Penilaian Estetik Dalam Perspektif Filsa

Penilaian Estetik Melalui Perspektif Filsafat dan Antropologi
Panakajaya Hidayatullah
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Universitas Gadjah Mada

Penilaian estetik berkaitan dengan bagaimana menentukan sesuatu itu memiliki syarat
keindahan. Estetika dimaknai sebagai nilai-nilai keindahan. Dalam hal seni, penilaian estetik
meberikan standar karya-karya seni tertentu serta mengkategorikannya berdasarkan nilai-nilai
tertentu. Dalam tulisan Essai ini, penulis akan membicarakan tentang penilaian estetis melalui
dua perspektif yaitu penilaian estetik menurut Kant dan penilaian estetik melalui perspektif
antropologi.
Penilaian estetik menurut Kant adalah sebuah filsafat keindahan yang menjelaskan
kondisi-kondisi subjek dalam mengalami sesuatu yang indah, tidak hanya sebuah karya seni
tetapi objek secara umum.
Aesthetic Judgement dari Kant
Immanuel Kant mensketsakan rasio, berdasarkan penerapannya, menjadi dua yakni
rasio murni (pure reason) dan rasio praktis (practical reason). Rasio murni bekerja untuk
menghasilkan pengetahuan tentang objek fenomena (teoritis), sedangkan rasio praktis
berfungsi untuk menentukan kehendak dengan menggunakan hukum moral (etis). Kedua
aktivitas rasio tersebut dihubungkan melalui judgement1,
Faculties of the

Mind

Higher Faculties
of cognition

A priory
Principles

Products

Faculty of
cognition

The understanding

Lawfulness

Nature

Feeling of

pleasure and
displeasure

The power of
judgement

Purposiveness

Art

Faculty of desire

Reason

Purposiveness
morality

Morality

which is also

1 Kant mendefinisikan judgement sebagai kemampuan untuk memikirkan yang partikular atau khusus sebagai
bagian dari yang universal (Harsawibawa, A., 1997:48).

law (obligation)
(Kant, I., 2007:351).
Tabel tersebut menunjukkan bahwa judgement mengandung potensi perasaan
kesenangan dan ketaknyamanan, yang bekerja berdasarkan prinsip purposiveness. Wilayah
kerja sekaligus produk yang dihasilkan oleh kemampuan judgement adalah seni. Judgement
berperan menghubungkan antara understanding dan reason. Menurut Harsawibawa (1997:3839), (Kant, 1959:213-214), understanding adalah kemampuan untuk membuat judgement,
sedangkan

reason

adalah

kemampuan

untuk

membuat


penyimpulan.

Contohnya,

understanding membuat judgement, “Habermas adalah manusia” dan “semua manusia akan
mati”, maka reason memberikan inferensinya “karena Habermas manusia, maka ia akan
mati”. Jadi understanding mempersatukan data-data inderawi yang diterima dengan kategorikategori untuk membentuk judgement-judgement di dalam pengalaman, sedangkan reason
mempersatukan judgement-judgement tersebut menjadi inferensi.
Judgement, sebagai kemampuan yang dapat memikirkan sesuatu yang partikular
sebagai bagian dari yang universal, terbagi menjadi determinant dan reflective judgement.
Yang pertama merupakan penerapan konsep universal (prinsip, aturan dan hukum) kepada
yang khusus, sedangkan yang kedua adalah penarikan hukum-hukum partikular menjadi
hukum umum. Alam mengandung sistem-sistem hukum yang selaras dengan kemampuan
kognitif manusia, yang kemudian disebut dengan konsep purposiveness, yakni menganggap
alam memiliki kausalitas yang bekerja berdasarkan tujuan (purpose:tujuan dari suatu konsep)
tertentu. Berdasarkan prinsip purposiveness, alam dapat dipandang melalui dua cara yakni
astehetic judgement dan teleological judgement. Aesthetic judgement memandang presentasi
objek secara niscaya (ada begitu saja) yang kemudian menghasilkan perasaan pleasure
(senang), sedangkan teleological judgement memandang objek sebagai sesuatu yang

