204480268 Metode Storytelling Terhadap Kecerdasan Verbal Anak Pra Sekolah
METODE STORYTELLING TERHADAP KECERDASAN
VERBAL ANAK PRA SEKOLAH
02 Des 2011 3 Komentar
by pelangipsikologi dalam Psikologi dan Pendidikan
Teori tentang kecerdasan terus berkembang dan banyak para ahli yang mempunyai definisi yang
berbeda-beda tentang kecerdasan. Salah satunya adalah Gadner, dimana paling tidak ia membagi
kecerdasan menjadi delapan aspek yaitu kecerdasan verbal, logis-matematis, kinestetik, visualspasial, musik, interpersonal, intrapersonal dan naturalis (Gadner, 2003). Dengan kata lain,
kecerdasan bersifat majemuk yang mana setiap orang pasti mempunyai satu atau lebih dari
kecerdasan-kecerdasan tersebut.
Salah satu kecerdasan yang pasti dimiliki manusia menurut Gadner adalah kecerdasan verbal,
yang merupakan kemampuan untuk berfikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan makna (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006). Anak yang memiliki
kecerdasan verbal yang baik mempunyai minat yang besar terhadap kata, mereka cenderung
menikmati mendengar dan bermain dengan kata, menyukai buku dan menikmati hal tersebut, dan
memiliki memori yang baik dan cepat serta mudah belajar soal kata (Rettig, 2005).
Karakteristik kecerdasan verbal yaitu: (1) mampu mendengar dan merespon setiap suara, ritme,
warna, dan berbagai ucapan kata; (2) menirukan suara, bahasa, membaca, dan menulis lebih dari
orang lainnya; (3) belajar melalui menyimak, membaca, menulis, dan diskusi; (4) menyimak
secara efektif, memahami, menguraikan, menafsirkan dan mengingat apa yang telah diucapkan;
(5) membaca secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan, atau menerangkan dan
mengingat apa yang telah dibaca; (6) berbicara secara efektif kepada berbagai pendengar,
berbagai tujuan, dan mengetahui cara berbicara secara sederhana, fasih, persuasif atau bergairah
pada waktu-waktu yang tepat; (7) menulis secara efektif, memahami dan menerapkan aturanaturan tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan menggunakan kosa kata yang efektif; (8)
memperlihatkan kemampuan untuk memperlajari bahasa lainnya; (9) menggunakan keterampilan
menyimak, berbicara, menulis dan membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi,
menjelaskan, mempengaruhi, menciptakan pengetahuan, menyusun makna, dan menggambarkan
bahasa itu sendiri; (10) berusaha untuk meningkatkan pemakaian bahasanya sendiri; (11)
menunjukan minat dalam jurnalisme, puisi, bercerita, debat, berbicara, menulis, atau
menyunting; (12) dan menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru atau karya tulis orisinil atau
komunikasi oral (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006).
Kecerdasan verbal adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, merupakan
media efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain sehingga seseorang pasti mempunyai
kecerdasan verbal walaupun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Kecerdasan adalah sesuatu
yang bisa ditingkatkan, begitu juga dengan kecerdasan verbal, perlakuaan-perlakukan tertentu
kepada seseorang dipercaya mampu mengembangkan kecerdasan itu sendiri. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa lingkungan juga memainkan peranan penting dalam kecerdasan seseorang
(Ceci dkk, 1997; Okagaki, 2000; Stenberg & Grigorenko, 2001; Williams & Stenberg, 2002
dalam Santrock, 2007). Hal ini berarti memperkaya lingkungan anak dapat meningkatkan
kecerdasan anak (Santrock, 2007). Walaupun beberapa tokoh kecerdasan lainnya seperti Jensen,
Hermstein and Eysenck mengatakan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang diwarisi atau
bawaan sehingga peran lingkungan untuk meningkatkan kecerdasan adalah sesuatu yang
minimal (Nichols, 1978).
Dukungan riset bahwa kecerdasan dapat ditingkatkan dapat dilihat dari penelitian Craig Ramey
(1988 dalam Santrock, 2007) yang menemukan bahwa masa pendidikan awal yang berkualitas
tinggi (sampai usia lima tahun) secara signifikan akan meningkatkan kecerdasan anak dari
keluarga miskin. Efek positif dari intervensi awal ini masih tampak dalam kecerdasan dan
prestasi dari murid ketika mereka berusia 13 tahun dan 21 tahun (Cambell, dkk., 2001; Campbell
& Ramey, 1994; Ramey, Ramey & Lanzi, 2001 dalam Santrock, 2007). Selain itu, hasil riset
Mevarech dan Kramarskir (1997, 2003) menjelaskan bahwa siswa yang dilatih untuk
merumuskan dan menjawab pertanyaan metakognitf dapat memberikan pengaruh yang positif
terhadap kecerdasan, prestasi matematika, dan kemampuan menjelaskan penalarannya terhadap
jawaban-jawaban tugasnya. Bukti lain bahwa kecerdasan dapat ditingkatkan adalah studi tentang
efek sekolah terhadap kecerdasan. Efek terbesar muncul ketika sekelompok besar anak dijauhkan
dari pendidikan formal selama periode tertentu. Hasilnya menyebabkan kecerdasan mereka
mengalami penurunan. Dalam sebuah studi, dilakukan penelitian terhadap fungsi intelektual dari
anak-anak keturunan India di Afrika Selatan, yang masa sekolahnya ditunda empat tahun karena
tidak ada guru. Dibandingkan dengan anak-anak di desa terdekat yang punya guru, anak-anak
India yang tertunda itu mengalami penurunan IQ sebanyak lima point setiap tahunnya (Ceci &
Gilstrap, 2000; Christian, Bachnan & Morrison, 2001 dalam Santrock, 2007).
Penelitian lain tentang kecerdasan majemuk berdasarkan teori Gadner adalah penggunaan
metode pembelajaran kooperatif pada siswa SMP Nasional KPS di Balikpapan, hasil penelitian
menunjukan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif maka kecerdasan majemuk siswa
menjadi meningkat (Handayani, 2007).
Terkait dengan kecerdasan bahasa, hasil penilitian mengatakan bahwa lingkungan memberikan
peranan yang besar terhadap perkembangan kecerdasan verbal terutama dalam penguasaan kosa
kata (Tamis-Lemonda, Borstein & Baumwell, 2001 dalam Santrock, 2007). Misalnya, dalam
salah satu penelitian, saat anak berusia tiga tahun, anak yang tinggal dalam keluarga miskin
menunjukan kekurangan kosa kata jika dibandingkan dengan anak dari keluarga menengah ke
atas, dan defisit ini terus tampak saat mereka masuk sekolah pada usia enam tahun (Farkas, 2001
dalam Santrok, 2007). Ini terjadi dikarenakan kurangnya stimulus lingkungan sehingga
kecerdasannya tidak berkembang. Oleh karena itulah, dari beberapa riset yang telah ada dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan, termasuk kecerdasan verbal dapat ditingkatkan melalui
perlakuan-perlakuan yang efektif dari lingkungannya.
