Konflik Suku Anak Dalam Dengan Warga Jam
Tugas Mata Kuliah Perubahan Sosial dan Analisis Konflik
Dibawah asuhan
Prof. Dr. Ronny Rahman Nitibaskara
Judul Tugas
KONFLIK PERSPEKTIF THORSTEN SELLIN:
KONFLIK SUKU ANAK DALAM DENGAN WARGA JAMBI
Nama : Edison Guntur Aritonang
NIM : 1506783703
Kajian Stratejik Ketahanan Nasional
Program Pascasarjana
Universitas Indonesia
Maret 2016
KONFLIK PERSPEKTIF THORSTEN SELLIN:
Konflik Suku Anak Dalam Dengan Warga Jambi
Edison Guntur Aritonang
Mahasiswa PKN 35
NPM 1506783703
[email protected]
Abstraksi
Keberagaman budaya dalam suatu konstruksi sosial pada kehidupan bermasyarakat sering menjadi
suatu sumber konflik yang berujung pada kisah-kisah anarkis yang mengharu pilu. Akibat dan dampak
yang ditimbulkan terkadang tidak dapat terselesaikan dengan baik, bahkan meninggalkan rasa dendam
pada penerus-penerus dari kelompok yang bertikai. Seorang kriminolog kawakan dunia, Thorsten Sellin
mengemukakan tiga premis yang umum sebagai sumber dari konflik tersebut. Perspektif Sellin tersebut
melalui premis yang dikemukakannya dapat dilihat pada konflik yang terjadi antara Suku Anak Dalam
atau yang dikenal dengan Orang Rimbah dengan Warga Jambi di Desa Kungkai, Kecamatan Bangko,
Kabupaten Merangin.
Konflik tersebut sudah lama terjadi, sejak 1999 sudah terdapat 14 orang yang meninggal, 13 dari
Orang Rimbah dan 1 dari warga Desa Kungkai. Pada tahun 2000, terjadi kembali konflik yang sangat
besar di Desa Kungkai tersebut, tindakan anarkis baik dari Suku Anak Dalam maupun warga Desa
Kungkai mengakibatkan TNI/Polri turun untuk melakukan pengamanan secara khusus. Banyak senapan
rakitan yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam yang turut disita, pelaku yang ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati. Langkah pemerintah pusat yang langsung dipimpin oleh Presiden dengan melakukan
kunjungan pasca konflik tersebut diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Kata Kunci : konflik, konflik antar budaya, suku anak dalam, orang rimbah, orang kubu, orang
jambi.
A. Pendahuluan
Thorsten Sellin mengatakan ada tiga hal
yang dapat menjadi penyebab dari suatu konflik
antar budaya yang berbeda, yaitu sebagai
berikut:
1. ketika aturan-aturan ini berbenturan di
perbatasan
wilayah
budaya
yang
bersebelahan;
2. ketika, sebagaimana kasusnya dengan norma
hukum, hukum satu kelompok budaya
Hal 1
diperluas
untuk
mencakup
wilayah
secara
hukum
pidana,
selebihnya
hanya
diselesaikan melalui hukum adat.
kelompok budaya lain, atau
3. ketika anggota salah satu kelompok budaya
bermigrasi ke kelompok budaya lain.
Rudi Syaf, Direktur Komunikasi KKI
Warsi, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di
Konflik antar budaya tersebut terjadi di
Jambi yang telah lama melakukan kajian
Propinsi Jambi, tepatnya di Kecamatan Banko,
terhadap Orang Rimbah tersebut, mengatakan
Kabupaten Merangin, warga Desa Kungkai
bahwa konflik yang terjadi telah lama dan
dengan Suku Anak Dalam (SAD) atau dikenal
sampai menyimpan rasa dendam di antara kedua
dengan Orang Rimbah yang cenderung hidup
belah pihak, hanya tinggal menunggu pecahnya
berpindah-pindah dan sering menggantungkan
saja.
kebutuhan hidupnya dari hasil hutan.
