Pembangunan Hotel dan Mall di Daerah Ist (1)

Pembangunan Hotel dan Mall di Daerah Istimewa
Yogyakarta
Ditinjau dari Perspektif Teori Negara menurut Marx
Ardy Syihab
Program Studi Ketahanan Nasional
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada
ipunkardy@gmail.com

Berbicara soal kesejahteraan daerah perkotaan menjadi kawasan yang
sangat sering diperbincangkan, selain karena segudang permasalahan dari
ekonomi, budaya, politik sampai tata ruang. Hal yang paling mencolok dan
kasat mata terlihat adalah adanya ketimpangan sosial. Disamping berdiri
bangunan sangat mewah dan megah yang pembangunanya menghabisan nilaii
ratusan juta bahkan miliaran rupiah, namun dibelakangnya sangat banyah
rumah-rumah kecil padat penduduk yang tingkat kesejahteraanya masih sangat
rendah. Fenomena ini bisa dilihat dihampir semua kota besar di Indonesia, tak
terkecuali Jogjakarta.
Proposal pembangunan hotel di DIY sangatlah banyak meskipun pada
tahun 2013 telah ada moratorium. “Hingga batas akhir pengajuan permohonan
izin mendirikan bangunan (IMB) hotel pada 31 Desember 2013, ada 106
permohonan yang mengajukan pendaftaran IMB hotel baru,” kata Kepala Dinas

Perizinan Kota Yogyakarta Heri Karyawan di Yogyakarta, Senin (13/1/2013).
Hal tersebut tak lepas dari program pemerintah provinsi untuk
menggadang-gadang DIY sebagai daeah pariwisata. Industri pariwisata Daerah
Istimewa Yogyakarta khususnya di kota Jogja dan Sleman berkembang pesat.
Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2012 cukup berfluktuasi,
secara umum, selama tahun 2012 jumlah kunjungan wisatawan ke DIY
mencapai 3,536 juta, terdiri dari 3,398 juta wisatawan domestik dan 148,5 ribu
wisatawan asing.Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dengan porsi
sekitar 95,81 persen, proporsi wisatawan asing hanya 4,19 persen. Kunjungan
turis domestik maupun internasional meningkat tajam. Kebutuhan akan hunian
pada saat liburan maupun hari tertentu tinggi. Dengan begitu, berkembangnya
pembangunan hotel untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi para turis atau
wisatawan.

Selain itu hotel dan mall ikut menyumbang bangunan-bangunan tinggi
dengan belasan lantai. Berdasarkan data Skyscrapercity Forum Indonesia sudah
ada 55 bangunan bertingkat di atas enam hingga 18 lantai yang ada di
Yogyakarta. Dari 55 bangunan tertinggi di Yogyakarta 33 di antaranya adalah
hotel dan apartemen. Lima besar bangunan tertinggi di Yogyakarta tersebut
yakni Alana Hotel at Mataram City 18 lantai, Alana Condotel at Mataram City

18 lantai, Indoluxe Hotel Jogja 15 lantai, Jogja City Mall & Hotel 14 lantai dan
Grand Aston Hotel 10 lantai.
Jumlah bangunan bertingkat tersebut diperkirakan akan semakin
bertambah. Saat ini ada 25 bangunan bertingkat di atas delapan lantai yang
sedang dalam proses pembangunan. Sementara itu bangunan tinggi yang masih
dalam tahap proposal ada 16 bangunan dengan tinggi dari 10 sampai 16 lantai.
Sehingga diperkirakan total akan ada 96 bangunan di atas enam lantai yang
berdiri di Yogyakarta. Berikut ini adalah data jumlah hotel dan akomodasi lainya
dari BPS D.I. Yogyakarta.
Tabel 1. Banyaknya Hotel dan Akomodasi lain menurut Kab./ Kota 2016
Kabupaken/K

Hotel

Non Bintang

Jumlah

Bintang
-


27

27

Bantul

1

160

261

Gunungkidul

1

87

88


Sleman

26

363

389

Yoyakarta
Jumlah

60
88

ota
Kulonprogo

358
418

1.096
1.183
Data BPS Daerah Istimewa Yogyakarta 2016

Implikasi Pembangunan Mall dan Hotel
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta melihat
munculnya bangunan tinggi tersebut membuat risiko bencana menjadi tinggi.
Berkaca dari gempa tahun 2006, bukan tidak mungkin gempa serupa terjadi
dan kembali meluluh-lantakan Yogyakarta, termasuk merobohkan bangunan
bertingkat.

