DARWIS ABBAS SULAIMAN HIDUP YANG DIABDIK

Mehmet Özay1
DARWISH ABBAS SULAIMAN: HIDUP YANG DIABDIKAN UNTUK PENDIDIKAN

Darwish Abbas Sulaiman2 adalah salah seorang tokoh penting yang aktif berpartisipasi dalam
berbagai program penting di bidang pendidikan dan kebudayaan. Belaiu bukanlah seorang
akademisi yang mengasingkan diri dalam kamar kerja. Sebaliknya, beliau mengembangkan ideide dengan mengajar di kampus, berpartisipasi dalam acara-acara yang relevan, membuka toko
buku, menerbitkan karya-karya besar, menyelenggarakan dan menjadi narasumber pada seminar
dengan beragam tema baik yang berskala lokal nasional dan internasional.3 Dalam bidang ini,
beliau dipandang sebagai seorang yang berjuang sendiri kendati betapa sulitnya menjalankan
berbagai peran diatas. Misalnya, diantaranya, tampak bahwa beliau telah memberikan kontribusi
yang begitu besar maknanya bagi masyarakat dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi.
Dalam rentang beberapa tahun yang panjang sebagai seorang cendikiawan beliau juga telah
berkontribusi pada beberapa organisasi seperti mendirikan Pusma (2002), memimpin Dewan
Kesenian Aceh (DKA) dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD), serta menjabat sebagai Wakil
Ketua pada Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA).4
Selama keberadaan saya di Aceh sejak tahun 2005, saya telah bertemu dengan beliau beberapa
kali; dan menariknya, setiap kali bertemu, beliau bertindak sebagai perwakilan dari beberapa
lembaga dan organisasi yang berbeda. Di luar itu, ketika saya ingin mengunjungi beliau untuk
sekedar berbincang-bincang atau ketika saya perlu membeli buku 'tua', saya langsung pergi ke
toko buku beliau di Darussalam. Cara beliau menjalankan toko buku mengingatkan saya betapa
uniknya pribadi beliau dalam konteks dunia budaya ke-Aceh-an. Sebagaimana yang banyak

terjadi di berbagai belahan dunia yang lain, jelas teramati bahwa toko-toko buku tidak hanya
berperan sebagai fungsi 'tempat belanja' belaka. Lebih dari itu, toko-toko buku berperan sebagai
pembuka jalan untuk mengembangkan berbagai wacana intelektualitas. Di mata masyarakat
Aceh, DAS mungkin belum berperan sebagai seorang educationist (tokoh pendidikan); namun
beliau telah menjadi tokoh internasional yang menyelenggarakan dan menghadiri berbagai
konferensi dan seminar sejak tahun-tahun pertama keberadaan beliau di kampus. Berkenaan
dengan kemampuan beliau dalam menyelenggarakan seminar nasional dan internasional
1

Dr. Mehmet Özay adalah Peneliti Independen, Ketua PuKAT.
Setelah ini nama ‘Darwish Abbas Sulaiman’ disingkat menjadi DAS.
3
Misalnya seminar mengenai “Pengkajian Budaya Melayu-Aceh” pada tanggal 26-27 Oktober 2002. Lihat: Darwish
A. Sulaiman. (2003). (ed.) Warisan Budaya: Melayu Aceh, Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh (PUSMA) hal.
vi. (Catatan: Ketika saya sedang menyampaikan kuliah di Skudai, saya melihat beliau sedang mempresentasikan
makalah pada sebuah konferensi internasional mengenai “Dunia Melayu” yang diselenggarakan oleh Yayasan
Warisan Johor (YWJ) tahun 2011.)
4
Catatan: LAKA dan Majelis Pendidikan untuk mendukung keistimewaan Aceh, memberi peluang bagi kita untuk
melakukan konsolidasi dan mobilisasi agar ketiga forum kelembagaan ini dapat berjalan dengan suksek.” Bachtiar

