Fenomena Caleg Stres Siap Menang Tidak S
Fenomena Caleg Stres : Siap Menang, Tidak Siap Kalah !
Oleh Rangga Kusumo
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Belum lama ini, Bangsa Indonesia baru saja selesai menyelenggarakan sebuah perhelatan
akbar, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014. Seluruh warga negara Indonesia yang telah
memenuhi ketentuan sebagai pemilih telah menggunakan hak pilihnya pada tanggal 12 April
yang lalu. Meskipun banyak pihak menilai masih cukup banyaknya kekurangan dalam
penyelenggaraan Pileg tahun ini, namun Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono menilai bahwa penyelenggaraan Pileg 2014 mengalami kemajuan dan semakin
membuat Indonesia mapan dan matang dalam berdemokrasi. Terlepas dari itu semua, bagi partai
politik dan calon legislatif yang menang, tentunya saat ini mereka sedang berada dalam kondisi
yang berbahagia merayakan kemenangannya. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk calon
legislatif yang mengalami kekalahan. Bagi mereka yang kalah, ada sebuah fenomena yang
menarik, unik, lucu sekaligus memprihatinkan yang sering menimpa beberapa diantara mereka,
yakni banyak dari mereka mengalami stress atau depresi berat.
Tampaknya fenomena stres pasca pemilu yang melanda calon legislatif yang mengalami
kekalahan memang sudah menjadi sebuah rutinitas di setiap usainya perhelatan pemilu. Pada
pemilu tahun 2009 yang lalu misalnya, Kementrian Kesehatan melansir terdapat sebanyak 7736
caleg yang mengalami stres pasca pemilu karena gagal menjadi anggota dewan. 1 Pada pemilu
legislatif tahun 2014 ini, fenomena caleg stres juga telah cukup banyak terjadi. Misalnya saja
kasus yang menimpa seorang caleg dari partai Demokrat yang bernama Witarsa, dimana sehari
setelah pencoblosan, Ia dibawa oleh anggota keluarganya kesebuah padepokan di Desa
Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Witarsa mengalami stres akibat perolehan
suaranya sedikit sehingga gagal menjadi anggota dewan.2 Hal serupa pun banyak menimpa
caleg-caleg lain yang mengalami kekalahan dalam pemilu yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.
Analisis penulis, hal terbesar yang menyebabkan banyaknya caleg yang mengalami stres
pasca pemilu adalah kesalahan orientasi atau tujuan. Menurut penulis, itulah akibat yang diterima
caleg ketika memutuskan ikut dalam pertarungan politik untuk menjadi anggota legislatif dengan
niat untuk mencari kekayaan, popularitas, kekuasaan semata, bukannya sebuah pengabdian yang
tulus. Padahal, hakikatnya menjadi anggota legislatif itu berarti Ia menjadi representasi dari
kepentingan masyarakat dan yang paling bertanggungjawab untuk membuat sebuah kebijakan
publik yang tepat, yang bisa mensejahterakan masyarakat. Tidakkah tanggungjawab besar
1 http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/08/110950/2548709/1562/pemilu-2009-lalu-ada-7736-calegstres-bagaimana-tahun-ini?9922032, diakses pada Minggu, 13 April 2014 pukul 11.10 WIB
2 http://www.antaranews.com/berita/429079/caleg-gagal-curi-kotak-suara-hingga-gantung-diri, diakses pada
Minggu, 13 April 2014 pukul 11.34 WIB
tersebut disadari oleh calon-calon legislatif, maka jika kesadaran ini tidak ada wajarlah jika
banyak kemudian perilaku-perilaku para wakil rakyat yang menyimpang dari aturan yang
berlaku mulai dari penyimpangan yang sifatnya kecil seperti tidur saat rapat, hingga
penyimpangan yang besar seperti melakukan tindak pidana korupsi.