Bangunan tinggi tersebut pun menjadi perhatian khusus bagi

BPBD. BPBD Yogyakarta sudah memetakan potensi bencana yang ada di
Yogyakarta. Gempa bumi merupakan satu-satu bencana yang berpotensi di
semua daerah di Yogyakarta.

Kepala

Seksi


Kedaruratan

BPBD

Yogyakarta,

Danang

Samsu

menjelaskan ada dilema dalam pembangunan gedung tinggi di Yogyakarta. Di
satu sisi, Yogyakarta sebagai kota Pariwisata membutuhkan banyak hotel yang
kini mendominasi bangunan tinggi di Yogyakarta. Namun, di sisi lain semakin
banyak bangunan tinggi, semakin tinggi risiko bencananya.
Belajar dari gempa sepuluh tahun lalu, BPBD Yogyakarta terus
memantau pergerakan sesar Kali Opak yang sampai sekarang masih aktif. Jika
ada pergerakan lagi, dimungkinkan akan terjadi gempa. Inilah yang membuat
BPBD khawatir jika terlalu banyak bangunan tinggi.
Meski sudah mengantongi izin yang berarti sudah memenuhi standar

bangunan di daerah rawan gempa, namun risiko itu tetap ada. Diakui Danang,
salah satu yang membuat BPBD Yogyakarta repot adalah pembangunan banyak
bangunan tinggi tersebut tidak terbuka. Mulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan. Jika itu terjadi, maka BPBD akan kesulitan melakukan evakuasi
ketika terjadi bencana. Di sisi lain, BPBD ditargetkan untuk mengurangi risiko
dari bencana, khususnya gempa yang pernah menelan ribuan jiwa. BPBD pun
tidak ingin hal tersebut terulang lagi.
“Kalau kami dari bagian kedaruratan yang repot ketika mereka tidak
terbuka dalam perencanaan, saat ada bencana gempa misalnya, mau evakuasi
sulit

kalau

tidak

tahu blue

print bangunan

seperti


apa?"

kata

Danang.

Dibandingkan dengan Jepang, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan
standar bangunan di daerah rawan gempa. Jika melihat Jepang, sejak tahun
1924 merintis aturan bangunan standar gempa. Aturan tersebut diberlakukan
setelah gempa besar Kanto yang menghancurkan 450.000 bangunan dan
menewaskan sekitar 143.000 jiwa. Pada 1950, aturan itu pun dijadikan undangundang Building Standard Law (BSL).
Pada 1995, Jepang kembali dilanda gempa di Kobe. Meski sudah
memiliki BSL, namun rupanya belum semua bangunan menerapkannya.
Akibatnya 6.433 orang meninggal dunia. Pasca kejadian itu, pemerintah Jepang
meminta semua bangunan yang dibangun sebelum tahun 1981 disesuaikan
dengan BSL. Hal itu yang tidak terjadi di Indonesia. Pasca gempa Yogyakarta
pada 2006, masih banyak bangunan yang tidak disesuaikan dengan Standar
Nasional Indonesia untuk bangunan tahan gempa. Hanya bangunan baru saja
yang disesuaikan. “Kita khawatirnya itu bangunan yang tanggung, biasanya


kalau yang tinggi itu tertib, tapi yang di bawah lima lantai biasanya abai,”
pungkas Danang.