Permasalahan tersebut terjadi karena
Komunitas
adanya migrasi dari kelompok dari dua latar
Warsi, konflik yang
belakang budaya yang berbeda dan hidup
terjadi antara warga Suku Anak Dalam (SAD)
berdampingan. Orang Rimbah menganggap
dan warga desa di kawasan Provinsi Jambi
Sungai
tersebut sudah memakan korban sedikitnya 14
mereka sejak jaman nenek moyangnya sehingga
orang meninggal sejak 1999. Terdapat 13 orang
mereka tetap merasa berhak untuk mendapatkan
meninggal dari pihak Orang Rimbah dan satu
penghidupan dari kawasan tersebut ketika hutan
orang warga Desa Kungkai (Tempo, 2015).
tidak memberikan hasil yang baik. Orang
Berdasarkan
Konservasi
Indonesia
catatan
Kejadian yang paling menghebohkan
adalah pada tahun 2000, terjadi perampokan dan
pemerkosaan terhadap Orang Rimbah yang
bermukim di kawasan Nalo Tantan. Dalam
kasus tersebut, tujuh Orang Rimbah meninggal.
Sedangkan tiga pelaku sudah divonis hukuman
mati dan tinggal menunggu eksekusi. Kasus ini
merupakah kasus pertama yang diselesaikan
Kungkai
merupakan jalur lintasan
Rimbah yang hidup berpindah-pindah antara
kawasan Desa Kungkai dan hutan sekitarnya,
mengalami desakan akibat banyaknya kawasan
hutan
yang
perkebunan,
berubah
khususnya
menjadi
kawasan
perkebunan
kelapa
sawit.
Ada
beberapa
upaya
yang
telah
dilakukan untuk meminimalisir konflik tersebut
dengan melakukan pemindahan Orang Rimba
Hal 2
dari
Desa
Kungkai
melalui
pembangunan
kawasan pemukiman dan pemberian lahan
pertanian bagi mereka untuk dikelola, namun hal
tersebut berjalan sesuai harapan.
Pemerintah Kabupaten Merangin dan
kepolisian dibantu aparat TNI memutuskan
untuk merelokasi warga Suku Anak Dalam di
Desa Kungkai ke lokasi yang baru di Desa
Gading Jaya, Kecamatan Tabir Barat, Merangin.
Hal tersebut sampai mengundang perhatian
Presiden Joko Widodo yang langsung datang
untuk melakukan pengecekan secara langsung,
Gambar 2. Presiden Jokowi saat berdialog dengan
Suku Anak Dalam di Jambi
(Sumber: http://news.liputan6.com)
melakukan dialog dengan beberapa perwakilan
masyarakat
Suku
Anak
Dalam
pada
17
Desember 2015 yang lalu.
Warga Orang Rimbah yang bermukim di
wilayah Provinsi Jambi sekitar 3.900 jiwa.
Mereka hidup menyebar di kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit
Tigapuluh, dan sepanjang jalan jalur lintas
Sumatera, mulai Kecamatan Singkut, Kabupaten
Sarolangun
Jambi
hingga
ke
Kabupaten
Dharmasraya, Sumatera Barat.
B. Sekilas Suku Anak Dalam
Gambar 1. Presiden Jokowi saat mengunjungi Suku
Anak Dalam di Jambi
(Sumber: http://news.liputan6.com)
Suku Anak Dalam atau Orang Rimbah
atau Suku Kubu merupakan kelompok suku
yang ada di sekitar wilayah Propinsi Jambi,
Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Mereka
cenderung berpindah-pindah dengan mengitari
daerah sekitar kawasan hutan lindung Taman
Hal 3
Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional
Rimba ini tidak pernah mendiami satu rumah
Bukit Duabelas.
secara tetap, namun rumah yang pernah mereka
Kebiasaan dari Orang Rimbah yang
memiliki
kepercayaan
bahwa
alam
telah
menyediakan semua yang mereka butuhkan
tempati sebagai tempat tinggal mereka klaim
sebagai rumahnya.
C. Insiden Konflik Berujung Anarkis
kelompok
Kondisi kawasan hutan yang banyak
masyarakat yang hidup sebagai pemburu, baik di
mengalami alih fungsi menjadi perkebunan,
hutan
untuk
khususnya kebun kelapa sawit, seolah-olah
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal
mempersempit ruang gerak mereka untuk
tersebut
berburu,
menjadikan
mereka
maupun
pula
sebagai
pinggiran
yang
sungai
menjadikan
mereka
ditambah
lagi
dengan
adanya
cenderung untuk tinggal di atas pohon yang
pembangunan “paret gajah” dan perubahan
mereka
ekosistem lainnya, membuat rute-rute yang
jadikan
sebagai
rumah-rumah
persinggahan dan tidak mengenal pakaian,
walaupun melalui program pembinaan saat ini
sudah mengenal dan mau mengenakannya.
menjadi lintasan mereka terganggu.