Meningkatkan Kecerdasan Bahasa Dengan Metode Stroytelling Pada Anak-anak Pra
Sekolah
Intervensi untuk meningkatkan kecerdasan bahasa anak haruslah memperhatikan: (1) bahasa
siswa sebagai titik awal pengajaran; (2) memberikan kemajuan perkembangan keterampilan
berbahasa secara alami, bukannya melalui uturan-urutan yang ditentukan; (3) membangun
keterampilan yang menambah pengajaran berbahasa secara alami, bukannya melalui urutanurutan yang ditentukan; (4) menghubungkan bahasa dan kesusastraan secara organis; (5)
menggabungkan berbagai komponen seni berbahasa, membaca, menulis, menyimak, dan
berbicara; (6) menggunakan pengalaman anak-anak dengan kehidupan sebagai tempat masuk
untuk membaca dan menulis; (7) dan memperlakukan bahasa sebagai satu keseluruhan,
bukannya membagi pengajaran menjadi komponen-komponen keterampilan yang tersendiri
(Chambel, Chambel & Dicknson, 2006).
Salah satu metode yang tepat menurut kriteria di atas untuk bisa meningkatkan kecerdasan verbal
anak adalah dengan metode storytelling atau bercerita. Metode ini dapat mewadahi karakteristik
anak yang memiliki daya imajinasi dan fantasi yang tinggi. Cerita pada dasarnya memiliki
struktur kata dan bahasa yang lengkap serta menyeluruh yang mana di dalamnya sudah terdapat
sistem aturan bahasa yang mencakup fonologi (sistem suara), morfologi (aturan untuk
mengkombinasikan unit makna minimal), sintaksis (aturan membuat kalimat), semantik (sistem
makna), dan pragmatis (aturan penggunaan dalam setting sosial) (Santrock, 2007). Diharapkan
dengan storytelling anak makin mampu menghasilkan semua suara bahasa, mengenali kata dan
bahkan secara perlahan mampu menghasilkan serangkaian kongsonan yang kompleks atau
minimal dengan metode bercerita, perbendaharaan kata anak menjadi bertambah. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa usia pra sekolah adalah usia emas untuk anak dalam
menguasai kata. Dimana pada usia dua setengah tahun anak hanya memiliki dua atau tiga ratus
kosa kata, nanun pada usia hingga enam tahun, ia bisa menguasai ribuan kata. (Montesori, 2008).
Paley dan rekan menemukan bahwa keuntungan dari storytelling antara lain (1) membantu siswa
mengenalkan pada proses dan tujuan dari menulis, (2) mempertimbangkan ekspresi kreatif dari
ide-ide dan perasaan, (3) meningkatkan kesempatan untuk membangun kemampuan sosial, dan
(4) mempertimbangkan siswa untuk bekerja dengan ide-ide dan berbagai pengalaman (Cooper
1993; Paley, 1990 dalam Wright, Bacigalupa, Black & Burton, 2008). Selain itu manfaat lain dari
storytelling menurut Vivian Paley’s (1988, 1990, 2004 dalam Wright, Bacigalupa, Black &
Burton, 2008) adalah dengan bercerita dapat menolong guru untuk lebih memahami siswa yang
dia ajar, lebih efektif pada sosial anak dan kebutuhan emosionalnya, serta menciptakan
kurikulum yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat anak. Bahkan Lenox (2000)
menjelaskan efek lain dari storytelling adalah merupakan alat yang sangat kuat untuk
meningkatkan pemahaman dari diri anak dan orang lain disekitarnya.
Sebuah penelitian untuk menguji efek storytelling dan story reading pada bahasa oral yang
komplek dan story comprehension pada anak usia 3-5 tahun membuktikan bahwa terdapat efek
positif yang besar terhadap bahasa oral anak (Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Selain
itu Ford (2007) menjelaskan pengalamannya belajar bersama muri-murid di The Pittsburgh
Public School District dengan metode storytelling yang disesuaikan dengan karakteristik anak,
dimana murid-muridnya memiliki kekurangan dalam hal hal matematika, kemampuan membaca,
dan menulis, hasilnya murid-murid tersebut dapat meningkatkan motivasi dan performance
kinerjanya.
Ketika cerita dibacakan, terkadang kata-kata yang diucapkan tidak hanya diingat namun juga
serasa dilukiskan kembali secara spontan, terdapat semangat performance, yang dibantu oleh
partisipasi dan interaksi audien (Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Dimana Roney
(1996 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) menjelaskan bahwa di dalam
storytelling aspek yang harus diperhatikan agar berjalan dengan efektif adalah mencoba kreatif
dan memiliki komunikasi dua arah (storyteller dan pendengar). Selain itu kontak mata dengan
pendengarpun sangat penting untuk diperhatikan, jika anak melihat kontak mata storyteller,
dimana mereka saling melakukan tatapan dalam interaksi, pada akhirnya akan membuat
pengalaman menjadi lebih personal dari pada storyteller hanya membaca buku cerita (Zeece,
1997; Malo & Bullasrd 2000 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Storytelling
yang digunakan untuk meningkatkan kecerdasan anak juga harus disesuaikan dengan level
kognitif anak. Dimana pada usia pra sekolah, level kognitif mereka berada pada operasional
kongrit (Piaget dalam Santrock, 2007) Sehingga cerita yang diberikan haruslah bersifat kongrit
dan tidak membutuhkan daya penalaran yang tinggi.
Colon-Vila (1997 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) setuju bahwa storytelling
dapat membantu mengajari siswa untuk mendengar, membantu membangun keterampilan
komunikasi oral dan tulisan, dan mengembangkan pemahaman dari cerita skema. Farrel dan
Nessell (1982 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) menjelaskan bahwa
storytelling membantu mengembangkan kelancaran, menambah perbendaharaan kata, dan
membantu mengingat kata. Selain itu Marrow menyakini bahwa storytelling adalah salah satu
cara untuk mengembangkan bahasa di kelas awal masa kanak-kanak.
DAFTAR RUJUKAN
Campbell, L,. Campbell, B,.& Dickinson, D. (2006) Metode Praktis Pembelajaran Berbasis
Multiple Intelligences (terjemahan). Jakarta: Intuisi Pers
Ford, Tawnya. (2007). The Power of Story in Building Character and Community.
http://academic.evergreen.edu/c/chambreb/Power%20of%20Story%20Reader%2007.pdf
Gadner, Howard. (2003). Multiple Intelligences. Batam: Interaksara
Handayani, Sugeng. (2007). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Sebagai Upaya Untuk
Membangkitkan Multiple Intelligences Siswa. Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 3, No 1,
September 2007
Isbell,R., Sobol,J., Lindauer,L.,& Lowrance, A. (2004). The Effects of Storytelling and Story
Reading on the Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children. Early
Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 3, December 2004
Kramarski, Bracha & Mevarech, Zemira R. (2003). Enhancing Mathematical Reasoning in the
Classroom: The Effects of Cooperative Learning and Metacognitive Training. American
Educational Research Journal Spring 2003, Vol. 40, No. 1, pp. 281–310
Lenox, Mary F. (2000). Storytelling for Young Children in a Multicultural World. Early
Childhood Education Journal, Vol. 28. No. 2. 2000
Montessori, Maria. (2008). The Absobent Mind-Pikiran yang Mudah Menyerap (terjemahan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nichols, Robert C. (1978). Policy Implications of The Iq Controversy. Review of Research In
Education 1978; 6; 3
Rettig, Michael. (2005). Using the Multiple Intelligences to Enhance Instruction for Young
Children and Young Children with Disabilities. Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No.