Pembawa Bencana
Dalam kacamata Pengurangan Risiko Bencana (PRB), bangunan tinggi
membuat risiko bencana semakin tinggi. Forum PRB menyebutkan ada tiga
bencana yang muncul akibat pembangunan yakni bencana banjir, krisis air dan
konflik sosial.
Di Yogyakarta beberapa ancaman bencana tersebut sudah terbukti.
Bangunan tinggi yang didominasi hotel dan apartemen membuat sumur warga
kering akibat perebutan sumber air. Kasus tersebut terjadi dalam kasus Fave
Hotel di Miliran, Kota Yogyakarta dan hotel 1O1 di Gowongan, Kota Yogyakarta.
Di dua lokasi tersebut sumur warga menjadi kering akibat perebutan air tanah
yang digunakan warga dan hotel. Dalam kasus Fave Hotel, puluhan sumur
warga mengering akibat berebut air tanah dengan hotel tersebut. Sedangkan di
hotel 1O1 ada lebih dari 35 kepala keluarga kesulitan air akibat sumur
mengering.
Peneliti


Penanggulangan

Yogyakarta,

Eko

Teguh

Bencana
Paripurno

Universitas
melakukan

Pembangunan
riset

terkait

Nasional

dampak

pembangunan hotel di Yogyakarta terhadap krisis air. Dari hasil penelitiannya
sejak tahun 2006 permukaan air tanah terus menurun sebanyak 15-50
sentimeter per tahun. Akibatnya, warga Yogyakarta semakin susah menjangkau
air tanah.
Selain krisis air, banjir pun menjadi ancaman yang tidak bisa terelakan
saat musim penghujan. Hal itu diakibatkan daerah resapan air yang habis untuk
pembangunan hotel. Kondisi itu diperparah dengan tingkah nakal sejumlah
hotel yang tidak tertib aturan. Dari survei yang dilakukan oleh Lembaga
Ombudsmen Swasta (LOS) Yogyakarta pada tahun 2014 dari 23 hotel yang
mereka survei secara acak, ada 10 hotel yang melanggar Perda No 2/2012
karena tidak memiliki ruang hijau dan daerah resapan air yang memadai.
Menurut Perda tersebut, semua bangunan di Yogyakarta harus memiliki ruang
terbuka hijau dan daerah resapan air. Dalam pasal 40 disebutkan setiap

bangunan dengan luas 60 meter persegi harus dilengkapi minimal 1 sumur
resapan dengan diameter 1 meter sedalam 4 meter. Selain itu, halaman gedung
tidak boleh diplester atau dikonblok.
Masalah lanjutan yang muncul akibat pembangunan hotel yakni konflik
sosial. Itu juga yang terjadi di Yogyakarta. Muncul dua kelompok warga yang
pro dan kontra dengan pembangunan hotel, seperti dalam kasus pembangunan
apartemen M Icon di Gadingan, Sleman. Muncul dua kelompok warga yang
menolak dan setuju.
Berkurangnya Sumber Air Bersih
Kepala Biro Penelitian Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya
Alam

(FNKSDA),

Bosman Batubara

kepada Mongabay mengatakan,

berdasarkan penelitian terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, politik,
dan institusional sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dengan
kerangka Driving Force-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR), menyerukan
untuk menghentikan pembangunan hotel, mal, apartemen, dan bangunan
komersial lainnya di Yogyakarta.
Hasil

penelitian

FNKSDA

menunjukkan driver berasal

dari

sektor

populasi, turisme, industri batik, perubahan iklim, kapasitas lembaga dan
individu,

serta

manajemen

data.

Faktor driver itu

memberikan

tekanan

(pressure) terhadap sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berupa
debit konsumsi dan buangan air yang dihasilkan dari populasi terkait yang
menunjukkan tingginya beban terhadap sumber daya air.
Beban dari arah populasi ini diperparah oleh kondisi lingkungan global
berupa perubahan iklim yang ditandai dengan semakin menurunnya curah
hujan secara suksesif dalam beberapa tahun. Sementara respons kebijakan dari
pemerintah

daerah

justru

kontraproduktif

karena

memicu

mobilisasi

permohonan izin pendirian hotel yang baru.
“Hal ini

berarti

penambahan pressure terhadap

sumber

daya

air.