memenuhi tujuan alam. Fungsi judgement yang menghubungkan teoritis dan praktis
memungkinkan untuk memandang objek fenomenal (empiris/praktis) sebagai perwujudan
dari nilai (teoretis), ia mampu memandang objek sebagai realitas supersensible (melampaui
pencerapan panca indera), contohnya seperti melihat karya seni sebagai perwujudan nilainilai tertentu.
Aesthetic judgement memiliki dasar penentuan yang bersifat subjektif. Dalam
penilaian

terhadap

sesuatu

yang

indah,

subjek

menggunakan

imajinasi 2 untuk


2 Imajinasi, menurut Kant, adalah kemampuan untuk mempresentasikan objek dalam diri subjek (presentational
power).

menghubungkan presentasi objek dalam diri subjek dengan feeling. Dengan cara ini
presentasi objek yang dihasilkan ketika bertemu dengan objek aktual adalah sensasi.
Aesthetic judgement terbagi menjadi dua, yakni yang empiris dan yang murni. Yang empiris
memerlukan materi untuk menghasilkan judgement, sedangkan yang murni tidak memerlukan
materi, karena ia bersifat formal. Aesthetic judgement berhubungan dengan ide universal
communicability3, yakni mampu dikomunikasikan secara universal dengan subjek yang lain.
Dengan kata lain, sesuatu yang indah berdasarkan pada perasaan senang secara subjektif,
namun perasaan senang akan sesuatu yang indah tersebut juga dialami oleh subjek-subjek
lain secara umum, maka dari itu ia juga disebut dengan pure feeling of pleasure (rasa senang
murni). Perasaan tersebut, menurut Vandenabeele (2008:18-19), bisa terjadi apabila
berdasarkan pada kondisi-kondisi sebagai berikut.
1. Kesenangan

terhadap

sesuatu


yang

indah

adalah

tanpa

kepentingan

(disinterestedness), tidak memiliki tujuan atau maksud secara empiris, etis, teoretis
maupun praktis.
2. Ketertujuan subjektif (subjective purposiveness) akan kesenangan tidak dikenali,
subjek mengalami sesuatu yang indah tanpa kebutuhan atau hasrat.
3. Penilaian terhadap sesuatu yang indah bersifat sangat subjektif dan khusus.
Contohnya matahari terbit di Bromo, hanya pada saat saya melihatnya, sangat indah.
Meskipun sangat partikular, namun objek dan kondisi yang sama mampu dialami
subjek lain seperti yang saya rasakan.
4. Penilaian bukanlah hal yang problematis, tidak juga tegas, tetapi bersifat quasiapodictic (landasan yang samar). Aesthetic judgement adalah penilaian tak berkonsep,

yang dasarnya pada perasaan subjektif namun bersifat common sense.
Selain perasaan senang (pleasure) yang dihasilkan dari sesuatu yang indah, Kant juga
menjelaskan munculnya perasaan yang disebut dengan sublim4, yang merupakan perasaan
mixture of pleasure and displeasure (peleburan perasaan kesenangan dan ketaknyamanan).
Perasaan sublim muncul karena ketidakmampuan imajinasi dalam mempresentasikan objek.
Hal ini disebabkan karena judgement telah melampaui prinsip purposiveness, dan menjadi
countrapurposive. Lebih sederhananya subjek mengalami objek bukan lagi sebagai sesuatu
3 Disebut juga idea of being together and being in community, artinya perasaan senang yang dihasilkan berlaku
secara universal. Ia juga disebut sebagai sifat sensus comunis/common sense yakni feeling yang bersifat
universal atau niscaya.
4 Sublim adalah segala hal yang dapat dipikirkan, yang membuktikan bahwa pikiran mempunyai kemampuan
untuk melampaui standar panca indera (Kant, 2007:81).

