Policy Brief Konflik Lahan Perkebunan Ma
Policy Brief
Konflik Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) Desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten
Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba1
Oleh Akar Foundation2
Latar Belakang
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari tipe ekosistem, jenis flora
dan fauna, serta sumberdaya genetik. Kekayaan keanekaragaman hayati ini perlu dijaga pengelolaannya
dan dipastikan pemanfaatan dilakukan dengan lestari. Langkah-langkah konservasi menjadi perlu
dilakukan agar keanekara-gaman hayati yang ada selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan dalam kegiatan pembangunan.
Dewasa ini kawasan konservasi yang ditetapkan mencapai areal sekitar 27 juta hektar atau 21 %
dari total kawasan hutan dan perairan di Indonesia. Kawasan konservasi seluas ini diklasifikasian dalam
beberapa kategori seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam,
Taman Buru dan Taman Nasional.
Pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang luas agar tetap lestari kondisinya bukanlah
perkara mudah. Ada sejumlah tantangan yang ada. Pertama, terbatasnya tenaga pengelola di kawasan
konservasi, saat ini, hanya terdapat sekitar 3.508 orang untuk mengelola 27.108.486,54 hektar kawasan
konservasi. Artinya, rata-rata 1 orang diberi tanggung jawab untuk mengelola ± 3.552 hektar kawasan
konservasi. Kedua, terbatasnya pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk pengelolaan kawasan
konservasi. Ketiga, masih banyak kawasan konservasi yang sudah ditunjuk namun belum dikukuhkan. Hal
ini memperumit penyelesaian tata batas kawasan tersebut. Ditam-bah lagi, masih banyak kasus tumpang
tindih klaim pemilikan atau penguasaan atas kawasan di dalam maupun diluar kawasan hutan. Saat ini
terdapat sekitar 3746 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Tanpa ada kejelasan tenurial,
konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat desa akan semakin luas baik lokasi maupun para pihak
yang terlibat.3
Keempat, masih perlunya pembenahan dalam penge-lolaan kawasan mengingat sampai tahun
2014, baru 187 kawasan konservasi (35,89%) yang telah mempunyai rencana pengelolaan yang telah
disahkan dan 85 kawasan konservasi yang memiliki zonasi dan/atau blok pengelolaan.4
Dalam praktiknya, pengelolaan hutan di Indonesia yang dilakukan oleh negara mempunyai
perjalanan panjang yang bernuansa Germany scientific forestry dan scientific forestry pada awalnya
merupakan kaidah yang diterapkan bersamaan dengan kolonialisme dalam mengelola hutan untuk
menghasilkan kayu secara lestari. Sehingga, sistem pengelolaan hutan memisahkan masyarakat sekitar
1
Disampaikan sebagai rekomendasi Penyelesaian Konflik Pengelolan Hutan Taman Wisata Alam Bukit Kaba
Kabupaten Kepahiang
2
Akar Foundation adalalah NGOs yang bergerak pada issue Lingkungan, Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan dan Masyarakat Adat – www.akar.or.id
3
Santosa, A & Praputra, A.C. 2014. Laporan Studi : Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan
Konservasi. Working Group Pemberdayaan Kementrian Kehutanan. Kemitraans – FKKM: Jakarta.
4
Paper, USAID Lestari: Pengelolaan Kawasan Konservasi secara Kolaboratif.
1
hutan dengan hutan. Pendekatan kolaboratif (co-management) dan community based forest
management (CBFM) mengubah nuansa pengolaan hutan tersebut menjadi sistem pengelolaan
sumberdaya hutan bersama dan dengan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan dalam skema kolaboratif
memiliki akses yang cukup untuk berinteraksi dengan hutan serta ditempatkan pada posisi sejajar dengan
stakeholders lain dalam implementasi pengelolaan sumberdaya hutan disinilah, dalam perjalannnya
community based forest management (CBFM) mendapat ruang yang luas dalam pengelolaan hutan di
Indonesia.5
Tantangan-tantangan tersebut diatas menggarisbawahi pentingnya berbagai inisiatif untuk
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi, yang tentu saja pijakannya adalah kelestarian
ekologi yang idealis dengan mengakomodasi kebutuhan ekonomi pragmatis bagi masyarakat sebagai
salah satu stakeholder yang terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Bengkulu dan Isu Kehutanan
Provinsi Bengkulu mempunyai luas daratan sebesar 2.007.223.9 Ha. Dari daratan ini, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Keputusan ini adalah keputusan merevisi
luas beberapa kawasan hutan seperti yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
perkebunan No. 420/Kpts-II/1999, tentang kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Hutan yang ada di
Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung, hutan produksi dan konservasi. Perincian luas untuk rincian
kawasan hutan per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.1. sedangkan untuk rincian kawasan hutan
per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 .
No
1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
2
3
3.1
3.2
3.3
Sebaran luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu seluas 924.631 Ha berdasarkan
Berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012.
Fungsi Hutan
Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Taman Hutan Raya
Taman Buru
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi Terbatas
Hutas Produksi Tetap
Hutan Produksi Konversi
Luas (Ha)
TOTAL
462.965
4.300
412.325
27.630
1.748
16.962
250.750
210.916
173.280
25.873
11.763
924.613
5
Erwin Basrin, Akar Foundation-Warsi. 2015: Laporan Assessment dan Identifikasi Potesi dan Perkembangan
Community Based Forest Management (CBFM) di Bengkulu.
2
Tabel 2.2.
Sebaran luas kawasan hutan (dalam hektar) per kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu
berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012. Areal hutan yang telah ditetapkan
menjadi area pemanfaatan lain (APL) berdasarkan SK Menhut No.784/Menhut-II/2012
tidak dimasukkan dalam table dibawah.