Tekanan ini masih ditambah dengan permasalahan kapasitas lembaga dan
individu di sektor ini yang lemah,” kata Bosman.
Tekanan tersebut pada gilirannya menghasilkan kondisi (state) berupa
penurunan muka air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kontaminasi
nitrat dan bakteri e-coli. Di bidang institusi, terlihat bahwa tidak ada badan
otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola akuifer Merapi sebagai

sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan dari
sistem tata kelola ini menyebabkan tidak adanya manajemen data hidrologi
yang baik. Dalam hal pelayanan publik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
di ketiga daerah ini juga sangat lemah.
Tekanan-tekanan itu pada akhirnya menghasilkan dampak (impact)
terhadap kondisi sumber daya air dimana harga air menjadi mahal bagi
populasi dan buruknya kuantitas dan kualitas air di daerah ini. Sebagai
ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka
ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air
minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai
dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan
kebutuhan ini sangat jauh.
Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya
membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan
yang dihasilkan berdasarkan asumsi,” tambahnya. Tanggapan (response) kreatif
terhadap kondisi di atas sudah muncul dari kalangan akar rumput berupa
penolakan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta dan
sekitarnya. “Dalam scope lingkungan dan perubahan iklim yang lebih luas,
tanggapan terlihat dari gerakan pertanian perkotaan dan praktik adaptif petani
lahan pasir di sekitar Yogyakarta,” kata Bosman.

Perlawanan Warga
Banyak sekali terjadi kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat
pembangunan hotel, hal ini berdampak pada Pada 6 Agustus 2014, muncul aksi
pertama kali perlawanan warga terhadap hotel Fave di Jalan Kusumanegara,
Kota Yogyakarta. Saat itu mereka melakukan aksi demonstrasi karena sumur
warga kering setelah hotel Fave beroperasi. Dodok Putra Bangsa, salah seorang
warga Miliran yang sumurnya kering melakukan aksi mandi pasir di depan
hotel Fave.
Dodok pun mengusung tema Jogja Asat (Yogya kering) yang kemudian
menjadi gerakan bersama. Gerakan ini memberikan efek yang besar. Pasca aksi
Dodok, muncul perlawanan serupa di beberapa tempat. Salah satunya di
Gowongan, Kota Yogyakarta. Warga pun melakukan aksi serupa. Tidak sekedar
soal sumur asat, mereka juga merasa dirugikan dengan bangunan tinggi yang

menyebabkan rumah-rumah warga tidak mendapat cahaya matahari karena
tertutup bangunan tinggi.
Sebelumnya, warga di Karangwuni, Sleman juga sudah melakukan
penolakan terhadap pembangunan Apartemen Uttara. Namun, gerakan itu
belum memberikan efek pada gerakan warga. Salah satu aktivis lingkungan, Aji
Kusumo bahkan sempat dikriminalisasi karena dengan tuduhan merusak banner
milik apartemen Uttara. Dia pun divonis Pengadilan Negeri tiga bulan 15 hari
penjara potong masa tahanan pada Juni 2014.
Sementara itu di Gadingan, Ngaglik, Sleman, warga juga melakukan
penolakan

terhadap

pembangunan

Apartemen

M-Icon.

Warga

khawatir,

pembangunan itu akan membuat sumur mereka mengering dan muncul banjir
di kampung mereka. Mereka sudah melihat banyak contoh yang terjadi di Kota
Yogyakarta dan Sleman. Pada Februari 2015, mereka menggeruduk DPRD
Sleman untuk menolak pembangunan M-Icon.
Akar Persoalan
Pemilihan analisa teori negara menggunakan marxisme bukan sematamata karena sebuah pilihan bebas, namun memang hanya dengan inilah semua
relasi dapat dijelaskan. Dibandingkan dengan teori negara ideal dimana negara
adalah kehendak dari rakyat, faktanya tak mungkin mayoritas masyarakat
miskin DIY menginginkan mata airnya kering dan ruang hidupnya terdesak oleh
pembangunan hotel dan mall. Ini semata-mata adalah kepentingan pemodal
besar yang ingin merauk keuntugan lewat bisnis hotel dan mall. Atau mungkin
dengan analisa negara netral, benar bahwa dalam konteks ini wali kota dan
wakil