4, febuary 2005
Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan (terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Wright, C,.Bacigalupa, C,. Black, T,. Burton, M. (2008). Window into Children Thingking: A
Guide to Storytelling and Dramatization. Early Childhood Education J (2008) 35: 363-369
KEKUATAN 'STORYTELLING' (METODE BERCERITA)
anda pernah mendengarkan dongeng yang diceritakn orang tua anda waktu
kecil? ada imajinasi disitu, andapun seakan-akan memang ikut merasakan, ikut
melihat peristiwanya, itu lah contoh sederhana kekuatan story telling (metode
bercerita) Storytelling merupakan budaya universal manusia, terhitung dari mulai
anak-anak hingga orang dewasa. Storytelling adalah sebuah bagian dari aktifitas
komunikasi, yang sejatinya menuangkan ide, buah pikiran, atau pesan, yang
mengisahkan tentang kisah hidup atau berbagai kejadian secara lisan. Tidak semua
orang memiliki kemampuan bercerita dengan baik. Tantangannya adalah kreasi
dibenak kita dan cara bagaimana mengungkapkan apa yang telah di cipta dalam
dunia ide.
Sebagian orang memanfaatkan media dalam menuangkan ide, buah pikiran,
atau pesan, kedalam ringkasan sebuah cerita, diantaranya media visual. Ada dua
kata yang terkandung dalam visual storytelling, yaitu visual dan storytelling. Visual
adalah segala hal yang berhubungan dengan penglihatan, artinya dapat dilihat.
Sedangkan storytelling adalah cara yang dilakukan untuk menyampaikan suatu
cerita kepada audience, baik dalam bentuk kata-kata, foto, gambar maupun suara.
Pengertian Visual Storytelling adalah cara menyampaikan suatu cerita kepada
audience dalam bentuk media visual. Istilah gampangnya, “ Biarkan gambar atau
foto berbicara “. Ibarat sebuah gambar, terdiri dari 1000 kata.
Menurut John Berger, 1982, gambar mempunyai sejumlah kekuatan,
diantaranya:
1.
Seeing comes before words. The child looks and recognizes before it can speak.
2.
It is seeing which establishes our place in the surrounding world
3.
The relation between what we see and what we know is never settled.
Hanya melihat sebuah gambar atau foto, seseorang telah mampu merangkai
ribuan kata, secara jelas tentang apa yang mau diceritakan. Tanpa mesti dijelaskan
secara lisan terlebih dahulu, gambar telah bercerita kepada yang melihatnya.
Sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, budaya
bercerita, terus mengalami perkembangan. Dari budaya bercerita konvensional,
yang mengandalkan kemampuan bercerita lisan, kemudian menggunakan media
gambar, dan kini menuju ke arah era digitalisasi. Digital storytelling adalah
ungkapan modern dari seni bercerita yang mengandalkan kekuatan dengan
gambar, musik, narasi dan suara bersama-sama, sehingga memberikan dimensi
dalam dan warna hidup untuk karakter, situasi, pengalaman dan wawasan.
Knut Lundby, 2008 dalam bukunya Digital Storytelling mengartikan sebagai
“ small-scale as a media form, short just few minute long, made with off-the-shelf
equetment and technique. The production are not expensive, for example, be
zooming of still picture rather than moving image. The story centring the narrator’s
own, personal life and experience and usually told in his or her own voice”. Story
telling dalam era digital menemukan bentuk baru dalam skala yang kecil, berdurasi
pendek dibuat dengan teknik yang sederhana dengan biaya murah, yang
menyangkut pengalaman hidup seseorang yang diceritakan dengan narasi dan
menggunakan suara yang bersangkutan.
Menurut McClean, 2007, story telling is related to the narrative power of
visual effect in film. Dalam film tidak hanya kata-kata verbal, namun animasi visual
dan efek manipulatif yang dihasilkan, yang semua itu merupakan representasi dari
ide atau pesan yang ingin disampaikan. Sederhananya, cerita pendek digital 2
sampai 10 menit film multimedia yang menggabungkan foto, video, animasi, suara,
musik, teks, dan sering suara narasi. Bentuk baru dari cerita muncul dengan
munculnya produksi hardware media yang dapat diakses teknik, dan perangkat
lunak, tetapi tidak terbatas pada kamera digital, perekam suara digital, iMovie ,
Windows Movie Maker dan Final Cut Express . Ini teknologi baru memungkinkan
individu untuk berbagi cerita melalui Internet pada YouTube , Video , compact disc,
podcast , dan sistem distribusi elektronik.
The "cerita digital" panjang juga dapat mencakup berbagai narasi digital
(web-based cerita, cerita interaktif, hypertexts, dan permainan narasi komputer).
Hal ini kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada pembuatan film pada
umumnya, dan pada akhir, itu telah digunakan untuk menggambarkan upaya iklan
dan promosi oleh perusahaan komersial dan non-profit.
Cerita digital dapat digunakan sebagai media ekspresif dalam kelas untuk
mengintegrasikan materi pelajaran dengan pengetahuan dan keterampilan yang
masih ada dari seluruh kurikulum. Siswa dapat bekerja secara individual atau
bersama-sama untuk menghasilkan cerita digital mereka sendiri. Setelah selesai,
cerita-cerita yang mudah di-upload ke internet dan dapat dibuat tersedia untuk
audiens internasional, tergantung pada topik dan tujuan dari proyek ini.
Salah satu contoh, digital storytelling pernah dikembangkan diThe National
Gallery of Art di Washington DC juga mengadakan serangkaian kelas untuk
mengintegrasikan kurikulum pendidikan seni dengan cerita digital dari 2003-2005.
Aspek-aspek bercerita digital, gambar, musik, dan narasi memperkuat ide dan
menarik bagi jenis belajar yang berbeda. Guru dapat menggunakannya untuk
memperkenalkan proyek, tema, atau area konten, dan juga dapat membiarkan
siswa mereka membuat cerita digital mereka sendiri dan kemudian mereka berbagi.
Guru dapat membuat cerita digital untuk membantu memfasilitasi diskusi kelas,
sebagai antisipasi set untuk topik baru, atau untuk membantu siswa memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep yang lebih abstrak.
Cerita-cerita ini dapat menjadi bagian integral dari setiap pelajaran dalam
berbagai mata pelajaran. Siswa juga dapat membuat cerita digital sendiri. Melalui
penciptaan cerita-cerita siswa diwajibkan untuk mengambil kepemilikan materi
yang mereka sajikan. Mereka harus menganalisis dan mensintesis informasi juga.
Semua ini mendukung pemikiran tingkat yang lebih tinggi. Siswa mampu
memberikan suara diri mereka melalui mengekspresikan pikiran dan ide-ide.
Kasus diIndonesia, pemanfaatan digital storytelling, umumnya lebih banyak
mengadopsi digital storytelling dari luar negeri melalui berbagai media, diantaranya
media youtube. Banyak sekali digital storytelling, dapat diunduh, dan
dipresentasikan sebagai bagian dari pemberian materi pelajaran sekolah, terutama
tentang materi pelajaran nilai dan budipekerti. Sementara, yang dikaryakan sendiri
oleh siswa-siswa sekolah, kebanyakan masih bersifat sederhana, misalnya masih
menggunakan foto dan hasil menggambar siswa. Sedangkan yang diproduksi
melalui program komputer gambar, klip video, film, animasi hanya sedikit saja. Hal
ini sangat beralasan, karena kemampuan siswa untuk memproduksi bentuk cerita
digital dengan memanfaatkan film dan klip video masih terbatas. Kecuali
munculnya kreatifitas guru dalam mengembangkan digital storytelling kepada
siswa.