Alasan lain yang menjadi sebab banyaknya caleg yang stres pasca pemilu adalah akibat
banyaknya uang yang harus mereka kucurkan untuk pemenangan mereka, seperti untuk
kampanye, dan biaya administratif lainnya. Wakil Ketua DPR RI dari PDIP periode 2009-2014
Pramono Anung dalam sebuah penelitian mengenai biaya politik yang dia lakukan untuk
kelengkapan disertasi doktoralnya, berjudul Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota
Legislatif terhadap Konstituen, mendapati sebuah fakta bahwa untuk pencalonan sebagai anggota
legislatif dalam pemilu, seorang caleg paling sedikit mengeluarkan dana minimal Rp. 600 juta,
bahkan ada yang sampai menghabiskan dana mencapai Rp. 5 miliar. Merujuk pada fakta
tersebut, maka tidak heran jika ketika mereka gagal terpilih, mereka akan merasa mengalami
kerugian yang sangat besar, dan akhirnya stres. Karena uang untuk biaya politik tidak sedikit,
maka berbagai cara pun dilakukan oleh para caleg untuk meraih kekuasaan, tidak memandang
lagi cara tersebut baik atau buruk. Money politic contohnya, yang saat ini serasa menjadi menu
wajib yang harus dilakukan oleh para caleg untuk menang dalam kontestasi politik dalam
pemilu. Keburukan pun seolah menjadi hal yang lumrah atau wajar dilakukan.
Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang demikianlah yang akan membuat hilangnya
keadilan dalam perlemen jika mereka benar-benar menjadi anggota dewan. Merekalah orangorang yang dapat menciderai makna demokrasi yang hakiki, mencederai salah satu prinsip
demokrasi yang digagas oleh Hendy B Mayo misalnya, yaitu tidak terjamin tegaknya keadilan. 3
Orientasi ingin merebut kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara, misalnya melakukan
money politic, tentunya akan membuat tidak sehatnya persaingan politik. Pihak-pihak yang tidak
punya modal ekonomi yang cukup atau pihak-pihak yang menjunjung tinggi kebenaran dan
mematuhi peraturan yang ada tentunya akan merasa dirugikan. Lebih jauh dari itu, dampak
buruk ini akan berlanjut di parlemen. Orang-orang yang menggunakan cara-cara curang tersebut
jika mereka benar-benar masuk dalam parlemen ditakutkan mereka akan tidak objektif dalam
membuat kebijakan, Ia akan cenderung mementingkan kepentingan pribadi atau golongan, atau
bahkan korupsi pun akan menjadi fenomena yang wajar mereka dilakukan. Tidak heran yang
demikian, karena prinsip mereka kebanyakan adalah bagaimana agar biaya politik yang besar
yang digunakan saat kampanye harus kembali atau balik modal. Maka sungguh fakta telah
membuktikan banyak wakil rakyat di parlemen Indonesia yang terjangkit kasus korupsi. Dengan
demikian, maka jelaslah dapat kita lihat bahwa nilai atau prinsip keadilan dan kesejahteraan
rakyat menjadi prioritas ke sekian bagi para wakil rakyat itu.
Sebagai penutup, penulis akan memberikan sebuah solusi atau pesan untuk seluruh warga
negara yang memutuskan untuk bertarung dalam kontestasi politik agar tidak stres ketika
3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, 2008), hal. 119.
mengalami kekalahan dalam pemilu. Mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
haruslah paham dan siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi, baik bersifat positif
maupun negatif. Persiapkanlah segala hal sebelum pencalonan, mulailah untuk memberikan
kontribusi nyata untuk masyarakat jauh-jauh hari sebelum pemilu, bukan hanya “sok” sibuk
mengabdi ketika mendekati pemilu saja. Yakinlah jika memang seorang caleg pantas, layak dan
punya kapasistas yang mumpuni untuk menjadi anggota dewan, maka masyarakat pun dengan
sendirinya pasti akan mendukung dan akan memilihnya dalam pemilu tanpa harus melakukan
cara-cara yang tidak baik. Kemudian hendaknya para caleg memperbaiki orientasi atau niat
mereka dalam pencalonan. Bukan untuk poularitas atau meraup kekayaan semata, namun
tuluslah berkerja untuk pengabdian demi memperjuangkan keadilan dan kepentingan
masyarakat. Maka Indonesia akan punya para pemangku kebijakan yang ideal, yang akan
membawa Indonesia lebih baik lagi. Namun, jika prinsip yang demikian tidak tertanam dalam ke
dalam hati para caleg, maka bersiaplah untuk mengalami stres atau depresi ketika mengalami
kekalahan seperti yang dialami kebanyakan caleg masa kini. Sungguh lucu, unik dan
memprihatinkan, itulah fenomena caleg masa kini, mereka hanya siap menang, namun tidak siap
untuk kalah.