walikota

khususnya

Sleman

dan

Yogyakarta

adalah

keterwakilan

kelompok tertentu yang kemudian memberikan kebijakan pembangunan hotel
dan mall secara besar-besaran. Namun, teori negara pluralis/netral tak cukup
bisa menjelaskan kompleksitas dinamika sosial politik dalam kebijakan tersebut,
semisal dalam konteks perlawanan warga didalamnya. Perjuangan warga yang
mendapatkan represifitas negara dan perjuangan yang dilakukan secara
konsisten sehingga berdampak pada moratorium pembangunan hotel dan mall.
Dalam permasalahn diatas dapat dilihat bahwa persoalan pembangunan
hotel di DIY hanya dapat dijelakan dengan teori negara menurut marxismeleninisme. Dalam teori negara menurut marxisme-leninisme klasik memang

masih sangat general dalam menjelaskan berbagai fenomena, namun dalam
teori marxisme kotemporer hal ini dapat dijelaskan dengan sangat gamblang.
Marxisme kotemporer banyak berkembng terutama di daerah dunia ketiga,
sebut

saja

amerika

latin,

seiring

sejalan

dengan

praktek

partai-partai

revolusioner di negaranya seperti venezuela, brazil, bolivia, chile, dll. Mekipun
juga

tak

dipungkiri

negara-negara

di

eropa

juga

turut

serta

dalam

pembangunan teori marxisme kotemporer seperti spanyol dan swedia.
Di Indonesia dapat kita jumpai juga teoritikus sekaligus praktisi marxis.
Hampir

semua

founding

people

Indonesia

pun

terpengaruh

pemikiran

makxisme dengan mencoba menafsirkanya dalam konteks keindonesiaan. Dari
banyak

pemikir

tersebut

teruji

secara

objektif

banhwa

Soekarno

yang

mengkombimasikan teori serta prakteknya dalam memimpin perjuangan
revolusi Indonesia. Penemuan Soekarno adalah konsep mengenai marhaenisme,
marhaineisme bisa disebut sebagai marxisme ala Indonesia karena tentu secara
objektif bisa dijumpai dalam tulisan-tulisan Soekarno. Soekarno berangkat dari
teori kelas Marx yang berkembang di eropa. Teori kelas berbicara mengenai
sejarah kehidupan manusia yang tak pernah lepas dari pertarungan kelas. Di
era kapitalisme kelas yang berkontradiksi adalah proletar dan borjuis, protetar
atau buruh adalah kelas yang tak memiliki alat produksi dan menggantungkan
kehidupanya pada jasa atau kemampuan yang dimilikinya sedangkan borjuis
adalah penguasa modal atau alat produksi. Di negara dunia ketiga seperti
Indonesia

tentu

bentuk

kapitalismenya

belumlah

matang,

jumlah

kelas

proletarpun tak banyak itupun tak sedikit yang masih memiliki lahan di desanya
masing-masing. Masyarakat Indonesia yang didominasi oleh petani kecil yang
sebetulnya memiliki alat produksi namun masih jauh dari kata sejahtera karena
terdesak oleh arus kapitalisme, disinilah titik munculnya gagasan marhainisme.
Sehingga berbica mengenai kelas sosial dalam marxisme tak hanya berbicara
mengenai proletar dengan definisi ketat atas kepemilikan alat produksinya,
namun dalam perkembanganya bisa diperluas perspektifnya menjadi semua
rakyat

miskin

yang

tertindas

oleh

sistem

kapitalisme.

