Periodisasi Seni Rupa Modern Indonesia

 

Periodisasi Seni Rupa 
Modern Indonesia - 
Ekspresionis 
ㅡ 
Latar Belakang 

 

Christine Toelle 
2016 
cghtoelle@gmail.com 
 

Diawali dari istilah yang umum dipakai dalam awal abad ke-19
tadi, Jonathan Harris memberi catatan bahwa nilai- nilai
ekspresionisme Jerman kemudian berkembang sebagai nilai
kepercayaan bahwa kenyataan seni tidak lagi harus terikat pada
isu politik atau isu sosial, namun mencari artian dalam proses
pengkaryaan itu sendiri, menjadikan kanvas sebagai medium

untuk memberi ekspresi jiwa. Gerakan ini menjadi begitu penting
melihat nilai seni rupa modern untuk mencari kemajuan estetik,
perubahan dinamis dan mencari arti dari seni rupa modern yang
terus bergerak dan dinamis, gaya ekspresionisme membawa
kesadaraan dan emosi seniman semata ke atas kanvas, seni
sebagai ekspresi.
Dalam proses pembelajaran semester ini penulis memberikan
beberapa paparan mengenai corak gaya yang ada pada masa
perkembangan seni rupa Indonesia, seni lukis terutama sebagai
acuan terbesar bagi seniman masa itu untuk berkarya. Nilai
ekspresionis yang pada mulanya berkembang di Jerman, dan
Eropa Barat kemudian menyebar pada negara-negara lain di
dunia melalui kontak dengan bangsa barat, terutama Indonesia
sebagai negara jajahan. Kontak dengan bangsa barat dan
perkembangan media komunikasi setelah tahun 1940 menjadi
alasan besar perkembangan nilai kebaruan di Indonesia, bahkan
menjadi perintis awal proses pencarian identitas seni rupa modern
Indonesia, membedakan seni rupa baru dengan seni tradisi.
Kajian mengenai masa-masa 1940 hingga 1960 ini menjadi
momen penting untuk dikaji, momen yang mampu menggagas

kebaruan dalam seni rupa Indonesia hingga kini, menekankan
proses berkesenian terutama untuk terus berkembang. Lebih

presisi lagi penulis memaparkan corak gaya yang begitu banyak
dianut oleh seniman masa itu, menjadikan seni sebagai sarana
ekspresi, ekspresi diri mau pun ekspresi sebagai respon dari
kondisi sosial dan sekitarnya. 

ㅡ 
Landasan Teori 

 

Ekspresionisme dikenal sebagai salah satu representasi kuat dari
gaya-gaya yang berkembang dalam ranah seni rupa modern.
Nilai- nilai dari perintis gaya ekspresionis juga kemudian
disetujui sebagai salah satu faktor perkembangan dalam seni rupa
modern, mengalihkan gaya naturalis dan impresionis sebelumnya
menjadi suatu gaya yang baru, menjadikan seni tidak lagi sebagai
representasi objektif dari potret yang dilihat, namun cenderung

pada ekspresi personal dari seniman sendiri. Contoh nilai ini
berhubungan erat pada kebebasan seniman masa modern untuk
mengedepankan ego dan diri sebagai prioritas utama berkesenian.
Beberapa perintis gaya ekspresionisme merupakan individu yang
sebelumnya telah berkelana dalam campuran gaya naturalis
hingga impresionis di abad ke-19. Menceritakan gaya ekspresi
personal dengan karakteristik penyederhanaan atau bahkan
distorsi pada subjek rupanya, terkadang ditambahkan pula oleh
permainan warna yang lebih dari sifat naturalnya. Diusung di tiga
pusat kota ternama di Jerman, Dresden contoh pertamanya
direlasikan dengan kelompok seniman Brücke, yang memulai
gerakannya sebagai penolakan kemapaman akademi yang telah
disiapkan oleh orang tua mereka, menolak keberadaan borjuisme
dalam proses kekaryaan seni rupa dan memilih cara pengabdian
seni bagi kebebasan jiwa.
Dalam waktu yang hampir bersamaan di kota kedua Munich,
Vasily Kandinsky dan Franz Marc mendirikan Der Blaue Reiter
di tahun 1905, dengan komposisi seniman yang lebih beragam
seperti August Macke, Heinrich Campendonk, dan Paul Klee.
Mereka berkembang dalam eksplorasi warna, kecenderungan