Oleh Rangga Kusumo
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Belum lama ini, Bangsa Indonesia baru saja selesai menyelenggarakan sebuah perhelatan
akbar, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014. Seluruh warga negara Indonesia yang telah
memenuhi ketentuan sebagai pemilih telah menggunakan hak pilihnya pada tanggal 12 April
yang lalu. Meskipun banyak pihak menilai masih cukup banyaknya kekurangan dalam
penyelenggaraan Pileg tahun ini, namun Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono menilai bahwa penyelenggaraan Pileg 2014 mengalami kemajuan dan semakin
membuat Indonesia mapan dan matang dalam berdemokrasi. Terlepas dari itu semua, bagi partai
politik dan calon legislatif yang menang, tentunya saat ini mereka sedang berada dalam kondisi
yang berbahagia merayakan kemenangannya. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk calon
legislatif yang mengalami kekalahan. Bagi mereka yang kalah, ada sebuah fenomena yang
menarik, unik, lucu sekaligus memprihatinkan yang sering menimpa beberapa diantara mereka,
yakni banyak dari mereka mengalami stress atau depresi berat.
Tampaknya fenomena stres pasca pemilu yang melanda calon legislatif yang mengalami
kekalahan memang sudah menjadi sebuah rutinitas di setiap usainya perhelatan pemilu. Pada
pemilu tahun 2009 yang lalu misalnya, Kementrian Kesehatan melansir terdapat sebanyak 7736
caleg yang mengalami stres pasca pemilu karena gagal menjadi anggota dewan. 1 Pada pemilu
legislatif tahun 2014 ini, fenomena caleg stres juga telah cukup banyak terjadi. Misalnya saja
kasus yang menimpa seorang caleg dari partai Demokrat yang bernama Witarsa, dimana sehari
setelah pencoblosan, Ia dibawa oleh anggota keluarganya kesebuah padepokan di Desa
Sinarancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Witarsa mengalami stres akibat perolehan
suaranya sedikit sehingga gagal menjadi anggota dewan.2 Hal serupa pun banyak menimpa
caleg-caleg lain yang mengalami kekalahan dalam pemilu yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.
Analisis penulis, hal terbesar yang menyebabkan banyaknya caleg yang mengalami stres
pasca pemilu adalah kesalahan orientasi atau tujuan. Menurut penulis, itulah akibat yang diterima
caleg ketika memutuskan ikut dalam pertarungan politik untuk menjadi anggota legislatif dengan
niat untuk mencari kekayaan, popularitas, kekuasaan semata, bukannya sebuah pengabdian yang
tulus. Padahal, hakikatnya menjadi anggota legislatif itu berarti Ia menjadi representasi dari
kepentingan masyarakat dan yang paling bertanggungjawab untuk membuat sebuah kebijakan
publik yang tepat, yang bisa mensejahterakan masyarakat. Tidakkah tanggungjawab besar
1 http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/08/110950/2548709/1562/pemilu-2009-lalu-ada-7736-calegstres-bagaimana-tahun-ini?9922032, diakses pada Minggu, 13 April 2014 pukul 11.10 WIB
2 http://www.antaranews.com/berita/429079/caleg-gagal-curi-kotak-suara-hingga-gantung-diri, diakses pada
Minggu, 13 April 2014 pukul 11.34 WIB
tersebut disadari oleh calon-calon legislatif, maka jika kesadaran ini tidak ada wajarlah jika
banyak kemudian perilaku-perilaku para wakil rakyat yang menyimpang dari aturan yang
berlaku mulai dari penyimpangan yang sifatnya kecil seperti tidur saat rapat, hingga
penyimpangan yang besar seperti melakukan tindak pidana korupsi.