Ali. (2004). “Budaya Aceh Sepanjang Abad”, Kearifan Yang Terganjal: Safwan Idris: Ulama dan Intelektual Aceh,
Cetakan II, Banda Aceh: Ar-Raniry Press dan Nadia Foundation, hal. 267.
2

1

membuktikan kapasitas beliau sebagai seorang yang memiliki keterampilan kewirausahaan
intelektual.
Perlu untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan tentang mengapa DAS melakukan
upaya-upaya yang disebutkan di atas. Apakah beliau hanya memainkan perannya demi mengejar
keuntungan pribadi dan materi? Atau, apakah beliau telah melihat kemunculan semacam masalah
eksistensial dalam ranah pendidikan dan kebudayaan dan kemudian mencoba untuk menemukan
solusinya? Tidak diragukan lagi bahwa DAS merupakan bagian dari generasi yang lahir selama
tahun-tahun akhir di masa kolonial Belanda. Sebagai anggota masyarakat yang telah kehilangan
pemikir besar, para tokoh pendidikan dan para ulama bersama-sama melacak jejak perjalanan
panjang dalam perjuangan melawan Belanda. Dan, masa pemulihan membutuhkan proses yang
panjang hingga selama bertahun-tahun pra dan paska kemerdekaan. Jadi, dalam kondisi sosioekonomi dan politik Aceh sepanjang beberapa dekade ini, tidak dapat katakan bahwa pemulihan
ini berhasil atau seluruhnya terealisasi. Dan, tidak diragukan lagi bahwa telah ada beberapa
refleksi dalam hal keterbelakangan kelembagaan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Sebagaimana yang telah dicermati dalam beberapa seminar yang diselenggarakan di tahun 1970an dan 1980-an di Aceh, Para peserta seminar menyentuh isu-isu yang penting ini secara

mendetil dalam makalah-makalah mereka.5 Karena alasan ini, dan karena masih belum
ditemukan jawaban atas isu-isu masalah tersebut, DAS mengkritisi kondisi yang relevan dalam
tulisan-tulisannya dalam beberapa seminar yang diselenggarakan dalam tahun-tahun akhir 1980an.6
Tidak diragukan lagi bahwa semua upaya yang dilakukan DAS pantas dianggap selaras dengan
langkah-langkah yang telah diambil oleh para tokoh dari generasi awal dan generasi yang sama
seperti Daud Beureuh, Aboebakar Aceh, Teuku Alfian, Ali Hasjmy dan Ahmad Daud dll. dalam
upaya untuk membangkitkan kembali pentingnya pendidikan Aceh yang menjadi model bagi
masyarakat Muslim Asia Tenggara, misalnya dunia Melayu, seperti yang terjadi pada abad-abad
sebelumnya.7 Dalam persimpangan ini, perlu diingatkan bahwa weltanschauung-nya terstruktur
oleh keterikatan yang kuat pada 'kearifan lokal. Dan, pendidikan tinggi yang beliau dapatkan di
5

Untuk contoh artikel, Lihat: Aboebakar Atjeh, Abidin Hasjim. (1972). “Hari Depan Kebudajaan Atjeh”, Seminar
Kebudajaan Dalam Rangka Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, 20 Agustus-2 September 1972, Buku Ketiga, Panitia
Pusat Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, Banda Aceh, hal. 2, 9; S. M. Idrus, (1972). “Hari Depan Kebudajaan Atjeh”,
Seminar Kebudajaan Dalam Rangka Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, 20 Agustus-2 September 1972, Buku Ketiga,
Panitia Pusat Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, Banda Aceh, hal. 4; Abidin Hasjim. (1972). “Hari Depan Kebudajaan
Atjeh”, Seminar Kebudajaan Dalam Rangka Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, 20 Agustus-2 September 1972, Buku
Ketiga, Panitia Pusat Pekan Kebudajaan Atjeh Ke-II, Banda Aceh, hal. 3-4.
6

Darwish A. Sulaiman. (1988). “Perlukah Sebuah Paradigma Baru Untuk Pembinaan Kebudayaan Aceh”, Bunga
Rampai Temu Budaya Nusantara, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-3), Banda Aceh: Syiah Kuala University Press,
hal. 195.
7

Wildan. (2011). Nasionalisme dan Sastra: Doktrin, Misi, dan Teknik Penyampaian Nasionalisme dalam Novel A.
Hasjmy, Penerbit Geuci&Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, hal. 43.