menuju gaya abstrak, dan ketertarikan kuat pada nilai-nilai
spiritual. (Figura, 2011: 10).
Namun pada akhirnya gaya ini berakhir pula dengan
penolakan lain seperti gerakan post-modern, dan mengakhiri
siklus

kebaruannya

seperti

ekspresionisme

mengakhiri

pendahulunya impresionisme dan naturalisme. Perkembangan
pada masa jayanya tapi tidak dibatasi hanya pada Eropa Barat,
begitu banyak negara yang bersentuhan dengan budaya barat
turut mengadopsi gaya ini dalam seni rupa mereka, seperti
Indonesia.  


ㅡ 
Ciri-Ciri 

 

Pada dasarnya, landasan dari gaya ini adalah keberadaan intuisi
dan rasa yang kuat di dalam proses, menghasilkan rasa dan nilai
yang disampaikan dengan sangat kental. Dengan kondisi akhir
yang kemudian menyampurkan segala ciri komposisi dan jenis
artistik konvensional di dalamnya. Pada relasinya pada
kekaryaan, seniman ekspresionis memiliki keberadaan alam
dengan perspektif yang lebih merepresentasikan intensi rasa
Jonathan Harris mengambil contoh dari Edward Munch dalam
karyanya The Scream

(1893), yang memvisualisasikan garis

yang bergoncang dengan figur tubuh yang menarik riak
disekitarnya. Memberikan contoh gangguan emosi dan stabilitas

diri dalam proses berkarya seniman, yang dapat kemudian
direlasikan dengan gangguan yang ditimbulkan dari diri seniman
perihal masalah emosi dengan dunia sekiranya. Sebagai
pemberat,

dalam

teknis

pengkaryaan

seniman

masa

ekspresionisme memiliki kecenderungan untuk menggunakan
material

yang


mampu

menunjang

kuatnya emosi yang

disampaikan, seperti cat minyak di atas kanvas dengan sapuan
mentah yang memberi kesan spontan dan kasar, menjadi jejak
dari catatan hidup seniman ekspresionis.

Gambar 1. Karya Eduard Munch "The Scream" (1983)
( Sumber: www.edvardmunch.org ) 

ㅡ 

 

Ekspresionisme  

Hasil karya dari seorang seniman mampu merepresentasikan diri


di Indonesia 

seniman itu sendiri. Terkadang cukup besar faktor didalamnya
adalah pengaruh sejarah, yang mampu menjadi jembatan relasi
antara seniman dengan sekitarnya, menceritakan ulang suatu
bahasan yang relevan bagi masanya. Dalam pembahasan gaya
ekspresionisme yang muncul dalam lukisan-lukisan seni rupa
modern Indonesia, penulis mengacu pada paparan pandangan
Sanento Yuliman dalam "Seni Lukis Indonesia Baru".
Disini dinyatakan bahwa kecenderungan historis yang masuk
dalam karya-karya seni rupa modern di Indonesia terdiri dari
warisan budaya, gejala sosial, dan pengaruh barat. Warisan
budaya Indonesia disini membentuk watak manusia Indonesia.
Menceritakan hubungan antara seniman dengan responnya
terhadap lingkungan yang membentuk dirinya. Seperti banyaknya
nilai-nilai timur yang percaya keberadaan gaib atau keberadaan
transeden dalam kehidupan sehari-hari. Dalam gejala sosial,

dapat dilihat contoh tema-tema perjuangan yang kemudian

dijadikan bahasan karya dalam seni rupa.
Sedangkan pengaruh barat yang begitu besar kekuatannya dalam
memungkinkan persentuhan antara seni lukis Indonesia dari awal
pembentukannya

dengan

seni

lukis

Barat.