Hasil perburuan yang mereka dapatkan
semakin
lama
semakin
buruk
dan
Suatu kepercayaan bagi Orang Rimbah
mengakibatkan adanya kecenderungan untuk
yang memperlakukan wanita dengan hormat
tinggal di suatu kawasan sungai dalam waktu
adalah bentuk nilai-nilai yang diturunkan sampai
yang cukup panjang. Kawasan yang sudah mulai
saat ini. Ketika seseorang menistakan dan
bertambah ramai mengakibatkan mereka mulai
menghina kaum perempuan dari suku mereka
hidup berdampingan dengan masyarakat dengan
adalah penistaan adat.
peradaban kota.
Orang Rimbah akan keluar dari hutan
Upaya
pemerintah
kabupaten
untuk
(rimba) ketika mereka mulai mengetahui musim
memberikan lahan pertanian untuk dikelola oleh
telah berganti ke arah musim panas (kering) dan
Orang Rimba ternyata tidak mampu menjadikan
memilih tinggal di sekitar pinggiran sungai dan
mereka sebagai masyarakat yang menetap,
kembali ke hutan jika musim kering tersebut
banyak lahan pertanian yang telah diberikan
sudah selesai, pola hidup seperti itu telah
mereka tinggalkan untuk pergi berburu ke hutan
dijalankan secara turun temurun sehingga Orang
pada musimnya, walau sebagian kecil sudah
Hal 4
mulai ada yang betah untuk tinggal dalam waktu
secara baik antara warga dengan Orang Rimbah
yang cukup lama.
Interaksi sosial yang terjadi dengan
masyarakat
Desa
Kungkai
dengan
Orang
Rimbah di sekitar sungai Kungkai ini, dengan
latar belakang budaya yang berbeda, sering
menghasilkan komunikasi yang tidak baik,
mulai dari komunikasi verbal maupun non
verbal.
Cara
Komunikasi verbal tidak dapat dilakukan
berpakaian
Orang
sehingga sulit menjalin komunikasi untuk
mengatasi rasa dendam yang sudah sempat
terbentuk.
C.2. Adanya Tindakan Oknum yang
Memanfaatkan Kondisi
Permasalahan yang berlarut tersebut
Rimbah,
dalam waktu bertahun-tahun, diperparah oleh
khususnya perempuan Rimbah suka tidak terlalu
adanya tindakan pemerkosaan oleh oknum
diperhatikan, perut yang kelihatan dan terkadang
kepada perempuan Suku Anak Dalam sehingga
bagian dada yang tidak tertutup sehingga
menimbulkan perlawanan dari mereka. Secara
cenderung menghasilkan bentuk komunikasi
adat mereka seperti dinistakan sehingga banyak
non verbal yang tidak baik, padahal kepercayaan
dari mereka yang ingin membalas dengan
Orang Rimbah dalam memperlakukan wanita
membawa peralatan berburu yang dimiliki oleh
dengan sangat terhormat.
Orang Rimbah.
C.1. Akar Masalah Komunikasi Non Verbal
Sikap anarkis yang dibalas juga dengan
Komunikasi yang sempat terjadi secara
tindakan anarkis tersebut membuat kehidupan di
non verbal tersebut sering menimbulkan rasa
sekitar Desa Kungkai tersebut tidak dapat lagi
ketidaksenangan atau salah paham antara warga
berjalan dengan baik. Sebagian warga desa
dengan
Beberapa
merasa takut karena tiba-tiba Suku Anak Dalam
permasalahan yang timbul dengan Suku Anak
datang secara tiba-tiba, sedangkan rumah-rumah
Dalam dari warga Desa Kungkai, oknum warga,
dan sepeda motor serta barang lainnya dari Suku
sehingga terjadi pemukulan oleh Suku Anak
Anak Dalam sudah dibakar oleh warga desa
Dalam membuat konflik yang terus terjadi dan
sehingga sebagian besar Suku Anak Dalam lari
sering diikuti dengan tindakan balasan dari
menuju hutan.
Suku
Anak
Dalam.
warga lainnya.