Digital storytelling, disisi lain, sebenarnya melatih siswa untuk berusaha
mengingat dengan peristiwa lain yang berhubungan. Selanjutnya, membaca cerita
dapat melatih siswa untuk berusaha mengembangkan daya kreativitas dan
imajinasinya. Dengan kata lain, digital storytelling bagi siswa sangat efektif dalam
mengembangkan imajinasi positif, mengembangkan pengalaman emosi, pemberian
pendidikan moral, memperbesar cakrawala mental, menumbuhkan rasa humor
serta membangkitkan apresiasi.
Menurut Carey, 2003 dalam McQuail menyatakan seiring dengan teknologi
berbasis komputer, terdapat pula berbagai inovasi yang dalam beberapa hal
mengubah aspek komunikasi. Aspek komunikasi yang berubah adalah munculnya
budaya visual, dimana siswa diajak memahami sebuah gambar dan koneksitas
gambar kedalam sebuah tulisan atau cerita yang logis dan kritis. Ada unsur
pengembangan kerangka berpikir dari visual atau gambar kedalam sebuah tulisan
atau lisan. Siswa dapat mempelajari dan berusaha memahami pesan dari rangkain
gambar, dan dikonstruksi menjadi sebuah keutuhan realita sesuai fakta yang ada
dalam gambar.
Karakteristik yang paling penting dari sebuah digital storytelling adalah
bahwa tidak lagi sesuai dengan konvensi mendongeng tradisional karena cerita
digital (digital storytelling) mampu menggabungkan citra bergerak, suara, dan teks,
serta menjadi fitur interaktif. Kemampuan ekspresif teknologi menawarkan dasar
yang luas dimana untuk berfungsi mengintegrasikan. Hal ini meningkatkan
pengalaman bagi siswa untuk interaktivitas yang lebih besar. Metode bercerita atau story
telling merupakan metode yang cukup efektif dalam menarik perhatian audiens. Metode ini juga bisa
digunakan oleh pemasar untuk menarik perhatian para konsumen dan pelanggannya. Tidak hanya itu,
metode bercerita bisa menjadi media sebuah merek memenangi sebuah kompetisi. Ekterina Walter,
kolumnis di situs Mashable, mengatakan selain lantaran desain yang unik, layanan kepada pelanggan,
kesuksesan perusahaan juga ditentukan pada kemampuannya untuk menceritakan merek mereka
kepada pelanggannya. Cerita, sambung Walter, tak seperti elemen pemasaran lainnya, memampukan
merek terhubung dengan pelanggannya pada tataran emosional. Dan, metode ini memiliki kekuatan
luar biasa di era digital seperti sekarang. Ada empat atribut kunci merek bisa sukses melakukan
kampanye berbasis cerita ini. Walter menyebut juga empat merek yang sukses di masing-masing atribut.
1. Etika
Sepatu merek TOM, misalnya, telah dijual di lebih dari 500 gerai di seluruh dunia. Sepatu ini dikenal
dengan program etik dan sosialnya. Ada sebuah etos bahwa setiap pembelian sepatu, satu pasang
didonasikan untuk anak-anak yang membutuhkan. Merek ini berhasil membuat cerita aktivitas
filantropinya sebagai bagian utama dalam gerak bisnis perusahaan.
Perusahaan ini juga berhasil membangun cerita tersebut di media online, seperti di situs web mereka
maupun di YouTube yang sudah dilihat oleh empat jutaan orang. TOM juga menggunakan blog untuk
mengeksplorasi aktivitas mereka dalam memengaruhi orang di seluruh dunia.
2. Personalitas
Mr. Kipling yang mengusung semboyan “Exceedingly Good Cakes” merupakan pemimpin pasar di pasar
kue di Inggris selama beberapa dekade. Iklan TVC Mr. Kipling mengusung cerita tentang seorang lelaki
terhubung dengan beberapa generasi dengan makan kue tersebut.
Sayangnya, Mr. Kipling bukan sosok sungguhan. Namun, strategi ini diklaim menuai sukses dalam
pemasaran di era digital. Bahkan, di online, Mr. Kipling mendapat jodoh Mrs. Kipling yang memiliki fan
page sendiri di Facebook dengan lebih 100.000 fans. Termasuk juga di Twitter. Tokoh Mr. Kipling dan Mrs.
Kipling membuat narasi menjadi lebih personal.
3. Asal Usul
Mengusung tenmpat asal juga menjadi salah satu elemen menarik dalam metode bercerita ini. Chrysler
mengambil Detroit dan menempatkannya sebagai inti kampanyenya “Diimpor dari Detroit.” Iklan
inspiratif ini meluncur pada tahun 2009 dan memberi semangat bagi warga Amerika Serikat yang sedang
dilanda krisis ekonomi.
Di kanal YouTube, iklan komersial Eminem Superbowl telah menarik perhatian 15 juta views. Chrysler
juga bermitra dengan merek lokal The Juliets untuk melanjutkan kampanye Detroitnya. Termasuk
mempromosikan merchandise melalui media sosial yang hasilnya untuk kegiatan karitatif mereka.
4. Sikap
Nike memiliki kisah sukses sendiri dalam menggunakan metode bercerita. Nike selama ini dikenal
sebagai pemasok andal sepatu dan busana olahraga. Dan menariknya, Nike tidak sekadar menjual
produk. Nike berhasil menjual sikap yang mana setiap orang merupakan seorang atlit yang bisa
memenangi pertandingan.
Semangat di atas menjadi semangat dalam komunitas Running dan kampanye Livestrong yang
mengusung prestasi-prestasi Lance Armstrong. Kampanya ini dinilai sangat sukses, khususnya di media
sosial. Misalnya, kanal Livestrong di YouTube mengusung cerita ornag-orang yang terkena kanker dengan
tujuan untuk menyemagati orang melalui pesan “Unity is strenght, knowledge is power, and attitude is
everything!” Sejauh ini, kanal tersebut sudah mendapatkan lebih dari dua juta views. Sementara, di
Twitter, akunnya mendapat lebih dari 250.000 follower dan fans Facebooknya mendapatkan lebih dari
1,5 juta tanda suka.
.............dan perlu anda ketahui bahwa di indonesia ada "akademi bercerita" linknya disini
Kesimpulan
Digital storytelling merupakan hasil peradaban baru, yang muncul akibat
kemajuan daya pikir manusia, yang mampu mengembangkan teknologi. Digital
storytelling tak lain hanyalah representasi dari sebuah fakta, yang terwakili dalam
sebuah gambar digital diam ataupun bergerak, musik dan teks. Penggabungan
fakta inilah, mampu mengungkapkan sebuah cerita atau narasi tentang sebuah
kisah hidup. Manusia adalah organisme cerita secara perseorangan dan kehidupan
sosial.
Konten digital storytelling, dapat dijadikan sebagai pesan dari aktifitas
komunikasi, dimana proses penyampaian pesan itu melalui media komputer. Digital
storytelling menyediakan tool untuk mengirim pengetahuan, ide, pesan, nilai
ataupun sebuah budaya baru, dalam konteks sosial. Bahkan dengan digital
storytelling, akan terjadi pengembangan budaya visual dan budaya tulis dalam
proses peningkatan ketrampilan berpikir kritis.