Percampuran

peradaban dunia di Indonesia juga menjadikan arus westernisasi
semakin kuat. Nampak perbedaannya dari seni tradisi adalah
kecenderungan masa seni rupa modern di Indonesia yang terus
mencari kebaruan, Namun, tidak semua nilai dan gaya di Seni
Lukis Barat kemudian diterima secara mentah oleh pelukis

Indonesia, dimasa ekspresionisme sendiri contohnya di Indonesia
baru diadaptasi selang satu hingga dua dekade dari masa
terciptanya. Sedangkan gaya formalisme, dan contoh kekaryaan
analitis lain yang berkembang awal tahun 1900-an, belum
diadaptasi pelukis Indonesia hingga tahun 1970.
Adaptasi ekspresionisme sendiri di Indonesia dimulai dari
seniman-seniman

terkemuka tahun 1940

hingga 1960an,

bersamaan dengan munculnya gaya Realisme di Seni Lukis
Indonesia. Sanento Yuliman sendiri berpendapat bahwa pada
masa ini terdapat dua kutub yang berdiri terpisah dalam proses
pengkaryaan, mereka yang melukis dengan sumber objektif
sekitar dunia dunia tempat mereka tinggal, dunia sosial, dan
dunia yang nampak, mengedepankan indera dan kesan atau
tanggapan dari keberadaan lingkungan yang sudah ada. Kedua,
adalah kutub yang mencari visualisasi subjektif atau "dunia

dalam" pelukis, watak mereka, tempramen, emosi, imajinasi dan
seluruh proses kejiwaan yang diolah dan dengan demikian
mengubah kesan dan tanggapan mereka.
Sedangkan ditinjau dari kecenderungan gaya dibagi oleh Sanento
Yuliman (1939) ke dalam empat kecenderungan terbesar.
Pertama, dapat dimulai dari gaya yang mengacu pada objektifitas,
untuk menyampaikan keberadaan objek sebagai hasil amatan

pelukis, tanpa membiarkan emosinya mendistorsi hasil amatan
inderanya, diwakili oleh Sudjojono, Henk Ngantung, Harijadi,
Dullah, dan Trubus. Kecenderungan inilah yang sering kita kenal
dengan gaya realis. Kedua adalah gaya dengan kecenderungan
dalam mencantumkan subjektifitas yang berlebihan, hingga
memberi kesan fantasi di dalamnya, dalam artian bentuk yang
menceritakan proses jiwa seperti khayal atau lamunan, mimpi,
mithos, dan sebagainya. Seringkali kita kenal dengan istilah
surealis, didalamnya berdiri seniman Indonesia seperti Agus
Djaja, Sudibio, Sukirno, dan Sudiardjo.
Terakhir adalah kecenderungan dengan adaptasi objek yang
kemudian didistorsi menjadi suatu bentuk yang baru, di mana
seniman melukis objek yang dihadapinya dengan gerakan emosi
yang berkaitan dengan objek tersebut. Secara visual rupa objek
sering dirubah, dalam bentuk, proporsi, mau pun warna.
Kecenderungan yang besar kaitannya dengan emosi dan distorsi
ini merupakan kecenderungan terbesar dari seniman masa itu,
melukiskan hal-hal yang tidak sewajarnya ada pada kenyataan.
Dalam seni lukis, gaya ini menjadi cara untuk menggugah dan
mengungkapkan emosi. Kecenderungan inilah yang kemudian
kita kenal dengan istilah ekspresionisme.

Gambar 2. Karya S. Sudjojono, "Children Playing Under the
Tree" (1956)
( Sumber: www.archive.ivaa-online.org )

Banyak pelukis setelah 1940 ini tertarik kepada pengalaman
sosial, dan banyak mengambil bermacam segi kehidupan rakyat
di sekitar mereka sebagai objek melukis. Diantaranya ada nama
Sudjojono, Affandi, Hendra, Surono, Henk Ngantung, Otto Djaja,
Dullah, Harijadi, Trubus, Tarmizi, Amrus Natalsya, dan lainlain. Terutama mereka yang tergabung dalam SIM dan Pelukis
Rakyat. Emosi yang disampaikan oleh pelukis-pelukis ini sangat
beragam, bisa menyalak seperti Sudjojono sebelum tahun 1950,
dan pula Affandi. Bisa pula berhiaskan suasana perjuangan dari
karya-karya Henk Ngantung dan Dullah sekitar tahun 1947, atau
riang dan meriah seperti karya Hendra atau humor seperti Otto
Djaja.