2

luar negeri memungkinkan beliau untuk terpapar pada perkembangan modern dalam pendidikan.
Kedua ranah yang berbeda ini, meskipun tampaknya kontradiksi, tentu saja memberikan
kontribusi pada perkembangan pemikiran beliau sehingga belaiu dapat mengungkapkan lebih
banyak pertanyaan dan mencoba untuk menjawab permasalahan yang muncul di masyarakat dari
sudut pandang yang berbeda. Sementara itu, referensi 'kearifan lokal’ yang terkait dengan budaya
dan peradaban Islam diperkenalkan dan dikembangkan di Aceh sebagai bagian dari wilayah Asia
Tenggara. Pendidikan modern beliau di luar negeri memperluas visi beliau dalam menghadapi
masalah dan menemukan solusi permasalahan tersebut secara konstruktif. Latar belakang
pendidikan formal dan nonformal membuat beliau lebih siap untuk memiliki sebuah grand
design (rancangan besar) untuk masyarakat Aceh yang terbukti secara historis dan tradisional

sebagai semacam model bagi dunia Melayu selama berabad-abad yang lalu. Meskipun terdapat
ketidakpastian yang mendasar, beliau mencoba untuk menemukan solusi dengan menjalankan
suatu paradigma baru yang akan saya bahas secara singkat di bawah ini8.
Weltanschauung-nya: Aceh dalam Konteks Dunia Melayu
Ketika kita melihat judul dan isinya secara khusus, karya-karya beliau melampaui batas-batas
kwalitas lokal dan membawa target baru ke hadapan intelektual dan akademisi Aceh. Pada saat
yang sama dapat dikatakan bahwa DAS menyadari hubungan penting antara masa lalu dan masa
depan dengan mempertimbangkan budaya dan peradaban Aceh dalam dunia Melayu yang lebih
besar.
Dalam tulisannya, beliau secara eksplisit mengungkapkan tanda-tanda pemersatu yang lebih
besar antara Aceh dan dunia Melayu dengan memberikan alasan-alasan historis dan antropologis.
Di sisi lain, beliau menunjukkan beberapa hal fundamental yang menjadikan Aceh aktor penting
dalam dunia Melayu telah mengalami distorsi. Dalam hal ini, artikel beliau yang berjudul
'Warisan Budaya Melayu Aceh’ menjadi contoh yang jelas mengenai hubungan antara Aceh dan
konseptualisasi Melayu yang lebih luas. Dalam pemikiran ini, tampak bahwa ranah sosialbudaya dan agama mendapatkan fungsi yang lebih besar dalam konteks Melayu. Ide mengenai
Melayu yang lebih besar secara konsisten tidak hanya merupakan upaya penting dalam hal
penyatuan kelompok sub-budaya Melayu, tetapi juga menantang gagasan struktur negara-bangsa
modern yang tentunya memberikan pembatasan terhadap filsafat sosio-politik umum dunia
Melayu, baik dalam skala kecil maupun dalam skala yang lebih besar. Tidak diragukan lagi
bahwa DAS menyadari sulitnya mengembangkan gagasan Melayu Besar karena masih

sedikitnya upaya intelektual yang telah diwujudkan.9
Penting juga untuk menanyakan dimana tempat ke-Melayu-an dalam pemikiran beliau. Dan
jawabannya dapat ditemukan pada bagian tertentu dalam artikel yang berjudul 'Aceh Dalam
8

Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 196.
Darwish A. Soelaiman. (2003). (ed.) Warisan Budaya: Melayu Aceh, Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh
(PUSMA), hal. vii.
9

3

Konteks Dunia Melayu'.10 ‘Alam Melayu’ menurut rujukan beliau tidak hanya sebagai sebuah
wilayah tetapi juga sebagai suatu kawasan budaya lebih luas yang didirikan sepanjang rentang
sejarah Islam di wilayah tersebut.11 Dalam hal ini, klasifikasi Wan Sagir Abdullah berfungsi
dengan tepat dalam memahami pemikiran DAS. Abdullah membandingkan beberapa istilah
geografi-budaya seperti 'Nusantara', 'Tanah Jawi' dan 'Alam Malayu'. Dan prioritas beliau pada
Alam Melayu berkaitan erat dengan perspektif Islam untuk kawasan tersebut karena ini
merupakan konsep yang lebih lengkap.12
Jika kita melihat secara rinci isi salah satu artikel beliau yang berjudul 'Aceh Dalam Konteks

Dunia Melayu', terlihat bahwa DAS mendasarkan pendapatnya pada spektrum yang lebih besar
yang meliputi pendekatan jangka panjang (long dureé) untuk melukiskan batas-batas Aceh
dalam Dunia Melayu.13 Dalam hal ini, terjemahan al-Quran dalam bahasa Melayu yang pertama,
dan contoh-contoh 'pantun' awal sebagai bentuk puisi Melayu yang unik merupakan isu-isu yang
umumnya sering dijadikan acuan.
Karya-karya sastra sosial keagamaan yang diciptakan di Aceh cukup penting; tidak hanya untuk
menghubungkan Aceh dengan wilayah-wilayah Dunia Melayu yang lebih besar, tetapi juga
untuk memberikan kontribusi yang signifikan untuk Dunia Melayu.14 Kenyataan ini secara
implicit juga menekankan bahwa peran Aceh telah dominan dalam ranah tulis-menulis yang
hasilnya telah disebarluaskan melalui berbagai kalangan terutama oleh para ulama.15
Sebagaimana yang terlihat dalam karya tersebut di atas, DAS mengacu pada tulisan-tulisan Ali
Hasjmy yang telah diakui sebagai salah satu tokoh perintis yang mempromosikan ideologi PanMelayu.
Jelas terlihat bahwa DAS membangun pendekatan filosofis terhadap masalah masalah
pendidikan dan budaya dengan mengacu pada fakta-fakta sejarah dan kontinuitas. Beliau
menekankan pentingnya ikatan yang kuat antara Aceh dan Dunia Melayu, dan memandang
konteks Aceh dalam perspektif Pan-Melayu yang lebih luas. Misalnya bahasa, dalam hal ini
10

Darwish A. Soelaiman. (2003). “Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu”, Warisan Budaya Melayu Aceh, (ed.)
Darwish A. Soelaiman, Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh.

11
Catatan: Untuk pendekatan serupa Lihat.: Ismail Hussein. (1985). “Antara Dunia Melayu Dengan Dunia Indonesia
dan Malaysia”, Warisan Dunia Melayu: Teras Peradaban Malaysia, (ed.), Abdul Latiff Abu Bakar, Kuala Lumpur:
GAPENA, hal. 3.
12
Wan Mohd. Shaghir Abdullah. (2002). Wawasan Pemikiran Islam Ulama Asia Tenggara, Jilid 5, Persatuan
Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, hal. 1.
13
Darwish A. Soelaiman. (2003). “Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu”, Warisan Budaya Melayu Aceh, (ed.),
Darwish A. Soelaiman, Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh.
14
Patani, Sri Langka, Pilipina Selatan, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia serta daerah-daerah Melayu lainnya
di Nusantara Indonesia. (Lihat: Ismail Hussein. (1985). “Antara Dunia Melayu Dengan Dunia Indonesia dan
Malaysia”, Warisan Dunia Melayu: Teras Peradaban Malaysia, (ed.), Abdul Latiff Abu Bakar, Kuala Lumpur:
GAPENA, hal. 1.
15
Untuk karya rinci yang dihasilkan di Aceh Lihat.: Oman Fathurahman. (2010). Katalog Naskah Dayah Tanoh
Abee Aceh Besar (Aceh Manuscripts: Dayah Tanoh Abee Collection), Jakarta: Komunitas Bambu; Oman
Fathurahman&Munawar Holil. (2007). Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh: Catalogue of Aceh Manuscripts: Ali
Hasjmy Collection, The Center for Documentation & Area-Transcultural Studies.