Kabupaten
Fungsi
Tahura
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Bengkulu Selatan
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Mukomuko
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Hutan Produksi
Konversi
TB
Taman Nasional
Bengkulu Utara
Taman Wisata Alam
Cagar Alam
Nama Kawasan
Tahura BT. Rabang
TWA Lubuk Tapi Kayu Ajaran
HL BT.Riki
Luas (Ha)
586
8,7
4.150,1
HL. BT. Rajamendara
HL BT. Sanggul
HP Air Bengkenang
HPT Bt Rabang
HPT Peraduan Tinggi
HP
T Air Kedurang
CA Air Rami II
CA Muko-muko Register 88a
Taman Nasional Kerinci Seblat
TWA Air Rami II
TWA Air Hitam Reg 102
TWA Mukomuko I
TWA PLG Seblat
HP Air Dikit
HP Air Rami
HP Air Temarang
HPT Air Ipuh I
HPT Air Ipuh II
HPT Air Manjunto Reg 62
HPT Lebong Kandis
Hutan Produksi Konversi
20. 574
8.017,6
1.704,2
4.970,8
8.160,5
1.108,5
42,7
73,3
150.036
59,6
295,5
301,4
1.347,2
2.252,9
4.460,8
4.818,5
19.659,9
16.734,9
24.811,0
2.415,3
2.885,4
TB Gn Nanua
Taman Nasional Kerinci Seblat
TWA Air Rami II
TWA Air Rami I
TWA PLG Seblat
CA Air Seblat
CA Kioyo I
7.754,8
71.702,7
56,9
69,9
6.389,9
97
598,6
3
Kabupaten
Fungsi
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Lebong
Hutan Produksi
Konversi
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
HPT
Cagar Alam
Kepahiang
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Kota Bengkulu
Cagar Alam
Taman Wisata Alam
Cagar Alam
Seluma
Taman Buru
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Terbatas
Nama Kawasan
CA Kioyo II
CA S Baheuwo
CA Tg Laksaha
HL BT Daun
HL Kokobuwabuwa
HP Air Rami
HPT Air Ketahun
HPT Hulu Malakoni
HPT Lebong Kandis
Hutan Produksi Konversi
CA Danau Menghijau
TN Kerinci Seblat
TWA Danau TES
HL BT Daun
HL Rimbo Pengadang
HPT Air Ketahun
CA Pagar Gunung 1
CA Pagar Gunung 2
CA Pagar Gunung 3
CA Pagar Gunung 4
CA Pagar Gunung 5
TWA Bt Kaba
HL BT Balai Rejang
HL BT Daun
HL Konak
HL Rimbo Donok
CA Danau Dusun Besar Reg 61
TWA Pantai Panjang dan P. Baai
Reg 9
CA Air Alas
CA Pasar Ngalam Reg 92
CA Pasar Seluma Reg 93
CA Pasar Talo Reg 94
TB Semidang Bt Kabu
HL BT Daun
HL BT Sanggul
HPT Air Talo
HPT Bt Badas Reg 76
Luas (Ha)
164,2
1.424,2
372,9
37.460
3.364,6
9.549,3
16.508,9
2.390,5
26.142,9
8.877,2
154,1
98.287,2
2.724,5
15.063,2
2.487,5
45,5
5,8
2,4
0,3
0,2
0,1
8.459,2
1.161,1
7.027
12,5
362,2
508,7
1.172,8
47,1
230,7
172,7
298,1
5.417,2
8,4
66.524,9
2.282
10.598,7
4
Kabupaten
Fungsi
Rejang Lebong
CA
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Cagar Alam
Tahura
Taman Buru
Bengkulu Tengah
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Kaur
Hutan Produksi
Terbatas
TOTAL
Nama Kawasan
HPT Bt Rabang
CA Talang Ulu I
CA Talang Ulu II
TN Kerinci Sebelat
TWA Bukit Kaba
HL Bukit Balai Rejang
HL Bukit Daun
HPT Bukit Basa
CA Danau Dusun Besar Reg 61
CA Taba Penanjung I
CA Taba Penanjung II
Tahura Rajolelo
TB Semidang Bt Kabu
HL BT Daun
HL BT Sanggul
HP Rindu Hati I
HP Rindu Hati II
HP Semidang BT Kabu
HPT BT Daun
TN Bukit Barisan
TWA Way Hawang
HL BT Rajamendara
HP Air Sambat
HPT Air Kinal
HPT Bt Kumbang
HPT Bukit Kumbang
HPT Kaur Tengah
HPT Air Kedurang
Luas (Ha)
2.827,5
0,5
0,1
25.815,6
6.666,8
16.057
4.762,9
125,4
101,8
1,7
2
1.161,7
3.790,3
19.115,5
7,4
191,3
165,9
660,5
2.927,2
66.483,1
77,8
44.593,4
2.069,4
6.794,6
7.419,5
1.299,7
12.463,3
3.593,5
924.631
Dari data luas kawasan hutan Provinsi Bengkulu ini dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Provinsi
Bengkulu sebagian besar merupakan kawasan lindung, yang berupa kawasan suaka dan pelestarian alam
serta hutan lindung. Kondisi ini tentu memiliki tantangan sendiri dan memerlukan penanganan
pengelolaan yang spesifik yang berbeda dengan pengelolaan kawasan yang didominasi hutan produksi.
Dominannya keberadaan hutan konservasi dan lindung ini seringkali memang dianggap sebagai beban
daripada peluang untuk berinovasi. Namun, di tengah semakin menguatnya isu perubahan iklim,
program-program yang bersifat melestarikan hutan dan peningkatan tutupan hutan dapat menjadi
unggulan.
5
Kondisi Hutan dan Pola Ruang di Kabupaten Kepahiang
Di Kabupaten Kepahiang terdapat tiga Status dan Fungsi Kawasan hutan yaitu Kawasan Suaka
Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Hutan Lindung. Untuk kawasan konservasi terutama untuk Taman
wisata alam, luas taman wisata alam di Kabupaten Kepahiang merujuk pada RTRW Provinsi Sesuai yang
telah ditetapkan dalam TGHK adalah Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba seluas 13.490,00 Ha, yang
terletak di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong dan luas TWA yang merupakan deliniasi wilayah
Kabupaten Kepahiang adalah 8.518 Ha. Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong mengajukan pelepasan
kawasan hutan seluas 6.350 ha.
Saat ini, seperti data tutupan hutan yang di keluarkan oleh Ditjet Planologi Kementerian
Kehutanan, tahun 2011 menunjukan kondisi hutan di Kepahiang sebagai berikut;
Taman Wisata
Alam
Kepahiang
Hutan Lindung
Hutan sekunder
Semak belukar
Pertanian campuran
Hutan primer
Hutan sekunder
Semak belukar
Non vegetasi
Pertanian campuran
1.537,6
620,4
6.301,0
17,5
744,1
576,5
10,1
7.215,0
18,2
7,3
74,5
0,2
8,7
6,7
0,1
84,3
Berdasar pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Rencana Struktur Ruang Kabupaten Kepahiang
mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam
wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan wilayah kabupaten. Untuk melayani kegiatan skala kabupaten tersebut dihubungkan
dengan berbagai sistem jaringan yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah
hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya
Perencanaan tata ruang dan kebutuhan masyarakat akan ruang kelola berkontribusi pada kondisi
hutan, reforestasi terjadi sebagian besar di karenakan oleh kebutuhan rakyat dalam pemanfaatan ruang
untuk kawasan perkebunan rakyat. Dalam perencanaan ruang di Kabupaten Kepahiang pada tahun 2031
adalah seluas 47.794,09 Ha yang terdistribusi di beberapa kecamatan. Alokasi lahan ini untuk memenuhi
kebutuhan komoditi unggulan perkebunan rakyat di Kabupaten Kepahiang diantaranya yaitu kopi, kakau,
cengkeh, lada, kemiri, kayu manis, aren, serta mendukung program Bupati Kepahiang penanaman sengon
dengan program unggulan Siluna seta penanaman lainya. Dan, saat ini Pengembangan agroindustri
dengan fungsi yang didasarkan pada potensi (basis komoditas) perkebunan dan pengembangan pusat
pengumpul dan distribusi bagi pertanian perkebunan dengan memperhatikan jarak minimum (mudah
dijangkau) adalah strategi bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kepahiang.
Pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan pemanfaatan yang berbasis
pada kekayaan alam. Jejak pembukaan jejaring sarana terutama infrastruktur ini secara konsisten
menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati
6
masyarakat terutama akibat dari proses deforestasi ketika terjadi alih fungsi kawasan hutan. Perubahan
iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh Massive-nya
deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu
lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial.
Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang
dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Namun penting dicatat bahwa upaya kebijakan penataan ruang pada seharusnya sudah bekerja
ke arah penanganan dampak perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi
CO2. Pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan konvensional tata-guna lahan ke
arah perwujudan pembangunan berkelanjutan. Penataan ruang memiliki kemampuan untuk mengusung
perubahan yang hakiki bagaimana pembangunan dilaksanakan untuk berkontribusi positif.
Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan
risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar. Rendahnya manfaat yang dinikmati
masyarakat dari kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan di satu sisi menjadi argumen yang kerap
digunakan mendorong upaya pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu
pemahaman dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk
pemanfaatan sumber daya alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi kehidupan
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.6
Politik Kebijakan; Reposisi Ruang dengan Pendekatan Kolaboratif
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan kolaboratif (co-management) dalam pengelolaan
kawasan konservasi sudah lama dipromosikan oleh berbagai pihak. Pendekatan Co-Management adalah
sebuah kerangka kerja yang menggambarkan suatu situasi dimana satu atau lebih aktor sosial
menegosiasikan, mendefinisikan dan menyepakati diantara mereka sendiri.
Secara implementatif pendekatan kolaboratif dan skema community based forest management
(CBFM) menyasar kelompok komunitas mengelola hutan, atau pengelolaan hutan negara di mana
masyarakat memiliki hak akses dan kontrol atas kawasan hutan yang dibebani hak oleh negara dalam
pengelolaannya. Sebagai kelompok yang memiliki akses kelola lebih mungkin mengadopsi perspektif
jangka panjang dan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan dan mampu menahan laju deforestasi dan
melindungi kehidupan komunitas pengelola hutan selain mampu untuk menjamin ketahanan pangan,
keanekaragaman budaya, kesatuan sosial dan pasar serta mengimplemtasi praktik-praktik demokratik
serta distribusi kekayaan yang lebih merata.7
Berkenaan dengan pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan
sumberdaya tertentu serta menjamin adanya pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut.
Lebih spesifik lagi, pengelolaan kolaboratif merupakan proses mengembangkan kerjasama antar pihak
yang relevan, terutama antara masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai
6
Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-ProRep, 2015. Laporan Program Mendorong Kebijakan Daerah untuk Resolusi Konflik
dan Reposisi Ruang Kelola Rakyat di Bengkulu.
7 Pramasty ayu Kusdinar, Akar Foundation-Scale Up, 2016. Laporan Program Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam
Memperoleh Akses Kelola dan Pengakuan Hak Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di Rejang Lebong
Propinsi Bengkulu.
7
kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Beberapa alasan substantif berkaitan dengan pentingnya comanagement itu dalam pengelolaan kawasan konservasi:8
1. Upaya konservasi membutuhkan kapasitas dan pelibatan masyarakat secara keseluruhan,
tidak hanya para ahli konservasi, kaum professional serta pihak pemerintah
2. Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam mengkaitkan kepentingan
keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi ruang bagi masyarakat lokal dan
adat untuk secara aktif dan terberdayakan selama kolaborasi berlangsung;
3. Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam prinsip kesetaraan dan keadilan, baik
pembagian biaya dan manfaat yang diterima baik dalam perlindungan keanekaragaman
hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun pemanfaatannya.
4. Upaya konservasi menuntut penghormatan terhadap hak-hak social ekonomi masyarakat.
Prinsip do o har
dala pelaksa aa ko servasi pe ti g dikedepa ka agar tidak
memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan social-ekonomi masyarakat yang tinggal
didalam dan disekitar kawasan. Apabila memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk
memberi dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting mengingat
masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan konservasi sebelum kawasan tersebut
ditetapkan. Karenanya menegasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi
sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap
kawasan cukup tinggi. Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya
pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang telah diberikan
Negara selayaknya menjadi landasan dalam memba-ngun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam
kerangka pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterkan masyarakat.9
Dalam konteks mendukung program pendekatan kolaboratif (co-management), lahirnya UU No.
23/2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 14 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumberdaya mineral di bagi antara
pemerintah pusat dan daerah propinsi, kecuali Taman Hutan Raya yang pengelolaannya menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota (pasal 14, ayat 2).
Selain itu, pergerakan perhutanan sosial atau community based forest management (CBFM)
sudah berkembang sejak tahun 1980an. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berada di dalam dan di sekitar hutan melalui pemberdayaaan masyarakat dengan memperhatikan
aspek kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa penguatan kapasitas dan pemberian akses terhadap
kawasan. Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo yang dicanangkan sejak 2014 lalu salah satunya
adalah terwujudnya wilayah kelola rakyat di areal hutan minimal seluas 12,7 juta hektar. Dampak dari
target tersebut, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup danKehutanan (KLHK) menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab memastikan
angka ini tercapai. Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan, misalnya, merupakan skema-skema yang harus didorong manifestasinya karena pemberian
8
Erwin Basrin dan Rahabilah Firdha, Akar Foundation-Siemenpuu Foundation. 2012: Laporan Study Dominasi Penguasaan
Kawasan Hutan Konservasi, Study Kasus di Wilayah Marga Jurukalang Kabupaten Lebong.
9 Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Intitute. 2016: Laporan Riset Aksi Pemetaan
Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu.
8
izin atas skema-skema perhutanan sosial tersebut akan menjadi bukti dari terwujudnya perluasan wilayah
kelola rakyat.
Pendekatan kolaboratif (co-management) diharapkan dapat mengurangi konflik yang sering
terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah mengenai penggunaan hutan. Hutan memang
merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekitar dan di dalamnya. Secara implementatif,
ruang-ruang kebijakan memungkin untuk dilakukan pendekatan kolaboratif (co-management) yang
meilbatkan para pihak dalam tata kelola hutan terutama kelompok-kelompok masyarakat sekitar dan
didalam hutan yang mempunyai ketergantungan yang tinggi akan hutan baik untuk kebutuhan ekonomi,
fungsi ekologi maupun fungsi pertahanan (security land). Ruang-ruang kebijakan berlaku yang
menemukan kepentingan kelestarian fungsi kawasan hutan dan kebutuhan masyarakat di atur di dalam
beberapa kebijakan dan skema kolaboratif (co-management).