Gambar 3. Karya Otto Djaja "Ramah Tamah di Resepsi" (1960)
( Sumber: www.archive.ivaa-online.org )

Gambar 4. Karya Affandi "Dua Gadis Bali" (1956)
( Sumber: www.archive.ivaa-online.org )

Gambar 5. Karya Henk Ngantung, "Aku Cinta Padamu Tanah
Airku" (1966)
( Sumber: www.archive.ivaa-online.org )
Namun, tidak pula menutup kecenderungan bahwa terdapat pula
seniman ekspresionis yang mengangkat tema-tema personal yang
berkecenderungan

pada

cerita

hati

masing-masing,

dan

pelukis-pelukis ini tampak hanya sedikit menceritakan kehidupan
sosial. Contohnya adalah Basuki Resobowo, Rusli, Sholihin,
Kusnadi, Oesman Effendi, Zaini, dan Nashar. (Yuliman, 1976 :
20) 

ㅡ 
Catatan Seniman 

 

Affandi 
Lahir di Cirebon tahun 1910, Affandi memulai proses
kekaryaannya sebagai juru gambar dalam iklan
bioskop di Bandung kisaran tahun 1933. Turut
bergabung dalam PERSAGI tahun 1938, namun
himpunan pengalaman Affandi turut dipengaruhi
upayanya mengelilingi Eropa pasca kemerdekaan.
Karya lukis dari Affandi memiliki ciri visual yang
kuat dan rasa yang begitu intens. Dimulai dengan
visualisasi subjek yang masih konkret, semakin
panjang jam terbangnya Affandi justru memilih untuk
berkarya dengan garis-garis yang nyaris abstrak dan
sukar dikenali. Ciri terkuat dalam karyanya juga
ditandai dengan gaya melukis yang tampak muncul
dengan dorongan kuat dari dalam batin
Sudjojono
Lahir di Kisaran, Sumatera tahun 1913, Sudjojono
menjadi figur kuat dalam perkembangan seni rupa
baru di Indonesia.Bergerak dengan ideologi penolakan
pada gerakan naturalis yang sebelumnya mendominasi
Indonesia,

Sudjojono

menjadi

pelopor

dari

kelompok-kelompok seniman dengan ideologi yang
sama.Karya Sudjojono mengambil tema kerakyatan,
memercayai bahwa karya dari pelukis Indonesia harus
mampu menggambarkan Indonesia, kebudayaannya,
juga masyarakatnya.
Sudjojono tidak hanya berkarya sebagai pelukis,
namun juga cenderung menjadi juru bicara dan
penulis bagi kelompok-kelompok yang dirintisnya.
Beberapa kelompok terbesar yang berhasil dirintis dan
melibatkan

Sudjojono

POETRA,

dan

ialah

Keimin

PERSAGI,
Bunka

SIM,

Shidosho.

Keterlibatannya dalam kelompok ini tidak pernah
terlepas dari turut campur seniman ternama lain di
masanya, seperti Affandi, Agus Djaya, dan Henk
Ngantung.

ㅡ 
Gerakan-Gerakan 

Persagi didirikan oleh Sudjojono tahun 1937 bersama teman
temannya, selama empat tahun hingga tiga puluh-an orang
pelukis, yang kemudian memberikan tandingan bagi kemapaman
pendidikan seni yang seahkan diberikan hanya kepada kalangan
Belanda. Sementara Bandung, memberikan warna lain dalam
masa perkembangan seni lukis Indonesia, dengan sniman ternama
lain disana seperti Sjafei Sumardja, Affandi dan Hendra
Gunawan.
Kedatangan Jepang tahun 1942 hingga 1945 memberi bumbu
baru bagi seni rupa Indonesia, dengan usaha mereka memajukan
nama timur serta upaya pembangunan Asia Timur Raya,
didirikan Keimin Bunka Shidoso sebagai medan bagi budayawan
dan seniman untuk berkarya. Keberadaan Keimin Bunka Shidoso
sendiri memacu pelukis-pelukis baru seperti Otto Djaja, Barli,
Mochtar Apin, dan Trubus untuk turut berkembang. Namun
polemik politik pasca kemerdekaan, memberikan pergeseran baru
baik dalam politik berpindahnya pusat pemerintahan ke
Jogjakarta, mau pun dalam bidang seni, menjadikan pusat
berkesenian turut berpindah ke Jogjakarta. Disitu, Affandi, Rusli,
Hendra

dan

Harijadi membentuk kumpulan Seni Rupa

Masyarakat pada tahun 1946, di masa yang sama Sudjojono
membentuk Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun, kedua
kelompok kemudian besatu dan berlokasikan lagi-lagi di
Jogjakarta. Dalam prakteknya SIM dikenal sebagai kelompok
yang menghimpun banyak seniman seperti Persagi pendahulunya,
diantaranya
Karya-karya

ada
dari

Subidio,
SIM

Oesman
banyak

Effendi,

menyinggung

dan

Zaini.