Hal 5
ke kelompok budaya lain sebagai salah satu
C.3. Habitus Suku Anak Dalam
Suku Anak Dalam yang sempat bertikai
sumber terjadinya konflik.
akhirnya dilakukan relokasi oleh Pemerintah
Pemerintah mengambil langkah untuk
Kabupaten Merangin, keluar dari Desa Kungkai.
merelokasi Suku Anak Dalam dari Desa
Namun habitus mereka masih cenderung untuk
Kungkai ke tempat lain dengan pertimbangan
berburu ke hutan pada musimnya dan berladang
bahwa dua kelompok budaya yang berbeda
pada musimnya berdasarkan perhitungan musim
tersebut
oleh Suku Anak Dalam. Tentu untuk mengubah
berdampingan.
memang
tidak
bisa
hidup
hal tersebut tidaklah mudah, apalagi jika
program yang dicanangkan hanya bersifat
jangka pendek.
Daftar Pustaka
[1] Asgart, Sofian Munawar. 2003. Politisasi
Habitus yang sudah melekat lama pada
Suku Anak Dalam ini akan tetap berpotensi
menimbulkan konflik dengan warga-warga desa
yang menjadi perlintasan mereka. Perlu waktu
SARA: Dari Masa ORBA ke Masa Transisi
Demokrasi. Jakarta: ISAI, 2003.
[2] Manurung, Butet. 2007. Sekolah Rimba.
Yogyakarta: Insist Press.
yang cukup lama untuk melakukan edukasi pada
Suku Anak Dalam mulai dari cara bertahan
hidup
menetap
dan
berpakaian
sehingga
pergeseran peradaban dapat dilakukan dengan
[3] Sellin, Thorsten. 1938. Culture Conflict and
Crime. New Jersey: Social Science Research
Council.
baik.
[4] Tempo.
D. Kesimpulan dan Saran
komunikasi
secara
tidak dapat menjalin
verbal,
Online,
https://m.tempo.co/read/news/2015/12/16/05
Dua kelompok masyarakat yang hidup
berdampingan tetapi
Tempo
berpotensi
8728195/konflik-suku-anak-dalam-vswarga-jambi-punya-riwayat-panjang
[diakses 10 Maret 2016, jam 10.20 WIB]
menimbulkan konflik. Perspektif dari Thorsten
Sellin melalui premis yang dikemukakanya
memperkuat kejadian konflik yang terjadi pada
Suku Anak Dalam dengan warga Desa Kungkai,
karena migrasi anggota suatu kelompok budaya
Hal 6
Dibawah asuhan
Prof. Dr. Ronny Rahman Nitibaskara
Judul Tugas
KONFLIK PERSPEKTIF THORSTEN SELLIN:
KONFLIK SUKU ANAK DALAM DENGAN WARGA JAMBI
Nama : Edison Guntur Aritonang
NIM : 1506783703
Kajian Stratejik Ketahanan Nasional
Program Pascasarjana
Universitas Indonesia
Maret 2016
KONFLIK PERSPEKTIF THORSTEN SELLIN:
Konflik Suku Anak Dalam Dengan Warga Jambi
Edison Guntur Aritonang
Mahasiswa PKN 35
NPM 1506783703
[email protected]
Abstraksi
Keberagaman budaya dalam suatu konstruksi sosial pada kehidupan bermasyarakat sering menjadi
suatu sumber konflik yang berujung pada kisah-kisah anarkis yang mengharu pilu. Akibat dan dampak
yang ditimbulkan terkadang tidak dapat terselesaikan dengan baik, bahkan meninggalkan rasa dendam
pada penerus-penerus dari kelompok yang bertikai. Seorang kriminolog kawakan dunia, Thorsten Sellin
mengemukakan tiga premis yang umum sebagai sumber dari konflik tersebut. Perspektif Sellin tersebut
melalui premis yang dikemukakannya dapat dilihat pada konflik yang terjadi antara Suku Anak Dalam
atau yang dikenal dengan Orang Rimbah dengan Warga Jambi di Desa Kungkai, Kecamatan Bangko,
Kabupaten Merangin.
Konflik tersebut sudah lama terjadi, sejak 1999 sudah terdapat 14 orang yang meninggal, 13 dari
Orang Rimbah dan 1 dari warga Desa Kungkai. Pada tahun 2000, terjadi kembali konflik yang sangat
besar di Desa Kungkai tersebut, tindakan anarkis baik dari Suku Anak Dalam maupun warga Desa
Kungkai mengakibatkan TNI/Polri turun untuk melakukan pengamanan secara khusus. Banyak senapan
rakitan yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam yang turut disita, pelaku yang ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati. Langkah pemerintah pusat yang langsung dipimpin oleh Presiden dengan melakukan
kunjungan pasca konflik tersebut diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Kata Kunci : konflik, konflik antar budaya, suku anak dalam, orang rimbah, orang kubu, orang
jambi.