-
-
-
Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
UU ini menyebutkan unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Ekosistem sumber daya alam
hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati
yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Salah satu fungsi kawasan konservasi yang
dimaksud adalah Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan
untuk pariwisata dan rekreasi alam. Merujuk pada Pasal 7; Perlindungan sistem penyangga kehidupan
ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pada Pasal 8; Untuk
mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan: a. wilayah
tertentu sebagai wilayah perlindungan system penyangga kehidupan; b. pola dasar pembinaan
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah
perlindungan system penyangga kehidupan.
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di dalam Pasa 3 menyebutkan bahwa UU ini disusun
bertujuan untuk memastikan Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a. menjamin keberadaan hutan
dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan
yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. meningkatkan daya dukung
daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.48/Menhut-II/2010 Tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan
Taman Wisata Alam. Dalam Permenhut ini menyatakan bahwa Permohonan IUPJWA di Taman
Nasional dan Taman Wisata Alam, dapat diajukan oleh: a. perorangan; b. badan usaha milik negara;
c. badan usaha milik daerah; d. badan usaha milik swasta; atau e. koperasi. Pemberian IUPJWA
perorangan diprioritaskan bagi masyarakat sekitar kawasan termasuk masyarakat setempat.
9
-
-
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.3/Menhut-II/2014 Tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2014 yang
Dilimpahkan Kepada Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk
menjamin keselarasan senergisitas antar output kegiatan Dekonsentrasi Bidang Kehutanan terutama
dalam rangka penurunan konflik, perambahan kawasan hutan, illegal logging dan wildlife traficking
sampai dengan di batas daya dukung sumberdaya hutan, Populasi spesies prioritas utama yang
terancam punah meningkat sebesar 1,5% dari kondisi Tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat dan
Terbentuknya 12 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peran serta pelaku utama dan pelaku
usaha dalam pemberdayaan masyarakat.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Permenhut ini untuk merespon
upaya untuk mengurangi kemiskinan, pengganguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan
kawasan hutan serta memeberikan akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan
Hutan desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan
masyarakat hokum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Pada
bagian ke empat dalam Permenhut ini bahwa pelaku Kemitraaan Kehutanan adalah masyarakat
sekitar hutan dengan alokasi areal kerja paling luas 2 (dua) hektar untuk setiap Kepala Keluarga dan
luas areal kerja pemegang izin paling luas 5 (lima) ha untuk setiap keluarga.
Penyelesaian Kasus
Berangkat dari pengalaman yang telah dilaksanakan oleh Akar Foundation, maka dalam menindak lanjuti
Penyelesaian kasus Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten
Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba. Hal-hal penting yang
harus dilakukan adalah;
- Kelembagaan Masyarakat dan Tata Kelola Kawasan
Terdapat empat faktor kunci yang menjadi bahan utama dalam penguatan kelembagaan
masyarakat antara lain; pertama peningkatan kapasitas atau pengetahuan masyarakat terhadap
kawasan. Hal ini dilakukan dengan cara menginventaris potensi kawasan secara partisipatif. Kedua,
penyusunan rencana pengelolaan kawasan, yang terdiri dari rencana umum (jangka panjang) dan
rencana operasional ( jangka pendek). Hal-hal yang tertuang dalam rencana pengelolaan kawasan
meliputi kondisi bio fisik, identifikasi kondisi sosial ekonomi, potensi areal kerja dan kelembagaan.
Selain itu, rencana pengelolaan kawasan tersebut juga harus mengacu pada pengembangan usaha
non-timber forest product (NTFP), usaha jasa lingkungan, tanaman bawah tegakan, rencana
perlindungan hutan, rencana pengembangan kelompok dan perencanaan lainnya. Penyusunan
rencana pengelolaan kawasan tersebut haruslah berpatok pada status kawasan, kondisi hutan,
kearifan tata kelola hutan dan isu yang berkembang.
- Diskursus Pulik dan Advokasi Kebijakan
Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan
juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dalam pengelolan kawasan konservasi. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan
penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara
10
langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menemukan resolusi konflik,
implementasi Peacekeeping adalah upaya untuk menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan
melalui intervensi keamanan yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.10
Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik
dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit.
Sedangkan Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik,
dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng, dan dalam parekteknya diharapkan
negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat
merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Usaha-usaha penyelesaian konflik melalui proses Peacemaking dan Peacebuilding ini haruslah
terlegitimasi secara tegas dalam Kebijakan Daerah, sehingga usaha untuk mereduksi gangguan dan
konflik pada sektor Kehutanan dan Perkebunan Rakyat di Bengkulu baik yang bersifat horisontal
maupun vertikal yang terkait dengan politik ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan yang
diperlukan penanganan secara terpadu memiliki kekuatan hukum sekaligus kekuatan politik yang
kuat.
Karena Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang
mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik. Dan usaha
pencegahan konflik dilakukan untuk:
memelihara k o n d i s i d a m a i d a l a m m a s y a r a k a t d i sekitar Perkebunan
mengembangkan s i s t e penyelesaian perselisihan secara damai
melakukan sosialisasi merata ke masyarakat
meredam potensi konflik antara masyarakat, pelaku usaha bidang lain dan pelaku usaha
perkebunan; dan e. membangun sistem peringatan dini.
Urgensi penyelesain terhadap konflik yang terjadi ini haruslah segera dilaksanakan dan Negara
tentu harus hadir dalam memfasilitasi dan mereduksi konflik kehutanan dengan perkebunan Rakyat yang
ada di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Paska pelaksaan resolusi konflik, kepastian kelola hutan
oleh rakyat harus mengarah pada Akses modal. Kendala terbesar untuk memastikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sehingga kemudahan akses modal oleh petani pengarap haruslah dibuka
ruang seluas-luasnya, baik oleh Perbankkan maupun institusi resmi dan institusi swasta melalui
Coorporate Social Responsibility (CSR). Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses fasilitasi
pembangunan Kehutanan baik Pemerintah, Universitas, Swasta maupun Civil Society Organization (CSO)
atau Organisasi Masyarakat Sipil harus memastikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam proses
fasilitasi yang dilakanakan.
10
Akar Foundation-ProRep USAID, 2015; Policy Recommendation Resolusi Konflik Kehutanan dan Perkebunan
11
Konflik Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) Desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten
Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba1
Oleh Akar Foundation2
Latar Belakang
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari tipe ekosistem, jenis flora
dan fauna, serta sumberdaya genetik. Kekayaan keanekaragaman hayati ini perlu dijaga pengelolaannya
dan dipastikan pemanfaatan dilakukan dengan lestari. Langkah-langkah konservasi menjadi perlu
dilakukan agar keanekara-gaman hayati yang ada selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan dalam kegiatan pembangunan.