4

bahasa Aceh, telah berperan sebagai media dalam berbagai jenis teks yang khususnya ditulis oleh
para ulama dalam rentang zaman yang berbeda sepanjang sejarah; misalnya Hikayat Perang
Sabil, Hikayat Prang Kumpeni (abad ke-19), dan Hikayat Prang Peringgi (abad ke-14).16
Meskipun dalam beberapa abad yang relatif lebih awal bahasa Melayu lebih dominan di
kalangan istana, rakyat biasa tetap berkomunikasi dengan bahasa Aceh. Dengan demikian, tidak
diragukan lagi bahwa bahasa Melayu, bahasa Aceh dan bahasa Arab juga berperan penting
secara resmi di berbagai daerah.17
Beliau juga menegaskan bahwa karena kemampuan dan kapasitas linguistik bahasa Aceh dan
bahasa Melayu telah difungsikan secara produktif dalam bentuk tulisan-tulisan keagamaan dan
sastra, kedua bahasa ini menjadi sumber kekayaan budaya sepanjang sejarah Aceh.18 Beliau
menyebutkan beberapa nama intelektual zaman ini yang menjadi tokoh-tokoh pelopor dalam
kesusasteraan yang menghasilkan karya-karya mereka dalam bahasa Aceh pada masa sebelum
kemerdekaan Indonesia seperti Teuku Mansoer Leupueng, Haji Aboebakar (Aceh), Anzieb
Lamnyong, HM Zainoeddin – dan paska kemerdekaan seperti Abdullah Arief, Ibnoe Abbas,
Ismail Muhammad Syah, Ali Muhammad, Araby Ahmad, Syeh Rih Krueng Raya, Syeh Min
Jeureula, dan Mahmud Leubu.19
Bidang permasalahan yang beliau angkat juga berawal dari sini, karena zaman keemasan telah

ditinggalkan pada halaman-halaman berdebu dalam buku-buku sejarah. Dengan begitu, tidak ada
alasan untuk tidak mengambil tindakan yang sesuai. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan diatas,
beliau memiliki niat yang kuat untuk membangkitkan kembali tradisi besar yang bermula di
Aceh untuk membangun suatu kesatuan yang lebih besar yang diungkapkan dalam bentuk
budaya dan peradaban Melayu. Dalam pemikiran beliau yang perlu difungsikan untuk
pengembangkan budaya nasional misalnya budaya Indonesia, aspek ini tampaknya berperan
sebagai sesuatu yang alami dan tak terelakkan.20
Beliau juga menyadari realitas tuntutan modernitas. Dalam tulisan yang sama, beliau
berpendapat bahwa adalah suatu keharusan bagi budaya Aceh dan budaya Melayu untuk
menghadapi tantangan modernitas ini.21 Meskipun tuntutan ini sendiri dipandang sebagai
semacam dilema, namun DAS secara implisit menekankan sifat modernitas yang menantang
terhadap pembentukan budaya tradisional. Sedikit atau banyak, pernyataan ini juga tidak bisa
lepas dari konteks menghadapi dua ranah yang berbeda dan bertentangan misalnya antara
tradisionalitas dan modernitas. Ada kemungkinan bahwa sebenarnya beliau sedang
mengingatkan kalangan yang relevan untuk siap terhadap tantangan modernitas dan menghimbau
mereka untuk menghadapinya, dan bila mungkin, mengatasi berbagai kesulitannya. Disamping
16

Darwish A. Soelaiman. (1987). “Peranan Karya Penulis Aceh Dalam Kebangkitan Budaya Bangsa”, Sinar
Darussalam, No. 158-159, Januari-Februari, hal. 35.