A. Pendahuluan
Thorsten Sellin mengatakan ada tiga hal
yang dapat menjadi penyebab dari suatu konflik
antar budaya yang berbeda, yaitu sebagai
berikut:
1. ketika aturan-aturan ini berbenturan di
perbatasan
wilayah
budaya
yang
bersebelahan;
2. ketika, sebagaimana kasusnya dengan norma
hukum, hukum satu kelompok budaya
Hal 1
diperluas
untuk
mencakup
wilayah
secara
hukum
pidana,
selebihnya
hanya
diselesaikan melalui hukum adat.
kelompok budaya lain, atau
3. ketika anggota salah satu kelompok budaya
bermigrasi ke kelompok budaya lain.
Rudi Syaf, Direktur Komunikasi KKI
Warsi, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di
Konflik antar budaya tersebut terjadi di
Jambi yang telah lama melakukan kajian
Propinsi Jambi, tepatnya di Kecamatan Banko,
terhadap Orang Rimbah tersebut, mengatakan
Kabupaten Merangin, warga Desa Kungkai
bahwa konflik yang terjadi telah lama dan
dengan Suku Anak Dalam (SAD) atau dikenal
sampai menyimpan rasa dendam di antara kedua
dengan Orang Rimbah yang cenderung hidup
belah pihak, hanya tinggal menunggu pecahnya
berpindah-pindah dan sering menggantungkan
saja.
kebutuhan hidupnya dari hasil hutan.
Permasalahan tersebut terjadi karena
Komunitas
adanya migrasi dari kelompok dari dua latar
Warsi, konflik yang
belakang budaya yang berbeda dan hidup
terjadi antara warga Suku Anak Dalam (SAD)
berdampingan. Orang Rimbah menganggap
dan warga desa di kawasan Provinsi Jambi
Sungai
tersebut sudah memakan korban sedikitnya 14
mereka sejak jaman nenek moyangnya sehingga
orang meninggal sejak 1999. Terdapat 13 orang
mereka tetap merasa berhak untuk mendapatkan
meninggal dari pihak Orang Rimbah dan satu
penghidupan dari kawasan tersebut ketika hutan
orang warga Desa Kungkai (Tempo, 2015).
tidak memberikan hasil yang baik. Orang
Berdasarkan
Konservasi
Indonesia
catatan
Kejadian yang paling menghebohkan
adalah pada tahun 2000, terjadi perampokan dan
pemerkosaan terhadap Orang Rimbah yang
bermukim di kawasan Nalo Tantan. Dalam
kasus tersebut, tujuh Orang Rimbah meninggal.
Sedangkan tiga pelaku sudah divonis hukuman
mati dan tinggal menunggu eksekusi. Kasus ini
merupakah kasus pertama yang diselesaikan
Kungkai
merupakan jalur lintasan
Rimbah yang hidup berpindah-pindah antara
kawasan Desa Kungkai dan hutan sekitarnya,
mengalami desakan akibat banyaknya kawasan
hutan
yang
perkebunan,
berubah
khususnya
menjadi
kawasan
perkebunan
kelapa
sawit.
Ada
beberapa
upaya
yang
telah
dilakukan untuk meminimalisir konflik tersebut
dengan melakukan pemindahan Orang Rimba
Hal 2
dari
Desa
Kungkai
melalui
pembangunan
kawasan pemukiman dan pemberian lahan
pertanian bagi mereka untuk dikelola, namun hal
tersebut berjalan sesuai harapan.
Pemerintah Kabupaten Merangin dan
kepolisian dibantu aparat TNI memutuskan
untuk merelokasi warga Suku Anak Dalam di
Desa Kungkai ke lokasi yang baru di Desa
Gading Jaya, Kecamatan Tabir Barat, Merangin.
Hal tersebut sampai mengundang perhatian
Presiden Joko Widodo yang langsung datang
untuk melakukan pengecekan secara langsung,
Gambar 2. Presiden Jokowi saat berdialog dengan
Suku Anak Dalam di Jambi
(Sumber: http://news.liputan6.com)
melakukan dialog dengan beberapa perwakilan
masyarakat
Suku
Anak
Dalam
pada
17
Desember 2015 yang lalu.