Dewasa ini kawasan konservasi yang ditetapkan mencapai areal sekitar 27 juta hektar atau 21 %
dari total kawasan hutan dan perairan di Indonesia. Kawasan konservasi seluas ini diklasifikasian dalam
beberapa kategori seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam,
Taman Buru dan Taman Nasional.
Pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang luas agar tetap lestari kondisinya bukanlah
perkara mudah. Ada sejumlah tantangan yang ada. Pertama, terbatasnya tenaga pengelola di kawasan
konservasi, saat ini, hanya terdapat sekitar 3.508 orang untuk mengelola 27.108.486,54 hektar kawasan
konservasi. Artinya, rata-rata 1 orang diberi tanggung jawab untuk mengelola ± 3.552 hektar kawasan
konservasi. Kedua, terbatasnya pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk pengelolaan kawasan
konservasi. Ketiga, masih banyak kawasan konservasi yang sudah ditunjuk namun belum dikukuhkan. Hal
ini memperumit penyelesaian tata batas kawasan tersebut. Ditam-bah lagi, masih banyak kasus tumpang
tindih klaim pemilikan atau penguasaan atas kawasan di dalam maupun diluar kawasan hutan. Saat ini
terdapat sekitar 3746 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Tanpa ada kejelasan tenurial,
konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat desa akan semakin luas baik lokasi maupun para pihak
yang terlibat.3
Keempat, masih perlunya pembenahan dalam penge-lolaan kawasan mengingat sampai tahun
2014, baru 187 kawasan konservasi (35,89%) yang telah mempunyai rencana pengelolaan yang telah
disahkan dan 85 kawasan konservasi yang memiliki zonasi dan/atau blok pengelolaan.4
Dalam praktiknya, pengelolaan hutan di Indonesia yang dilakukan oleh negara mempunyai
perjalanan panjang yang bernuansa Germany scientific forestry dan scientific forestry pada awalnya
merupakan kaidah yang diterapkan bersamaan dengan kolonialisme dalam mengelola hutan untuk
menghasilkan kayu secara lestari. Sehingga, sistem pengelolaan hutan memisahkan masyarakat sekitar
1
Disampaikan sebagai rekomendasi Penyelesaian Konflik Pengelolan Hutan Taman Wisata Alam Bukit Kaba
Kabupaten Kepahiang
2
Akar Foundation adalalah NGOs yang bergerak pada issue Lingkungan, Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan dan Masyarakat Adat – www.akar.or.id
3
Santosa, A & Praputra, A.C. 2014. Laporan Studi : Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan
Konservasi. Working Group Pemberdayaan Kementrian Kehutanan. Kemitraans – FKKM: Jakarta.
4
Paper, USAID Lestari: Pengelolaan Kawasan Konservasi secara Kolaboratif.
1
hutan dengan hutan. Pendekatan kolaboratif (co-management) dan community based forest
management (CBFM) mengubah nuansa pengolaan hutan tersebut menjadi sistem pengelolaan
sumberdaya hutan bersama dan dengan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan dalam skema kolaboratif
memiliki akses yang cukup untuk berinteraksi dengan hutan serta ditempatkan pada posisi sejajar dengan
stakeholders lain dalam implementasi pengelolaan sumberdaya hutan disinilah, dalam perjalannnya
community based forest management (CBFM) mendapat ruang yang luas dalam pengelolaan hutan di
Indonesia.5
Tantangan-tantangan tersebut diatas menggarisbawahi pentingnya berbagai inisiatif untuk
meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi, yang tentu saja pijakannya adalah kelestarian
ekologi yang idealis dengan mengakomodasi kebutuhan ekonomi pragmatis bagi masyarakat sebagai
salah satu stakeholder yang terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Bengkulu dan Isu Kehutanan
Provinsi Bengkulu mempunyai luas daratan sebesar 2.007.223.9 Ha. Dari daratan ini, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 784/Menhut-II/2012. Keputusan ini adalah keputusan merevisi
luas beberapa kawasan hutan seperti yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
perkebunan No. 420/Kpts-II/1999, tentang kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Hutan yang ada di
Provinsi Bengkulu adalah hutan lindung, hutan produksi dan konservasi. Perincian luas untuk rincian
kawasan hutan per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.1. sedangkan untuk rincian kawasan hutan
per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 .
No
1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
2
3
3.1
3.2
3.3
Sebaran luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu seluas 924.631 Ha berdasarkan
Berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012.
Fungsi Hutan
Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Taman Hutan Raya
Taman Buru
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi Terbatas
Hutas Produksi Tetap
Hutan Produksi Konversi
Luas (Ha)
TOTAL
462.965
4.300
412.325
27.630
1.748
16.962
250.750
210.916
173.280
25.873
11.763
924.613
5
Erwin Basrin, Akar Foundation-Warsi. 2015: Laporan Assessment dan Identifikasi Potesi dan Perkembangan
Community Based Forest Management (CBFM) di Bengkulu.
2
Tabel 2.2.
Sebaran luas kawasan hutan (dalam hektar) per kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu
berdasarkan SK Menhut No. 784/Menhut-II/2012. Areal hutan yang telah ditetapkan
menjadi area pemanfaatan lain (APL) berdasarkan SK Menhut No.784/Menhut-II/2012
tidak dimasukkan dalam table dibawah.