yang memiliki tujuan eksistensi menurut hukum alam, tetapi objek dialami sebagai sesuatu
yang chaos (kacau), disorder (tidak teratur) dan disharmony (tidak harmonis).
Ketidakmampuan imajinasi dalam usaha pengukuran terhadap magnitude5 mengindikasikan
sebuah pelampauan batas standart sensibilitas sebagai suatu kekerasan terhadap imajinasi,
yang kemudian menghasilkan rasa kesakitan. Perasaan senang muncul karena pengalaman
sublim selaras dengan hukum-hukum reason, ia timbul secara tidak langsung dalam proses
penolakan imajinasi dan ketertarikan rasio (repulsion and attraction). Presentasi objek yang

kacau dan tak teratur menjadikannya sebuah penghadiran objek tak berbentuk (formless),
yang juga berarti menghadirkan ketidakterbatasan. Ia juga membangkitkan kemampuan yang
tak terbatas dari kapasitas reason.
Persamaan antara yang-indah dengan yang-sublim yakni momen-momen dalam
keindahan sama dengan sublim, penilaian terhadap keindahan dan sublim sama-sama
menggunakan judgement of taste, keduanya valid secara universal, serta keindahan dan
sublim dihubungkan dengan imajinasi, understanding serta reason. Selain persamaan, ada
juga perbedaannya, yang menurut Harsawibawa (1997:105-106), (Kant, 1987:98) antara lain:
1. Yang-indah di dalam alam berhubungan dengan objek yang memiliki forma, ada
keterbatasan yang dibatasi oleh bentuk. Sedangkan sublim berhubungan dengan objek
yang tanpa forma/tak berbentuk, yang berarti menghadirkan ketakterbatasan.
2. Yang-indah menunjukkan segi-segi tak tentu pada understanding, sedangkan sublim
menunjukkan segi-segi tak tentu pada reason.
3. Liking (tindakan menyukai) di dalam yang-indah dihubungkan dengan kualitas
keindahan, sedangkan sublim pada kuantitas keindahan.
4. Liking dalam yang-indah membawa perasaan enchantment of life (membuat hidup
lebih berarti) secara langsung. Perasaan tersebut dapat bersifat mempesonakan atau
main-main. Sedangkan sublim tidak memiliki pesona. Perasaan senang yang
ditimbulkannya tidak secara langsung tetapi dari tarik-menarik antara penolakan dan
ketertarikan.

5. Keindahan alam memandang purposiveness di dalam formanya. Objek seolah-olah
sudah di-pre-determinasi atau dibuat khusus untuk judgement subjek. Sedangkan

5 Kant menyebutnya Größe yakni objek (all appearance) yang memungkinkan untuk diukur secara kualitas
maupun kuantitas melalui ruang dan waktu (Holzhey dan Mudroch, 2005:172-173).

sublim, ia hadir sebagai sesuatu yang bertentangan bagi judgement. Ia dianggap tidak
dapat diperbandingkan dengan imajinasi.
6. Keindahan di dalam alam dihubungkan dengan technic of nature, yakni kemampuan
alam untuk menghasilkan hal-hal yang menurut kerangka tujuan-tujuan tertentu, ia
membuat subjek memandang alam memiliki hukum-hukum tertentu. Sebaliknya,
dalam sublim, ia ditimbulkan oleh aspek alam liar dan kacau yang menunjukkan
kebesaran dan kekuatan.
Penilaian Estetik melalui perspektif antropologi
Seni seringkali dikaitkan dengan estetika, estetika selalu dimaknai sebagai filsafat
keindahan, sebagaimana pemahaman tentang penilaian estetik berdasarkan perspektif filsafat
Kant yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika estetika hanya dipahami dengan perspektif
demikian, tentu saja arti estetika menjadi sempit sebagai ilmu tentang keindahan yang
dipahami sebagai kualitas dan sifat yang terpancar dari objek tertentu (form) atau lebih
tepatnya hubungan spasial dan temporal antar elemen penyusun bentuk (Simatupang, 2013:

101). Dengan kata lain seseorang akan menganggap sebuah karya itu indah-jelek, serasijanggal, baik-buruk, menarik-membosankan, merdu-sumbang melalui keindahan yang
terdapat dalam gejala atau wujudnya itu sendiri. Keindahan hanya dipandang dari objek dan
seakan-akan berada di luar diri manusia yang mengalami.
Perspektif tersebut mempunyai kelemahan, problem yang muncul adalah bagaimana
jika kita diminta untuk menilai estetika dari musik eskimo yang benar-benar baru kita alami?.
Pertanyaan kedua adalah seperti yang telah ditulis oleh Simatupang yakni bukankah tidak
semua orang, bahkan tidak setiap orang Jawa, dapat mengalami keindahan tari Bedaya yang
adiluhung? Atau, dapatkah penikmat seni macopat Jawa menilai seni kejungan Madura?.
Tentunya permasalahan ini berangkat dari penyempitan arti estetika sebagai keindahan dan
peletakan keindahan di luar diri manusia.
Kaemer dan Morphy memiliki pandangan bahwa estetika merupakan ukuran nilai
dilegitimasi oleh elit, Penetapan ukuran standar estetika senantiasa memiliki dimensi
kekuasaan, baik itu seni (keraron) atupun rakyat. (Simatupag 2013: 103). Pendapat tersebut
mengandung arti bahwa penilaian estetika mengandung unsur kekuasaan, dimana nilai
tersebut nantinya menjadi sebuah ukuran untuk menilai apakah seni tersebut merupakan seni
tinggi atau seni rendah. Serupa dengan pendapat Svasek, Svasek memberikan konsep dalam
pemberian nilai-nilai pada objek dan gejala inderawi yakni transit dan transition. Transit

adalah perpindahan gejala terindra (objek) dari satu konteks keberadaan ke konteks
keberadaan lainnya. Kemudian seiring dengan perpindahan tersebut terjadi pula pergeseran
atau perubahan nilai yang dilekatkan orang pada objek tersebut, proses ini disebut transition
(Simatupang, 2013:104).
Gell mengkritik bahwa untuk menilai suatu karya seni tidak dapat menggunakan
konsep estetika demikian. Alfred Gell melalui perspektif antropologi memberikan beberapa
usulan dalam tulisannya bahwa untuk memahami seni/”art”, “art” harus dipisahkan dahulu
dengan estetikanya (dalam hal ini merujuk pada estetika eropa barat). Melalui
methodological philistinism, Gell melihat dan mempertimbangkan seni tanpa “rasa”. Maka
yang dilakukan dan ditemukan adalah “art as a technical system”, seni dikenali sebagai
proses teknik tertentu. Teknologinya dikenal dengan “Technology of Enchantment”
(Teknologi Pesona) (Gell, 2006: 163).

Pesona dimaksudkan sebagai sebuah istilah yang didasari pada suatu pemikiran atas
kebutuhan sauatu manusia tidak didasari kebutuhan individual tetapi terkait dengan
kebutuhan kolektif. Pesona diperoleh dari kebersamaan individu. Kekuatan seni berasal dari
proses teknologi yang berasal dari pesona yang ada dalam teknik tersebut. Teknik pesona
adalah teknologi yang diterapkan pada objek tetapi penerapannya berbeda dari yang ada
Teknologi (dalam pengertian sehari-hari) pada umumnya selalu diukur dengan efisiensi dan
dipertimbagkan secara ekonomis. Namun berbeda dengan teknologi pada seni seperti yang
telah dijelaskan oleh Gell, pandangan tersebut tidak bisa diterapkan dalam Technology of
Enchantment. Analoginya adalah seni itu tidak “efisien” tetapi “efektif”, bukan secara
kuantitas tetapi kualitas. Seni menurut Gell adalah kumpulan-kumpulan teknik yang berasal
dari kehidupan sehari hari kemudian difokuskan pada unsur-nsur tertentu kehidupan itu
sendiri, di dalamnya mengandung unsur kerumitan (technical difficulties). Ketika subjek
berhadapan dengan objek tersebut maka menimbulkan kesan pesona. Pesona adalah reaksi
dari subjek ketika bertemu dengan objek. Contoh dari reaksi tersebut adalah terkejut, kagum,
heran, joged atau ungkapan kultural tertentu seperti “lebur” (Madura), dan “gila” (Indonesia).