17
Darwish A. Soelaiman. (1987). Ibid, hal. 33, 36.
18
Darwish A. Soelaiman. (1987). Ibid, hal. 35.
19
Darwish A. Soelaiman. (1987). Ibid, hal. 37.
20
Darwish A. Soelaiman. (1987). Ibid, hal. 39.
21
Darwish A. Soelaiman. (1987). Ibid, hal. 39.

5

hubungan historis antara Aceh dan Melayu ini, perlu juga menyentuh isu pendidikan yang tentu
saja terkait langsung dengan hal yang telah dibahas di atas.

Pendidikan
Dalam hal ini, beliau berulang kali mengingatkan mengenai perlunya transformasi dan
strukturisasi baru didalam dan antar lembaga publik khususnya dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan. Ide-ide beliau seputar masalah ini dikemukakan pada tahun 1970 dan 1980, tetapi
tampaknya tidak banyak perubahan positif yang signifikan yang telah dihasilkan. Beliau terus
melanjutkan pendekatan kritis dalam rentang tahun-tahun berlangsungnya rekonstruksi dan
rehabilitasi paska tsunami. Dengan demikian, tampaknya Aceh dianggap telah mendapatkan
momentum penting untuk melakukan reformasi terutama dalam bidang birokrasi sebagai upaya
untuk membangkitkan kembali kisah sukses dalam era keemasan pendidikan baik dalam bidang
agama maupun non-agama; walaupun setidaknya hanya secara parsial.
Argumentasi beliau didasarkan pada kesadaran mengenai latar belakang sejarah dan tradisi yang
kuat. Difahami bahwa ini merupakan zaman baru yang cukup menantang bagi orang Aceh. Jadi,
secara bersamaan, ini merupakan kesempatan untuk membuka jalan baru untuk membangun
hubungan baik dengan dunia Melayu yang lebih besar.
Pada ulang tahun proses perdamaian Aceh yang ke-10 ini, cukup menarik untuk menanyakan
apakah ada ditemukan kesempatan untuk mewujudkan ide-ide dan tanggapan-tanggapan praktis
yang telah dilontarkan oleh DAS. Baru-baru ini, disebutkan dalam beberapa surat kabar bahwa
anak-anak dari keluarga orang Aceh lebih memilih untuk tidak menggunakan bahasa Aceh dalam
lingkungan keluarga. Fakta ini terlihat tidak hanya terjadi pada keluarga orang Aceh yang tinggal
di ibu kota Negara (Jakarta) tetapi juga di ibukota propinsi (Banda Aceh). Tampaknya ini
menjadi bukti bahwa telah terjadi degenerasi identitas etno-kultural.22 Sebenarnya, ini merupakan
fakta-fakta yang mengejutkan yang seharusnya menjadi peringatan bagi pejabat pemerintah
mengenai pentingnya menangani persoalan bahasa dan kebudayaan di wilayah ini. Menariknya,
Bactiar Ali menyorot masalah ini dalam salah satu tulisannya yang terbit kira-kira sepuluh tahun
yang lalu. Beliau mendesak agar Departemen Pendidikan mengambil tanggung jawab untuk
mewujudkan muatan lokal, yang diantaranya harus memasukkan aspek bahasa.23 Contoh-contoh
ini mengingatkan saya pada salah satu artikel beliau yang berjudul "Pendidikan Kita Belum
Membudaya". Disini DAS telah memikirkan hal ini dan masalah yang serupa beberapa dekade
yang lalu dan telah mencoba untuk mencari jawaban paling tidak dengan cara mengangkat isu ini
kedepan publik untuk didiskusikan secara terbuka. Maka, perlu untuk mengingatkan kembali apa
yang telah beliau tawarkan pada saat itu.
22