Kabupaten
Fungsi
Tahura
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Bengkulu Selatan
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Mukomuko
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Hutan Produksi
Konversi
TB
Taman Nasional
Bengkulu Utara
Taman Wisata Alam
Cagar Alam
Nama Kawasan
Tahura BT. Rabang
TWA Lubuk Tapi Kayu Ajaran
HL BT.Riki
Luas (Ha)
586
8,7
4.150,1
HL. BT. Rajamendara
HL BT. Sanggul
HP Air Bengkenang
HPT Bt Rabang
HPT Peraduan Tinggi
HP
T Air Kedurang
CA Air Rami II
CA Muko-muko Register 88a
Taman Nasional Kerinci Seblat
TWA Air Rami II
TWA Air Hitam Reg 102
TWA Mukomuko I
TWA PLG Seblat
HP Air Dikit
HP Air Rami
HP Air Temarang
HPT Air Ipuh I
HPT Air Ipuh II
HPT Air Manjunto Reg 62
HPT Lebong Kandis
Hutan Produksi Konversi
20. 574
8.017,6
1.704,2
4.970,8
8.160,5
1.108,5
42,7
73,3
150.036
59,6
295,5
301,4
1.347,2
2.252,9
4.460,8
4.818,5
19.659,9
16.734,9
24.811,0
2.415,3
2.885,4
TB Gn Nanua
Taman Nasional Kerinci Seblat
TWA Air Rami II
TWA Air Rami I
TWA PLG Seblat
CA Air Seblat
CA Kioyo I
7.754,8
71.702,7
56,9
69,9
6.389,9
97
598,6
3
Kabupaten
Fungsi
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Lebong
Hutan Produksi
Konversi
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
HPT
Cagar Alam
Kepahiang
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Kota Bengkulu
Cagar Alam
Taman Wisata Alam
Cagar Alam
Seluma
Taman Buru
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Terbatas
Nama Kawasan
CA Kioyo II
CA S Baheuwo
CA Tg Laksaha
HL BT Daun
HL Kokobuwabuwa
HP Air Rami
HPT Air Ketahun
HPT Hulu Malakoni
HPT Lebong Kandis
Hutan Produksi Konversi
CA Danau Menghijau
TN Kerinci Seblat
TWA Danau TES
HL BT Daun
HL Rimbo Pengadang
HPT Air Ketahun
CA Pagar Gunung 1
CA Pagar Gunung 2
CA Pagar Gunung 3
CA Pagar Gunung 4
CA Pagar Gunung 5
TWA Bt Kaba
HL BT Balai Rejang
HL BT Daun
HL Konak
HL Rimbo Donok
CA Danau Dusun Besar Reg 61
TWA Pantai Panjang dan P. Baai
Reg 9
CA Air Alas
CA Pasar Ngalam Reg 92
CA Pasar Seluma Reg 93
CA Pasar Talo Reg 94
TB Semidang Bt Kabu
HL BT Daun
HL BT Sanggul
HPT Air Talo
HPT Bt Badas Reg 76
Luas (Ha)
164,2
1.424,2
372,9
37.460
3.364,6
9.549,3
16.508,9
2.390,5
26.142,9
8.877,2
154,1
98.287,2
2.724,5
15.063,2
2.487,5
45,5
5,8
2,4
0,3
0,2
0,1
8.459,2
1.161,1
7.027
12,5
362,2
508,7
1.172,8
47,1
230,7
172,7
298,1
5.417,2
8,4
66.524,9
2.282
10.598,7
4
Kabupaten
Fungsi
Rejang Lebong
CA
Cagar Alam
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Cagar Alam
Tahura
Taman Buru
Bengkulu Tengah
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi
Terbatas
Taman Nasional
Taman Wisata Alam
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Kaur
Hutan Produksi
Terbatas
TOTAL
Nama Kawasan
HPT Bt Rabang
CA Talang Ulu I
CA Talang Ulu II
TN Kerinci Sebelat
TWA Bukit Kaba
HL Bukit Balai Rejang
HL Bukit Daun
HPT Bukit Basa
CA Danau Dusun Besar Reg 61
CA Taba Penanjung I
CA Taba Penanjung II
Tahura Rajolelo
TB Semidang Bt Kabu
HL BT Daun
HL BT Sanggul
HP Rindu Hati I
HP Rindu Hati II
HP Semidang BT Kabu
HPT BT Daun
TN Bukit Barisan
TWA Way Hawang
HL BT Rajamendara
HP Air Sambat
HPT Air Kinal
HPT Bt Kumbang
HPT Bukit Kumbang
HPT Kaur Tengah
HPT Air Kedurang
Luas (Ha)
2.827,5
0,5
0,1
25.815,6
6.666,8
16.057
4.762,9
125,4
101,8
1,7
2
1.161,7
3.790,3
19.115,5
7,4
191,3
165,9
660,5
2.927,2
66.483,1
77,8
44.593,4
2.069,4
6.794,6
7.419,5
1.299,7
12.463,3
3.593,5
924.631
Dari data luas kawasan hutan Provinsi Bengkulu ini dapat dilihat bahwa kawasan hutan di Provinsi
Bengkulu sebagian besar merupakan kawasan lindung, yang berupa kawasan suaka dan pelestarian alam
serta hutan lindung. Kondisi ini tentu memiliki tantangan sendiri dan memerlukan penanganan
pengelolaan yang spesifik yang berbeda dengan pengelolaan kawasan yang didominasi hutan produksi.
Dominannya keberadaan hutan konservasi dan lindung ini seringkali memang dianggap sebagai beban
daripada peluang untuk berinovasi. Namun, di tengah semakin menguatnya isu perubahan iklim,
program-program yang bersifat melestarikan hutan dan peningkatan tutupan hutan dapat menjadi
unggulan.
5
Kondisi Hutan dan Pola Ruang di Kabupaten Kepahiang
Di Kabupaten Kepahiang terdapat tiga Status dan Fungsi Kawasan hutan yaitu Kawasan Suaka
Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Hutan Lindung. Untuk kawasan konservasi terutama untuk Taman
wisata alam, luas taman wisata alam di Kabupaten Kepahiang merujuk pada RTRW Provinsi Sesuai yang
telah ditetapkan dalam TGHK adalah Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba seluas 13.490,00 Ha, yang
terletak di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong dan luas TWA yang merupakan deliniasi wilayah
Kabupaten Kepahiang adalah 8.518 Ha. Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong mengajukan pelepasan
kawasan hutan seluas 6.350 ha.
Saat ini, seperti data tutupan hutan yang di keluarkan oleh Ditjet Planologi Kementerian
Kehutanan, tahun 2011 menunjukan kondisi hutan di Kepahiang sebagai berikut;
Taman Wisata
Alam
Kepahiang
Hutan Lindung
Hutan sekunder
Semak belukar
Pertanian campuran
Hutan primer
Hutan sekunder
Semak belukar
Non vegetasi
Pertanian campuran
1.537,6
620,4
6.301,0
17,5
744,1
576,5
10,1
7.215,0
18,2
7,3
74,5
0,2
8,7
6,7
0,1
84,3
Berdasar pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Rencana Struktur Ruang Kabupaten Kepahiang
mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam
wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan wilayah kabupaten. Untuk melayani kegiatan skala kabupaten tersebut dihubungkan
dengan berbagai sistem jaringan yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah
hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya
Perencanaan tata ruang dan kebutuhan masyarakat akan ruang kelola berkontribusi pada kondisi
hutan, reforestasi terjadi sebagian besar di karenakan oleh kebutuhan rakyat dalam pemanfaatan ruang
untuk kawasan perkebunan rakyat. Dalam perencanaan ruang di Kabupaten Kepahiang pada tahun 2031
adalah seluas 47.794,09 Ha yang terdistribusi di beberapa kecamatan. Alokasi lahan ini untuk memenuhi
kebutuhan komoditi unggulan perkebunan rakyat di Kabupaten Kepahiang diantaranya yaitu kopi, kakau,
cengkeh, lada, kemiri, kayu manis, aren, serta mendukung program Bupati Kepahiang penanaman sengon
dengan program unggulan Siluna seta penanaman lainya. Dan, saat ini Pengembangan agroindustri
dengan fungsi yang didasarkan pada potensi (basis komoditas) perkebunan dan pengembangan pusat
pengumpul dan distribusi bagi pertanian perkebunan dengan memperhatikan jarak minimum (mudah
dijangkau) adalah strategi bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kepahiang.
Pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan pemanfaatan yang berbasis
pada kekayaan alam. Jejak pembukaan jejaring sarana terutama infrastruktur ini secara konsisten
menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati
6
masyarakat terutama akibat dari proses deforestasi ketika terjadi alih fungsi kawasan hutan. Perubahan
iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh Massive-nya
deforestasi dan degradasi hutan. Deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu
lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial.
Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang
dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Namun penting dicatat bahwa upaya kebijakan penataan ruang pada seharusnya sudah bekerja
ke arah penanganan dampak perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi
CO2. Pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan konvensional tata-guna lahan ke
arah perwujudan pembangunan berkelanjutan. Penataan ruang memiliki kemampuan untuk mengusung
perubahan yang hakiki bagaimana pembangunan dilaksanakan untuk berkontribusi positif.
Dari perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan
risiko berbagai bentuk prakarsa dari luar menjadi langkah mendasar. Rendahnya manfaat yang dinikmati
masyarakat dari kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan di satu sisi menjadi argumen yang kerap
digunakan mendorong upaya pelibatan masyarakat. Namun hal tersebut harus dilatarbelakangi satu
pemahaman dan kesadaran kritis tentang daya-rusak yang tidak terhindarkan berbagai bentuk
pemanfaatan sumber daya alam terhadap kegunaan dan manfaat jangka-panjang bagi kehidupan
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.6
Politik Kebijakan; Reposisi Ruang dengan Pendekatan Kolaboratif
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan kolaboratif (co-management) dalam pengelolaan
kawasan konservasi sudah lama dipromosikan oleh berbagai pihak. Pendekatan Co-Management adalah
sebuah kerangka kerja yang menggambarkan suatu situasi dimana satu atau lebih aktor sosial
menegosiasikan, mendefinisikan dan menyepakati diantara mereka sendiri.
Secara implementatif pendekatan kolaboratif dan skema community based forest management
(CBFM) menyasar kelompok komunitas mengelola hutan, atau pengelolaan hutan negara di mana
masyarakat memiliki hak akses dan kontrol atas kawasan hutan yang dibebani hak oleh negara dalam
pengelolaannya. Sebagai kelompok yang memiliki akses kelola lebih mungkin mengadopsi perspektif
jangka panjang dan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan dan mampu menahan laju deforestasi dan
melindungi kehidupan komunitas pengelola hutan selain mampu untuk menjamin ketahanan pangan,
keanekaragaman budaya, kesatuan sosial dan pasar serta mengimplemtasi praktik-praktik demokratik
serta distribusi kekayaan yang lebih merata.7
Berkenaan dengan pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan
sumberdaya tertentu serta menjamin adanya pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut.
Lebih spesifik lagi, pengelolaan kolaboratif merupakan proses mengembangkan kerjasama antar pihak
yang relevan, terutama antara masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai
6
Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-ProRep, 2015. Laporan Program Mendorong Kebijakan Daerah untuk Resolusi Konflik
dan Reposisi Ruang Kelola Rakyat di Bengkulu.
7 Pramasty ayu Kusdinar, Akar Foundation-Scale Up, 2016. Laporan Program Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam
Memperoleh Akses Kelola dan Pengakuan Hak Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di Rejang Lebong
Propinsi Bengkulu.
7
kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Beberapa alasan substantif berkaitan dengan pentingnya comanagement itu dalam pengelolaan kawasan konservasi:8
1. Upaya konservasi membutuhkan kapasitas dan pelibatan masyarakat secara keseluruhan,
tidak hanya para ahli konservasi, kaum professional serta pihak pemerintah
2. Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam mengkaitkan kepentingan
keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi ruang bagi masyarakat lokal dan
adat untuk secara aktif dan terberdayakan selama kolaborasi berlangsung;
3. Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam prinsip kesetaraan dan keadilan, baik
pembagian biaya dan manfaat yang diterima baik dalam perlindungan keanekaragaman
hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun pemanfaatannya.
4. Upaya konservasi menuntut penghormatan terhadap hak-hak social ekonomi masyarakat.
Prinsip do o har
dala pelaksa aa ko servasi pe ti g dikedepa ka agar tidak
memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan social-ekonomi masyarakat yang tinggal
didalam dan disekitar kawasan. Apabila memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk
memberi dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting mengingat
masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan konservasi sebelum kawasan tersebut
ditetapkan. Karenanya menegasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi
sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap
kawasan cukup tinggi. Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya
pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang telah diberikan
Negara selayaknya menjadi landasan dalam memba-ngun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam
kerangka pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterkan masyarakat.9
Dalam konteks mendukung program pendekatan kolaboratif (co-management), lahirnya UU No.
23/2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 14 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumberdaya mineral di bagi antara
pemerintah pusat dan daerah propinsi, kecuali Taman Hutan Raya yang pengelolaannya menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota (pasal 14, ayat 2).
Selain itu, pergerakan perhutanan sosial atau community based forest management (CBFM)
sudah berkembang sejak tahun 1980an. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berada di dalam dan di sekitar hutan melalui pemberdayaaan masyarakat dengan memperhatikan
aspek kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa penguatan kapasitas dan pemberian akses terhadap
kawasan. Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo yang dicanangkan sejak 2014 lalu salah satunya
adalah terwujudnya wilayah kelola rakyat di areal hutan minimal seluas 12,7 juta hektar. Dampak dari
target tersebut, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup danKehutanan (KLHK) menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab memastikan
angka ini tercapai. Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan, misalnya, merupakan skema-skema yang harus didorong manifestasinya karena pemberian
8
Erwin Basrin dan Rahabilah Firdha, Akar Foundation-Siemenpuu Foundation. 2012: Laporan Study Dominasi Penguasaan
Kawasan Hutan Konservasi, Study Kasus di Wilayah Marga Jurukalang Kabupaten Lebong.
9 Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Intitute. 2016: Laporan Riset Aksi Pemetaan
Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu.
8
izin atas skema-skema perhutanan sosial tersebut akan menjadi bukti dari terwujudnya perluasan wilayah
kelola rakyat.
