Cuma yang besarnya
100% dari upah berupa uang;
e. Penggantian untuk pengobatan dan perawatan yang diberikan secara CumaCuma yang besarnya ditetapkan 5% dari upah berupa uang.
Upah yang dijadikan dasar pemberian uang pesangon, uang jasa dang anti
kerugian yangtercantum dalam pasal diatas dapat dikatakan menguntungkan
buruh. Sebab semua buruh tunjangan dimasukan juga sebagai upah yang pada
akhirnya akan memperbesar jumlah upah. Artinya, jumlah uang pesangon, uang
jasa dang anti kerugian juga akan bertambah besar.
Selanjutnya ditentukan bahwa upah sebulan untuk pekerja yang menerima
upah harian sama dengan 25 kali upah sehari (pasal 18 ayat 2). Dalam hal pekerja
diberikan upah atas dasar perhitungan upah potongan atau borongan. Besarnya
upah sehari sama dengan pendapatan rata-rata selama tiga bulan terakhir ( pasal
18 ayat 3).
7. Skorsing
Undang-undang nomor 12 tahun 1964 tidak mengenal istilah skorsing
(schorsing ). Istilah ini dikenal dalam surat edaran menteri tenaga kerja nomor
362 tahun 1967 dan peraturan menteri tenaga kerja nomor PER.04/MEN/1989.
Proses pemberian izin oleh panitia daerah maupun panitia pusat, juga banding
kepada panitia pusat terhadap keputusan daerah biasanya memerlukan waktu yang
agak lama. Berkaitan dengan hal ini pasal 11 undang-undang nomor 12 tahun
1964 menegaskan bahwa selama izin belum diberikan atau selama keputusan
panitia pusat turun, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala
kewajibannya. Sederhananya, pengusaha tetap wajib membayar upah, buruh tetap
wajib bekerja. Kenyatannya tidaklah selalu demikian. Seorang pengusaha
bermaksud memutuskan hubungan kerja dengan buruhnya pada dasarnya sudah

20

tidak menginginkan buruh yang bersangkutan bekerja padanya. Apalagi kalau
alasan yang dijadikan dasar pemutusan hubungan kerja karena kualitas diri dan
kualitas pekerjaan buruh dianggap buruk. Di lain pihak buruh masih menuntut
haknya berupa upah selama proses pemberian izin atau banding ke panitia pusat
masih berlangsung.
Mengantisipasi keadaan tersebut (rupanya) peraturan menteri tenaga kerja
nomor PER.04/MEN/1989 mengambil jalan tengah dengan mengadakan
ketentuan tentang skorsing. Pasal 13 menegaskan bahwa selama izin pemutusan
hubungan kerja belum diberikan oleh panitia penyelesaian perselisihan
perburuhan daerah atau oleh panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat,
dan apabila diadakan tindakan skorsing, maka pekerja berhak mendapatkan upah
serendah-rendahnya 50% dan berlaku paling lama 6 bulan. Di dalam ayat (2)
ditegaskan bahwa setelah masa skorsing belum ada keputusan panitia daerah atau
panitia pusat pekerja tidak mendapatkan upah.
Pasal 13 ayat (2) tersebut di atas agak menimbulkan pertanyaan, yakni apa
yang menjadi latar belakang pembatasan waktu hanya 6 bulan buruh dapat
menikmati haknya, yakni upah. Pembatasan seperti ini menurut hemat penulis
tidak atau setidaknya kurang melindungi buruh. Dengan demikian ayat ini agak
tidak serasi dengan pasal 11 undang-undang nomor 12 tahun 1964. Pasal 11 ini
mengandung asa yang benar, yakni selama belum ada keputusan panitia daerah
atau panitia pusat tentang izin pemutusan hubungan kerja, berarti tidak ada
pemutusan hubungan kerja. Artinya masing-masing pihak (secara hukum) masih
terikat pada hak dan kewajibannya masing-masing yang timbul karena perjanjian
kerja. Oleh karena itu, seharusnya pembatasan seperti ini ditiadakan.
2.2.2 Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh
Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya oleh majikan sangat berbeda
keadaannya dengan majikan yang diputuskan hubungan kerjanya oleh buruh.
Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya oleh majikan berarti sejak saat itu ia
kehilangan mata pencarian,kehilangan perjaan, yang artinya kehilangan
kesempatan untuk menghidupi dirinya sendiri, dan tidak jarang untuk menghidupi
keluarganya. Bagi buruh diputuskan hubungan kerjanya merupakan awal
penderitaan panjang yang tidak ia ketahui kapan berakhirnya. Sementara itu
lazimnya (kalau tidak dapat disebut selalu) majikan yang diputuskan hubungan