Eli Nurliza, “Pudarnya Pesona Bahasa Aceh”, Serambi Mekkah, 16 Augustus 2015, hal. 4.
Bactiar Ali. (2004). “Budaya Aceh Sepanjang Abad”, Kearifan Yang Terganjal: Safwan Idris: Ulama dan
Intelektual Aceh, Cetakan II, Banda Aceh: Ar-Raniry Press And Nadia Foundation, hal. 271.
23

6

Sebuah Paradigma Baru yang Dibutuhkan
Alasan mengapa kalangan intelektual Aceh perlu menghasilkan suatu paradigma baru adalah
berdasarkan pada pendekatan kritis terhadap periode paska kemerdekaan. DAS menggambarkan
era antara tahun 1950-an dan 1990-an sebagai suatu kegagalan untuk menyesuaikan lingkungan
budaya Aceh dengan budaya aslinya, sehingga tidak dapat dikembangkan menurut perubahan
waktu dan keadaan. Dalam hal ini, DAS dengan berani menyentuh persoalan-persoalan yang
disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Secara internal, meskipun telah ada
upaya-upaya yang dilakukan oleh para penyelenggara PKA, upaya-upaya tersebut tampaknya
telah gagal atau tidak memberikan kontribusi; sebalikmya hanya sebagai pendekatan
'pragmentaris'.24 Menurut definisi yang beliau kemukakan, pragmentaris muncul melalui
pemilihan beragam program dan kegiatan baik oleh kalangan organisasi pemerintah maupun
organisasi non-pemerintah. Jadi, setiap organisasi semata-mata hanya mencari keuntungan
jangka pendek baik yang hasilnya dapat segera terlihat maupun tidak; meskipun demikian, tidak
perlu mempersoalkan apakah mereka tidak tulus dalam hal kebijakan yang mereka ambil.
Konsep lain yang beliau kembangkan adalah 'konsep temporal', yang mengacu pada programprogram relevan yang telah terealisasi sebagai hasil dari keputusan instan sehingga belum dapat
dikategorikan sebagai bagian dari grand design (rancangan besar) yang dapat memberikan
harapan untuk pembangunan jangka menengah maupun jangka panjang.25
Dalam hal ini, DAS menegaskan bahwa paradigma lama yang dijalankan oleh lembaga-lembaga
terkait yang terlibat dalam pengembangan berbagai kegiatan kebudayaan tidak memiliki
"orientasi dan strategi pelatihan yang dirumuskan secara memadai dan jelas".26 Di sisi lain,
beliau menekankan pentingnya memiliki paradigma baru untuk mengatasi kesulitan dalam
kebijakan perkembangan budaya dan seni. Oleh karena itu, beliau meletakkan kriteria untuk
paradigma baru sebagai berikut: Semua lembaga terkait yang berperan dalam bidang kebudayaan
(adat dan seni) harus memiliki tujuan, orientasi dan strategi yang jelas sebagai suatu titik awal.
Lebih dari ini, beliau menekankan pada penyederhanaan struktur organisasi untuk
memungkinkan terjadinya integrasi antara lembaga yang memiliki struktur organisasi yang
serupa untuk mencapai target yang sama.27
Dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM maupun sebagai pejabat lembaga pemerintah, DAS
menekankan bahwa paradigma baru itu harus dikoordinasikan di bawah satu badan yang akan
difungsikan dalam proses pengambilan keputusan dan evaluasi riset. Dengan struktur baru ini
"pengembangan program kebudayaan dapat dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan
(dan tidak bersifat temporal).28

24

Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 197.
Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 197.
26
Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 198.
27
Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 199.
28
Darwish A. Sulaiman. (1988). Ibid, hal. 199.
25

7