Dalam

konteks

pembangunan hotel dan mall di DIY jelas bahwa kelas yang dominan yaitu
borjuis, dimana hotel dan mall didirikan untuk usaha-usaha mereka meraup
keuntungan sebesar-besarnya dengan mengunakan momentum proyeksi besar
DIY sebagai daerah pariwisata. Kelas sosial miskin perkotaan mendapat imbas
buruknya, dari ruang hidup yang semakin sempit sampai dengan kurangya air

tanah yang berpuluh-puluh tahun tak pernah habis sebagai kebutuhan pokok
menyambung kehidupan atas izin negara sebagai atal kelas yang dominan.
Ketimpangan Kelas Sosial
Perkembangan

garis

menunjukkan pola yang terus

kemiskinan

DIY

selama

periode

2002-2016

meningkat seiring dengan peningkatan harga

barang dan jasa kebutuhan rumah tangga. Nilai nominal garis kemiskinan DIY
pada kondisi Maret 2002 tercatat sebesar Rp 113,- ribu per kapita per bulan.
Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 354,- ribu pada bulan Maret 2016. Secara
umum, garis kemiskinan DIY tercatat selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan
pada level nasional. Faktor ini menjadi salah satu penyebab level kemiskinan
DIY yang cenderung lebih tinggi dari angka nasional, karena ukuran kemiskinan
sangat sensitif terhadap garis kemiskinan yang digunakan. Nilai nominal garis
kemiskinan berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan juga menunjukkan
pola yang semakin meningkat. Namun demikian, garis kemiskinan perkotaan
selalu lebih tinggi dari perdesaan.
Berdasarkan data selama periode 2000-2016, jumlah penduduk miskin
terlihat beberapa kali mengalami peningkatan di tahun 2003, 2005, 2006, 2014
dan 2015. Hal ini terjadi akibat kenaikan harga yang cukup tinggi terutama
berkaitan dengan kenaikan harga bahan bakar dan energi. Kenaikan ini
berimplikasi pada kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga
lainnya, sehingga garis kemiskinan juga meningkat dan secara otomatis jumlah
penduduk miskin juga meningkat.
Berdasarkan data bulan Maret tahun 2005-2015, distribusi pendapatan
yang

diproksi

dengan

pendekatan

pengeluaran

per

kapita

penduduk

menunjukkan pola yang semakin tidak merata atau timpang. Pada tahun 2015,
40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima 15,65 persen total
pendapatan. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan tahun 2014 yang
mencapai 16,82 persen dari total pendapatan. Sementara, 20 persen penduduk
golongan pendapatan tertinggi memperoleh porsi pendapatan sebesar 50,28
persen pada tahun 2015 dan lebih meningkat dibandingkan dengan tahun 2014.
Jika dihitung dengan rasio Kuznets maka total pendapatan 20% penduduk
berberpendapatan tertinggi besarnya 3 kali lipat pendapatan 40 % penduduk
pada golongan berpendapatan terendah.

Tak ada satupun hotel dan mall di DIY yang dimilki oleh masyarakat
miskin atau yang masuk dalam 40% penduduk diatas. Hotel dan mall adalah
bisnis yang berkembang pesat selaras dengan proyeksi DIY sebagai daerah
pariwisata. Dalam memperlancar bisnis tersebut tentu para pemilik modal
bersekutu