21

kerjanya, kecuali dalam hal yang sangat khusus, tidak banyak mengalami
kesulitan. Ia “hanya” kehilangan buruh yang biasanya sangat mudah dicari
gantinya dengan buruh yang baru.
Terhadap fakata yang sangat berbeda itu pada dasarnya diterapkan ketentuan
yang sma oleh KUH perdata. Hal ini sebagai akibat adanya pandangan yang
menyamakan kedudukan majikan dengan kedudukan buruh. Fakta-fakta diatas
sebagai sumber hukum materiil begitu saja diabaikan oleh pembentuk KUH
perdata pada saat itu. Akibatnya banyak mendatangkan kesengsaraan bagi buruh
karena dengan mudah diputus hubungan kerjanya oleh majikan.
Oleh karena itu sangat tepat kelahiran undang-undang nomor 12 tahun 1964
yang menghapuskan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan undangundang tersebut. Di antara ketentuan-ketentuan yang dicabut itu adalah ketentuan
yang berkaitan dengan wewenang majikan untuk memutuskan hubungan kerja
buruhnya. Di lain pihak, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan wewenang
buruh untuk memutuskan hubungan kerja tidak dicabut. Artinya, semua ketentuan
dalam KUH perdata yang berkaitan dengan wewenang majikan untuk
memutuskan hubungan kerja buruhnya sudah tidak berlaku, sedangkan yang
berkaitan dengan wewenang buruh untuk memutuskan hubungaan kerja masih
berlaku.
Dengan persetujuan majikan pada dasarnya buruh berwenag untuk
memutuskan hubungan kerja dengan majikannya, baik untuk hubungan kerja
dengan waktu tidak tertentu maupun untuk hubungan kerja waktu tertentu yang
waktunya belum habis. Dua syarat harus dipenuhi buruh untuk dapat memutuskan
hubungan kerja, yaitu (1) mendapat persetujuan majikan, dan (2) memperhatikan
tenggang waktu pernyataan pengakhiran (pemberitahuan mengenai pengakhiran
atau putusnya hubungan kerja) yang terdapat dalam pasal 1603 h dan pasal 1603 i.
jika dua syarat ini tidak dipenuhi, maka perbuatan buruh tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum. Meskipun demikian terhadap dua syarat itu ada
perkecualiannya ( maksudnya tidak perlu persetujuan majikan dan tidak perlu
memperhatikan tenggang waktu pernyataan pengakhiran ), yaitu dalam hal buruh
membayar ganti kerugian kepada majikan dank arena alasan mendesak
sebagaimana tercantum dalam pasal 1603 n KUH perdata. Alasan mendesak bagi
buruh adalah keadaan yang sedemikian rupa sehingga mengakibatkan buruh tidak

22

layak mengharapkan untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan mendesak
dipandang ada dalam hal:
1. Apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam dengan
sungguh-sungguh si buruh, atau membiarkan bahwa perbuatan-perbuatan
semacam itu dilakukan oleh salah seorang teman serumah atau bawahannya;
2. Apabila ia membujuk atau mencoba membujuk buruh, sanak-keluarga atau
teman serumah buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
denganundang-undang atau kesusilaan baik, atau membiarkan bahwa
pembujukan atau percobaan membujuk yang demikian itu dilakukan oleh slah
seorang teman serumah atau bawahannya;
3. Apabila ia tidak membayar upah pada waktu yang ditentukan;
4. Apabila telah diperjanjikan makan dan perumahan, ia tidak menyelenggarakan
hal-hal itu sepantasnya;
5. Apabila ia tidak memberikan pekerjaan secukupnya kepada buruh yang
upahnya digantungkan pada hasil pekerjaan yang dilakukan;
6. Apabila upah buruh digantungkan pada hasil pekerjaan, majikan tidak
memberikan bantuan yang diperjanjikan atau tidak memberikan secukupnya;
7. Apabila ia sangat melalaikan kewajiban-kewajiban yang oleh perjanjian
dibebankan kepadanya;
8. Apabila majikan memerintahkan kepada buruh melekukan pekerjaan pada
majikan lain, sedangkan hal itu tidak diharuskan oleh perjanjian;
9. Apabila terus berlangsungnya hubungan kerja akan membawa bahaya bagi
jiwa buruh, kesehatannya,kesusilaannya atau nama baiknya, sedangkan hal itu
tidak diharuskan oleh perjanjian dibuat;
10. Apabila karena sakit atau sebab-sebab lain di luar kesalahan,buruh tidak
mampu melakukan pekerjaan yang diperjanjikan.
Semua janji yang menetapkan bahwa kepada buruh akan diserahkan untuk
menentukan apakah da alasan mendesak dalam arti pasal 1603 n adalah batal
(pasal 1603 p).
Disamping hal-hal yang diuraikan di atas, di dalam pasal 1603 l di tentukan
bahwa buruh yang dalam masa percobaan dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pernyataan pengakhiran. Adanya masa percobaan harus diberitahukan
lebih dulu dan tidak boleh lebih dari tiga bulan. Dalam ayat (2) ditegaskan bahwa
tiap janji dengan nama waktu percobaan tidak ditetapkan sama untuk kedua pihak
atau ditetapkan untuk waktu yang lebih lama dari tiga bulan, begitu pula tiap janji

23

dengan mana kedua pihak yang sama ditetapkan lagi suatu percobaan baru adalah
batal.
Mengenai ganti kerugian yang harus dibayar oleh buruh kepada majikan jika
ia memutuskan hubungan kerja ta