Jadi seni bukan lagi persoalan tentang standar keindahan tetapi mengarah pada reaksi subjek
ketika berhadapan dengan objek.
Seni yang mengarah pada reaksi subjek terhadap objek menjelaskan bahwa ada
pengalaman indrawi yang dialami oleh objek. Losche dan Howard Morphy dalam
Simatupang mengemukakan bahwa rasa/efek yang dihasilkan oleh pengalaman inderawi ini
bukan terbatas pada rasa indah saja tetapi dalam pengertian yang luas termasuk rasa sakit,
kemuakan, kegusaran, jijik, gairah, dan lain sebagainya (2013: 102). Segala macam rasa
tersebut dimaknai sebagai tanggapan manusia atas pengalaman ketubuhannya. John E
Kaemer dalam Simatupang melanjutkan bahwa sebagai tanggapan manusia atas pengalaman
ketubuhan tentu saja estetika bersifat budayawi (kultural) (2013:102). Pernyataan tersebut
mengandung arti bahwa tanggapan manusia atas pengalamannya diperoleh melalui
pembudayaan diri, internalisasi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat melalui berbagai
macam interaksi sosial. Beberapa pendapat diatas memberikan pandangan baru bahwa nilainilai rasa estetika tidak hanya terkandung dalam gejala estetis itu sendiri, tetapi merupakan
hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala estetis yang dialaminya secara dialogis
dan dialektis.
Kesimpulan
Jadi, Pemahaman estetika melalui perspektif antropologi memberikan pandangan baru
bahwa estetika tidak melulu dipandang sebagai filsafat keindahan yang melihat keindahan
dari keindahan objek saja. Melainkan sebuah tanggapan manusia atas pengalamannya yang
diperoleh melalui pembudayaan diri, internalisasi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
melalui berbagai macam interaksi sosial. Persepektif antropologi memberikan pemahaman
bahwa nilai-nilai rasa estetika tidak hanya terkandung dalam gejala estetis itu sendiri, tetapi
merupakan hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala estetis yang dialaminya secara
dialogis dan dialektis.
Dalam perspektif antropologi terdapat dogma relativisme budaya. Budaya yang selalu
dipahami selalu relativ sesuai dengan konteksnya. Begitu juga ketika kita dihadapkan pada
sebuah penilaian estetis terhadap suatu karya seni, tentu saja penilaian tersebut tidak sematamata berdasar atas standar estetika seni Eropa yang “Adiluhung” (High art) atau dikotomi
seni keraton (seni tinggi) dan rakyat (seni rendah). Melalui perspektif antropologis estetika
tidak lagi dipahami sebagai nilai-nilai keindahan yang dapat diukur secara universal akan
tetapi memiliki ciri dan khas ke-lokalan tersendiri berdasarkan konteks seni tersebut

(kontekstual). Culture, habit, norm, value system akan mempengaruhi Aesthetic Value (nilai
estetik) dimana akan ditemukan judment tentang seni itu. Setiap seni memiliki Aesthetic
Value tersendiri berdasarkan konteks kulturnya. Maka penilaian estetik bukan lagi dipahami
mengenai persoalan “bagus atau jelek” nya suatu karya seni akan tetapi pengalaman indrawi
subjek sebagai reaksi terhadap objek yang bersifat plural dan beragam. Jadi pemahaman ini
mengantarkan kepada pengalaman tentang “perbedaan” (difference).

Daftar Pustaka

Gell, Alfred. 2005. “Technology Of Enchantment and Enchantment Of Technology”,
dalam Anthropology, Art and Aesthetic, Jeremy Coote and Anthony Shelton
(Eds.), Oxford: Clarendon Press.
Harsawibawa, Albertus, 1997, Estetika Menurut Immanuel Kant, Tesis FIB UI yang
tidak diterbitkan.
Kant, Immanuel, 1959, Critique of Pure Reason, translated by J.M.D. Meiklejohn,
with an introduction by A.D. Lindsay, London:J.M. Dent & Sons Ltd.
_____________. 2007, Critique of Judgement, translated by James Creed Meredith,
Revised, edited, and introduced by Nicholas Walker, New York:Oxford
University Press.
Simatupang, G. R. Lono Lastoro. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni
Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
___________________________. 2010. “Perspektif Antropologi Dalam Seni Dan
Estetika” dalam Acintya Jurnal Penelitian Seni Budaya, Voume 2 No.1. Juni
2010: 1 – 6.
Vandenabeele, Bart, 2008, “Aesthetic Solidarity "after" Kant and Lyotard”, Journal of
Aesthetic Education, Vol. 42, No. 4 (Winter, 2008), pp. 17-30, diambil dari
http://www.jstor.org/stable/25160300 (akses Juni2015).