Alasan lain yang menjadi sebab banyaknya caleg yang stres pasca pemilu adalah akibat
banyaknya uang yang harus mereka kucurkan untuk pemenangan mereka, seperti untuk
kampanye, dan biaya administratif lainnya. Wakil Ketua DPR RI dari PDIP periode 2009-2014
Pramono Anung dalam sebuah penelitian mengenai biaya politik yang dia lakukan untuk
kelengkapan disertasi doktoralnya, berjudul Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota
Legislatif terhadap Konstituen, mendapati sebuah fakta bahwa untuk pencalonan sebagai anggota
legislatif dalam pemilu, seorang caleg paling sedikit mengeluarkan dana minimal Rp. 600 juta,
bahkan ada yang sampai menghabiskan dana mencapai Rp. 5 miliar. Merujuk pada fakta
tersebut, maka tidak heran jika ketika mereka gagal terpilih, mereka akan merasa mengalami
kerugian yang sangat besar, dan akhirnya stres. Karena uang untuk biaya politik tidak sedikit,
maka berbagai cara pun dilakukan oleh para caleg untuk meraih kekuasaan, tidak memandang
lagi cara tersebut baik atau buruk. Money politic contohnya, yang saat ini serasa menjadi menu
wajib yang harus dilakukan oleh para caleg untuk menang dalam kontestasi politik dalam
pemilu. Keburukan pun seolah menjadi hal yang lumrah atau wajar dilakukan.
Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang demikianlah yang akan membuat hilangnya
keadilan dalam perlemen jika mereka benar-benar menjadi anggota dewan. Merekalah orangorang yang dapat menciderai makna demokrasi yang hakiki, mencederai salah satu prinsip
demokrasi yang digagas oleh Hendy B Mayo misalnya, yaitu tidak terjamin tegaknya keadilan. 3
Orientasi ingin merebut kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara, misalnya melakukan
money politic, tentunya akan membuat tidak sehatnya persaingan politik. Pihak-pihak yang tidak
punya modal ekonomi yang cukup atau pihak-pihak yang menjunjung tinggi kebenaran dan
mematuhi peraturan yang ada tentunya akan merasa dirugikan. Lebih jauh dari itu, dampak
buruk ini akan berlanjut di parlemen. Orang-orang yang menggunakan cara-cara curang tersebut
jika mereka benar-benar masuk dalam parlemen ditakutkan mereka akan tidak objektif dalam
membuat kebijakan, Ia akan cenderung mementingkan kepentingan pribadi atau golongan, atau
bahkan korupsi pun akan menjadi fenomena yang wajar mereka dilakukan. Tidak heran yang
demikian, karena prinsip mereka kebanyakan adalah bagaimana agar biaya politik yang besar
yang digunakan saat kampanye harus kembali atau balik modal. Maka sungguh fakta telah
membuktikan banyak wakil rakyat di parlemen Indonesia yang terjangkit kasus korupsi. Dengan
demikian, maka jelaslah dapat kita lihat bahwa nilai atau prinsip keadilan dan kesejahteraan
rakyat menjadi prioritas ke sekian bagi para wakil rakyat itu.
Sebagai penutup, penulis akan memberikan sebuah solusi atau pesan untuk seluruh warga
negara yang memutuskan untuk bertarung dalam kontestasi politik agar tidak stres ketika
3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, 2008), hal. 119.
mengalami kekalahan dalam pemilu. Mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
haruslah paham dan siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi, baik bersifat positif
maupun negatif. Persiapkanlah segala hal sebelum pencalonan, mulailah untuk memberikan
kontribusi nyata untuk masyarakat jauh-jauh hari sebelum pemilu, bukan hanya “sok” sibuk
mengabdi ketika mendekati pemilu saja. Yakinlah jika memang seorang caleg pantas, layak dan
punya kapasistas yang mumpuni untuk menjadi anggota dewan, maka masyarakat pun dengan
sendirinya pasti akan mendukung dan akan memilihnya dalam pemilu tanpa harus melakukan
cara-cara yang tidak baik. Kemudian hendaknya para caleg memperbaiki orientasi atau niat
mereka dalam pencalonan. Bukan untuk poularitas atau meraup kekayaan semata, namun
tuluslah berkerja untuk pengabdian demi memperjuangkan keadilan dan kepentingan
masyarakat. Maka Indonesia akan punya para pemangku kebijakan yang ideal, yang akan
membawa Indonesia lebih baik lagi. Namun, jika prinsip yang demikian tidak tertanam dalam ke
dalam hati para caleg, maka bersiaplah untuk mengalami stres atau depresi ketika mengalami
kekalahan seperti yang dialami kebanyakan caleg masa kini. Sungguh lucu, unik dan
memprihatinkan, itulah fenomena caleg masa kini, mereka hanya siap menang, namun tidak siap
untuk kalah.