Pendekatan kolaboratif (co-management) diharapkan dapat mengurangi konflik yang sering
terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah mengenai penggunaan hutan. Hutan memang
merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekitar dan di dalamnya. Secara implementatif,
ruang-ruang kebijakan memungkin untuk dilakukan pendekatan kolaboratif (co-management) yang
meilbatkan para pihak dalam tata kelola hutan terutama kelompok-kelompok masyarakat sekitar dan
didalam hutan yang mempunyai ketergantungan yang tinggi akan hutan baik untuk kebutuhan ekonomi,
fungsi ekologi maupun fungsi pertahanan (security land). Ruang-ruang kebijakan berlaku yang
menemukan kepentingan kelestarian fungsi kawasan hutan dan kebutuhan masyarakat di atur di dalam
beberapa kebijakan dan skema kolaboratif (co-management).
-
-
-
Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang: Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
UU ini menyebutkan unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Ekosistem sumber daya alam
hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati
yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Salah satu fungsi kawasan konservasi yang
dimaksud adalah Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan
untuk pariwisata dan rekreasi alam. Merujuk pada Pasal 7; Perlindungan sistem penyangga kehidupan
ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pada Pasal 8; Untuk
mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan: a. wilayah
tertentu sebagai wilayah perlindungan system penyangga kehidupan; b. pola dasar pembinaan
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah
perlindungan system penyangga kehidupan.
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di dalam Pasa 3 menyebutkan bahwa UU ini disusun
bertujuan untuk memastikan Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a. menjamin keberadaan hutan
dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan
yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. meningkatkan daya dukung
daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.48/Menhut-II/2010 Tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan
Taman Wisata Alam. Dalam Permenhut ini menyatakan bahwa Permohonan IUPJWA di Taman
Nasional dan Taman Wisata Alam, dapat diajukan oleh: a. perorangan; b. badan usaha milik negara;
c. badan usaha milik daerah; d. badan usaha milik swasta; atau e. koperasi. Pemberian IUPJWA
perorangan diprioritaskan bagi masyarakat sekitar kawasan termasuk masyarakat setempat.
9
-
-
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.3/Menhut-II/2014 Tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2014 yang
Dilimpahkan Kepada Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk
menjamin keselarasan senergisitas antar output kegiatan Dekonsentrasi Bidang Kehutanan terutama
dalam rangka penurunan konflik, perambahan kawasan hutan, illegal logging dan wildlife traficking
sampai dengan di batas daya dukung sumberdaya hutan, Populasi spesies prioritas utama yang
terancam punah meningkat sebesar 1,5% dari kondisi Tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat dan
Terbentuknya 12 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peran serta pelaku utama dan pelaku
usaha dalam pemberdayaan masyarakat.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Permenhut ini untuk merespon
upaya untuk mengurangi kemiskinan, pengganguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan
kawasan hutan serta memeberikan akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan
Hutan desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan
masyarakat hokum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Pada
bagian ke empat dalam Permenhut ini bahwa pelaku Kemitraaan Kehutanan adalah masyarakat
sekitar hutan dengan alokasi areal kerja paling luas 2 (dua) hektar untuk setiap Kepala Keluarga dan
luas areal kerja pemegang izin paling luas 5 (lima) ha untuk setiap keluarga.
Penyelesaian Kasus
Berangkat dari pengalaman yang telah dilaksanakan oleh Akar Foundation, maka dalam menindak lanjuti
Penyelesaian kasus Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten
Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba. Hal-hal penting yang
harus dilakukan adalah;
- Kelembagaan Masyarakat dan Tata Kelola Kawasan
Terdapat empat faktor kunci yang menjadi bahan utama dalam penguatan kelembagaan
masyarakat antara lain; pertama peningkatan kapasitas atau pengetahuan masyarakat terhadap
kawasan. Hal ini dilakukan dengan cara menginventaris potensi kawasan secara partisipatif. Kedua,
penyusunan rencana pengelolaan kawasan, yang terdiri dari rencana umum (jangka panjang) dan
rencana operasional ( jangka pendek). Hal-hal yang tertuang dalam rencana pengelolaan kawasan
meliputi kondisi bio fisik, identifikasi kondisi sosial ekonomi, potensi areal kerja dan kelembagaan.
Selain itu, rencana pengelolaan kawasan tersebut juga harus mengacu pada pengembangan usaha
non-timber forest product (NTFP), usaha jasa lingkungan, tanaman bawah tegakan, rencana
perlindungan hutan, rencana pengembangan kelompok dan perencanaan lainnya. Penyusunan
rencana pengelolaan kawasan tersebut haruslah berpatok pada status kawasan, kondisi hutan,
kearifan tata kelola hutan dan isu yang berkembang.
- Diskursus Pulik dan Advokasi Kebijakan
Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan
juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dalam pengelolan kawasan konservasi. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan
penyelesaian. Konflik terkadang dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara
10
langsung. Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menemukan resolusi konflik,
implementasi Peacekeeping adalah upaya untuk menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan
melalui intervensi keamanan yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.10
Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik
dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit.
Sedangkan Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik,
dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng, dan dalam parekteknya diharapkan
negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat
merasakan adanya keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Usaha-usaha penyelesaian konflik melalui proses Peacemaking dan Peacebuilding ini haruslah
terlegitimasi secara tegas dalam Kebijakan Daerah, sehingga usaha untuk mereduksi gangguan dan
konflik pada sektor Kehutanan dan Perkebunan Rakyat di Bengkulu baik yang bersifat horisontal
maupun vertikal yang terkait dengan politik ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan yang
diperlukan penanganan secara terpadu memiliki kekuatan hukum sekaligus kekuatan politik yang
kuat.
Karena Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang
mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik. Dan usaha
pencegahan konflik dilakukan untuk:
memelihara k o n d i s i d a m a i d a l a m m a s y a r a k a t d i sekitar Perkebunan
mengembangkan s i s t e penyelesaian perselisihan secara damai
melakukan sosialisasi merata ke masyarakat
meredam potensi konflik antara masyarakat, pelaku usaha bidang lain dan pelaku usaha
perkebunan; dan e. membangun sistem peringatan dini.
Urgensi penyelesain terhadap konflik yang terjadi ini haruslah segera dilaksanakan dan Negara
tentu harus hadir dalam memfasilitasi dan mereduksi konflik kehutanan dengan perkebunan Rakyat yang
ada di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Paska pelaksaan resolusi konflik, kepastian kelola hutan
oleh rakyat harus mengarah pada Akses modal. Kendala terbesar untuk memastikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sehingga kemudahan akses modal oleh petani pengarap haruslah dibuka
ruang seluas-luasnya, baik oleh Perbankkan maupun institusi resmi dan institusi swasta melalui
Coorporate Social Responsibility (CSR). Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses fasilitasi
pembangunan Kehutanan baik Pemerintah, Universitas, Swasta maupun Civil Society Organization (CSO)
atau Organisasi Masyarakat Sipil harus memastikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam proses
fasilitasi yang dilakanakan.
10
Akar Foundation-ProRep USAID, 2015; Policy Recommendation Resolusi Konflik Kehutanan dan Perkebunan
11