atau

lebih

tepatnya

adalah

birokrasi

sebagai

alat

untuk

memperlancar skema pembangunan hotel dan mall. Lewat skema otonomi
daerah memang saat ini izin hotel dan mall diserahkan sepenuhnya pada
bupati/walikota.
Keberpihakan Negara
Jelas bahwa dalam kasus pembangunan mall dan hotel ini keterpihakan
walikota dan bupati sebagai representasi tangan negara di daerah adalah
berpihak pada kelas borjuasi pengusaha hotel dan mall. Rakyat miskin
mendapatkan imbas berupa kerugian-kerugian yang bahkan terus terakumulasi
sampai dengan saat ini mulai dari keterdesakan ruang hidup sampai dengan
sulitnya sumber mata air. Mulai dari mendapatkan ganti rugi yang tak sesuai
sampai dengan rumah dan halaman yang tak lagi bisa terkena sinar matahari.
Lewat hegemoni dan aparatus idiologisnya negara membuat seolah-olah
bahwa pembangunan adalah imbas dari moderenisasi dan permintaan yang
terus meningkat yang tak bisa ditolak dan menjadi keharusan. Faktanya warga
terdampak tidak sama sekali meningkat kesejahteraanya. Sudah menjadi
kewajaran akhirnya hal tersebut mendapatkan perlawanan dari masyarakat
lewat berbagai bentuk. Salah satunya lewat desa berdaya yang digagas oleh
Widodo dkk. Tak jarang banyak yang juga mendapatkan represifitas dari
negara, sebut saja Aji Kusumo yang dipenjara akibat pembelaannya terhadap
warga terdampak pembangunan di apartemen utara.
Lewat desakan-desakan dan perlawanan tersebut baru kemudian
moratorium dilakukan, birokrat pelayan kepentingan kelas pemodal harus
dipaksa dan memang hanya mau melayani kepentingan masyarakat ketika
dipaksa lewat persatuan dan solidaritas rakyat melawan tirani ketikadilan.
Itupun terkadang masih banyak sekali kasus diaman lagi-lagi warga yang
mengalami kerugian karena keberpihakan negara pada kelas dominan. Satu
contoh kasus yang terjadi di Zest hotel yang terletah di jl. Gadjah mada kota
Yogyakata, bangunan tersebut sebetulnya telah menyalahi aturan dari dinas
kebudayaan kota Yogyakarta karena telah menggusur bangunan cagar budaya

yaitu salah satu gedung bersejarah Tamansiswa. Selain itu perjanjian pihak
hotel dengan warga sekitar terdampak berkaitan dengan serapan tenaga kerja
diingkari oleh pihak hotel. Parahnya lagi-lagi itu dibiarkan oleh pemkot sebagi
kepanjangtanganan negara.
Menurut David Harvey dalam bukunya neoliberalisme dan restorasi
kelas kapitalis bahwa kelas dominan kapitais pun tak akan mungkin melakukan
program-program tanpa didukung oleh pihak tertentu dalam birokrasi. Kadang
kala terlihat seolah-olah kapitalis hanya berperan melakukan apa yang
sebenarnya ingin dilakukan oleh birokrat(kelas elit) yang berkuasa.

Daftar Pustaka
Budiman,

Arief

(1996):

“Teori

Negara”

PT

Gramedia

Pustaka

Utama.

Yogyakarta
Harvey, David (2009): “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis” Resist
Book. Yogyakarta
Kasenda, Peter (2014): “Sukarno Marxisme & Leninisme” Komunitas Bambu.
Yogyakarta
Newman Michael (2006): “Sosialisme Abad 21” Resist Book. Yogyakarta

http://www.jogja.co/106-hotel-baru-akan-berdiri-di-kota-jogja/
https://prezi.com/rpzo3edqadk3/dampak-pembangunan-hotel/
https://tirto.id/20160617-39/risiko-dan-nasib-buruk-pembangunan-hotel-diyogyakarta-242909
diakses pada 17 Juli 2016
https://m.tempo.co/read/news/2016/01/23/090738700/yogyakarta-marakpembangunan-hotel-ini-kritik-ekonom-ugm _23 januari 2016
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/04/06/o57zuv382moratorium-pembangunan-hotel-di-yogya-diperpanjang _7 april 2016
http://www.mongabay.co.id/2015/04/29/pembangunan-hotel-dan-mal-diyogyakarta-merusak-lingkungan-mengapa/ _April 29 2015
Farisa, Fitria Chusna pada
pembangunan-hotel-di-yogya/

http://liputan.tersapa.com/siapa-yang-terlibat-

http://news.detik.com/berita/2895175/maraknya-pembangunan-hotel-rusakkeistimewaan-yogyakarta

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24