VERBAL ANAK PRA SEKOLAH
02 Des 2011 3 Komentar
by pelangipsikologi dalam Psikologi dan Pendidikan
Teori tentang kecerdasan terus berkembang dan banyak para ahli yang mempunyai definisi yang
berbeda-beda tentang kecerdasan. Salah satunya adalah Gadner, dimana paling tidak ia membagi
kecerdasan menjadi delapan aspek yaitu kecerdasan verbal, logis-matematis, kinestetik, visualspasial, musik, interpersonal, intrapersonal dan naturalis (Gadner, 2003). Dengan kata lain,
kecerdasan bersifat majemuk yang mana setiap orang pasti mempunyai satu atau lebih dari
kecerdasan-kecerdasan tersebut.
Salah satu kecerdasan yang pasti dimiliki manusia menurut Gadner adalah kecerdasan verbal,
yang merupakan kemampuan untuk berfikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan makna (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006). Anak yang memiliki
kecerdasan verbal yang baik mempunyai minat yang besar terhadap kata, mereka cenderung
menikmati mendengar dan bermain dengan kata, menyukai buku dan menikmati hal tersebut, dan
memiliki memori yang baik dan cepat serta mudah belajar soal kata (Rettig, 2005).
Karakteristik kecerdasan verbal yaitu: (1) mampu mendengar dan merespon setiap suara, ritme,
warna, dan berbagai ucapan kata; (2) menirukan suara, bahasa, membaca, dan menulis lebih dari
orang lainnya; (3) belajar melalui menyimak, membaca, menulis, dan diskusi; (4) menyimak
secara efektif, memahami, menguraikan, menafsirkan dan mengingat apa yang telah diucapkan;
(5) membaca secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan, atau menerangkan dan
mengingat apa yang telah dibaca; (6) berbicara secara efektif kepada berbagai pendengar,
berbagai tujuan, dan mengetahui cara berbicara secara sederhana, fasih, persuasif atau bergairah
pada waktu-waktu yang tepat; (7) menulis secara efektif, memahami dan menerapkan aturanaturan tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan menggunakan kosa kata yang efektif; (8)
memperlihatkan kemampuan untuk memperlajari bahasa lainnya; (9) menggunakan keterampilan
menyimak, berbicara, menulis dan membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi,
menjelaskan, mempengaruhi, menciptakan pengetahuan, menyusun makna, dan menggambarkan
bahasa itu sendiri; (10) berusaha untuk meningkatkan pemakaian bahasanya sendiri; (11)
menunjukan minat dalam jurnalisme, puisi, bercerita, debat, berbicara, menulis, atau
menyunting; (12) dan menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru atau karya tulis orisinil atau
komunikasi oral (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006).
Kecerdasan verbal adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, merupakan
media efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain sehingga seseorang pasti mempunyai
kecerdasan verbal walaupun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Kecerdasan adalah sesuatu
yang bisa ditingkatkan, begitu juga dengan kecerdasan verbal, perlakuaan-perlakukan tertentu
kepada seseorang dipercaya mampu mengembangkan kecerdasan itu sendiri. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa lingkungan juga memainkan peranan penting dalam kecerdasan seseorang
(Ceci dkk, 1997; Okagaki, 2000; Stenberg & Grigorenko, 2001; Williams & Stenberg, 2002
dalam Santrock, 2007). Hal ini berarti memperkaya lingkungan anak dapat meningkatkan
kecerdasan anak (Santrock, 2007). Walaupun beberapa tokoh kecerdasan lainnya seperti Jensen,
Hermstein and Eysenck mengatakan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang diwarisi atau
bawaan sehingga peran lingkungan untuk meningkatkan kecerdasan adalah sesuatu yang
minimal (Nichols, 1978).
Dukungan riset bahwa kecerdasan dapat ditingkatkan dapat dilihat dari penelitian Craig Ramey
(1988 dalam Santrock, 2007) yang menemukan bahwa masa pendidikan awal yang berkualitas
tinggi (sampai usia lima tahun) secara signifikan akan meningkatkan kecerdasan anak dari
keluarga miskin. Efek positif dari intervensi awal ini masih tampak dalam kecerdasan dan
prestasi dari murid ketika mereka berusia 13 tahun dan 21 tahun (Cambell, dkk., 2001; Campbell
& Ramey, 1994; Ramey, Ramey & Lanzi, 2001 dalam Santrock, 2007). Selain itu, hasil riset
Mevarech dan Kramarskir (1997, 2003) menjelaskan bahwa siswa yang dilatih untuk
merumuskan dan menjawab pertanyaan metakognitf dapat memberikan pengaruh yang positif
terhadap kecerdasan, prestasi matematika, dan kemampuan menjelaskan penalarannya terhadap
jawaban-jawaban tugasnya. Bukti lain bahwa kecerdasan dapat ditingkatkan adalah studi tentang
efek sekolah terhadap kecerdasan. Efek terbesar muncul ketika sekelompok besar anak dijauhkan
dari pendidikan formal selama periode tertentu. Hasilnya menyebabkan kecerdasan mereka
mengalami penurunan. Dalam sebuah studi, dilakukan penelitian terhadap fungsi intelektual dari
anak-anak keturunan India di Afrika Selatan, yang masa sekolahnya ditunda empat tahun karena
tidak ada guru. Dibandingkan dengan anak-anak di desa terdekat yang punya guru, anak-anak
India yang tertunda itu mengalami penurunan IQ sebanyak lima point setiap tahunnya (Ceci &
Gilstrap, 2000; Christian, Bachnan & Morrison, 2001 dalam Santrock, 2007).
Penelitian lain tentang kecerdasan majemuk berdasarkan teori Gadner adalah penggunaan
metode pembelajaran kooperatif pada siswa SMP Nasional KPS di Balikpapan, hasil penelitian
menunjukan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif maka kecerdasan majemuk siswa
menjadi meningkat (Handayani, 2007).
Terkait dengan kecerdasan bahasa, hasil penilitian mengatakan bahwa lingkungan memberikan
peranan yang besar terhadap perkembangan kecerdasan verbal terutama dalam penguasaan kosa
kata (Tamis-Lemonda, Borstein & Baumwell, 2001 dalam Santrock, 2007). Misalnya, dalam
salah satu penelitian, saat anak berusia tiga tahun, anak yang tinggal dalam keluarga miskin
menunjukan kekurangan kosa kata jika dibandingkan dengan anak dari keluarga menengah ke
atas, dan defisit ini terus tampak saat mereka masuk sekolah pada usia enam tahun (Farkas, 2001
dalam Santrok, 2007). Ini terjadi dikarenakan kurangnya stimulus lingkungan sehingga
kecerdasannya tidak berkembang. Oleh karena itulah, dari beberapa riset yang telah ada dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan, termasuk kecerdasan verbal dapat ditingkatkan melalui
perlakuan-perlakuan yang efektif dari lingkungannya.