Warga Orang Rimbah yang bermukim di
wilayah Provinsi Jambi sekitar 3.900 jiwa.
Mereka hidup menyebar di kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit
Tigapuluh, dan sepanjang jalan jalur lintas
Sumatera, mulai Kecamatan Singkut, Kabupaten
Sarolangun
Jambi
hingga
ke
Kabupaten
Dharmasraya, Sumatera Barat.
B. Sekilas Suku Anak Dalam
Gambar 1. Presiden Jokowi saat mengunjungi Suku
Anak Dalam di Jambi
(Sumber: http://news.liputan6.com)
Suku Anak Dalam atau Orang Rimbah
atau Suku Kubu merupakan kelompok suku
yang ada di sekitar wilayah Propinsi Jambi,
Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Mereka
cenderung berpindah-pindah dengan mengitari
daerah sekitar kawasan hutan lindung Taman
Hal 3
Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional
Rimba ini tidak pernah mendiami satu rumah
Bukit Duabelas.
secara tetap, namun rumah yang pernah mereka
Kebiasaan dari Orang Rimbah yang
memiliki
kepercayaan
bahwa
alam
telah
menyediakan semua yang mereka butuhkan
tempati sebagai tempat tinggal mereka klaim
sebagai rumahnya.
C. Insiden Konflik Berujung Anarkis
kelompok
Kondisi kawasan hutan yang banyak
masyarakat yang hidup sebagai pemburu, baik di
mengalami alih fungsi menjadi perkebunan,
hutan
untuk
khususnya kebun kelapa sawit, seolah-olah
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal
mempersempit ruang gerak mereka untuk
tersebut
berburu,
menjadikan
mereka
maupun
pula
sebagai
pinggiran
yang
sungai
menjadikan
mereka
ditambah
lagi
dengan
adanya
cenderung untuk tinggal di atas pohon yang
pembangunan “paret gajah” dan perubahan
mereka
ekosistem lainnya, membuat rute-rute yang
jadikan
sebagai
rumah-rumah
persinggahan dan tidak mengenal pakaian,
walaupun melalui program pembinaan saat ini
sudah mengenal dan mau mengenakannya.
menjadi lintasan mereka terganggu.
Hasil perburuan yang mereka dapatkan
semakin
lama
semakin
buruk
dan
Suatu kepercayaan bagi Orang Rimbah
mengakibatkan adanya kecenderungan untuk
yang memperlakukan wanita dengan hormat
tinggal di suatu kawasan sungai dalam waktu
adalah bentuk nilai-nilai yang diturunkan sampai
yang cukup panjang. Kawasan yang sudah mulai
saat ini. Ketika seseorang menistakan dan
bertambah ramai mengakibatkan mereka mulai
menghina kaum perempuan dari suku mereka
hidup berdampingan dengan masyarakat dengan
adalah penistaan adat.
peradaban kota.
Orang Rimbah akan keluar dari hutan
Upaya
pemerintah
kabupaten
untuk
(rimba) ketika mereka mulai mengetahui musim
memberikan lahan pertanian untuk dikelola oleh
telah berganti ke arah musim panas (kering) dan
Orang Rimba ternyata tidak mampu menjadikan
memilih tinggal di sekitar pinggiran sungai dan
mereka sebagai masyarakat yang menetap,
kembali ke hutan jika musim kering tersebut
banyak lahan pertanian yang telah diberikan
sudah selesai, pola hidup seperti itu telah
mereka tinggalkan untuk pergi berburu ke hutan
dijalankan secara turun temurun sehingga Orang
pada musimnya, walau sebagian kecil sudah
Hal 4
mulai ada yang betah untuk tinggal dalam waktu
secara baik antara warga dengan Orang Rimbah
yang cukup lama.
Interaksi sosial yang terjadi dengan
masyarakat
Desa
Kungkai
dengan
Orang
Rimbah di sekitar sungai Kungkai ini, dengan
latar belakang budaya yang berbeda, sering
menghasilkan komunikasi yang tidak baik,
mulai dari komunikasi verbal maupun non
verbal.
Cara
Komunikasi verbal tidak dapat dilakukan
berpakaian
Orang
sehingga sulit menjalin komunikasi untuk
mengatasi rasa dendam yang sudah sempat
terbentuk.