tema-tema

perjuangan, poster serta gerakan pameran dan kekaryaan dari
mayoritas

pelukisnya

mengusung

kecenderungan

gaya

ekspresionis yang memang begitu mendominasi setelah tahun
1940, mengesampingkan ​subject matter apa pun yang kemudian
diusung masing-masing seniman.

Namun, dikarenakan pertentangan internal, Hendra dan Affandi
meninggalkan SIM dan membentuk gerakan baru 'Pelukis Rakyat'
yang bergabung pula di dalamnya Sudarso, Trubus, dan lainnya.
Salah satu penunjang terbesar kegiatan berkesenian pada masa itu
adalah Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda dan Markas
Besar Tentara Keamanan Rakyat, tunjangan mereka sendiri
datang dalam bentuk sarana, biaya, dan pesanan bagi rencana
pembangunan

Museum

Dokumentasi

Perjuangan

Negara

Republik Indonesia.
Kelanjutannya, SIM dan Pelukis Rakyat nampak bergerak dengan
dorongan ideologi kiri yang kuat, dan pelukis yang percaya akan
keterpisahan seni dari ideologi politik akhirnya memilih untuk
memisahkan diri. Oesman Effendi dan Zaini contohnya
meninggalkan SIM dan bergabung dengan Gabungan Pelukis
Indonesia tahun 1948, meninggalkan SIM dengan kelesuan.
Diseberangnya, Pelukis Rakyat justru mengalami kemajuan yang
pesat dengan keeratan yang sangat dengan tokoh-tokoh
pemerintah, serta Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang
bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia. Menyusul
keberadaan

Lekra,

partai-partai

lain

turut

membentuk

lembaga-lembaga kebudayaan mereka masing-masing, seperti
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang dibentuk oleh Partai
Nasional

Indonesia.

Kedepannya

semakin

banyak

pula

sarana-sarana pendidikan lingkup seni yang didirikan kisaran
tahun 1950, seperti ​Universitaire Leergang tot Opleiding voor

Tekenleraren yang didirikan Belanda atau Balai Perguruan
Tinggi Guru Gambar di Bandung contohnya. Beberapa sekolah

ini kemudian berjalan sebagai pegangan perkembangan seni rupa
Indonesia hingga kini, walaupun keberadaan corak gaya tertentu
pada akhirnya akan terus menjumpai akhir masanya. 

ㅡ 
Simpulan 

 

Ekspresionisme pada akhirnya tidak hanya menjadi salah satu
gerakan terpenting seni rupa modern di Barat, namun juga di
Indonesia, walau pun pada nyatanya seniman Indonesia baru
mengadopsinya selang satu hingga tiga dekade dari tahun awal
terbentuknya gaya ekspresionis di Jerman tahun 1900-an. Namun,
pada akhirnya gaya ekspresionis di Indonesia menjadi corak yang
paling banyak berkembang dalam perkembangan Seni Rupa Baru
Indonesia, nilai kebaruan dan untuk terus mencari kemajuan
menjadi nilai dari modernisasi asal barat yang dianut banyak
seniman kita masa itu, namun aplikasinya tetap mereka berusaha
memasukan unsur Indonesia tanpa harus berkarya dengan jalur
seni tradisi. Seniman-seniman seperti Affandi dan S. Sudjojono
merupakan salah satu yang terlibat dalam perkembangan
ekspresionisme Indonesia, dan mereka kini menjadi penopang
atau wajah dari sejarah seni lukis Indonesia.
 

ㅡ 
Sumber 

 

Figura, Starr. 2011. ​German Expressionism: The Graphic
Impulse.​New York: The Museum of Modern Art.

Harris,

Jonathan.

2006.

Concepts.​Abingdon: Routledge.

​Art

History

:

The

Key

Yuliman, Sanento. 1976. ​Seni Lukis Indonesia Baru sebuah

pengantar​. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
 

 

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1