Meningkatkan Kecerdasan Bahasa Dengan Metode Stroytelling Pada Anak-anak Pra
Sekolah
Intervensi untuk meningkatkan kecerdasan bahasa anak haruslah memperhatikan: (1) bahasa
siswa sebagai titik awal pengajaran; (2) memberikan kemajuan perkembangan keterampilan
berbahasa secara alami, bukannya melalui uturan-urutan yang ditentukan; (3) membangun
keterampilan yang menambah pengajaran berbahasa secara alami, bukannya melalui urutanurutan yang ditentukan; (4) menghubungkan bahasa dan kesusastraan secara organis; (5)
menggabungkan berbagai komponen seni berbahasa, membaca, menulis, menyimak, dan
berbicara; (6) menggunakan pengalaman anak-anak dengan kehidupan sebagai tempat masuk
untuk membaca dan menulis; (7) dan memperlakukan bahasa sebagai satu keseluruhan,
bukannya membagi pengajaran menjadi komponen-komponen keterampilan yang tersendiri
(Chambel, Chambel & Dicknson, 2006).
Salah satu metode yang tepat menurut kriteria di atas untuk bisa meningkatkan kecerdasan verbal
anak adalah dengan metode storytelling atau bercerita. Metode ini dapat mewadahi karakteristik
anak yang memiliki daya imajinasi dan fantasi yang tinggi. Cerita pada dasarnya memiliki
struktur kata dan bahasa yang lengkap serta menyeluruh yang mana di dalamnya sudah terdapat
sistem aturan bahasa yang mencakup fonologi (sistem suara), morfologi (aturan untuk
mengkombinasikan unit makna minimal), sintaksis (aturan membuat kalimat), semantik (sistem
makna), dan pragmatis (aturan penggunaan dalam setting sosial) (Santrock, 2007). Diharapkan
dengan storytelling anak makin mampu menghasilkan semua suara bahasa, mengenali kata dan
bahkan secara perlahan mampu menghasilkan serangkaian kongsonan yang kompleks atau
minimal dengan metode bercerita, perbendaharaan kata anak menjadi bertambah. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa usia pra sekolah adalah usia emas untuk anak dalam
menguasai kata. Dimana pada usia dua setengah tahun anak hanya memiliki dua atau tiga ratus
kosa kata, nanun pada usia hingga enam tahun, ia bisa menguasai ribuan kata. (Montesori, 2008).
Paley dan rekan menemukan bahwa keuntungan dari storytelling antara lain (1) membantu siswa
mengenalkan pada proses dan tujuan dari menulis, (2) mempertimbangkan ekspresi kreatif dari
ide-ide dan perasaan, (3) meningkatkan kesempatan untuk membangun kemampuan sosial, dan
(4) mempertimbangkan siswa untuk bekerja dengan ide-ide dan berbagai pengalaman (Cooper
1993; Paley, 1990 dalam Wright, Bacigalupa, Black & Burton, 2008). Selain itu manfaat lain dari
storytelling menurut Vivian Paley’s (1988, 1990, 2004 dalam Wright, Bacigalupa, Black &
Burton, 2008) adalah dengan bercerita dapat menolong guru untuk lebih memahami siswa yang
dia ajar, lebih efektif pada sosial anak dan kebutuhan emosionalnya, serta menciptakan
kurikulum yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat anak. Bahkan Lenox (2000)
menjelaskan efek lain dari storytelling adalah merupakan alat yang sangat kuat untuk
meningkatkan pemahaman dari diri anak dan orang lain disekitarnya.
Sebuah penelitian untuk menguji efek storytelling dan story reading pada bahasa oral yang
komplek dan story comprehension pada anak usia 3-5 tahun membuktikan bahwa terdapat efek
positif yang besar terhadap bahasa oral anak (Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Selain
itu Ford (2007) menjelaskan pengalamannya belajar bersama muri-murid di The Pittsburgh
Public School District dengan metode storytelling yang disesuaikan dengan karakteristik anak,
dimana murid-muridnya memiliki kekurangan dalam hal hal matematika, kemampuan membaca,
dan menulis, hasilnya murid-murid tersebut dapat meningkatkan motivasi dan performance
kinerjanya.
Ketika cerita dibacakan, terkadang kata-kata yang diucapkan tidak hanya diingat namun juga
serasa dilukiskan kembali secara spontan, terdapat semangat performance, yang dibantu oleh
partisipasi dan interaksi audien (Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Dimana Roney
(1996 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) menjelaskan bahwa di dalam
storytelling aspek yang harus diperhatikan agar berjalan dengan efektif adalah mencoba kreatif
dan memiliki komunikasi dua arah (storyteller dan pendengar). Selain itu kontak mata dengan
pendengarpun sangat penting untuk diperhatikan, jika anak melihat kontak mata storyteller,
dimana mereka saling melakukan tatapan dalam interaksi, pada akhirnya akan membuat
pengalaman menjadi lebih personal dari pada storyteller hanya membaca buku cerita (Zeece,
1997; Malo & Bullasrd 2000 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Storytelling
yang digunakan untuk meningkatkan kecerdasan anak juga harus disesuaikan dengan level
kognitif anak. Dimana pada usia pra sekolah, level kognitif mereka berada pada operasional
kongrit (Piaget dalam Santrock, 2007) Sehingga cerita yang diberikan haruslah bersifat kongrit
dan tidak membutuhkan daya penalaran yang tinggi.
Colon-Vila (1997 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) setuju bahwa storytelling
dapat membantu mengajari siswa untuk mendengar, membantu membangun keterampilan
komunikasi oral dan tulisan, dan mengembangkan pemahaman dari cerita skema. Farrel dan
Nessell (1982 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) menjelaskan bahwa
storytelling membantu mengembangkan kelancaran, menambah perbendaharaan kata, dan
membantu mengingat kata. Selain itu Marrow menyakini bahwa storytelling adalah salah satu
cara untuk mengembangkan bahasa di kelas awal masa kanak-kanak.
DAFTAR RUJUKAN
Campbell, L,. Campbell, B,.& Dickinson, D. (2006) Metode Praktis Pembelajaran Berbasis
Multiple Intelligences (terjemahan). Jakarta: Intuisi Pers
Ford, Tawnya. (2007). The Power of Story in Building Character and Community.
http://academic.evergreen.edu/c/chambreb/Power%20of%20Story%20Reader%2007.pdf
Gadner, Howard. (2003). Multiple Intelligences. Batam: Interaksara
Handayani, Sugeng. (2007). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Sebagai Upaya Untuk
Membangkitkan Multiple Intelligences Siswa. Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 3, No 1,
September 2007
Isbell,R., Sobol,J., Lindauer,L.,& Lowrance, A. (2004). The Effects of Storytelling and Story
Reading on the Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children. Early
Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 3, December 2004
Kramarski, Bracha & Mevarech, Zemira R. (2003). Enhancing Mathematical Reasoning in the
Classroom: The Effects of Cooperative Learning and Metacognitive Training. American
Educational Research Journal Spring 2003, Vol. 40, No. 1, pp. 281–310
Lenox, Mary F. (2000). Storytelling for Young Children in a Multicultural World. Early
Childhood Education Journal, Vol. 28. No. 2. 2000
Montessori, Maria. (2008). The Absobent Mind-Pikiran yang Mudah Menyerap (terjemahan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nichols, Robert C. (1978). Policy Implications of The Iq Controversy. Review of Research In
Education 1978; 6; 3
Rettig, Michael. (2005). Using the Multiple Intelligences to Enhance Instruction for Young
Children and Young Children with Disabilities. Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No.