C.2. Adanya Tindakan Oknum yang
Memanfaatkan Kondisi
Permasalahan yang berlarut tersebut
Rimbah,
dalam waktu bertahun-tahun, diperparah oleh
khususnya perempuan Rimbah suka tidak terlalu
adanya tindakan pemerkosaan oleh oknum
diperhatikan, perut yang kelihatan dan terkadang
kepada perempuan Suku Anak Dalam sehingga
bagian dada yang tidak tertutup sehingga
menimbulkan perlawanan dari mereka. Secara
cenderung menghasilkan bentuk komunikasi
adat mereka seperti dinistakan sehingga banyak
non verbal yang tidak baik, padahal kepercayaan
dari mereka yang ingin membalas dengan
Orang Rimbah dalam memperlakukan wanita
membawa peralatan berburu yang dimiliki oleh
dengan sangat terhormat.
Orang Rimbah.
C.1. Akar Masalah Komunikasi Non Verbal
Sikap anarkis yang dibalas juga dengan
Komunikasi yang sempat terjadi secara
tindakan anarkis tersebut membuat kehidupan di
non verbal tersebut sering menimbulkan rasa
sekitar Desa Kungkai tersebut tidak dapat lagi
ketidaksenangan atau salah paham antara warga
berjalan dengan baik. Sebagian warga desa
dengan
Beberapa
merasa takut karena tiba-tiba Suku Anak Dalam
permasalahan yang timbul dengan Suku Anak
datang secara tiba-tiba, sedangkan rumah-rumah
Dalam dari warga Desa Kungkai, oknum warga,
dan sepeda motor serta barang lainnya dari Suku
sehingga terjadi pemukulan oleh Suku Anak
Anak Dalam sudah dibakar oleh warga desa
Dalam membuat konflik yang terus terjadi dan
sehingga sebagian besar Suku Anak Dalam lari
sering diikuti dengan tindakan balasan dari
menuju hutan.
Suku
Anak
Dalam.
warga lainnya.
Hal 5
ke kelompok budaya lain sebagai salah satu
C.3. Habitus Suku Anak Dalam
Suku Anak Dalam yang sempat bertikai
sumber terjadinya konflik.
akhirnya dilakukan relokasi oleh Pemerintah
Pemerintah mengambil langkah untuk
Kabupaten Merangin, keluar dari Desa Kungkai.
merelokasi Suku Anak Dalam dari Desa
Namun habitus mereka masih cenderung untuk
Kungkai ke tempat lain dengan pertimbangan
berburu ke hutan pada musimnya dan berladang
bahwa dua kelompok budaya yang berbeda
pada musimnya berdasarkan perhitungan musim
tersebut
oleh Suku Anak Dalam. Tentu untuk mengubah
berdampingan.
memang
tidak
bisa
hidup
hal tersebut tidaklah mudah, apalagi jika
program yang dicanangkan hanya bersifat
jangka pendek.
Daftar Pustaka
[1] Asgart, Sofian Munawar. 2003. Politisasi
Habitus yang sudah melekat lama pada
Suku Anak Dalam ini akan tetap berpotensi
menimbulkan konflik dengan warga-warga desa
yang menjadi perlintasan mereka. Perlu waktu
SARA: Dari Masa ORBA ke Masa Transisi
Demokrasi. Jakarta: ISAI, 2003.
[2] Manurung, Butet. 2007. Sekolah Rimba.
Yogyakarta: Insist Press.
yang cukup lama untuk melakukan edukasi pada
Suku Anak Dalam mulai dari cara bertahan
hidup
menetap
dan
berpakaian
sehingga
pergeseran peradaban dapat dilakukan dengan
[3] Sellin, Thorsten. 1938. Culture Conflict and
Crime. New Jersey: Social Science Research
Council.
baik.
[4] Tempo.
D. Kesimpulan dan Saran
komunikasi
secara
tidak dapat menjalin
verbal,
Online,
https://m.tempo.co/read/news/2015/12/16/05
Dua kelompok masyarakat yang hidup
berdampingan tetapi
Tempo
berpotensi
8728195/konflik-suku-anak-dalam-vswarga-jambi-punya-riwayat-panjang
[diakses 10 Maret 2016, jam 10.20 WIB]
menimbulkan konflik. Perspektif dari Thorsten
Sellin melalui premis yang dikemukakanya
memperkuat kejadian konflik yang terjadi pada
Suku Anak Dalam dengan warga Desa Kungkai,
karena migrasi anggota suatu kelompok budaya
Hal 6