4, febuary 2005
Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan (terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Wright, C,.Bacigalupa, C,. Black, T,. Burton, M. (2008). Window into Children Thingking: A
Guide to Storytelling and Dramatization. Early Childhood Education J (2008) 35: 363-369
KEKUATAN 'STORYTELLING' (METODE BERCERITA)
anda pernah mendengarkan dongeng yang diceritakn orang tua anda waktu
kecil? ada imajinasi disitu, andapun seakan-akan memang ikut merasakan, ikut
melihat peristiwanya, itu lah contoh sederhana kekuatan story telling (metode
bercerita) Storytelling merupakan budaya universal manusia, terhitung dari mulai
anak-anak hingga orang dewasa. Storytelling adalah sebuah bagian dari aktifitas
komunikasi, yang sejatinya menuangkan ide, buah pikiran, atau pesan, yang
mengisahkan tentang kisah hidup atau berbagai kejadian secara lisan. Tidak semua
orang memiliki kemampuan bercerita dengan baik. Tantangannya adalah kreasi
dibenak kita dan cara bagaimana mengungkapkan apa yang telah di cipta dalam
dunia ide.
Sebagian orang memanfaatkan media dalam menuangkan ide, buah pikiran,
atau pesan, kedalam ringkasan sebuah cerita, diantaranya media visual. Ada dua
kata yang terkandung dalam visual storytelling, yaitu visual dan storytelling. Visual
adalah segala hal yang berhubungan dengan penglihatan, artinya dapat dilihat.
Sedangkan storytelling adalah cara yang dilakukan untuk menyampaikan suatu
cerita kepada audience, baik dalam bentuk kata-kata, foto, gambar maupun suara.
Pengertian Visual Storytelling adalah cara menyampaikan suatu cerita kepada
audience dalam bentuk media visual. Istilah gampangnya, “ Biarkan gambar atau
foto berbicara “. Ibarat sebuah gambar, terdiri dari 1000 kata.
Menurut John Berger, 1982, gambar mempunyai sejumlah kekuatan,
diantaranya:
1.
Seeing comes before words. The child looks and recognizes before it can speak.
2.
It is seeing which establishes our place in the surrounding world
3.
The relation between what we see and what we know is never settled.
Hanya melihat sebuah gambar atau foto, seseorang telah mampu merangkai
ribuan kata, secara jelas tentang apa yang mau diceritakan. Tanpa mesti dijelaskan
secara lisan terlebih dahulu, gambar telah bercerita kepada yang melihatnya.
Sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, budaya
bercerita, terus mengalami perkembangan. Dari budaya bercerita konvensional,
yang mengandalkan kemampuan bercerita lisan, kemudian menggunakan media
gambar, dan kini menuju ke arah era digitalisasi. Digital storytelling adalah
ungkapan modern dari seni bercerita yang mengandalkan kekuatan dengan
gambar, musik, narasi dan suara bersama-sama, sehingga memberikan dimensi
dalam dan warna hidup untuk karakter, situasi, pengalaman dan wawasan.
Knut Lundby, 2008 dalam bukunya Digital Storytelling mengartikan sebagai
“ small-scale as a media form, short just few minute long, made with off-the-shelf
equetment and technique. The production are not expensive, for example, be
zooming of still picture rather than moving image. The story centring the narrator’s
own, personal life and experience and usually told in his or her own voice”. Story
telling dalam era digital menemukan bentuk baru dalam skala yang kecil, berdurasi
pendek dibuat dengan teknik yang sederhana dengan biaya murah, yang
menyangkut pengalaman hidup seseorang yang diceritakan dengan narasi dan
menggunakan suara yang bersangkutan.
Menurut McClean, 2007, story telling is related to the narrative power of
visual effect in film. Dalam film tidak hanya kata-kata verbal, namun animasi visual
dan efek manipulatif yang dihasilkan, yang semua itu merupakan representasi dari
ide atau pesan yang ingin disampaikan. Sederhananya, cerita pendek digital 2
sampai 10 menit film multimedia yang menggabungkan foto, video, animasi, suara,
musik, teks, dan sering suara narasi. Bentuk baru dari cerita muncul dengan
munculnya produksi hardware media yang dapat diakses teknik, dan perangkat
lunak, tetapi tidak terbatas pada kamera digital, perekam suara digital, iMovie ,
Windows Movie Maker dan Final Cut Express . Ini teknologi baru memungkinkan
individu untuk berbagi cerita melalui Internet pada YouTube , Video , compact disc,
podcast , dan sistem distribusi elektronik.
The "cerita digital" panjang juga dapat mencakup berbagai narasi digital
(web-based cerita, cerita interaktif, hypertexts, dan permainan narasi komputer).
Hal ini kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada pembuatan film pada
umumnya, dan pada akhir, itu telah digunakan untuk menggambarkan upaya iklan
dan promosi oleh perusahaan komersial dan non-profit.
Cerita digital dapat digunakan sebagai media ekspresif dalam kelas untuk
mengintegrasikan materi pelajaran dengan pengetahuan dan keterampilan yang
masih ada dari seluruh kurikulum. Siswa dapat bekerja secara individual atau
bersama-sama untuk menghasilkan cerita digital mereka sendiri. Setelah selesai,
cerita-cerita yang mudah di-upload ke internet dan dapat dibuat tersedia untuk
audiens internasional, tergantung pada topik dan tujuan dari proyek ini.
Salah satu contoh, digital storytelling pernah dikembangkan diThe National
Gallery of Art di Washington DC juga mengadakan serangkaian kelas untuk
mengintegrasikan kurikulum pendidikan seni dengan cerita digital dari 2003-2005.
Aspek-aspek bercerita digital, gambar, musik, dan narasi memperkuat ide dan
menarik bagi jenis belajar yang berbeda. Guru dapat menggunakannya untuk
memperkenalkan proyek, tema, atau area konten, dan juga dapat membiarkan
siswa mereka membuat cerita digital mereka sendiri dan kemudian mereka berbagi.
Guru dapat membuat cerita digital untuk membantu memfasilitasi diskusi kelas,
sebagai antisipasi set untuk topik baru, atau untuk membantu siswa memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep yang lebih abstrak.
Cerita-cerita ini dapat menjadi bagian integral dari setiap pelajaran dalam
berbagai mata pelajaran. Siswa juga dapat membuat cerita digital sendiri. Melalui
penciptaan cerita-cerita siswa diwajibkan untuk mengambil kepemilikan materi
yang mereka sajikan. Mereka harus menganalisis dan mensintesis informasi juga.
Semua ini mendukung pemikiran tingkat yang lebih tinggi. Siswa mampu
memberikan suara diri mereka melalui mengekspresikan pikiran dan ide-ide.
Kasus diIndonesia, pemanfaatan digital storytelling, umumnya lebih banyak
mengadopsi digital storytelling dari luar negeri melalui berbagai media, diantaranya
media youtube. Banyak sekali digital storytelling, dapat diunduh, dan
dipresentasikan sebagai bagian dari pemberian materi pelajaran sekolah, terutama
tentang materi pelajaran nilai dan budipekerti. Sementara, yang dikaryakan sendiri
oleh siswa-siswa sekolah, kebanyakan masih bersifat sederhana, misalnya masih
menggunakan foto dan hasil menggambar siswa. Sedangkan yang diproduksi
melalui program komputer gambar, klip video, film, animasi hanya sedikit saja. Hal
ini sangat beralasan, karena kemampuan siswa untuk memproduksi bentuk cerita
digital dengan memanfaatkan film dan klip video masih terbatas. Kecuali
munculnya kreatifitas guru dalam mengembangkan digital storytelling kepada
siswa.
Digital storytelling, disisi lain, sebenarnya melatih siswa untuk berusaha
mengingat dengan peristiwa lain yang berhubungan. Selanjutnya, membaca cerita
dapat melatih siswa untuk berusaha mengembangkan daya kreativitas dan
imajinasinya. Dengan kata lain, digital storytelling bagi siswa sangat efektif dalam
mengembangkan imajinasi positif, mengembangkan pengalaman emosi, pemberian
pendidikan moral, memperbesar cakrawala mental, menumbuhkan rasa humor
serta membangkitkan apresiasi.
Menurut Carey, 2003 dalam McQuail menyatakan seiring dengan teknologi
berbasis komputer, terdapat pula berbagai inovasi yang dalam beberapa hal
mengubah aspek komunikasi. Aspek komunikasi yang berubah adalah munculnya
budaya visual, dimana siswa diajak memahami sebuah gambar dan koneksitas
gambar kedalam sebuah tulisan atau cerita yang logis dan kritis. Ada unsur
pengembangan kerangka berpikir dari visual atau gambar kedalam sebuah tulisan
atau lisan. Siswa dapat mempelajari dan berusaha memahami pesan dari rangkain
gambar, dan dikonstruksi menjadi sebuah keutuhan realita sesuai fakta yang ada
dalam gambar.
Karakteristik yang paling penting dari sebuah digital storytelling adalah
bahwa tidak lagi sesuai dengan konvensi mendongeng tradisional karena cerita
digital (digital storytelling) mampu menggabungkan citra bergerak, suara, dan teks,
serta menjadi fitur interaktif. Kemampuan ekspresif teknologi menawarkan dasar
yang luas dimana untuk berfungsi mengintegrasikan. Hal ini meningkatkan
pengalaman bagi siswa untuk interaktivitas yang lebih besar. Metode bercerita atau story
telling merupakan metode yang cukup efektif dalam menarik perhatian audiens. Metode ini juga bisa
digunakan oleh pemasar untuk menarik perhatian para konsumen dan pelanggannya. Tidak hanya itu,
metode bercerita bisa menjadi media sebuah merek memenangi sebuah kompetisi. Ekterina Walter,
kolumnis di situs Mashable, mengatakan selain lantaran desain yang unik, layanan kepada pelanggan,
kesuksesan perusahaan juga ditentukan pada kemampuannya untuk menceritakan merek mereka
kepada pelanggannya. Cerita, sambung Walter, tak seperti elemen pemasaran lainnya, memampukan
merek terhubung dengan pelanggannya pada tataran emosional. Dan, metode ini memiliki kekuatan
luar biasa di era digital seperti sekarang. Ada empat atribut kunci merek bisa sukses melakukan
kampanye berbasis cerita ini. Walter menyebut juga empat merek yang sukses di masing-masing atribut.
1. Etika
Sepatu merek TOM, misalnya, telah dijual di lebih dari 500 gerai di seluruh dunia. Sepatu ini dikenal
dengan program etik dan sosialnya. Ada sebuah etos bahwa setiap pembelian sepatu, satu pasang
didonasikan untuk anak-anak yang membutuhkan. Merek ini berhasil membuat cerita aktivitas
filantropinya sebagai bagian utama dalam gerak bisnis perusahaan.
Perusahaan ini juga berhasil membangun cerita tersebut di media online, seperti di situs web mereka
maupun di YouTube yang sudah dilihat oleh empat jutaan orang. TOM juga menggunakan blog untuk
mengeksplorasi aktivitas mereka dalam memengaruhi orang di seluruh dunia.
2. Personalitas
Mr. Kipling yang mengusung semboyan “Exceedingly Good Cakes” merupakan pemimpin pasar di pasar
kue di Inggris selama beberapa dekade. Iklan TVC Mr. Kipling mengusung cerita tentang seorang lelaki
terhubung dengan beberapa generasi dengan makan kue tersebut.
Sayangnya, Mr. Kipling bukan sosok sungguhan. Namun, strategi ini diklaim menuai sukses dalam
pemasaran di era digital. Bahkan, di online, Mr. Kipling mendapat jodoh Mrs. Kipling yang memiliki fan
page sendiri di Facebook dengan lebih 100.000 fans. Termasuk juga di Twitter. Tokoh Mr. Kipling dan Mrs.
Kipling membuat narasi menjadi lebih personal.
3. Asal Usul
Mengusung tenmpat asal juga menjadi salah satu elemen menarik dalam metode bercerita ini. Chrysler
mengambil Detroit dan menempatkannya sebagai inti kampanyenya “Diimpor dari Detroit.” Iklan
inspiratif ini meluncur pada tahun 2009 dan memberi semangat bagi warga Amerika Serikat yang sedang
dilanda krisis ekonomi.
Di kanal YouTube, iklan komersial Eminem Superbowl telah menarik perhatian 15 juta views. Chrysler
juga bermitra dengan merek lokal The Juliets untuk melanjutkan kampanye Detroitnya. Termasuk
mempromosikan merchandise melalui media sosial yang hasilnya untuk kegiatan karitatif mereka.
4. Sikap
Nike memiliki kisah sukses sendiri dalam menggunakan metode bercerita. Nike selama ini dikenal
sebagai pemasok andal sepatu dan busana olahraga. Dan menariknya, Nike tidak sekadar menjual
produk. Nike berhasil menjual sikap yang mana setiap orang merupakan seorang atlit yang bisa
memenangi pertandingan.
Semangat di atas menjadi semangat dalam komunitas Running dan kampanye Livestrong yang
mengusung prestasi-prestasi Lance Armstrong. Kampanya ini dinilai sangat sukses, khususnya di media
sosial. Misalnya, kanal Livestrong di YouTube mengusung cerita ornag-orang yang terkena kanker dengan
tujuan untuk menyemagati orang melalui pesan “Unity is strenght, knowledge is power, and attitude is
everything!” Sejauh ini, kanal tersebut sudah mendapatkan lebih dari dua juta views. Sementara, di
Twitter, akunnya mendapat lebih dari 250.000 follower dan fans Facebooknya mendapatkan lebih dari
1,5 juta tanda suka.
.............dan perlu anda ketahui bahwa di indonesia ada "akademi bercerita" linknya disini
Kesimpulan
Digital storytelling merupakan hasil peradaban baru, yang muncul akibat
kemajuan daya pikir manusia, yang mampu mengembangkan teknologi. Digital
storytelling tak lain hanyalah representasi dari sebuah fakta, yang terwakili dalam
sebuah gambar digital diam ataupun bergerak, musik dan teks. Penggabungan
fakta inilah, mampu mengungkapkan sebuah cerita atau narasi tentang sebuah
kisah hidup. Manusia adalah organisme cerita secara perseorangan dan kehidupan
sosial.
Konten digital storytelling, dapat dijadikan sebagai pesan dari aktifitas
komunikasi, dimana proses penyampaian pesan itu melalui media komputer. Digital
storytelling menyediakan tool untuk mengirim pengetahuan, ide, pesan, nilai
ataupun sebuah budaya baru, dalam konteks sosial. Bahkan dengan digital
storytelling, akan terjadi pengembangan budaya visual dan budaya tulis dalam
proses peningkatan ketrampilan berpikir kritis.